Anda di halaman 1dari 32

MATA KULIAH : METODOLOGI PENELITIAN

DOSEN : Dr. NURZAKIAH, SKM, M.KM

PEMBERIAN PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PENANGANAN

KEJANG DEMAM PADA ANAK BALITA TERHADAP TINGKAT KECEMASAN

PADA IBU YANG BERADA DI RS ANDI MAKKASAU KOTA PAREPARE

DINDHA PRAMESTY

B300220004

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BARAMULI PINRANG

TAHUN AJARAN 2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa skripsi ini telah

selesai dikerjakan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen kami. Dalam

proses pembuatan skripsi ini kami sebagai penyusun mengalami berbagai hambatan dan

gangguan, akan tetapi dengan kesabaran serta dukungan dari media yang memadai,

makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Tak ketinggalan pula kami sebagai penyusun

skripsi mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Semua pihak dan rekan-rekan yang membantu dalam pengumpulan bahan,

penyusunan dan pembuatan skripsi ini. Tentunya sebagai manusia yang tak sempurna, kami

selaku penyusun tak lepas dari kesalahan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran

dari pembaca sebagai bahan evaluasi atas makalah yang kami buat. Harapannya agar kami

menjadi lebih baik lagi di kemudian hari.

Pinrang, 20 April 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam merupakan keadaaan yang sering ditemui sehari-hari dalam kehidupan

terutama pada anak yang tubuhnya masih rentan terhadap penyakit. Demam ditandai

dengan meningkatnya suhu di atas ambang normal. Peningkatan suhu tubuh dapat

digolongkan menjadi dua, yaitu peningkatan suhu yang tergolong normal (bersifat

fisiologis) dan peningkatan suhu yang abnormal (patologis). Peningkatan suhu tubuh

dalam keadaan normal, misalnya peningkatan suhu setelah anak beraktivitas, setelah

mandi air panas, setelah makan, atau anak yang kurang minum. Peningkatan suhu yang

abnormal misalnya akibat penyakit. Beragam penyakit memang biasanya dimulai dengan

manifestasi berupa demam. Untuk mengatasi ketidaknyamanan yang diakibatkannya,

dilakukan berbagai cara mulai dari sederhana sampai harus ke pelayanan kesehatan.

Demam merupakan kasus tersering yang menyebabkan orang tua membawa anak ke

pelayanan kesehatan dan terkadang membuat orang tua panik (Lusia, 2015 dalam jurnal

Roly Marwan 2017).

Ada hal-hal yang harus mendapat perhatian khusus sehubungan dengan demam

pada anak di masa tumbuh kembangnya, yaitu anak dengan kejang demam. Anak yang

kejang demam merupakan masalah penting yang harus diketahui untuk melakukan

tindakan yang tepat jika terjadi, agar tidak membawa dampak yang serius. Kondisi demam

sebenarnya tidak berbahaya, tetapi jika demam tinggi dapat membahayakan anak. Demam

tinggi bisa menyebabkan kejang pada anak.

Kejang demam (febris convulsion/stuip/step) ialah bangkitan kejang yang terjadi

pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal lebih dari 38ºC) yang disebabkan oleh suatu proses

ekstrakranial (Bararan dan Jaumar, 2013 dalam jurnal Jenyfer P. Kakalang 2016). Lebih
dari 90% penderita kejang demam terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun. Terbanyak

bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22

bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan. Kejang

demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering ditemui pada anak. Pendapat

para ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai

dengan 5 tahun.

Menurut The International League Against yang dikutip oleh Veisani, et al. 2014,

kejadian kejang demam pada bayi atau anak-anak pasti disertai suhu lebih dari 38°C tanpa

bukti adanya ketidakseimbangan elektrolit akut dan infeksi Central Nervous System

(CNS). Kejang demam mempengaruhi 2-5% anak-anak di dunia. Anak-anak jarang

mendapatkan kejang demam pertamanya sebelum umur 6 bulan. Insidensi kejang demam

dibeberapa negara berbeda-beda. Di Amerika Serikat dan Eropa 2-5%, India 5-10%,

Jepang 8,8%, Guam 14% (Waruiru, 2014; Fadila, 2014 dalam jurnal Muhammad Arip

2014).

Dalam (Hawari,2011) Ansietas merupakan pengalaman individu yang bersifat

subjektif, yang sering bermanifestasi sebagai perilaku yang disfungsional yang diartikan

sebagai perasaan “kesulitan” dan kesusahan terhadap kejadian yang tidak diketahui

dengan pasti (Varcarolis, 2007). Pendapat lain juga menyatakan Kecemasan merupakan

reaktivitas emosional berlebihan, depresi yang tumpul, atau konteks sensitif, respon

emosional (Clift, 2011) Tingkat pengetahuan orang tua yang berbeda dapat

mempengaruhi pencegahan kejang demam pada anak saat anak mengalami demam tinggi

(Riandika, 2012). Kecemasan berlebihan disebabkan karena edukasi yang tidak memadai

tentang kejang demam (Tarigan, Harahap & Lubis, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Andriani dan kawan-kawan

(2019) dengan judul “Pemberian Pendidikan Kesehatan Tentang Penanganan Kejang


Demam Pada Anak Balita Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Ibu di RS Andi Makkasau

Kota Parepare” maka diperoleh data dari RS Andi Makkasau Kota Parepare pada tanggal

05-20 Juni 2019 terdapat jumlah ibu dengan anak kejang demam yang sedang dirawat

selama 2 bulan terakhir yaitu sebanyak 45 ibu. Studi awal yang dilakukan dari penelitian

ini ada 15 orang ibu maka tingkat Kecemasan Pre Pendidikan Kesehatan terdapat

kategori rendah 1 ibu, 5 ibu tingkat kecemasan kategori sedang dan 9 ibu tingkat

kecemasan kategori tinggi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Andriani dan kawan-kawan, 2019

menunjukkan adanya pengaruh pembeian pendidikan kesehatan terhadap tingkat

kecemasan pada Ibu. Hasil uji Wilcoxon Signed Rank Test dimana nilai p value = 0,001.

