Anda di halaman 1dari 6

1.

Jauh sebelum Republik ini lahir, pola pendelegasian wewenang (desentralisasi) sudah
dipraktekan. Dalam naskah penyusunan Undang-Undang Dasar terlihat pertimbangan-
pertimbangan yang diajukan para pendiri Republik bahwa mereka sepakat melaksanakan
kebijakan desentralisasi. Dari mulai Indonesia merdeka hingga kini, diberlakukan
kebijakan desentralisasi dalam semua undang-undang tentang pemerintahan daerah
termasuk UU No. 1 Tahun 1945. Sejalan dengan itu, maka secara filosofis, tujuan utama
yang ingin dicapai melalui penerapan kebijakan desentralisasi yaitu tujuan demokrasi dan
tujuan kesejahteraan. Tujuan demokrasi akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagai
instrumen pendidikan politik di tingkat lokal yang secara agregat akan menyumbang
terhadap pendidikan politik secara nasional sebagai landasan utama dalam menciptakan
kesatuan dan persatuan bangsa dan negara serta mempercepat terwujudnya masyarakat
madani. Tujuan kesejahteraan mengisyaratkan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif, efisien dan
ekonomis. Sistem pemerintahan daerah berdasarkan undang-undang tersebut adalah
dibentuknya Komite Nasional Daerah pada setiap tingkatan daerah otonom terkecuali di
tingkat provinsi. Komite tersebut bertindak selaku badan legislatif dan anggota-anggota
diangkat oleh Pemerintah Pusat. Untuk menjalankan roda pemerintahan daerah, Komite
memilih lima orang dari anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutif yang
dipimpin Kepala Daerah. Kepala Daerah menjalankan dua fungsi utamanya yakni sebagai
Kepala Daerah Otonom dan sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah tersebut. Sistem ini
mencerminkan kehendak Pemerintah untuk menerapkan desentralisasi dan dekonsentrasi
dalam sistem pemerintahan daerah, namun penekanannya lebih pada prinsip
dekonsentrasi. Penyelenggaraan otonomi daerah dalam rangka desentralisasi merupakan
suatu pekerjaan yang kompleks dan berkesinambungan. Pada tahap awal desentralisasi
dilakukan transfer berbagai jenis kewenangan dari pemerintah pusat kepada berbagai
institusi terutama institusi pemerintahan subnasional. Setelah transfer kewenangan
kemudian akan diikuti dengan transfer pembiayaan, dokumen-dokumen serta sarana dan
prasarana. Apabila tahap-tahap tersebut selesai dilalui, bukan berarti pekerjaan telah
selesai, justru muncul serangkaian tantangan berkaitan dengan kemampuan dari institusi
yang memperoleh transfer kewenangan untuk mengelolanya secara baik dan benar. Dan
jika kita cermati, dalam UU No.1 Tahun 1945 tersebut tidak memberi batas yang tegas
antara wewenang daerah berdasarkan otonomi dan wewenang yang dijalankan oleh
Kepala Daerah dalam rangka dekonsentrasi.

2. Hubungan keuangan Pusat dan Daerah menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
dapat kita lihat dari pembiayaan yang bersumber dari Pemerintah Pusat (APBN). Dimana
pembiayaan ini dimaksudkan untuk:
a) Melaksanakan proyek-proyek pembangunan tahunan (APBN) sesuai dengan Repelita
b) Mencapai pemerataan pembangunan antardaerah
c) Mencapai tujuan-tujuan pembangunan di sektor-sektor atau kegiatan-kegiatan tertentu.
Mekanisme nya disalurkan dalam bentuk:
a) Dana DIP, yakni dana dari pemerintah pusat yang dialokasikan secara lansgung ke
berbagai sektor ekonomi sesuai dengan prioritas pembangunan.
b) Dana non-DIP, yakni diberikan untuk mencapai keseimbangan pembangunan
antarwilayah serta mendorong usaha-usaha pembangunan tertentu.

3. Penyelenggaraan pelayanan umum, menurut Lembaga Administrasi Negara dapat


dilakukan dengan berbagai macam pola antara lain sebagai berikut:
1) Pola pelayanan fungsional, yakni pola pelayanan umum yang diberikan oleh suatu instansi
pemerintah sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya.
2) Pola pelayanan satu pintu, yakni pola pelayanan umum yang diberikan secara tunggal oleh suatu
instansi pemerintah berdasarkan pelimpahan wewenang dari instansi pemerintah terkaitt lainnya.
3) Pola pelayanan satu atap, yakni pola pelayanan umum yang dilakukan secara terpadu pada satu
tempat oleh beberapa instansi pemerintah yang bersangkutan sesuai kewenanganya masing-
masing.
Sedangkan, kriteria pelayanan publik yang baik menurut Lemabaga Administrasi Negara, antara
lain sebagai berikut:
1) Kejelasan dan kepastian, kriteria ini mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian
mengenai:
a) Prosedur/tata cara pelayanan
b) Persyaratan pelayanan, baik peryaratan teknis maupun persyaratan administrasif
c) Unit kerja/atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan
pelayanan
d) Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya
e) Jadwal waktu penyelesaian pelayanan
2) Keamanan, yakni hasil dari pelayanan dapat memberikan rasa aman, kenyamanan dan
kepastian hukum bagi masyarakat.
3) Keterbukaan, hal-hal yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan
secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta
maupun tidak.
4) Efisiensi, persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung dengan
pencapain sasaran pelayanan dan dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan.
5) Ekonomis, yakni pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan
memperhatikan nilai barang dan jasa pelayanan masyarakat dan tidka menuntut biaya
yang terlalu tinggi di luar kewajaran. Kemudian kondisi dan kemampuan masyarakat
untuk membayar dan terakhir ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6) Keadilan yang merata, jangkauan pelayanan harus diusahakan seluas mungkin dengan
ditribusi yang mertaa dan adil untuk seluruh masyarakat.
7) Ketepatan waktu, yakni pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam
kurun waktu yang telah ditentukan.
8) Kuantitatif, yakni jumlah warga yang meminta pelayanan, perbandingan periode
pertama dengan periode berikutnya menunjukkan adanya peningkatan atau tidak,
kemudian lamanya waktu pemberian pelayanan sesuai dengan permintaan penggunaan
perangkat-perangkat modern untuk mempercepai dan mempermudah pelayanan serta
frekuensi keluhan dan pujian dari penerima pelayanan terhadap pelayanan yang
diberikan oleh unit kerja pelayanan yang bersangkutan.

4. Pengawasan yang dilakukan oleh Pusat berdasarkan produk hukum dan kebijakan Daerah
Pengawan terhadap produk hukum dan kebijakan Daerah dilakukan secara represif.
Pengawasan represif merupakan pengawasan yang dilakukan terhadap kebijakan yang
telah ditetapkan daerah baik berupa Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah,
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun Keputusan Pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Pihak yang
dapat melakukan pengawasan terhadap produk hukum dan kebijakan Daerah adalah
DPRD, Menteri Dalam Negeri dan Gubernur. Pemeritah Pusat dalam hal ini Menteri
Dalam Negeri dapat melaksanakan pengawasan terhadap produk hukum dan kebijakan
secara represif yang dibantu oleh tim yang anggotanya terdiri dari unsur kementrian atau
lembaga pemerintah Non-kementrian dan unsur lain yang sesuai dnegan kebutuhan.
Dalam melakukan pengawasan repreif, Mendagri dapat mengambil langkah-langkah
berupa saran, pertimbangan, koreksi serta penyempurnaan dan pada tingkat terakhir dapat
membatalkan berlakunya kebijakan daerah. Dalam pelaksanaannya, pemerintah dapat
melimpahkan pengawasan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah terhadap peraturan
daerah dan keputusan Kepala Daerah serta keputusan DPRD dan keputusan pimpian
DPRD Kabupaten/Kota setelah berkoordinasi dengan instansi terkait. Dalam melakukan
pengawasan represif, Gubernur dibantu oleh tim yang anggotanya terdiri dari unsur
pemerintah daerah provinsi dan unsur lain sesuai dengan kebutuhan dan Gubernur selaku
wakil pemeirntah dapat mengambil langkah-langkah berupa saran, pertimbangan, koreksi
serta penyenpurnaan dan pada tingkat terakhir dapat membatalkan berlakunya kebijakan
daerah Kabupaten/Kota. Pengawasan yang dilimpahkan kepada Gubernur dilaporkan
kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
Pengawasan oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Menteru Dalam Negeri dapat
melaksanakan pengawasan terhadap produk hukum dan kebijakan secara represif yang
dibantu oleh tim yang anggotanya terdiri dari unsur kementrian atau lembaga pemerintah
Non-Kementrian dan unsur lain yang sesuai dengan kebutuhan. Dalam melaksanakan
pengawasan represif, Menteri Dalam Negeri dapat mengambil langkah-langkah berupa
saran, pertimbangan, koreksi serta penyempurnaan dan pada tingkat akhir dapat
membatalkan berlakunya kebijakan daerah. Dalam melaksanakan pengawasan represif,
gubernur dibantu oleh tim yang anggotanya terdiri dari unsur pmerintah daerah provinsi
dan unsur lain ssuai dengan kebutuhan. Dalam rangka pengawasan represif, gubernur
selaku wakil pemerintah dapat mengambil langkah-langkah berupa saran, pertimbangam,
koreksi serta penyempurnaan dan pada tingkat terakhir dapat membatalkan berlakunya
kebijakan daerah kabupaten/kota. Pengawasan yang dilimpahkan kepada gubernur
dilaporkan kepada presiden melalui menteri dalam negeri.

Anda mungkin juga menyukai