Anda di halaman 1dari 27

1 KOTKUL

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.1.1 Permukiman Tradisional
1.1.2 Pola Permukiman
1.1.3 Bangunan Tradisional
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Jurnal I (Pelestarian Pola Permukiman Tradisional Suku Sasak Dusun
Limbungan Kabupaten Lombok Timur)
2.1.1 Struktur Ruang Permukiman
2.1.2 Struktur Ruang Permukiman Berdasarkan Aktivitas Kegiatan
2.1.3 Pola Tata Ruang Tempat Tinggal
2.1.4 Struktur Tata Ruang Tempat Tinggal
2.1.5 Struktur Ruang Berdasarkan Sistem Kekerabatan
2.1.6 Kedudukan Elemen Bangunan Berdasarkan Konsep Ketinggian Dan
Kepercayaan
2.1.7 Pola Tatanan Bangunan
2 2.2 Jurnal II (Identifikasi Pola Permukiman Tradisional Desa Meat, Toba
KOTKUL
Samosir
2.2.1 Permukiman Batak
2.2.2 Pola Persebaran Massa Bangunan
2.2.3 Pola Permukiman Batak
2.2.4 Tata Guna Lahan Permukiman Batak
2.3 Jurnal III (Pola Spasial Permukiman Tradisional Bali Aga di Desa
Sekardadi, Kintamani)
2.3.1 Pola Spasial Permukiman
2.3.2 Tata Ruang Desa
2.3.3 Tipologi Desa
2.3.4 Pengaturan Ruang Budaya Desa
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan Jurnal I
3.2 Kesimpulan Jurnal II
3.3 Kesimpulan Jurnal III

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.1.1 Permukiman Tradisional
Permukiman tradisional sering direpresentasikan sebagai tempat yang masih
memegang nilai- nilai adat dan budaya yang berhubungan dengan nilai
kepercayaan atau agama yang bersifat khusus atau unik pada suatu masyarakat
tertentu yang berakar dari tempat tertentu pula di luar determinasi sejarah
(Sasongko 2005). Menurut Sasongko (2005), bahwa struktur ruang permukiman
digambarkan melalui pengidentifikasian tempat, lintasan, batas sebagai komponen
utama, selanjutnya diorientasikan melalui hirarki dan jaringan atau lintasan, yang
muncul dalam suatu lingkungan binaan mungkin secara fisik ataupun non fisik
yang tidak hanya mementingkan orientasi saja tetapi juga objek nyata dari
identifikasi. Dalam arsitektur Sasak, bangunan tradisionalnya juga memiliki
bagian dan fungsinya tersendiri. Menurut Saptaningtyas (2006:14) faktor yang
dinilai sangat penting dalam perencanaan dan pembangunan arsitektur tradisional
3 KOTKUL
Sasak adalah skala dan ukuran bangunan yang diperhitungkan dengan sangat
teliti.
Selain skala, ketepatan jumlah hitungan dari ukuran masing-masing unit
rumah juga menjadi perhatian utama, karena dipercaya ada pengaruhnya terhadap
kehidupan penghuninya yang menyangkut keselamatan, kabahagiaan, kemujuran,
rejeki dan lain sebagainya. Bahkan menurut Habraken dalam Fauzia (2006:32),
ditegaskan bahwa sebagai suatu produk komunitas, bentuk lingkungan
permukiman merupakan hasil kesepakatan sosial, bukan merupakan produk orang
per orang. Artinya komunitas yang berbeda tentunya memiliki ciri permukiman
yang berbeda pula. Perbedaan 3 inilah yang memberikan keunikan tersendiri pada
bangunan tradisional, yang antara lain dapat dilihat dari orientasi, bentuk, dan
bahan bangunan serta konsep religi yang melatarbelakanginya. Keunikan tersebut
sekaligus menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan. Oleh karena itu
Koentjaraningrat (1987) menjelaskan bahwa benda–benda hasil karya manusia
merupakan wujud kebudayaan fisik, termasuk di dalamnya adalah permukiman
dan bangunan tradisional.

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


1.1.2 Pola Permukiman
Menurut Prasetyanti (2005:16), yang Pertama (sempit), yaitu
memperhatikan susunan dan penyebaran bangunan (rumah, gedung, sekolah,
kantor dan pasar). Kedua (luas) adalah memperhatikan bangunan, jaringan jalan
dan pekarangan menjadi sumber penghasilan penduduk. Dijelaskan oleh
Jayadinata (1992: 46-51), bahwa pola permukiman terbagi menjadi:
a) Permukiman memusat, yakni yang rumahnya mengelompok
(agglomerated rural settlement), dan merupakan dukuh atau Dusun
(hamlet) yang terdiri atas kurang dari 40 rumah, dan kampung (village)
yang terdiri dari 40 rumah atau lebih bahkan ratusan rumah. Di sekitar
kampung dan Dusun terdapat tanah bagi pertanian, perikanan,
perternakan, pertambangan, kehutanan, tempat penduduk bekerja
sehari-hari untuk mencari nafkahnya. Dalam perkembangannya suatu
kampung dapat mencapai berbagai bentuk, tergantung kepada keadaan
fisik dan sosial. Perkampungan pertanian umumnya mendekati bentuk
4 KOTKUL
bujur sangkar;
b) Permukiman terpencar, yang rumahnya terpencar menyendiri
(disseminated rural settlement) terdapat di negara Eropa Barat,
Amerika Serikat, Canada, Australia, dan sebagainya. Perkampungan
terpencar di negara itu hanya terdiri atas farmstead, yaitu sebuah
rumah petani yang terpencil tetapi lengkap dengan gudang alat mesin,
penggilingan gandum, lumbung, kandang ternak. Kadang-kadang
terdapat homestead, yaitu rumah terpencil.
Bentuk pola permukiman yang lain dijelaskan oleh Sri Narni dalam Mulyati
(1995) antara lain:
1) Pola permukiman memanjang (linier satu sisi) di sepanjang jalan
baik di sisi kiri maupun sisi kanan saja;
2) Pola permukiman sejajar (linier dua sisi) merupakan permukiman
yang memanjang di sepanjang jalan;
3) Pola permukiman cul de sac merupakan permukiman yang tumbuh di
tengah-tengah jalur melingkar;

