Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN PENELITIAN

PENELITIAN PENGEMBANGAN IPTEKS (PPI)

UJI AKTIVITAS AFRODISIAKA FRAKSI DARI EKSTRAK


ETANOL 70% DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L). Merr)
PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR Sprague Dawley

Tim Pengusul
Numlil Khaira Rusdi, M.Si., Apt. NIDN 04251081.01 (Ketua)
Ni Putu Ermi Hikmawanti, M.Farm. NIDN 03.090789.01 (Anggota)
Maifitrianti, M.Farm., Apt. NIDN 03.040588.02 (Anggota)

Nomor Surat Kontrak Penelitian : 509/F.03.07/2017


Nilai Kontrak : Rp. 15.000.000,-

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
TAHUN 2018

i
ABSTRAK
Penurunan libido digambarkan dengan ketidaktertarikan dalam melakukan aktivitas seksual yang
disebabkan karena disfungsi ereksi, impoten dan infertilitas. Penurunan libido dapat diatasi dengan obat-
obatan yang dapat meningkatkan gairah seksual (afrodisiaka). Daun katuk (Sauropus androgynus (L).
Merr) telah lama digunakan sebagai tanaman obat. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui fraksi dari
ekstrak etanol daun katuk yang berpengaruh dalam meningkatkan libido dengan parameter climbing,
introduction, dan peningkatan bobot testis dan vesikula seminalis tikus putih jantan. Tikus jantan galur
Sprague-Dawley sebagai model hewan coba dibagi menjadi 5 (lima) kelompok yaitu kelompok kontrol
normal, kelompok kontrol positif (X-gra®), kelompok fraksi n-heksana, fraksi etil asetat dan fraksi air
dimana tiap kelompok fraksi diberi dosis 11,85 mg/kgBB. Perhitungan jumlah climbing dan introduction
dilakukan pada hari ke-0, 1, 3 dan 5. Data yang didapat diuji secara statistik dengan uji one-way ANOVA
yang dilanjutkan dengan uji Tukey. Parameter peningkatan bobot testis dan vesikula seminalis tikus putih
jantan diamati pada hari ke-15. Sebelumnya, tikus dianestesi dengan ketamin, kemudian dilakukan
pembedahan. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, diperoleh bahwa fraksi n-heksana dengan
dosis 11,85 mg/KgBB dapat meningkatkan libido dengan rata-rata jumlah climbing 16,5 kali dan rata-rata
jumlah introduction 27,75 kali. Fraksi tersebut juga mampu meningkatkan bobot testis dan bobot vesikula
yang sebanding kontrol positif yaitu X-gra® dengan dosis 51,37 mg/kgBB pada tikus putih jantan galur
Sprague-Dawley. Senyawa yang terkandung di dalam fraksi n-heksana adalah flavonoid, alkaloid,
saponin dan terpenoid.

Kata kunci: afrodisiaka, Sauropus androgynus (L). Merr, fraksinasi

v
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
SURAT KONTRAK PENELITIAN iii
ABSTRAK v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN ix
BAB 1. PENDAHULUAN 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 4
BAB 3. METODE PENELITIAN 8
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 13
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 22
BAB 6 LUARAN YANG DICAPAI 23
DAFTAR PUSTAKA 24
LAMPIRAN 26

vi
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Hasil penapisan fitokimia ekstrak dan fraksi daun katuk

vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Peta perjalanan penelitian
Gambar 3.1. Skema Prosedur Perlakuan Hewan Uji
Gambar 3.2. Diagram Fishbond Penelitian
Gambar 4.1. Grafik Rerata jumlah introduction tikus jantan terhadap tikus betina setelah
perlakuan
Gambar 4.2. Grafik Rerata jumlah climbing tikus jantan terhadap tikus betina setelah perlakuan
Gambar 4.3. Grafik rerata persentase peningkatan bobot vesikula seminalis tikus jantan setelah
perlakuan
Gambar 4.4. Grafik rerata persentase peningkatan bobot testis tikus jantan setelah perlakuan

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Artikel yang telah di Submit di Jurnal Nasional Terakreditasi


PHARMACEUTICAL SCIENCES AND RESEARCH

ix
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


United State National Health and Social Life Survey (NHSLS) memperkirakan
bahwa sekitar 31% pria menderita disfungsi seksual seumur hidup mereka. Keluhan yang
paling sering yang dialami pasien pria dengan disfungsi seksual adalah disfungsi ereksi
dan ejakulasi dini (Ramlachan, 2014). Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan yang
bersifat persisten untuk mencapai dan mempertahankan keadaan ereksi penis dalam
mencapai kepuasan seksual (Hatzimouratidis et al., 2015). Ejakulasi dini adalah
disfungsi seksual pria yang ditandai dengan ejakulasi yang selalu atau hampir selalu
terjadi sekitar satu menit sebelum atau di dalam vagina saat melakukan penetrasi dan
ketidakmampuan untuk menunda ejakulasi di (hampir) semua penetrasi; juga akibatakibat
negatif seperti: penderitaan, kekhawatiran, kecemasan, frustrasi dan/atau menghindari
hubungan seksual (Serefoglu et al., 2013).
Disfungsi ereksi mempengaruhi pria dari semua kelompok umur (terutama 4070
tahun), semua kelompok pekerjaan dan semua tingkat sosiokultural. Diabetes mellitus,
hipertensi, alkoholisme, merokok dan penyakit prostat adalah faktor resiko gangguan
seksual ini. Diperkirakan sekitar 150 juta jiwa di seluruh dunia menderita disfungsi ereksi
(Nchegang et al., 2016). Sementara itu data epidemiologis menunjukan bahwa di seluruh
dunia, ada sekitar 22-38% penderita ejakulasi dini. Ejakulasi dini mempengaruhi sekitar
14-30% pria berusia lebih dari 18 tahun, 30%-40% pria yang aktif secara seksual, dan
75% pria di saat tertentu di dalam kehidupannya (Dito, 2012). Ejakulasi dini dapat
disebakan karena disfungsi urologi, disfungsi tiroid atau psikologis dan atau masalah
dengan pasangan (Ramlachan, 2014). Disfungsi seksual dapat mempengaruhi kesehatan
fisik dan psikososial dan dapat memiliki pengaruh signifikan terhadap kualitas hidup
penderita dan pasangannya. Selain itu terdapat peningkatan bukti bahwa disfungsi ereksi
mengawali gejala penyakit arteri koroner dan pembuluh darah perifer (Hatzimouratidis et
al., 2015). Masalah ini juga cenderung serius dan menghambat hubunganpasangan yang
terkadang menimbulkan perceraian (Nchegang et al., 2016).
Penanganan medis untuk disfungsi ereksi meliputi pemberian obat inhibitor
phosphodiesterase type 5 (PDE-5 seperti sildenafil, terapi lokal dengan pemberian
1
alprostadil intracarvernous dan intra uretral, alat vacuum constriction, dan psikoterapi.
Penderita ejakulasi dini memerlukan konseling psikoseksual dan kadang pemberian obat
sepeti Dapoxetin. Pemberian obat selective serotonin reuptake inhibitor, tricyclic
antidepressant dan anastesi topikal menunjukkan efikasi pada penderita ejakulasi dini
(Hatzimouratidis et al., 2015).
Di beberapa Negara berkembang masyarakat banyak menggunakan tanaman obat
untuk pengobatan. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa alasan seperti krisis
ekonomi, kurangnya infrastruktur kesehatan modern, dan harga obat yang mahal
(Nchegang et al., 2016). World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 80%
populasi Asia dan Afrika mengandalkan pengobatan tradisional sebagai metode utama
dalam perawatan kesehatan (WHO, 2008). Salah satu tanaman yang dapat digunakan
sebagai alteratif dalam pengobatan adalah Sauropus androgynus L Merr atau lebih
dikenal dengan daun katuk. Daun katuk mengandung sterol, resin, tanin, saponin,
alkaloid, flavonoid, terpenoid, glikosida dan fenol (Selvi & Basker 2012). Saponin,
flavonoid, alkaloid dan steroid pada daun katuk merupakan senyawa aktif yang memiliki
potensi sebagai afrodisiaka (Andini 2014). Afrodisiaka digambarkan sebagai suatu zat
yang dapat meningkatkan gairah seksual. Beberapa penelitian sebelumnya
menyimpulkan bahwa daun katuk dapat memiliki aktivitas afrodisiaka. Arifien (2013)
menyimpulkan bahwa pemberian seduhan daun katuk secara oral selama 14 hari pada
tikus jantan dewasa (Rattus novergicus) efektif meningkatkan libido dengan dosis 100
mg/Kg BB. Sejalan dengan penelitian ini, Harmusyanto (2013) menyimpulkan bahwa
pemberian seduhan daun katuk dengan dosis 5 g/Kg BB yang diberikan secara, per oral
selama 14 hari dapat meningkatkan libido kelinci jantan. Maulita dkk (2016)
menyimpulkan daun katuk berpengaruh signifikan terhadap kualitas spermatozoa mencit
yang dipaparkan asap rokok dengan dosis 6 mg/ml.
Berdasarkan latar belakang tersebut perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
memperoleh kelompok senyawa yang lebih spesifik dan diharapkan dapat mengarahkan
pada informasi kelompok senyawa mana yang diduga efektif sebagai afrodisiaka. Oleh
karena itu pada penelitian ini akan dilakukan uji aktivitas afrodisiaka fraksi dan ekstrak
etanol 70% Daun Katuk (Sauropus androgynus L Merr) pada tikus putih jantan.

2
Fraksinasi bertujuan untuk memisahkan kelompok senyawa aktif secara spesifik
berdasarkan tingkat kepolarannya (kurang polar, semi polar, dan polar).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal yang telah dipaparkan di latar belakang, peneliti merasa perlu
mengevaluasi aktivitas fraksi mana dari ekstrak etanol 70% daun katuk yang dapat
menjadi kandidat bahan afrodisiaka.
1.3. Tujuan Penelitian
Penellitian ini bertujuan memperoleh kelompok senyawa yang lebih spesifik dan dapat
mengarahkan pada informasi kelompok senyawa mana dari tanaman tersebut yang
diduga efektif meningkatkan libido.
1.4. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan akan diperoleh informasi kelompok senyawa spesifik
pada fraksi efektif dari ekstrak etanol 70% daun katuk yang dapat dijadikan kandidat
bahan afrodisiaka, sehingga kedepannya, teknologi farmasi yang memanfaatkan daun
katuk sebagai agen afrodisiaka dapat dikembangkan secara optimal. Informasi ini
selanjutnya akan dipublikasi dalam bentuk jurnal ilmiah.

