Anda di halaman 1dari 51

EFEKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium

sativum) DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN Staphylococcus


mutans SECARA IN VITRO BERDASARKAN STUDI REVIEW JURNAL
PERIODE 2015-2020

PROPOSAL TUGAS AKHIR

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :
     AISYAH RACHMAWATI
17700071

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

2020

i
HALAMAN PERSETUJUAN

EFEKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium

sativum) DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN Staphylococcus

mutans SECARA IN VITRO BERDASARKAN STUDI REVIEW JURNAL

PERIODE 2015-2020

PROPOSAL TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Salah Satu Syarat Guna

Meraih Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh:

AISYAH RACHMAWATI

NPM : 17700071

Menyetujui untuk diuji pada tanggal :

Pembimbing

(dr. Akmarawita Kadir, M.Kes)

1
2

HALAMAN PENGESAHAN

PROPOSAL TUGAS AKHIR

EFEKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium

sativum) DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN Staphylococcus

mutans SECARA IN VITRO BERDASARKAN STUDI REVIEW JURNAL

PERIODE 2015-2020

Oleh:

AISYAH RACHMAWATI

NPM : 17700071

Telah diuji pada

Hari : .......................................

Tanggal : .......................................

Dan dinyatakan lulus oleh:

Penguji I/Pembimbing I, Penguji II,

(dr. Akmarawita Kadir, M.Kes) (Dr. Atik Sri Wulandari, SKM.,M.Kes)

NIK. : 02373 NIK : 93195

2
3

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberikan


berbagai kemudahan kepada penulis untuk menyelesaikan Skripsi dengan judul
“EFEKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium
sativum) DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN Staphylococcus mutans
SECARA IN VITRO BERDASARKAN STUDI REVIEW JURNAL PERIODE
2015-2020 ”.

Skripsi ini berhasil selesai karena dukungan dari berbagai pihak. Oleh
sebab itu pada kesempatan ini peneliti sampaikan terima kasih yang tak terhingga
kepada:
1. Prof. Dr. Suhartati, dr., MS, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Wijaya Kusuma Surabaya yang telah memberikan kesempatan pada penulis
menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Unversitas Wijaya Kusuma
Surabaya.
2. dr. Akmarawita Kadir, M.Kes sebagai pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan, serta dorongan dalam menyelesaikan
Proposal Skripsi ini.
3. Dr. Atik Sri Wulandari, SKM.,M.Kes. Sebagai penguji Proposal Skripsi
ini yang telah meluangkan waktunya untuk menguji demi perkembangan
dan perbaikan proposal skripsi ini.
4. Dyah Trusilowati, SH dan Agung Budi Purwanto, S.E selaku kedua orang
tua saya yang telah membesarkan, memberikan kasih sayang dan motivasi
serta doa yang tak henti-hentinya kepada penulis hingga saat ini.
5. Rizky Aryadana dan Mutia Arsya Aulia, kakak dan adik saya yang
senantiasa memberikan semangat dan dukungannya kepada penulis.
6. Dhinar, Alya, Rinda, Ega, Anes, dan juga sahabat-sahabat saya lainnya
yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Terimakasih atas waktu,
dukungan dan perhatian yang diberikan selama ini
.

3
4

Penulis menyadari bahwa penulisan Skripsi ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu peneliti mengharapkan segala masukan demi sempurnanya tulisan
ini.

Surabaya, Oktober 2020

Penulis

4
5

DAFTAR TABEL

Tabel G Diagram Alur Penelitian …………………………………………….. ........36

5
6

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.3 Reaksi Pembentukan Allicin .........…………………………………… 20


Gambar II.4 Zona Terang (Zona Hambat Bakteri ) ……………………………....... 22

DAFTAR ISI

6
7

Daftar Isi ……………………..……………………………………………………2

KATA PENGANTAR......................................................................................................3
DAFTAR TABEL............................................................................................................5
DAFTAR GAMBAR........................................................................................................6
BAB I...................................................................................................................................8
A. Latar Belakang........................................................................................................8
B. Rumusan Masalah................................................................................................12
C. Tujuan Penelitian..................................................................................................13
D. Manfaat Penelitian...............................................................................................13
BAB II................................................................................................................................16
A. Antimikroba dan Antibiotik..................................................................................16
B. Berdasarkan Daya Kerja.......................................................................................20
C. Streptococcus mutans..........................................................................................21
D. Bawang Putih.......................................................................................................24
E. Uji Aktivitas Bakteri..............................................................................................27
F. Ekstraksi...............................................................................................................32
BAB III...............................................................................................................................35
A. Kerangka Teori.................................................................................................35
B. Hipotesis Penelitian..........................................................................................37
BAB IV..............................................................................................................................38

BAB I

7
8

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tahun 1942 Selman Waksman dan rekan-rekannya mengenalkan

istilah antibiotik yang pertama kali digunakan dalam jurnal mikrobiologi

untuk mendeskripsikan berbagai zat hasil aktivitas mikroorganisme yang

bertentangan dengan pertumbuhan mikroorganisme lain dalam pengenceran

tinggi (Wang, et.al., 2017). Definisi ini menurut Sema, et.al. (2017)

mengecualikan zat yang membunuh bakteri tetapi bukan produk

mikroorganisme (hidrogen peroksida) termasuk antibakteri buatan

diantaranya adalah sulfonamida. Penggunaan istilah "antibiotik" sekarang ini

diterapkan pada obat-obatan yang teridentifikasi mampu membunuh atau

menghambat pertumbuhan bakteri melalui obat yang dihasilkan oleh

mikroorganisme atau bukan. Obat sebagai antimikroba digunakan sebagai

pengobatan dan pencegahan infeksi bakteri. Kadang-kadang istilah antibiotik

digunakan untuk merujuk pada zat apa pun yang digunakan melawan mikroba

dan identik dengan antimikroba.

Menurut Moris (2017), antibiotik digunakan untuk mengobati atau

mencegah infeksi bakteri, dan terkadang infeksi protozoa. Menurut Sing,

et.al., (2018) ketika infeksi diduga bertanggung jawab atas suatu penyakit,

tetapi belum teridentifikasi patogen yang bertanggung jawab, terapi

pemberian antibiotik spektrum luas dapat diberikan waktu beberapa hari

berdasarkan tanda dan gejala yang menunjukkan suatu infeksi. Menurut

8
9

Bojanic, et.al.,(2017), ketika mikroorganisme patogen yang bertanggung

jawab terhadap infeksi sudah diketahui atau telah diidentifikasi, terapi

definitif dapat dimulai. Ini biasanya melibatkan penggunaan antibiotik

spektrum sempit. Pilihan antibiotik yang diberikan juga akan didasarkan pada

biayanya. Identifikasi sangat penting karena dapat mengurangi biaya dan

toksisitas terapi antibiotik dan mengurangi kemungkinan munculnya

resistensi antimikroba (Sing, et.al.,2018).

Antibiotik merevolusi pengobatan di abad ke-20 sebagai salah satu

bentuk terapi yang paling sukses dalam pengobatan. Tetapi efisiensi

penggunaan antibiotik dinyatakan berpengaruh terhadap meningkatnya

jumlah patogen yang resisten antibiotik. Penggunaan antibiotik tanpa kontrol

dan jangka panjang berpotensi meningkatkan angka morbiditas bahkan

mortalitas serta biaya pengobatan. Oleh karena itu resistensi terhadap

antibiotik menurut Moris (2017) dianggap sebagai salah satu ancaman utama

kesehatan masyarakat global sehingga mendorong Organisasi Kesehatan

Dunia untuk mengklasifikasikan resistensi antimikroba sebagai "ancaman

serius bukan lagi prediksi untuk masa depan, itu terjadi sekarang di setiap

wilayah di dunia dan berpotensi untuk mempengaruhi siapa pun, dari segala

usia, di negara mana pun. Hal ini telah menyebabkan masalah yang meluas

sehingga mendorong sejumlah badan nasional dan internasional untuk

mengupayakan alternatif-alternatif melalui penelitian-penelitian biokimia

untuk memanfaatkan bahan lamiah (herbal) sehingga dapat melindungi

9
10

masyarakat akibat kemungkinan kerugian penggunaan antibiotik produksi

biokimia dalam terapi klinis (Jun Lin, et.al, 2015).

