Muhammad Ali Mufti-Fitk - 2
Muhammad Ali Mufti-Fitk - 2
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk memenuhi Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh
Muhammad Ali Mufti
NIM 108011000138
i
KATA PENGANTAR
ii
6. Kepada kedua orangtua tercinta yang banyak mendukung penulis baik
bersifat materil maupun spiritual.
7. Dan rekan-rekan tercinta angkatan PAI UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta khususnya yang telah mendukung penulis dan teman- teman
yang tak dapat disebutkan satu persatu.
Mudah-mudahan segala bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak
mendapat ganjaran pahala dari Allah SWT. Akhirnya penulis berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca terutama bagi penulis sendiri.
iii
DAFTAR ISI
Abstrak .................................................................................................... i
Kata pengantar.......................................................................................... ii
Daftar isi................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Masalah................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah........................................................................ 13
C. Pembatasn Masalah......................................................................... 13
D. Perumusan Masalah........................................................................ 13
E. Tujuan Penelitian............................................................................ 13
F. Kegunaan penelitian....................................................................... 14
BAB II. KAJIAN TEORI
A. Konsep Nilai Pendidikan Keimanan .............................................. 15
1. Pengertian Nilai ......................................................................... 15
2. Macam-macam Nilai ................................................................. 17
3. Pengertian pendidikan Keimanan ............................................. 18
B. Subtansi Materi Pendidikan Keimanan .......................................... 18
1. Makna Iman dan Fungsi Iman ................................................... 18
2. Ruang Lingkungan Keimanan ................................................... 21
a. Iman Kepada Allah SWT ...................................................... 21
b. Nubuwat ................................................................................ 26
c. Ruhaniyat .............................................................................. 31
d. Sam’iyyat .............................................................................. 33
C. Tujuan Pendidikan Keimanan ........................................................ 36
D. Desriktif Wahdat al-Wujud ............................................................ 38
1. Wahdat ....................................................................................... 38
2. Wujud ........................................................................................ 38
3. Wahdat al-Wujud ...................................................................... 41
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... 48
iv
B. Metode Penelitian ........................................................................ 48
C. Instrumen Penelitian .................................................................... 48
D. Analisis Data ............................................................................... 49
E. Teknik Pemeriksaan Pengabsahan Data ...................................... 53
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu ‘Arabi .................................................................... 54
B. Karya-karya Ibnu ‘Arabi ............................................................. 56
C. Konsep Wahdat al-Wujud Menurut Para Tokoh ......................... 58
D. Temuan dan Pembahasan Hasil Analisis ..................................... 59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 68
B. Implikasi ...................................................................................... 69
C. Saran ............................................................................................ 69
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 71
LAMPIRAN
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
penyakit kejiwaan, seperti depresi, dan kecemasan adalah bukti yang tak
ternafikan dari adanya dampak negatif dari kemajuan peradaban manusia yang
tidak dilandasi oleh keimanan yang kuat.
Hal ini kemudian secara tidak langsung berpengaruh tidak baik terhadap
tatanan kehidupan masyarakat. Iman memegang peranan penting bagi manusia,
karena dari iman inilah akan lahir perbuatan dan akhlak yang baik dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam Al-qur‟an, iman yang kuat itu diibaratkan seperti
pohon yang baik yang akarnya tertancap dengan kokoh, dahannya menjulang
tinggi ke langit dan dapat menghasilkan buah setiap kali musim. Allah
berfirman:
Dari firman Allah tersebut dapat dipahami bahwa iman yang kuat itu
akan akan menumbuhkan suatu sikap istiqamah (teguh pendirian) dalam
menghadapi berbagai macam ujian, cobaan, dan tantangan dalam hidup, dan
akan melahirkan buah berupa amal shaleh dan akhlak yang baik dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, Pendidikan keimanan harus menjadi
perhatian semua orang, terutama para pendidik. Pentingnya mengangkat
pendidikan keimanan dalam kehidupan ini merupakan suatu wahana yang
menjadi penyeimbang terhadap adanya kemajuan dunia yang lebih
mementingkan hal-hal yang bersifat materi, tetapi hampa makna, hampa
keimanan sehingga membuat manusia kehilangan arti kemanusiaannya.
2
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an, (Jakarta: CV. Penerbit
Diponegoro, 2002), h. 258-259
3
3
M.A. Aziz, The Power of Al-Fatihah, (Jakarta: Pinbuk Press, 2008), h. 1
4
Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit., h. 554
4
5
M.A. Aziz, The Power of Al-Fatihah, (Jakarta: Pinbuk Press, 2008), h. 458
5
beriman dan bertakwakepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis
serta bertanggungjawab. Berdasarkan rumusan di atas, dapat dilihat bahwa
fungsi dan tujuan pendidikan nasional itu memiliki muatan ranah afektif yang
berkaitan pendidikan nilai yang porsinya sangat besar yang bermuara pada: (1)
manusia yang memiliki iman dan taqwa, (2) manusia yang memiliki akhlak
mulia, (3) manusia yang berilmu, cakap, dan kreatif, (4) manusia yang
demokratis, dan (5) manusia yang bertanggungjawab. Berdasarkan UUSPN di
atas, seharusnya Pendidikan Keimanan dan Ketakwaan itu menjadi landasan
pendidikan, tapi kenyataannya tidaklah demikian.
Meskipun begitu, hal itu tidaklah amat mengganggu, karena yang
menjelaskan pentingnya pendidikan keimanan dan ketakwaan itu terdapat
dalam banyak pasal. Dengan banyaknya pasal yang mendukung pentingnya
Pendidikan Keimanan dan Ketakwaan menunjukkan bahwa hal itu amat
penting dalam pendidikan nasional.6
Namun demikian, pada tataran implementasi kurikulum pendidikan
nasional di sekolah dan perguruan tinggi, bobot pada ranah afektif bila
dibandingkan dengan bobot pada ranah kognitif dan psikomotor masih jauh
dari harapan. Contoh kongkrit yang mewakili masalah ini adalah bahwa yang
terjadi di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi pada umumnya hanyalah
bersifat pengajaran yang lebih menekankan kepada aspek kognitif bukan
pendidikan yang lebih menekankan pada aspek nilai. Hal ini dapat dilihat dari
struktur kurikulum dan buku teks yang ada di sekolah-sekolah dan perguruan
tinggi yang secara umum mengesankan seperti tersebut di atas.
Akibatnya, tugas guru dan dosen hanya menyampaikan materi pelajaran
dengan target tersampaikannya semua materi yang ada dalam buku teks (target
pencapaian kurikulum), yang konsekuensinya mengukur dan menilai
keberhasilan proses pengajarannya hanya dengan tes. Siswa dan mahasiswa
yang dianggap berhasil dalam pendidikan adalah siswa yang memiliki ranking
dengan rata-rata nilai yang tinggi, sedangkan aspek moral, akhlak dan
6
A. Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2010), h. 156
6
kepribadian siswa dan mahasiswa hanya sedikit yang disentuh dan tidak
dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam kelulusan siswa dan mahasiswa.
Selain daripada itu, bahwa pendidikan di Indonesia terlalu mementingkan
pendidikan akademik dan kurang diimbangi pendidikan karakter, budi pekerti,
akhlak, moral dan dimensi mental. Apa artinya menghasilkan anak yang pintar,
jika tidak dilengkapi dengan karakter yang kuat, budi pekerti yang luhur,
akhlak yang mulia, moral dan mentalitas yang tinggi. Pendidikan di Indonesia
memiliki ketidak seimbangan antara pendidikan akademik, pendidikan
akhlak/pendidikan nilai dan pendidikan keterampilan. Dari sudut pendidikan
nilai, khususnya nilai keimanan sebagaimana yang dikehendaki oleh tujuan
pendidikan nasional, maka pendidikan di Indonesia dapat dikatakan gagal atau
kurang berhasil.