Sebelum dilakukan penelitian ini juga menunjukkan bahwa mayoritas responden

memiliki tindakan tingkat kecemasan tinggi. Setelah dilakukan edukasi tingkat

kecemasan responden menurun menjadi tingkat kecemasan sedang (Andriani dkk, 2016)

Berdasarkan data diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul :

“Pemberian Pendidikan Kesehatan Tentang Penanganan Kejang Demam Pada Anak

Balita Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Ibu di RS Andi Makkasau Kota Parepare”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah : “Bagaimana pemberian pendidikan kesehatan tentang penanganan kejang

demam pada anak balita dapat menurunkan tingkat kecemasan pada ibu?”.

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum


Untuk mengetahui pendidikan kesehatan tentang penanganan kejang demam

pada anak balita terhadap tingkat kecemasan pada ibu

1.3.2 Tujuan Khusus :

a. Untuk mengetahui pendidikan kesehatan ibu tentang penanganan kejang

demam pada anak balita

b. Untuk mengetahui tingkat kecemasan ibu tentang kejang demam pada anak

pre dan post pemberian pendidikan kesehatan

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Profesi Keperawatan

a. Dapat memberikan sumbangan ilmu bagi ilmu keperawatan khususnya ilmu

keperawatan anak.

b. Sebagai tambahan informasi bagi profesi keperawatan dalam hal mengetahui

masalah yang ditemukan terhadap tingkat kecemasan pada ibu yang terkadang

dapat mempengaruhi kecemasan anak sehingga dapat menghambat proses

penyembuhan anak.

c. Sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan asuhan keperawatan untuk

menurunkan tingkat kecemasan pada ibu.

1.4.2 Bagi Rumah Sakit

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi rumah sakit. Penelitian

ini juga dapat digunakan untuk sumber pengetahuan bahwa orang tua khususnya ibu

juga mengalami kecemasan pada saat anak mengalami sakit sehingga perawat dapat

memberikan perhatian atau kepedulian. Perawat juga mampu memberikan

penjelasan tentang kondisi anak yang sebenarnya dengan menggunakan komunikasi

yang baik agar kecemasan ibu tidak bertambah.


1.4.3 Bagi Peneliti

Untuk mengetahui dan mengaplikasikan teori yang telah didapat untuk

mengatasi masalah yang diteliti saat ini.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendidikan Kesehatan

2.1.1 Pengertian Pendidikan Kesehatan

Pengertian Pendidikan Kesehatan Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang

direncanakan untuk mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok atau masyarakat,

sehingga mereka melakukan apa yang di harapkan oleh pelaku pendidikan, yang tersirat

dalam pendidikan adalah: input adalah sasaran pendidikan (individu, kelompok, dan

masyarakat), pendidik adalah (pelaku pendidikan), proses adalah (upaya yang direncanakan

untuk mempengaruhi orang lain), output adalah (melakukan apa yang diharapkan atau

perilaku) (Notoatmodjo, 2012).

Kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang

memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi, dan

menurutWHO yang paling baru ini memang lebih luas dan dinamis dibandingkan dengan

batasan sebelumnya yang mengatakan, bahwa kesehatan adalah keadaan sempurna, baik fisik

maupun mental dan tidak hanya bebas dari penyakit dan cacat (Notoatmodjo, 2012).

Pendidikan kesehatan adalah aplikasi atau penerapan pendidikan dalam bidang kesehatan.

Secara opearasional pendidikan kesehatan adalah semua kegiatan untuk memberikan dan

meningkatkan pengetahuan, sikap, praktek baik individu, kelompok atau masyarakat dalam

memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2012).

2.1.2 Tujuan Pendidikan Kesehatan

a. Tujuan kaitannya dengan batasan sehat

Menurut WHO (1954) pendidikan kesehatan adalah untuk mengubah perilaku orang

atau masyarakat dari perilaku tidak sehat menjadi perilaku sehat. Seperti kita ketahui bila
perilaku tidak sesuai dengan prinsip kesehatan maka dapat menyebabkan terjadinya

gangguan terhadap kesehatan. Masalah ini harus benar-benar dikuasai oleh semua kader

kesehatan di semua tingkat dan jajaran, sebab istilah sehat, bukan sekedar apa yang

terlihat oleh mata yakni tampak badannya besar dan kekar. Mungkin saja sebenarnya ia

menderita batin atau menderita gangguan jiwa yang menyebabkan ia tidak stabil, tingkah

laku dan sikapnya. Untuk menapai sehat seperti definisi diatas, maka orang harus

mengikuti berbagai latihan atau mengetahui apa saja yang harus dilakukan agar orang

benar-benar menjadi sehat.

b. Mengubah perilaku kaitannya dengan budaya

Sikap dan perilaku adalah bagian dari budaya. Kebiasaan, adat istiadat, tata nilai atau

norma, adalah kebudayaan. Mengubah kebiasaan, apalagi adat kepercayaan yang telah

menjadi norma atau nilai di suatu kelompok masyarakat, tidak segampang itu untuk

mengubahnya. Hal itu melalui proses yang sangat panjang karena kebudayaan adalah

suatu sikap dan perilaku serta cara berpikir orang yang terjadinya melalui proses belajar.

