RINGKASAN TESIS
Oleh:
Rahmi Budhy Fatmasari
16/407323/PEK/22558
Abstraksi
Salah satu intervensi yang berhasil mengurangi rasio kematian ibu adalah
penggunaan layanan perawatan antenatal. Namun kendala jarak dan waktu tempuh
seringkali menjadi kendala bagi ibu hamil dalam memanfaatkan layanan kesehatan
yang tersedia. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis tren perkembangan
fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia, menganalisis apakah waktu perjalanan ke
fasilitas kesehatan dapat dikategorikan sebagai waktu perjalanan yang ideal dalam
mendukung empat kali atau lebih kegiatan pemeriksaan kehamilan dan menganalisis
kegiatan pemeriksaan kehamilan untuk wanita hamil berdasarkan kondisi geografis.
Penelitian ini menggunakan data pooled cross section dari Indonesia Family Life
Survey (IFLS) pada tahun 2000, 2007 dan 2014 dengan metode analisis yang
digunakan adalah kemungkinan maksimum dengan model probit. Secara keseluruhan
dapat disimpulkan bahwa waktu perjalanan ke fasilitas kesehatan tidak secara
signifikan mempengaruhi jumlah kunjungan antenatal dalam penelitian ini.
Kata kunci: angka kematian ibu, layanan kesehatan ibu, pembangunan berkelanjutan,
waktu tempuh
1. PENDAHULUAN
Salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat di suatu negara adalah rasio
kematian ibu (Depkes, 2014). Disebut demikian karena AKI menunjukkan kemampuan
dan kualitas pelayanan yang ada pada suatu wilayah/negara. Rasio AKI adalah
banyaknya perempuan yang meninggal dari suatu penyebab kematian yang berkaitan
dengan gangguan kehamilan atau penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau
kasus insidentil) selama kehamilan, persalinan dan dalam masa nifas (42 hari setelah
persalinan) tanpa memperhitungkan lama kehamilan (Kemenkes, 2015). Hingga saat
ini permasalahan yang berkaitan dengan proses kehamilan dan persalinan di beberapa
negara belum dapat dikendalikan, di mana rasio Angka Kematian Ibu (AKI) masih
tergolong tinggi. Kesehatan ibu yang menjadi salah satu target dalam Millenium
Development Goals (MDGs) ternyata belum mampu dicapai oleh Indonesia pada tahun
2015, karena rasio AKI Indonesia masih berada pada angka 305 per 100.000 kelahiran
hidup (SUPAS, 2015). Apabila dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN, rasio
AKI di Indonesia berada pada urutan ke delapan dari sembilan negara setelah Filipina.
Hal ini tentu menjadi permasalahan tersendiri karena Singapura yang menempati
urutan pertama dengan rasio AKI terendah, memiliki angka kematian yang jauh lebih
di bawah rasio AKI Indonesia yakni sebesar 70 per 100.000 kelahiran hidup (ASEAN
Secretariat, 2017).
Hasil penelitian Gay, dkk (2003) menyatakan bahwa salah satu intervensi yang
berhasil menurunkan AKI adalah pemanfaatan layanan pemeriksaan kehamilan/
antenatal care (ANC) yang tepat, yakni seperti pemberian suplemen zat besi selama
kehamilan dan tenaga medis profesional yang menangani proses persalinan. Laporan
WHO (2012) menyebutkan bahwa kematian ibu lebih banyak terjadi pada perempuan
yang tinggal di daerah pedesaan dan di antara masyarakat miskin. Pernyataan tersebut
didasarkan karena adanya kendala jarak dan transportasi yang menyebabkan rendahnya
pemanfaatan fasilitas kesehatan di wilayah pedesaan. Hal serupa disebutkan oleh
Mpembeni, dkk. (2007), Scott, dkk. (2013), Hanson, dkk. (2015) dan Wilunda (2017),
di mana faktor utama yang mendominasi terhadap rendahnya pemanfaatan layanan
pemeriksaan kehamilan adalah jarak ke fasilitas kesehatan.
Kendala jarak, waktu tempuh dan transportasi dalam memanfaatkan layanan
kesehatan yang banyak terjadi di wilayah pedesaan sangat berbeda jika dibandingkan
di wilayah perkotaan. Adanya fenomena industrialisasi di daerah perkotaan mendorong
pembangunan infrastruktur jauh lebih tinggi, seperti pembangunan jalan, listrik serta
sarana dan prasarana publik. Hasil Riskesdas tahun 2013, memberikan gambaran
mengenai perbedaan waktu tempuh menuju rumah sakit pemerintah yang dibutuhkan
masyarakat yang tinggal di pedesaan dan perkotaan.