Fenomena kegagalan ini misalnya dapat dilihat dari produk pendidikan
yang menghasilkan generasi yang kurang hormat pada guru/dosen, orang tua,
sering terjadi tawuran, pergaulan bebas, gaya hidup hedonisme, kebarat-
baratan(meninggalkan nilai-nilai budaya bangsa) dalam beberapa hal seperti
dalam fashion, musik, makanan dan lain-lainnya.
Oleh karena itu, salah satu solusi agar pendidikan nasional bisa mencapai
tujuan seperti yang diharapkan dalam UUSPN, yakni manusia yang beriman,
bertakwa, dan berakhlak mulia, maka harus dilakukan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, hendaklah segera dibuatkan dan disahkan peraturan
pelaksanaan Undang-undang itu yang terdiri atas peraturan pemerintah,
selanjutnya surat keputusan menteri, dan selanjutnya bila perlu buatkan juga
petunjuk taknisnya, dan semuanya itu harus benar-benar sesuai dengan
kehendak undang-undang itu.
Kedua, buatkan pedoman yang berisi konsep tentang prosedur teknis
pelaksanaan pendidikan keimanan dan ketakwaan itu sebagai lampiran Surat
Keputusan Menteri dan atau petunjuk teknis. Pedoman yang dimaksud harus
dibuat berdasarkan pandangan bahwa pendidikan keimanan dan ketakwaan
adalah core pendidikan nasional. pendidikan keimanan dan ketakwaan itu mesti
terintegrasi dengan keseluruhan program. Pedoman itu, harus juga
7
7
Ibid., h. 161
8
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (SISDIKNAS).
8
9
Z. Darazat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971),
h. 48
10
penanaman nilai-nilai keimanan pada anak-anak sejak dini dan hal itu harus
merupakan sesuatu yang diutamakan dalam pendidikan, karena iman
merupakan penggerak dan motivator bagi seseorang untuk dapat melakukan
amal shaleh dan akhlak yang baik dalam kehidupannya sehari-hari.Berkaitan
dengan pentingnya nilai keimanan, Al-Qarni menjelaskan
bahwa:“Sesungguhnya orang-orang yang paling menderita yaitu mereka yang
miskin iman dan mengalami krisis keyakinan”.10
Memang betul apa yang dikatakan oleh Al-Qarni tersebut, bahwa orang-
orang yang tidak beriman itu selamanya akan mengalami kesengsaraan,
kepedihan, kemurkaan, dan kehinaan.Tidak ada hal yang bisa membuatnya
bahagia, dan menghilangkan ?kegundahan darinya, selain keimanan yang benar
kepada Tuhan semesta alam. Kalau kita perhatikan qisah dalam Al-qur‟ an,
banyak sekali umat terdahulu yang ditimpa adzab oleh Allah, karena mereka
tidak mau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga mereka hidupnya
mnderita kesengsaraan. Bahkan kalau kita perhatikan fenomena kehidupan
umat manusia saat ini, khususnya orang-orang yang tidak beriman kepada
Allah, di antara mereka ada yang beranggapan bahwa cara yang baik untuk
menenangkan jiwa adalah dengan bunuh diri.
Menurut mereka, bahwa dengan melakukan hal seperti itu akan terbebas
dari segala tekanan, kegelapan dan bencana dalam hidupnya. Sungguh
menyedihkan orang yang miskin iman, dan betapa dahsyatnya siksa dan adzab
yang akan dirasakan oleh orang-orang yang tidak beriman kepada Allah di
akhirat kelak. Oleh karena itu, seyogyanya manusia menerima dengan tulus
ikhlas dan mengimani dengan sesungguhnya bahwa tiada Tuhan selain Allah.
Berkaitan dengan pendidikan keimanan, Sabiq menjelaskan bahwa: “Keimanan
itu merupakan keyakinan yang pokok yang di atasnya berdiri syari‟ at Islam,
dan dari pokok-pokok itu, muncullah cabang-cabangnya”.11 Memang betul apa
yang dikatakan oleh Sabiq bahwa perbuatan baik dan buruk manusia, ketaatan
10
A. Al-Qurni, La Tahzan:Jangan Bersedih, (Jakarta: Qisthi Press, 2007), h. 25
11
S. Sabiq, aqidah Islam, (Bandung: Diponogoro, 1990), h. 15
11
terhadap syari‟at pada dasarnya merupakan buah yang keluar dari keimanan
dan aqidah orang tersebut.
Aqidah dan syari‟ah keduanya merupakan suatu hal yang tidak bisa
dipisahkan. Keduanya bagaikan buah dan pohonnya. Dengan adanya hubungan
yang erat itu, maka amal perbuatan selalu dirangkaikan penyebutannya dengan
keimanan. Apabila melihat kondisi dan mutu keimanan umat Islam di
Indonesia saat ini sungguh sangat memperihatinkan. Dengan kata lain, dapat
dikatakan bahwa umat Islam saat ini sedang mengalami krisis iman.
Aziz mengatakan bahwa:“Krisis ekonomi dan politik yang terjadi di
Indonesia itu sesungguhnya berasal dari krisis iman”.12 Krisis iman di
antaranya ditandai dengan banyaknya orang yang lupa pada Allah. Dengan
lupa kepada Allah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dalam Al-qur‟an,
akhirnya Allah menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri. Banyak
orang-orang Islam yang hatinya sudah berpenyakit, sudah tertutup untuk
menerima kebenaran. Banyak orang-orang Islam yang tidak lagi
memperhatikan nilai-nilai agama dalam hidupnya. Al-Qur‟an sudah tidak lagi
dijadikan pedoman dalam hidupnya, banyak orang yang menuruti hawa
nafsunya, sehingga kemaksiatan merajalela dimana-mana. Dengan adanya
krisis iman tersebut telah membuat umat manusia mendapat bencana dari Allah
sebagai ujian yang diberikan Allah kepada hamba-Nya.
Banyak orang yang keliru memahami makna iman. Iman kepada Allah
hanya dimaknai sebatas percaya bahwa Allah itu ada. Padahal iman itu
merupakan suatu keyakinan yang mendalam dalam diri seseorang yang disertai
dengan pembuktian, sehingga orang tersebut merasakan kedekatan dan
kehadiran Allah dalam dirinya.
Salah satu penyebab terjadinya krisis keimanan yang berakibat terhadap
adanya krisis moral tersebut diakibatkan karena gagalnya Pendidikan Nilai,
khususnya Pendidikan Nilai Keimanan di sekolah dan Perguruan Tinggi.
12
M.A. Aziz, op.cit., h. 318
12
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis
mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Banyaknya pelanggaran nilai, baik nilai moral, nilai sosial, dan nilai-
nilai lainnya dan itu terjadi sebagai akibat dari semakin merosotnya
kepedulian manusia akan pentingnya makna keimanan dalam
kehidupan
2. Banyaknya kenakalan remaja, tawuran antar pelajar, antar mahasiswa,
antar etnis, banyaknya remaja dan mahasiswa yang terlibat narkoba,
penyimpangan seksual, kekerasan, serta berbagai penyimpangan
penyakit kejiwaan, seperti depresi, dan kecemasan kurangnya
pemahaman mereka terhadap nilai-nilai pendidikan keimanan.
3. Pentingnya upaya pendidikan keimanan melalui media yang mampu
meningkatkan keimanan peserta didik, antara lain melalui konsep
wahdat al-wujud Ibnu „Arabi.
13
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka penilitian ini dibatasi
hanya pada “Nilai-Nilai Pendidikan Keimanan dalam Paham Wahdat al-Wujud
Ibnu „Arabi”.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dapat
dirumuskan sebagai berikut:
“Bagaimana Nilai-Nilai Pendidikan Keimanan dalam Paham Wahdat
al-Wujud Ibnu „Arabi?”
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang ada, maka tujuan penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui Nilai-Nilai Pendidikan Keimanan dalam Paham
Wahdat al-Wujud Ibnu „Arabi.
F. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pembaca, adapun manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut:
1) Dapat memberikan kontribusi bagi pembaca dalam pengajaran
terutama memahami makna wahdat al-wujud.
2) Dapat memberikan masukan kepada peneliti lain untuk penelitian
selanjutnya.
3) Sebagai transformasi nilai pendidikan yang terimplementasi dalam
kehidupan sehari hari.
BAB II
KAJIAN TEORI
1
Abdul Aziz, Nilai-Nilai Pendidikan Islam, 2012, http://www.pdf-finder.com.
2
Jalaluudin & Abdullah, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan,
(Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, 2002), cet. ke-2, h. 106.
3
Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2008), h. 87.
4
Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Pendidikan Pancasila,
(Surabaya: Usaha Nasional,1998), h. 133
14
15
5
W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1999), h. 677.
6
Fakultas Bahasa dan Seni, Estetika Sastra, Seni, dan Budaya, (Jakarta: Universitas
Negri Jakarta, 2008), h. 49-50.
16
2. Macam-Macam Nilai
Nilai dapat dipandang sebagai sesuatu yang berharga, memiliki
kualitas, baik itu kualitas tinggi atau kualitas rendah. Dari uraian pengertian
nilai di atas, maka Notonegoro dalam Kaelan, menyebutkan adanya 3
macam nilai.7 Dari ketiga jenis nilai tersebut adalah sebagai berikut:
a. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidpan jasmani
manusia atau kebutuhan ragawai manusia.
b. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat
mengadakan kegiatan atau aktivitas.
c. Nilai kerohaniaan, yaitu segala sesuatu yang berguna rohani manusia.
Nilai, kerohaniaan meliputi sebagai berikut:
1. Nilai kebenaran yang bersumber pada akal (rasio, budi, cipta manusia)
Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan
(emotion) manusia.
2. Nilai kebaikan atau nilai yang bersumber pada unsur kehendak
manusia.
Dari uraian mengenai macam-macam nilai di atas, dapat dikemukakan
bahwa yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang berwujud
material saja, akan tetapi juga sesuatu yang berwujud non-material atau
7
Kaelan, op.cit., h. 89
17
8
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), hal. 1
9
Ibid., h. 4
18
“Dan diantara manusia itu ada yang mengatakan dirinya
beriman „‟kami beriman lepada Allah dan pada hari akhirat „‟sedang
yang sebenarnya mereka bukanlah orang-orang yang beriman, tetapi
mereka menipu diri mereka sendiri dan mereka tidak sadar”10
Iman dalam arti hanya perbuatannya saja yang beriman, tetapi ucapan dan
hatinyatidak beriman., dapat dilihat dari QS. An- Nisa: 142.
10
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an, (Jakarta: CV. Penerbit Diponegoro,
2002), h. 3
19
“Sesungguhnya orang-orang munafik (beriman palsu)
itu hendak menipu mereka.Apabila mereka berdiri mengerjakan
sembahyang, mereka berdiri dengam malas , mereka ria (mengambil
muka) kepada manusia dan tiada mengingat Allah melainkan sedikit
sekali”11
Iman dalam arti yang ketiga adalah tashdiqun bi al-qalb wa amalun bi al-
jawatih, artinya keadaan dimana pengakuan dengan lisan itu diiringi dengan
pembenaran hati,dan mengerjakan apa yang diimankannya dengan
perbuatan anggota badan. Contohiman model ini dapat dilihat dalam QS.
Al- Hadid:19.
11
Ibid., h. 101
12
Ibid., h. 540
20
13
Aminnudin, Iman dan Fungsinya dalam Kehidupan Sehari-Hari, 9 November 2012,
(http://aminkerumutan.blogspot.com)
14
Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan
Islam, 2000), cet kelima, h. 6
15
Dja‟far Sabran, Risalah Tauhid, (Ciputat: Mitra Fajar Indonesia, 2006), Cet-2 h. 1
21
16
M. Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur kesenjangan, (Bandung: Mizan,
1998), Cet.2 h.36
22
2. Tauhid Rububiyah
“Rabb dalam bahasa Arab berasal dari kata rabba
yang artinya: mencipta, mengurus, mengatur, mendidik,
merawat, menjaga, memelihara, dan membina. Dengan kata
lain pengakuan atau kesaksian bahwa satu-satunya Tuhan
yang mencipta, yang mengurus, yang mengatur, yang
mendidik, yang merawat, yang menjaga, yang memelihara,
yang membina kita dan alam ini adalah Allah SWT.”18
Dengan demikian yang dimaksud dengan Rububiyah
Allah ialah mengesakan Allah SWT sebagai satu-satunya
yang menciptakan segala yang ada dan yang akan ada. Dia
17
Alsofa, Tauhid Ilahiyah kewajiban Prtama, 1 Oktober 2012, (http://www.alsofwa.com)
18
Umay M. Dja‟far Shiddieq, Ketika Manusia Telah Berjanji Kepada Allah, (Jakarta: al-
Ghuraba, 2008) Cet.1 h.49
23
3. Tauhid Uluhiyah
“Kata kedua yang digunakan dalam dua kesaksian
tersebut adalah ilah artinya satu yaitu al-Ma‟bud yang
disembah, yang abadi dan yang diibadati. Jika menyakini
hanya Allah satu-satunya Tuhan tempat menghamba,
mengabdi dan menyembah maka demikian itu disebut
Tauhid Uluhiyah.”20
Tauhid Uluhiyah ini sangat terkait dengan kesadaran
manusia yang menempatkan Allah SWT sebagai illah
(Tuhan sebagai tempat mengabdi, menghamba dan
19
Sayyid Naimullah, Keajaiban Aqidah, (Jakarta: Lintas Pustaka., 2004), Cet-1, h.3-4
20
Umay M. Dja‟far Shiddieq, op.cit., h.51
24
21
Sayyid Naimullah, op.cit., h.11-12
22
Shalih bin fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitab Tauhid, (Yogyakarta: Universitas Islam
Indonesia, 2001) Cet-3 h.97-98
25
2) Nubuwat
Nubuwat adalah pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan tentang
Kitab-Kitab Allah, mu‟jizat, karamat dan lain sebagainya.24
1. Nabi dan rasul
Ada dua golongan nabi dan rasul Allah yang diutus kepada
umat manusia. Yang pertama adalah nabi yang diutus Allah
kepada kaumnya untuk memberikan petunjuk kepada kebenaran.
Yang kedua adalah rasul yang diutus Allah dengan membawa
kitab kepada kaumnya untuk menunjukkan jalan kebenaran.
Tujuan para nabi dan rasul adalah satu, yakni memberikan
petunjuk kepada manusia agar menempuh jalan kebenaran. Jika
Allah adalah Zat Mahabenar (Al-Haqq), berarti tujuan risalah para
rasul dan dakwah para nabi adalah memenuhi seruan dan ajakan
Allah.
Salah satu sebab diutusnya para rasul Allah, yakni
memperbaiki kesalahan dan mengantarkan manusia kepada
sumber-sumber iman yang asli, setiap kali situasi kehidupan,
kejahatan hawa-nafsu, atau tekanan kebutuhan menjauhkan
manusia dari iman itu. Sumber ilmu para nabi adalah wahyu.
Sementara itu, sumber ilmu orang-orang selain mereka – entah
23
Yusran Asmuni, IlmuTauhid, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), cet-4 h.6-7
24
Yunahar Ilyas, loc.cit. h.10
26
2. Kitab-kitab Allah
Wajib mengimani secara global, bahwa Allah Swt telah
menurunkan kitab-kitab kepada nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya,
untuk menerangkan keberadaan Allah dan mengajak manusia
kepada-Nya. Sebagaimana Allah Swt berfirman,
25
Ahmad Bahjat, Terj. Muhammad Abdul Ghoffar E.M, Akulah Tuhanmu: Mengenal Allah
Risalah Baru Tauhid (Allah Fi al-Aqidah al-Islamiyah: Risalah Jadidah fi at-Tawhid), (Bandung:
Pustaka Hidayah, 2005), cet. ke-1, h. 78-81
27
26
Abdul Aziz bin Fathi bin As-Sayyid Nada; Penj. Ronny Mahmuddin, Syarah Aqidah ash-
Shahihah dan Pembatalnya (al-Ithamam Syarhu al-Aqidah ash-Shahihah wa Nawaqid al-Islam Lil
„Allamah asy-Syaikh „Abdul „Aziz bin „Abdillah bin Baz, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2005), h.