Meskipun secara garis besar tujuan dari pendidikan kesehatan mengubah perilaku belum

sehat menjadi perilaku sehat, namun perilaku tersebut ternyata mencakup hal yang luas,

sehingga perlu perilaku tersebut dikategorikan secara mendasar.

Susilo membagi perilaku kesehatan sebagai tujuan pendidikan kesehatan menjadi 3

macam yaitu :

1) Perilaku yang menjadikan kesehatan sebagai suatu yang bernilai di masyarakat.

Dengan demikian kader kesehatan mempunyai tanggung jawab di dalam

penyuluhannya mengarahkan pada keadaan bahwa cara-cara hidup sehat menjadi

kebiasaan hidup masyarakat sehari-hari.

2) Secara mandiri mampu menciptakan perilaku sehat bagi dirinya sendiri maupun

menciptakan perilaku sehat di dalam kelompok. Itulah sebabnya dalam hal ini

Pelayanan Kesehatan Dasar (PHC = Primary Health Care) diarahkan agar


dikelola sendiri oleh masyarakat, dalam hal bentuk yang nyata adalah PKMD.

Contoh PKMD adalah Posyandu. Seterusnya dalam kegiatan ini diharapkan

adanya langkah-langkah mencegah timbulnya penyakit.

3) Mendorong berkembangnya dan penggunaan sarana pelayanan kesehatan yang

ada secara tepat. Ada kalanya masyarakat memanfaatkan sarana kesehatan yang

ada secara berlebihan. Sebaliknya sudah sakit belum pula menggunakan sarana

kesehatan yang ada sebagaimana mestinya.

2.1.3 Sasaran Pendidikan Kesehatan

Menurut Susilo (2011) sasaran pendidikan kesehatan di indonesia, berdasarkan

kepada program pembangunan di Indonesia adalah:

a. Masyarakat umum dengan berorientasi pada masyarakat pedesaan.

b. Masyarakat dalam kelompok tertentu, seperi wanita, pemuda, remaja. Termasuk

dalam kelompok khusus ini adalah kelompok pendidikan mulai dari TK sampai

perguruan tinggi, sekolah agama swasta maupun negeri. C. Sasaran individu

dengan teknik pendidikan kesehatan individu.

2.1.4 Metode Pendidikan Kesehatan

Menurut Notoatmodjo (2012) metode pendidikan kesehatan dibagi menjadi 3 macam,

yaitu :

a. Metode Individual (Perorangan) Metode ini dibagi menjadi 2 bentuk, yaitu :

Bimbingan dan penyuluhan (Guidance and counceling) dan Wawancara

(interview)

b. Metode Kelompok

Metode kelompok ini harus memperhatikan apakah kelompok tersebut besar atau

kecil, karena metodenya akan lain. Efektifitas metodenya pun akan tergantung

pada besarnya sasaran pendidikan.

a) Kelompok besar

- Ceramah
Metode yang cocok untuk yang berpendidikan tinggi maupun rendah.

- Seminar

Metode ini cocok digunakan untuk kelompok besar dengan pendidikan

menengah atas. Seminar sendiri adalah presentasi dari seorang ahli atau

beberapa orang ahli dengan topik tertentu.

b) Kelompok kecil

- Diskusi kelompok

Kelompok ini dibuat saling berhadapan, ketua kelompok menempatkan diri

diantara kelompok, setiap kelompok punya kebebasan untuk mengutarakan

pendapat,biasanya pemimpin mengarahkan agar tidak ada dominasi antar

kelompok.

- Curah pendapat (Brin storming)

Merupakan hasil dari modifikasi kelompok, tiap kelompok memberikan

pendapatnya, pendapat tersebut di tulis di papan tulis, saat memberikan

pendapat tidak ada yang boleh mengomentari pendapat siapapun sebelum

semuanya mengemukakan pendapatnya, kemudian tiap anggota berkomentar

lalu terjadi diskusi

- Bola salju (Snow balling)

Setiap orang di bagi menjadi berpasangan, setiap pasang ada 2 orang.

Kemudian diberikan satu pertanyaan, beri waktu kurang lebih 5 menit

kemudian setiap 2 pasang bergabung menjadi satu dan mendiskuskan

pertanyaan tersebut, kemudian 2 pasang yang beranggotakan 4 orang tadi

bergabung lagi dengan kelompok yang lain, demikian seterusnya sampai

membentuk kelompok satu kelas dan timbulah diskusi.

- Kelompok-kelompok kecil (Buzz group)

Kelompok di bagi menjadi kelompok-kelompok kecil kemudian dilontarkan

satu pertanyaan kemudian masing-masing kelompokmendiskusikan masalah


tersebut dan kemudian kesimpulan dari kelompok tersebut dicari

kesimpulannya.

- Bermain peran (Role play)

Beberapa anggota kelompok ditunjuk untuk memerankan suatu peranan

misalnya menjadi dokter, perawat atau bidan, sedangkan anggotayang lain

sebagai pasien atau masyarakat.

- Permainan simulasi (Simulation game)

Metode ini merupakan gabungan antara role play dengan diskusi kelompok.

Pesan-pesan kesehatan dsajikan dalam beberapa bentuk permainan seperti

permainan monopoli, beberapa orang ditunjuk untuk memainkan peranan dan

yang lain sebagai narasumber.

c. Metode Massa

Pada umumnya bentuk pendekatan ini dilakukan secara tidak langsung atau

menggunakan media massa.