3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sauropus Androgynus (L.) Merr. (Katuk)


Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Arifien (2013) disimpulkan bahwa tikus
jantan dewasa (Rattus novergicus) yang diberi seduhan daun katuk secara oral selama 14 hari
efektif meningkatkan libido pada dosis 100 mg/Kg BB. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Harmusyanto (2013) disimpulkan bahwa seduhan daun katuk 5 g/Kg BB yang diberikan secara,
per oral selama 14 hari dapat meningkatkan libido terhadap kelinci jantan. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Maulita dkk (2016) daun katuk berpengaruh signifikan terhadap kualitas
spermatozoa mencit yang dipaparkan asap rokok dengan dosis 6 mg/ml. Kandungan kimia dari
daun katuk itu sendiri terdiri dari sterol, resin, tanin, saponin, alkaloid, flavonoid, terpenoid,
glikosida dan fenol (Selvi & Basker 2012). Saponin, flavonoid, alkaloid dan steroid pada daun
katuk merupakan senyawa aktif yang memiliki potensi sebagai afrodisiaka (Andini 2014).
2.2. Afrodisiaka
Afrodisiaka adalah turuanan kata dari afrosidiate yang merupakan dewi cinta dari
Yunani. Afrodisiaka didefinisikan sebagai agen (makanan atau obat) yang dapat meningkatkan
gairah seksual (Singh et al. 2012). Afrodisiaka adalah berbagai stimulan atau perangsang yang
dapat meningkatkan libido atau nafsu seks. Afrodisiaka dapat dikelompokkan menjadi dua.
Pertama yang dapat mempengaruhi fisik dan psikis, misalnya melalui pengelihatan, pengecap,
pembauan dan kesan seperti parfum. Kedua, yang mempengaruhi dari dalam tubuh misalnya
makanan, minuman, obat-obatan, atau rempah-rempah. Berabad-abad lamanya telah ada
anggapan bahwa makanan tertentu telah mempunyai efek membangkitkan nafsu seks namun
belum ada bukti ilmiah tentang ini (Yuwanti 2010).
Efek afrodisiaka dapat diamati melalui parameter climbing dan introduction serta
peningkatan bobot testis dan vesikula seminalis tikus putih jantan. Aktivitas menunggang
(climbing) dengan batasan perilaku tikus jantan pada saat menaiki betina dari belakang. Aktivitas
kawin dengan batasan perilaku tikus pada saat bersenggama atau berhubungan. Climbing pada
tikus dipengeruhi oleh libido tikus jantan dan kesediaan oleh tikus betina untuk disetubuhi tikus
jantan. Libido tikus jantan dapat muncul karena faktor hormonal dari dalam tikus itu sendiri,
kondisi fisik, umur, suhu ruangan, keadaan lingkungan, kondisi cahaya, luas kandang dan faktor
4
tikus betina, yaitu faktor hormonal dan aroma tubuh. Aroma tubuh tikus betina berhubungan
dengan siklus estrusnya, dimana pada stadium estrus tikus betina lebih siap kawin (Arifien
2013).

Batasan parameter uji yang diteliti dilihat dari aktivitas pendekatan (introduction) dengan
batasan perilaku tikus jantan dalam melakukan ciuman pada bagian mulut sampai bagian leher
dan melakukan penjilatan pada bagian kelamin tikus betina, aroma yang dikeluarkan tikus betina
pada saat masa estrus menyebabkan tikus jantan untuk mendekat pada bagian tubuh betina serta
peningkatan bobot testis dan vesikula seminalis tikus putih jantan (Arifien 2013). Dua jenis
siklus yang berbeda ditemukan pada mamalia betina. Manusia mempunyai siklus mestruasi,
sementara primata mempunyai siklus estrus. Satu perbedaan antara kedua jenis siklus ini adalah
melibatkan nasib lapisan uterus jika kehamilan tidak terjadi. Pada siklus menstruasi,
5
endometrium akan meluruh dari uterus melalui serviks dan vagina dalam perdarahan yang
disebut sebagai mestruasi. Pada siklus estrus, endometrium diserap kembali oleh uterus dan tidak
terjadi perdarahan yang banyak (Campbell 2004).
Estrus berasal dari bahasa Latin oestrus yang berarti kegilaan atau gairah, adalah satu-
satunya waktu dimana perubahan vagina memungkinkan terjadinya perkawinan. Estrus kadang-
kadang disebut heat atau panas dan memang sebenarnya suhu tubuh betina sedikit meningkat.
Panjang dan frekuensi siklus reproduksi pada mamalia bervariasi. Lama siklus menstruasi pada
mamalia pada manusia rata-rata 28 hari, siklus estrus tikus hanya lima hari (Campbell 2004).
Siklus estrus ditandai dengan adanya birahi pada hewan betina, sehingga akan bersifat
reseptif terhadap hewan jantan pada saat betina memasuki masa estrus. Hal tersebut dikarenakan,
di dalam ovarium terjadi pematangan sel telur dan uterus pada fase yang tepat untuk implantasi.
Panjang siklus estrus adalah 4-5 hari (Marcondes 2002).
Siklus estrus terdiri dari empat fase yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Proestrus
merupakan fase menjelang estrus dimana gelajala birahi mulai muncul akan tetapi betina belum
mau menerima pejantan untuk melakukan kawin. Pada fasa ini folikel de Graaf tumbuh di bawah
pengaruh FSH dan menghasilkan esterogen dalam jumlah yang banyak. Pada fase ini estradiol
menyebabkan betina mulai mau didekati jantan (Nursyah 2012).
Fase proestrus akan dilanjutkan ke fase estrus yang ditandai dengan keinginan kelamin dan
penerimaan pejantan oleh hewan betina untuk kopulasi. Pada fase ini estradiol yang berasal dari
folikel de Graaf yang matang akan menyebabkan perubahan pada saluran reproduksi betina.
Pada fase estrus, perubahan yang terjadi pada ovarium yaitu dimulainya pemasakan bagi folikel
yang telah dimulai pertumbuhannya pada fase proestrus. Dengan demikian, folikel pada fase
estrus adalah folikel yang telah siap untuk diovulasikan. Fase estrus adalah periode birahi dan
kopulasi hanya dimungkinkan pada saat ini. Pada fase ini betina menunjukan perubahan perilaku
dan betina menjadi sangat menarik bagi pejantan. Betina yang sedang berada fase estrus juga
mau menerima rangsangan dari jantan, bahkan terkadang betinalah yang mencari pejantan untuk
kopulasi (Karlina 2003). Pada fase estrus, esterogen meningkatkan sel-sel penghasil
gonadotropin pada hipofisa sehingga meghasilkan LH yang dapat menyebabkan ovulasi ketika
kadar LH mencapai puncak (Hafez dkk 2000). Pada fase estrus konsentrasi esterogen meningkat
sesuai dengan pertumbuhan folikel de Graaf dan selanjutnya di bawah pengaruh serta peran LH
yang disekresikan oleh dari hipofisis anterior terjadilah ovulasi dan pembentukan korpus luteum.
6
Ovulasi terjadi pada akhir estrus yang terjadi dalam waktu singkat. Setelah ovulasi terjadi, pada
ovarium akan mengalami fase luteal. Fase luteal adalah fase pembentukan korpus luteum yang
dapat menghasilkan progesteron (Nursyah 2012).
Fase metestrus merupakan kelanjutan dari fase estrus yang terbagi menjadi dua stadium
yaitu stadium satu yang kita-kira berlangsung selama 15 jam dan stadium dua yang kira-kira
berlangsung selama 6 jam. Pada fase ini tidak terjadi perkawinan. Selama matestrus, uterus
menjadi agak lunak karena terjadi pengendoran otot serta melakukan persiapa untuk menerima
dan memberi makan pada embrio. Fase diestrus adalah fase setelah matestrus. Fase ini adalah
dase terpanjang diantara fase estrus yang lainnya. Fase diestrus berlangsung selama 60-70 jam.
Pada fase ini kontraksi uterus menurun, endometrium menebal dan kelenjar-kelenjar mengalami
hipertropi, mukosa vagina menipis dan warna lebih pucat (Nursyah 2012).

Testis merupakan organ kelamin yang berjumlah sepasang, berbentuk oval dan berfungsi
untuk menghasilkan sel-sel sperma serta hormon testosteron. Suhu testis dijaga oleh skrotum,
yaitu kantong yang membungkus testis yang terletak tepat di bawah penis. Jika suhu terlalu
panas, maka skrotum akan mengembang. Sebaliknya, jika suhu dingin, maka skrotum akan
mengerut sehingga testis menjadi lebih hangat. Testis terdapat dibagian tubuh sebelah kiri dan
kanan. Testis kiri dan kanan dibatasi oleh suatu sekat yang terdiri dari serat jaringan ikat dan otot
polos. Fungsi testis adalah sebagai organ tempat diproduksinya spermatozoa dan hormon seks.
Di dalam testis terdapat tubulus seminiferus, jaringan ikat dan pembuluh darah. Tubulus
seminiferus merupakan komponen terbesar penyusun testis. Apabila terjadi kerusakan pada sel-
sel penyusun tubulus seminiferus maka akan terjadi penurunan bobot testis (Hardiyono dan
Soekanto 2013). Apabila terjadi kelainan pada testis maka dapat mempengaruhi proses
spermatogenesis yang dapat mempengaruhi penurunan kualitas spermatozoa (Aziz 2013).

Vesikula seminalis berjumlah sepasang, terletak di bawah dan atas kantung kemih.
Vesikula seminalis merupakan tempat untuk menampung sperma sebelum dikeluarkan. Apabila
sperma yang dihasilkan semakin banyak, maka akan semakin banyak pula sperma yang
ditampung di vesikula seminalis. Semakin banyak sperma yang ditampung di vesikula seminalis
maka akan berpengaruh terhadap peningkatan bobot vesikula seminalis. (Suhartinah 2011).