Streptococcus mutans (S.mutans) merupakan salah satu dari beberapa

bakteri bersifat patogen pada tubuh manusia. Menurut Delfani et.al (2017)

spesies bakteri ini menyerang area mulut yang diantaranya meliputi relung

seperti gigi, sulkus gingiva, lidah, pipi, palatum keras dan lunak, dan amandel

sebagai tempat kehidupan yang baik bagi mikroba. S.mutans merupakan

bakteri gram positif dan bakteri yang dienkapsulasi dan menghasilkan asam

serta dianggap sebagai polimer glukan ekstraseluler. S.mutans yang berkoloni

gigi dengan menciptakan homo-polimer glucan dari sukrosa melalui glucosyl

transferase (Ranganathan and Akhila, 2019). S.mutans dikenal sebagai

penyebab utama kerusakan gigi melalui terbentuknya karies gigi. Di seluruh

dunia dianggap paling kariogenik dari semua jenis streptokokus oral.

Patogenesis meninjukkan ketika populasi S.mutans mencapai 50% dari total

populasi bakteri, maka dapat menyebabkan kerusakan gigi (Delfani et.al,

2017).

Beberapa obat antibakteri yang teridentifikasi dan mampu

mengevaluasi jenis S. mutans yang sangat efektif diantaranya adalah

amoksisilin dan penisilin G terutama berkaitan dalam hal pembentukan

diameter maksimum zona hambatan pertumbuhan yang selanjutnya diikuti

oleh kloramfenikol. Terdapat sembilan obat yang ditemukan cukup efektif

terhadap tiga galur S. mutans yaitu, ofloxacin, doksisiklin, tetrasiklin,

klortetrasiklin, eritromisin, vankomisin, klindamisin, metisilin dan

10
11

gentamisin. Sedangkan yang termasuk tidak efektif melawan bakteri karena

tidak menunjukkan aktivitas penghambatan yaitu metronidazol, siprofloksasin

dan rifampisin (Pranay and Pundir, 2009). Walaupun sediaan obat antibiotik

terbukti telah ada yang memeiliki sensitivitas yang baik akan tetapi di sisi lain

memiliki dampak rsistensi terhadap bakteri jika penggunaannya tidak tepat.

Dengan demikian perlu diupayakan alternatif pengobatan dengan

memanfaatkan kandungan antibiotik yang alamiah bersumber dari tanaman

untuk mengurangi dapak resistensi tersebut.

Tanaman obat memiliki nilai khusus dan penting dalam status

kesehatan di masyarakat dalam hal perawatan dan pencegahan penyakit pada

manusia. Salah satu tanaman yang memiliki bahan aktif dan banyak

digunakan sebagai bahan obat herbal adalah bawang putih (Allium sativum).

Telah diakui tidak hanya sebagai rempah tetapi juga sebagai zat yang

memberikan kontrol pada mikroorganisme. Penelitian terhadap ekstrak

bawang putih memiliki aktivitas antimikroba spektrum luas terhadap berbagai

jenis bakteri dan jamur sebagai pengaruh komponen aktif bawang putih

(Allium sativum) yaitu allicin telah diisolasi dan dikarakterisasi. Banyak dari

mikroorganisme secara signifikan rentan terhadap ekstrak bawang putih

dalam uji klinis biokimia sehingga menjadikan bawang putih sebagai agen

terapi spektrum luas terbaik. (Adetumbi and Lau, 1983).

Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa bawang putih

mampu menghambat bakteri, baik bakteri Gram positif maupun Gram negatif.

Penelitian Prihandani, dkk. (2015) menunjukkan bahwa bawang putih efektif

11
12

menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus, E.coli, S. typhimurium dan P.

aeruginosa pada konsentrasi 50%, 25% dan 12,5%. Semakin tinggi

konsentrasi bawang putih, semakin besar diameter daya hambat (DDH) yang

dihasilkan, artinya aktivitas antibakteri semakin tinggi.

Telah diuraikan bahwa penggunaan antibiotik dalam terapi klinis

berdampak pada bahaya resistensi. Kemampuan bawang putih (Allium

sativum) sebagai agen antimikroba untuk terapi spektrum luas terbaik perlu

dibuktikan pada bakteri S.mutan secara in vitro sebagai bentuk penelitian

eksperimen dengan prosedur perlakuan yang diberikan dalam lingkungan

terkendali di luar organisme hidup. Berdasarkan latar belakang tersebut maka

menginspirasi suatu penelitian penelitian untuk mengetahui pengaruh efek

daya hambat ekstrak bawang putih (Allium sativum) pada berbagai

konsentrasi terhadap viabilitas Streptococcus mutans yang diukur dari zona

hambat pertumbuhan yang ditimbulkan oleh ekstrak bawang putih (Allium

sativum) pada berbagai konsentrasi. Eksperimen ini berjudul “Efektivitas

antibakteri ekstrak bawang putih (Allium sativum) dalam penghambatan

pertumbuhan Staphylococcus mutans secara in vitro.”

B. Rumusan Masalah

Apakah antibakteri ekstrak bawang putih (Allium sativum) efektif dalam

menghambat pertumbuhan Bakteri Streptococcus mutans secara in vitro

berdasarkan review jurnal pada tahun 2015 – 2020 ?

12
13

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengidentifikasi dan menganalisa efektivitas pemberian antibakteri

ekstrak bawang putih (Allium sativum) dalam menghambat pertumbuhan

Streptococcus mutans secara in vitro berdasarkan review jurnal periode

2015-2020.

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi efek pemberian antibakteri ekstrak bawang putih

(Allium sativum) dalam berbagai konsentrasi (10%, 20%, 30% dan

40%) terhadap pertumbuhan Streptococcus mutans secara in vitro

berdasarkan review jurnal .

b. Menganalisa konsntrasi terbaik dari efek pemberian antibakteri

ekstrak bawang putih (Allium sativum) terhadap pertumbuhan

Streptococcus mutans secara in vitro melalui jurnal penelitian di

tahun 2015 - 2020.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan berkontribusi terhadap ilmu pengetahuan

terkait efek pemberian antibakteri ekstrak bawang putih (Allium sativum)

terhadap pertumbuhan Streptococcus mutans secara in vitro. Penelitian

ini juga diharapkan dapat menjadi literatur ilmiah sebagai bahan rujukan

13
14

peneliti lain yang memerlukan dukungan penelitian sesuai dengan hasil

yang dicapai pada penelitian ini.

14
15

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan sebagai kontribusi nyata Fakultas

Kedoteran Universitas Wijaya Kusuma dalam kepeduliannya

mengembangkan riset biokimia untuk menemukan alternatif-

alternatif penggunaan bahan alami sebagai bahan terapi klinis

sehingga mendorong institusi lain yang berkompeten dapat

menindaklanjuti dari kemanfaatan hasil penelitian ini..

b. Bagi para pemangku kepentingan terhadap perkembangan

penggunaan antibiotik sebagai terapi klinis dapat

mempertimbangakan rekomendasi penggunaan Bawang putih yang

memiliki antibakteri alami untuk menggantikan antibiotik farmasi

sebagai bahan antibakteri atau antibiotik alami untuk terapi klinis

yang lebih aman. Khususnya pemanfaatan antibakteri ekstrak

bawang putih (Allium sativum) di bidang farmasi untuk pengobatan

gangguan kesehatan gigi dan mulut.

