Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN PROSES PIKIR HALUSINASI


DIRSUD BANYUMAS

Disusun Oleh
RAKHMAYANTO, S.Kep
NIM. 200104072

PROGRAM PRAKTIK PROFESI NERS STASE KEPERAWATAN JIWA


UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA
PURWOKERTO
2021
HALUSINASI

A. PENGERTIAN DAN JENIS


1. Definisi
a. Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan
(stimulus) misalnya penderita mendengar suara-suara, bisikan di
telinganya padahal tidak ada sumber dari suara bisikan itu (Hawari,
2014).
b. Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi panca indera
tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem
penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh
dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat
menerima rangsangan dari luar dan dari dalam diri individu. Dengan
kata lain klien berespon terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang
hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan (Nasution,
2013).
c. Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu
penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu
penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa
stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis, 2015).
d. Halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa adanya rangsangan. Klien
merasa melihat, mendengar, membau, ada rasa raba dan rasa kecap
meskipun tidak ada sesuatu rangsang yang tertuju pada kelima indera
tersebut (Izzudin, 2016).
e. Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah
(Stuart, 2017).
2. Klasifikasi
a. Halusinasi dengar (akustik, auditorik), pasien itu mendengar suara
yang membicarakan, mengejek, menertawakan, atau mengancam
padahal tidak ada suara di sekitarnya.
b. Halusinasi lihat (visual), pasien itu melihat pemandangan orang,
binatang atau sesuatu yang tidakada.
c. Halusinasi bau / hirup (olfaktori). Halusinasi ini jarang di dapatkan.
Pasien yang mengalami mengatakan mencium bau-bauan seperti bau
bunga, bau kemenyan, bau mayat, yang tidak ada sumbernya.
d. Halusinasikecap(gustatorik). Biasanya terjadi bersamaan dengan
halusinasi bau / hirup. Pasienitumerasa (mengecap) suatu rasa di
mulutnya.
e. Halusinasi singgungan (taktil, kinaestatik). Individu yang bersangkutan
merasa ada seseorang yang meraba atau memukul. Bila raba ini
merupakan rangsangan seksual halusinasi ini disebut halusi nasiheptik.

B. PENYEBAB/ETIOLOGI
1. Faktor predisposisi
Menurut Stuart (2010), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
a. Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan
dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini
ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut:
1) Penelitian pencitraan
otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam
perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan
limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
2) Beberapa zat kimia di
otak seperti dopamin neuro transmitter yang berlebihan dan
masalah-masalah pada system receptor dopamin dikaitkan dengan
terjadinya skizofrenia.
3) Pembesaran ventrikel
dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi yang
signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan
skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi
korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan
kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-
mortem).
b. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat
mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap
atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas
adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
c. Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi
realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan,
bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
2. Faktor presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan
setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan
tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap
stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan
kekambuhan (Keliat, 2016).
Menurut Stuart (2010), faktor presipitasi terjadinya gangguan
halusinasi adalah:
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk
dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
b. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor.

C. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Hamid (2010), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi
adalah sebagai berikut:
1. Bicara sendiri.
2. Senyum sendiri.
3. Ketawa sendiri.
4. Menggerakkan bibir tanpa suara.
5. Pergerakan mata yang cepat
6. Respon verbal yang lambat
7. Menarik diri dari orang lain.
8. Berusaha untuk menghindari orang lain.\
9. Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata.
10. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.
11. Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik.
12. Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori.
13. Sulit berhubungan dengan orang lain.
14. Ekspresi muka tegang.
15. Mudah tersinggung, jengkel dan marah
16. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.
17. Tampak tremor dan berkeringat.
18. Perilaku panik.
19. Agitasi dan kataton.
20. Curiga dan bermusuhan.
21. Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan.
22. Ketakutan.
23. Tidak dapat mengurus diri.
24. Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang.
Tingkatan halusinasi, menurut Stuart (2010), terdiri dari 4 fase :
Fase I :
Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah dan
takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang
menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau
tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan
mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.
Fase II :
Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas
kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan
sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem
saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut
jantung, pernapasan dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori
dan kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.
Fase III :
Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan
menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan
dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah
dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan
terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.
Fase IV :
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah
halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak
mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu
berespon lebih dari 1 orang. Kondisi klien sangat membahayakan
D. PSIKOPATOLOGI/POHON MASALAH