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


4) Pola permukiman mengantong merupakan permukiman yang tumbuh
di daerah seperti kantong yang dibentuk oleh jalan yang
memagarnya;
5) Pola permukiman curvalinier merupakan permukiman yang tumbuh
di daerah sebelah kiri dan kanan jalan yang membentuk kurva; dan
6) Pola permukiman melingkar merupakan permukiman yang tumbuh
mengelilingi ruang terbuka kota.
Permukiman tradisional merupakan manifestasi dari nilai sosial budaya
masyarakat yang erat kaitannya dengan nilai sosial budaya penghuninya, yang
dalam proses penyusunannya menggunakan dasar norma-norma tradisi (Rapoport
dalam Dewi (2008: 31). Permukiman tradisional sering direpresentasikan sebagai
tempat yang masih memegang nilai-nilai adat dan budaya yang berhubungan
dengan nilai kepercayaan atau agama yang bersifat khusus atau unik pada suatu
masyarakat tertentu yang berakar dari tempat tertentu pula di luar determinasi
sejarah (Crysler dalam Sasongko 2005:1). Menurut Norberg-Schulz dalam
Sasongko (2005), bahwa struktur ruang permukiman digambarkan melalui
5 pengidentifikasian tempat, lintasan, batas sebagai komponen utama, selanjutnya
KOTKUL

diorientasikan melalui hirarki dan jaringan atau lintasan, yang muncul dalam
suatu lingkungan binaan mungkin secara fisik ataupun non fisik yang tidak hanya
mementingkan orientasi saja tetapi juga objek nyata dari identifikasi.
Wikantiyoso dalam Krisna et al. (2005:17) menambahkan, bahwa
permukiman tradisional adalah aset kawasan yang dapat memberikan ciri ataupun
identitas lingkungan. Identitas kawasan tersebut terbentuk dari pola lingkungan,
tatanan lingkungan binaan, ciri aktifitas sosial budaya dan aktifitas ekonomi yang
khas. Pola tata ruang permukiman mengandug tiga elemen, yaitu ruang dengan
elemen penyusunnya (bangunan dan ruang disekitarnya), tatanan (formation) yang
mempunyai makna komposisi sera pattern atau model 4 dari suatu komposisi.
Pada bagian lain Dwi Ari & Antariksa (2005:79) menyatakan bahwa permukiman
tradisional memiliki pola-pola yang membicarakan sifat dari persebaran
permukiman sebagai suatu susunan dari sifat yang berbeda dalam hubungan
antara faktorfaktor yang menentukan persebaran permukiman. Terdapat kategori

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


pola permukiman tradisional berdasarkan bentuknya yang terbagi menjadi
beberapa bagian, yaitu
1. Pola permukiman bentuk memanjang terdiri dari memanjang sungai,
jalan, dan garis pantai;
2. Pola permukiman bentuk melingkar;
3. Pola permukiman bentuk persegi panjang; dan
4. Pola permukiman bentuk kubus. Pola permukiman tradisional
berdasarkan pada pola persebarannya juga dibagi menjadi dua, yaitu
pola menyebar dan pola mengelompok.
Menurut Wiriatmadja (1981:23-25) pola spasial permukiman sebagai
berikut:
a) Pola permukiman dengan cara tersebar berjauhan satu sama lain,
terutama terjadi dalam daerah yang baru dibuka. Hal tersebut
disebabkan karena belum adanya jalan besar, sedangkan orang-orang
mempunyai sebidang tanah yang selama suatu masa tertentu harus
diusahakan secara terus menerus;
6 b) Pola permukiman dengan cara berkumpul dalam KOTKUL
sebuah
kampung/desa, memanjang mengikuti jalan lalu lintas (jalan
darat/sungai), sedangkan tanah garapan berada di belakangnya;
c) Pola permukiman dengan cara terkumpul dalam sebuah
kampung/desa, sedangkan tanah garapan berada di luar kampung; dan
d) Berkumpul dan tersusun melingkar mengikuti jalan. Pola permukiman
dengan cara berkumpul dalam sebuah kampung/desa, mengikuti jalan
yang melingkar, sedangkan tanah garapan berada di belakangnya.
Menurut Widayati (2002) dijelaskan bahwa rumah merupakan bagian dari
suatu permukiman. Rumah saling berkelompok membentuk permukiman dengan
pola tertentu. Pengelompokan permukiman dapat didasari atas dasar : - Kesamaan
golongan dalam masyarakat, misalnya terjadi dalam kelompok sosial tertentu
antara lain komplek kraton, komplek perumahan pegawai; - Kesamaan profesi
tertentu, antara lain desa pengrajin, perumahan dosen, perumahan bank; dan -
Kesamaan atas dasar suku bangsa tertentu, antara lain Kampung Bali, Kampung
Makasar. Untuk menciptakan permukiman atau kampung pada suatu wilayah

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


dapat dilakukan dengan dua tindakan, yaitu pertama dengan membuka hutan
disebut mbabat. Kedua, dengan menampilkan tokoh yang membentuk tatanan dari
suatu kekacauan (Aliyah 2004:35).
Menurut Aliyah (2004:35) elemen-elemen pembentuk karakter
kampung/permukiman tradisional di Jawa, yaitu sebagai berikut:
1. Riwayat terbentuknya (legenda/sejarah kampung) yang secara fisik
dapat dikenali dengan keberadaan situs;
2. Tokoh yang membentuk tatanan dari suatu kekacauan. Seseorang
yang dianggap memiliki kesaktian dan mampu menaklukkan lahan
yang akan dijadikan permukiman dari kekuasaan makhluk halus
penguasa hutan;
3. Kelompok masyarakat dalam kesatuan tatanan bermukim;
4. Susunan tata masa atau komposisi bangunan hunian, karena tata
masa bangunan Jawa memiliki aturan atau patokan tersendiri,
sehingga berpengaruh pada komposisi bangunan dalam kampung;
5. Batas teritori wilayah kekuasaan pribadi (lahan). Perbedaan ruang
7 publik dan ruang privat sangat kuat, sehingga ada tuntunan pembatas
KOTKUL

teritori, dan memiliki aturan dalam penempatan pintu sebagai


penghubung;
6. Besaran lahan atau ukuran luas tapak. Ukuran ditentukan oleh
tingkat status sosial dan derajat sang penghuni;
7. Bentuk dan ukuran pagar yang ditentukan oleh status sosial
masyarakat yang menghuni; dan
8. Bentuk dan ukuran bangunan rumah tinggal. Hal ini ditentukan oleh
status sosial sang penghuni.
1.1.3 Bangunan Tradisional
Selain permukiman tradisional, kebudayaan fisik lainnya terlihat dari bentuk
bangunan tradisional yang biasanya diterapkan pembangunannya melalui rumah
tradisional. Menurut Machmud (2006:180), rumah tradisional dapat diartikan
sebuah rumah yang dibangun dengan cara yang sama oleh beberapa generasi.
Istilah lain untuk rumah tradisional adalah rumah adat atau rumah rakyat. Kriteria
dalam menilai keaslian rumah–rumah tradisional 5 antara lain kebiasaan–