7
BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Langkah penelitian


a. Determinasi Tanaman
b. Pembuatan Simplisia Daun Katuk
c. Pembuatan Ekstrak Etanol 70% Daun Katuk
d. Pembuatan Fraksi dari Ekstrak Etanol 70% Daun Katuk
e. Pemeriksaan Karakteristik Mutu Ekstrak dan Fraksi
f. Penapisan Fitokimia dengan Metode KLT
g. Perhitungan dan Penetapan Dosis
h. Pembuatan Sediaan Uji dan Pembanding
i. Pengelompokan Hewan Uji
j. Pengujian aktivitas afrodisiak serta pengukuran bobot testis dan vesikula seminalis tikus
jantan
k. Analisa Data
3.2. Lokasi Penelitian
a. Tanaman diperoleh dari BALLITRO, Bogor.
b. Determinasi tanaman dilakukan di LIPI Cibinong.
c. Sampel tikus diperoleh dari IPB.
d. Pembuatan ekstrak, fraksi, identifikasi kandungan senyawa kimia, dan pengujian
standarisasi mutu akan dilakukan di Laboratorium Terpadu FFS UHAMKA, Jakarta.
e. Pengujian efek afrodisiaka akan dilakukan di Laboratorium Terpadu FFS UHAMKA,
Jakarta.
3.3. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu: maserator, kertas coklat, rotary
evaporator, gelas kimia, labu ukur, corong gelas, batang pengaduk, pipet tetes, corong pisah,
pipa kapiler, chamber, neraca analitik, kandang aquarium, tempat pakan dan minum tikus,
termometer, kamera, vial, spuit peroral.
Simplisia yang digunakan adalah daun katuk segar yang diperoleh dari Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO). Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah etanol
8
70%, pelarut untuk fraksinasi adalah n-heksana, etil asetat dan air. Na CMC 0,5% sebagai
pembawa, kapsul X-gra® sebagai kelompok positif, Progynova® sebagai penginduksi hormon
esterogen bagi tikus betina. Pereaksi yang diguanakan untuk penapisan fitokimia fraksi daun
katuk adalah amonia, Liebermann Bourchard, Dragendorff, FeCl3. Fase diam yang digunakan
adalah plat silika gel GF254. Eluen yang digunakan adalah butanol, asam asetat, kloroform,
metanol, n-heksana, etil asetat.
Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini menggunakan tikus putih jantan dan betina
galur Sprague Dawley dengan berat 150-250 g dan umur lebih dari 2-3 bulan.
3.4. Pembuatan bahan uji
Daun katuk dibuat bentuk simplisianya, diayak dengan ayakan nomor 40 dan kemudian
ditimbang (Suprayogi dkk 2009). Ekstrasi daun katuk dilakukan dengan metode maserasi.
Sebanyak 1 kg simplisia direndam dengan 6 L pelarut etanol 70% di dalam maserator. Ekstrak
etanol yang diperoleh kemudian dipekatkan hingga menjadi ekstrak kental menggunakan rotary-
evaporator dengan pengaturan suhu 40C (Suprayogi dkk 2009).
Ekstrak etanol 70% kental daun katuk lalu difraksinasi dengan pelarut yang berurutan
tingkat kepolarannya, dimulai dari yang kurang polar hingga yang sangat polar, yatu n-heksana,
etil asetat, dan air. Masing-masing fraksi yang diperoleh selanjutnya dipekatkan, dan diukur
bobotnya. Fraksi disimpan di dalam desikator hingga pengujian afrodisiaka dilakukan
(Suprayogi dkk 2009).
3.5. Karakterisasi fraksi
Karakterisasi fraksi meliputi pemeriksaan organoleptis; identifikasi kandungan senyawa
kimia (screening) secara kualitatif dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) terhadap
kandungan senyawa yang mungkin terdapat di dalamnya, diantaranya yaitu flavonoid, alkaloid,
saponin, tanin, dan triterpenoid; penetapan kadar air; penetapan susut pengeringan; dan
perhitungan rendemen ekstrak dan fraksi.
3.6. Persiapan hewan coba
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL). Hewan
percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 25 ekor yang dibagi menjadi 5 kelompok
yang terdiri dari 5 ekor tikus dalam satu kelompok. Tikus dikarantina selama 7 hari dengan
tujuan mengadaptasikan tikus pada lingkungan dan perlakuan yang baru. Pada proses adaptasi

9
tikus diberi pakan standar berupa pellet dan aquades. Pada tahap ini dilakukan pengamatan
umum dan penimbangan berat badan setiap hari agar diperoleh tikus yang sehat.
3.7. Pengujian efek afrodisiaka
Pada hari ke 0,1,3 dan 5 tikus jantan diberi perlakuan peroral dan dimasukan ke dalam
aquarium yang berisikan tiga tikus betina yang telah diberi estradiol valerate 48 jam sebelum
pengamatan secara oral dan dibiarkan hingga terjadi indtroduction dan climbing. Batasan
aktivitas climbing yang diamati pada penelitian ini adalah saat tikus jantan menunggangi tikus
betina dari belakang dan batasan introduction yang diamati pada penelitian ini adalah saat tikus
jantan mencium atau menjital alat kelamin tikus betina. Pengamatan dilakukan tiap 1 jam pada 4
kali pengamatan yaitu pada hari ke-0, 1, 2, 3 dan 5. Kemudian dilihat berapa kali terjadinya
climbing dan introduction. Parameter lain yang diamati adalah peningkatan bobot testis dan
vesikula seminalis tikus putih jantan dimana pada hari ke-15 tikus dianestesi dengan ketamin,
kemudian dilakukan pembedahan dan dihitung bobot testis dan vesikulas seminalisnya.

10
Gambar 3.1. Skema Prosedur Perlakuan Hewan Uji
3.8. Analisa Data
Data yang diperoleh adalah jumlah climbing dan introduction dalam 1 jam selama 4 kali
pengamatan serta bobot testis dan bobot vesikula seminalis yang dianalisa secara statistik. Mula-
mula diuji normalitas dan homogenitasnya. Setelah itu dilakukan uji ANOVA twoway dengan
taraf signifikan 95% (α=0,05), kemudian untuk melihat adanya pengaruh perlakuan dilanjutkan
dengan uji post hoc LSD untuk melihat perbedaan yang bermakna (Harmusyanto 2013).

11
3.9. Fishbond Penelitian

Gambar 3.2. Diagram Fishbond Penelitian

12
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil determinasi simplisia


Daun katuk yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat (BALITTRO) dan dideterminasi di Herbarium Bogoriense, LIPI Cibinong
yang menunjukkan bahwa tanaman yang digunakan adalah daun katuk (Sauropus androgynus
(L.) Merr) dengan keluarga Euphobiaceae. Determinasi bertujuan agar tidak terjadi kesalahan
jenis tanaman yang akan digunakan untuk penelitian.

B. Hasil pembuatan serbuk daun katuk dan ekstraksi etanol 70%


Hasil pembuatan serbuk daun katuk dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil serbuk daun katuk


Jenis Serbuk
Daun Katuk
5 kg
Segar
Serbuk Daun 1,43 kg
Katuk
Ekstrak kental 314,52 g
C. Hasil fraksinasi ekstrak kental daun katuk
Hasil fraksinasi ekstrak etanol 70% daun katuk dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil Fraksinasi Ekstrak 70% Daun Katuk

No Jenis Hasil

1. Fraksi n-heksana 5,35 gram

2. Fraksi Etil asetat 16,23 gram

3. Fraksi Air 162,32 gram

13
D. Hasil pemeriksaan kandungan kimia dari ekstrak dan fraksi daun katuk dengan
metode KLT
Penapisan fitokimia pada ekstrak dan fraksi dilakukan dengan metode Kromatografi Lapis
Tipis (KLT) menggunakan fase diam Silika Gel GF254 dan berbagai macam fase gerak.
Pemisahan yang terjadi pada KLT berdasarkan pada mekanisme adsobsi dan partisi. Pada
umumnya, KLT lebih banyak digunakan untuk tujuan identifikasi karena cara ini mudah,
sederhana dan memberikan pilihan fase gerak yang lebih beragam (Hanani 2016). Tujuan
dilakukan uji penapisan fitokimia menggunakan metode KLT adalah untuk memastikan bahwa
senyawa aktif benar berada di dalam ekstrak (Saifudin dkk 2011), serta menelusuri kandungan
kimia yang terdapat pada masing-masing hasil fraksi.

Hasil pemeriksaan kandungan kimia dari ekstrak dan fraksi daun katuk dengan metode KLT
dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 1.

Tabel 4 Hasil pemeriksaan kandungan kimia dari ekstrak dan fraksi daun katuk
Jenis Fraksi
Senyawa
Ekstrak n-heksana Etil asetat Air

Flavonoid (+) (+) (+) (-)

Saponin (+) (+) (+) (-)

Alkaloid (+) (+) (+) (-)

Tannin (+) (-) (+) (+)

Terpenoid (+) (+) (+) (-)

Keterangan : - : Tidak mengandung senyawa yang dideteksi


+ : Mengandung senyawa yang dideteksi

14
Keterangan: lingkaran merah menunjukkan keberadaan senyawa yang diidentifikasi. (A)
identifikasi flavonoid; (B) identifikasi saponin; (C) identifikasi alkaloid; (D) identifikasi tanin;
(E) identifikasi terpenoid.
FA = fraksi air; FEA = fraksi etil asetat; FH = Fraksi n-heksana; EK = ekstrak etanol 70%
daun katuk

Gambar 1. Kromatogram pemeriksaan kandungan kimia ekstrak etanol dan fraksi daun
katuk pada plat silika gel GF254
.
E. Hasil perhitungan climbing dan introduction
Hasil data yang diperoleh berupa jumlah climbing dan introduction dalam 1 jam
selama 4 kali pengamatan, kemudian jumlah climbing dan introduction yang didapat
dirata-rata terhadap jumlah tikus betina dalam masing-masing kelompok. Hasil rata-rata
climbing dan introduction dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.

15
Gambar 2. Grafik Rerata Jumlah Introduction

Gambar 1 menunjukkan grafik rerata jumlah Introduction dari setiap kelompok. Hasil
penelitian menunjukkan fraksi n-heksana memiliki aktifitas yang paling tinggi dengan
jumlah rata-rata introduction 27,75 kali, sedangkan fraksi etil asetat memiliki rata-rata
jumlah introduction 14,25 kali dan fraksi air dengan rata-rata jumlah introduction 13,25
kali. Sehingga dapat dikatakan fraksi n-heksana adalah fraksi yang paling berpengaruh
diantara kedua fraksi lainnya sementara kelompok kontrol positif menunjukkan rata -rata
jumlah climbing yang paling tinggi dengan jumlah rata-rata introduction 29,5 hal ini
menunjukkan bahwa kontrol positif memiliki aktifitas afrodisiaka yang paling besar.

Pengujian statistik introduction dimulai dengan uji normalitas dan homogenitas. Uji
normalitas pada introduction menunjukkan nilai sig = 0,803 dan dapat dikatakan bahwa
data introduction terdistribusi normal karena sig > 0,05, sementara untuk uji homogenitas
introduction menunjukkan nilai sig = 0,408 dan dapat dikatakan bahwa data introduction
terdistribusi homogen karena nilai sig > 0,05. Setelah data diketahui terdistribusi normal
dan homogen maka pengujian dilanjutkan dengan uji ANAVA satu arah. Hasil dari
ANAVA satu arah, introduction memiliki sig= 0,002 dan dapat dikatakan bahwa terdapat
perbedaan yang bermakna terhadap jumlah introduction.

Hasil uji Tukey HSD (Honestly Significant Different) rata-rata jumlah introduction
menunjukkan bahwa kelompok fraksi air dan fraksi etil asetat tidak berbeda bermakna
dengan kontrol normal, sedangkan fraksi n-heksana berbeda bermakna dengan kontrol

16
normal dan tidak berbeda bermakna dengan kontrol positif, sehingga dapat dikatakan fraksi
n-heksana memiliki hasil yang sebanding dengan kontrol positif.

Gambar 3 Grafik Rerata Jumlah Climbing

Gambar 2 menujukkan rerata jumlah Climbing setiap kelompok perlakuan. Hasil


penelitian menunjukkan fraksi n-heksana memiliki aktifitas yang paling tinggi dengan
jumlah rata-rata jumlah climbing 16,5 kali sedangkan fraksi etil asetat memiliki rata-rata
jumlah climbing 11,75 kali dan fraksi air dengan rata-rata jumlah climbing 8,5 kali.
Sehingga dapat dikatakan fraksi n-heksana adalah fraksi yang paling berpengaruh diantara
kedua fraksi lainnya sementara kelompok kontrol positif menunjukkan rata-rata jumlah
climbing yang paling tinggi dengan jumlah rata-rata climbing 27 kali. Hal ini menunjukkan
bahwa kontrol positif memiliki aktifitas afrodisiaka yang paling signifikan.