E. PENATALAKSANAAN
1. Psikofarmako
Psikofarmako adalah terapi dengan menggunakan obat, tujuannya
untuk mengurangi/menghilangkan gejala gangguan jiwa. Berdasarkan
khasiat obat yang tergolong dalam pengobatan psikofarmako antara lain:
a. Clorpromazine (CPZ)
1) Aturan pakai : 3 x 25 mg/hari, kemudian dinaikan sampai dosis
optimal.
2) Indikasi : Untuk pengobatan psikosa untuk mengurangi gejala
anemis
3) Efek samping : Hipotensi, aritmis kordis, takikardi, penglihatan
kabur.
b. Tritopirazine (Stelazine)
1) Aturan pakai : 3 x 1 samapi 5 mg dosis tertinggi 50 mg/hari.
2) Indikasi : Diberikan pada pasien gangguan mental organic dan
gejala spikotik yang menarik.
3) Efek samping : Gejala extrapiramidal.

c. Diazepam
1) Indikasi : Psikoneuronesis anxietas
2) Efek samping : Mengantuk, mual, kadang-kadang konstipasi.
d. Triheksifenidil HCL (Arxne)
1) Indikasi : Berbagai bentuk parkinsonisme
2) Aturan pakai : Hari pertama diberikan 1 mg, hari ke 1 diberikan 2
mg/hari sehingga mencapai 6-10 mg/hari yang diberikan 3-4 kali
pada waktu makan.
e. Amitripilin (Laxori)
1) Indikasi : Dosis awal 75-100 mg/hari, pemulihan 25-75 mg/hari.
2) Aturan pakai : Diberikan pada klien dengan gejala depresi akibat
keluhan somatic.
2. Psikoterapi
Psikoterapi membutuhkan waktu yang relatif lama dan merupakan
bagian penting dalam proses terapeutik. Upaya dalam psikoterapi ini
meliputi ; memberikan rasa nyaman dan tenang, menciptakan lingkungan
yang tenang, bersikap empati, menerima klien apa adanya, motivasi klien
untuk dapat mengungkapkan perasaan secara verbal, bersikap ramah,
sopan dan jujur.
3. Terapi Okupasi
Terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan
partisipasi seseorang dalam melakukan aktivitas/tugas yang sengaja
dipilih dengan maksud untuk memperbaiki, memperkuat dan
meningkatkan harga diri seseorang. Terapi okupasi menggunakan
pekerjaan atau kegiatan sebagi media. Pelaksanaan terapi okupasi sesuai
dengan keadaan klien dan jenis kegiatan atau pekerjaan disesuaikan minat
klien.

F. PENGKAJIAN FOKUS
1. Risiko tinggi mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
a. Data Subjektif :

1) Klien mengatakan saya suka marah-marah kesal, tidak mau


diganggu dan pergi tanpa tujuan jika suara-suara itu muncul.
2) Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
b. Data Objektif :
1) Klien tampak suka tiduran, gelisah, mondar-mandir, melamun
ditempat tidur dan menyendiri.
2) Klien sering marah-marah tanpa sebab.
2. Perubahan persepsi sensori ; halusinasi dengar
a. Data Subjektif :
1) Klien mengatakan saya sering mendengar suara-suara yang
mengejek saya.
2) Klien mengatakan suara itu muncul ketika saya merasa bingung
dan sendirian.
b. Data Objektif :
1) Klien tampak berbicara sendiri.
2) Pandangan klien tampak terfokus satu arah.
3) Klien tampak tertawa sendiri.
4) Klien tampak mengarahkan telingan pada sumber suara.
3. Isolasi sosial
a. Data Subjektif
1) Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
2) Klien merasa ditolak oleh orang lain.
3) Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
b. Data Objektif
1) Klien banyak diam dan tidak mau bicara.
2) Kontak mata klien kurang.
3) Klien tampak sedih, dan leih senang bicara sendiri.