15
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Antimikroba dan Antibiotik

1. Pengertian Antimikroba

Antimikroba adalah suatu ikatan senyawa atau agen dengan

kemampuan menghambat pertumbuhan atau bahkan membunuh suatu

mikroorganisme yang utamanya bersifat patogen bagi manusia (Syarif et

al., 2007). Efektivitas senyawa atau agen antimikroba tersebut dapat

digolongkan menurut jenis mikroorganisme yang diinterventi meliputi

antibiotik, antivirus, antifungi, antiprotozoa dan antihelmintes.

Antimikroba juga dibagi menjadi dua kelompok luas, yaitu golongan

bakteriostatik yang menghambat replikasi mikroba, dan golongan

bakterisidal yang secara bekerja secara utama membunuh mikroba

(Bennet et al., 2012).

2. Pengertian Antibiotik

Antibiotik adalah salah satu jenis antimikroba yang digunakan

untuk mengobati atau mencegah perluasan infeksi bakteri. Antibiotik

secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yang memiliki makna

gabungan dari kata anti (lawan) dan bios (hidup) yang dalam terjemahan

bebas berarti "perlawanan terhadap sesuatu yang hidup". Antibiotik

merupakan bahan terapi klinis untuk mengobati infeksi yang pada

umumnya disebabkan oleh bakteri atau jamur. Antibiotik digunakan

16
17

untuk membasmi bakteri yang secara spesifik merupakan penyebab

infeksi pada manusia dan harus memiliki sifat toksisitas selektif yang

setinggi mungkin. Artinya, antibiotik tersebut haruslah bersifat sangat

toksik untuk bakteri, tetapi relatif berdampak pada manusianya (Bobone

et al., 2013).

3. Penggolongan Antibiotik

a. Berdasarkan Mekanisme Kerja

Antibiotik menurut Hendrayati, (2012) dalam Zeniusa (2018) yang

digolongkan berdasarkan mekanisme kerjanya dibagi dalam lima

kelompok, yaitu:

1) Antibiotik yang menghambat metabolisme sel bakteri.

Antibiotik yang masuk dalam kelompok ini ialah

Sulfonamid, Trimetropim, Asam p-aminosalisilat (PAS) dan

Sulfon. Mekanisme kerja dari obat-obat ini bersifat

bakteriostatik. Bakteri membutuhkan asam folat untuk

kelangsungan hidupnya. Berbeda dengan manusia yang

mendapatkan asam folat dari luar, kuman patogen harus

mensintesis sendiri Para Amino Benzoic Acid (PABA) untuk

kebutuhan hidupnya. Apabila Sulfonamid atau Sulfon menang

bersaing dengan PABA untuk dilibatkan dalam pembentukan

asam folat, maka terbentuk analog asam folat yang

nonfungsional. Akibatnya kehidupan bakteri akan terganggu.

17
18

Berdasarkan sifat kompetisi, efek Sulfonamid dapat diatasi

dengan kadar PABA (Bennet et al., 2012).

18
19

2) Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri.

Obat yang termasuk dalam kelompok ini ialah Penisilin,

Sefalosporin, Basitrasin, Vankomisin, dan Sikloserin. Dinding

sel bakteri terdiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu kompleks

polimer mukopeptida (glikopeptida). Sikloserin menghambat

reaksi yang paling dini dalam proses sintesis dinding sel, diikuti

berturut-turut oleh Basitrasin, Vankomisin, Penisilin dan

Sefalosporin yang terakhir dalam rangkaian tersebut. Oleh

karena tekanan osmotik dalam sel kuman lebih tinggi daripada

di luar sel maka kerusakan dinding sel kuman akan

menyebabkan terjadinya lisis, yang merupakan dasar efek

bakterisidal pada kuman yang sensitif (Bennet et al., 2012).

3) Antibiotik yang mengganggu keutuhan membran sel bakteri.

Obat yang termasuk dalam kelompok ini adalah Polimiksin,

golongan polien serta berbagai antibiotik kemoteraupetik,

misalnya antiseptik surface active agents. Polimiksin sebagai

senyawa amonium-kuaterner dapat merusak membran sel

setelah bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran sel

bakteri. Kerusakan membran sel menyebabkan keluarnya

berbagai komponen penting dari dalam sel bakteri yaitu protein,

asam nukleat, nukleotida, dan lainnya (Bennet et al., 2012).

19
20

4) Antibiotik yang menghambat sintesis protein sel bakteri.

Obat yang termasuk dalam kelompok ini ialah golongan

Aminoglikosid, Makrolid, Linkomisin, Tetrasiklin, dan

Kloramfenikol. Untuk kehidupannya, sel bakteri perlu

mensintesis berbagai protein. Sintesis protein berlangsung di

ribosom, dengan bantuan mRNA dan tRNA. Pada bakteri,

ribosom terdiri dari dua subunit, yang berdasarkan konstanta

sedimentasi dinyatakan sebagai ribosom 30S dan 50S. Untuk

berfungsi pada sintesis protein, kedua komponen ini akan

bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 70S.

Eritromisin berikatan dengan ribosom 50S dan menghambat

translokasi kompleks tRNA-peptida dari lokasi asam amino ke

lokasi peptida. Akibatnya, rantai polipeptida tidak dapat

diperpanjang, karena lokasi asam amino tidak dapat menerima

kompleks tRNA-asam amino yang baru. Kloramfenikol

berikatan dengan ribosom 50S dan menghambat pengikatan

asam amino baru pada rantai polipeptida oleh enzim peptidil

transferase (Bennet et al., 2012).

5) Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat sel bakteri.

Antibiotik yang termasuk dalam kelompok ini ialah Rifamfisin

dan golongan Kuinolon. Rifampisi, salah satu derivat rifamfisin,

berikatan dengan enzim polimerase-RNA sehingga menghambat

sintesis RNA dan DNA oleh enzim tersebut. Golongan kuinolon

20
21

menghambat enzim DNA girase pada kuman yang fungsinya

menata kromosom yang sangat panjang menjadi bentuk spiral

hingga bisa muat dalam sel kuman yang kecil (Bennet et al.,

2012).

B. Berdasarkan Daya Kerja

Berdasarkan daya kerjanya, antibiotik dibedakan menjadi:

1) Bakterisidal

Antibiotik yang secara aktif membunuh kuman. Termasuk dalam

golongan ini adalah Penisilin, Sefalosporin, Aminoglikosida

(dosis besar), Kotrimoksazol, Polipeptida, Rifampisin, dan

Isoniazid (Bennet et al., 2012).

2) Bakteriostatik

Antibiotika bakteriostatik bekerja dengan mencegah atau

menghambat pertumbuhan kuman, tidak membunuhnya,

sehingga pembasmian kuman sangat tergantung pada daya tahan

tubuh. Termasuk dalam golongan ini adalah Sulfonamida,

Tetrasiklin, Kloramfenikol, Eritromisin, Trimetropim,

Inkomisin, Makrolida, Klindamisin, dan Asam para-

aminosalisilat (Bennet et al., 2012).

a. Berdasarkan Spektrum Kerja

Berdasarkan spektrum kerjanya, antibiotik dibedakan menjadi:

1) Spektrum luas (aktivitas luas)

21
22

Antibiotik yang bersifat aktif bekerja terhadap banyak jenis

bakteri yaitu bakteri Gram positif dan Gram negatif. Contoh

antibiotik dalam kelompok ini adalah Sulfonamid, Ampisilin,

Sefalosforin, Kloramfenikol, Tetrasiklin, dan Rifampisin

(Bennet et al., 2012).

2) Spektrum sempit (aktivitas sempit)

Antibiotik yang bersifat aktif bekerja hanya terhadap beberapa

jenis bakteri saja, bakteri Gram positif atau Gram negatif saja.

Contohnya Eritromisin, Klindamisin, Kanamisin, hanya bekerja

terhadap bakteri Gram positif, sedangkan Streptomisin,

Gentamisin, hanya bekerja terhadap kuman Gram negatif

(Bennet et al., 2012).