Pengujian statistik untuk climbing dimulai dengan uji normalitas dan homogenitas.
Uji normalitas pada climbing menunjukkan nilai sig = 0,947 dan dapat dikatakan bahwa
data climbing terdistribusi normal karena sig > 0,05 sementara untuk uji homogenitas
climbing menunjukkan nilai sig = 0,525 dan dapat dikatakan bahwa data climbing
terdistribusi homogen karena nilai sig > 0,05. Setelah data diketahui terdistribusi normal
dan homogen maka pengujian dilanjutkan dengan uji ANAVA satu arah. Hasil dari
ANAVA satu arah climbing memiliki sig= 0,000 dan dapat dikatakan bahwa terdapat
perbedaan yang bermakna terhadap jumlah climbing

17
Hasil uji Tukey HSD (Honestly Significant Different) rata-rata jumlah climbing
menunjukkan bahwa kelompok fraksi air tidak berbeda bermakna dengan kelompok
kontrol normal, sedangkan fraksi etil asetat dan fraksi n-heksana memiliki perbedaan yang
bermakna dengan kontrol normal. Hasil uji Tukey juga menunjukkan bahwa Fraksi n-
heksana tidak berbeda bermakna dengan kontrol positif, sedangkan fraksi etil asetat dan
fraksi air berbeda bermakna dengan kontrol positif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fraksi yang paling berpengaruh terhadap
jumlah climbing dan introduction adalah fraksi n-heksana. Hal ini dapat terjadi
dikarenakan adanya beberapa senyawa aktif yang terdapat di dalam fraksi n-heksana
sebagaimana hasil KLT yang telah dilakukan bahwa didalam fraksi n-heksana
mengandung senyawa flavonoid, terpenoid, alkaloid dan saponin. Saponin dapat
meningkatkan libido melalui mekanisme meningkatkan produksi androgen dan berperan
dalam biosintesis dihidrotestosteron sehingga meningkatkan kadar testosteron dalam tubuh.
Peningkatan kadar testosteron memiliki hubungan dengan peningkatan libido (Andini
2012). Steroid yang terdapat di dalam fraksi n-heksana daun katuk mempengaruhi aktivitas
seksual melalui mekanisme kerja menggantikan kolesterol dalam mensintesis testosteron
(Wahdaningsih 2012). Testosteron disintesis dari prekursor kolesterol yang dikenal dengan
nama pregnolon. Pregnolon selanjutnya akan diubah menjadi progesteron yang akan
berperan sebagai prekursor dalam menginduksi pembentukan androgen seperti testosteron
(Hafez 2000). Senyawa alkaloid juga memiliki peranan dalam meningkatkan dilatasi pada
pembuluh darah alat kelamin yaitu dengan membantu relaksasi otot polos corpus
cavernosum yang memicu terjadinya ereksi. Alkaloid memiliki aktifitas dalam merangsang
pembuluh darah di penis untuk mengeluarkan neurotransmitter NO (Nitric Oxide) yang
akan mengaktifkan enzim guanilate cyclase. Enzim guanilate cyclase akan menstimulasi
perubahan GTP (guanil-triphospate) menjadi cGMP (cyclic guanile-monophosphate).
cGMP menurunkan kadar kalsium dalam sel sehingga terjadi relaksasi sel-sel otot dari
dindingnya dan terjadi vasodilatasi lokal. Daerah dinding pembuluh darah penis diisi oleh
banyak darah dan terjadilah ereksi (Arifin 2013). Flavonoid bekerja dengan cara
meningkatkan kadar dehydroepiandrosteron, yang ikut berperan dalam meningkatkan
kadar hormon testosteron dan mendorong perilaku seksual pada pria (Andini 2012).

18
F. Pengukuran Bobot Testis dan Vesikula Seminalis
Parameter bobot testis dan vesikula seminalis digunakannya dalam penelitian ini karena
testis merupakan organ yang berfungsi sebagai tempat memproduksi sperma dan hormon
kelamin yang disebut hormon testosteron, sehingga semakin tinggi sperma yang diproduksi maka
akan berpengaruh terhadap peningkatan bobot testis, sedangkan bobot vesikula seminalis
digunakan sebagai parameter karena vesikula seminalis merupakan organ yang berfungsi sebagai
tempat menampung sperma yang disebut sebagai kantung semen. Semakin banyak sperma yang
dihasilkan, maka akan semakin banyak pula sperma yang ditampung di dalam vesikula
seminalis, sehingga bobot vesikula seminalis akan bertambah (Suhartinah 2011).
Data peningkatan bobot testis dan vesikula seminalis dihitung dalam persentase dengan
menggunakan rumus:

………………………… (5)
……

………………………… (6)
……

19
Tabel 7. Rata-rata Persentase Peningkatan Bobot Testis dan Vesikula Seminalis
Terhadap Berat Badan

No Kelompok Rata-rata peningkatan Rata-rata peningkatan


bobot testis (%) bobot vesikula seminalis
(%)

1 Normal (Na CMC 1,087 0,412


0,5%)

2 Positif (X-Gra®) 1,281 0,696

3 Fraksi n-Heksana 1,198 0,649

4 Fraksi Etil Asetat 1,152 0,575

5 Fraksi Air 1,119 0,498

Hasil analisa statistik menunjukkan data terdistribusi normal pada peningkatan bobot testis
(=0,582) dan peningkatan bobot vesikula seminalis (=0,582) dengan ketentuan  > 0,05. Data
juga menunjukkan homogen pada peningkatan bobot testis (=0,923) dan peningkatan bobot
vesikula seminalis ( = 0,190) dengan ketentuan  > 0,05. Hasil uji data persentase bobot testis
dan vesikula seminalis masing-masing menunjukkan nilai ρ=0,000. Analisa tersebut
menunjukkan bahwa ketiga fraksi memiliki pengaruh secara bermakna terhadap peningkatan
bobot testis dan vesikula seminalis. Berdasarkan hasil uji tukey HSD pada peningkatan bobot
testis, kelompok fraksi air dan etil asetat sebanding dengan kontrol normal dan kelompok fraksi
n-heksana berbeda signifikan dengan kontrol normal namun tidak sebanding dengan kelompok
kontrol positif. Berdasarkan hasil uji tukey HSD pada peningkatan bobot vesikula seminalis,
kelompok fraksi air dan etil asetat sebanding dengan kontrol normal. Kelompok fraksi n-heksana
berbeda signifikan dengan kelompok kontrol normal dan sebanding dengan kelompok kontrol
positif, hal ini dilihat dari nilai signifikansi =0,965 (>0,05) dengan ketentuan  < 0,05. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa fraksi n-heksana memiliki efek yang lebih besar dalam

20
meningkatkan bobot testis dan bobot vesikula seminalis dibandingkan kelompok kontrol normal.
Hal ini dikarenakan di dalam fraksi n-heksana terdapat senyawa yang berpengaruh terhadap
peningkatan bobot testis dan vesikula seminalis seperti terpenoid, alkaloid, saponin dan
flavonoid. Terpenoid memiliki mekanisme kerja dengan cara berikatan dengan saponin sehingga
membentuk ikatan saponin triterpenoid yang mempengaruhi aktivitas seksual melalui
mekanismenya dalam menggantikan kolesterol untuk mensintesis testosteron. (Wahdaningsih
2012). Alkaloid bekerja dengan cara membantu relaksasi otot polos corpus cavernosum yang
memicu terjadinya ereksi. Mekanisme sentral yang dimiliki alkaloid adalah meningkatkan
pelepasan nitric oxide dari endothelial dan ujung saraf. Alkaloid diketahui memiliki peranan
dalam menginduksi vasodilatasi sehingga menimbulkan ereksi dengan cara meningkatkan
dilatasi pembuluh darah pada alat kelamin pria (Andini 2014). Mekanisme kerja alkaloid yang
lain adalah mempengaruhi spermatogenesis dengan cara menekan sekresi hormon reproduksi
yang diperlukan untuk berlangsungnya spermatogenesis (Solihati 2013). Saponin bekerja dengan
cara meningkatkan kadar FSH dan LH, meningkatkan produksi androgen melalui jalur langsung
maupun tidak langsung. Saponin dalam bentuk steroid glikosida berperan dalam biosintesis
Dehydroepiandrosteron (DHEA) sehingga meningkatkan kadar testosteron dalam tubuh. Apabila
kadar testosteron dalam tubuh meningkat, maka akan berpengaruh terhadap peningkatan libido
dan spermatogenesis (Andini 2014). Flavonoid memiliki mekanisme kerja menghambat aktivitas
enzim fosfodiesterase 5 (PDE5). Mekanisme kerja flavonoid yang lain adalah melindungi sel
dari serangan radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan sel. Selain itu, flavonoid juga
dapat meningkatkan kadar testosteron dengan cara meningkatkan DHEA (Wahdaningsih 2012).

21
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

1. Fraksi n-heksana daun katuk (2,37 mg/200 g BB) mampu meningkatkan libido dengan rata-
rata jumlah climbing yang sebanding kontrol positif (X-gra® 10,274 mg/200gBB).
2. Fraksi n-heksana daun katuk (2,37 mg/200 g BB) mampu meningkatkan bobot testis yang
lebih besar dibandingkan dengan kontrol normal namun tidak sebanding dengan kelompok
kontrol positif (X-gra® 10,274 mg/200gBB).
3. Fraksi n-heksana daun katuk (2,37 mg/200 g BB) mampu meningkatkan bobot vesikula
seminalis yang lebih besar dibandingkan dengan kontrol normal dan sebanding dengan
kelompok kontrol positif (X-gra® 10,274 mg/200gBB).
4. Kelompok senyawa yang terkandung di dalam fraksi n-heksana adalah flavonoid, alkaloid,
saponin dan terpenoid, sedangkan fraksi etil asetat mengandung flavonoid, alkaloid, saponin,
tanin dan terpenoid.

5.2. Saran
Perlu dilakukan pengujian toksisitas terhadap fraksi n-heksana sebagai fraksi aktif
peningkat libido tikus. Selain itu, perlu dilakukan pula pemisahan berlanjut ke tahap subfraksi
atau isolasi untuk memperoleh senyawa spesifik yang bertanggung jawab terhadap aktivitas
peningkatanlibido tikus.

22
BAB 6 LUARAN YANG DICAPAI

Submit di Jurnal Nasional Terakreditasi yaitu Jurnal PHARMACEUTICAL SCIENCES AND


RESEARCH

23
DAFTAR PUSTAKA

Andini, D. 2014. Potential of Katuk Leaf (Sauropus androgynus L Merr) As Aphrodisiac. J


Majority. Vol 3 No 7. Hlm : 17-22

Arifien, A. 2013. Uji Efek Seduhan Daun Katuk (Sauropus androgynus) Terhadap Libido Tikus
Jantan (Rattus novergicus) Dalam Penggunaannya Sebagai Afrodisiaka Dengan Alat
Libidometer. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol 2 No 1.

Dito, A. 2012. Ejakulasi Dini. CDK-199, volume 39, No. 11

Hafez ESE 2000. Reproduction in Farm Animals. Lea and Febiger, USA

Harmusyanto, R. 2013. Studi Mengenai Efek Daun Katuk (Sauropus androgynus L Merr)
Terhadap Libido Kelinci Jantan (Oryctolagus cuniculus) Sebagai Afrodisiaka. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol 2 No 1. Hlm: 12

Hatzimouratidis, K., Eardley, I., Giuliano,F., Moncada, I., & Salonia, A. 2015. Guidelines on
Male Sexual Dysfunction: Erectil dysfunction and Premature ejaculation. European
Association of Urology.