4. Harga Diri Rendah Kronis


a. Data Subjektif
1) Klien mengatakan rasa bersalah terhadap dirinya.
2) Klien mengatakan sulit untuk bergaul dengan orang lain.
3) Klien mengatakan kurang selera makan.
b. Data Objektif
1) Klien tampak merusak/melukai diri sendiri.
2) Klien tampak menghindari kesenangan yang memberi rasa
kepuasan.
3) Klien tampak tidak bisa menerima pujian.

G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Klasifikasi halusinasi Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan
orang lain.
b. Perubahan persepsi sensorik : halusinasi
c. Isolasi sosial : menarik diri.

H. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan
dengan halusinasi
Tujuan :Tidak terjadi perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain.
Kriteria Hasil :
a. Pasien dapat mengungkapkan perasaannya dalam keadaan saat ini
secara verbal.
b. Pasien dapat menyebutkan tindakan yang biasa dilakukan saat
halusinasi, cara memutuskan halusinasi dan melaksanakan cara yang
efektif bagi pasien untuk digunakan
c. Pasien dapat menggunakan keluarga pasien untuk mengontrol
halusinasi dengan cara sering berinteraksi dengan keluarga.
Intervensi :
a. Bina Hubungan saling percaya
b. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya.
c. Dengarkan kapan klien dengan empati
d. Adakan kontak secaras ingkat tetapi sering secara bertahap (waktu
disesuaikan dengan kondisi klien).
e. Observasi tingkahlaku : verbal dan non verbal yang berhubungan
dengan halusinasi.
f. Jelaskan pada klien tanda-tanda halusinasi dengan menggambarkan
tingkah laku halusinasi.
g. Identifikasi bersama klien situasi yang menimbulkan dan tidak
menimbulkan halusinasi, isi, waktu, frekuensi.
h. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya saat alami
halusinasi.
i. Identifikasi bersama klien tindakan yang dilakukan bila sedang
mengalami halusinasi.
j. Diskusikan cara-cara memutuskan halusinasi
k. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan cara memutuskan
halusinasi yang sesuai dengan klien.
l. Anjurkan klien untuk mengikuti terapi aktivitas kelompok
m. Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga ketika mengalami
halusinasi
n. Diskusikan dengan klien tentang manfaat obat untuk mengontrol
halusinasi.
o. Bantu klien menggunakan obat secara benar.
2. Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri
Tujuan : Klien mampu mengontrol halusinasinya
Kriteria Hasil :
a. Pasien dapat dan mau berjabat tangan.
b. Pasien mau menyebutkan nama, mau memanggil nama perawat
dan mau duduk bersama.
c. Pasien dapat menyebutkan penyebab klien menarik diri.
d. Pasien mau berhubungan dengan orang lain.
e. Setelah dilakukan kunjungan rumah klien dapat berhubungan secara
bertahap dengan keluarga
Intervensi :
a. Bina hubungan saling percaya.
b. Buat kontrak dengan klien.
c. Lakukan perkenalan.
d. Panggil nama kesukaan.
e. Ajak pasien bercakap-cakap dengan ramah.
f. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan
tanda-tandanya serta beri kesempatan pada klien mengungkapkan
perasaan penyebab pasien tidak mau bergaul/menarik diri.
g. Jelaskan pada klien tentang perilaku menarikdiri, tanda-tanda
serta yang mungkin jadi penyebab.
h. Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan
perasaan.
i. Diskusikan tentang keuntungan dari berhubungan.
j. Perlahan-lahan serta pasien dalam kegiatan ruangan dengan
melalui tahap-tahap yang ditentukan.
k. Beri pujian atas keberhasilan yang telah dicapai.
l. Anjurkan pasien mengevaluasi secara mandiri manfaat dari
berhubungan
m. Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan pasien