57-58
28
3. Mukjizat Al-Qur‟an
Allah Swt, mengutus Muhammad Saw, dengan membawa
kitab dari sisi Allah. Kitab itu mengandung mukjizat, keterangan
dan tanda-tanda dari Allah yang cukup banyak. Hal ini agar ia
berfungsi sebagai tanda dari Allah yang cukup banyak. Hal ini
agar ia berfungsi sebagai pengukuhan Ilahi yang melegalisasi
risalah Muhammad Saw. Tanda-tanda (keterangan dan mukjizat)
Al-Qur‟an ini mempunyai beberapa segi yang banyak sekali.
Al-Qur‟an adalah tanda-tanda yang jelas dan sebagai
mukjizat dalam segi kefasihan kalimat, gaya bahasa dan
susunannya. Al-Qur‟an telah menantang jin dan manusia untuk
membuat Al-Qur‟an tandingan seperti Al-Qur‟an Muhammad.
Allah berfirman:
29
3) Ruhaniyat
Ruhaniyat pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan alam metafisik seperti Malaikat, jin, Iblis,
Syaitan, Roh dan lain sebagainya.28
1. Malaikat
Secara etimologis kata Malaikah (dalam bahasa Indonesia
disebut Malaikat) adalah bentuk jamak dari malak, berasal dari
mashdar al-alukah artinya ar-risalah (missi atau pesan). Yang
membawa misi atau pesan disebut ar-rasul (utusan). Dalam
beberapa ayat al-Qur‟an Malaikat juga disebut degan rusul
(utusan-utusan), misalnya pada surat Hud ayat 49, berbunyi:
27
Abdul Majid Aziz Az-Zindany, Ilmu Tauhid (Sebuah Pendekatan Baru Jilid I untuk
S.L.T.P), h. 64-66
28
Yunahar Ilyas, op.cit., h. 6
31
,ٍ َٔ خُهِقَ اْنجَاٌُ يٍِْ يَارِجٍ يٍِْ َاَر,ٍخُهِقَجِ اْنًَهَائِكَهتُ يٍِْ َُْٕر
َْٔخُهِقَ أَدَوُ يًَِا ُٔصِفَ نَكُى
29
Ibid., h. 78-79
30
Abdullah Azzam, op.cit., h. 23-24
32
4) Sam’iyyat
Sam‟iyyat adalah pembahasan tentang segala sesuatu yang
hanya bisa diketahui lewat sam‟i (dalil naqli berupa Al-Qur‟an dan
31
Yunahar Ilyas, op.cit., h. 85
32
Sayyid Sabiq, Aqidah Islamiyah, Terj. Ali Mahmudi, (Jakarta: Robbani Press, 2006), cet.
1, h. 227
33
33
Yunahar Ilyas, op.cit.., h. 6
34
Sayyid Sabiq, op.cit., h. 429.
35
Yunahar Ilyas, op.cit., h. 153
36
Sayyid Sabiq, op.cit., h. 441
34
2. Surga
Kata “Jannah” yang kemudian diterjemahkan dengan surga,
pada asalnya berarti taman atau kebun dari poho kurma atau
pepohonan yang lain. Lafadz Jannah ini diambil dari akar kata
“Janna” yang berarti menutup. Disebut demikian karena pohon-
pohon kurma yang tinggi maupun pepohonan yang lebat daunnya
itu, ranting-rantingnya bertumpuk-tumpuk satu sama lain,
sehingga menjadi seperti payung yang menutup atau menaungi
apa saja yang ada dibawahnya.
Jannah disini adalah rumah atau tempat kediaman yang
disediakan oleh Allah untuk orang-orang yang bertakwa sebagai
balasan bagi mereka atau keimanan merekayang tulus, jujur dan
sebagai balasan amal shaleh mereka. Tidak ada orang yang dapat
memasuki surga kecuali orang-orang yang telah melaksanakan
amal perbuatan yang agung dan memiliki sifat-sifat yang mulia.37
Allah Swt berfirman:
37
Ibid., h. 501-502
35
38
Zainuddin. Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali. (Jakarta: Bumi Aksara, 1991)
h.101
36
39
Aminnudin, Iman Dan Fungsinya Dalam Kehidupan Sehari-hari, 9 november 2012,
(http://aminkerumutan.blogspot.com)
37
2. Wujud
Dalam itikad ahlussunnah, wujud itu ada dua macam yaitu:
a. Wujud yang wajib adanya dan tidak mustahil adanya.
b. Wujud yang mungkin, baik ada maupun tidak tetap sama
tingkatannya.
Jadi wujud Allah adalah wujud yang wajib, dan wujud alam adalah
wujud yang mungkin, yang tidak harus ada. Oleh karena itu, wujud Allah
dan wujud Alam adalah berbeda secara hakiki sehingga mempersamakan
dua wujud ini dalam satu tingkat adalah sesat dan kufur.42
Sedangkan menurut Ibnu Arabi, wujud semua yang ada ini hanyalah
satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula. Tidak
ada perbedaan antara keduanya (khalik dan makhluk) dari segi hakikat.
Adapun kalau ada yang mengira adanya perbedaan wujud khalik dan
makhluk, hal itu dilihat dari sudut pandang panca indera lahir dan akal yang
terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-
Nya dari kesatuan Dzatiyah, yang segala sesuatu himpunan pada-Nya.
40
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), cet. ke-1, h.
247
41
Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, Jilid III, (Bandung:
Angkasa, 2008), cet. ke-1, h. 1413
42
Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern,
(Malang: UIN-Malang, 2008), Cet. ke-1, h. 138
38
Kalau antara khalik dan makhluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat
dua. Menurut Ibnu Arabi, manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu,
tetapi memandang keduanya adalah khalik dari sisi yang satu dan makhluk
dari sisi yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari dari sisi yang
satu, atau keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti
mengetahui hakikat keduanya, yakni dzatnya satu yang tidak terbilang dan
terpisah.43
Menurut Ibnu „Arabi wujud ada yang azali dan ada yang hadits dalam
fushush al-hikam yaitu:
َٔ ,ِِّحقِ نَُِفس
َ الزَنى ُٔجُٕدُ ان
َ فَاٌَِ انُٕجُٕدَ يُُِّ َأ َزنِى َٔ غَيرُ َأ َزنِى ََُْٕٔ انحَادِ دُ فَا
44
ِحقِ بِصُٕرَ ِة انعَانَ ِى انثَابِج
َ غَيرُ َأ َزنِى ُٔجُٕ ُد ان
“Wujud itu ada yang azali dan ada pula yang hadits (tidak
azali) yang azali adanya Tuhan bagi diri-Nya sendiri, sedang hadits
(tidak azali) adanya wujud Tuhan dengan bentuk alam yang mantap
(tetap).”