2.1.5 Model Pendidikan Kesehatan

Menurut Nursalam (2008) perawat sebagai pendidik harus memiliki kemampuan

untuk mengkaji kekuatan dan dampak yang ditimbulkan oleh intervensi keperawatan terhadap

perilaku subyek yang dapat memperkaya, memberikan informasi dan melengkapi perilaku

subyek yang diinginkan. Model pendidikan kesehatan yang dapat digunakan oleh perawat

adalah sebagai berikut:

a. Model Perilaku Individu

Ada dua model yang sering digunakan untuk menjelaskan faktor penentu dari

perilaku preventif, yaitu model nilai kesehatan dan model promosi kesehatan. Secara

mendasar model nilai kesehatan ditunjukkan untuk promosi peningkatan perilaku

sehat daripada mengulangi faktor penyebab. Model ini berfokus pada orientasi

mencegah penyakit yang spesifik. Dimensi yang digunakan pada model nilai

kesehatan meliputi kepekaan, keparahan, penghalang yang dirasakan, variabel


struktural serta sosiopsikologis lainnya. Sedangkan model promosi kesehatan

merupakan modifikasi nilai kesehatan dan lebih memfokuskan pada prediksi

perubahan perilaku akibat promosi kesehatan.

b. Model Pemberdayaan Masyarakat

Perubahan perilaku yang terjadi pada individu belum membawa dampak yang berarti

pada perubahan perilaku di masyarakat. Sehingga perawat perlu membantu individu

dan keluarga yang telah berubah perilakunya yang ditampilkan pada komunitas.Fokus

proses pemberdayaan masyarakat adalah komunikasi, informasi, dan pendidikan

kesehatan (WHO, 1994). Di Indonesia sering disebut komunikasi informasi dan

edukasi (KIE) yang ditujukan pada individu, keluarga, dan kelompok. Strategi yang

dapat digunakan oleh perawat dalam rangka KIE adalah pembelajaran pemecahan

masalah (problem solving), memperluas jaringan kerja (networking), bernegosiasi

dengan pihak yang bersangkutan (negotiating), pendekatan untuk mempengaruhi

orang lain (lobbying) dan pencarian informasi (information seeking) untuk

meningkatkan derajat kesehatan kliennya.

2.1.5 Media Pendidikan Kesehatan

Menurut Nursalam (2008) media pendidikan kesehatan adalah saluran komunikasi

yang dipakai untuk mengirimkan pesan kesehatan. Media dibagi menjadi 3, yaitu: cetak,

elektronik, media papan (billboard).

a. Media cetak

- Booklet : untuk menyampaikan pesan dalam bentuk pesan tulisan maupun gambar,

biasanya sasarannya masyarakat yang bisa membaca.

- Leaflet : penyampaian pesan melalui lembar yang dilipat biasanya berisi gambar atau

tulisan atau biasanya kedua-duanya.

- Flyer (selebaran) :seperti leaflet tetapi tidak berbentuk lipatan.


- Flip chart (lembar balik) : informasi kesehatan yang berbentuk lembar balik dan

berbentuk buku. Biasanya berisi gambar dibaliknya berisi pesan kalimat berisi

informasi berkaitan dengan gambar tersebut.

- Rubik atau tulisan-tulisan pada surat kabar atau majalah, mengenai hal yang berkaitan

dengan hal kesehatan.

- Poster :berbentuk media cetak berisi pesan-pesan kesehatan biasanya ditempel di

tembok-tembok tempat umum dan kendaraan umum.

- Foto : yang mengungkapkan masalah informasi kesehatan.

b) Media elektronik

- Televisi : dalam bentuk ceramah di TV, sinetron, sandiwara, dan vorum diskusi tanya

jawab dan lain sebagainya.

- Radio : bisa dalam bentuk ceramah radio, sport radio, obrolan tanya jawab dan lain

sebagainya.

- Vidio Compact Disc (VCD).

- Slide : slide juga dapat digunakan sebagai sarana informasi

- Film strip juga bisa digunakan menyampaikan pesan kesehatan.

c) Media papan (bill board)

Papan yang dipasang di tempat-tempat umum dan dapat dipakai dan diisi pesan-pesan

kesehatan.

2.2 Kejang Demam

2.1 Pengertian

Kejang demam adalah serangkaian kejang yang terjadi karena peningkatan suhu

akibat proses ekstrakranium dengan ciri terjadi antara usia 6 bulan- 4 tahun, lamanya

kurang dari 15 menit dapat bersifat umum dan dapat terjadi 16 jam setelah timbulnya
demam. Pada kejang demam, wajah anak akan mejadi biru, matanya berputar-putar,

dan anggota badannya akan bergetar dengan hebat.

Kejang demam adalah kejang yang dihubungkan dengan suatu penyakit yang

dicirikan dengan demam tinggi (suhu 38,9ºC-40,0ºC). Kejang demam merupakan

gangguan transien pada anak-anak yang terjadi bersamaan dengan demam. Keadaan

ini merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering dijumpai pada masa

kanak-kanak dan menyerang sekitar 4%. Kebanyakan serangan kejang demam terjadi

setelah usia 6 bulan dan biasanya sebelum usia 3 tahun dengan peningkatan frekuensi

serangan pada anak-anak yang berusia kurang dari 18 bulan.

2.2 Klasifikasi Kejang Demam

Kejang diklasifikasikan sebagai parsial atau generalisata berdasarkan apakah

kesadaran utuh atau hilangnya kesadaran. Kejang dengan kesadaran utuh disebut

sebagai kejang parsial. Kejang parsial dibagi menjadi parsial sederhana (kesadaran

utuh) dan parsial kompleks (kesadaran berubah tetapi tidak hilang). Pada kasus

kejang demam sederhana, kejang biasanya hanya berdurasi beberapa detik hingga 15

menit dan umumnya akan berhenti sendiri. Meskipun terjadi pada seluruh tubuh,

kejang tidak akan berulang dalam waktu 24 jam. Sedangkan pada kejang demam

kompleks, durasi kejang berlangsung lebih dari 15 menit, serta bisa terjadi lebih dari

satu kali dalam 24 jam. Kejang demam kompleks bisa terjadi pada sebagian tubuh

anak saja.