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


kebiasaan yang menjadi suatu peraturan yang tidak tertulis saat rumah didirikan
ataupun mulai digunakan. Ada ritual–ritual tertentu misalnya upacara
pemancangan tiang pertama, selamatan/kenduri dan penentuan waktu yang tepat.
Selain hal tersebut, masih banyak tata cara atau aturan yang dipakai, misalnya
arah hadap rumah, bentuk, warna, motif hiasan, bahan bangunan yang digunakan,
sesajen, doa atau mantera yang harus dibaca dan sebagainya sangat erat terkait
pada rumah tradisional. Bangunan arsitektur tradisional mempunyai beberapa ciri
yang dapat dilihat secara visual. Ciri-ciri ini hampir semuanya terdapat di
beberapa daerah di Indonesia, namun adakalanya beberapa lokasi sedikit
mempunyai perbedaan. Beberapa ciri arsitektur tradisional antara lain (Utomo
2000 dalam Dewi et al. 2008:33-35):
1. Berlatar belakang religi: Keberadaan bangunan arsitektur tradisional
tidak lepas dari faktor religi, baik secara konsep, pelaksanaan
pembangunannya maupun wujud bangunannya. Hal ini disebabkan
oleh cara pandang dan konsep masyarakat tradisional dalam
menempatkan bagian integral dari alam (bagian dari tata sistem
8 kosmologi), yaitu alam raya, besar (makroskopis) dan alam kecil
KOTKUL

(mikroskopis), yang diupayakan oleh masyarakat tradisional adalah


bagaimana agar kestabilan dan keseimbangan alam tetap terjaga.
Bentuk perujukan dengan alam tersebut dilakukan dengan berbagai
cara, yaitu sebagai berikut: - Menganggap arah-arah tertentu memiliki
kekuatan magis: Menganggap arah-arah tertentu mempunyai kekuatan
magis bukanlah satu hal yang asing di dunia arsitektur tradisional (juga
di Indonesia). Mereka mengenal arah mana yang dianggap baik dan
arah mana yang dianggap buruk atau jelek. Adapula yang
menghubungkan arah ini dengan simbolisme dunia (baik dan suci),
tengah (sedang) dan bawah (jelek, buruk, kotor). Arah-arah baik ini
mempengaruhi pola tata letak bangunan dalam satu tapak. Bangunan-
bangunan harus dihadapkan pada arah baik dan membelakangi arah
buruk; dan - Menganggap ruang-ruang tertentu memiliki kekuatan
magis: Adakalanya bangunan- bangunan tertentu di dalam bangunan
dianggap mempunyai nilai sakral. Kesakralan ini diwujudkan dengan

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


memberikan nilai lebih dalam suatu ruangan. Ruangan ini dianggap
sakral, suci seperti yang terjadi dalam arsitektur tradisional Jawa.
Senthong tengah pada bangunan rumah tinggal di Jawa dianggap
sebagai ruang suci dan sakral dibandingkan dengan ruang lainnya;
2. Pengaruh hubungan kekeluargaan/ kemasyarakatan: Hubungan
kekeluargaan dalam struktur masyarakat tradisional dapat dibedakan
menjadi beberapa kriteria. Berdasarkan pertalian darah (genealogi)
kelompok masyarakat tradisional dibedakan menjadi: - Sistem bilateral
atau parental: Kesatuan keluarga dalam sistem ini terdiri dari bapak,
ibu dan anak-anak. Di dalam perkembangannya jumlah anggota
keluarga pada sistem ini semakin lama semakin banyak, sehingga
anggota keluarga yang tinggal bersama akan semakin besar, bahkan
sampai rumah tinggal mereka tidak memuatnya lagi; dan - Sistem
unilateral: Susunan keluarga dalam sistem ini ditarik dari garis
keturunan hanya dari pihak ayah saja (patrilineal/ patrilokal) atau dari
pihak ibu (matrilokal);
9 3. Pengaruh iklim tropis lembab: Karena posisi Indonesia berada pada
KOTKUL

zona yang beriklim tropis lembab, maka mau tidak mau keberadaan
arsitektur tradisional harus merujuk kepada iklim tropis lembab.
Konsep adaptasinya terhadap iklim setempat yang diterapkan pada
bangunan rumah tinggalnya, diyakini sebagai salah satu contoh yang
baik. Susunan massa, arah hadap (orientasi), pemilihan bentuk atap,
pemilihan bahan bangunan, teknik komposisi, semuanya benar-benar
diperhitungkan terhadap aspek iklim tropis sedemikian sehingga dapat
memberikan kenyamanan bagi penghuni rumah.

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Jurnal I (Pelestarian Pola Permukiman Tradisional Suku Sasak Dusun
Limbungan Kabupaten Lombok Timur)
2.1.1 Struktur Ruang Permukiman
a. Konsep Filosofis
1. Konsep Arah Sinar Matahari
Semua permukiman adat di Dusun Limbungan menghadap ke arah
timur (sinar matahari) menunjukkan pembentukan karakter
masyarakat Sasak bahwa yang muda juga harus melindungi yang tua,
dan jika ada musuh menyerang maka kaum yang mudalah yang
terlebih dahulu harus menyerang.

10 2. Konsep Terhadap Gunung Rinjani KOTKUL


Masyarakat Suku Sasak Limbungan meyakini Gunung Rinjani
sebagai sumber kekuatan supranatural di Lombok dan tempat
bermukimnya Dewi Anjani yang dihormati oleh Suku Sasak.
Semakin tinggi suatu tempat dan semakin mendekati gunung rinjani
maka sifat kesakralannya semakin tinggi, Dalam struktur
pembangunan rumah, maka sang orang tua selalu bertempat tinggal
di tempat yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tempat tinggal
anakanaknya. Begitu pun juga untuk anak yang tertua, maka
peletakan posisi rumahnya berada pada bagian yang paling tinggi
jika dibandingkan dengan adik-adiknya. Nilai filosofis yang
terkandung di dalamnya bahwa orang tua harus
menurunkan/memberikan panutan dengan sifatsifat leluhur pada
anaknya.
3. Konsep pembangunan Rumah dan elemennya secara berderet
dan tanah berundak-undak

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


Pembangunan rumah dengan konsep ini mencerminkan penduduk
yang terdiri dari satu kelompok dan dapat dikatakan secara
keseluruhan merupakan satu warga besar yang terdiri atas anak,
cucu, kemenakan, merupakan satu kesatuan dari keluarga majemuk.
Konsep undak-undakan ini diiterprestasikan pada baris horizontal
maupun vertikal. Dari baris horizontal semakin ke tengah undak-
undakannya semakin rendah, dan dari baris vertikal semakin ke arah
belakang maka undak-undakannya semakin tinggi selain memiliki
fungsi dari segi keamanan agar menghindari bencana alam jika suatu
saat terjadi, serta terhindar dari malapetaka yang dapat menimpa
Dusun Limbungan, juga menjaga agar rumah generasi tua yang
terletak di baris belakang, akan tetap mendapatkan sinar matahari
yang cukup mengingat tempatnya yang lebih tinggi dari baris
didepannya.
2.1.2 Struktur Ruang Permukiman Berdasarkan Aktivitas Kegiatan
1. Bale Adat (rumah adat)
11 Selain sebagai tempat tinggal juga sebagai pusat aktivitas. Bale adat
KOTKUL

merupakan inti dari Dusun Limbungan, karena fungsinya dimanfaatkan


penduduk Limbungan selain sebagai tempat tinggal juga sebagai kegiatan
upacara adat, dan ritual budaya.
2. Masjid (langgar)
Sebagai sub pusat aktivitas. Elemen tempat ibadah ini merupakan simbol
pemersatu penduduk Limbungan, karena fungsinya dimanfaatkan oleh
semua penduduk Dusun Limbungan (multi fungsi).
3. Sawah/lading
Sebagai tempat/ ruang bekerja.
4. Makam leluhur, sebagai tempat ritual.
Ruang ini memiliki fungsi teritori tersier yang dianggap penting, karena
merupakan ruang publik yang memiliki nilai sakral yang tinggi. Pola
Permukiman tradisional Suku Sasak
2.1.3 Pola Tata Ruang Tempat Tinggal
a. Bale Adat Sasak

