Anda di halaman 1dari 14

HAND OUT

Mata Kuliah : Ilmu Kebidanan dan Kandungan

Topik : HIV AIDS

Sub Topik: - Definisi


- Penyebab dan Penularanan
- Diagnosis
- PMTCT
- Pencegahan
Dosen Fathia Rizki

1.1 HIV
1.1.1 Definisi HIV
Human Immunodeficiency Virus (HIV) / Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan tubuh.
Infeksi tersebut menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh
sehingga sangat mudah untuk terinfeksi berbagai macam penyakit lain
(Kemenkes, 2017).
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah suatu spectrum
penyakit yang menyerang sel-sel kekebalan tubuh yang meliputi infeksi primer,
dengan atau tanpa sindrom akut, stadium asimtomatik, hingga stadium lanjut.
(Hidayanti Afif Nurul dkk. 2019)
2 Patogenesis HIV/AIDS
HIV setelah masuk dalam sirkulasi siskemik manusia, sel target utama
dari HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor spesifik CD4, seperti
monosit-makrofag, limfosit, sel dendritic, astrosit, mikroglia, langerhan’s yang
kebanyakan terlibat dalam sistem imun manusia. Bila HIV berhasil menggaet sel
target melaui interaksi gp120 dengan CD4, ikatan semakin diperkokoh ko-
reseptor CXCR4 dan CCR5, dan kemudian ada peran protein transmembrane
gp41 akan terjadi fusi membrane virus dan membrane sel target. Proses
selanjutnya diteruskan melalui peran enzim reverse transcriptase dan integrase
serta protase untuk mendukung proses replikasi.
Replikasi dimungkinkan melalui aktivitas enzim reverse transcriptase,
diawali oleh transkripsi terbaik RNA genomic ke DNA. Kopi DNA yang
terbentuk integritas ke genom sel manusia untuk selanjutnya disebut proviral
DNA. Komponen virus kemuadian di susun mendekati membrane sel host,
menembus membrane keluar dari dalam sel sebagai virion matur, yang potensial
penyebab infeksi pada sel lain, bahkan mampu memicu infeksi pada individu lain
bila ditransmisikan. Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga
mencapai 108-109 virus baru. Selama proses replikasi, HIV mengalami perubahan
karakter atau mutase sehingga HIV yang beredar dalam sirkulasi tubuh otomatis
bukan merupakan populasi homogen, melainkan terdiri dari berbagai kelompok
varian sebagai spesies quasi. Variasi virus ini cenderung terus mengalami mutase,
terutama pada tekanan selektif dilingkingan mikro yang penuh stesor. Hal ini
dapat memicu strain resisten terhadap obat maupun perubahan status imunologik.
Secara perlahan seiring waktu, limfosit T yang menjadi salah satu sel
target HIV akan tertekan dan semakin menurun melalui berbagai mekanisme,
seperti kematian sel secara langsung akibat hilangnya integritas membrane plasma
oleh karena infeksi virus, apoptosis, maupun oleh karena respon imun humoral
dan seluler yang berusaha melenyapkan virus HIV dan sel yang telah terinfeksi.
Penurunan limfosit T dan CD4 ini menyebabkan penurunan sistem imun sehingga
pertahanan individu terhadap mikroorganisme patigen menjadi lemah dan
meningkatkan resiko terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium
AIDS (Hidayati dk, 2019).

3 Perjalanan HIV/AIDS
Menurut Kumalasari (2012), orang yang sudah terinfeksi HIV biasanya
sulit dibedakan dengan orang yang sehat dimasyarakat. Mereka masih dapat
melakukan aktivitas seperti biasa, badan terlihat sehat dan masih dapat bekerja
dengan baik. Untuk sampai pada fase AIDS seseorang yang terinfeksi HIV akan
melalui beberapa fase yaitu:
1) Fase pertama: Masa Jendela/ Window Periode
Pada awal seorang terinfeksi HIV belum terlihat adanya ciri-ciri
meskipun dia melakukan tes darah. Karena pada fase ini sistem antibodi
terhadap HIV belum terbentuk, tetapi yang bersangkutan sudah dapat menulari
orang lain. Masa ini biasanya dialami 1-6 bulan.
2) Fase Kedua
Terjadi setelah 2-10 tahun setelah terinfeksi. Pada fase ini individu
sudah positiv HIV, tetapi belum menampakkan gejala sakit. Pada tahap ini
individu sudah dapat menularkan kepada orang lain. Kemungkinan mengalami
gejala ringan seperti flu (biasanya 2-3 hari dan akan sembuh sendiri).
3) Fase Ketiga
Pada fase ini akan muncul gejala-gejala awal penyakit. Namun, belum
dapat disebut sebagai penyakit AIDS. Pada fase ketiga ini sistem kekebalan
tubuh mulai berkurang. Gejala yang berkaitan dengan HIV antara lain:
a) Keringat yang berlebih pada waktu malam hari
b) Diare terus menerus
c) Pembengkakan kelenjar getah bening
d) Flu tidak sembuh-sembuh
e) Nafsu makan berkurang dan lemah
f) Berat badan terus berkurang
4) Fase Keempat
Fase ini sudah masuk pada tahap AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa
setelah kekebalan tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah sel T yang turun
hingga di bawah 2.001 mikroliter dan timbul penyakit tertentu yang disebut
dengan infeksi oportunistik yang merupakan penyakit-penyakit yang muncul
pada masa AIDS, yaitu:
a. Kanker khususnya kanker kulit yang disebut sarcoma kaposi
b. Infeksi paru-paru yang menyebabkan radang paru-paru dan kesulitan
bernafas
c. Infeksi khusus yang menyebabkan diare parah selama berminggu-minggu
d. Infeksi otak yang dapat menyebabkan kekacauan mental, sakit kepala dan
sariawan.
4 Cara penularan
Cara penularan HIV melalui :
1. Cairan genital : cairan sperma dan sairan vagina mengidap HIV memiliki
jumlah virus yang tinggi dan cukup banyak untuk memungkinkan penularan,
terlebih jika disertai IMS lainnya. Karena itu semua berhubungan seksual yang
beresiko dapat menularkan HIV, baik genital , oral maupun anal.
2. Kontaminasi darah atau jaringan : penularan HIV dapat terjadi melalui
kontaminasi darah seperti transfusi darah yang produknya (plasma, trombosit)
dan transplatasi organ yang tercemar virus HIV atau melalui penggunaan
peralatan medis yang tidak steril, seperti suntikan yang tidak aman, misalnya
penggunaan alat suntik bersamaan pada saat tato, tindik dan penggunaan obat.
3. Perinatal : penularan dari ibu ke janin atau bayi. Penularan ke janin terjadi
selama kehamilan melalui plasenta yang terinfeksi, sedangkan ke bayi melalui
darah atau cairan genital pada saat persalinan dan melalui ASI atau laktasi
(Hidayati dkk, 2019).
5 HIV dalam Kehamilan
Penelitian telah membuktikan bahwa HIV dapat ditularkan dalam
kehamilan yang terjadi pada masa intrauterin dan masa intrapartum. Distribusi
penularan dari ibu ke bayi diperkirakan sebagian terjadi beberapa hari sebelum
persalinan, dan pada saat plasenta mulai terpisah dari dinding uterus pada waktu
melahirkan. Penularan diperkirakan terjadi karena bayi terpapar oleh darah dan
sekresi saluran genital ibu. Suatu penelitian memberikan proporsi kemungkinan
penularan HIV dari ibu ke anak saat dalam kandungan sebesar 23-30%, persalinan
50-65%, dan saat menyusui 12-20%. Negara maju transmisi HIV dari ibu ke bayi
sebesar 15-25%, sedangkan pada negara berkembang sebesar 25-35%. Tingginya
angka transmisi ini berkaitan dengan tingginya kadar virus dalam plasenta ibu
(Setiawan, 2009).
6 Penularan HIV Dari Ibu ke Anak
Ada tiga factor utama untuk menjelaskan factor resiko penularan HIV dari ibu ke
anak :
1. Faktor Ibu
Faktor yang paling utama mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke
anak adalah kada HIV (viral load) dalam darah ibu pada saat menjelang atau
pun saat persalinan dan kadar HIV dalam air susu ibu ketika ibu menyusui
bayinya. Umumnya, satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV,
kadar HIV akan cepat sekali bertambah di tubuh seseorang. Kadar HIV
tertinggi sebesar 10 juta kopi/ml darah biasanya terjadi 3-6 minggu setelah
terinfeksi atau kita sebut sebagai infeksi primer.
Resiko penularan pada saat persalinan terjadi sekitar 10-20%, resiko
tertular pada saat menyusui sekitar 10-15%, sedangkan pada saat kehamilan
resiko penularan dari ibu ke bayi sekitar 5-10%. Jika ibu memiliki berat badan
yang rendah selama kehamilan serta kekurangan vitamin dan mineral, maka
resiko terkena berbagai penyakit infeksi juga meningkat. Resiko penularan
HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika terdapat gangguan pada
payudara ibu dan penyakit lain yang diderita oleh ibu seperti mastitis, abses,
dan luka pada putting payudara ibu.
2. Faktor Bayi dan Anak
Bayi yang lahir premature dan memiliki berat badan lahir rendah di
duga lebih rentan untuk tertular HIV dikarenakan sistem organ tubuh bayi
belum berkembang dengan baik seperti sistem kulit dan mukosanya. Bayi yang
diberikan ASI Ekslusif kemungkinan memiliki resiko lebih rendah dari pada
bayi yang diberikan makanan tambahan yaitu dengan mengkombinasikan
pemberian ASI dengan susu formula atau makanan padat lainnya.
3. Faktor Tindakan Obstetrik
Resiko terbesar penularan HIV dari ibu kepada anak pada saat
persalinan, karena pada saat persalinan tekanan pada plasenta meningkat yang
bisa menyebabkan terjadinya koneksi antara darah ibu dan darah bayi. Selain
itu, saat persalinan bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir.
Kulit bayi yang baru lahir masih sangat lemah dan lebih mudah
terinfeksi jika kontak dengan HIV. Bayi juga terinfeksi karena menelan darah
atau lender ibu (Ardhiyanti, Novita, Kiki, 2015).
Factor-faktor yang dapat meningkatkan resiko penularan HIV dari ibu
ke bayi selama persalianan adalah sebagai berikut :
1. Jenis persalianan (resiko persalinan pervaginam lebih besar dari pada
persalinan perabdominal atau SC)
2. Semakin lama persalinan berlangsung, resiko penularan HIV dari ibu ke
anak juga semakin meningkat karena akan semakin lama terjadinya kontak
antara bayi dengan darah dan lender ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam
sebelum persalinan akan meningkatkan resiko penularan hingga dua kali
lipat dibandingkan ketuban pecah kung dari 4 jam.
3. Faktor lain yang kemungkinan meningkatkan resiko penularan selama
proses persalinan adalah penggunaan electrode pada kepala janin,
penggunaan vakum atau forceps dan tindakan episiotomy (Ardhiyanti dkk,
2015).