Gambar 1.1 Waktu tempuh menuju rumah sakit pemerintah berdasarkan karakteristik,
Riskesdas (2013)
Grafik di atas menunjukkan perbedaan waktu yang harus ditempuh menuju rumah
sakit pemerintah oleh masyarakat dengan berbagai karakteristik. Pada gambar di atas
ditunjukkan bahwa mayoritas waktu tempuh yang dibutuhkan masyarakat golongan
terbawah menuju fasilitas kesehatan adalah lebih dari 60 menit. Hal tersebut bertolak
belakang dengan waktu tempuh ideal sebanyak 30 menit. Jika dikaitkan dengan data
BPS (2018) mengenai jumlah kemiskinan pedesaan yang lebih tinggi dibandingkan
kemiskinan perkotaan di Indonesia, maka masyarakat golongan terbawah tersebut
mayoritas bertempat tinggal di wilayah pedesaan yang masih tekendala jarak dan waktu
tempuh dalam memanfaatkan layanan kesehatan yang ada. Faktor lain yang
menyebabkan masyarakat golongan terbawah harus menempuh waktu yang lama
dalam memanfaatkan layanan kesehatan adalah tidak adanya kendaraan yang dimiliki
dan pendapatan yang tidak mencukupi. Berbeda halnya dengan masyarakat golongan
teratas yang hanya membutuhkan waktu tempuh sebesar 16-30 menit untuk menuju
rumah sakit pemerintah. Masyarakat golongan atas secara rata-rata tidak memiliki
kendala dalam hal transportasi dan biaya yang harus dibayarkan. Demikian halnya jika
membandingkan waktu tempuh masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan dan
perkotaan, di mana rata-rata masyarakat yang bertenpat tinggal di pedesaan
membutuhkan waktu tempuh lebih tinggi dibandingkan masyarakat yang tinggal di
perkotaan, yakni waktu yang dibutuhkan menuju rumah sakit pemerintah adalah lebih
dari satu jam.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan menganalis trend
pembangunan infrastruktur kesehatan di Indonesia, menganalisis pengaruh waktu
tempuh terhadap jumlah kunjungan pemeriksaan kehamilan serta menganalisis
bagaimana kegiatan pemeriksaan kehamilan secara geografis yang ditinjau
berdasarkan wilayah tempat tinggal dan lokasi tempat tinggal, yang selanjutnya akan
dikontrol oleh beberapa variabel seperti karakteristik ibu, karakteristik rumah tangga,
kualitas fasilitas kesehatan serta karakteristik komunitas.
2. LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Angka Kematian Ibu
Pada bagan health belief model di atas dijelaskan bahwa variabel yang
mempengaruhi, adanya isyarat untuk bertindak dan kepercayaan seseorang pada diri
sendiri untuk dapat melakukan suatu, dapat mempengaruhi persepsi dari tingkat
kerentanan yang dirasakan, keseriusan, manfaat, hambatan dan juga perilaku
seseorang. Bedri (2001) menyatakan bahwa health seeking behavior tentu jelas
berbeda untuk setiap individu maupun masyarakat yang sama ketika dihadapkan
dengan berbagai jenis penyakit.
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari lembaga survei yaitu Indonesia
Family Life Survey (IFLS) yang merupakan data panel rumah tangga di Indonesia sejak
tahun 1993 (gelombang satu) hingga 2014 (gelombang lima). Pada penelitian ini data
yang digunakan adalah data pooled cross-section IFLS gelombang tiga (tahun 2000),
empat (tahun 2007) dan lima (tahun 2014) yang diperoleh dari RAND IFLS. Guna
menganalisis apakah waktu tempuh menuju fasilitas kesehatan di wilayah pedesaan
dapat dikategorikan sebagai waktu tempuh ideal dalam mendukung kegiatan
pemeriksaan kehamilan sejumlah empat kali atau lebih, maka penelitian ini
menggunakan analisis maximum likelihood dengan model probit dimana variabel
dependen adalah jumlah kunjungan pemeriksaan kehamilan sebanyak empat kali atau
lebih. Penelitian ini juga memasukkan beberapa variabel kontrol seperti karakteristik
ibu, karakteristik rumah tangga, kualitas fasilitas kesehatan dan karakteristik
komunitas.
Data pooled cross-section dalam penelitian ini terdiri dari 4.012 observasi
dimana level observasi yang digunakan adalah individu. Jumlah kunjungan
pemeriksaan kehamilan menjadi variabel dependen dalam penelitian ini. Variabel
dependen dalam penelitian ini berupa dummy, yakni dummy akan bernilai satu apabila
jumlah kunjungan pemeriksaan ibu hamil sebanyak empat atau lebih, dan bernilai nol
apabila sebaliknya. Variabel independen dalam penelitian ini yaitu waktu tempuh yang
dibutuhkan seorang ibu menuju lokasi pemeriksaan kehamilan dalam satuan menit.
Beberapa variabel kontrol yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi
karakteristik ibu, karakteristik rumah tangga, kualitas fasilitas kesehatan dan
karakteristik komunitas.
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi probit yang
dilakukan untuk mengetahui nilai marginal efek (mfx) dari masing-masing variabel
independen terhadap pemanfaatan layanan pemeriksaan kehamilan sebanyak empat
kali atau lebih. Regresi probit yang juga disebut model probit digunakan untuk
memodelkan variabel hasil dikotomis atau biner. Pada dasarnya regresi probit
merupakan salah satu model regresi yang dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen yang bersifat biner. Model probit
dapat dituliskan pada persamaan berikut:
𝑝𝑟𝑜𝑏𝑖𝑡(𝐸𝑌) = 𝛷−1 (𝑝) = 𝛷−1 (𝑃[𝑌 = 1)]
Pada penelitian ini variabel dependen yang digunakan berupa dummy, yaitu jumlah
kunjungan pemeriksaan sebanyak empat atau lebih. Penggunaan regresi probit
didasarkan pada beberapa penelitian terdahulu yang juga menganalisis pemanfaatan
kunjungan pemeriksaan kehamilan dengan variabel dependen berupa dummy. Model
persamaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
𝑌𝑖𝑡 = 𝛼0 + 𝛼1 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ𝑖𝑡 + 𝛼2 𝑘𝑎𝑟𝑎𝑘𝑡𝑒𝑟𝑖𝑠𝑡𝑖𝑘 𝑖𝑏𝑢𝑖𝑡 + 𝛼2 𝑘𝑎𝑟𝑎𝑘𝑡𝑒𝑟𝑖𝑠𝑡𝑖𝑘 𝑅𝑇𝑖𝑡 +
50 46 45 48
40 37 35
32
28 29
30 24
21 22 21
18 17 19 19
20 16 16
10
0
RS Pemerintah RS Swasta Puskesmas Klinik swasta Praktik dokter Rumah bidan
umum/spesialis swasta
Gambar 4.1 Waktu tempuh menuju fasilitas kesehatan dalam menit, IFLS (2014)
Berdasarkan data pooled-cross section yang diperoleh dari IFLS tahun 2000,
2007 dan 2014, ditunjukkan pada gambar 4.1 mengenai perbandingan waktu tempuh
menuju fasilitas kesehatan di Indonesia. Pada gambar di atas, terlihat bahwa secara
rata-rata waktu yang dibutuhkan oleh masyarakat menuju rumah sakit pemerintah
maupun swasta sudah masuk dalam kategori waktu tempuh ideal. Demikian halnya
untuk beberapa fasilitas kesehatan lainnya, secara rata-rata waktu tempuh menuju
fasilitas kesehatan yang tersedia sudah masuk dalam kategori waktu tempuh ideal. Hal
yang menjadi perhatian tersendiri adalah waktu tempuh menuju praktik dokter
umum/spesialis di tahun 2000 hampir melebihi waktu tempuh ideal sebesar 30 menit.
Namun pada tahun 2007 dan 2014 berangsur turun seiring dengan fasilitas dan jumlah
tenaga kesehatan yang meningkat setiap tahunnya.
30%
39%
31%
Gambar 4.2 Jumlah Fasilitas Kesehatan Indonesia tahun 2000, 2007 dan 2014
(Indonesia Family Life Survey (IFLS))
Gambar di atas menunjukkan jumlah fasilitas kesehatan dalam suatu komunitas
pada tahun 2000, 2007 dan 2014. Berdasarkan data IFLS tahun 2000, jumlah fasilitas
kesehatan yang berfungsi dengan baik dalam suatu sample komunitas adalah 1.555
unit. Jumlah tersebut meliputi posyandu, puskesmas dan puskesmas pembantu, klinik
swasta, tenaga medis tradisional serta rumah sakit pemerintah maupun swasta. Pada
tahun 2007 cakupan pembangunan infrastruktur kesehatan meluas hingga pada
pembangunan posyandu bagi lansia. Jumlah infrastruktur kesehatan pada tahun 2007
meningkat sebesar 85 unit, yakni menjadi 1.640 unit fasilitas kesehatan. Melihat
penambahan jumlah fasilitas kesehatan tersebut, upaya pemerintah guna meningkatkan
kesejahteraan dan kesehatan masyarakat terus dievaluasi dan ditingkatkan.
4.2 Pengaruh Aksesibilitas Fasilitas Kesehatan terhadap Kunjungan ANC
Estimasi dalam penelitian ini menggunakan metode logistic regression probit untuk
data pooled cross-section IFLS tahun 2000, 2007 dan 2014. Penggunaan teknik
estimasi tersebut didasarkan pada nilai variabel terikat yang berupa variabel kualitatif,
yaitu bernilai 1 apabila kunjungan pemeriksaan kehamilan berjumlah minimal
sebanyak empat kali atau lebih selama masa kehamilannya dan bernilai 0 jika
kunjungan pemeriksaan kehamilan berjumlah kurang dari empat kali selama masa
kehamilannya. Nilai koefisien pada model probit tidak dapat langsung
diinterpretasikan, maka perlu dihitung nilai marginal effect pada setiap koefisien untuk
dapat menjelaskan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.
Marginal Probit
Jumlah kunjungan ANC
Koefisien Marginal Effect
Waktu tempuh RS Pemerintah (Dummy ideal) -0,1059 -0,0128
Waktu tempuh RS Swasta (Dummy ideal) 0,1622 0,0196
Waktu tempuh puskesmas (Dummy ideal) 0,1790 0,0217
Waktu tempuh klinik swasta (Dummy ideal) -0,1772 -0,0215
Waktu tempuh praktik dokter (Dummy ideal) -0,6904** -0,0836**
Waktu tempuh rumah bidan swasta (Dummy ideal) 0,0756 0,0092
Usia 0,0058 0,0007
Lama pendidikan 0,0556** 0,0067**
Status pekerjaan (Dummy bekerja) -0,0191 -0,0023
Urutan kehamilan -0,0930** -0,0113**
Pengeluaran per kapita rumah tangga 0,0000002** 0,0000003**
Kendaraan dalam rumah tangga (Dummy memiliki) 0,1270** 0,0154**
Lokasi tempat tinggal (Dummy desa) 0,0473 0,0057
Berat badan (Dummy diukur) 0,2549** 0,0309**
Tinggi badan (Dummy diukur) 0,1627** 0,0197**
Jumlah kunjungan ANC Marginal Probit
Koefisien Marginal Effect
Analisis utama dalam penelitian ini adalah meninjau pengaruh waktu tempuh
menuju fasilitas kesehatan terhadap jumlah kunjungan pemeriksaan kehamilan
sebanyak empat kali atau lebih pada ibu yang telah selesai masa kehamilannya.
Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 4.1 hanya waktu tempuh menuju tempat praktik
dokter umum/spesialis yang memiliki pengaruh signifikan terhadap jumlah kunjungan
pemeriksaan kehamilan meskipun memiliki tanda koefisien yang negatif. Seorang ibu
yang memiliki waktu tempuh ideal menuju tempat praktik dokter umum/spesialis
memiliki kecenderungan jumlah kunjungan pemeriksaan kehamilan 0,0836 lebih
rendah dibandingkan dengan ibu yang waktu tempuhnya melebihi 30 menit menuju
tempat praktik dokter umum/spesialis. Hal demikian memungkinkan untuk terjadi
karena meskipun lokasi praktik dokter umum/spesialis cenderung dekat dengan tempat
tinggal, namun biaya yang harus dikeluarkan jauh lebih tinggi dibandingkan periksa
dengan lokasi pemeriksaan seperti di puskesmas dan praktik bidan swasta. Pola data
IFLS-3, IFLS-4 dan IFLS-5 menunjukkan bahwa lokasi pemeriksaan kehamilan yang
paling sering dikunjungi oleh ibu hamil adalah puskesmas, meskipun berdasarkan nilai
hasil estimasi, rendahnya waktu tempuh menuju puskesmas tidak mempengaruhi
jumlah kunjungan pemeriksaan kehamilan.
Analisis dalam penelitian ini juga mengamati pengaruh karakteristik ibu yang
telah selesai kehamilannya terhadap jumlah kunjungan pemeriksaan kehamilannya.
Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 4.1, pendidikan ibu memiliki pengaruh yang
positif dan signifikan terhadap jumlah kunjungan pemeriksaan ibu. Yakni semakin
bertambah tahun pendidikan seorang ibu maka jumlah kunjungan pemeriksaan
kehamilannya akan meningkat 0,0067 lebih tinggi dibandingkan jumlah kunjungan
pemeriksaan ibu hamil yang tahun pendidikannya lebih rendah. Temuan ini sesuai
dengan Susuman (2015) mengenai layanan perawatan kesehatan dan pendidikan ibu di
Afrika Selatan, yang menyebutkan bahwa pendidikan seorang ibu memiliki pengaruh
kuat terhadap pemanfaatan layanan pemeriksaan kehamilan. Pada umumnya, semakin
bertambah lama pendidikan seseorang maka pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki juga akan semakin luas yang tentu dapat diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari seorang individu. Pada beberapa penelitian terdahulu, variabel pendidikan
adalah variabel yang paling sering digunakan sebagai penjelas hubungan terhadap
pamanfaatan layanan kesehatan ibu. Seorang ibu yang berpendidikan dianggap
memiliki kesadaran yang lebih besar tentang keberadaan layanan kesehatan ibu dan
mendapat manfaat dalam menggunakan layanan tersebut. Penelitian Bhattacherjee, dkk
(2013) juga mengungkapkan bahwa perempuan berpendidikan memiliki peluang yang
lebih baik dalam pemanfaatan layanan kesehatan ibu.
Urutan kehamilan turut menjadi salah satu faktor yang memperngaruhi
kunjungan pemeriksaan kehamilan di beberapa penelitian terdahulu. Pada dasarnya,
seorang ibu cenderung lebih memperhatikan kesehatan kehamilannya pada kehamilan
yang pertama dibandingkan kehamilan setelahnya. Hal ini dikarenakan seorang ibu
pada kehamilan pertama telah banyak memperoleh pengetahuan dan pengalaman
mengenai kehamilan yang dapat diterapkan pada kehamilan selanjutnya. Teori ini
sejalan dengan hasil estimasi pada tabel 4.1, di mana semakin jumlah ibu dengan urutan
kehamilan yang semakin banyak memiliki kecenderungan jumlah pemeriksaan
kehamilan 0,0013 lebih rendah dibandingkan dengan ibu yang urutan kehamilannya
masih sedikit atau ibu dengan kondisi kehamilannya yang pertama.
Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 4.1 dapat disimpulkan bahwa
pengeluaran per kapita memiliki pengaruh signifikan positif terhadap jumlah
kunjungan pemeriksaan. Interpretasinya adalah jumlah ibu dengan pengeluaran per
kapita yang tinggi memiliki kecenderungan jumlah kunjungan pemeriksaan 0,0000003
lebih tinggi dibandingkan dengan ibu dengan pengeluaran per kapita yang rendah. Hal
ini didasari oleh pengeluaran per kapita suatu rumah tangga menunjukkan kemampuan
finansial dalam konsumsi, termasuk pengeluaran untuk kesehatan. Maka semakin
tinggi pengeluaran per kapita dalam suatu rumah tangga, maka kesempatan yang
dimiliki untuk dapat memanfaatkan layanan kesehatan dengan melakukan kunjungan
pemeriksaan pada ibu hamil, akan lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga
dengan pengeluaran per kapita yang rendah. Selain variabel pengeluaran per kapita,
kepemilikan kendaraan memiliki pengaruh positif terhadap kunjungan pemeriksaan
kehamilan. Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 4.1 seorang ibu dalam rumah tangga
dengan kepemilikan kendaraan pribadi memiliki kecenderungan jumlah pemeriksaan
kehamilan 0,0154 lebih tinggi dibandingkan dengan seorang ibu yang tidak memiliki
kendaraan dalam keluarganya. Temuan ini sejalan dengan penelitian Sahito dan Fatmi
(2018) bahwa kepemilikan kendaraan bermotor memiliki pengaruh signifikan yang
positif terhadap kunjungan pemeriksaan ibu hamil di Pakistan. Hal ini disebabkan oleh
kepemilikan kendaraan bermotor akan memudahkan seseorang dalam menempuh
waktu dan jarak menuju lokasi fasilitas kesehatan yang tersedia.