2.3 Penyebab Kejang Demam

Kejang demam kini belum diketahui dengan pasti. Pada sebagian besar anak,

tingginya suhu tubuh, bukan kecepatan kenaikan suhu, menjadi faktor pencetus
serangan kejang demam. Biasanya suhu demam lebih besar 38,8ºC dan terjadi pada

saat suhu tubuh naik dan bukan pada saat setelah terjadinya kenaikan suhu yang lama.

Kejang demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan atas, infeksi

saluran kemih, roseola, otitis media akut, pneumonia, dan gastroenteritis. Walaupun

vaksin pertusis tidak menyebabkan kejang demam, namun imunisasi ini merupakan

faktor pencetus serangan awal kejang demam pada anak-anak yang mudah menderita

kejang demam (Cherry dkk, 1993 dalam buku Donna L.Wong 2008) .

2.4 Patofisiologi Kejang Demam

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebihan dari sebuah fokus

kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.

Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan

tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar

bersifat epileptogenik sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak

memicu kejang.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang

sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas

neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan

listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah

otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul

dicairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin

mengalami deplesi selama aktivitas kejang.

Secara umum tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti

histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan

struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan
fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai diantara kejang. Fokus

kejang tampaknya sangat peka terhadap asetilkolin, suatu neurotransmiter

fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.

2.5 Manifestasi Klinis Kejang Demam

Tanda dan gejala kejang demam antara lain:

a. Suhu tubuh anak (suhu rektal) lebih dari 38ºC.

b. Penurunan kesadaran.

c. Kejang khas menyeluruh.

d. Tonik-klonik lama beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode

mengantuk singkat pasca kejang (tonik; kontraksi otot, ekstensi ekstremitas,

kehilangan kontrol defekasi dan kandung kemih, sianosis, dan hilang

kesadaran – klonik; kontraksi dan relaksasi ekstremitas yang teratur/ritmik).

e. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15 menit menunjukkan

penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik dan memerlukan

pengamatan menyeluruh.

f. Gerakan mata abnormal (mata dapat berputar-putar atau terbalik ke atas

dengan disertai kekakuan atau kelemahan).

g. Gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan.

h. Salah satu anggota keluarga (riwayat keluarga) pernah mengalami kejang

demam.

2.6 Komplikasi Kejang Demam

a. Defisit neurologik, dimana terjadi kelainan fungsional area tubuh karena

penurunan fungsi otak, medulla spinalis, saraf perifer dan otot.

b. Defisit koordinasi motorik ialah kelainan fungsi harmonis bagian tubuh yang

melibatkan pergerakan, termasuk gerakan motorik kasar maupun halus.


c. Ketidakmampuan intelektual merupakan keterbelakangan mental.

d. Epilepsi merupakan suatu gangguan pada sistem saraf otak manusia karena

terjadinya aktivitas yang berlebihan dari sekelompok sel neuron pada otak

sehingga menyebabkan berbagai reaksi pada tubuh manusia seperti kejang-

kejang.

e. Retardasi mental atau perubahan perilaku.

f. Meningitis ialah infeksi pada meninges (selaput pelindung) yang

menyelimuti otak dan saraf tulang belakang.

g. Sepsis adalah suatu keadaan dimana tubuh bereaksi hebat terhadap bakteria

atau mikroorganisme lain.

2.7 Pemeriksaan Diagnostik Kejang Demam

Gambaran elektroensefalografi (EEG) terindikasi untuk kejang demam atipik atau

pada anak yang berisiko untuk berkembang epilepsi. Pada anak dengan kejang

demam, temuan EEG cenderung menjadi abnormal seiring dengan pertambahan usia,

tanpa bergantung pada apakah mereka kemudian akan mengalami kejang-kejang.

a. Pemeriksaan CSS dan penentuan elektrolit, gula, dan kalsium serum serta

pemeriksaan radiologik dapat dilakukan untuk menyingkirkan meningitis

dan ensefalitis. Pada bayi-bayi kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas

sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6

bulan. Pemeriksaan ini terindikasi jika kejang berkemungkinan terkait

dengan proses infeksi, perdarahan subaraknoid, atau gangguan

demielinasi.

b. Computed Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI)

dapat dilakukan untuk mengetahui adanya abnormalitas.

2.8 Penatalaksanaan Kejang Demam


a. Farmakologi

- Beri terapi antikonvulsan jika diindikasikan. Perhatikan bahwa terapi

profilaksis tidak mengurangi risiko terhadap kejang berikutnya. Terapi

antikonvulsan dapat diindikasikan pada anak-anak yang memenuhi

kriteria tertentu antara lain kejang fokal atau kejang lama,

abnormalitas neurologik, kejang tanpa demam derajat pertama, usia

dibawah 1 tahun, dan kejang multipel kurang dari 24 jam.

- Pemberian obat diazepam yang diberikan melalui oral, intravena atau

intrarektal. Dosis diazepam oral 0,3-0,5mg/kgBB hari dibagi dalam 3

dosis saat pasien demam, intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan

kecepatan 1-2mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg dan dosis

diazepam intrarektal 5 mg (BB < 10 kg) atau 10 mg (BB > 10 kg).

- Fenobarbital, dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.

b. Non farmakologi

- Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang, pasien

dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan

nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin.

- Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu,

pernapasan, dan fungsi jantung.

- Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan pemberian kompres air

dingin.

- Cegah cedera dan kejang berulang dengan memberi penyuluhan pada

anak dan keluarga.


- Memberi dukungan dan pendidikan kesehatan kepada keluarga

mengenai kejang demam. Buat orang tua tenang dengan menyakinkan

mereka tentang sifat jinak kejang demam.