Menurut Ibnu „Arabi juga mengatakn bahwa Tuhan dalam
esensinya memberikan wujud kepada alam, maka dinisbahkanlah wujud itu
kepadanya (sehingga disebut wujud alam)45
43
Ibid., h. 176
44
Ibnu „Arabi, Fushush al-Hikam,(Bayrut: Darrul Kitab, t.t), h. 204
45
Ibid., h. 53
39
46
Ibid., h. 179
40
3. Wahdat al-Wujud
Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata yaitu
wahda dan al-wujud, wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan,
sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat al-wujud berarti
kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang
bermacam-macam. Dikalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah
sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih
kecil. Selain itu kata al-wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan
sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, subtansi (hakikat) dan
forma(bentuk), antara yang nampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan
Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.48
Pengertian wahdat al-wujud yang terakhir itulah yang selanjutnya
digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada
hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution lebih lanjut
menjelaskan paham ini dengan mengatakan:
Bahwa dalam paham wahdat al-wujud, nasut yang ada dalam hulul
diubah menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq (Tuhan). Khaliq
dan haqq adalah dua aspek bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut
khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haqq. Kata-kata khalq dan
haqq ini merupakan padanan kata al-„arad (accident) dan al-jauhar
(subtance) dan alzahir (lahir,luar,nampak), dan al-bathin(dalam, tidak
tampak).49
47
A.E.Affifi, Filsafat Mistis Ibnu „Arabi,Terj. dari A Mystical Philosopi of Muhyiddin Ibn
„Arabi, oleh Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman,...h.13-14
48
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), cet. ke-1,
h.247
49
Ibid., h. 248
41
50
Setephen Hirtenstein,Dari Keragaman Ke Kesatuan Wujud Ajaran dan Kehidupan
Spiritual Syaikh Al-Akbar Ibn „Arabi, Terj. dari The Unlimited Mercifier: The Spiritual Life and
Thought of Ibn Arabi, oleh Tri Wibowo Budi Santoso, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001),cet. ke-1, h. 24
42
itulah alam dipandang sebagai cermin yang esensinya telah terdapat pada
sifat-sifat tuhan.51
Dan selanjutnya paham ini membawa kepada timbulnya paham bahwa
antara makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan) sebenarnya satu kesatuan
dari wujud Tuhan, dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu,
sedangkan wujud makhluk hanya bayangan atau foto copy dari wujud
Tuhan. Sedang faham ini dibangun dari suatu dasar pemikiran bahwa Allah
sebagai apa yang diterangkan dalam al-hulul, yaitu ingin melihat diri-Nya di
luar diri-Nya, dan oleh karena itu dijadikan-Nya alam ini. Dengan demikian
alam ini merupakan cerminan bagi Allah. Pada saat Ia ingin melihat diri-
Nya, Ia cukup dengan melihat alam ini. Pada benda-benda yang ada di alam
ini Tuhan dapat melihat diri-Nya, karena pada benda-benda alam ini
terdapat sifat-sifat Tuha, dan dari sinilah timbul paham kesatuan. Faham ini
juga mengatakan bahwa yang ada di alam ini kelihatannya banyak tetapi
sebenarnya satu. Hal ini tak ubahnya seperti orang yang melihat dirinya
dalam beberap cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Di dalam tiap
cermin ia lihat dirinya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya dirinya hanya
satu.
Berdasarkan ungkapan di atas maka dapat dikatakan bahwa paham Wahdad
al-Wujud itu tidak akan menggangu keimanan, sebagaiman yang Allah firmankan
dalam al-Qur‟an, yang di dalamnya akan dijumpai ayat-ayat yang memberikan
petunjuk bahwa Tuhan memiliki unsur zahir dan batin sebagaiman dikemukakan
faham Wahdad al-Wujud itu. Seperti dalam al-Qur‟an surat al-Hadid ayat 3.
“Dialah yang awal dan yang akhir yang zahir dan yang batin, dan
Dia maha mengetahui segala sesuatu.
51
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 1997), Cet. ke-1, h. 203
43
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah, dan Allah
dialah yang maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi maha terpuji. (QS.
Fathir: 15)53
Kata al-awwal pada surat al-Hadid ayat 3 di atas diartikan yang telah ada
sebelum segala sesuatu ada, dan al-akhir ialah yang tetap ada setelah segala
sesuatu musnah. “yang Zahir” juga artinya yang nyata adanya karena banyak
bukti-buktinya dan “Yang Batin” ialah yang tak dapat digambarkan hakikat zat-
Nya oleh akal.
Namun dalam pandangan sufi bahwa yang dimaksud dengan yang zahir
adalah sifat-sifat Allah yang nampak, sedangkan yang batin adalah zat-Nya.
Manusia dianggap mempunyai kedua unsur tersebut karena manusia berasal dari
pancaran Tuhan, sehingga antara manusia dengan Tuhan pada hakikatnya satu
wujud.
52
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2002),
h. 414
53
Ibid., h. 437
44
Adapun yang lahir dan batin itu merupakan nikmat yang dianugrahkan
Tuhan kepada manusia. Ayat yang demikian itu jelas bahwa pada manusia juga
ada unsur lahir dan batin itu55.
Sebagai pokok persoalan Wahdad Al-Wujud adalah yang sebenarnya berhak
mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. Dan wujud selain Tuhan adalah
wujud bayangan. Pemikiran filsafat demikian berkembang berkembang dan
membias pada konsep Insan kamil atau manusia sempurna. Yang dimaksud
manusia sempurna (insan kamil).
Menurut Abdul Karim Al-Jili (wafat 1428 M) insan kamil adalah “manusia
cerminan Tuhan atau manusia kopi Tuhan”. Insan kamil adalah manusia yang
sempurna. Adapun yang dimaksud dengan manusia sempurna adalah sempurna
dalam hidupnya. Seseorang dianggap sempurna dalam hidupnya apabila
memenuhi keriteriakriteria tertentu.
Oleh sebab itu manusia dikatakan insan kamil adalah manusia yang
memiliki sifat-sifat Tuhan dan adapun manusia yang memiliki sifat-sifat Tuhan
menurut umat Islam sepakat bahwa di antara manusia yang memiliki sifat-sifat
Tuhan adalah Nabi Muhammad saw, karena Nabi Muhammad adalah manusia
yang telah mencapai derajat kesempurnaan dalam hidupnya. Selama hayatnya,
segenap kehidupannya beliau menjadi tumpuan perhatian masyarakat, karena
54
Ibid., h. 415
55
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1996), cet ke-1, h.
252
45
segala sifat terpuji terhimpun dalam dirinya, bahkan beliau merupakan lautan budi
yang tidak pernah kering airnya.
Wahdat al-wujud yang biasa kita terjemahkan dengan Kesatuan Wujud.
Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa rumusan pemikiran ini mengandung
kedalaman, kejernihan dan kehalusan yang tak tertandingi. Kesatuan ini tidak
dapat begitu saja disejajarkan dengan kepercayaan kepada Tuhan Yang Esa
sebagaimana dianut agama-agama Barat, karena ini adalah suatu rumusan tentang
prinsip yang sesuai dengan pemahaman khusus. Kepercayaan kepada Tuhan ini
seringkali mengesampingkan formulasi lainnya, seperti doktrin non-teistik dari
ajaran Budha, dan di sisi lain, merupakan perinsip absolut yang all-inclusive,
meliputi semua kepercayaan dan doktrin. Karena tanpa batasan dan diluar
pertentangan, perinsip ini seperti air yang merawat semua makhluk tanpa kecuali,
tanpa membeda-bedakan spesies atau genus, sesuai dengan kebutuhan mereka.56
Doktrin ini dikaitkan dengan doktrin Ibnu Arabi dan alirannya. Doktrin ini
walupun disandarkan kepada Ibnu Arabi, dalm realitanya, ia merupakan doktrin
fundamental dan sangat penting dalam seluruh aliran tasawuf. Apa yang
dilakukan adalah tanggapan terhadap kebutuhan pada zamannya dengan
menuliskannya dan membuatnya semakin jelas. Sebelum Ibnu Arabi, doktrin ini
diajarkan secara lisan dan sintesis dengan sebuah metode menggelobalkan gaya
kehidupan yang menyeluruh (utuh). Doktrin Wahdat Al-wujud yang sering
disalahtafsirkan dengan pengertian sebuah kontinuitas (kelanjutan) atau kesamaan
substansi antara alam dan Tuhan, yakni bahwa alam adalah Tuhan yang samar,
atau sebagai seekor ular yang dipotong-potong yang harus disatukan kembali.57
Paham Wahdat al-Wujud diidentikkan dengan paham pantheistic oleh
orientalis. Mereka menafsirkan dari peryataan Ibnu Arabi dalam Al-Futuhat:
56
Setephen Hirtenstein,Dari Keragaman Ke Kesatuan Wujud Ajaran dan Kehidupan
Spiritual Syaikh Al-Akbar Ibn „Arabi, Terj.dari The Unlimited Mercifier: The Spiritual Life and
Thought of Ibn Arabi, oleh Tri Wibowo Budi Santoso, ... h. 25
57
Abdurrahman Abdul Khalik, dan Ihsan Ilahi Zhahir, M.A, Pemikiran sufisme di Bawah
Bayang-Bayang Fata morgana, ( ttp. : Amzah, 2000), Cet- ke.1, h. 18-19
46
58
Setephen Hirtenstein,Dari Keragaman Ke Kesatuan Wujud Ajaran dan Kehidupan
Spiritual Syaikh Al-Akbar Ibn „Arabi, Terj.dari The Unlimited Mercifier: The Spiritual Life and
Thought of Ibn Arabi, oleh Tri Wibowo Budi Santoso,...h.26
47
شِٓدََْا َُفُْٕسََُا
َ شِٓدََْا َُفُ ْٕسََُا – َٔاِذَا
َ ُِخَهقَ األَشْيَاءَ ََُْٕٔ عَيَُْٓا – اِذَا شَِٓدََْا
َ ٍَْسُبْحَاٌَ ي
َُّشِٓدََْا َُفُ ْٕس
َ
“Maha suci Allah yang menciptakan segala sesuatu dari dzatiyah,
sehingga apabila kami melihat-Nya berarti kami melihat diri kami, dan
apabila kami melihat diri kami juga melihat dirinya”.59
59
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (ttp,: Amzah, 2005),
Cet. Ke-1, h. 278-279
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
B. Metode Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah deskriftif kualitatif dengan metode deskriptif
yaitu suatu cara yang digunakan untuk membahas objek penelitian secara apa
adanya berdasarkan data-data yang diperoleh.1 Adapun teknik deskriptif yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Dengan analisis
kualitatif akan diperoleh gambaran sistematik mengenai isi suatu dokumen.
Dokumen tersebut diteliti isinya kemudian diklasifikasikan menurut kriteria
atau pola tertentu. Yang hendak dicapai dalam analisis ini adalah menjelaskan
tentang nilai-nilai keimanan dalam konsep wahdat al-wujud.
C. Instrumen Penelitian
Kedudukan penelitian dalam penelitian kualitatif adalah sebagai
instrumen. Artinya dalam penelitian ini, peneliti sendiri yang melakukan
penafsiran nilai-nilai pendidikan keimanan. Peneliti juga merupakan
1
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, ( Bandung: Remaja Karya, 2002),
h. 163
48
49
D. Analisis Data
Analisis dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat penelitian
berlangsung, dan setelah pengumpulan data dalam waktu tertentu Miles dan
Huberman dalam Sugiyono mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data
kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus- menerus
sampai tuntas sehingga datanya sudah jenuh. Aktifitas dalam analisis data
yaitu
1. Data Reduction ( Reduksi data )
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting di cari tema dan polanya. Dengan
demikian data yang sudah di reduksi akan menghasilakan gambar yang
jelas. Dan mempermudah peneliti mengumpulkan data selanjutnya, dan
mencarinya bila diperlukan. 3
2. Data Display ( Peyajian Data )
Dalam penelitian kualitatif penyajian data bisa dilakukan dalam
bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, Flowchart dan
sejenisnya. Yang paling sering digunakan untuk penyajian data penelitian
kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Miles dan Huberman juga
mengatakan “dalam melakukan display data selain dengan teks yang naratif
2
Ibid., h.121
3
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan Rnd, ( Bandung : Alfabeta,
2008 ), h. 247.
50
dapat juga data berupa, grafik matriks, netwoks ( jejaring kerja ) dan
Chart.”4
3. Conclusion Drawing / Verication
Langkah ketiga yang dilakukan Miles dan Huberman adalah penarikan
kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal masih bersifat sementara dan
akan berubah jika tidak ada bukti-bukti yang kuat yang valid dan konsisten
saat peneliti kembali kelapangan pengumpulan data berikutnya tetapi
apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung dengan
data-data yang valid dan konsisten saat peneliti kembali, maka kesimpulan
yang dikemukakan kesimpulan yang kredibel. Kesimpulan data berupa
hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori. 5
Komponen dalam analisis data ( interaktif model ) dapat digambarkan
sebagai brikut :
4
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif : Pemahaman Filosofis dan
Metodologis ke Arah Penguasaan Metode Aplikasi, (Jakarta : PT. Raja Grafind Persada, 2003),
cet. 2, h.70
5
Sugiyono, op. cit, h. 252
51
6
Agus S. Eko, Prospek Metode Analisis isi ( conten analisis ) dalam penelitian media
arsitektur (http : // www. ar . itb. ac. Id), di akses pada tanggal 10 Agustus 2012
7
Burhan Bungin, Conten Analisis dan Group Discussion dalam Penelitian Sosial,
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), h. 172.
8
Ibid., h. 174.
52
9
Lexy Moleong, Op.cit., h. 103
53
10
Lexy Moleong, Op.cit., h. 92.
BAB IV
PEMBAHASAN
1
Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung:
Ankasa, 2008), Cet. ke-1, h. 515
2
A.E.Affifi, Filsafat Mistis Ibnu „Arabi,Terj. dari A Mystical Philosopi of Muhyiddin Ibn
„Arabi, oleh Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995), Cet. ke-2, h.
1
54
55
H/1172 M, keluarga Ibnu „Arabi pindah ke Seville, berkat kebaikan hati Abu
yakub yusuf, penguasa al-Muwahhidun, keluarga Ibnu „Arabi diberi jaminan
tempat tinggal di bawah rezim baru itu dan ayahnya, Ali Ibn Arabi diberi tugas
sebagai penasihat militer penguasa itu. Di Seville, Ibnu „Arabi menerima
pendidikan formalnya. Di kota pusat ilmu pengetahuan itu, di bawah
bimbingan guru-guru ilmu tradisional, ia mempelajari Al-qur‟an dan tafsir,
hadits, fikih, teologi, filsafat, skolastik, tata bahasa dan komposisi bahasa Arab.
Seville yang saat itu merupakan pusat sufi Spanyol, dan selama 30 tahun
dia di Seville, dia banyak belajar dari ulama-ulama dalam mempelajari
tasawuf.3dan karena keberhasilannya dalam pendidikan Ibnu „Arabi di
tugaskan sebagai Sekretaris Gubernur Seville, pada periode itu, ia menikahi
seorang perempuan muda yang saleh yang bernama Maryam. Suasana
kehidupan guru-guru sufi dan kesertaan istrinya itu dalam menempuh jalan sufi
adalah faktor kondusif yang mempercepat pembentukan diri Ibnu „Arabi
menjadi seorang sufi. Seperti diceritakannya sendiri, ia memasuki jalan sufi
(tarekat) secara formal pada 580 H/1184 M saat berusia dua puluh tahun.4
Namun setelah beliau selesai di Seville, beliau pindah ke Tunisia di tahun
1194, dan disana ia masuk aliran sufi.5 Sampai ia berumur 38 yakni pada tahun
598/1201, Ibnu „Arabi berangkat menuju Timur, sebagian untuk melaksanakan
Haji seperti kebiasan kebanyakan lelaki saleh di Barat, tetapi bisa jadi
kepergian Ibnu „Arabi ke Timur dikarenakan pada saat itu Spanyol dan seluruh
Barat merupakan pusat kekacauan politik terbesar. Disamping itu, Ibnu „Arabi
adalah seorang sufi yang tidak disenangi oleh theologi Barat dan kerajaan-
kerajaan Spanyol dan Afrika Utara. Andai saja ia tetap berada di Spanyol, Ibnu
„Arabi mungkin mengalami nasib yang sama seperti Ibnu Qasi (kepala Sekte
Muridin) yang dibunuh tahun 546, atau seperti nasibnya Ibnu Barrajan dan
3
Ibid., h. 2
4
Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf,... h. 516
5
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1996), Cet. ke-1, h.