Penelitian Gupta, dkk (2014) menjelaskan bahwa kualitas suatu fasilitas
kesehatan dapat diukur melalui layanan kesehatan yang diberikan. Data yang tersedia
dalam IFLS mengenai layanan kesehatan bagi ibu hamil meliputi pengukuran berat
badan, tinggi badan, tekanan darah, pemeriksaan darah, pengukuran tinggi fundus
uteri, detak jantung bayi, pemberian imunisasi tetanus toksoid dan suplemen zat besi.
Berdasarkan hasil estimasi pada tabel di atas, perolehan suplemen zat besi dari fasilitas
kesehatan memiliki pengaruh paling besar yaitu 0,0475 dan pengaruhnya signifikan
terhadap jumlah kunjungan pemeriksaan kehamilan. Nilai tersebut memiliki arti bahwa
ibu yang memperoleh suplemen zat besi saat melakukan pemeriksaan kehamilan
memiliki kecenderungan jumlah kunjungan pemeriksaan lebih tinggi 0,0475
dibandingkan dengan ibu yang tidak memperoleh suplemen zat besi. Penelitian
Kiwanuka, dkk (2017) menyebutkan bahwa pemberian suplemen zat besi pada masa
kehamilan adalah cara yang efektif untuk mengurangi anemia pada wanita hamil di
negara dengan sumber daya terbatas.
Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 4.1 seorang ibu yang memperoleh
pelayanan kesehatan dengan pengukuran berat badan memiliki kecenderungan jumlah
kunjungan pemeriksaan kehamilan 0,0309 lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang
tidak diukur berat badannya. Pengukuran berat badan pada ibu hamil bertujuan untuk
memastikan agar seorang ibu yang sedang hamil tidak mengalami kekurangan ataupun
kelebihan berat badan. Berdasarkan rekomendasi Departemen Kesehatan RI (2006),
kenaikan berat badan normal bagi ibu hamil adalah sebesar 7-12 kg yang bertambah
karena hasil konsepsi yaitu janin dan plasenta. Pemberian imunisasi tetanus toksoid
juga berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah kunjungan pemeriksaan
kehamilan. Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 4.1 seorang ibu yang memperoleh
imunisasi tetanus tokosid memiliki kecenderungan jumlah kunjungan pemeriksaan
kehamilan 0,0316 lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak memperoleh
imunisasi tetanus toksoid. Pada dasarnya pemberian imunisasi tetanus toksoid turut
berperan penting dalam menekan angka kematian ibu. Deteksi dini terhadap eklampsia
dan pre-eklampsia dapat dilakukan dengan mengukur tekanan darah pada ibu hamil
dan memastikan tekanan darah tersebut berada dalam ukuran yang normal. Diagnosis
hipertensi dalam kehamilan menjadi perhatian tersendiri apabila tekanan darah sistolik
lebih dari atau sama dengan 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari atau
sama dengan 90 mmHg (SOGC, 2008). Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 4.1
seorang ibu yang tekanan darahnya diukur ketika melakukan pemeriksaan kehamilan
memiliki kecenderungan jumlah kunjungan pemeriksaan 0,0264 lebih tinggi
dibandingkan dengan ibu yang tidak diukur tekanan darahnya. Adanya manfaat yang
diperoleh dari pemeriksaan tekanan darah, mendorong ibu hamil untuk meningkatkan
jumlah kunjungan pemeriksaannya guna mengontrol tekanan darah selama kehamilan.
Anemia pada kehamilan dapat menyebabkan persalinan prematuritas, abortus,
infeksi, mola hidatidosa serta hyperemesis gravidarum. Hasil estimasi pada tabel 4.1
menunjukkan bahwa layanan pemeriksaan darah tidak memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap jumlah kunjungan pemeriksaan kehamilan. Berdasarkan data yang
digunakan dalam penelitian ini, jumlah ibu yang menerima layanan pemeriksaan darah
lebih rendah dibandingkan dengan jumlah ibu yang melakukan pemeriksaan darah di
lokasi periksa. Pada penelitian ini terdapat 58,33 persen ibu yang tidak menerima
layanan pemeriksaan darah. Hal ini memungkinkan menjadi faktor penyebab pada
hasil estimasi pemeriksaan darah yang tidak memiliki pengaruh singifikan dalam
meningkatkan jumlah pemeriksaan kehamilan. Pada layanan pemeriksaan kehamilan,
pengukuran tinggi badan merupakan salah satu standar layanan 10T yang telah
ditetapkan oleh Depkes RI. Berdasarkan hasil estimasi, seorang ibu yang melakukan
pengukuran tinggi badan memiliki kecenderungan jumlah kunjungan pemeriksaan
kehamilan 0,0197 lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak melakukan
pengukuran tinggi badan saat pemeriksaan kehamilan. Pentingnya menjaga status gizi
selama masa kehamilan telah mendorong ibu hamil untuk memanfaatkan layanan
pemeriksaan kehamilan karena salah satu layanan yang akan diperoleh adalah
pengukuran tinggi badan, yang mana melalui pencatatannya dapat diketahui kesehatan
nutrisi pada ibu hamil.