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


Semua bale adat Sasak Limbungan menghadap ke arah timur, dan setiap
rumah memiliki elemen berupa Lumbung yang juga disebut panteq. Penempatan
elemen rumah berupa panteq memiliki posisi saling berhadapan dengan bale, dan
masing-masing bale memiliki satu panteq.
Ciri khas Bale Sasak yang terdapat di Dusun Limbungan dalam bentuk
arsitektur:
1. Bale menghadap arah timur/terbitnya sinar matahari, berfungsi sebagai
faktor keamanan.
2. Rumah yang dibangun seragam baik dari bentuk dan bahannya yang
mencerminkan kekompakan penduduknya, yang masih memegang teguh
adat dan budayanya serta menjaga tradisi gotong royong penduduknya
dalam melakukan pelaksanaan setiap upacara.
3. Dibangun diatas pondasi dan undak-undak yaitu untuk menghindari
banjir tahunan dan menghangatkan ruangan pada waktu cuaca dingin.
4. Bale sasak mengandung konsep Islami yang menerapkan konsep
Habluminanas (hubungan antar sesama manusia) yaitu terdapatnya Bale
12 sebagai bangunan utama yaitu rumah tinggal yang berjejer dan
KOTKUL

didepannya terdapat Panteq yang salah satunya terdiri dari Berugaq


memiliki fungsi sebagai ruang publik (untuk menerima tamu, untuk
bersantai, tempat tidur anak laki-laki (berugaq) yang menerapkan konsep
bertetangga, dan silaturahim.
b. Rumah Permanen
Rumah permanen (Bale Batu) yang terdapat di Dusun Limbungan
mengalami perkembangan setelah tahun 1990-an.
Tabel 2 1 Hasil Penemuan Konsep Di Limbungan

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


No Konsep Hasil Temuan Keterangan

Pembangunan awal
rumah tradisional
didirikan pada tahun
Tahun 1920-an sebesar 31%,
1 1920 - 1940
Pengembangan pada tahun 1930-an
sebesar 41%, dan pada
tahun 1940-an sebesar
28%.

Semua bangunan
(100%) tradisional di
Limbungan menghadap
2 Orientasi Bangunan Timur ke arah timur. Hal ini
terkait dengan faktor
kepercayaan dan
keamanan.

13 KOTKUL
Semua rumah
tradisional Limbungan
terbuat dari bahan
alami
yaitu ilalang untuk
atap, serta dinding
terbuat dari bambu
yang
dianyam rapat, lantai
Terbuat rumah terbuat dari
Bahan dari campuran tanah liat,
3
Bangunan bahan bagian permukaan
alami lantai
terbuat dari getah
pohon
kayu banten dan bajur
(istilah lokal), dicampur
elemen hitam yang ada
dalam batu bateri, abu
jerami yang dibakar,
kemudian diolesi
dengan kotoran sapi.

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


2.1.4 Struktur Tata Ruang Tempat Tinggal
a. Elemen-elemen pembentuk ruang dalam permukiman tradisional
Suku Sasak Limbungan
1. Bale Sasak
Bale Sasak ini memiliki denah berbentuk segi empat, yang terbagi
menjadi dua ruang yaitu ruang sengko (ruang bawah) yang berfungsi
sebagai ruang tamu (sesangkok), dan dalem bale (ruang atas) yang
terdiri dari kamar tidur, dan dapur, antara ruang sengko dan dalam bale
dibatasi oleh undak-undak (anak tangga).
Fungsi elemen-elemen ruang rumah pada bagian dalem bale (ruang
atas) tersebut antara lain:
a) Dalem Bale (Ruang Tidur) berfungsi untuk tempat tidur
biasanya masyarakat Limbungan digunakan untuk para wanita
baik istri maupun anak, dan ruang khusus bila perempuan akan
melahirkan atau mayat seseorang disemayamkan sebelum
dikebumikan.
14 b) Pawon atau dapur bagi masyarakat Limbungan difungsikan
KOTKUL

sebagai tempat memasak.


c) Sempare (ruang simpan barang), letak sempare biasanya berada
di atas dapur/ langit-langit rumah atau di sebelah kiri tempat
tidur.
d) Ruang Sengko (Ruang Bawah) yang terdiri dari sesangkok
(ruang tamu) yang letaknya berada di depan pintu masuk
rumah utama sebagai tempat menerima tamu dan tempat
duduk-duduk.
2. Panteq
Terdiri dari Lumbung yang berfungsi sebagai tempat menyimpan padi
dan Berugaq sebagai ruang sosial.
3. Kandang
Kandang komunal yang dijadikan satu dan berada di luar ruang atau
halaman besar permukiman asli Sasak, terletak di bagian pinggir

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


permukiman. Hal ini karena kandang sapi dianggap kotor sehingga
harus berada di luar areal permukiman.
4. Masjid
Permukiman tradisional di Limbungan juga dicirikan dengan
keberadaan Masjid di bagian depan dan musholla di bagian belakang,
hal ini merupakan simbol bahwasanya penduduk Limbungan
merupakan penduduk beragama Islam yang taat beribadah.
5. Jalan

Jalan di lingkungan permukiman bale asli terdiri dari jalan besar dan
jalan setapak. Jalan besar yang merupakan sirkulasi lalu lintas utama
serta sebagai ruang dalam upacara seperti pernikahan dan kematian.
Dan jalan setapak, yang berfungsi sebagai pembatas antara baris rumah
serta ruang sirkulasi untuk membawa hasil pertanian dan jalan menuju
kandang.
6. Halaman
Berfungsi sebagai ruang sirkulasi lalu lintas penduduk, halaman depan
15 KOTKUL
sebagai tempat kegiatan budaya seperti acara pernikahan, khitanan,
kematian, dan lain-lain. Halaman samping dan belakang berfungsi
sebagai kebun kecil yang ditanami tanaman berupa sayur-sayur, untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari penduduk.
2.1.5 Struktur Ruang Berdasarkan Sistem Kekerabatan
Pada ruang mikro setiap 2 (dua) sampai 5 (lima) rumah dibatasi dengan
pagar pada saat pagi hari pagar dibuka dan pada malam hari pagar ditutup, hal ini
terkait dengan fungsi keamanan. Sedangkan pada ruang makronya permukiman
tradisional dikelilingi oleh pagar yang terbuat dari kayu banten yang kuat sebagai
simbol keamanan dan pembatas.
2.1.6 Kedudukan Elemen Bangunan Berdasarkan Konsep Ketinggian Dan
Kepercayaan
Pembangunan bale dan panteq saling berhadapan seperti konsep cermin,
satu bale memiliki satu panteq. Hal ini menunjukkan bahwa panteq memiliki nilai
sakral yang memiliki simbol ekonomi. Untuk pembangunan bale yang dibangun
secara berderet berdasarkan sistem kekerabatan. Bale dan panteq dibangun

