diorientasikan melalui hirarki dan jaringan atau lintasan, yang muncul dalam
suatu lingkungan binaan mungkin secara fisik ataupun non fisik yang tidak hanya
mementingkan orientasi saja tetapi juga objek nyata dari identifikasi.
Wikantiyoso dalam Krisna et al. (2005:17) menambahkan, bahwa
permukiman tradisional adalah aset kawasan yang dapat memberikan ciri ataupun
identitas lingkungan. Identitas kawasan tersebut terbentuk dari pola lingkungan,
tatanan lingkungan binaan, ciri aktifitas sosial budaya dan aktifitas ekonomi yang
khas. Pola tata ruang permukiman mengandug tiga elemen, yaitu ruang dengan
elemen penyusunnya (bangunan dan ruang disekitarnya), tatanan (formation) yang
mempunyai makna komposisi sera pattern atau model 4 dari suatu komposisi.
Pada bagian lain Dwi Ari & Antariksa (2005:79) menyatakan bahwa permukiman
tradisional memiliki pola-pola yang membicarakan sifat dari persebaran
permukiman sebagai suatu susunan dari sifat yang berbeda dalam hubungan
antara faktorfaktor yang menentukan persebaran permukiman. Terdapat kategori
zona yang beriklim tropis lembab, maka mau tidak mau keberadaan
arsitektur tradisional harus merujuk kepada iklim tropis lembab.
Konsep adaptasinya terhadap iklim setempat yang diterapkan pada
bangunan rumah tinggalnya, diyakini sebagai salah satu contoh yang
baik. Susunan massa, arah hadap (orientasi), pemilihan bentuk atap,
pemilihan bahan bangunan, teknik komposisi, semuanya benar-benar
diperhitungkan terhadap aspek iklim tropis sedemikian sehingga dapat
memberikan kenyamanan bagi penghuni rumah.
Pembangunan awal
rumah tradisional
didirikan pada tahun
Tahun 1920-an sebesar 31%,
1 1920 - 1940
Pengembangan pada tahun 1930-an
sebesar 41%, dan pada
tahun 1940-an sebesar
28%.
Semua bangunan
(100%) tradisional di
Limbungan menghadap
2 Orientasi Bangunan Timur ke arah timur. Hal ini
terkait dengan faktor
kepercayaan dan
keamanan.
13 KOTKUL
Semua rumah
tradisional Limbungan
terbuat dari bahan
alami
yaitu ilalang untuk
atap, serta dinding
terbuat dari bambu
yang
dianyam rapat, lantai
Terbuat rumah terbuat dari
Bahan dari campuran tanah liat,
3
Bangunan bahan bagian permukaan
alami lantai
terbuat dari getah
pohon
kayu banten dan bajur
(istilah lokal), dicampur
elemen hitam yang ada
dalam batu bateri, abu
jerami yang dibakar,
kemudian diolesi
dengan kotoran sapi.
Jalan di lingkungan permukiman bale asli terdiri dari jalan besar dan
jalan setapak. Jalan besar yang merupakan sirkulasi lalu lintas utama
serta sebagai ruang dalam upacara seperti pernikahan dan kematian.
Dan jalan setapak, yang berfungsi sebagai pembatas antara baris rumah
serta ruang sirkulasi untuk membawa hasil pertanian dan jalan menuju
kandang.
6. Halaman
Berfungsi sebagai ruang sirkulasi lalu lintas penduduk, halaman depan
15 KOTKUL
sebagai tempat kegiatan budaya seperti acara pernikahan, khitanan,
kematian, dan lain-lain. Halaman samping dan belakang berfungsi
sebagai kebun kecil yang ditanami tanaman berupa sayur-sayur, untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari penduduk.
2.1.5 Struktur Ruang Berdasarkan Sistem Kekerabatan
Pada ruang mikro setiap 2 (dua) sampai 5 (lima) rumah dibatasi dengan
pagar pada saat pagi hari pagar dibuka dan pada malam hari pagar ditutup, hal ini
terkait dengan fungsi keamanan. Sedangkan pada ruang makronya permukiman
tradisional dikelilingi oleh pagar yang terbuat dari kayu banten yang kuat sebagai
simbol keamanan dan pembatas.
2.1.6 Kedudukan Elemen Bangunan Berdasarkan Konsep Ketinggian Dan
Kepercayaan
Pembangunan bale dan panteq saling berhadapan seperti konsep cermin,
satu bale memiliki satu panteq. Hal ini menunjukkan bahwa panteq memiliki nilai
sakral yang memiliki simbol ekonomi. Untuk pembangunan bale yang dibangun
secara berderet berdasarkan sistem kekerabatan. Bale dan panteq dibangun
pada lahan di luar atau bahkan sangat jauh dari permukiman asalnya.
Berdasarkan penuturan warga setempat, terdapat dua faktor utama yang
menjadi penyebab sebaran makam menjadi tidak teratur. Pertama,
keterbatasan lahan di sekitar permukiman asal sehingga tidak
memungkinkan membangun makan di lokasi tersebut. Kedua, tradisi yang
mulai memudar, sehingga banyak yang berpikir untuk membangun makam di
lahan miliknya masing-masing untuk mempermudah ziarah keluarga.
Walaupun begitu, makam tetap menjadi salah satu elemen pada permukiman
Batak secara umum.
2.3 Jurnal III (Pola Spasial Permukiman Tradisional Bali Aga di Desa
Sekardadi, Kintamani)
2.3.1 Pola Spasial Permukiman
Analisis karakteristik pola spasial permukiman Desa Sekardadi bertujuan
untuk mengetahui penerapan filosofi dan konsepsi tata ruang masyarakat
tradisional Bali Pegunungan, sehingga dapat diperoleh paparan mengenai wujud
Gelebet (1982) menyebutkan bahwa ciri utama fisik desa Bali Pegunungan
adalah ruang terbuka cukup luas yang memanjang (linier) dari arah utara menuju
selatan (kajakelod), yang membagi desa menjadi dua bagian. Pada posisi yang
diametral, yakni pada ujung utara (kaja) terletak Pura Puseh, di tengah sebagai
tempat Pura Bale Agung, dan pada arah selatan (kelod) terletak Pura Dalem.
Ketiga pura tersebut dikelompokkan dalam Pura Kahyangan Tiga. Sementara itu,
fasilitas umum atau infrastuktur berada di tengah desa dan hunian penduduk
berada pada sisi kiri dan kanan jalan utama desa.
Pura Kahyangan Tiga merupakan indikator religius atas keberadaan sebuah
desa adat di Bali, terdiri atas:
a) Pura Desa, terletak di hulu desa, didedikasikan untuk Dewa Brahma,
manifestasi Tuhan sebagai Pencipta Dunia. Sementara itu, Pardiman
(1986:18) menambahkan bahwa Pura Desa lebih dikenal dengan sebutan
Pura Bale Agung: sebuah tempat suci dimana para warga desa
melakukan pertemuan dengan para leluhurnya saat-saat upacara;
Melalui tabel diatas dapat diketahui bahwa pada pola permukiman di Suku
Sasak pada jurnal 1 , hampir keseluruhan aspek mempengaruhi pola
permukimannya karena pengaruh yang besar pada tiap-tiap aspek. Berbeda pada
Desa Meat pada jurnal 2yang dimana aspek yang dominan yang mempengaruhi
pola permukimannya berasal dari aspek kekerabatan dan religi. Lain hal juga pada
pola permukiman Desa Sekardai di Bali pada Jurnal 3 dimana aspek dominan
yang paling besar mempegaruhi pola permukiman pada desa tersebut adalah aspek
religi disebabkan oleh begitu besarnya pengaruh ajaran agama hindu kepada
mayoritas masyarakat yang tinggal di setiap daerah yang ada di Bali.
24 KOTKUL