C. Streptococcus mutans

1. Morfologi Streptococcus mutans

Bakteri Streptococcus mutans merupakan bakteri gram positif, bersifat

nonmotil, dan merupakan bakteri anaerob fakultatif. Secara khas S.

Mutans berbentuk bulat yang dapat membentuk pasangan atau rantai

selama masa pertumbuhannya dengan diameter 0,5-0,7 µm (Brooks et

al., 2007). Dalam komunitas biofilm mikroba, S.mutan ditemukan pada

mukosa permukaan, termasuk usus dan di vagina, mulut dan rongga

hidung.

22
23

Gambar II.1 Streptococcus mutans

2. Struktur Antigen Streptococcus mutans

Genom Streptococcus mutans––UA159, sebuah serotipe rantai c––

telah sempurna diurutkan dan terdiri dari 2.030.936 pasangan dasar. Gen

tersebut berisi 1.963 frame pembacaan terbuka, 63% dari yang telah

ditetapkan fungsinya. Hampir 300 tampak unik untuk S.mutans.

Sebelumnya, hanya tiga gen untuk mengikat protein glukan yang telah

diisolasi, namun sekuensing genom telah menemukan gen potensial

keempat, yaitu gbpD. Gen yang terkait dengan sistem transportasi yang

akun untuk hampir 15% dari genom.

Gen virulensi yang terkait dengan produksi ekstraseluler glukan,

adhesin, toleransi asam, protease, dan hemolisin diduga telah

diidentifikasi. Rantai UA159 kompeten secara alami dan mengandung

semua gen penting untuk kompetensi dan quorum sensing. Tidak ada

genom bakteriofag hadir dalam Streptococcus mutans. Steptococcus

mutans terdiri dari DNA melingkar, dan memiliki setidaknya tiga yang

23
24

terkait erat, tapi plasmidnya berbeda. Ukuran plasmid ini serupa, sekitar

5,6 kilobase (kb). Plasmid ini penting untuk Steptococcus mutans karena

peran mereka sebagai ketahanan terhadap antibiotik tertentu atau logam

berat, produksi bakteriosin, dan kekebalan, aksesori jalur katabolik dan

mekanisme untuk kegiatan transfer yang seperti konjugasi.

3. Patogenesis Streptococcus mutans

Streptococcus mutans merupakan bakteri yang memulai

terjadinya pertumbuhan plak pada permukaan gigi. Terjadinya hal itu

disebabkan karena kemampuan spesifik yang dimiliki oleh bakteri

tersebut menggunakan sukrosa untuk menghasilkan suatu produk

ekstraseluler yang lengket yang disebut dextran yang berbasis

polisakarida dengan perantaraan enzim dextransucrase (hexocyl

transferase) yang memungkinkan bakteri-bakteri tersebut membentuk

plak, sedangkan untuk menghasilkan asam laktat, Streptococcus mutans

bersama-sama dengan Streptococcus sabrinus dan Lactobacillus,

memainkan peran yang sangat penting melalui enzim glucansucrase

yang dihasilkan oleh bakteri-bakteri tersebut. Asam yang dihasilkan terus

menerus melalui pemecahan substrat yang selalu tersedia, akan merubah

lingkungan rongga mulut menjadi lebih asam (pH 5,2 – 5,5), maka email

mulai mengalami proses demineralisasi sehingga terjadilah karies

(Vinogradof et al., 2004; Argimȏn & Caufiled, 2011 dalam Martina,

2012).

24
25

Mekanisme terbentuknya karies pada gigi dimulai dari perlekatan

Streptococcus mutans pada permukaan gigi. Adesin pada S. mutans yaitu

antigen I/II berinteraksi dengan α-galaktosida pada senyawa glikoprotein

turunan saliva pada partikel gigi. S. mutans yang terakumulasi pada

permukaan gigi dapat terbentuk apabila mendapat bantuan glukosa.

Glukosa tadi diubah oleh enzim glukosiltransferase (GTF) pada bakteri

menjadi glukan ekstraselular. Glukan yang tidak larut ini melekat pada

permukaan gigi dan disebut dengan plak gigi. S. mutansi memiliki

glucan binding protein (GBP).

D. Bawang Putih

Bawang putih (Allium sativum) adalah tanaman umbi lapis dan salah

satu spesies dari genus Allium sp. Bawang putih memiliki kekerabatan dekat

dengan bawang merah, bawang bombay dan daun bawang. Bawang putih

adalah tanaman asli dari asia tengah. Dengan riwayat dimanfaatkan manusia

lebih dari 7000 tahun, bawang putih telah menjadi bahan pokok di wilayah

Mediterania, Afrika dan Eropa dan menjadi bumbu masak di wilayah Asia.

Bawang putih telah dimanfaatkan orang mesir kuno sebagai bahan medis dan

bahan masak (Bayan et al., 2014; Ehrlich, 2011). Penggunaan bawang putih

dalam mengobati luka dimulai dari abad pertengahan hingga perang dunia

dua, ketika bawang putih digunakan untuk mengobati luka dari tentara

(Amagase et al., 2001).

25
26

Bawang putih memiliki bunga hemaprodit dengan batang yang

panjang dan tegak yang dapat mencapai tinggi dua hingga tiga kaki (0,6-0,91

m). Bawang putih memiliki tiga cara reproduksi; umbi lapis yang menjadi

akar bunga (siung), umbi kecil yang secara botani disebut bulbil yang berasal

dari bunga, dan dari biji. Bawang putih di alam liar diduga melakukan

reproduksi seksual dan aseksual sekaligus tetapi pada pertanian hampir

dilakukan secara aseksual dengan cara menanam langsung umbi bawang

putih dalam tanah karena lebih mudah (Meredith dan Drucker, 2012).

Kedudukan bawang putih dalam botani (Hutapea, 2000)

Kingdom : Plantae

Class : Monocothylledon

Order : Asparagales

Family : Amaryllidaceae

Genus : Allium

Spesies : A. Sativum

Nama binomial : Allium sativum

Sebagai tanaman herbal, bawang putih memiliki banyak potensi

klinis dari studi eksperimental (Kemper, 2005). Banyak bukti epidemiologi

yang mendemonstrasikan tentang efek terapetik dan preventif dari bawang

putih. Efek-efek ini memiliki implikasi dalam mengurangi resiko penyakit

kardiovaskuler, mengurangi resiko kanker, memiliki efek hepatoprotektor,

antioksidan dan antimikroba (Bayan et al., 2014). Bawang putih setidaknya

mengandung 33 senyawa sulfur, 17 asam amino, beberapa enzim dan mineral.

26
27

Senyawa sulfur inilah yang membuat bawang putih memiliki bau tajam yang

khas dan membuat bawang putih memiliki efek klinis (Kemper, 2005).

Allicin pada umbi bawang putih dapat menyembuhkan cidera otak traumatis

pada tikus (Chan et al., 2014; Zhou et al., 2014), serta dapat menghambat

pertumbuhan bakteri dan virulensi (Lihua et al. 2013; Salama, et al., 2014).

Senyawa sulfur primer dalam siung bawang putih utuh adalah γ-glutamyl-S-

alk(en)yl-L-cysteines dan S-alk-(en)yl-L-cysteine sulfoxides atau yang disebut

sebagai alliin (Amagase et al., 2001). Senyawa senyawa paling aktif dari

bawang putih, allicin (allyl 2- propenethiosulphinate) dan hasil turunannya

(dialil thiosulfinat dan dialil disulfida) tidak akan ada jika bawang putih

dihancurkan atau dipotong; kerusakan pada sel bawang putih akan

mengaktifkan enzim allinase yang merubah alliin menjadi allicin (Bayan et

al., 2014; Fujisawa et al., 2009; Kemper, 2005).