Maulita, W dkk. 2016. Pengaruh Ekstrak Daun Katuk (Sauropus androgynus (L) Merr) Terhadap
Viabilitas, Motilitas Dan Konsentrasi Spermatozoa Mencit Jantan Balb/c Yang Diberi
Paparan Asap Rokok. Proceeding book “Scientifict Annual Meeting”, Forum Kedokteran
Islam Indonesia (FOKI). Hlm : 2-6

Nchegang, B., Mezui, C., Longo, F. Nkwengoua, Z, E., Amang, A, P., & Tan, V, P. 2016.
Effects of the Aquoeus Extract of Eremomastax speciosa (Acantaceae) on Sexual Behavior
in Normal Male Rats. Biomed Research International. Volume 2016. 10 pages.

Ramlachan, P & Campbell, M. 2014. Male sexual dysfunction. South Africa Medical Journal,
104 (6): 447

24
Selvi, S & Basker, A. 2012. Phytocemical Analysis and GC-MS Profiling in the Leave of
Saurpus androgynus (L) Merr. International Journal Of Drug Development and Research.
PRIST University. India. Hlm : 162

Serefoglu et al. 2013. An Evidence Based Unified Defenition f Lifelong and Acquired Premature
Ejaculation: Report of The International Society for Sexual Medicine (ISSM) Second Ad
Hoc Committee for the Defenition of Premature Ejaculation. The International Society for
Sexual Medicine (ISSM)

Singh, R., Singh, S., Jeyabalan, G., & Ali, A. 2012. An Overview On Traditional Medicine
Plants as Aphrodisiac Agent. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry. No 8192.
Hlm : 43-44

Solihati, N. 2013. Antifertilitas Ekstrak Pegagan (Centella asiatica) dan Reversibilitas Fungsi
Reproduksi Pada Tikus (Rattus norvegicus) Jantan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.

Suprayogi, A., Kusumorini, N., Setiadi M, A., & Murti, Y, B. 2009. Produksi fraksi daun katuk
terstandar sebagai bahan baku obat perbaikan gizi, fungsi reproduksi, dan laktasi. Bogor:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, IPB.

Wahdaningsih, Sri., Dian S., Inarah F. 2012. Uji Aktivitas Afrosiaka Ekstrak Etanol 70% Daun
Tapak Liman pada Mencit Putih Jantan Galur BALB/C. Skripsi. Pontianak : Fakultas
Kedokteran, Universitas Tanjungpura

WHO, (World Health Organisation). 2008. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/Fs134/en.


Diakses Agustus 2017.

Yuanti, R. 2010. Uji Afrodisiaka Fraksi Kloroform Ekstrak Etanol 70% Kuncup Bunga Cengkeh
(Syzygium aromaticum (L.) Merr.&amp; Perry) terhadap Libido Mencit Jantan. Dalam:
Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta. Hlm. 20

Yuwanti, R. 2010. Uji Afrodisiaka Fraksi Kloroform Ekstrak Etanol 70% Kuncup Bunga
Cengkeh (Syzigium aromaticum L Merr & Perry) Terhadap Libido Tikus Jantan. Skripsi.
Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

25
Lampiran 1. Artikel yang telah di Submit

TEMPLATE
PHARMACEUTICAL SCIENCES AND RESEARCH

AKTIVITAS AFRODISIAKA FRAKSI DARI EKSTRAK


ETANOL 70% DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L).
Merr) PADA TIKUS PUTIH JANTAN

Numlil Khaira Rusdi, Ni Putu Ermi Hikmawanti, Maifitrianti, Yuanita


Sofiana Ulfah, Ayyoehan Tiara Annisa
Program Studi Farmasi, Fakultas Farmasi dan Sains, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka, Jakarta
Email: ermy0907@uhamka.ac.id

Abstract
Decreased of libido is illustrate with disinterest in sexual activity caused by erectile dysfunction,
impotence, and infertility. It can be treated by aphrodisiac agents. Katuk or Sauropus androgynus (L).
Merr has long been used as a medicinal plant. The aim of this research was to evaluate which fraction of
katuk leaf ethanol extract that has the aphrodisiac activity with parameters of climbing, introduction and
the weight of testicular and seminal vesicle of male rat. Sprague-Dawley male rats as an animal model
divided into five groups: the normal control group, the positive control group (X-gra®), the n-hexane,
ethyl acetate and water fraction groups in which each fraction group given a dose of 11.85 mg/kgBB. The
number of climbing and introduction was calculated on 0, 1st, 3th, and 5th days. The data were tested
statistically with one-way ANOVA test followed by Tukey test. The weight of testicular and seminal
vesicle of male rat were observed on the 15th day. Previously, rats were anesthetized using ketamine and
then performed surgery. The results show that the n-hexane fraction (11.85 mg/kgBB) can increase libido
with the average number of climbing was 16.5 times and the average number of introduction was 27.75
times. It is also able to increase the weight of testicular and seminal vesicle of male rat comparable to
positive control (X-gra® 51.37 mg/kgBB). The compounds contained in n-hexane fraction are flavonoids,
alkaloids, saponins, and terpenoids.

Keywords: aphrodisiac, Sauropus androgynus (L). Merr, fractionation

Abstrak
Penurunan libido digambarkan dengan ketidaktertarikan dalam melakukan aktivitas seksual yang
disebabkan karena disfungsi ereksi, impoten dan infertilitas. Penurunan libido dapat diatasi dengan obat-
obatan yang dapat meningkatkan gairah seksual (afrodisiaka). Daun katuk (Sauropus androgynus (L).
Merr) telah lama digunakan sebagai tanaman obat. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui fraksi dari

26
ekstrak etanol daun katuk yang berpengaruh dalam meningkatkan libido dengan parameter climbing,
introduction, dan peningkatan bobot testis dan vesikula seminalis tikus putih jantan. Tikus jantan galur
Sprague-Dawley sebagai model hewan coba dibagi menjadi 5 (lima) kelompok yaitu kelompok kontrol
normal, kelompok kontrol positif (X-gra®), kelompok fraksi n-heksana, fraksi etil asetat dan fraksi air
dimana tiap kelompok fraksi diberi dosis 11,85 mg/kgBB. Perhitungan jumlah climbing dan introduction
dilakukan pada hari ke-0, 1, 3 dan 5. Data yang didapat diuji secara statistik dengan uji one-way ANOVA
yang dilanjutkan dengan uji Tukey. Parameter peningkatan bobot testis dan vesikula seminalis tikus putih
jantan diamati pada hari ke-15. Sebelumnya, tikus dianestesi dengan ketamin, kemudian dilakukan
pembedahan. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, diperoleh bahwa fraksi n-heksana dengan
dosis 11,85 mg/KgBB dapat meningkatkan libido dengan rata-rata jumlah climbing 16,5 kali dan rata-rata
jumlah introduction 27,75 kali. Fraksi tersebut juga mampu meningkatkan bobot testis dan bobot vesikula
yang sebanding kontrol positif yaitu X-gra® dengan dosis 51,37 mg/kgBB pada tikus putih jantan galur
Sprague-Dawley. Senyawa yang terkandung di dalam fraksi n-heksana adalah flavonoid, alkaloid,
saponin dan terpenoid.

Kata kunci: afrodisiaka, Sauropus androgynus (L). Merr, fraksinasi

PENDAHULUAN
United State National Health and Social Life Survey (NHSLS) memperkirakan bahwa
sekitar 31% pria menderita disfungsi seksual seumur hidup mereka. Keluhan yang paling sering
yang dialami pasien pria dengan disfungsi seksual adalah disfungsi ereksi dan ejakulasi dini
(Ramlachan, 2014). Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan yang bersifat persisten untuk
mencapai dan mempertahankan keadaan ereksi penis dalam mencapai kepuasan seksual
(Hatzimouratidis et al., 2015). Ejakulasi dini adalah disfungsi seksual pria yang ditandai dengan
ejakulasi yang selalu atau hampir selalu terjadi sekitar satu menit sebelum atau di dalam vagina
saat melakukan penetrasi dan ketidakmampuan untuk menunda ejakulasi di (hampir) semua
penetrasi; juga akibat-akibat negatif seperti: penderitaan, kekhawatiran, kecemasan, frustrasi
dan/atau menghindari hubungan seksual (Serefoglu et al., 2013).
Disfungsi ereksi mempengaruhi pria dari semua kelompok umur (terutama 40-70 tahun),
semua kelompok pekerjaan dan semua tingkat sosiokultural. Diabetes melitus, hipertensi,
alkoholisme, merokok dan penyakit prostat adalah faktor resiko gangguan seksual ini.
Diperkirakan sekitar 150 juta jiwa di seluruh dunia menderita disfungsi ereksi (Nchegang et al.,
2016). Sementara itu data epidemiologis menunjukan bahwa di seluruh dunia, ada sekitar 22-38%
penderita ejakulasi dini. Ejakulasi dini mempengaruhi sekitar 14-30% pria berusia lebih dari 18
tahun, 30%-40% pria yang aktif secara seksual, dan 75% pria di saat tertentu di dalam
kehidupannya (Dito, 2012). Ejakulasi dini dapat disebakan karena disfungsi urologi, disfungsi

27
tiroid atau psikologis dan atau masalah dengan pasangan (Ramlachan, 2014). Disfungsi seksual
dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan psikososial dan dapat memiliki pengaruh signifikan
terhadap kualitas hidup penderita dan pasangannya. Selain itu terdapat peningkatan bukti bahwa
disfungsi ereksi mengawali gejala penyakit arteri koroner dan pembuluh darah perifer
(Laumann, et al., 2015). Masalah ini juga cenderung serius dan menghambat hubungan
pasangan yang terkadang menimbulkan perceraian (Nchegang et al., 2016).
Penanganan medis untuk disfungsi ereksi meliputi pemberian obat inhibitor
phosphodiesterase type 5 (PDE-5 seperti sildenafil, terapi lokal dengan pemberian alprostadil
intracarvernous dan intrauretral, alat vacuum constriction, dan psikoterapi. Penderita ejakulasi
dini memerlukan konseling psikoseksual dan kadang pemberian obat seperti Dapoxetin.
Pemberian obat selective serotonin reuptake inhibitor, antidepresan trisiklik, dan anastesi topikal
menunjukkan efikasi pada penderita ejakulasi dini (Hatzimouratidis et al. 2015).
Masyarakat di beberapa Negara berkembang banyak menggunakan tanaman obat untuk
pengobatan. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa alasan seperti krisis ekonomi, kurangnya
infrastruktur kesehatan modern, dan harga obat yang mahal (Nchegang et al., 2016). World
Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 80% populasi Asia dan Afrika
mengandalkan pengobatan tradisional sebagai metode utama dalam perawatan kesehatan (WHO,
2008). Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai alteratif dalam pengobatan adalah
Sauropus androgynus L. Merr atau lebih dikenal dengan daun katuk. Daun katuk mengandung
sterol, resin, tanin, saponin, alkaloid, flavonoid, terpenoid, glikosida, dan fenol (Selvi & Basker
2012). Saponin, flavonoid, alkaloid dan steroid pada daun katuk merupakan senyawa aktif yang
memiliki potensi sebagai afrodisiaka (Andini, 2014). Afrodisiaka digambarkan sebagai suatu zat
yang dapat meningkatkan gairah seksual. Beberapa penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa
daun katuk dapat memiliki aktivitas afrodisiaka. Arifien (2013) menyimpulkan bahwa pemberian
seduhan daun katuk secara oral selama 14 hari pada tikus jantan dewasa efektif meningkatkan
libido dengan dosis 100 mg/Kg BB. Sejalan dengan penelitian ini, Harmusyanto (2013)
menyimpulkan bahwa pemberian seduhan daun katuk dengan dosis 5 g/Kg BB yang diberikan
secara, per oral selama 14 hari dapat meningkatkan libido kelinci jantan. Maulita dkk (2016)
menyimpulkan daun katuk berpengaruh signifikan terhadap kualitas spermatozoa mencit yang
dipaparkan asap rokok dengan dosis 6 mg/ml.