253
56
Ibnu „Arif, yang dilaporkan mati diracuni oleh Gubernur Afrika Utara yaitu
„Ali bin Yusuf, setelah dipenjara bertahun-tahun.
Kemudian pada tahun 589/1202 Ibnu „Arabi berada di Mesir bersama
murid dan pembantunya „Abdullah al-Habashi. Beliau menetap disana untuk
jangka waktu tertentu dan banyak percobaan yang dilakukan oleh orang-orang
Mesir untuk dapat membunuh Ibnu „Arabi, akan tetapi beliau lolos dari
percobaan pembunuhan yang dilakukan orang-orang mesir karena mendapat
pertolongan dan perlindungan dari seorang Syekh berpengaruh yang menjadi
penduduk Mesir pada saat itu. Kemudian dari Mesir, beliau berkelana luas ke
Timur, mengunjungi Jerussalem, Mekkah, dimana beliau mengajar untuk
jangka waktu tertentu, Hejaz, yang dikunjunginya dua kali di tahun 601 dan
608 H, juga Aleppo dan Asia Kecil. Dimana saja beliau singgah selalu
menerima penghormatan besar dan diberi banyak hadiah, yang kemudian selalu
diberikannya kepada fakir miskin. Akhirnya beliau menetap di Damaskus
hingga wafatnya pada tahun 638 dan dimakamkan di kaki gunung Qasiyun di
tempat kuburan pribadi Kadi Muhyid-Din bin az-Zaki.6
B. Karya-karya Ibnu ‘Arabi
Selain sebagai sufi, Ibnu „Arabi juga dikenal sebagai penulis yang
produktif. Jumlah buku yang dikarangnya menurut perhitungan mencapai lebih
dari 200, diantaranya ada yang hanya 10 halaman, tetapi ada pula yang
merupakan ensiklopedia tentang sufisme seperti kitab Al-Futuhat al-
Makkiyyah. Disamping buku ini, bukunya yang termasyhur ialah Fusus al-
Hikam yang berisi tentang tasawuf.7
Namun menurut Brockelman karya Ibnu „Arabi kira-kira masih ada 150.
Yang berasal dari katalog perpustakaan kerajaan Mesir di Kairo saja, terdapat
kira-kira 90 dari sisa karyanya yang masih ada. Ibnu „Arabi sendiri
diperkirakan pernah menyebut 289 tulisan di dalam sebuah catatan yang
tulisannya tahun 632/1234, Jami mengatakan bahwa Ibnu „Arabi menulis lebih
6
A.E.Affifi, Filsafat Mistis Ibnu „Arabi,Terj. dari A Mystical Philosopi of Muhyiddin Ibn
„Arabi, oleh Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman,...h. 2
7
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf,...h. 253
57
dari 500 buku, termasuk Fusus dan Futuhat yang sangat terkenal, dan Sha‟rani
mengurangi jumlah yang disebutkan Jami sebanyak 100 buah.8
Sebagaimana pendapat diatas belum ada yang pasti mengenai jumlah
karya-karya yang dikarang oleh Ibnu „Arabi apakah jumlahnya itu 200, 289
atau bahkan ada yang mengatakan bahwa karya-karya Ibnu „Arabi mencapai
500 buku.
Namun menurut A.E.Affifi, Filsafat Mistis Ibnu „Arabi,Terj. dari A
Mystical Philosopi of Muhyiddin Ibn „Arabi, oleh Sjahrir Mawi dan Nandi
Rahman, mengatakan bahwa sebagian besar buku-buku Ibnu „Arabi ditulis di
Timur, terutama di Mekkah dan Damaskus.
Adapun karya-karya Ibnu „Arabi yang terkenal menurut H. A. Mustofa
adalah buku dalam bidang tasawuf yang berjudul Al-Futuhat al-Makkiyah
(Pengetahuan-pengetahuan yang dibukukan di Mekkah) dengan tersusun
sebanyak dua belas jiliddan Fusus al-Hikam (Permata-permata Hikmat).9
Dari situlah pemikiran-pemikiran tasawufnya muncul seperti yang
dijelaskan dalam Fusus al-Hikam wajah sebenarnya hanya satu, tetapi kalau
cermin diperbanyak wajah kelihatannya banyak pula. Atau sebagai kata
parmenides, yang ada itu satu, yang banyak hanyalah ilusi.10
Oleh karena itu Ibnu Arabi disebut sebagai pendiri paham wahdat al-
wujud walaupun dalam tulisan-tulisannya tidak dijumpai kata wahdat al-wujud
namun dalam karya tulisnya banyak dijumpai ungkapan-ungkapan yang
mengandung paham wahdat al-wujud seperti dalam kitab Al-Futuhat al-
Makkiyyah (karya ensiklopedis besar tentang tasawuf) dan Fushush al-Hikam.
Sebagai contoh yang dikutip oleh Abdul Aziz Dahlan yang berasala darinya
yaitu :
“Semua adalah milik Allah dan dengan Allah; bahkan semua itu adalah
Allah”
8
A.E.Affifi, Op. cit., h. 3
9
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), Cet. ke-1, h. 278
10
Ibid., h. 278-279
58
“Maka tidak ada dalam wujud kecuali Allah dan tidak ada yang mengenal
Allah kecuali Allah.11
Menurut Hamka, Ibnu „Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah
sampai pada puncak wahdat al-wujud. Doktrin wahdat al-wujud Ibnu „Arabi
merupakan lanjutan faham ittihadAbu Yazid al-Bisthami,dan hulul yang
menjadi pendirian al-Hallaj.12 Ibnu „Arabi adalah seorang sufi tetapi karena
mengajarkan doktrin wahdat al-wujud,termasuk seorang sufi yang mendapat
kecaman yang keras dari para ulama ortodoks. Sejak masa mudanya, Ibnu
„Arabi telah dikecam dan di musuhi, dan keselamatan jiwanya terancam.
Namun sufi ini berhasil mencari simpati banyak orang dan beberapa penguasa
sehingga ia terhindar dari pembunuhan.
11
Abdul Aziz Dahlan, Penilaian Teologis atas Paham Wahdat al-Wujud
(KesatuanWujud) Tuhan-Alam- Manusia dalam Tasawuf Syamsuddin Sumatrani, (Padang: IAIN-
IB Press, 1999), Cet. ke-1, h. 36
12
Moh Ardani, Akhlak –Tasawuf Nilai-nilai Akhlak / BudiPekerti dalam Ibadat dan
Tasawuf, (Jakarta: PT.Mitra Cahaya Utama, 2005), Cet. ke-2, h.220
13
Nata Abuddin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1996), Cet. ke-1,
h. 247
14
Setephen Hirtenstein, Dari Keragaman Ke Kesatuan Wujud Ajaran dan Kehidupan
Spiritual Syaikh Al-Akbar Ibn „Arabi, Terj. dari The Unlimited Mercifier: The Spiritual Life and
59
ُحقُ) لِاَنَه
َ حلَاجُ (اَناَ ال
َ اِّنَ االِ ْنسَاّنَ لَيْسَ ِب ُمسْ َتطَاعٍ اَّن يَقُولُ َكمَا قَالَ ال
ِص َغرِ عَقلِهِ الَيَستَطِيعُ اَّنْ يَعيَ ُكّلَ العَالَمِ كَاللَه
ِ ِل
Thought of Ibn Arabi, oleh Tri Wibowo Budi Santoso, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001),
cet. ke-1, h. 26
15
Mustofa A, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 1997), Cet. ke-1, h.247
16
Ibnu „Arabi, Fushush al-Hikam,(Bayrut: Darrul Kitab, t.t), h. 73
60
“Maka tidak ada dalam wujud kecuali Allah dan tidak ada
yang mengenal Allah kecuali Allah”.