Allicin dan derivatnya adalah senyawa sulfur yang teroksigenasi

yang terbentuk pada saat sel bawang putih mengalami kerusakan, adalah

senyawa yang tidak stabil. Allicin hanya memiliki paruh waktu satu hari

dalam temperatur 37℃ (Fujisawa et al., 2008). Tetapi, alkohol 20% dapat

menstabilkan molekul allicin (Cutler dan Wilson, 2004; Fujisawa et al.,

2008).

Aktivitas antibakteri bawang putih sebagian besar karena allicin yang muncul

ketika sel bawang putih rusak. Allicin dan derivatnya mempunyai efek

menghambat secara total sintesis RNA dan menghambat secara parsial pada

sintesis DNA dan protein. Allicin bekerja dengan cara memblok enzim bakteri

27
28

yang memiliki gugus thiol yang akhirnya menghambat pertumbuhan bakteri

(Boboye dan Alli, 2008). Stuktur allicin dalam bawang putih menurut (Omar

et al., 2010) sebagai berikut:

Gambar II.2 Struktur Allicin

Gambar II.3 Reaksi Pembentukan Allicin

E. Uji Aktivitas Bakteri

Penentuan aktivitas antibiotik dapat dilakukan dengan dua metode,

yaitu metode difusi dan dilusi (Brooks et al., 2008). Metode difusi terdiri dari

metode Cup-plate technique, disk diffusion (tes Kirby dan Baur), E-test, dan

28
29

ditch-plate technique, sedangkan metode dilusi terdiri dari metode dilusi cair

dan dilusi padat (Pratiwi, 2008)

1. Metode Difusi

Pada metode ini fokus observasi pada diameter daerah hambatan

pertumbuhan bakteri karena difusinya obat pada titik awal pemberian ke

daerah difusi. Metode ini dilakukan dengan cara menanam bakteri pada

media agar padat tertentu kemudian diletakkan kertas samir atau disk yang

mengandung obat dan dilihat hasilnya. Diameter zona jernih inhibisi di

sekitar cakram diukur sebagai kekuatan inhibisi obat melawan bakteri

yang diuji (Brooks et al., 2008)

Metode difusi dibagi menjadi beberapa cara :

a. Cup-plate technique

Metode ini serupa dengan disk diffusion dimana dibuat sumur pada

media agar yang telah ditanami dengan bakteri dan pada sumur

tersebut diberi agen antibiotik yang akan diuji. Kemudian diinkubasi

selama 18-24 jam pada suhu 37oC. Setelah diinkubasi, amati zona

hambat di sekitar sumur tersebut (Pratiwi, 2008).

b. Metode disk diffusion (tes Kirby dan Baur)

Metode ini Menggunakan cakram kertas yang berisi agen antibiotik,

kemudian diletakkan pada media agar yang sebelumnya telah ditanami

29
30

bakteri dan diinkubasi pada suhu 370C selama 18-24 jam, sehingga

agen antibakteri dapat berdifusi pada media agar tersebut. Lalu amati

zona hambatnya pada zona terang (clear zone) dengan mengukur

besarnya diameter daya hambat yang terbentuk di sekitar cakram

kertas antibiotik tersebut. Hasil pengamatan yang diperoleh berupa

ada atau tidaknya daerah bening yang terbentuk disekeliling kertas

cakram yang menunjukkan zona hambat pada pertumbuhan bakteri.

Semakin besar diameter hambat yang terbentuk, semakin besar

pula sensitifitas antibiotiknya (Pelczar dan Chan, 2007). Adapun zona

terang yang dimaksud ditunjukkan pada gambar berikut ini.

Gambar II.4 Zona terang (zona hambat bakteri)

Menurut Davis dan Stout (1971) dalam Allo (2016) efektifitas

suatu zat antibakteri bisa diklasifikasikan pada tabel berikut:

Tabel II.1 Tabel Kekuatan Zona Hambat Bakteri

Diameter Zona Terang Respon Hambatan Pertumbuhan Bakteri


>20 mm Sangat Kuat
16-20 mm Kuat
10-15 mm Sedang

30
31

5-9 mm Lemah
<5mm Sangat Lemah

c. Metode E-test

Metode ini digunakan untuk mengestimasi Kadar Hambat Minimum

(KHM), yaitu konsentrasi minimal suatu agen antibiotik untuk dapat

menghambat pertumbuhan bakteri. Pada metode ini digunakan strip

plastik yang mengandung agen antibiotik dari kadar terendah sampai

tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar yang telah

ditanami bakteri sebelumnya (Pratiwi, 2008).

d. Ditch-plate technique

Pada metode ini sampel uji berupa agen antibiotik yang diletakkan

pada parit yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam

cawan petri pada bagian tengah secara membujur dan bakteri uji

digoreskan ke arah parit yang berisi agen antibiotik tersebut. Lalu

inkubasi dalam inkubator pada suhu 370C selama 18-24 jam.

Kemudian perhatikan zona hambatnya (Prayoga, 2013).

2. Metode Dilusi

Metode dilusi digunakan untuk mengukur Kadar Hambat Minimum

(KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) dari antibiotik yang diuji.

Pada prinsipnya pengenceran antibiotik untuk diperoleh beberapa

konsentrasi obat/zat aktif yang ditambah suspensi bakteri. Dalam metode

ini, tabung reaksi akan diisi media cair dan beberapa sel bakteri yang

akan diuji, lalu dilakukan pengenceran secara serial dengan konsentrasi

31
32

tertentu, selanjutnya diisi dengan antibiotik yang akan diujikan, kemudian

o
seri tabung tersebut diinkubasi pada suhu 37 C selama 18-24 jam,

kemudian amati kekeruhan yang terjadi pada serial tabung tersebut

(Prayoga, 2013).

Hasil KHM menunjukkan konsentrasi terendah jika tabung yang

diamati dengan kejernihan paling baik (indikator tidak terdapat

pertumbuhan bakteri). Hasil biakan dari semua tabung yang jernih

diinokulasikan pada media agar, diinkubasi dan diobservasi ada

tidaknya koloni bakteri yang tumbuh, sedangkan hasil KBM adalah ada

tidaknya koloni bakteri yang tumbuh pada media agar yang telah

diinkubasi (Setiabudy, 2012).

Pada metode ini yang diamati adalah ada atau tidaknya pertumbuhan

bakteri, jika ada diamati tingkat kesuburan dari pertumbuhan bakteri

dengan cara menghitung jumlah koloni (Pratiwi, 2008). Tujuannya untuk

mengetahui seberapa banyak zat antibiotik yang diperlukan untuk

menghambat pertumbuhan atau mematikan bakteri yang diuji (Brooks et

al., 2008).

Metode dilusi dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Metode dilusi cair (Broth Dilution Test)

Metode ini digunakan untuk mengukur Konsentrasi Hambat

Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM). Cara yang

dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen antibiotik

pada medium cair yang ditambahkan dengan bakteri uji. Larutan

32
33

uji agen antibiotik pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa

adanya pertumbuhan bakteri uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan

yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang

pada media cair tanpa penambahan bakteri uji ataupun agen

antibiotik, dan diinkubasi selama 18 – 24 jam. Media cair yang

tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KBM

(Prayoga, 2013).

b. Metode dilusi padat (Solid Dilution Test)

Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan

media padat. Pada dilusi padat tiap konsentrasi obat dicampurkan

dengan media agar lalu ditanami bakteri dan diinkubasi.

Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antibiotik yang

diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa bakteri uji (Pratiwi,

2008)

F. Ekstraksi

1. Definisi Ekstraksi

Ekstraksi adalah penyarian senyawa-senyawa yang terdapat di

dalam tanaman yang digunakan cairan penyari yang sesuai dengan cara

yang tepat. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan komponen yang berada

dalam campuran secara selektif dengan pelarut yang sesuai. Prinsip

kelarutan yaitu polar melarutkan yang polar, pelarut semipolar

melarutkan senyawa semipolar, dan pelarut nonpolar melarutkan

33
34

senyawa nonpolar. Sediaan yang diperoleh dari hasil ekstraksi

dinamakan ekstraksi, pelarutnya disebut penyari, sedangkan sisa-sisa

yang tidak ikut tersari disebut ampas (Yuwono, 2009;Zeniusa,2018).

Dalam proses ekstraksi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara

lain jumlah simplisia yang akan diesktrak dan derajat kehalusan simplisia

yang dihasilkan. Semakin halus, luas kontak permukaan akan semakin

besar sehingga proses ekstraksi akan lebih optimal.

Jenis pelarut yang digunakan juga penting untuk diperhatikan. Jenis

pelarut berkaitan dengan polaritas dari pelarut tersebut. Hal yang perlu

diperhatikan dalam proses ekstraksi adalah senyawa yang memiliki

kepolaran yang sama akan lebih mudah tertarik/ terlarut dengan

pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang sama. Berkaitan dengan

polaritas dari pelarut, terdapat tiga golongan pelarut yaitu:

1. Pelarut polar

Memiliki tingkat kepolaran yang tinggi, cocok untuk mengekstrak

senyawa-senyawa yang polar dari tanaman. Pelarut polar

cenderung universal digunakan karena biasanya walaupun polar,

tetap dapat menyari senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran

lebih rendah. Salah satu contoh pelarut polar adalah: air, metanol,

etanol, asam asetat.

2. Pelarut semipolar

Pelarut semipolar memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah

dibandingkan dengan pelarut polar. Pelarut ini baik untuk

34
35

mendapatkan senyawa-senyawa semipolar dari tumbuhan. Contoh

pelarut ini adalah: aseton, etil asetat, kloroform.

3. Pelarut nonpolar

Pelarut nonpolar, hampir sama sekali tidak polar. Pelarut ini baik

untuk mengekstrak senyawa-senyawa yang sama sekali tidak larut

dalam pelarut polar. Senyawa ini baik untuk mengekstrak berbagai

jenis minyak. Contoh: heksana, eter (Siswoyo, 2009; Zeniusa, 2018).

Lama waktu ekstraksi menjadi penting untuk pertimbangan karena

akan menentukan banyaknya senyawa-senyawa yang terambil. Ada

waktu saat pelarut/ ekstrakan jenuh. Sehingga, semakin lama ekstraksi

semakin bertambah banyak ekstrak yang didapatkan (Zeniusa, 2018)

2. Macam-Macam Ekstrak

Berdasarkan sifatnya, ekstrak dapat dibedakan menjadi beberapa

macam, yaitu:

a. Ekstrak encer, Sediaan ini mempunyai konsistensi seperti madu.

b. Ekstrak kental, Sediaan ini liat pada kondisi dingin dan tidak dapat

dituang, kandungan air sekitar 30%.

c. Ekstrak kering, Sediaan ini mempunyai konsentrasi kering dan

mudah digosongkan, kandungan air tidak lebih dari 5% (Yuwono,

2009; Zeniusa,2018).

3. Tujuan Ekstraksi

35
36

Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia

yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip

perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana

perpindahan mulai terjadi pada lapisan antarmuka kemudian berdifusi

masuk ke dalam pelarut (Saraswati, 2015; Zeniusa, 2018).

36
BAB III

KERANGKA TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Teori

A. Review Jurnal Efek Bawang Putih (Allium sativum)


Terhadap
B. Zona Hambat Bakteri S. mutan

Bawang Putih (Allium sativum)

Ekstraksi

Zak Aktif

S-allyl-L-cysteine Cysteine sulfoxide


Sulfoxide (Alliin) lyase

allyl 2-propenethiosulfinate (allicin)


Menghambat sintesis RNA, DNA
dialil thiosulfinat dan dinding sel bakteri
dialil thiosulfinat

Hasil Uji Review Aktivitas Bakteri


S. mutans

Zona Hambat Pertumbuhan Bakteri


S. mutans

Gambar III.1 Kerangka Teori Penelitian


Sumber : Teori dimodifikasi yang peneliti
Keterangan:

Tidak diteliti Diteliti

37
38

Bawang putih setidaknya mengandung 33 senyawa sulfur, 17 asam

amino, beberapa enzim dan mineral. Ekstraksi Bawang putih menghasilkan

senyawa sulfur membuat bawang putih memiliki bau tajam yang khas dan

memiliki efek klinis (Kemper, 2005). Senyawa sulfur primer dalam ekstrak

bawang putih adalah γ-glutamyl-S-alk(en)yl-L-cysteines dan S-alk-(en)yl-L-

cysteine sulfoxides atau yang disebut sebagai alliin (Amagase et al., 2001).

Senyawa paling aktif dari bawang putih meliputi allicin (allyl 2-

propenethiosulphinate) dan hasil turunannya (dialil thiosulfinat dan dialil

disulfida) tidak akan ada jika bawang putih dihancurkan atau dipotong; kerusakan

pada sel bawang putih akan mengaktifkan enzim allinase yang merubah alliin

menjadi allicin (Bayan et al., 2014; Fujisawa et al., 2009; Kemper, 2005).

Allicin dan derivatnya adalah senyawa sulfur yang teroksigenasi yang

terbentuk pada saat sel bawang putih mengalami kerusakan, adalah senyawa yang

tidak stabil. Allicin hanya memiliki paruh waktu satu hari dalam temperatur 37℃

Fujisawa et al., 2008). Tetapi, alkohol 20% dapat menstabilkan molekul allicin

(Cutler dan Wilson, 2004; Fujisawa et al.,2008). Aktivitas antibakteri bawang

putih sebagian besar karena allicin yang muncul ketika sel bawang putih rusak.

Allicin dan derivatnya mempunyai efek menghambat secara total sintesis RNA

dan menghambat secara parsial pada sintesis DNA dan protein. Allicin bekerja

dengan cara memblok enzim bakteri yang memiliki gugus thiol yang akhirnya

menghambat pertumbuhan bakteri (Boboye dan Alli, 2008)

38
39

B. Hipotesis Penelitian

H0 = Tidak ada Efektifitas daya hambat dan pengaruh pemberian ekstrak bawang

putih ( Allium Sativum ) terhadap bakteri Streptococcus Mutans

H1 = Ada Efektifitas Daya Hambat dan pengaruh pemberian ekstrak bawang putih

( Allium Satuvum ) terhadap bakteri Streptococcus Mutans

39
40

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah Deskriptif dengan menggunakan metode

Systematic Review yakni sebuah sintesis dari studi literature yang bersifat sitematik, jelas,

menyeluruh,dengan mengidentifikasi, menganalisis, mengevaluasi melalui pengumpulan

data –data yang sudah ada dengan metode pencarian yang eksplisit dan melibatkan proses

telaah

kritis dalam pemilihan studi. Systematic review adalah suatu metode penelitian untuk

melakukan identifikasi, evaluasi dan interpretasi terhadap semua hasil penelitian yang

relevan terkait pertanyaan penelitian tertentu, topik tertentu, atau fenomena yang menjadi

perhatian (Kitchenham, 2004).

Tujuan penelitian berdasarkan metode ini adalah untuk membatu peneliti lebih

memahami latar belakang dari penelitian yang menjadi

subyek topik yang dicari serta memahami bagaimana hasil dari penelitian

tersebut sehingga dapat menjadi acuan bagi penelitian baru. Rancangan penelitian ini

bertujuan untuk menguji aktivitas antimikroba dari ekstrak bawang putih (Allium sativum)

sehingga menunjukkan efektivitasnya dalam menghambat pertumbuhan S. mutans

dibandingkan dengan kelompok kontrol secara in vitro (uji klinis di luar tubuh makhluk

hidup).

40
41

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya yang

disesuaikan dengan tempat penelitian yang diperoleh berdasarkan literatur jurnal

sebagai rujukan penelitian.