- Beri konseling kepada orang tua mengenai cara mengendalikan

demam, diskusikan cara mempertahankan keamanan anak selama

kejang.

- Beri arahan dan demonstrasi mengenai pemberian diazepam rektal

pada saat awitan kejang (jika tersedia).

- Instruksikan orang tua mengenai kapan harus menghubungi dokter

atau praktisi perawat serta kapan harus membawa anak mereka ke

UGD.

- Beri penguatan bahwa semua aktivitas kejang kambuhan

membutuhkan penanganan medis segera.

2.3 Kecemasan

2.3.1 Definisi Kecemasan

Kecemasan merupakan respons individu terhadap suatu keadaan yang tidak

menyenangkan dan dialami oleh semua makhluk hidup dalam kehidupan sehari-hari.

Kecemasan merupakan pengalaman subjektif dari individu dan tidak dapat

diobservasi secara langsung serta merupakan suatu keadaan emosi tanpa objek yang

spesifik. Kecemasan pada individu dapat memberikan motivasi untuk mencapai

sesuatu dan merupakan sumber penting dalam usaha memelihara keseimbangan

hidup.

Kecemasan adalah respons emosi tanpa objek yang spesifik yang secara subjektif

dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal. Kecemasan adalah kebingungan,


kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan

dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya.

2.3.2 Aspek-Aspek Kecemasan

Kecemasan memiliki dua aspek yakni aspek yang sehat dan aspek yang

membahayakan, yang bergantung pada tingkat kecemasan, lama kecemasan dialami,

dan seberapa baik individu melakukan koping terhadap kecemasan.

2.3.3 Respons Kecemasan

a. Respons fisiologis terhadap kecemasan.

1) Kardiovaskular, antara lain tachycardia, palpitasi, jantung berdebar,

tekanan darah meningkat, rasa ingin pingsan, pingsan, tekanan darah

menurun, dan denyut nadi menurun.

2) Pernafasan, antara lain nafas cepat, sesak nafas, tekanan pada dada, nafas

dangkal, pembengkakan pada tenggorokan, sensasi tercekik, dan

terengah-engah.

3) Neuromuskular, antara lain refleks meningkat, reaksi terkejut, mata

berkedip-kedip, insomnia, tremor, rigiditas, gelisah, mondar-mandir,

wajah tegang, kelemahan umum, tungkai lemah, gerakan yang janggal.

4) Gastrointestinal, antara lain kehilangan nafsu makan, menolak makan,

rasa tidak nyaman pada abdomen, nyeri abdomen, mual, nyeri ulu hati,

dan diare.

5) Saluran perkemihan, antara lain tidak dapat menahan kencing, dan sering

berkemih.

6) Kulit, antara lain wajah kemerahan, berkeringat pada telapak tangan,

gatal, rasa panas dan dingin pada kulit, wajah pucat, dan berkeringat

seluruh tubuh.
2.3.4 Respons perilaku, kognitif dan afektif terhadap kecemasan.

a. Perilaku, antara lain gelisah, ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut,

bicara cepat, kurang koordinasi, menarik diri dari hubungan

interpersonal, melarikan diri dari masalah, menghindar, dan sangat

waspada.

b. Kognitif, antara lain perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa,

salah dalam memberikan penilaian, hambatan berpikir, lapang persepsi

menurun, kreativitas menurun, produktivitas menurun, bingung, takut

kehilangan kendali, takut cedera atau kematian, dan mimpi buruk.

c. Afektif, antara lain mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang,

gugup, ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, mati rasa, rasa bersalah,

dan malu.

2.3.5 Jenis-Jenis Kecemasan

Menurut Freud dalam jurnal Dona Fitri dan Ifdil 2016, membedakan

kecemasan dalam tiga jenis, yaitu

a. Kecemasan neurosis adalah rasa cemas akibat bahaya yang tidak

diketahui. Perasaan itu berada pada ego, tetapi muncul dari dorongan id.

Kecemasan neurosis bukanlah ketakutan terhadap insting-insting itu

sendiri, namun ketakutan terhadap hukuman yang mungkin terjadi jika

suatu insting dipuaskan.

b. Kecemasan moral adalah berakar dari konflik antara ego dan superego.

Kecemasan ini dapat muncul karena kegagalan bersikap konsisten

dengan apa yang mereka yakini benar secara moral.

c. Kecemasan realistik merupakan perasaan yang tidak menyenangkan dan

tidak spesifik yang mencakup kemungkinan bahaya itu sendiri.


2.3.6 Gejala Kecemasan

Gejala-gejala kecemasan secara umum yaitu

a. Gejala Fisik

1) Ketegangan motorik, seperti gemetar, gugup, nyeri otot, dan mudah

lelah.

2) Nafas pendek atau perasaan tercekik.

3) Tangan dingin dan berkeringat.

4) Mulut kering dan pusing.

5) Mual, diare atau tidak nyaman abdomen.

6) Sering berkemih.

7) Tiba-tiba panas atau menggigil.

8) Tekanan darah meningkat.

b. Gejala Psikologis

1) Kegelisahan yang berlebihan.

2) Waspada yang berlebihan.

3) Sulit berkonsentrasi.

4) Respon kaget berlebihan.

5) Sulit tidur.

6) Mudah tersinggung.

7) Hipersensitif.

2.3.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

Blacburn & Davidson dalam jurnal Dona Fitri dan Ifdil 2016, menjelaskan

faktor-faktor yang menimbulkan kecemasan, seperti pengetahuan yang dimiliki

seseorang mengenai situasi yang sedang dirasakannya, apakah situasi tersebut

mengancam atau tidak memberikan ancaman, serta adanya pengetahuan


mengenai kemampuan diri untuk mengendalikan dirinya (seperti keadaan emosi

serta fokus ke permasalahannya).

Kemudian Adler dan Rodman dalam jurnal Dona Fitri dan Ifdil 2016,

menyatakan terdapat dua faktor yang dapat menimbulkan kecemasan, yaitu

pengalaman negatif pada masa lalu dan pikiran yang tidak rasional.

2.3.8 Tingkat Kecemasan

Empat tingkatan kecemasan yang dialami oleh individu yaitu ringan, sedang,

berat dan berat sekali/panik.

a. Kecemasan ringan.

Dihubungkan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari. Individu

menjadi waspada dan lapang persepsinya meluas, serta menajamkan indra.

Kecemasan ini dapat memotivasi individu untuk belajar dan mampu

memecahkan masalah secara efektif dan menghasilkan pertumbuhan serta

kreativitas.

b. Kecemasan sedang.

Memungkinkan individu berfokus hanya pada pikiran yang menjadi

perhatiannya dan mengesampingkan yang lain. Kecemasan ini

mempersempit lapang persepsi individu. Dengan demikian, individu

masih dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang lain.

c. Kecemasan berat.

Lapang persepsi individu sangat sempit dan pusat perhatiannya berfokus

pada sesuatu yang rinci (spesifik) dan tidak berpikir tentang hal lain.

Seluruh perilaku dimaksudkan untuk mengurangi kecemasan dan perlu

banyak perintah/arahan untuk berfokus pada area lain.


d. Tingkat panik

Individu kehilangan kendali diri dan detil perhatian hilang karena

hilangnya kontrol, maka tidak mampu melakukan apapun meskipun

dengan perintah. Terjadi peningkatan aktivitas motorik, berkurangnya

kemampuan berhubungan dengan orang lain, penyimpangan persepsi dan

hilangnya pikiran rasional, serta tidak mampu berfungsi secara efektif.

Biasanya disertai dengan disorganisasi kepribadian. Tingkat kecemasan

ini tidak sejalan dengan kehidupan, jika berlangsung terus dalam waktu

yang lama maka terjadi kelelahan dan kematian.

2.3.9 Mekanisme Koping Kecemasan

Ketika mengalami kecemasan, individu menggunakan berbagai mekanisme

koping untuk mencoba mengatasinya, ketidakmampuan mengatasi kecemasan

secara konstruktif merupakan penyebab utama terjadinya perilaku patologis. Pola

yang biasa digunakan individu untuk mengatasi kecemasan ringan cenderung

tetap dominan ketika kecemasan menjadi lebih intens. Kecemasan ringan sering

ditanggulangi tanpa pemikiran yang sadar.


BAB 3

KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep

Variabel Independen variable Dependen

Penanganan Kejang
Tingkat Kecemasan
Demam Pada Anak
pada Ibu
Balita

Keterangan: Variabel Independen yaitu Penanganan Kejang Demam Pada Anak Balita
dimana variable tersebut mempengaruhi variable dependen yaitu Tingkat Kecemasan
pada Ibu’

3.2 Definisi Operasional dan kriteria Objektif

a. Penanganan kejang demam pada anak

b. Tingkat kecemasan pada ibu.

Kecemasan berlebihan disebabkan karena edukasi yang tidak memadai tentang


kejang demam

3.4 Hipotesis

Ada hubungan pemberian pendidikan kesehatan dengan kecemasan pada Ibu terhadap
penanganan kejang demam pada anak balita di RS Andi Makkasau Parepare.
BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode
Quasi Experiment dengan pretest-posttest one group design. Teknik penentuan sampel
menggunakan rumus uji beda 2 proporsi.
Rancangan Penelitian Pretest-posttest one group
Pengukuran Perlakuan Pengukuran
Pretest Treatment Posttest
1 Mean 2
5 Minimum 9
9 Maximum 4

4.2 Populasi dan sampel penelitian


4.2.1 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah subjek (msialnya manusia, klien yang
memenuhi kriteria yang telah ditetapkan.(Nursalam, 2017) populasi dalam
penelitian ini adalah ibu yang akan berada di RS Andi Makassau Parepare
sebanyak 15 responden.
4.2.2 Sampel Penelitian
Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari
karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Adapun Sampel dalam penelitian ini adalah
subjek dalam populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.
a. Kriteria inklusi adalah karakteristik subyek sampel/subyek yang dapat
dimasukkan atau layak untuk diteliti, kriteria inklusi dalam penelitian ini:
1) Ibu yang anaknya dirawat di Rumah Sakit Andi Makkasau
2) Kriteria kecemasan ibu dengan kecemasan ringan.
3) Pasien yang bersedia menjadi responden
b. Kriteria eksklusi adalah karakteristik sampel yang tidak layak untuk diteliti.

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini:


1) Ibu yang tidak bersedia menjadi responden.

2) Ibu yang anaknya dirawat di tempat lain.

3) Pasien yang mengundurkan diri pada saat penelitian berlangsung

4.3 Teknik Pengambilan Sampel


Teknik Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara non probability
sampling dengan teknik purposive sampling dengan menggunakan rumus uji beda 2 proporsi.
Instrument penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan kuisioner kecemasan
STAI yang sudah dipakai sebelumnya (Bantelu,2015), kuisioner ini terdri dari 20 pernyataan
dengan point soal yang menilai adanya tingkat kecemasan dengan point 4: tidak sama sekali,
3: sedikit, 2: sedang, 1 : sangat.

4.4 Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Andi Makkasau Kota Parepare pada bulan juni
2019.