berbeda seperti “tiada yang berwujud kecuali Allah saja” atau “tidak ada
dalam wujud kecuali Allah, dengan segala manifestasinya‟.demikian pula
17
Moh Ardani, Akhlak tasawuf “Nilai-Nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat dan
Tasawuf”, (Jakarta: CV. Karya Mulia, 2005), cet. ke-2, h. 220-221
18
Abdul Aziz Dahlan, Penilaian Teologis atas Paham Wahdat al-Wujud (KesatuanWujud)
Tuhan-Alam- Manusia dalam Tasawuf Syamsuddin Sumatrani, (Padang: IAIN-IB Press, 1999),
Cet. ke-1, h. 36-37
61
22
Abuddin Nata, Op.cit., h. 250
23
Ibid., h. 251
24
Moh Ardani, Akhlak Tasawuf “Nilai-nilai Akhlak/Budipekerti dalam Ibadat dan
Tasawuf”, (Jakarta: CV. Karya Mulia, 2005), cet. ke-2, h. 222
63
“Maka tidak ada dalam wujud kecuali Allah dan tidak ada yang
mengenal Allah kecuali Allah”.
25
Bey Arifin, Mengenal Tuhan, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, t.t), h. 30-31
64
bahwa Allah lah yang mengenal dirinya, manusia hanya makhluk Allah
yang tidak mempunyai daya dan upaya dan tak mampu untuk berfikir
untuk mengenal Allah. Maka berfikirlah atas apa yang diciptakan Allah
dan jangan memikirkan zat Allah karna akal manusia itu tak sanggup
mencapai-Nya.
Maka mengimani Allah itu dengan mengimani bahwa Allah lah
yang menciptakan alam raya ini dan wujud yang hakiki adalah Allah
SWT.
Keimananan kepada Allah memainkan peranan penting dalam
berbagai aspek kehidupan manusia. keimanan menjadi pemancar
kebaikan di dunia dan keselamatan di akhirat. Kadar keselamatan
manusia di akhirat berbanding lurus dengan kadar keyakinan dalam
keimanan. Begitu pula halnya dengan keridhaaan Allah di dunia dan
akhirat. Dunia adalah tempat penguji dan akhirat adalah tempat
pembalasan.26
Dengan demikian Ibnu „Arabi mengajarkan agar manusia mau
menyembah Allah Swt dan tidak perlu mempertanyakan zat Allah karna
yang mengenal Allah adalah Allah sendiri.
2. Tauhid Rububiyah
Rabb dalam bahasa Arab berasal dari kata rabba yang artinya:
mencipta, mengurus, mengatur, mendidik, merawat, menjaga,
memelihara, dan membina. Dengan kata lain pengakuan atau kesaksian
bahwa satu-satunya Tuhan yang mencipta, yang mengurus, yang
mengatur, yang mendidik, yang merawat, yang menjaga, yang
memelihara, yang membina kita dan alam ini adalah Allah SWT jadi
semuanya adalah milik Allah.”27 Sebagaiman yang tertuang dalam
ungkapan ibnu „Arabi yaitu;
26
Ahmad Bahjat, Terj. Muhammad Abdul Ghoffar E.M, Akulah Tuhanmu: Mengenal
Allah Risalah Baru Tauhid (Allah Fi al-Aqidah al-Islamiyah: Risalah Jadidah fi at-Tawhid),
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), cet. 1, h. 13
27
Umay M. Dja‟far Shiddieq, Ketika Manusia Telah Berjanji Kepada Allah, (Jakarta: al-
Ghuraba, 2008) Cet.1 h.49
65
3. Tauhid Uluhiyah
Kata kedua yang digunakan dalam dua kesaksian tersebut adalah
ilah artinya satu yaitu al-Ma‟bud yang disembah, yang abadi dan yang
diibadati. Jika menyakini hanya Allah satu-satunya Tuhan tempat
menghamba, mengabdi dan menyembah maka demikian itu disebut
Tauhid Uluhiyah.”29
Tauhid Uluhiyah ini sangat terkait dengan kesadaran manusia yang
menempatkan Allah SWT sebagai illah (Tuhan sebagai tempat mengabdi,
menghamba dan menyembah), merupakan pengakuan terhadap Allah
28
Ibnu „Arabi, Fushush al-Hikam,(Bayrut: Darrul Kitab, t.t), h. 73
29
Umay M. Dja‟far Shiddieq, op.cit., h.51
66
30
Harun Nasution, falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983),
Cet. ke- III, h. 92
31
Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitab Tauhid, (Yogyakarta: Universitas
Islam Indonesia, 2001) Cet-3 h.97-98
67
penyayang juga ada pada manusia seperti pengasih dan penyayang yang
tingkatannya berbedda dengan apa yang dimiki Allah swt. Yang sesuai
dengan ungkpapan Ibnu „Arabi
ُحلَاجُ (اَناَ الحَقُ) لِاَنَه
َ اِّنَ االِ ْنسَاّنَ لَيْسَ ِبمُسْ َتطَاعٍ اَّن يَقُولُ َكمَا قَالَ ال
ِص َغرِ عَقلِهِ الَيَستَطِيعُ اَّنْ يَعيَ ُكّلَ العَالَمِ كَاللَه
ِ ِل
“Sesungguhnya manusia tidak dapat berkata seperti kata al-
Hallaj “Saya adalah Al-Haq (Tuhan)” karena manusia itu
disebabkan oleh kekerdilan akalnya tidak mampu memuat seluruh
alam ini seperti Allah. Oleh karenanya ia adalah sebagian dari
Allah dan bukan Allah secara keseluruhan”.
Dengan demikian manusia hanya sebuah pancaran dan merupakan
bayangan atau potokopian dari Allah. Manusia tidak lah sama dengan
Allah tidak lah sama. Allah memiliki sifat pengasih dan penyayang,
manusia juga memilikinya tapi sifat pengasih dan penyayang yang
dimiliki Allah berbeda dengan Allah. Oleh karena itu manusia harus
mengimani sifat-sifat yang dimiliki Allah.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
68
69
2. paham wahdat al-wujud Ibnu ‘Arabi adalah paham yang timbul dari
pendapat-pendapat Ibnu ‘Arabi yang telah diungkapakn oleh para tokoh
Islam baik itu dari kalangan ulama, sufi, dan para pemikir Islam sehingga
banyak pendapat mengenai paham wahdat al-wujud Ibnu ‘Arabi.
B. Implikasi
Penelitian ini memiliki implikasi terhadap aspek lain yang relevan dan
memiliki hubungan positif. Implikasi tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1. Implikasi teoritis
a. Membuka wawasan akan beragamnya paham wahdat al-wujud yang
dapat digunakan sebagai materi ajar.
b. Membuka peluang dilakukannya penelitian-penelitian tentang nilai
pendidikan Islam.
2. Implikasi paedagogis
Wahdat al-wujud digunakan sebagai media pembelajaran nilai-nilai
pendidikan keimanan.
3. Implikasi praktis
a. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
penelitian pendidikan, sehingga peneliti lain akan termotivasi untuk
melakukan penelitian yang nantinya dapat diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
b. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk lebih
mencermati apa maksud dari paham wahdat al-wujud.
C. Saran .
1. Bagi para peserta didik. Hikmah yang dapat diambil dari nilai-nilai
Pendidikan keimanan yang terkandung paham wahdat al-wujud Ibnu
‘Arabi. Paham ini banyak memberikan kontribusi kepada seluruh peserta
70
71
72