28
Berdasarkan latar belakang tersebut perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
memperoleh kelompok senyawa yang lebih spesifik dan diharapkan dapat mengarahkan pada
informasi kelompok senyawa mana yang diduga efektif sebagai afrodisiaka. Oleh karena itu pada
penelitian ini akan dilakukan uji aktivitas afrodisiaka fraksi dari ekstrak etanol 70% daun Katuk
pada tikus putih jantan. Fraksinasi bertujuan untuk memisahkan kelompok senyawa aktif secara
spesifik berdasarkan tingkat kepolarannya (kurang polar, semi polar, dan polar). Efek afrodisiaka
dapat diamati melalui parameter menunggang (climbing) dan introduction serta peningkatan
bobot testis dan vesikula seminalis tikus putih jantan. Aktivitas climbing dengan batasan perilaku
tikus jantan pada saat menaiki betina dari belakang. Aktivitas kawin dengan batasan perilaku
tikus pada saat bersenggama atau berhubungan. Climbing pada tikus dipengaruhi oleh libido tikus
jantan dan kesediaan oleh tikus betina untuk disetubuhi tikus jantan. Libido tikus jantan dapat
muncul karena faktor hormonal dari dalam tikus itu sendiri, kondisi fisik, umur, suhu ruangan,
keadaan lingkungan, kondisi cahaya, luas kandang dan faktor tikus betina, yaitu faktor
hormonal dan aroma tubuh. Aroma tubuh tikus betina berhubungan dengan siklus estrusnya,
dimana pada stadium estrus tikus betina lebih siap kawin (Arifien, 2013). Introduction
merupakan batasan perilaku tikus jantan dalam melakukan ciuman pada bagian mulut sampai
bagian leher dan melakukan penjilatan pada bagian kelamin tikus betina, aroma yang dikeluarkan
tikus betina pada saat masa estrus menyebabkan tikus jantan untuk mendekat pada bagian tubuh
betina. Parameter lain yang diamati adalah peningkatan bobot testis dan vesikula seminalis tikus
jantan (Arifien, 2013).
Upaya pengembangan bahan obat yang berasal dari tanaman Indonesia sangat perlu
dilakukan. Melalui penelitian ini akan diperoleh informasi tanaman obat Indonesia yang dapat
digunakan sebagai bahan afrodisiaka. Tingginya prevalensi disfungsi seksual menyebabkan
semakin tinggi penggunaaan obat-obat afrodisiaka. Penggunaan obat-obat kimia afrodisiaka,
seperti sildenafil, masih menimbulkan beberapa masalah, antara lain: menimbulkan efek samping
yang serius, ketidaksediaan obat dengan segera, dan harganya yang mahal. Diharapkan dengan
pengembangan obat-obat tradisonal yang berasal dari tanaman asli Indonesia dapat memberikan
kontribusi untuk dunia kesehatan dan memberikan pengobatan yang efek sampingnya lebih
rendah, ketersediaan obat dengan segera, dan harganya yang relatif lebih murah (cost effective).

METODE
29
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan yaitu: maserator, rotary evaporator merek EYELA, chamber, UV
Box merek CAMAG, neraca analitik merek OHAUS, oven merek MEMMERT, sonde tikus,
aquarium, tempat pakan dan minum tikus, kamera IR merek IP Kamera, dan alat-alat gelas yang
umum digunakan di laboratorium.
Bahan yang digunakan adalah daun katuk segar yang diperoleh dari Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO) pada 20 Maret 2017. Tanaman katuk dideterminasi di
Balai Penelitian dan Pengembangan Botani “Herbarium Bogoriense” LIPI, Bogor. Pelarut yang
digunakan untuk ekstraksi adalah etanol 70%. Pelarut untuk fraksinasi adalah n-heksana, etil
asetat, aquadest. Na CMC 0,5% sebagai pensuspensi. Kapsul X-gra® sebagai kelompok positif
yang didapat dari Pharos. Progynova® sebagai penginduksi hormon esterogen bagi tikus betina
yang diperoleh dari RSPAD Gatot Soebroto. Fase diam yang digunakan yang digunakan untuk
penapisan fitokimia adalah silika gel GF254 merek MERCK; eluen yang digunakan adalah
kloroform, metanol, n-heksana dan etil asetat; pereaksi deteksi yang digunakan adalah amonia,
Liebermann Bourchard, Dragendorff, ferri klorida dan vanilin-asam sulfat.. Hewan uji yang
digunakan adalah tikus putih jantan dan betina galur Sprague Dawley dengan berat 150-250
gram dan umur lebih dari 3-4 bulan yang diperoleh dari IPB (Institut Pertanian Bogor).
Jalannya Penelitian
1. Pembuatan serbuk simplisia daun katuk
Daun katuk segar disortasi basah, kemudian dicuci dengan air hingga bersih, ditiriskan,
dirajang, dan dikeringkan di bawah sinar matahari dengan ditutupi dengan kain hitam. Simplisia
kemudian diserbuk dan diayak dengan ayakan nomor 40. Serbuk yang diperoleh kemudian
ditimbang (Suprayogi, 2009).
2. Pembuatan ekstrak etanol 70% daun katuk
Ekstrasi daun katuk dilakukan dengan metode maserasi. Sebanyak 1,43 kg simplisia
direndam dengan pelarut etanol 70% di dalam maserator. Ekstrak etanol yang diperoleh
kemudian dipekatkan menggunakan rotary-evaporator dengan pengaturan suhu 40oC dan
dilanjutkan dengan bantuan waterbath hingga didapatkan ekstrak kental (Suprayogi, 2009).
Ekstrak kental dihitung persentase rendemennya terhadap simplisia yang diekstraksi. Ekstrak
ditetapkan kadar airnya dengan metode destilasi dan susut pengeringannya dengan metode
gravimetri (Depkes RI, 2000).
30
3. Pembuatan fraksi dari ekstrak etanol 70% daun katuk
Ekstrak etanol 70% daun katuk difraksinasi di dalam corong pisah dengan pelarut yang
berurutan tingkat kepolarannya, dimulai dari yang kurang polar hingga yang sangat polar, yaitu
n-heksana, etil asetat, dan air. Masing-masing fraksi yang diperoleh selanjutnya dipekatkan, dan
diukur bobotnya. Masing-masing fraksi dihitung persentase rendemennya terhadap ekstrak yang
difraksinasi. Fraksi disimpan di dalam desikator hingga pengujian afrodisiaka dilakukan
(Suprayogi, 2009).
4. Pemeriksaan kandungan kimia ekstrak dan fraksi daun katuk dengan metode KLT
Pemeriksaan kandungan kimia pada daun katuk berupa senyawa alkaloid, saponin,
flavonoid, tanin dan terpenoid yang dilakukan dengan metode KLT. Larutan uji dari ekstrak
maupun fraksi dilarutkan dalam etanol. Fase diam yang digunakan adalah plat silika gel GF254
dengan sistem fase gerak dan pereaksi deteksi yang disesuaikan pada masing-masing senyawa
yang dideteksi seperti pada Tabel 1.

5. Penetapan Dosis
a. Penetapan dosis ekstrak dan fraksi daun katuk
Berdasarkan penelitian Maulita dkk. (2016), dilaporkan bahwa ekstrak daun katuk 6 mg/20g
BB dapat meningkatkan kualitas sperma pada mencit yang terpapar asap rokok. Penelitian ini
menggunakan hewan tikus tanpa diberi paparan asap rokok, maka digunakan rumus FDA. Dosis
ekstrak untuk tikus adalah 30 mg/200g BB. Dosis fraksi ditentukan dari besarnya rendemen
fraksi yang diperoleh. Rendemen fraksi yang digunakan untuk menetapkan ketiga dosis fraksi
adalah rendemen fraksi yang terkecil yaitu rendemen fraksi n-heksana. Dengan demikian, dosis
fraksi yang digunakan adalah 2,37 mg/200g BB atau 11,85 mg/kgBB.
b. Penetapan dosis X-gra®
X-gra® digunakan sebagai kontrol positif. Dosis lazim penggunaan X-gra® pada manusia
adalah 500mg/60 kgBB maka perlu dilakukan konversi dari manusia ke tikus berdasarkan
dengan rumus FDA. Berdasarkan perhitungan, dosis X-gra® untuk tikus adalah sebesar 10,274
mg/200gBB atau 51,37 mg/kgBB.
c. Penetapan dosis estradiol velarat
Dosis penggunaan estradiol valerate pada tikus untuk meningkatkan artrifisial estrus adalah
0,05 mg/200g BB atau 0,25 mg/kgBB.
31
6. Pembuatan sediaan uji dan pembanding
a. Pembuatan sediaan uji fraksi daun katuk
Sediaan uji fraksi kental n-heksana, etil asetat dan air daun katuk dibuat dengan cara
mensuspensikan masing-masing fraksi dengan menggunakan Na-CMC 0,5% dan dicukupkan
dengan aquadest hingga volume 100 ml. Pemberian volume tikus peroral yaitu 1 ml/200 g BB
tikus.
b. Pembuatan sediaan estradiol
Sediaan penginduksi yang digunakan untuk artrifisial estrus adalah Estradiol valerate.
Sebanyak 5 mg estradiol ditimbang kemudian ditambahkan dengan Na CMC 0,5% dan digerus
sampai homogen. Selanjutnya aquadest panas ditambahkan sedikit demi sedikit sambil diaduk
kemudian dicukupkan sampai 100 ml. Pemberian volume tikus peroral yaitu 1 ml/200 g BB
tikus.
c. Pembuatan sediaan X-gra®
Sediaan pembanding yang digunakan adalah X-gra®. Sediaan pembanding dibuat dengan
cara mencampurkan X-gra® dengan Na CMC 0,5%, dihomogenkan, dimasukkan ke dalam labu
ukur 100 ml, kemudian ditambahkan lagi dengan Na CMC 0,5% sampai dengan 100 ml, lalu
dikocok sampai homogen. Pemberian volume tikus peroral yaitu 1 ml/ 200 g BB tikus.
7. Pengelompokan hewan uji
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL). Berdasarkan
perhitungan menggunakan rumus Federer, hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 25 ekor tikus yang dibagi menjadi 5 kelompok yang terdiri dari kelompok kontrol normal,
kelompok kontrol positif, kelompok fraksi n-heksana, kelompok fraksi etil asetat, dan kelompok
fraksi air. Masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus yang didalamnya terdapat satu ekor
tikus jantan dan empat ekor tikus betina.
8. Pengamatan climbing dan introduction
Setelah dikelompokkan, tikus selanjutnya diaklimatisasi selama 7 hari. Selama proses
aklimatisasi, tikus diberi pakan standar berupa pelet dan aquadest. Pada tahap ini dilakukan
penimbangan berat badan setiap hari. Pada aklimatisasi hari ke-6, tikus betina diberikan estradiol
valerat pada pukul 16.00 WIB. Kemudian pada hari ke- 1 sampai ke- 7 tikus jantan diberi
perlakuan bahan uji per oral dan dilakukan pengamatan pada hari ke- 1, 2, 4 dan 6. Tikus jantan
dimasukkan ke dalam aquarium yang berisikan empat tikus betina yang telah diberi estradiol
32
valerate 48 jam sebelum pengamatan secara oral dan dibiarkan hingga terjadi introduction dan
climbing. Batasan aktivitas climbing yang diamati pada penelitian ini adalah saat tikus jantan
menunggangi tikus betina dari belakang. Sedangkan batasan introduction yang diamati pada
penelitian ini adalah saat tikus jantan mencium atau menjilat alat kelamin tikus betina.
Pengamatan dilakukan tiap 1 jam pada 4 kali pengamatan yaitu pada hari ke-1, 2, 4 dan 6.
Kemudian diamati dan dihitung berapa kali terjadinya climbing dan introduction.
9. Pengukuran Bobot Testis dan Vesikula Seminalis
Pada hari ke-15 perlakuan, masing-masing hewan dianestesi dengan ketamin kemudian
dilakukan pembedahan. Organ testis dan vesikula seminalis selanjutnya ditimbang dan dicatat
hasilnya.
10. Analisis Data
Data jumlah climbing dan introduction serta bobot testis dan vesikula seminalis dianalisis
secara statistika. Data diuji normalitas dan homogenitasnya. Jika data terdistribusi normal dan
homogen, dilanjutkan dengan uji one-way ANOVA dengan taraf signifikansi 95% (α = 0,05) dan
dilanjutkan dengan uji post hoc Tukey HSD untuk melihat perbedaan yang bermakna.