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


berdasarkan kriteria tinggi rendah berdasarkan senioritas dalam tingkatan usia.
Orang yang lebih tua membangun rumahnya pada tempat tertinggi dan yang lebih
muda berada di tempat yang lebih rendah. Distribusi ruang antara secret dan
profane, yang ditunjukkan oleh pentingnya nilai lumbung yang dapat disetarakan
dengan kehidupan, juga berugaq selain untuk menyambut tamu, pertemuan antar
warga juga acara ritual digunakan di berugaq.
2.1.7 Pola Tatanan Bangunan
Pola pengembangan tata ruang masyarakat Sasak di Dusun Limbungan
berorientasi pada nilai cosmo/ kosmologi berdasarkan sistem kepercayaan dan
tradisi-tradisi masyarakat yang berbasis budaya, sebagian masyarakat Limbungan
Kepercayaan penduduk terhadap kekuatan gaib/ supranatural ini menghasilkan
ruang-ruang khusus yang dikeramatkan penduduk yaitu Makam-makam leluhur
penduduk Limbungan yang terdiri dari makam tingkatan rendah sampai tinggi
yaitu makam rujuq, batu maliq, pepadang, gunung bentar, dan samak borok.
1. Adapun fungsi masing-masing makam sesuai tingkatannya, sebagai
berikut: Makam rujuq yang berfungsi sebagai tempat pertapaan,
16 KOTKUL
pencarian benda pusaka, dan mendalami ilmu-ilmu mistik;
2. Makan batu maliq dan pepadang berfungsi sebagai tempat masyarakat
memohon do’a setiap melakukan upacara budaya seperti pernikahan,
kelahiran, tolak bala, minta hujan, dan keagamaan seperti hari besar Idul
Fitri, dan Idul adha;
3. Makam gunung dan samak borok berfungsi sebagai permohonan untuk
menyembuhkan penyakit.

2.2 Jurnal II (Identifikasi Pola Permukiman Tradisional Desa Meat, Toba


Samosir)
2.2.1 Permukiman Batak
Permukiman Batak Toba sering disebut juga dengan istilah huta, yang
merupakan tempat kediaman yang berada dilereng bukit atau gunung, dengan
pertimbangan area tersebut tidak dipergunakan untuk persawahan (Setiawan,
2010). Menurut Siahaan (2005), terdapat 13 elemen yang ada di dalam
sebuah huta. Elemen-elemen tersebut adalah: rumah dan sopo(lumbung padi),

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


kebun, sawah, halaman, parik(benteng yang mengelilingi kampung),
suha(saliran air), pantil(tempat mengintai musuh), partukoan(tempat berkumpul
warga), tempat hewan ternak, kuburan, pintu gerbang, pangeahan ni
huta(tanah cadangan untuk perluasan, boleh dijadikan sawah), toru ni bolu(tanah
cadangan untuk perluasan, tidak boleh dijadikan sawah).

Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa permukiman Batak


juga berfungsi sebagai tempat berlindung dari musuh, dengan adanya titik
untuk pengintaian dan juga adanya pelindung yang mengelilingi area
permukiman. Tata massa bangunan cenderung mengelompok dengan
bangunan yang berderet dan saling berhadapan. Permukiman tradisional
inilah yang menjadi salah satu daya tarik yang ada di Desa Meat, sehingga saat
ini telah ditetapkan menjadi salah satu Desa Wisata di wilayah Danau Toba.
Melihat berbagai aspek dan potensi yang ada, penelitian ini akan bertujuan untuk
mengidentifikasi pola permukiman yang terbentuk di Desa Meat dalam
konteks kondisi geografis serta pengaruh sosial dan budaya setempat sebagai
salah satu elemen pendukung pariwisata.
17 KOTKUL
2.2.2 Pola Persebaran Massa Bangunan
Terkait dengan sebaran massa bangunan, pendataan dilakukan
melalui pengamatan langsung dan analisis peta udara. Berdasarkan pengamatan,
terdapat dua pola sebaran massa bangunan. Yang pertama adalah pola massa
yang berkelompok pada suatu area, sedangkan yang kedua adalah pola
memanjang di sekitar jalur akses dan sirkulasi. Terdapat 8 kluster hunian
yang memiliki layout mengelompok, termasuk salah satu di antaranya
Desa Adat Ragi Hotang, sementara bangunan lain cenderung menyebar
mengisi ruang yang ada di sepanjang jalur akses baik primer maupun
sekunder.Berdasarkan pengamatan, dapat diketahui bahwa pada tipologi
kluster massa bangunan yang mengelompok di dalamnya hampir selalu dapat
ditemukan rumah adat Batak yang sebagian besar masih berfungsi
sebagai tempat tinggal. Kondisinya di tiap kluster cukup beragam, ada area
permukiman yang masih didominasi oleh rumah adat, namun ada juga yang
hanya menyisakan 1-2 saja bangunan adat. Hal ini menunjukkan bahwa
kawasan ini merupakan permukiman tradisional yang sudah berdiri sejak

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


lama, yang menjadi asal mula terbentuknya Desa Meat. Menurut
keterangan dari masyarakat setempat, permukiman-permukiman ini merujuk
pada kelompok keluarga dengan marga tertentu. Artinya, warga yang tinggal
dalam satu kluster tersebut merupakan masih memiliki hubungan
kekerabatan yang dekat. Layout permukiman yang mengelompok ini juga
sesuai dengan tipologi permukiman tradisional Batak huta, namun beberapa
elemen sudah tidak dapat ditemukan seiring perkembangan jaman. Sebagai
contoh, parik dan pantil sudah sulit diidentifikasi karena kondisi saat ini
bukan merupakan era perang sehingga tidak membutuhkan adanya fasilitas
tersebut.
2.2.3 Pola Permukiman Batak
Huta yang ada tentunya memiliki kapasitas yang terbatas, yang mana
perluasan tidak memungkinkan untuk dilakukan mengingat lahan sekitar sudah
dimanfaatkan sebagai persawahan. Selain itu, faktor topografi kawasan juga
dapat menjadi faktor perluasan tidak dimungkinkan Hal ini menyebabkan
jika ada anggota keluarga yang baru menikah dan berkeluarga, mereka mau
18 KOTKUL
tidak mau mencari lahan di luar lahan huta yang merupakan kampung
keluarganya. Inilah yang menjadi faktor munculnya permukiman-permukiman
di luar huta, yang umumnya memiliki pola linier mengikuti jalur sirkulasi.
Persebaran Permukiman di Desa MeatSumber: Analisis pribadi, 2019.
2.2.4 Tata Guna Lahan Permukiman Batak
Terkait tata guna lahan, fungsi bangunan yang ada di Desa Meat antara lain
fungsi permukiman, komersial/jasa, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan,
bangunan ibadah, dan bangunan pemerintahan. Fungsi-fungsi komersial dan
fasilitas umum seperti kantor Kepala Desa, Motel, bangunan ibadah, dan
juga bangunan pendidikan cenderung berada di sekitar jalur sirkulasi utama
untuk mempermudah akses. Salah satu fenomena yang ditemukan terkait
fungsi bangunan adalah bagaimana fungsi warung, yang sering disebut juga
dengan lapo, menjelma menjadi suatu titik berkumpul utama bagi warga
setempat. Hal ini menjadi salah satu perwujudan elemen pembentuk
permukiman Batak, yaitu partokoan(tempat berkumpul warga) yang dalam
perkembangannya berupa warung/lapo. Di desa Meat, warung/lapotersebar