4.5 Etika Penelitian


Secara umum prinsip etika dalam penelitian/pengumpulan data dapat dibedakan menjadi
tiga bagian, yaitu Prinsip, manfaat, prinsip menghargai hak-hak subjek, dan prinsip
keadilan (Nursalam, 2017)
a. Prinsip Manfaat
a. Bebas dari penderitan
Penelitian harus dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan kepada subjek
khususnya jika menggunakan tindakan khusus
b. Bebas dari eksploitasi
Partipasi subjek dalam penelitian, harus dihindari dari keadaan yang tidak
menguntungkan subjek harus diyakinkan bahwa partisipasinya dalam
penelitian atau informasi yang telah diberikan, tidak akan dipergunakan dalam
hal-hal yang dapat merugikan subjek dalam bentuk asupan
c. Risiko (Benefits Ratio)
Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan risiko dan keuntungan yang akan
berakibat kepada subjek pada setiap tindakan.
b. Prinsip menghargai hak Asasi manusia
a. Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (right to self determination)
Subjek harus diperlakukan secara manusiawi. Subjek mempunyai hak
memutuskan apakah mereka bersedia menjadi subjek ataupun tidak, tanpa
adanya sangsi apapun atau akan berakibat terhadap kesembuhannya, jika
mereka seorang klien.
b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (right to full
disclosure)
Seorang peneliti harus memberikan penjelasan secara terperinsi serta
bertanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada subjek
c. Informed consent
Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan penelitian
yang akan dilaksanakan, mempunyai hak untuk bebas berpartisipasi atau
menolak menjadi responden. Pada informed consent juga perlu dicantumkan
bahwa data yang diperoleh hanya akan dipergunakan untuk pengembangan
ilmu.

c. Prinsip keadilan (right to justice)


a. Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair treatment)
Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama, dan sesudah
keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi apabila ternyata
mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari penelitian.
b. Hak dijaga kerahasiaannya (right to privacy)
Subjek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan harus
dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity) dan rahasia
(confidentiality)

4.6 Alat pengumpulan data


Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan menggunakan kuesioner. Hasil Uji
Wilcoxon Signed Rank Test dimana nilai p value = 0,001 lebih kecil dari α = 0,05.

4.7 Instrumen Penelitian


Instrument penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan kuisioner
kecemasan STAI yang sudah dipakai sebelumnya (Bantelu,2015), kuisioner ini terdri
dari 20 pernyataan dengan point soal yang menilai adanya tingkat kecemasan kriteria
jawaban skor 1 :Tidak sama sekali, 2: Sedikit, 3: sedang, 4: Sangat dan juga pernyataan
dengan menilai ketidakberadaan kecemasan dengan point 4: tidak sama sekali, 3: sedikit,
2: sedang, 1 : sangat.

4.8 Pengolahan dan analisa data


a. Pengolahan data
Menurut Hidayat (2014) dalam melakukan analisis data, terlebih dahulu data diolah
dengan tujuan mengubah data menjadi informasi. Langkah-langkah dalam pengolahan
data adalah sebagai berikut :
b. Editing
Upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan.
Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul.
c. Coding
Merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas
beberapa kategori. Pemberian kodeini sangat penting bila pengolahan dan analisis
data menggunakan computer. Biasanya dalam pemberian kode dibuat juga daftar kode
dan artinya dala satu buku (code book) untuk memudahkan kembali melihat lokasi
dan rti sutau kode dari suatu variabel.
d. Cleaning
Langkah ini digunakan untuk menghilangkan data yang tidak perlu.

e. Tabulating
Merupakan langkah memasukan data – data hasil penelitian kedalam tabel – tabel sesuai kriteria.

4.9 Analisa data


4.9.1 Analisis univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik
setiap variabel penelitian. Bentuk jenis analisis univariat tergantung dari jenis
datanya. Pada umumnya dalam analisis ini menghasilkan distribusi frekuensi dan
persentase dari tiap variable (Notoatmodjo, 2012).
4.9.2 Analisa Bivariat
Apabila telah dilakukan analisis univariat akan diketahui karakteristik atau
distribusi setiap variabel, dan dapat dilanjutkan analisis bivariat. Analisis bivariat
yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi
(Soekidjo Notoatmodjo, 2012). Analisis biavariat dalam penelitian ini
menggunakan uji statistik unpaired t test yang digunakan untuk menguji beda
mean 2 kelompok independen (2 kelompok yang berbeda). Jika asumsi tidak
terpenuhi (data tidak terdistribusi normal) maka gunakan Mann Withney Test
(Dharma, 2017).
Pengaruh pemberian pendidikan kesehatan tentang penanganan kejang demam
pada anak balita terhadap tingkat kecemasan klien
N Mean minimum maximum P value
Pre test 15 51,53 20 75
0,001
Post test 15 35,60 20 65

Berdasarkan hasil pengelolahan data yang menggunakan perhitungan


Wilcoxon Signed Rank Test dengan bantuan program komputer didapatkan hasil
nilai P value 0,001 lebih kecil dari nilai p (p< 0,005).
DAFTAR PUSTAKA

Bantelu, F.E.M, (2015). Perbedaan tingkat kecemasan dalam proses menyusui antara
ibu primipara dan multipara di RS Pancaran Kasih Manado.

Sukarmin dan Sujono Riyadi. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Yogyakarta :
Graha Ilmu
Dona Fitri dan Ifdil. 2016. Konsep Kecemasan (Anxiety) pada Lanjut Usia (Lansia) dikutip
dari http://ejournal.unp.ac.id/index.php/konselor/artic le/view/6480, diakses 21
Maret 2021

Jenyfer P. Kakalang, dkk. 2016. Profil Kejang Demam di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado dikutip darihttps://
ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/view/14396, diakses 21 Maret 2021

Anda mungkin juga menyukai