Anda di halaman 1dari 18

A.

Pengertian Perumusan Masalah


Afifuddin dan Beni Ahmad Saebani (2009: 99) berpendapat bahwa dalam menyusun
perumusan masalah, peneliti terlebih dahulu harus menguraikan latar belakang masalah
yang di dalamnya memancing rasa penasaran peneliti tentang fenomena yang akan
diungkap secara lebih mendalam dan sebagai upaya awal layak atau tidaknya penelitian
tersebut dilakukan.
Kedudukan perumusan masalah dalam kegiatan penelitian sangat penting sehingga
banyak yang memandang bahwa kegiatan melakukan perumusan masalah merupakan
separuh kegiatan dari penelitian itu sendiri. Kegiatan merumuskan termasuk bagian yang
menentukan lancar atau tidaknya suatu kegiatan yang akan dilakukan karena, pada
prinsipnya, penelitian dilakukan untuk menjawab perumusan masalah. Jadi, jika penelitian
tidak memiliki rumusan masalah, tidak akan terjadi aktivitas penelitian yang sesungguhnya
(Afifuddin dan Beni Ahmad Saebani, 2009: 99-100).
Perumusan masalah penelitian dapat dibedakan dalam dua sifat, yaitu perumusan
masalah deskriptif, apabila tidak menghubungkan antar fenomena, dan perumusan masalah
eksplanatoris, apabila rumusannya menunjukkan adanya hubungan atau pengaruh antara
dua atau lebih fenomena. Secara deskriptif, perumusan masalah cenderung
mempertanyakan konsep-konsep tertentu, seperti suatu penelitian yang mengajukan
perumusan masalah sebagai berikut (Afifuddin dan Beni Ahmad Saebani, 2009: 100):
1. Bagaimana konsep Pendidikan yang berbasis wahyu memandu ilmu?
2. Bagaimana fungsi ayat-ayat Pendidikan dalam Al-Quran dalam memperkuat
pengembangan kurikulum Pendidikan agama Islam?
3. Bagaimana perilaku normative guru agama dalam kehidupan sehari-hari sebagai
upaya meningkatkan akhlak para siswa?

Tiga contoh pertanyaan tersebut dalam penelitian kualitatif lebih menekankan pada
pencarian konsep-konsep yang sifatnya deskriptif, sebagaimana mempertanyakan konsep
Pendidikan berbasis wahyu memandu ilmu, konsep tentang fungsi ayat-ayat Al-Quran yang
berkaitan dengan Pendidikan dalam pengembangan kurikulum PAI, dan konsep tentang
perilaku normatif serta konsep akhlak.

Ada perbedaan mendasar dalam kaitannya dengan perumusan masalah, terutama


penentuan masalah antara penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Dalam penelitian
kuantitatif, masalah yang dirumuskan bersifat tetap, sedangkan dalam penelitian kualitatif,
masalah bersifat tentatif dan temporer, karena pertanyaan akan berkembang bergantung
pada realitas yang ada di lapangan ketika peneliti melakukan kegiatan penelitiannya
(Afifuddin dan Beni Ahmad Saebani, 2009: 102).

Secara konsepsional, perumusan masalah yang digali dari latar belakang masalah atas
dasar informasi yang dimiliki peneliti dapat bersifat tetap sampai berakhirnya kegiatan
penelitian. Akan tetapi, apabila peneliti menemukan fenomena lain yang keadaanya
dipandang sebagai bagian yang terkait dengan masalah yang sedang diteliti, perumusan
masalah dapat diubah atau dikembangkan lebih mendalam. Ketika masalah dikembangkan
atas fenomena yang ada, peneliti dapat mengubah pertanyaan penelitian agar lebih sinkron
dan lebih luas sesuai dengan apa yang ada di lokasi penelitian. Apabila masalahnya diubah
secara total, seluruh judul penelitian yang sedang dilaksanakan pun akan berubah (Afifuddin
dan Beni Ahmad Saebani, 2009: 102-103)

Penelitian kualitatif yang dipandang lebih baik adalah apabila peneliti tidak
merumuskan masalah sebelum terjun ke lapangan. Perumusan masalah dilakukan
didasarkan pada temuannya yang benar-benar ada dan nyata, bukan menentukan dan
merumuskan masalah dengan didasarkan pada teori atau pemikiran subjektivitasnya
sendiri. Dengan demikian, peneliti benar-benar menjadikan fenomena yang ada sebagai
masalah yang patut dirumuskan. Segala bentuk peristiwa yang berkembang dan berbagai
situasi-kondisi yang ada di masyarakat dipotret melalui pengembangan rumusan masalah
yang diajukan, sehingga tujuan penelitiannya memiliki tingkat relevansi yang akurat dengan
keadaan yang senyatanya, bukan dengan keadaan yang seharusnya (Afifuddin dan Beni
Ahmad Saebani, 2009: 103).