Suatu kota/kabupaten yang berlokasi dekat dengan ibu kota provinsi, cenderung
lebih mudah memanfaatkan layanan kesehatan karena kemudahan akses dan proporsi
tenaga kesehatan yang lebih banyak. Berbeda halnya dengan masyarakat yang lokasi
tempat tinggalnya berada di kabupaten/kota yang jauh dari ibu kota provinsi. Dari segi
kelengkapan peralatan medis, tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatannya cenderung
tidak sama dengan kelengkapan sarana dan prasarana kesehatan di wilayah perkotaan.
Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 4.1, seorang ibu yang lokasi tempat tinggalnya
dekat dengan ibu kota provinsi cenderung memiliki jumlah kunjungan pemeriksaan
kehamilan 0,00003 lebih tinggi dibandingkan jumlah pemeriksaan kehamilan pada ibu
yang lokasi tempat tinggalnya jauh dari ibu kota provinsi. Kondisi tersebut
menjelaskan bahwa melalui estimasi penelitian ini, dapat ditunjukkan ketimpangan
distribusi tenaga dan fasilitas kesehatan masih terjadi di Indonesia. Hal ini menjadi
perhatian khusus bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk melakukan upaya
dalam pemerataan fasilitas kesehatan supaya hak dasar kesehatan masyarakat dapat
terpenuhi di seluruh wilayah Indonesia.
Penelitian Titaley (2010) menyebutkan bahwa seorang ibu yang tinggal di
wilayah luar Jawa-Bali dan bertempat tinggal di wilayah pedesaan pedesaan memiliki
angka pemanfaatan layanan antenatal yang rendah. Hal tersebut disebabkan oleh
kurangnya ketersediaan layanan kesehatan dan diperburuk oleh terbatasnya akses di
luar Pulau Jawa-Bali terutama di daerah pedesaan. Berdasarkan hasil estimasi pada
tabel 4.1 seorang ibu yang tinggal di wilayah Jawa-Bali memiliki kecenderungan
jumlah kunjungan pemeriksaan kehamilan 0,0360 lebih tinggi dibandingkan dengan
ibu yang bertempat tinggal di wilayah luar Jawa-Bali. Temuan ini sejalan dengan
penelitian Nababan (2018) yang menyebutkan bahwa masyarakat yang terkaya, tinggal
di wilayah perkotaan tepatnya di wilayah Jawa dan Bali memanfaatkan fasilitas
kesehatan yang tersedia dan memiliki akses yang lebih baik ke layanan dasar termasuk
kesehatan.
Penelitian ini memasukkan variabel pengetahuan terhadap keberadaan fasilitas
kesehatan sebagai kontrol dalam mempengaruhi jumlah kunjungan pemeriksaan
kehamilan. Estimasi pada penelitian ini menujukkan hanya variabel pengetahuan
terhadap keberadaan praktik bidan swasta yang memiliki pengaruh signifikan
meskipun tanda koefisien bernilai negatif. Hasil estimasi pada tabel 4.1 menunjukkan
bahwa seorang ibu yang mengetahui keberadaan lokasi praktik bidan swasta memiliki
kecenderungan kunjungan pemeriksaan kehamilan 0,0247 lebih rendah dibandingkan
dengan ibu yang tidak mengetahui keberadaan praktik bidan swasta.
4.3 Kegiatan Pemeriksaan Kehamilan berdasarkan Lokasi Geografis
Data pada tabel di atas menunjukkan ibu di perkotaan yang memiliki waktu
tempuh ideal menuju rumah sakit dengan jumlah kunjungan pemeriksaan kehamilan
sebanyak empat atau lebih adalah 96 persen. Tingginya persentase nilai tersebut
didasarkan pada lokasi rumah sakit umum/pemerintah yang pada umumnya terletak di
wilayah perkotaan. Hal ini memudahkan ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya
karena lokasinya yang dekat dengan tempat tinggal dan kemudahan akses transportasi
umum. Demikian halnya untuk rumah sakit swasta, masyarakat perkotaan yang
memiliki waktu tempuh ideal menuju rumah sakit swasta dengan jumlah kunjungan
pemeriksaan kehamilan sebanyak empat atau lebih adalah 98 persen. Hal ini berkaitan
dengan jumlah rumah sakit swasta yang umunya berjumlah lebih dari satu di setiap
kabupaten/kota.
Hal yang sama juga berlaku untuk pemeriksaan ke puskesmas, klinik swasta,
praktik dokter umum/spesialis dan rumah bidan swasta. Masyarakat yang tinggal di
perkotaan mayoritas telah memiliki waktu tempuh ideal menuju fasilitas kesehatan
yang tersedia, yakni sebanyak 98 persen ibu hamil yang memiliki waktu tempuh
menuju puskesmas, 99,5 persen ibu hamil yang memiliki waktu tempuh menuju klinik
swasta, 98,4 persen ibu hamil yang memiliki waktu tempuh menuju praktik dokter
umum/spesialis dan 72,9 persen ibu hamil yang memiliki waktu tempuh menuju rumah
bidan swasta. Jumlah ibu yang memiliki waktu tempuh ideal menuju rumah bidan
swasta cenderung lebih rendah dibandingkan dengan fasilitas kesehatan yang lain, hal
ini berkaitan dengan kondisi di Indonesia yang pada umumnya praktik bidan swasta
banyak dibuka di wilayah pedesaan mengingat keterjangkauan masyarakat terhadap
fasilitas kesehatan seperti rumah sakit yang cukup sulit.