HASIL DAN PEMBAHASAN


G. Hasil pembuatan ekstrak dan fraksi daun katuk
Proses ekstraksi daun katuk menghasilkan ekstrak etanol 70% dengan persentase rendemen
terhadap simplisia yang diekstraksi sebesar 21,99%. Sedangkan rendemen hasil fraksi n-heksana,
etil asetat, dan air terhadap ekstrak etanol yang difraksinasi secara berturut-turut sebesar 1,74 %,
5,29%, dan 52,94%. Hasil perolehan ekstrak dan fraksi daun katuk dapat dilihat pada Tabel 2.
H. Hasil pemeriksaan kandungan kimia dari ekstrak dan fraksi daun katuk dengan
metode KLT
Penapisan fitokimia pada ekstrak dan fraksi dilakukan dengan metode Kromatografi Lapis
Tipis (KLT) menggunakan fase diam silika gel GF254 dengan berbagai macam fase gerak.
Pemisahan yang terjadi pada KLT berdasarkan pada mekanisme adsobsi dan partisi. Pada
umumnya, KLT lebih banyak digunakan untuk tujuan pemisahan, namun juga dapat digunakan
untuk tujuan identifikasi karena metode ini relatif mudah, sederhana, dan memberikan pilihan
fase gerak yang lebih beragam (Hanani, 2016). Tujuan dilakukan pemeriksaan kandungan kimia

33
adalah untuk mengidentifikasi golongan senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak maupun
fraksi.
Hasil pemeriksaan kandungan kimia dari ekstrak dan fraksi daun katuk dengan metode KLT
dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 1.
I. Hasil pengamatan climbing dan introduction
Jumlah climbing dan introduction tikus jantan terhadap tikus betina dalam 1 jam
selama 4 kali pengamatan pada masing-masing kelompok dirata-rata. Grafik rerata jumlah
climbing dan introduction dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3. Berdasarkan
grafik tersebut menunjukkan bahwa fraksi n-heksana mampu memberikan aktivitas
introduction dan climbing tikus jantan terhadap tikus betina yang paling tinggi dibanding
fraksi lainnya dengan jumlah rata-rata introduction sebanyak 27,75 kali dan jumlah rerata
climbing sebanyak 16,50 kali. Sementara, kelompok kontrol positif menunjukkan rerata
jumlah introduction sebanyak 29,5 kali dan rerata jumlah climbing sebanyak 27 kali.
Hasil uji normalitas pada data jumlah introduction menunjukkan nilai sig = 0,803 (sig
> 0,05) yang berarti bahwa data tersebut terdistribusi normal. Sedangkan, hasil uji
homogenitas data jumlah introduction menunjukkan nilai sig = 0,408 (sig > 0,05) yang
berarti bahwa data introduction terdistribusi homogen. Setelah data diketahui terdistribusi
normal dan homogen maka pengujian dilanjutkan dengan uji one-way ANOVA. Hasil
menunjukkan sig= 0,002 (sig < 0,05) yang berarti bahwa terdapat perbedaan jumlah
introduction tikus jantan terhadap tikus betina yang bermakna. Hasil uji Tukey HSD rerata
jumlah introduction menunjukkan bahwa kelompok fraksi air dan fraksi etil asetat tidak
berbeda bermakna dengan kontrol normal, sedangkan fraksi n-heksana berbeda bermakna
dengan kontrol normal dan tidak berbeda bermakna dengan kontrol positif, sehingga dapat
dikatakan fraksi n-heksana memiliki hasil yang sebanding dengan kontrol positif.
Hasil uji normalitas pada data jumlah climbing menunjukkan nilai sig = 0,947 (sig
> 0,05) yang berarti bahwa data terdistribusi normal. Sedangkan, hasil uji homogenitas
data jumlah climbing menunjukkan nilai sig = 0,525 (sig > 0,05) yang berarti bahwa data
terdistribusi homogen. Setelah data diketahui terdistribusi normal dan homogen maka
pengujian dilanjutkan dengan uji one-way ANOVA. Hasil menunjukkan nilai sig= 0,000
(sig < 0,05) yang berarti bahwa terdapat perbedaan jumlah climbing tikus jantan terhadap
tikus betina yang bermakna. Hasil uji Tukey HSD rerata jumlah climbing menunjukkan
34
bahwa kelompok fraksi air tidak berbeda bermakna dengan kelompok kontrol normal,
sedangkan fraksi etil asetat dan fraksi n-heksana memiliki perbedaan yang bermakna
dengan kontrol normal. Hasil uji ini juga menunjukkan bahwa fraksi n-heksana tidak
berbeda bermakna dengan kontrol positif, sedangkan fraksi etil asetat dan fraksi air
berbeda bermakna dengan kontrol positif.
Berdasarkan hasil penelitian, fraksi yang paling berpengaruh terhadap jumlah
climbing dan introduction tikus jantan terhadap tikus betina adalah fraksi n-heksana. Hal
ini dapat terjadi dikarenakan adanya kandungan senyawa aktif yang terdapat di dalam
fraksi n-heksana seperti flavonoid, terpenoid, alkaloid, dan saponin. Saponin dapat
meningkatkan libido melalui mekanisme meningkatkan produksi androgen dan berperan
dalam biosintesis dihidrotestosteron sehingga meningkatkan kadar testosteron dalam tubuh.
Peningkatan kadar testosteron memiliki hubungan dengan peningkatan libido (Andini,
2012). Steroid mempengaruhi aktivitas seksual melalui mekanisme kerja menggantikan
kolesterol dalam mensintesis testosteron (Wahdaningsih, 2012). Testosteron disintesis dari
prekursor kolesterol yang dikenal dengan nama pregnolon. Pregnolon selanjutnya akan
diubah menjadi progesteron yang akan berperan sebagai prekursor dalam menginduksi
pembentukan androgen seperti testosteron (Hafez, 2000). Senyawa alkaloid juga memiliki
peranan dalam meningkatkan dilatasi pada pembuluh darah alat kelamin yaitu dengan
membantu relaksasi otot polos corpus cavernosum yang memicu terjadinya ereksi.
Alkaloid memiliki aktifitas dalam merangsang pembuluh darah di penis untuk
mengeluarkan neurotransmitter NO (Nitric Oxide) yang akan mengaktifkan enzim
guanilate cyclase. Enzim guanilate cyclase akan menstimulasi perubahan GTP (guanil-
triphospate) menjadi cGMP (cyclic guanile-monophosphate). cGMP menurunkan kadar
kalsium dalam sel sehingga terjadi relaksasi sel-sel otot dari dindingnya dan terjadi
vasodilatasi lokal. Daerah dinding pembuluh darah penis diisi oleh banyak darah dan
terjadilah ereksi (Arifien, 2013). Flavonoid bekerja dengan cara meningkatkan kadar
dehydroepiandrosteron, yang ikut berperan dalam meningkatkan kadar hormon testosteron
dan mendorong perilaku seksual pada pria (Andini, 2012).
J. Hasil pengukuran bobot testis dan vesikula seminalis
Testis merupakan organ yang berfungsi sebagai tempat memproduksi sperma dan hormon
kelamin yang disebut hormon testosteron, sehingga semakin tinggi sperma yang diproduksi maka
35
akan berpengaruh terhadap peningkatan bobot testis. Sedangkan, vesikula seminalis merupakan
organ yang berfungsi sebagai tempat menampung sperma yang disebut sebagai kantung semen.
Semakin banyak sperma yang dihasilkan, maka akan semakin banyak pula sperma yang
ditampung di dalam vesikula seminalis, sehingga bobot vesikula seminalis akan bertambah
(Suhartinah, 2011).
Hasil analisis statistik menunjukkan data peningkatan bobot testis terdistribusi normal
dengan nilai sig = 0,582 (sig > 0,05), sedangkan data peningkatan bobot vesikula seminalis
terdistribusi normal dengan nilai sig = 0,582 (sig > 0,05). Hasil analisis statistik juga
menunjukkan bahwa data peningkatan bobot testis terdistribusi homogen dengan nilai sig =
0,923 (sig > 0,05), sedangkan data peningkatan bobot vesikula seminalis terdistribusi homogen
dengan nilai sig = 0,190 (sig > 0,05). Hasil uji one-way ANOVA pada kedua data persentase
bobot testis dan vesikula seminalis menunjukkan nilai sig=0,000 (sig < 0,05). Hal tersebut
menunjukkan bahwa ketiga fraksi memiliki pengaruh secara bermakna terhadap peningkatan
bobot testis dan vesikula seminalis tikus jantan. Hasil uji Tukey HSD pada data peningkatan
bobot testis, kelompok fraksi air dan etil asetat sebanding dengan kontrol normal, sedangkan
kelompok fraksi n-heksana berbeda bermakna dengan kontrol normal namun tidak sebanding
dengan kelompok kontrol positif. Hasil uji Tukey HSD pada data peningkatan bobot vesikula
seminalis, kelompok fraksi air dan etil asetat sebanding dengan kontrol normal, sedangkan
kelompok fraksi n-heksana berbeda bermakna dengan kelompok kontrol normal dan sebanding
dengan kelompok kontrol positif, hal ini dilihat dari nilai signifikansi sig=0,965 (dengan
ketentuan sig < 0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa fraksi n-heksana memiliki efek yang
lebih besar dalam meningkatkan bobot testis dan bobot vesikula seminalis dibandingkan
kelompok kontrol normal (Tabel 4). Hal ini diduga karena kandungan senyawa aktif di dalam
fraksi n-heksana seperti terpenoid, alkaloid, saponin dan flavonoid. Terpenoid memiliki
mekanisme kerja dengan cara berikatan dengan saponin sehingga membentuk ikatan saponin
triterpenoid yang mempengaruhi aktivitas seksual melalui mekanismenya dalam menggantikan
kolesterol untuk mensintesis testosteron. (Wahdaningsih, 2012). Alkaloid bekerja dengan cara
membantu relaksasi otot polos corpus cavernosum yang memicu terjadinya ereksi. Mekanisme
sentral yang dimiliki alkaloid adalah meningkatkan pelepasan nitric oxide dari endothelial dan
ujung saraf. Alkaloid diketahui memiliki peranan dalam menginduksi vasodilatasi sehingga
menimbulkan ereksi dengan cara meningkatkan dilatasi pembuluh darah pada alat kelamin pria
36
(Andini, 2014). Mekanisme kerja alkaloid yang lain adalah mempengaruhi spermatogenesis
dengan cara menekan sekresi hormon reproduksi yang diperlukan untuk berlangsungnya
spermatogenesis (Solihati, 2013). Saponin bekerja dengan cara meningkatkan kadar FSH dan
LH, meningkatkan produksi androgen melalui jalur langsung maupun tidak langsung. Saponin
dalam bentuk steroid glikosida berperan dalam biosintesis Dehydroepiandrosteron (DHEA)
sehingga meningkatkan kadar testosteron dalam tubuh. Apabila kadar testosteron dalam tubuh
meningkat, maka akan berpengaruh terhadap peningkatan libido dan spermatogenesis (Andini,
2014). Flavonoid memiliki mekanisme kerja menghambat aktivitas enzim fosfodiesterase 5
(PDE5). Mekanisme kerja flavonoid yang lain adalah melindungi sel dari serangan radikal bebas
yang dapat menyebabkan kerusakan sel. Selain itu, flavonoid juga dapat meningkatkan kadar
testosteron dengan cara meningkatkan DHEA (Wahdaningsih, 2012).