Setiap permasalahan biasanya merupakan penyimpangan dari apa yang seharusnya


dengan yang senyatanya, tetapi pengertian tentang masalah itu lebih dekat kaitannya
dengan penelitian kuantitatif, masalah tidak selalu harus berangkat dari adanya
penyimpangan atau pertentangan antara teori dan praktik, antara yang seharusnya dengan
yang senyatanya. Hal ini karena dalam penelitian kualitatif pada dasarnya “tidak ada yang
seharusnya”, tetapi yang ada hanyalah “senyatanya” Jadi, masalah yang dirumuskan pun
mengikuti kenyataan yang ada (Afifuddin dan Beni Ahmad Saebani, 2009: 103).
Sebagai ilustrasi, permasalahan yang berkaitan dengan penelitian kualitatif, adalah
ajuan judul penelitian “Kehidupan Santri di Pondok Pesantren Salafiyah Al-Mubarakah”.
Judul ini tidak menggambarkan adanya masalah. Oleh karena itu, peneliti akan terjun dan
menjadi orang yang ikut melibatkan diri sebagai santri di pondok pesantren tersebut. Hasil
dari partisipasinya itu akan menjadi modal merumuskan masalah. Peneliti dapat
mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut (Afifuddin dan Beni Ahmad Saebani, 2009: 103-
104):

1. Bagaimana kehidupan sehari-hari para santri di pondok pesantren Salafiyah Al-


Mubarakah?
2. Bagaimana manfaaat Pendidikan agama di pondok pesantren Salafiiyah Al-
Mubarakah dalam membentuk moralitas para santri?
3. Bagaimana tata tertib dan kode etik santri dapat mewujudkan tujuan Pendidikan di
pondok pesantren Salafiyah Al-Mubarakah?

Dengan tiga pertanyaan di atas, peneliti melakukan observasinya dengan pendekatan


partisipatif. Artinya, peneliti ikut melibatkan diri ke dalam kehidupan sehari-hari para santri,
sehingga ia bukan hanya mengamati perilaku dan moralitas para santri sebagai bagian dari
manfaat Pendidikan pesantren, tetapi peneliti merasakan manfaat Pendidikan pesantren
bagi dirinya dan pengaruh tata tertib serta kode etik santri yang diterapkan dalam
kehidupan santri yang tinggal di pondok pesantren tersebut. Dengan demikian, jawaban
atas perumusan masalah akan lebih akurat validitasnya lebih verifikatif. Artinya memang
begitu keadaan dan kenyataannya karena peneliti sendiri mengalaminya.

Setiap penelitian, sebelum dirumuskan suatu masalahnya dalam pertanyaan-


pertanyaan penelitian, pada umumnya bertitik tolak dari latar belakang masalah. Latar
belakang masalah menguraikan alasan-alasan adanya masalah. Dalam latar belakang
masalah secara tersurat harus ada subtansi permasalahan (akar permasalahan) yang dikaji
dalam penelitian atau hal yang menimbulkan pertanyaan penelitian, yang akan dilakukan
untuk menyiapkan tujuan penelitian. Misalnya, dalam rangka pembuatan skripsi, tesis, atau
disertasi dan penelitian lainnya. Secara operasional, permasalahan penelitian yang
dimaksud harus sesuai dengan rumusan masalah atau pertanyaan penelitian yang diajukan.
Dalam latar belakang diuraikan fenomena yang sudah pernah ada dan munculnya fenomena
baru yang merangsang peneliti untuk mempertanyakan lebih mendalam. Pertanyaan yang
diajukan mewakili kegunaan dan tujuan penelitian, sehingga akan meyakinkan pihak lain,
seperti pembimbing, promotor, penguji, dan lainnya tentang betapa pentingnya penelitian
itu dilakukan (Afifuddin dan Beni Ahmad Saebani, 2009: 104-105).

Unsur-unsur yang termuat dalam latar belakang masalah terdiri dari hal-hal sebagai
berikut (Afifuddin dan Beni Ahmad Saebani, 2009: 105):

1. Mengungkapkan berbagai alasan tentang ketertarikannya terhadap masalah yang


akan diteliti. Biasanya peneliti mengungkapkan alasan-alasan teoretis atau norma-
norma baku yang menunjukkan keharusan-keharusan, tetapi dalam kenyataanya,
keharusan itu tidak relevan dengan gejala sebenarnya yang disaksikan dengan
pengalaman peneliti atau menurut pengakuan anggota masyarakat yang ada di
lokasi penelitian, atau berupa uraian yang memancing pertentangan konsepsional
tentang termionologi tertentu.
2. Latar belakang masalah harus pula menyiratkan bahwa penelitian yang hendak
dilakukan sebelum dilakukan oleh siapa pun. Apabila sudah pernah ada yang
meneliti, penelitian berikutnya dapat merupakan antitesis atau sintesis dengan
penelitian sebelumnya.
3. Permasalahan menunjukkan suatu dorongan ilmiah untuk merumuskan teori baru
atau minimal membentuk konsep-konsep baru yang kegunaanya tidak sebatas
teoretis, melainkan juga lebih praktis dan filosofis.

Pertanyaan-pertanyaan penelitian merupakan jaminan akan dilaksanakannya


penelitian yang lebih mendalam. Oleh karena itu pertanyaan biasanya dirumuskan setelah
uraian latar belakang masalah dikemukakan. Dalam latar belakang masalah terdapat tiga ciri
penting, yaitu (Afifuddin dan Beni Ahmad Saebani, 2009:105):

1. Penguraian informasi awal tentang keadaan, situasi, dan kondisi yang ada di lokasi
yang biasanya dianalisis oleh berbagai teori atau tesis yang telah lebih dahulu
ditetapkan;
2. Pengungkapan rasa penasaran ilmiah dan idealisme peneliti yang secara langsung
memancingnya untuk mengajukan perumusan masalah;
3. Adanya tujuan dan kegunaan yang jelas dari penelitian yang akan dilaksanakan.
Metode Penelitian (Moh. Nazir, Ph.D)

Perumusan Masalah

Tiap kerja meneliti harus mempunyai masalah penelitian untuk dipecahkan.


Perumusan masalah penelitian merupakan kerja yang bukan mudah, termasuk bagi peneliti-
peneliti yang sudah berpengalaman, padahal masalah selalu ada di sekeliling kita (Moh.
Nazir, 1983:96).

Masalah timbul karena adanya tantangan, adanya kesangsian ataupun kebingungan


kita terhadap suatu hal atau fenomena, adanya kemenduaan arti (ambiguity), adanya
halangan ada rintangan, adanya celah (gap), baik antarkegiatan atau antar fenomena baik
yang telah ada ataupun yang akan ada. Penelitian diharapkan dapat memecahkan masalah-
masalah itu, atau sedikit-dikitnya menutup celah yang terjadi (Moh. Nazir, 1983:96).

Pemecahan masalah yang dirumuskan dalam penelitian sangat berguna untuk


membersihkan kebingungan kita akan sesuatu hal, untuk memisahkan kemenduaan, untuk
mengatasi rintangan ataupun untuk menutup celah antar kegiatan atau fenomena.
Karenanya, peneliti harus dapat memilih suatu masalah bagi penelitiannya dan
merumuskannya untuk memperoleh jawaban terhadap masalah tersebut. Perumusan
masalah merupakan hulu dari penelitian, dan merupakan llangkah yang penting dan
pekerjaan yang sulit dalam penelitian ilmiah (Moh. Nazir, 1983:96).

Tujuan dari pemilihan serta perumusan masalah adalah untuk (Moh. Nazir, 1983:96):

 Mencari sesuatu dalam rangka pemuasan akademis seseorang;


 Memuaskan perhatian serta keingintahuan seseorang akan hal-hal yang baru;
 Meletakkan dasar untuk memecahkan beberapa penemuan penelitian sebelumnya
ataupun dasar untuk penelitian selanjutnya;
 Memenuhi keinginan sosial; dan
 Menyediakan sesuatu yang bermanfaat.

A. Ciri-Ciri Masalah yang Baik


Sebelum seseorang peneliti dapat merumuskan suatu masalah untuk penelitiannya,
maka ia lebih dahulu harus mengidentifikasikan dan memilih masalah itu. Walaupun
masalah yang ada dan tersedia cukup banyak, tetapi cukup sulit bagi si peneliti untuk
memilih masalah mana yang akan dipilihnya untuk penelitiannya. Si peneliti harus mencari
masalah yang mempunyai ciri-ciri yang baik, dan si peneliti harus mengetahui sumber serta
tempat mencari masalah tersebut (Moh. Nazir, 1983:96-97).

Ada beberapa ciri-ciri masalah yang harus diperhatikan, baik dilihat dari segi isi
(content) dari rumusan masalah ataupun dari segi kondisi penunjang yang diperlukan dalam
pemecahan masalah yang telah dipilih. Ciri-ciri dari masalah yang baik adalah sebagai
berikut (Moh. Nazir, 1983:97-101).

1. Masalah yang dipilih harus mempunyai nilai penelitian.


2. Masalah yang dipilih harus mempunyai fisibilitas.
3. Masalah yang dipilih harus sesuai dengan kualifikasi si peneliti.

1) Masalah Harus Ada Nilai Penelitian

Masalah untuk suatu penelitian tidaklah dipilih seadanya saja. Masalah harus
mempunyai isi yang mempunyai nilai penelitian, yaitu mempunyai kegunaan tertentu serta
dapat digunakan untuk suatu keperluan. Dalam memilih masalah, maka masalah akan
mempunyai nilai penelitian jika hal-hal berikut diperhatikan.

a. Masalah Haruslah Mempunyai Keaslian

Masalah yang dipilih haruslah mengenai hal-hal yang up to date dan baru. Hindarkan
masalah yang sudah banyak sekali dirumuskan orang dan sifatnya sudah usang.
Masalah harus mempunyai nilai ilmiah atau aplikasi ilmiah janganlah berisi hal-hal
yang sepele untuk dijadikan suatu masalah yang akan dipilih untuk penelitian. Tentu
sangat mengelikan jika masalah yang dipilih adalah: apakah warna tahi.
Abdurrahman? Masalah yang kita formulasikan tersebut tidak signifikan sama sekali.
Dari itu, satu syarat dari masalah yang dipilih adalah masalah haruslah mengenai
pertanyaan-pertanyaan yang signifikan, di mana hal tersebut kurang memperoleh
perhatian di masa lampau. Jika hal-hal yang lama yang ingin dibuat menjadi masalah
ilmiah, maka ini dapat diperkenankan jika hal tersebut ingin dihubungkan dengan
teknik, atau percobaan atau teori baru sehingga topik-topik lama menjadi lebih
dihargai.