Ketidakmerataan distribusi tenaga kesehatan dalam suatu negara adalah masalah lama
yang juga terjadi di seluruh dunia dan menjadi permasalahan yang serius. Beberapa
negara maju dan berkembang menyatakan bahwa persentase tenaga kesehatan di
wilayah perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan wilayah pedesaan. Penelitian
Dussault dan Franceschini (2006) menyatakan bahwa tenaga kesehatan seperti dokter
dan perawat cenderung tidak bersedia apabila ditempatkan atau pindah ke wilayah
terpencil dan terdalam. Kondisi geografis di Indonesia sendiri banyak menimbulkan
tantangan bagi pelayanan kesehatan dan pemerataan distribusi tenaga kesehatan. Tidak
meratanya distribusi tenaga kesehatan kerap terjadi terutama pada daerah yang
tertinggal, terpencil, rawan kerusuhan, bencana alam, daerah pemekaran dan daerah
perbatasan (Bambang, 2012).
Data pada tabel di atas, persentase ibu di luar Jawa-Bali yang memiliki waktu
tempuh ideal menuju fasilitas kesehatan dan jumlah kunjungan pemeriksaan
kehamilannya sesuai dengan standar ANC K4, nilainya lebih dari 85 persen, kecuali
menuju praktik/rumah bidan swasta. Meskipun secara rata-rata persentase ibu hamil
yang memiliki waktu tempuh ideal telah cukup banyak, namun jumlah kunjungan
yangs esuai dengan standar ANC K4 tidak lebih tinggi dari ibu yang tinggal di wilayah
Jawa-Bali. Hal ini semakin menunjukkan bahwa persebaran tenaga dan fasilitas
kesehatan di Indonesia masih belum merata dan belum dapat dimanfaatkan oleh ibu
hamil di beberapa wilayah.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Trend pembangunan infrastruktur di wilayah Indonesia telah mengalami
peningkatan setiap tahunnya, namun di bidang kesehatan sendiri masih mengalami
beberapa permasalahan seperti ketimpangan jumlah fasilitas kesehatan yang tersedia
dan persebaran tenaga kesehatan yang tidak merata di setiap wilayah, di mana secara
tidak langsung dapat mempengaruhi tingginya angka kematian ibu di Indonesia. Secara
keseluruhan dapat disimpulkan bahwa waktu tempuh menuju fasilitas kesehatan tidak
signifikan mempengaruhi jumlah kunjungan pemeriksaan kehamilan dalam penelitian
ini, melainkan lebih dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti lama tahun
pendidikan ibu, urutan kehamilan, kepemilikan kendaraan, pengeluaran per kapita
suatu rumah tangga, pengukuran tinggi badan ibu, pengukuran berat badan ibu,
pengukuran tekanan darah, pemberian suplemen zat besi dan imunisasi tetanus toksoid
pada ibu, jarak menuju ibukota provinsi, wilayah tempat tinggal di Jawa-Bali dan luar
Jawa-Bali serta pengetahuan akan keberadaan rumah bidan swasta. Kunjungan
pemeriksaan kehamilan dapat ditingkatkan dengan memperhatikan beberapa faktor
yang berpengaruh tersebut. Dengam demikian kondisi kesehatan ibu hamil akan
meningkat seiring dengan tingginya angka pemanfaatan layanan kehamilan, sehingga
pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap penurunan kematian ibu di Indonesia.
5.2 Saran
Trend pembangunan infrastruktur di wilayah pedesaan, khususnya di luar Pulau
Jawa-Bali masih sangat rendah, terutama di wilayah Kepulauan Nusa Tenggara,
Maluku dan Papua. Hal ini berkaitan dengan jumlah kunjungan pemeriksaan
kehamilan yang rendah serta kematian ibu yang tinggi. Maka saran yang diberikan
adalah pemerataan tenaga dan fasilitas kesehatan lebih ditingkatkan terutama di
wilayah Indonesia Timur, dengan tujuan memudahkan ibu hamil untuk memeriksakan
kesehatan dan kehamilannya, yang pada akhirnya berimplikasi pada meningkatnya
kesehatan ibu hamil dan kematian ibu dapat ditekan. Jumlah kunjungan pemeriksaan
ibu hamil di wilayah Jawa-Bali cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah
kunjungan pemeriksaan di luar Jawa-Bali. Adanya perbedaan tersebut menunjukkan
ketersediaan tenaga dan fasilitas kesehatan di wilayah luar Jawa-Bali tergolong rendah.
Sehingga langkah yang dapat ditempuh dalam menanggulangi perbedaan jumlah
kunjungan pemeriksaan kehamilan adalah dengan meningkatkan persebaran tenaga
dan fasilitas kesehatan di wilayah luar Jawa-Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Arthur, E. 2012. Wealth and Antenatal Care Use: Implications for Maternal Health
Care Utilisation in Ghana. Health Economics Review, no. 2 (Agustus), 1–18.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2015. Survei Penduduk Antar Sensus 2015. Jakarta:
BPS.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2015. Profil Penduduk Indonesia Hasil Supas 2015.
Jakarta: BPS.
Bhattacherjee, S., dkk. 2013. Maternal Health Care Services Utilization in Tea Gardens
of Darjeeling, India. Journal of Basic and Clinical Reproductive Sciences, no. 2
(Desember):2.
Buor, D. 2003. “Analysing The Primacy of Distance in The Utilization of Health
Services in the Ahafo-Ano South District, Ghana”. The International Journal of
Health Planning and Management, no. 18 (April): 293- 311.