2. Waktu Penelitian

Periode penelitian selama mulai Oktober Sampai dengan November Tahun 2020

C. Populasi dan Sampel

Populasi adalah subjek yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan

oleh peneliti. Sebagai contoh adapun yang menjadi populasi dalam

penelitian ini adalah jurnal nasional yang berkaitan dengan “Efektivitas Antibakteri Ekstrak

Bawang Putih (Allium sativum) Dalam Menghambat Pertumbuhan Staphylococcus mutans

Secara in vitro Berdasarkan Studi Review Jurnal Periode 2015-2020”.

Sampel yang dipilih merupakan bagian populasi yang memenuhi syarat subyek

penelitian yang ditemukan sebagai jurnal penelitian nasional mapuan internasional yang

akan diteliti berkaitan dengan judul penelitian tersebut di atas.

D. Teknik Sampling

Teknik sampling merupakan cara-cara yang digunakan dalam pengambilan sampel,

agar memperoleh sampel yang sesuai dari keseluruhan subjek penelitian (Notoatmojo,

2012). Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling,

yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel di antara populasi sesuai

dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan dan masalah dalam penelitian), sehingga sampel

41
42

dapat mewakili karakteristik populasi yang telah diketahui sebelumnya (Notoatmojo, 2012)..

Berdasarkan karakteristik populasi yang sudah diketahui sebelumnya yaitu telah disebutkan

dalam kriteria inklusi dan ekslusi dalam penelitian ini:

a. Kriteria inklusi Menurut (Notoatmodjo, 2010) kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-

ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai

sampel.

Kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah:

Jurnal nasional yang berkaitan dengan penggunaan Antibakteri Ekstrak Bawang Putih

(Allium sativum) Dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus mutans.

Literatur jurnal diterbitkan dalam periode 2015-2020

b. Kriteria ekslusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang memenuhi

kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab (Nursalam, 2015).

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:

Jurnal nasional yang berkaitan dengan penggunaan Antibakteri Ekstrak Bawang Putih

(Allium sativum) Dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri lain. Literatur jurnal

diterbitkan sebelum periode 2015-2020.

E. Identifikasi Variabel

1. Variabel Independen, merupakan variabel bebas dalam penelitian ini yaitu pemberian

ekstrak bawang putih dengan beberapa dosis dan variabel kontrol sesuai literatur jurnal

sebagai sumber data penelitian

2. Variabel Dependen, merupakan variabel terikat dalam penelitian ini yaitu pertumbuhan

bakteri S.mutans sesuai literatur jurnal sebagai sumber data penelitian

42
43

F. Definisi Operasional

Skala
Variabel Definisi Alat Ukur Observasi
Pengukuran
Zona terang di
sekitar cakram pada
media agar di
Pertumbuhan Hasil Diameter zona terang
daerah yang telah Nominal/
Bakteri Penelitian (clear zone)
ditanami S.mutans Numerik
S.mutans jurnal
dengan metode
sesuai jurnal
penelitian
Konsentrasi Jumlah ekstrak yang
ekstrak Hasil sesuai konsentrasi
Konsentrasi ekstrak
bawang putih Penelitian yang berdasarkan Kategorik
bawang putih
(Allium jurnal penelitian sesuai
sativum) jurnal rujukan
Kontrol positif
disesuaikan dengan
Kontrol
karakteristik Kategorik
Positif
literatur jurnal data
penelitian
Kontrol Negatif
disesuaikan dengan
Kontrol
karakteristik Kategorik
Negatif
literatur jurnal data
penelitian

G.

43
44

Diagram Alur Penelitian

Populasi Penelitian :

Berdasarkan bbrp review jurnal 2015


– 2020 tentang Pemberian ekstrak
bawang putih thdp S.Mutans

Pengambilan dan Pengumpulan INTERPRETASI DATA dan


data di Jurnal 2015 - 2020 EFEKTIFITAS pemberian
ALLIUM SATIVUM thdp
S.Mutans
Penyajian Hasil Jurnal 2015 -
2020
Penarikan Kesimpulan Zona
hambat pertumbuhan S.mutans
sesuai hasil Jurnal

Gambar IV.1 Diagram Alur Penelitian

H. H. Prosedur Penelitian Review Jurnal

Langkah 1, membaca dan menelaah tulisan-tulisan ilmiah terkait jurnal yang berhubungan

dengan penggunaan Antibakteri Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) Dalam

Menghambat Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus mutans. Yang diterbitkan dalam periode

2015-2020. Adapun tahapannya meliputi:

1. Perhatian terhadap struktur dan teks mulai daftar isi, abstrak, heading dan sub-headings,

untuk melihat apakah teks itu sesuai untuk tujuan penelitian.

2. Jika teks terlihat telah memiliki kesesuaian dengan tujuan penelitian maka telaah lebih

lebih detil dan mendalam terhadap hasil penelitian berdasarkan jurnal yang mendukung

Literature Review.

44
45

Langkah 2, Mengevaluasi semua tulisan ilmiah yang dibaca, meliputi:

1. Akurasi

Pastikan apakah literatur yang telah diperoleh memiliki akurasi yang baik dengan cara

mencocokkan apakah penelitian yang sama dari berbagai sumber yang diperoleh

memiliki konsistensi atau tidak. Selanjutnya memastikan literatur jurnal yang direview

berasal dari sumber terpercaya..

2. Obyektivitas

a. Menunjukkan adanya bukti bahwa riset atau penelitian benar-benar dilakukan

secara independen oleh literatur jurnal yang telah dipilih sehingga bukan rekayasa

untuk kepentingan tertentu.

b. Menunjukkan kebenaran metode statistik yang digunakan sehingga mampu

memberikan argument ilmiah (metode, rancangan penelitian dll) sebagai dasar yang

meyakinkan.

3. Kemutahiran

a. Jurnal sumber penelitian dapat dipastikan kapan tanggal publikasi dari sumber yang

digunakan.

b. Memastikan kemungkinan adanya informasi yang mutahir sebagai pembanding jika

terdapat keraguan atau materi yang bertolak belakang dari beberapa temuan yang

sudah dalam jurnal yang direview.

4. Cakupan

Informasi dari literatur yang tersedia harus lengkap dan mencakup bidang yang diteliti

dan memastikan ada atau tidaknya peneltian lanjutan.

45
46

Langkah 3, Buat ringkasan publikasi-publikasi literatur yang diperoleh mengenai: masalah

utama yang diangkat, semua informasi seperti pengarang, tanggal dan tahun, judul buku,

sumber, penerbit buku/jurnal, halaman, tujuan penelitian, hipotesis, metode penelitian,

material, desain eksperimen, dan hasil/data penelitian.

Langkah 4, Penggabungan berbagai sumber jurnal menjadi suatu permasalahan yang

dideskripsikan secara ilmiah yang lengkap mengenai penggunaan Antibakteri Ekstrak

Bawang Putih (Allium sativum) Dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus

mutans melalui review jurnal diterbitkan dalam periode 2015-2020.

I. Analisis Data

Analisis data penelitian menggunakan metode meta analisis yang mengkombinasikan hasil

penelitian kuantitatif secara statistik (secara kuantitatif) dalam penyajian deskritptif dalam

kajian sistematis literatur. Langkah-langkah dalam melakukan meta-analisis adalah sama

dengan langkah-langkah melakukan systematic review secara umum. Langkah-langkah

tersebut adalah sebagai berikut (Perry & Hammond, 2002):

1. Identifikasi pertanyaan penelitian (pertanyaan penelitian meta-analisis)

2. Mengembangkan protokol penelitian metaanalisis

3. Menetapkan lokasi data-base hasil penelitian sebagai wilayah pencarian

4. Seleksi hasil-hasil penelitian yang relevan

5. Pilih hasil-hasil penelitian yang berkualitas

6. Ekstraksi data dari studi individual

7. Sintesis hasil-hasil penelitian dengan metode meta-analisis (funnel plot dan forest plot).

46
47

8. Penyajian hasil penelitian dalam laporan penelitian hasil meta-analisis.

Berdasarkan hasil analisis tersebut selanjutnya ditarik kesimpulan penelitian dewngan

pernyataan singkat hasil analisis deskripsi berasal dari fakta- fakta yang berhubungan secara

logis sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan sebagai rumusan masalah. Fokus

keseluruhan jawaban dibatasi pada ruang lingkup pertanyaan dan jumlah jawaban

disesuaikan dengan rumusan masalah yang diajukan.