KESIMPULAN
Berdasarkan pengujian yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa fraksi n-heksana dengan
dosis 2,37 mg/200gBB atau 11,85 mg/KgBB dapat meningkatkan libido dengan rata-rata jumlah
climbing sebanyak 16,5 kali dan rata-rata jumlah introduction sebanyak 27,75 kali tikus jantan
terhadap tikus betina serta mampu meningkatkan bobot testis dan bobot vesikula tikus jantan
yang sebanding kontrol positif (X-gra®) dengan dosis 10,274 mg/200gBB atau 51,37 mg/KgBB.

UCAPAN TERIMA KASIH


Kami mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengembangan
(Lemlitbang) Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka.

DAFTAR ACUAN
Andini, D. 2014. Potential of Katuk Leaf (Sauropus androgynus L Merr) As Aphrodisiac. J
Majority. Vol 3 No 7. Hlm : 17-22
Arifien, A. 2013. Uji Efek Seduhan Daun Katuk (Sauropus androgynus) Terhadap Libido Tikus
Jantan (Rattus novergicus) Dalam Penggunaannya Sebagai Afrodisiaka Dengan Alat
Libidometer. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol 2 No 1.
Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstra Tumbuhan Obat. Departemen Kesehatan
Republilk Indonesia. Jakarta. Hlm : 3, 11-12, 14, 17.
Dito, A. 2012. Ejakulasi Dini. CDK-199, volume 39, No. 11
Hafez ESE 2000. Reproduction in Farm Animals. Lea and Febiger, USA
Hanani E. 2014. Analisis Fitokimia. Jakarta: EGC.
37
Harmusyanto, R. 2013. Studi Mengenai Efek Daun Katuk (Sauropus androgynus L Merr)
Terhadap Libido Kelinci Jantan (Oryctolagus cuniculus) Sebagai Afrodisiaka. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol 2 No 1. Hlm: 12
Hatzimouratidis, K., Eardley, I., Giuliano,F., Moncada, I., & Salonia, A. 2015. Guidelines on
Male Sexual Dysfunction: Erectil dysfunction and Premature ejaculation. European
Association of Urology.
Laumann, E. O. et al. (2015) ‘Erectile dysfunction and premature ejaculation.’, Guidelines on
Male Sexual Dysfunction, 281(6), pp. 1–38.
Maulita, W dkk. 2016. Pengaruh Ekstrak Daun Katuk (Sauropus androgynus (L) Merr) Terhadap
Viabilitas, Motilitas Dan Konsentrasi Spermatozoa Mencit Jantan Balb/c Yang Diberi
Paparan Asap Rokok. Proceeding book “Scientifict Annual Meeting”, Forum Kedokteran
Islam Indonesia (FOKI). Hlm : 2-6
Nchegang, B., Mezui, C., Longo, F. Nkwengoua, Z, E., Amang, A, P., & Tan, V, P. 2016.
Effects of the Aquoeus Extract of Eremomastax speciosa (Acantaceae) on Sexual Behavior
in Normal Male Rats. Biomed Research International. Volume 2016. 10 pages.
Ramlachan, P & Campbell, M. 2014. Male sexual dysfunction. South Africa Medical Journal,
104 (6): 447
Selvi, S and Basker, A. 2012. Phytocemical Analysis and GC-MS Profiling in the Leave of
Saurpus androgynus (L) Merr. International Journal Of Drug Development and Research.
PRIST University. India. Hlm : 162
Serefoglu et al. 2013. An Evidence Based Unified Defenition f Lifelong and Acquired Premature
Ejaculation: Report of The International Society for Sexual Medicine (ISSM) Second Ad
Hoc Committee for the Defenition of Premature Ejaculation. The International Society for
Sexual Medicine (ISSM)
Singh, R., Singh, S., Jeyabalan, G., & Ali, A. 2012. An Overview On Traditional Medicine
Plants as Aphrodisiac Agent. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry. No 8192.
Hlm : 43-44
Solihati, N. 2013. Antifertilitas Ekstrak Pegagan (Centella asiatica) dan Reversibilitas Fungsi
Reproduksi Pada Tikus (Rattus norvegicus) Jantan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Suprayogi, A., Kusumorini, N., Setiadi M, A., & Murti, Y, B. 2009. Produksi fraksi daun katuk
terstandar sebagai bahan baku obat perbaikan gizi, fungsi reproduksi, dan laktasi. Bogor:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, IPB.
Wahdaningsih, Sri., Dian S., Inarah F. 2012. Uji Aktivitas Afrosiaka Ekstrak Etanol 70% Daun
Tapak Liman pada Mencit Putih Jantan Galur BALB/C. Skripsi. Pontianak : Fakultas
Kedokteran, Universitas Tanjungpura
WHO, (World Health Organisation). 2008. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/Fs134/en.
Diakses Agustus 2017.
Yuanti, R. 2010. Uji Afrodisiaka Fraksi Kloroform Ekstrak Etanol 70% Kuncup Bunga Cengkeh
(Syzygium aromaticum (L.) Merr.&amp; Perry) terhadap Libido Mencit Jantan. Dalam:
Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta. Hlm. 20
Yuwanti, R. 2010. Uji Afrodisiaka Fraksi Kloroform Ekstrak Etanol 70% Kuncup Bunga
Cengkeh (Syzigium aromaticum L Merr & Perry) Terhadap Libido Tikus Jantan. Skripsi.
Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

38
LAMPIRAN
Tabel 1. Sistem pemisahan pemeriksaan kandungan kimia ekstrak dan fraksi daun katuk dengan
metode KLT (Hanani, 2016; Yanti, 2014; Puzi, 2015)
Senyawa Fase diam Fase gerak Pereaksi Hasil positif
yang deteksi
dideteksi
Flavonoid Silika gel GF254 Uap amonia Bercak ungu pada UV 366
n-heksana : etil asetat nm
(5:5)
Saponin Silika gel GF254 kloroform : metanol vanilin-asam Bercak kuning pada sinar
(10:1) sulfat tampak

Alkaloid Silika gel GF254 kloroform : metanol Dragendorff Bercak jingga-coklat pada
(9:1) sinar tampak

Tanin Silika gel GF254 n-heksana : etil asetat FeCl3 Bercak biru pada sinar
(3 : 7) tampak

Terpenoid Silika gel GF254 kloroform : metanol Liebermann- Bercak hijau-coklat pada
(10 : 1) Bouchard sinar tampak

Tabel 2. Hasil perolehan ekstrak dan fraksi daun katuk


No Jenis Hasil
1. Ekstrak etanol 70% 314,52 g
2. Fraksi n-heksana 5,35 g
3. Fraksi etil asetat 16,23 g
4. Fraksi Air 162,32 g

Tabel 3. Hasil pemeriksaan kandungan kimia dari ekstrak dan fraksi daun katuk
Senyawa Jenis bahan uji
yang Fraksi Fraksi Fraksi
Ekstrak etanol
dideteksi n-heksana etil asetat air
Flavonoid (+) (+) (+) (-)
Saponin (+) (+) (+) (-)
Alkaloid (+) (+) (+) (-)
Tanin (+) (-) (+) (+)
Terpenoid (+) (+) (+) (-)
Keterangan : (-) : Tidak mengandung senyawa yang dideteksi
(+) : Mengandung senyawa yang dideteksi

39
Tabel 4. Rerata persentase peningkatan bobot testis dan vesikula seminalis terhadap berat badan
No Kelompok Rata-rata peningkatan Rata-rata peningkatan bobot
bobot testis (%) vesikula seminalis (%)
1 Normal (Na CMC 0,5%) 1,087 0,412
2 Positif (X-Gra®) 1,281 0,696
3 Fraksi n-heksana 1,198 0,649
4 Fraksi etil asetat 1,152 0,575
5 Fraksi air 1,119 0,498

Keterangan: lingkaran merah menunjukkan keberadaan senyawa yang diidentifikasi. (A) identifikasi flavonoid; (B)
identifikasi saponin; (C) identifikasi alkaloid; (D) identifikasi tanin; (E) identifikasi terpenoid.
FA = fraksi air; FEA = fraksi etil asetat; FH = Fraksi n-heksana; EK = ekstrak etanol 70% daun katuk

Gambar 1. Kromatogram pemeriksaan kandungan kimia ekstrak etanol dan fraksi daun katuk
pada plat silika gel GF254

40
Gambar 2. Grafik rerata jumlah introduction tikus jantan terhadap tikus betina setelah
perlakuan

Gambar 3. Grafik rerata jumlah climbing tikus jantan terhadap tikus betina setelah
perlakuan

41

Anda mungkin juga menyukai