mengisi waktunya.
n. Motivasi pasien dalam mengikuti aktivitas ruangan.
o. Beri pujian atas keikut sertaan dalam kegiatan ruangan.
p. Lakukan kungjungan rumah, bina hubungan saling percaya
dengan keluarga.
q. Diskusikan dengan keluarga tentang perilaku menarik diri,
penyebab dan cara keluarga menghadapi.
r. Dorong anggota keluarga untuk berkomunikasi.
s. Anjurkan anggota keluarga pasien secara rutin menengok
pasien minimal sekali seminggu.
3. Isolasisosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
Tujuan : Pasien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap.
Kriteria Hasil :
a. Pasien dapat menyebutkan koping yang dapat digunakan
b. Pasien dapat menyebutkan efektifitas koping yang dipergunakan
c. Pasien mampu memulai mengevaluasi diri pasien mampu membuat
perencanaan yang realistic sesuai dengan kemampuan yang ada pada
dirinya
d. Pasien bertanggungjawab dalam setiap tindakan yang dilakukan sesuai
dengan rencana
Intervensi :
a. Dorong pasien untuk menyebutkan aspek positip yang ada pada
dirinya dari segi fisik.
b. Diskusikan dengan pasien tentang harapan-harapannya.
c. Diskusikan dengan pasien keterampilannya yang menonjol selama
dirumah dan di rumah sakit.
d. Berikan pujian.
e. Identifikasi masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pasien
f. Diskusikan koping yang biasa digunakan oleh pasien.
g. Diskusikan strategi koping yang efektif bagi pasien.
h. Bersama pasien identifikasi stressor dan bagaimana penialian pasien
terhadap stressor.
i. Jelaskan bahwa keyakinan pasien terhadap stressor mempengaruhi
pikiran dan perilakunya.
j. Bersama pasien identifikasi keyakinan ilustrasikan tujuan yang tidak
realistic.
k. Bersama pasien identifikasi kekuatan dan sumber koping yang dimiliki
l. Tunjukkan konsep sukses dan gagal dengan persepsi yang cocok.
m. Diskusikan koping adaptif dan mal adaptif.
n. Diskusikan kerugian dan akibat respon koping yang maladaptive.
o. Bantu pasien untuk mengerti bahwa hanya pasien yang dapat merubah
dirinya bukan orang lain
p. Dorong pasien untuk merumuskan perencanaan/tujuannya sendiri
(bukan perawat).
q. Diskusikan konsekuensi dan realitas dari perencanaan / tujuannya.
r. Bantu pasien untuk menetapkan secara jelas perubahan yang
diharapkan.
s. Dorong pasien untuk memulai pengalaman baru untuk berkembang
sesuai potensi yang ada pada dirinya.
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G.M, et al. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi


Bahasa Indonesia. Indonesia : Eluseiver.
Herdman, T. Heather. 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi dan
Klarifikasi 2018-2020. Jakarta : EGC
Izzudin. (2016). Analisis Pengaruh Faktor Personality terhadap Asuhan
Keperawatan pada Perawat Rawat Inap RSJ dr. Amino Gondohutomo
Semarang. Diambil pada tanggal 7 Maret 2019 dari http://eprints.undip.ac.id/
Keliat, Budi Anna dll. (2010). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa.. EGC:
Jakarta.
Maramis W.F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University
Press; 2015. p. 63-9.
Moorhead, S, et al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) Edisi Bahasa
Indonesia. Indonesia : Elseiver.
Nasution, S. S. (2013). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Perubahan
sensoro Persepsi : Halusinasi. Dibuka pada website
http://www.nersgun.multiply.multiply content.com /27 September 2014.
Rasmun, 2010, Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan
Keluarga, Jakarta, CV. Agung Seto.
Stuart, Gail W. (2010) Buku  Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai