1.1 HIV
1.1.1 Definisi HIV
Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan tubuh.
Infeksi tersebut menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh
sehingga sangat mudah untuk terinfeksi berbagai macam penyakit lain
(Kemenkes, 2017).
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah suatu spectrum
penyakit yang menyerang sel-sel kekebalan tubuh yang meliputi infeksi primer,
dengan atau tanpa sindrom akut, stadium asimtomatik, hingga stadium lanjut.
(Hidayanti Afif Nurul dkk. 2019)
2 Patogenesis HIV/AIDS
HIV setelah masuk dalam sirkulasi siskemik manusia, sel target utama
dari HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor spesifik CD4, seperti
monosit-makrofag, limfosit, sel dendritic, astrosit, mikroglia, langerhan’s yang
kebanyakan terlibat dalam sistem imun manusia. Bila HIV berhasil menggaet sel
target melaui interaksi gp120 dengan CD4, ikatan semakin diperkokoh ko-
reseptor CXCR4 dan CCR5, dan kemudian ada peran protein transmembrane
gp41 akan terjadi fusi membrane virus dan membrane sel target. Proses
selanjutnya diteruskan melalui peran enzim reverse transcriptase dan integrase
serta protase untuk mendukung proses replikasi.
Replikasi dimungkinkan melalui aktivitas enzim reverse transcriptase,
diawali oleh transkripsi terbaik RNA genomic ke DNA. Kopi DNA yang
terbentuk integritas ke genom sel manusia untuk selanjutnya disebut proviral
DNA. Komponen virus kemuadian di susun mendekati membrane sel host,
menembus membrane keluar dari dalam sel sebagai virion matur, yang potensial
penyebab infeksi pada sel lain, bahkan mampu memicu infeksi pada individu lain
bila ditransmisikan. Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga
mencapai 108-109 virus baru. Selama proses replikasi, HIV mengalami perubahan
karakter atau mutase sehingga HIV yang beredar dalam sirkulasi tubuh otomatis
bukan merupakan populasi homogen, melainkan terdiri dari berbagai kelompok
varian sebagai spesies quasi. Variasi virus ini cenderung terus mengalami mutase,
terutama pada tekanan selektif dilingkingan mikro yang penuh stesor. Hal ini
dapat memicu strain resisten terhadap obat maupun perubahan status imunologik.
Secara perlahan seiring waktu, limfosit T yang menjadi salah satu sel
target HIV akan tertekan dan semakin menurun melalui berbagai mekanisme,
seperti kematian sel secara langsung akibat hilangnya integritas membrane plasma
oleh karena infeksi virus, apoptosis, maupun oleh karena respon imun humoral
dan seluler yang berusaha melenyapkan virus HIV dan sel yang telah terinfeksi.
Penurunan limfosit T dan CD4 ini menyebabkan penurunan sistem imun sehingga
pertahanan individu terhadap mikroorganisme patigen menjadi lemah dan
meningkatkan resiko terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium
AIDS (Hidayati dk, 2019).
3 Perjalanan HIV/AIDS
Menurut Kumalasari (2012), orang yang sudah terinfeksi HIV biasanya
sulit dibedakan dengan orang yang sehat dimasyarakat. Mereka masih dapat
melakukan aktivitas seperti biasa, badan terlihat sehat dan masih dapat bekerja
dengan baik. Untuk sampai pada fase AIDS seseorang yang terinfeksi HIV akan
melalui beberapa fase yaitu:
1) Fase pertama: Masa Jendela/ Window Periode
Pada awal seorang terinfeksi HIV belum terlihat adanya ciri-ciri
meskipun dia melakukan tes darah. Karena pada fase ini sistem antibodi
terhadap HIV belum terbentuk, tetapi yang bersangkutan sudah dapat menulari
orang lain. Masa ini biasanya dialami 1-6 bulan.
2) Fase Kedua
Terjadi setelah 2-10 tahun setelah terinfeksi. Pada fase ini individu
sudah positiv HIV, tetapi belum menampakkan gejala sakit. Pada tahap ini
individu sudah dapat menularkan kepada orang lain. Kemungkinan mengalami
gejala ringan seperti flu (biasanya 2-3 hari dan akan sembuh sendiri).
3) Fase Ketiga
Pada fase ini akan muncul gejala-gejala awal penyakit. Namun, belum
dapat disebut sebagai penyakit AIDS. Pada fase ketiga ini sistem kekebalan
tubuh mulai berkurang. Gejala yang berkaitan dengan HIV antara lain:
a) Keringat yang berlebih pada waktu malam hari
b) Diare terus menerus
c) Pembengkakan kelenjar getah bening
d) Flu tidak sembuh-sembuh
e) Nafsu makan berkurang dan lemah
f) Berat badan terus berkurang
4) Fase Keempat
Fase ini sudah masuk pada tahap AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa
setelah kekebalan tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah sel T yang turun
hingga di bawah 2.001 mikroliter dan timbul penyakit tertentu yang disebut
dengan infeksi oportunistik yang merupakan penyakit-penyakit yang muncul
pada masa AIDS, yaitu:
a. Kanker khususnya kanker kulit yang disebut sarcoma kaposi
b. Infeksi paru-paru yang menyebabkan radang paru-paru dan kesulitan
bernafas
c. Infeksi khusus yang menyebabkan diare parah selama berminggu-minggu
d. Infeksi otak yang dapat menyebabkan kekacauan mental, sakit kepala dan
sariawan.
4 Cara penularan
Cara penularan HIV melalui :
1. Cairan genital : cairan sperma dan sairan vagina mengidap HIV memiliki
jumlah virus yang tinggi dan cukup banyak untuk memungkinkan penularan,
terlebih jika disertai IMS lainnya. Karena itu semua berhubungan seksual yang
beresiko dapat menularkan HIV, baik genital , oral maupun anal.
2. Kontaminasi darah atau jaringan : penularan HIV dapat terjadi melalui
kontaminasi darah seperti transfusi darah yang produknya (plasma, trombosit)
dan transplatasi organ yang tercemar virus HIV atau melalui penggunaan
peralatan medis yang tidak steril, seperti suntikan yang tidak aman, misalnya
penggunaan alat suntik bersamaan pada saat tato, tindik dan penggunaan obat.
3. Perinatal : penularan dari ibu ke janin atau bayi. Penularan ke janin terjadi
selama kehamilan melalui plasenta yang terinfeksi, sedangkan ke bayi melalui
darah atau cairan genital pada saat persalinan dan melalui ASI atau laktasi
(Hidayati dkk, 2019).
5 HIV dalam Kehamilan
Penelitian telah membuktikan bahwa HIV dapat ditularkan dalam
kehamilan yang terjadi pada masa intrauterin dan masa intrapartum. Distribusi
penularan dari ibu ke bayi diperkirakan sebagian terjadi beberapa hari sebelum
persalinan, dan pada saat plasenta mulai terpisah dari dinding uterus pada waktu
melahirkan. Penularan diperkirakan terjadi karena bayi terpapar oleh darah dan
sekresi saluran genital ibu. Suatu penelitian memberikan proporsi kemungkinan
penularan HIV dari ibu ke anak saat dalam kandungan sebesar 23-30%, persalinan
50-65%, dan saat menyusui 12-20%. Negara maju transmisi HIV dari ibu ke bayi
sebesar 15-25%, sedangkan pada negara berkembang sebesar 25-35%. Tingginya
angka transmisi ini berkaitan dengan tingginya kadar virus dalam plasenta ibu
(Setiawan, 2009).
6 Penularan HIV Dari Ibu ke Anak
Ada tiga factor utama untuk menjelaskan factor resiko penularan HIV dari ibu ke
anak :
1. Faktor Ibu
Faktor yang paling utama mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke
anak adalah kada HIV (viral load) dalam darah ibu pada saat menjelang atau
pun saat persalinan dan kadar HIV dalam air susu ibu ketika ibu menyusui
bayinya. Umumnya, satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV,
kadar HIV akan cepat sekali bertambah di tubuh seseorang. Kadar HIV
tertinggi sebesar 10 juta kopi/ml darah biasanya terjadi 3-6 minggu setelah
terinfeksi atau kita sebut sebagai infeksi primer.
Resiko penularan pada saat persalinan terjadi sekitar 10-20%, resiko
tertular pada saat menyusui sekitar 10-15%, sedangkan pada saat kehamilan
resiko penularan dari ibu ke bayi sekitar 5-10%. Jika ibu memiliki berat badan
yang rendah selama kehamilan serta kekurangan vitamin dan mineral, maka
resiko terkena berbagai penyakit infeksi juga meningkat. Resiko penularan
HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika terdapat gangguan pada
payudara ibu dan penyakit lain yang diderita oleh ibu seperti mastitis, abses,
dan luka pada putting payudara ibu.
2. Faktor Bayi dan Anak
Bayi yang lahir premature dan memiliki berat badan lahir rendah di
duga lebih rentan untuk tertular HIV dikarenakan sistem organ tubuh bayi
belum berkembang dengan baik seperti sistem kulit dan mukosanya. Bayi yang
diberikan ASI Ekslusif kemungkinan memiliki resiko lebih rendah dari pada
bayi yang diberikan makanan tambahan yaitu dengan mengkombinasikan
pemberian ASI dengan susu formula atau makanan padat lainnya.
3. Faktor Tindakan Obstetrik
Resiko terbesar penularan HIV dari ibu kepada anak pada saat
persalinan, karena pada saat persalinan tekanan pada plasenta meningkat yang
bisa menyebabkan terjadinya koneksi antara darah ibu dan darah bayi. Selain
itu, saat persalinan bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir.
Kulit bayi yang baru lahir masih sangat lemah dan lebih mudah
terinfeksi jika kontak dengan HIV. Bayi juga terinfeksi karena menelan darah
atau lender ibu (Ardhiyanti, Novita, Kiki, 2015).