47
48

DAFTAR PUSTAKA

Adetumbi MA, Lau BH. Allium sativum (garlic)--a natural antibiotic. Med Hypotheses. 1983;12
(3):227-237. doi:10.1016/0306-9877(83)90040-3
Amagase H, Petesch BL, Matsuura H, Kasuga S, Itakura Y 2001. Recent
Advances on the Nutritional Effects Associated with the Use of Garlic as a
Supplement.JN. 1:1118–9
Bayan L, Koulivand PH, Gorji A. 2014. Garlic: a review of potential therapeutic
effects. Avicenna Journal of Phytomedicine. 4(1):1–14
Bennet P, Brown M, Sharma P. 2012. Clinical Pharmacology. 11th Edition. London: Published
by Elsevier Ltd. All rights reserved.
Bobone, Emaliah, Herdi Y, Ovi YM, Siti RP. 2013. Antibiotik. Pangkal Pinang: Poltekkes
Kemenkes RI.
Boboye BE, Alli JA, Okonko IO, Kolade AF, Nwanze JC. 2011. Cellular effects
of garlic (Allium sativum) extract on Pseudomonas aeruginosa and
Staphylococcus aureus. Pelagia Research Library. 2(4): 25–36
Bojanic, L.; Markovic-Pekovic, V.; Skrbic, R.; Stojakovic, N.; Ethermanovic, M.; Bojanic, J.;
Furst, J.; Kurdi, A. B.; Godman, B., Recent Initiatives in the Republic of Srpska to
Enhance Appropriate Use of Antibiotics in Ambulatory Care; Their Influence and
Implications. Frontiers in pharmacology 2018; 9:442.
Brooks GF, Butel, JS, Morse SA. 2008. Mikrobiologi kedokteran terjemahan.Edisi Ke-23.
Jakarta: EGC.
Brooks GF, Morse SA, Butel JS, Carroll KC, Mietzner TA. 2013. Mikrobiologi kedokteran. Edisi
Ke-25. Jakarta: EGC.
Chan, et al. 2014. Neuroprotective Effect of Allicin Against Traumatic Brain Injury Via
Akt/Endothelial Nitric Oxide Synthase Pathway-Mediated AntiInflammatory and Anti-
Oxidative Activities. http://www.ncbi.nlm.nih. gov/pubmed/24530793.
Delfani S, Reza Mohammadrezaei, Khorramabadi, Somayeh Ghamari, Reza Khadivi, Boroujeni,
Negar Khodabandeloo, Mahdiye Ghadirali Khorzoughi, Somayeh Shahsavari. Systematic
Review for Phytotherapy in
Streptococcus Mutans. J. Pharm. Sci. & Res. Vol. 9(5), 2017, 552-561.
Fujisawa H, Watanabe K, Suma K, Origuchi K, Matsufuji H, Seki T, Ariga T.
2009. Antibacterial potential of garlic-derived allicin and its cancellation by sulfhydryl
compounds. Bioscience, Biotechnology, and Biochemistry, 73(9):1948–55
Hutapea J. 2000. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Jakarta: balitbangkes.
Kemper KJ. 2005. Garlic (Allium sativum). The Longwood Herbal Task Force
and The Center for Holistic Pediatric Education and Research.

48
49

Kitchenham, B. 2004. Procedures for performing systematic reviews. Keele


University
Lihua L. et. al. 2013. Effects of Allicin on the Formation of Pseudomonas Aeruginosa Biofinm
and the Production of QuorumSensing Controlled Virulence Factors.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24 459829
Meredith TJ. 2008. The Complete Book of Garlic: A Guide for Gardeners,
Grower, and Serious Cooks. London: Timber Press.
Morris, D. O.; Loeffler, A.; Davis, M. F.; Guardabassi, L.; Weese, J. S., Recommendations for
Approaches to MeticillinResistant Staphylococcal Infections of Small Animals:
Diagnosis, Therapeutic Considerations and Preventative Measures.: Clinical Consensus
Guidelines of the World Association for Veterinary Dermatology. Veterinary dermatology
2017; 28:304-e69.
Notoatmojo S., 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Rineka Cipta
Omar, S. H. et al. 2010. Organosulfur Compounds and Possible Mechanism of Garlic in Cancer.
Saudi Pharmaceutical Journal 18; 51-58.
Pelczar MJ, Chan ECS. 2007. Dasar - Dasar Mikrobiologi I. Jakarta: UI-Press
Perry, A. & Hammond, N. (2002). Systematic Review: The Experience of a PhD Student.
Psychology Learning and Teaching, 2(1), 32–35.
Pranay Jain and Pundir Ram Kumar, 2009. Antibiotic sensitivity pattern of Streptococcus mutans
against commercially available drugs. Journal of Pharmacy Research 2009, 2(7),1250-
1252.
Pratiwi ST. 2008. Mikrobiologi farmasi. Jakarta: Penerbit Airlangga. Hlm.22-42,154-67 dan 188-
89
Prayoga E. 2013. Perbandingan efek ekstrak daun sirih hijau (Piper betle L.) dengan metode
difusi disk dan sumuran terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus
[skripsi]. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Prihandani, S. S., Poelangan, M., Noor, S. M dan Andriani. 2015. Uji daya antibakteri bawang
putih (Allium sativum L.) terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Escherichia coli,
Salmonella typhimurium dan Pseudomonas aeruginosa dalam meningkatkan keamanan
angan. Informatika Pertanian 24(1):53–58.
Ranganathan, Vasudevan. CH Akhila.2019, Streptococcus mutans: has it become prime
perpetrator for oral manifestations?. Department of Microbiology, Aurora’s Degree and
PG College, India. J Microbiol Exp. 2019;7(4):207‒213. DOI:
10.15406/jmen.2019.07.00261
Saraswati A. 2015. Efektivitas ekstrak daun teh hijau (Camellia sinensis) dengan NaOCL 2,5%
terhadap bakteri Enterococcus faecalis sebagai alternatif larutan irigasi saluran akar
[skripsi]. Makassar: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin

49
50

Serna, Galvis, E. A.; Ferraro, F.; Silva-Agredo, J.; Torres Palma, R. A., Degradation of Highly
Consumed Fluoroquinolones, Penicillins and Cephalosporins in Distilled Water and
Simulated Hospital Wastewater by Uv254 and Uv254/Persulfate Processes. Water
research 2017; 122:128- 138.
Setiabudy R. 2012. Farmakologi dan terapi. Edisi Ke-5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Hlm.
673,714,720
Singh P., Navneet Verma1, Prevesh Kumar1, Priynaka Nagu, 2018. Review On A Potential Of
Antibiotics. Journal of Drug Delivery and Therapeutics. 2018; 8(5-s):35-40
Syarif A, Estuningtyas A, Setiawati A, Muchtar A, Arif A, Bahry B, et al., 2007.
Farmakologi Dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta: FKUI
Wang, W. J.; Wang, Q.; Zhang, Y.; Lu, R.; Zhang, Y. L.; Yang, K. W.; Lei, J. E.; He, Y.,
Characterization of Beta Lactamase Activity Using Isothermal Titration
Calorimetry.Biochimica et biophysica acta 2017; 1861:2031-2038.
Zeniusa, Popi. 2018. Uji daya hambat ekstrak etanol teh hijau terhadap escherichia coli secara in
vitro. Program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran universitas lampung.bandar
lampung.

50

Anda mungkin juga menyukai