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


di berbagai titik, dan keberadaannya tidak selalu di dalam area
permukiman tradisional (huta) melainkan berada pada titik-titik yang
dinilai strategis dan terjangkau bagi seluruh warga desa Meat.
Fenomena lain yang ditemukan terkait penggunaan lahan adalah
pembangunan makam. Secara sekilas, makam-makam yang ada tidak terlihat
seperti sebuah makam, dikarenakan makam tersebut dibangun dengan
“mewah” dengan menggunakan material beton, keramik, dll. Hal ini umum
terjadi karena bagi orang Batak makam merepresentasikan status sosial
keluarga, sehingga anggota keluarga akan berusaha membangun seindah
mungkin sesuai kesanggupan mereka. Jika dilihat dari pola permukiman
tradisional Batak, makam akan selalu berada dalam satu area dengan
permukiman, atau setidaknya berdekatan. Namun berdasarkan pengamatan,
sebaran makam yang ada di Desa Meat sudah tidak bisa diidentifikasi
dengan spesifik mengenai daerah permukiman asalnya. Beberapa makam
yang sudah berusia lama masih dapat ditemukan berada di sekitar tempat
tinggal keluarga besarnya.
19 Namun dalam perkembangannya makam-makam yang baru dibangun
KOTKUL

pada lahan di luar atau bahkan sangat jauh dari permukiman asalnya.
Berdasarkan penuturan warga setempat, terdapat dua faktor utama yang
menjadi penyebab sebaran makam menjadi tidak teratur. Pertama,
keterbatasan lahan di sekitar permukiman asal sehingga tidak
memungkinkan membangun makan di lokasi tersebut. Kedua, tradisi yang
mulai memudar, sehingga banyak yang berpikir untuk membangun makam di
lahan miliknya masing-masing untuk mempermudah ziarah keluarga.
Walaupun begitu, makam tetap menjadi salah satu elemen pada permukiman
Batak secara umum.
2.3 Jurnal III (Pola Spasial Permukiman Tradisional Bali Aga di Desa
Sekardadi, Kintamani)
2.3.1 Pola Spasial Permukiman
Analisis karakteristik pola spasial permukiman Desa Sekardadi bertujuan
untuk mengetahui penerapan filosofi dan konsepsi tata ruang masyarakat
tradisional Bali Pegunungan, sehingga dapat diperoleh paparan mengenai wujud

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


penerapan filosofi tersebut secara fisik. Pengaturan tata ruang desa didasarkan
pada hukum adat, begitu juga dengan pemanfaatan wilayah desa yang telah diatur
oleh ketentuan desa adat. Sanksi dikenakan kepada masyarakat yang melanggar
ketentuan tersebut.
2.3.2 Tata Ruang Desa
Menurut konsepsi masyarakat Bali pada umumnya, tata ruang yang
dimaksudkan adalah aturan penempatan ruang–ruang yang mengacu pada fungsi
tertentu serta tata nilai yang diberikan terhadap fungsi tersebut dengan
berlandaskan pada ajaran agama Hindu di Bali (Ganesha, dkk, 2012). Pada tataran
pola desa adat, Gelebet (1982:12) menyatakan bahwa desa adat di daerah Bali
pegunungan, menempatkan zona sakral dengan tata nilai utama pada arah gunung
sebagai kaja dan Hulu desa serta arah laut atau lawan dari gunung sebagai
kelod/Teben bernilai rendah.
Dengan konsep ini, desadesa pegunungan cenderung berpola linear dengan
core desa sebagai penghubung zona Hulu dan Teben Desa. Sementara itu, di desa
dataran di samping berpedoman pada konsep Hulu-Teben atau berdasarkan arah
20 KOTKUL
gunung-laut (kaja-kelod), juga menempatkan zona Hulu pada arah matahari terbit
sebagai kangin bernilai utama dan matahari tenggelam sebagai zona Tebe sebagai
Kauh yang bernilai nista/rendah. Dengan kedua kiblat ini, Gelebet (1982:13)
menambahkan bahwa pola desa dataran umumnya berpola perempatan agung atau
nyatur desa berupa dua jalan desa utama menyilang desa TimurBarat (kangin-
kauh) dan Utara-Selatan (kaja-kauh) membentuk persilangan.
Titik persilangan merupakan pusat desa. Konsep Hulu-Teben merupakan
salah satu konsep pola ruang makro dalam arsitektur tradisional Bali karena
memiliki latar belakang atau dilatari oleh konsep keluhuran, artinya penghormatan
para leluhur dalam bentuk proses penanaman mayat, kemudian pengabenan (ritual
pembakaran jenazah) dan memukur atau nyekah (ritual peningkatan status sang
roh menjadi roh suci/sang pitara) dan terakhir dengan upacara ngelinggihang
Dewa Hyang atau dewa pitara atau meningkatkan sang pitara menjadi leluhur dan
ditempatkan di sanggah kemulan/tempat suci di karang umah/rumah tinggal
(Ardana, 1982:15). Kepercayaan pada konsep Hulu-Teben (atas-bawah) yang
ditampilkan dalam wujud meletakkan arah kepala mayat ke arah bukit atau

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


gunung, kepercayaan ini merupakan keyakinan masyarakat Bali pada masa itu
bahwa roh leluhur mereka berada di tempat ketinggian atau gunung.
Konsep ini masih berlaku hingga kini dalam perencanaan lingkungan
perumahan/perkampungan/desa di Bali. Parwata (2015:216) menegaskan bahwa
apresiasi pada para leluhur saat ini banyak ditemukan dalam bentuk
Sanggah/Pemerajan atau tempat suci keluarga untuk setiap rumah tinggal,
kemudian berkembang ke Pura Genealogi seperti Pura Dadia, Pura Paibon serta
Merajan Alit, dan pada akhirnya menyebar ke Pura Kahyangan Tiga (tiga buah
tempat suci sebagai indikator religius keberadaan sebuah desa adat di Bali).
Prinsip-prinsip dalam penghormatan terhadap para leluhur di atas menjadi
pedoman desain dalam arsitektur tradisional Bali yang diwarisi hingga kini,
dimulai dari arsitektur tradisional Bali pegunungan yang lebih tua berupa
hulu/kaja (arah gunung/ketinggian bernilai utama)-teben/kelod (arah laut bernilai
nista. Ini termasuk arsitektur Bali dataran dengan ditambahkan-nya arah
hulu/kangin (arah matahari terbit bernilai utama)-Teben/kauh (arah matahari
tengelam bernilai nista).
21 2.3.3 Tipologi Desa KOTKUL

Gelebet (1982) menyebutkan bahwa ciri utama fisik desa Bali Pegunungan
adalah ruang terbuka cukup luas yang memanjang (linier) dari arah utara menuju
selatan (kajakelod), yang membagi desa menjadi dua bagian. Pada posisi yang
diametral, yakni pada ujung utara (kaja) terletak Pura Puseh, di tengah sebagai
tempat Pura Bale Agung, dan pada arah selatan (kelod) terletak Pura Dalem.
Ketiga pura tersebut dikelompokkan dalam Pura Kahyangan Tiga. Sementara itu,
fasilitas umum atau infrastuktur berada di tengah desa dan hunian penduduk
berada pada sisi kiri dan kanan jalan utama desa.
Pura Kahyangan Tiga merupakan indikator religius atas keberadaan sebuah
desa adat di Bali, terdiri atas:
a) Pura Desa, terletak di hulu desa, didedikasikan untuk Dewa Brahma,
manifestasi Tuhan sebagai Pencipta Dunia. Sementara itu, Pardiman
(1986:18) menambahkan bahwa Pura Desa lebih dikenal dengan sebutan
Pura Bale Agung: sebuah tempat suci dimana para warga desa
melakukan pertemuan dengan para leluhurnya saat-saat upacara;

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


b) Pura Puseh ditempatkan di Hulu desa/kaja, didedikasikan untuk Sri
Wisnu, Tuhan sendiri sebagai Sang Pemelihara Dunia.
c) Pura Dalem yang didedikasikan untuk Dewa Siwa, manifestasi Tuhan
sebagai Pelebur Dunia). Keberadaan Pura Dalem selalu dilengkapi
dengan satu kuburan (setra desa adat) di Teben desa/kelod.
Sebagai konsep tata nilai dalam pembentukan pola permukiman Bali
Pegunungan yang sampai saat ini masih diaplikasikan secara turun-menurun dari
generasi ke generasi, maka arah gunung merupakan hulu atau kaja sebagai zona
sakral dengan hierarki tertinggi (utama). Sementara itu, arah laut merupakan teben
atau kelod dengan nilai paling profan dan lebih rendah (Adiputra, 2016; Rahayu,
2012; Pardiman, 1986; Gelebet, 1982). Dengan demikian, pada zona hulu
dipergunakan untuk menempatkan Pura Desa dan Pura Puseh, dua bagian dari
Pura Kahyangan Tiga yang merupakan penanda religiusitas dari keberadaan
sebuah desa adat (Ngoerah Gde, 1981). Pada sisi yang berlawanan, Kertiyasa
(1984) menyatakan bahwa zona teben dimanfaatkan oleh desa adat sebagai tempat
untuk Pura Dalem atau satu bagian dari Pura Kahyangan Tiga, dan kuburan desa
22 adat (setra). KOTKUL

Berdasarkan paparan tersebut, maka konsep hulu-teben merupakan


pengetahuan dasar di dalam dialog pembentukan Teben Hulu Jurnal RUAS,
Volume 14 No 2, Desember 2016, ISSN 1693-3702 54 pola Desa Sekardadi.
Dengan demikian, Gunung Batur yang terletak di kaja (utara) menjadi orientasi
desa. Konsep hulu-teben membedakan ruang desa menjadi tiga zona:
1. Zona hulu sebagai lokasi pura (zona parahyangan);
2. Zona tengah untuk kawasan perumahan (zona pawongan);
3. Teben merupakan zona kuburan desa adat (zona palemahan),
Ketiga zona tersebut dilandasi oleh Konsep Tri Hita Karana (Parwata,
2004). Permukiman tersebut dikelilingi oleh kawasan perkebunan dan tegalan dan
perkembangannya yang menyebar pada lokasi pertanian yang berada pada luar
desa. Kawasan perkebunan dan tegalan tersebut disebut dengan kubu yang
merupakan rumah tinggal di luar pusat permukiman di ladang, di perkebunan atau
tempat tempat kehidupan lainya. Lokasi kubu tersebar tanpa dipolakan sebagai
suatu lingkungan permukiman, menempati unit-unit perkebunan atau ladang-

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


ladang yang berjauhan, tanpa penyediaan sarana utilitas. Pola ruang kubu sebagai
rumah tempat tinggal serupa pola dengan rumah/umah (Gelebet, dkk. 1985:39).
2.3.4 Pengaturan Ruang Budaya Desa
Pengaturan pola spasial desa yang dilandasi oleh konsep Hulu-Teben dan
Tri Hita Karana, memungkinkan Desa Sekardadi memiliki pola linier (linear
pattern). Jalan utama desa yang membentang dari utara ke selatan merupakan
pusat yang tidak hanya berfungsi sebagai sirkulasi umum, tetapi juga berfungsi
sebagai ruang terbuka yang menghubungkan pintu masuk pekarangan setiap
rumah. Posisi jalan lebih rendah dari unit hunian yang mengapit jalan desa, lihat
Gambar 3. Selain itu, pusat juga memiliki makna sebagai orientasi ruang publik
saat melaksanakan upacara adat (Manik, 2007). Pintu-pintu pekarangan dari setiap
unit hunian mengarah atau beriorientasi ke jalan utama desa. Pekarangan hanya
berfungsi sebagai tempat tinggal untuk mengadakan upacara dan berhubungan
dengan keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, penduduk
mengusahakan kebun/ladang (pategalan) di luar desa atau di luar kawasan
perumahan. Keterbatasan lahan dan keinginan untuk berinteraksi dengan jalan
23 KOTKUL
utama menyebabkan terjadi pengembangan perumahan ke arah luanan/hulu, tetapi
tetap mempertahankan untuk tidak membangun di luanan Pura.
2.4 Perbandingan Aspek yang Memepengaruhi Pola Permukiman
Dari 3 Jurnal yang telah ditemukan akan dibandingkan aspek-aspek yang
mempengaruhi pola permukimannya pada tabel berikut :
Tabel 2. 2 Perbandingan Aspek Pembentuk Pola Permukiman

Aspek Dominan Besar Pengaruh 3 Aspek Pada Pola Permukiman


Jenis
Jurnal PadaPola Aspek Strata Aspek Aspek
Permukiman
Permukiman Sosial Kekerabatan Religi
Permukiman
Tradisional
Suku Sasak 1. Strata Sosial
I Dusun 2. Kekerabatan Sedang Tinggi Tinggi
Limbungan 3. Religi
Kabupaten
Lombok Timur
Identifikasi Pola
Permukiman
1. Kekerabatan
II Tradisional Rendah Tinggi Tinggi
2. Religi
Desa Meat,
Toba Samosir

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


Permukiman
Tradisional Bali
III Aga di Desa 1. Religi Sedang Sedang Tinggi
Sekardadi,
Kintamani

Melalui tabel diatas dapat diketahui bahwa pada pola permukiman di Suku
Sasak pada jurnal 1 , hampir keseluruhan aspek mempengaruhi pola
permukimannya karena pengaruh yang besar pada tiap-tiap aspek. Berbeda pada
Desa Meat pada jurnal 2yang dimana aspek yang dominan yang mempengaruhi
pola permukimannya berasal dari aspek kekerabatan dan religi. Lain hal juga pada
pola permukiman Desa Sekardai di Bali pada Jurnal 3 dimana aspek dominan
yang paling besar mempegaruhi pola permukiman pada desa tersebut adalah aspek
religi disebabkan oleh begitu besarnya pengaruh ajaran agama hindu kepada
mayoritas masyarakat yang tinggal di setiap daerah yang ada di Bali.

24 KOTKUL

SUMMARY POLA PERMUKIMAN BERDASARKAN 3 ASPEK


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan Jurnal I
Pola permukiman Dusun Limbungan dipengaruhi oleh faktor berikut:
1. Faktor kepercayaan penduduk terhadap faktor keamanan dan rumah
penduduk dalam memperoleh cahaya matahari karena bagunan rumah
yang tidak memiliki jendela, hal ini yang memandang arah timur sebagai
arah yang diutamakan sebagai sumber kekuatan selain itu juga didukung
sebagai alat pertahanan untuk mengetahui saat mereka saat diserang oleh
musuh.
2. Faktor hukum adat yang menuntut penduduk Limbungan untuk menjaga
rumah asli mereka baik dari bahan rumah yang terbuat dari bahan alam,
orientasi massa bangunan, serta pola rumah asli Suku Sasak tersebut.
Adanya kepatuhan penduduk terhadap hukum adat dan kearifan lokal
(genius local) penduduk merupakan faktor paling penting terhadap
pelestarian keutuhan rumah asli ini.
3. Membentuk pola grid yang mengelompok menjadi satu kesatuan, rumah-
rumah dan elemennya disusun berjejer rapi seperti tusuk sate, pola ini
mencerminkan sistem kekerabatan.
4. Pola rumah tradisional di Dusun Limbungan membentuk ruang-ruang
yang communal space, yaitu di antara jejeran bale yang berhadapan ini
merupakan daerah comunal space bagi penduduk dusun, yaitu terdapatnya
lumbung dan berugaq sebagai tempat bersosialisasi penduduk dusun.
Selain itu dapat dilihat perletakkan bale yang berhadapan dan sejajar
dengan panteq yang terdiri dari Lumbung dan berugaq yang telah
menerapkan konsep Islam yaitu konsep tawazun dan fungsional. Konsep
tawazun (keseimbangan) dapat dilihat posisi berugaq sebagai bangunan
publik dan merupakan communal space saling berhadapan dengan bale
(bangunan privat). Konsep fungsional tercermin dalam posisi lumbung
yang mewakili satu bale selain berfungsi sebagai ruang bersama sekaligus
digunakan untuk mengawasi dan memberi kemudahan melayanai
bangunan bale.
3.2 Kesimpulan Jurnal II
Berdasarkan hasil analisis terkait pola dan sebaran permukiman maka dapat
ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Desa Meat memiliki kekayaan budaya berupa permukiman tradisional
yang tersebar di berbagai area, dapat dilihat dari keberadaan rumah adat
serta pola. massa bangunan yang terbentuk sesuai dengan ciri
permukiman tradisional Batak (huta)
2. Beberapa guna lahan yang menjadi tradisi telah mengalami pergeseran,
namun bukan dari segi fungsi, melainkan peletakannya. Fungsi
partokoanyang menjadi tempat berkumpul warga tidak selalu berada
di dalam area huta, namun bisa di mana saja selama dinilai
strategisdan mudah dijangkau. Kemudian juga makam yang menjadi
simbol kehormatan bagi keluarga Batak saat ini lebih fleksibel
peletakannya, walaupun tetap dalam satu daerah.
3. Akses selain jalur utama hamper seluruhnya merupakan akses buntu.
Perlu penataan untuk keterhubungan antar jalur untuk meningkatkan
aksesibilitas Kawasan.Hal tersebut menunjukkan permukiman
tradisional merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan
sebagai daya tarik pariwisata, tentunya dengan revitalisasi
bangunan-bangunan rumah adat yang ada. Penelitian ini baru sebatas
identifikasi secara spasial, masih perlu dilakukan pendalaman terkait
aspek sosial yang ada di dalam permukiman itu sendiri untuk lebih
menggali kehidupan bermasyarakat di Desa Meat.
3.3 Kesimpulan Jurnal III
Pembentukan pola spasial permukiman Desa Sekardadi mengikuti Konsepsi
Tri Kita Karana (Parahyangan, palemahan, dan pawongan), Tri Mandala (Utama,
Madya, dan Nista), konsepsi hulu-teben (atas-bawah) sebagai bentuk
penghormatan terhadap leluhur. Gunung Batur yang terletak di sebelah utara/kaja
merupakan pusat orientasi desa. Kemudian konsepsi tata nilai tersebut
diterjemahkan secara fisik ke dalam pola spasial permukiman dengan jalan utama
desa sebagai ruang terbuka yang memanjang (linier) dari arah utara menuju
selatan (kaja-kelod), yang membagi desa menjadi tiga zona:
1. Zona hulu/kaja sebagai lokasi pura (zona parahyangan). Zona ini
memiliki kondisi topografi lebih tinggi, sehingga memiliki hierarki
tertinggi dan paling sakral (Zona Utama Mandala) yang ditandai
dengan penempatan Pura Puseh (tempat pemujaan untuk Dewa
Brahma, yaitu Dewa Penciptaan;
2. Zona tengah untuk kawasan permukiman dan fasilitas huniannya (zona
pawongan) dengan kondisi topografi lebih landai sebagai Zona Madya
Mandala untuk meletakkan Pura Bale Agung (tempat pemujaan untuk
Dewa Wisnu sebagai Dewa Pemelihara);
3. Zona Teben pada ujung selatan (kelod) yang memiliki kondisi
topografi lebih rendah untuk menempatkan Pura Dalem (tempat
pemujaan untuk Dewa Siwa sebagai Dewa Pelebur) dan setra atau
kuburan desa adat (zona palemahan). Zona ini memiliki nilai hierarki
paling rendah dibandingkan dua zona lainnya (Zona Nista Mandala).

Anda mungkin juga menyukai