Factor-faktor yang dapat meningkatkan resiko penularan HIV dari ibu
ke bayi selama persalianan adalah sebagai berikut :
1. Jenis persalianan (resiko persalinan pervaginam lebih besar dari pada
persalinan perabdominal atau SC)
2. Semakin lama persalinan berlangsung, resiko penularan HIV dari ibu ke
anak juga semakin meningkat karena akan semakin lama terjadinya kontak
antara bayi dengan darah dan lender ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam
sebelum persalinan akan meningkatkan resiko penularan hingga dua kali
lipat dibandingkan ketuban pecah kung dari 4 jam.
3. Faktor lain yang kemungkinan meningkatkan resiko penularan selama
proses persalinan adalah penggunaan electrode pada kepala janin,
penggunaan vakum atau forceps dan tindakan episiotomy (Ardhiyanti dkk,
2015).
9 Jenis Pemeriksaan
Beberapa tes untuk mendiagnosis HIV yang digunakan di Indonesia
meliputi:
1. Tes serologi HIV
Tes serologi terdiri atas tes cepat (rapid test), test enzyme
immunoassay, serta test Western Bolt (Kemenkes RI, 2014). Tes cepat dapat
mendeteksi antibody terhadap HIV-1 maupun HIV-2 dalam waktu yang
relative cepat (< 20 menit).
Tes enzyme immunoassay yang lazim dilakukan adalah ELISA,
ELISA dapat mengidentifikasi antibody terhadap HIV, tes ini sangat sensitif
tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain bisa menunjukan hasil positif.
Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan false positif antar lain penyakit
autoimun, infeksi virus, atau keganasan hematologi. Kehamilan juga bisa
menyebabkan false positif.
Tes lain yang biasa digunakan untuk menginformasikan ELISA antara
lain Western Blot (WB), indirect immunofluorescence assay (IFA) ataupun
Radio-Immuno-Precipitation Assay (RIPA). Pada daerah-daerah dimana
pervalensi HIV sangat tinggi, dua kali hasil ELISA positif ditambah gejala
klinis bisa digunakan untuk mendiagnosis HIV. Bila metode ini dipilih, makan
akan lebih baik jika dipilih dua tipe tes ELISA yang berbeda.
Tes Western Blot merupakan tes antibodi untuk konfirmasi HIV pada
kasus yang sulit. Western Blot merupakan elektroforesis gel poliakrilamid yang
digunakan untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika
tidak ada rantai makanan protein yang ditemukan, bererti hasil tes negatif.
Sementara, bila hampir atau semua rantai protein ditemukan, berarti Western
Blot positif. Tes Western Blot mungkin juga tidak menyimpulakan seorang
menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulangi setelah dua
minggu dengan sampel yang sama. Jika Western Blot tetap tidak bisa
disimpulkan maka harus diulangi setelah enam bulan. Jika hasil tes tetap
negatif maka hasilnya negatif.
2. Tes Virologi HIV
Tes Virologi HIV ini dilakukan menggunakan tehnik Polymerase
Chain Reaction (PCR). Tes ini direkomendasikan untuk mendiagnosis HIV
pada anak berusia kurang dari 18 tahun, meliputi : HIV DNA kualitatif dari
darah lengkap atau Dried Blood Spot (DBS) dan HIV RNA kuantitatif
menggunakan sampel plasma darah.
a) HIV DNA Kualitatif (IED) bertujuan mendeteksi keberadaan virus dan
tidak bergantung pada keberadaan antibody, digunakan untuk mendiagnosis
pada bayi.
b) HIV RNA Kuantitatif, bertujuan untuk memeriksa jumlah virus dalam darah
dan memantau terapi ARV pada orang dewasa, atau diagnosis pada bayi jika
HIV DNA tidak tesedia. (Nursalam dkk. 2018)
f) Peran Bidan
Peran bidan sesuai dengan Kemenkes RI tahun 2015 tentang pedoman manajemen
progam pencegahan penularan dari ibu ke anak yaitu :
a. Menganjurkan tes skrining HIV dan sifilis pada saat pelayanan antenatal dan
merujuk ibu hamil ke puskesmas yang telah mampu melakukannya
b. Melaksanakan kerjasama dengan kader peduli HIV-AIDS Kelompok Dukunga
Sebaya Orang Dengan HIV-AIDS (KDS ODHA), Lembaga Swadaya
masyarakat HIV yang ada, serta kelompok masyarakat peduli HIV-AIDS
lainnya
c. Melaksanakan rujukan kasus ke puskespas pengampu atau rumah sakit,
berjejaring dan memantau mutu pemeriksaan laboratorium HIV
d. Memberikan konseling menyusui dan persalinan aman pada ibu hamil dengan
HIV
e. Memantau kepatuhan minum obat ARV pada ibu hamil dengan HIV dan
mencegah atau memberi perawatan dasar infeksi oportunistik bila terjangkit
f. Melakukan pemantauan pengobatan dan tumbuh kembang bagi bayi lahir dari
ibu dengan HIV
g. Melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan alur yang disetujui
h. Melaksanakan pemantapan mutu internal untuk pemeriksaan laboratorium HIV
dan berjejaring dengan puskesmas pengampu untuk rujukan dana tau
pemantauan pemeriksaan laboratorium HIV