b. Masalah Harus Menyatakan Suatu Hubungan

Masalah harus menyatakan suatu hubungan antara dua atau lebih variabel. Sebagai
konsekuensi dari hal di atas, maka rumusan masalah akan merupakan pertanyaan
seperti: apakah X berhubungan dengan Y? Bagaimana X dan Y berhubungan dengan C?
Bagaimana A berhubungan dengan B di bawah kondisi C dan D? Masalah yang lebih
nyata, misalnya: apakah konflik menambah atau mengurangi efisiengsi organisasi?
Masalah harus padat, definitif dan dapat dinyatakan dalam beberapa hipotesis
alternatif. Masalah dapat saja mengenai hubungan antara fenomena-fenomena alam,
atau lebih khas lagi, mengenai kondisi-kondisi yang mengontrol fakta-fakta yang
diamati. Selanjutnya, pemecahan masalah tersebut dapat digunakan sebagai dasar
untuk mengetahui dan mengontrol fenomena-fenomena yang sedang diteliti.

c. Masalah Harus Merupakan Hal yang Penting

Masalah yang dipilih harus mempunyai arti dan nilai, baik dalam bidang ilmunya
sendiri maupun dalam bidang aplikasi untuk penelitian terapan. Bacon sendiri,
misalnya, dalam memilih masalah tidak hanya untuk tujuan ilmiah saja, tetapi juga hal-
hal yang mempunyai adaptasi hasil untuk fenomena-fenomena sosial. Masalah harus
ditujukan lebih utama untuk memperoleh fakta serta kesimpulan dalam suatu bidang
tertentu. Pemecahan masalah tersebut seyogianya dapat diterbitkan oleh jurnal ilmu
pengetahuan dan digunakan sebagai referensi dalam buku-buku teks.

d. Masalah Harus Dapat Diuji

Masalah harus dapat diuji dengan perlakuan-perlakuan serta data dan fasilitas yang
ada. Sekurang-kurangnya, masalah yang dipilih harus sedemikian rupa sehingga
memberikan implikasi untuk kemungkinan pengujian secara empiris. Suatu masalah
yang tidak berisi implikasi untuk diuji hubungan-hubungan yang diformulasikan,
bukanlah suatu masalah ilmiah. Hal yang terakhir ini memberikan implikasi bahwa
bukan saja hubungan-hubungan harus dinyatakan secara jelas, tetapi juga harus
mengandung pengertian bahwa hubungan-hubungan tersebut harus dinyatakadata
sertn dalam variabel-variabel yang dapat diukur.

e. Masalah Harus Dinyatakan dalam Bentuk Pertanyaan

Masalah harus dinyatakan secara jelas dan tidak membingungkan dalam bentuk
pertanyaan, misalnya daripada mengatakan, “Masalahnya adalah…,” maka nyatakan
masalah dalam bentuk pertanyaan. Akan tetapi, perlu diingat, bahwa bukan semua
pertanyaan walaupun begitu menarik, merupakan masalah atau pertanyaan ilmiah,
karena masalah tersebut tidak dapat diuji. Misalnya pertanyaan “Bagaimana kita
tahu?” Ataupun pertanyaan “Apakah Pendidikan memperbaiki pengajaran anak-
anak?” Masalah tersebut sangat menarik, tetapi tidak dapat dipakai untuk suatu
pengujian.

2) Masalah Harus Fisibel

Masalah yang dipilih harus mempunyai fisibilitas, yaitu masalah tersebut dapat
dipecahkan. Ini berarti:

o Data serta metode untuk memecahkan masalah harus tersedia,


o Biaya untuk memecahkan masalah, secara relatif harus dalam batas-batas
kemampuan,
o Waktu untuk memecahkan masalah harus wajar,
o Biaya dan hasil harus seimbang,
o Administrasi dan sponsor harus kuat, dan
o Tidak bertentangan dengan hukum dan adat.

Masalah fisibilitas dalam memilih masalah penelitian harus benar-benar diperhatikan


oleh peneliti. Misalnya, dalam tesis S1 dari mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Syiah
Kuala, yang harus menyelesaikan studinya dalam waktu 4 tahun dengan 1 tahun waktu
untuk penelitian, tidaklah mungkin untuk memilih masalah: “Apakah pemuliaan kelapa
dengan perkawinan silang akan menambah hasil per hektar?” karena:

 Pembiayaan yang cukup besar;


 Waktu yang relatif terlalu lama;
 Sponsor tidak ada dan kemampuan fakultas yang masih lemah; dan
 Equipment untuk itu belum dipunyai fakultas.

a. Data Serta Metode Harus Tersedia

Masalah yang dipilih harus mempunyai metode untuk memecahkannya dan harus
pula mempunyai kebenaran yang standar, dan dapat diterangkan. Misalnya, jika
masalah yang kita pilih berkenaan dengan jatuhnya kerajaan Romawi, maka masalah
tersebut sukar dipecahkan karena kompleksnya masalah, dan terdapat kekaburan
data tentang jatuhnya kerajaan Romawi. Karena terbatasnya data mengenai konsumsi
beras serta pendapatan di Aceh, misalnya, maka tidak mungkin melihat apakah
terdapat perubahan terhadap marginal propensity to consume dari beras di Aceh sejak
tahun 1961 sampai dengan 2013? Karena keterbatasan ilmu seorang sarjana, maka
relatif sukar menentukan berapa besar pengaruh adanya 7 industri besar terhadap
under-employment di Aceh, karena metode mengukur pengaruh serta mengukur
under-employment belum lagi dipelajari oleh peneliti lulusan S1.

b. Equipment dan Kondisi Harus Mengizinkan

Masalah yang dipilih harus sesuai dengan equipment dan alat yang tersedia. Walaupun
equipment tidak perlu yang muluk(tinggi) serta kompleks, tetapi equipment yang
dipunyai haruslah dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Masalah yang dipilih
harus mempunyai equipment untuk kontrol kondisi ataupun untuk mencatat
ketepatan.

Alat yang paling penting dalam memecahkan masalah adalah pikiran manusia itu
sendiri (the mind of man). Banyak penemuan ahli-ahli tidak menggunakan equipment
dan laboratorium yang komplit. Laboratorium Pasteur adalah kamar yang menyerupai
gua. Goodyear menemukan vulkanisasi dalam dapurnya di New England, sedangkan
Mozart menemukan sajak kuartet Magio Flute di rumah bola ketika sedang main
biliar. Dalam hal ini, yang menentukan pemilihan masalah adalah kondisi yang cukup
mendukung untuk pemecahan masalah. Dalam suasana yang tenang, masalah serta
penulisan Sejarah India telah dikerjakan oleh James Mill pada satu sudut meja,
sedangkan di sudut yang lain duduk anaknya Jhon Stuart Mill mempelajari Bahasa
Yunan. Descrates terpaksa meninggalkan Paris karena kondisi tidak
memungkinkannya untuk menformulasikan masalah-masalah akibat banyak sekali
teman-temannya yang selalu menganggu. Von Braun baru sukses merumuskan
masalah misi angkasa setelah ia hijrah ke Amerika Serikat.

c. Biaya untuk Memecahkan Masalah Harus Seimbang

Biaya untuk pemecahan masalah harus selalu dipikirkan dalam memilih masalah. Jika
pemecahan masalah di luar jangkauan biaya, maka masalah yang ingin dipilih tidak
fisibel sama sekali. Mencocokkan masalah dengan biaya merupakan seni serta
keterampilan peneliti.

Masalah yang dipilih janganlah sekali-kali dikaitkan untuk kepentingan sendiri, dalam
arti untuk memperoleh keuntungan pribadi. Tidak heran jika kita lihat bahwa Charles
Goodyear yang menemukan vulkanisasi karet meninggal dunia dengan meninggalkan
hutang sebesar 200 dolar Amerika, ataupun Le Blanc, ilmuwan Prancis yang
menemukan cara memperoleh alkali secara murah meninggal dunia dalam rumah
miskin di Prancis. Camkanlah kata Pasteur. “Saya tidak akan bekerja untuk uang, tetapi
saya akan selalu bekerja untuk ilmu pengetahuan” (I could never work for money, but I
would always work for science).

d. Masalah Harus Didukung oleh Sponsor yang Kuat

Masalah yang dipilih harus mempunyai sponsor serta administrasi yang kuat. Lebih-
lebih lagi bagi penelitian mahasiswa, maka masalah yang dipilih harus diperkuat
dengan adviser, pembimbing ataupun tenaga ahli yang sesuai dengan bidangnya.
Dalam penelitian-penelitian besar, maka masalah yang dipilih harus didukung
keuangannya oleh sponsor yang kuat. Charles Darwin, adalah bangsawan Inggirs yang
kaya, yang dapat mendukung pemilihan masalah dalam penelitiannya. Lavoiser,
adalah seorang ilmuwan yang memperoleh pendapatannya setahun √60,000 dan
banyak menggunakan uang tersebut untuk penelitian.

e. Tidak Bertentangan dengan Hukum dan Adat

Masalah yang dipilih harus tidak bertentangan dengan adat-istiadat, hukum yang
berlaku, maupun kebiasaan. Pilihlah masalah yang tidak akan menimbulkan kebencian
orang lain. Janganlah memilih masalah yang dapat menimbulkan pertentangan, baik
fisik ataupun itikad. Karenanya, masalah yang akan menimbulkan kesulitan,
pertentangan, baik secara individu ataupun kelompok haruslah dihindarkan, demi
menjaga kesinambungan profesionalisme dalam meneliti.

3) Masalah Harus Sesuai dengan Kualifikasi Peneliti

Masalah yang dipilih, selain mempunyai nilai ilmiah serta fisibel, juga harus sesuai
dengan kualifikasi si peneliti sendiri. Dalam hal ini, masalah yang dipilih sekurang-
kurangnya:

 Menarik bagi si peneliti; dan


 Cocok dengan kualifkasi ilmiah si peneliti.

a. Menarik Bagi Si Peneliti

Masalah yang dipilih harus menarik bagi si peneliti sendiri dan cocok dengan bidang
kemampuannya. Seseorang ahli pertanian haruslah memilih judul mengenai
pertanian. Tidaklah wajar, misalnya, seorang sarjana pertanian memilih masalah
penelitiannya: apakah faktor-faktor penyebab penyakit lumpuh pada anak-anak?
Ataupun seorang sarjana hukum memilih masalah yang berbunyi: Masalah yang dipilih
harus menarik keingintahuan si peneliti dan memberi harapan kepada peneliti untuk
menemukan jawaban ataupun menemukan masalah lain yang lebih penting dan lebih
menarik.

b. Masalah Harus Sesuai dengan Kualifikasi.

Masalah yang dipilih harus sesuai dengan kualifikasi peneliti sendiri. Dengan perkataan
lain, sukar mudahnya masalah yang ingin dipecahkan harus sesuai dengan derajat
ilmiah yang dipunyai peneliti. Sudah terang, seorang peneliti yang mempunyai derajat
ilmiah doctor akan memilih masalah penelitian yang berbeda dengan seorang insinyur
ataupun sarjana hukum. Masalah yang dipilih harus sesuai dengan derajat daya nalar,
sensitivitas terhadap data, serta kemampuan peneliti dalam menghasilkan orisinalitas.
B. Sumber untuk Memperoleh Masalah

Sebenarnya banyak sekali masalah yang perlu dipecahkan berada di sekeliling peneliti.
Yang menjadi kendala untuk memperoleh masalah adalah kesanggupan peneliti menggali
dan mengidentifkasikan masalah serta mengetahui sumber-sumber di mana masalah
penelitian diperoleh dengan mudah. Sumber-sumber di mana masalah diperoleh, antara lain
sebagai berikut (Moh. Nazir, 1983:101-104).

a) Pengamatan terhadap kegiatan manusia.


b) Bacaan.
c) Analisis bidang pengetahuan.
d) Ulangan serta perluasan penelitian.
e) Cabang studi yang sedang dikerjakan.
f) Pengalaman dan catatan pribadi.
g) Praktik serta keinginan masyarakat.
h) Bidang spesialisasi.
i) Pelajaran dan mata ajaran yang sedang diikuti.
j) Pengamatan terhadap alam sekeliling.
k) Diskusi-diskusi ilmiah.

1. Pengamatan terhadap Kegiatan Manusia

Pengamatan sepintas terhadap kegiatan-kegiatan manusia dapat merupakan sumber


dari masalah yang akan diteliti. Seorang ahli ilmu jiwa, dapat menemukan masalah ketika ia
melihat tingkah laku pekerja pabrik melakukan kegiatan mereka dalam pabrik. Seorang ahli
ekonomi pertanian dapat menemukan masalah ketika ia melihat cara petani bersahaja
mengerjakan serta menyimpan hasil usaha pertaniannya. Seorang dokter dapat menemukan
masalah ketika melihat penduduk mengambil air minum di sungai dan buang air di kali,
ataupun melihat banyak penduduk mempunyai kaki sebesar kaki gajah.

2. Pengamatan terhadap Alam Sekeliling

Peneliti-peneliti ilmu natura seringkali memperoleh masalah dari alam sekelilingnya.


Seorang ahli ilmu bintang banyak memperoleh masalah ketika ia mengamati cakrawala.
Seorang peneliti ilmu tanah akan menemukan masalah ketika ia secara sepintas mengamati
tanah di sekelilingnya ataupun dalam suatu perjalanan jauh. Seorang ahli penyakit tanaman
ataupun ahli hama banyak menemukan masalah ketika mengamati tanaman. Seorang
peneliti yang bangun pagi untuk melakukan kegiatan olah raga aerobik, tersandung kakinya
dengan sebuah batu, dan batu tersebut menyentuh keingintahuannya, maka peneliti ahli
batu-batuan tersebut telah menemukan masalah yang ingin diteliti.

3. Bacaan

Bacaan-bacaan dapat merupakan sumber dari masalah yang dipilih untuk diteliti.
Lebih-lebih jika bacaan tersebut merupakan karya ilmiah ataupun makalah, maka banyak
sekali rekomendasi di dalamnya yang memerlukan penelitian lebih lanjut. Bukan saja dari
bacaan tersebut ditemukan masalah yang ingin mengungkapkan hubungan, tetapi bacaan
dapat juga memberikan teknik dan metode yang ingin dikembangkan lebih lanjut. Membaca
hasil-hasil penelitian terdahulu akan memberikan banyak sekali masalah-masalah yang
belum sanggup dipecahkan. Hal ini merupakan masalah yang perlu dipecahkan dalam
penelitian selanjutnya.

4. Ulangan Serta Perluasan Penelitian

Masalah juga diperoleh dengan mengulang percobaan-percobaan yang pernah


dilakukan, di mana percobaan yang telah dikerjakan tersebut belum memuaskan. Perluasan
analisis maupun metode dan teknik dengan equipment yang lebih modern akan membuat
masalah dapat dipecahkan secara lebih memuaskan. Misalnya, kerja Steinhauser telah
menemukan banyak minyak codliver untuk menyembuhkan penyakit criket di tahun 1840
belum dapat dijelaskan secara terperinci sampai dengan penelitan selanjutnya bertahun-
tahun kemudian. Ataupun penemuan penisilin oleh Fleming di tahun 1929 telah berhenti
beberapa lama, sampai kemudian Florey meneliti kembali sifat-sifat penisilin sebagai alat
penyembuh penyakit.

5. Cabang Studi yang Sedang Dikembangkan

Kadangkala masalah ditemukan bukan dari bidang studi itu sendiri, tetapi dari cabang
yang timbul kemudian, yang mula-mula dipikirkan tidak berapa penting sifatnya. Misalnya,
ketika Pasteur meneliti penyakit kolera dengan menyuntik ayam-ayam percobaanya dengan
mikroba kolera, pada suatu hari ia kehabisan ayam-ayam sehat. Ia kemudian terpaksa
menggunakan ayam-ayam yang pernah kena kolera. Dilihatnya, ayam-ayam tersebut tidak
mati akibat suntikan mikroba kolera. Dari percobaan ini, ia tertarik akan ketahanan ayam-
ayam tersebut dan ia menemukan masalah yang mendorongnya meneliti tentang prinsip-
prinsip kekebalan atau imunisasi. Ketika William Perkins mencoba mengubah aniline
menjadi quinine dalam percobaanya, ia menemukan suatu masalah lain yang menghasilkan
alat pencelup anniline yang ungu. Begitu juga ketika W.R. Whitney meneliti penggunaan
ion air raksa sebagai sumber cahaya, ia menemukan fakta-fakta yang telah menggiring ia
merumuskan masalah yang menghasilkan alternating current rectifier.

6. Catatan dan Pengalaman Pribadi

Catatan pribadi serta pengalaman pribadi sering merupakan sumber dari masalah
penelitian. Dalam penelitian ilmu sosial, pengalaman serta catatan pribadi tentang sejarah
sendiri, baik kegiatan pribadi ataupun kegiatan professional dapat merupakan sumber
masalah untuk penelitian.

7. Praktik Serta Keinginan Masyarakat

Praktik-praktik yang timbul dan keinginan-keinginan yang menonjol dalam masyarakat


dapat merupakan sumber dari masalah. Praktik-praktik tersebut dalam merupakan tunjuk
perasaan, pernyataan-pernyataan pemimpin, otorita ilmu pengetahuan, baik bersifat lokal,
dearah, maupun nasional. Adanya gejolak rasial, misalnya dapat merupakan sumber
masalah. Adanya ketimpangan antara input dan produktivitas sekolah dapat merupakan
suatu masalah penelitian. Ataupun ucapan ketua ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia)
ataupun Prof. Dr. Sumitro dapat merupakan sumber masalah, karena otoritanya dalam ilmu
pengetahuan.

8. Bidang Spesialisasi

Bidang spesialisasi seseorang dapat merupakan sumber masalah. Seorang spesialis


dalam bidangnya, telah menguasai ilmu yang dalam-dalam bidang spesialisasinya. Dari itu,
akan banyak sekali masalah yang memerlukan pemecahan dalam bidang spesialisasi
tersebut. Dalam membuat masalah berdasarkan bidang spesialisasi, perlu juga dijaga supaya
masalah yang digali jangan menjurus kepada over-spesialisasi. Hal tersebut akan dapat
menghilangkan unitas yang fundamental.

9. Pelajaran yang Sedang Diikuti

Pelajaran yang sedang diikuti dapat merupakan sumber dari masalah penelitian.
Diskusi kelas, hubungan antara dosen dengan mahasiswa banyak mempengaruhi mahasiswa
dalam memilih masalah untuk penelitian. Pengaruh staf senior serta ajarannya dapat
merupakan sumber masalah bagi mahasiswa yang ingin membuat thesis.

10. Diskusi-Diskusi Ilmiah

Masalah penelitian dapat juga bersumber dari diskusi-diskusi ilmiah, seminar, serta
pertemuan-pertemuan ilmiah. Dalam diskusi tersebut, seseorang dapat menangkap banyak
analisis-analisis ilmiah serta argumentasi-argumentasi profesional yang dapat menjurus
pada suatu permasalahan baru.

11. Perasaan Intuisi

Kadang kala, suatu perasaan intuisi dapat timbul tanpa disangka dan kesulitan
tersebut dapat merupakan masalah penelitian. Tidak jarang, seseorang yang baru bangun
dari tidurnya, dihadapkan pada suatu kesulitan secara intuisi ataupun seseorang yang
sedang buang air di kakus dapat menghasilkan suatu masalah yang ingin dipecahkan, yang
muncul secara tiba-tiba.

C. Cara Merumuskan Masalah

Setelah masalah diidentifikasikan dan dipilih, maka tibalah saatnya masalah tersebut
dirumuskan. Perumusan masalah merupakan titik tolak bagi perumusan hipotesis nantinya,
dan dari rumusan masalah dapat menghasilkan topik penelitian atau judul dari penelitian.
Umumnya rumusan masalah harus dilakukan dengan kondisi berikut (Moh. Nazir,
1983:104).

a) Masalah biasanya dirumuskan dalam bentuk pertanyaan.


b) Rumusan hendaklah jelas dan padat.
c) Rumusan masalah harus berisi implikasi adanya data untuk memecahkan masalah.
d) Rumusan masalah harus merupakan dasar dalam membuat hipotesis.
e) Masalah harus menjadi dasar bagi judul penelitian.

Misalnya, masalah yang dirumuskan adalah sebagai berikut.

“Apakah hasil padi ladang akan bertambah jika dipupuk dengan pupuk K?”

“Apakah ada hubungan antara konsumsi rumah tangga petani dengan pendapatan dan
kekayaan petani?”

Dari rumusan masalah di atas, maka dapat dibuat judul penelitian sebagai berikut.

“Pemupukan padi ladang dengan pupuk K.”

“Hubungan antara konsumsi rumah tangga dengan pendapatan dan pendidikan petani
Aceh.”

Perlu diperingatkan, bahwa dalam memilih masalah, perlu dihindarkan masalah serta
rumusan masalah yang terlalu umum, terlalu sempit, terlalu bersifat lokal ataupun terlalu
argumentatif. Variabel-variabel penting dalam rumusan masalah harus diperhatikan benar-
benar.

Ada beberapa hal yang perlu diingat dalam merumuskan masalah. Masalah ilmiah
tidak boleh merupakan pertanyaan-pertanyaan etika atau moral. Menanyakan hal-hal di
atas adalah pertanyaan tentang nilai dan value judgement yang tidak bisa dijawab secara
ilmiah. Misalnya masalah yang dipilih adalah “Perlukah kepemimpinan organisasi secara
demokrasi?”, atau “Bagaimanakah sebaiknya mengajar mahasiswa di penguruan tinggi?”
Untuk menghindarkan hal tersebut di atas, maka janganlah menggunakan kata “mestikah”
atau “lebih baik”, atau perkataan-perkataan lain yang menunjukkan preferensi. Ganti
perkataan lebih baik dengan perkataan “lebih besar”, misalnya. Contoh lain, “Apakah
metode mengajar secara otorita menuju ke cara belajar yang buruk?” Pertanyaan ini
bukanlah suatu masalah ilmiah. Belajar yang buruk adalah value judgement. Mengajar
secara otorita tidak dapat didefinisikan. Supaya tidak ada value judgement, maka sebaiknya
“belajar yang buruk” dapat digantikan dengan ”mengurangi perilaku memecahkan soal”
(Moh. Nazir, 1983:104-105).
Hindarkan masalah yang merupakan metodologi. Pertanyaan-pertanyaan yang
berhubungan dengan “metode sampling”, atau “pengukuran” dan lain-lain, supaya jangan
digunakan dalam memformulasikan masalah.

Sebagai kesimpulan, perlu dijelaskan bahwa ada dua jalan untuk memformulasikan
masalah. Pertama, dengan menurunkan masalah dari teori yang telah ada, seperti masalah
pada penelitian eksperimental. Cara lain adalah dari observasi langsung di lapangan, seperti
yang sering dilakukan oleh ahli-ahli sosiologi. Jika masalah diperoleh di lapangan, maka
sebaiknya juga menghubungkan masalah tersebut dengan teori-teori yang telah ada,
sebelumnya masalah tersebut diformulasian. Ini buka berarti bahwa penelitian yang tidak
didukung oleh suatu teori tidak berguna sama sekali, karena ada kalanya penelitian tersebut
dapat menghasilkan dalil-dalil dan dapat membentuk sebuah teori (Moh. Nazir, 1983:105).

Masalah sebenarnya adalah hal yang pertama dipikirkan oleh peneliti-peneliti ketika
merencanakan proyek penelitannya. Walaupun di atas kertas, yang pertama-tama muncul
adalah judul dan pendahuluan, tetapi yang lebih dahulu timbul pada penelitian adalah
masalah penelitian (Moh. Nazir, 1983:105).

Membuat masalah penelitian merupakan hal yang sukar, antara lain karena (Moh. Nazir,
1983:105):

a. Tidak semua masalah di lapangan dapat diuji secara empiris;


b. Tidak ada pengetahuan atau tidak diketahui sumber atau tempat mencari masalah-
masalah;
c. Kadang kala si peneliti dihadapkan kepada banyak sekali masalah penelitian, dan sang
peneliti tidak dapat memilih masalah mana yang lebih baik untuk dipecahkan;
d. Adakalanya masalah cukup menarik, tetapi data yang diperlukan untuk memecahkan
masalah tersebut sukar diperoleh; serta
e. Peneliti tidak tahu kegunaan spesifik yang ada di kepalanya dalam memilih masalah.

Sesudah kita formulasikan masalah, maka langkah selanjutnya adalah membangun


tujuan penelitian. Tujuan penelitian adalah suatu pernyataan atau statement tentang apa
yang ingin kita cari atau yang ingin kita tentukan. Kalau masalah penelitian dinyatakan
dalam kalimat pertanyaan (bentuk interogatif), maka tujuan penelitian diberikan dalam
kalimat pernyataan (bentuk deklaratif). Tujuan penelitian biasanya dimulai dengan kalimat:
”Untuk menentukan apakah …”, atau “untuk mencari …”, dan sebagainya. Tujuan penelitian
haruslah dinyatakan secara lebih spesifik dibandingkan dengan perumusan masalah. Jika
masalah merupakan konsep yang masih abstrak, maka tujuan penelitian haruslah konstrak
yang lebih kongkret (Moh. Nazir, 1983:105).

Anda mungkin juga menyukai