Onah, H, Ikeako, L, dan Iloabachie, G. 2009. “Factors Associated with The Use of
Maternity Services in Enugu, Southeastern Nigeria”. Social Science and Medicine,
no. 63 (Juli):1870-1878.
Oyerinde, K. 2013. “Can Antenatal Care Result in Significant Maternal Mortality
Reduction in Developing Countries?”. Community Medicine and Health
Education, no. 3 (Februari): 1-2.
Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Preeclmpsia Foundation. 2013. “Preeclampsia and Maternal Mortality: a Global
Burden”. Preeclmpsia Foundation, 1 Mei 2013. Diakses pada 10 Desemeber 2018.
https://www.preeclampsia.org/health-information/149-advocacy awareness/332-
preeclampsia-and-maternal-mortality-a-global-burden.
Putra, D.S. 2017. Logistic Regression. Diakses pada 1 Maret 2019.
https://kudo.co.id/engineering/2017/03/23/logistic-regression.
Rooney, Cleone., dkk. 1993. “Antenatal Care and Maternal Health: How Effective is
It?”. World Health Organization. Diakses pada 3 Oktober 2018.
http://apps.who.int/iris/handle/10665/59954.
Sakinah, V. dan Fibriana, A.I. 2015. “Upaya Peningkatan Pengetahuan, Sikap dan
Kunjungan Antenatal Care (Anc) Ibu Hamil melalui Pemberdayaan Kader ANC”.
Unnes Journal of Public Health, no. 1 (Januari). 54-60.
Sahoto, A dan Fatmi, Z. 2018. Inequities in Antenatal Care, and Individual and
Environmental Determinants of Utilization at National and Sub-national Level in
Pakistan: A Multilevel Analysis. International Journal of Health Policy and
Management, no. 10 (Januari): 1-12.
Scott, S., dkk. 2013. “Maternal Mortality, Birth with A Health Professional and
Distance to Obstetric Care in Indonesia and Bangladesh”. Tropical Medicine and
International Health, no.10 (Oktober): 1193-1201.
Shariff, A dan Singh, G. 2007. Determinants of Maternal Health Care Utilisation in
India: Evidence from a Recent Household Survey. New Delhi: National Council
of Applied Economic Research.
Simkhada, B., dkk. 2008. Factors Affecting the Utilization of Antenatal Care in
Developing Countries: Systematic Review of the Literature. Journal of Advanced
Nursing, no. 61 (Maret): 244-260.
Stretcher, V. Dan Rosenstock, I.M. 1997. The Health Belief Model. San Francisco:
Jossey-Bass. Diakses pada 7 Desember 2018.
http://www.jblearning.com/samples/0763743836/chapter%204.pdf.
Susuman, A.S. 2015. Health care services and maternal education in South Africa.
Scandinavian Journal of Public Health, no. 43 (Juni): 673-676
Takeda, Yuko. 2010. “Understanding The Life Style of Women to Enhance Your
Practice”. Journal of the Japan Medical Association, no.5 (Oktober): 273-278.
The ASEAN Secretariat. 2017. ASEAN Statistical Report on Millenium Development
Goals 2017. Jakarta: ASEAN A Community of Opportunities.
The Society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada (SOGC). 2008. Diagnosis,
Evaluation, and Management of the Hypertensive. Diakses pada 28 Februari 2019.
https://www.sogc.org/wp-content/uploads/2014/05/gui307CPG1405Erev.pdf
Titaley, C.R., Dibley, M.J., Roberts, C.L. 2010. “Factors associated with
underutilization of antenatal care services in Indonesia: results of Indonesia
Demographic and Health Survey 2002/2003 and 2007”. BMC Public Health.
10:485.
Tran, T.K., dkk. 2012. Factors Associated with Antenatal Care Adequacy in Rural and
Urban Contexts-Results from Two Health and Demographic Surveillance Sites in
Vietnam. BMC Health Services Research, 12:40.
Turner, J.A. 2010. Diagnosis and Management of Pre-eclampsia: An Update.
International Journal of Women’s Health, no.2 (September):327-337.
Villar, J. Dan Bergsjo, P. 1997. “Scientific Basis for The Content of Routine Antenatal
Care. I. Philosophy, Recent Studies, and Power to Eliminate or Alleviate Adverse
Maternal Outcomes”. Acta Obstetrica et Gynecologica Scandinavica, no.76
(Januari):1–14.
Wilunda, C., dkk. 2017. “Barriers to Utilisation of Antenatal Care Services in South
Sudan: A Qualitative Study in Rumbek North County”. Reproductive Health.
14:65.
Women Research Institute. 2011. Mencari Ujung Tombak Penurunan Angka Kematian
Ibu di Indonesia. WRI: Jakarta.
World Health Organization. 2016. WHO Recommendation on Antenatal Care Contact
Schedules. The WHO Reproductive Health Library; Geneva: World Health
Organization. Diakses pada 27 Desember 2018.
https://extranet.who.int/rhl/topics/improving-health-system-performance/who-
recommendation-antenatal-care-contact-schedules.
World Health Organization. 2015. WHO Recommendations for Prevention and
Treatment of Pre-eclampsia and Eclampsia
Zwi, A. dan Brugha, R.F. 2001. “Private Health Care in Developing Countries: If It is
to Work, It Must Start from What Users Need”. BMJ Clinical Research, no. 323
(September): 463-464.