7 Waktu dan Resiko Penularan HIV dari Ibu ke Bayi


Pada masa kehamilan, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu
dipisahkan oleh beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Hanya oksigen, zat
makanan, antibody dan obat-obatan yang dapat menembus plasenta, namun HIV
tidak dapat menembusnya. Plasenta justru melindungi janin dari infeksi HIV.
Tetapi, jika terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta, maka
HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi penularan ibu ke anak. Penularan
HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan pada saat
menyusui. Resko penularan HIV dari ibu ke anak selama kehamilan, saat
melahirkan dan waktu menyusui berkisar antara 20%-45% dapat ditekan menjadi
hanya 2%-5% dengan melakukan program intervensi pencegahan penularan dari
ibu ke anak atau PPIA (Ardhiyanti dkk, 2015).
8 Beberapa jenis konseling
Terdapat dua pendekatan untuk tes HIV:
1) Konseling dan tes HIV sukarela ( VCT = Voluntary Counseling and Testing)
2) Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (PITC = Provider-
Initiated Testing and Counseling) (Hidayati dkk, 2019).

9 Jenis Pemeriksaan
Beberapa tes untuk mendiagnosis HIV yang digunakan di Indonesia
meliputi:
1. Tes serologi HIV
Tes serologi terdiri atas tes cepat (rapid test), test enzyme
immunoassay, serta test Western Bolt (Kemenkes RI, 2014). Tes cepat dapat
mendeteksi antibody terhadap HIV-1 maupun HIV-2 dalam waktu yang
relative cepat (< 20 menit).
Tes enzyme immunoassay yang lazim dilakukan adalah ELISA,
ELISA dapat mengidentifikasi antibody terhadap HIV, tes ini sangat sensitif
tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain bisa menunjukan hasil positif.
Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan false positif antar lain penyakit
autoimun, infeksi virus, atau keganasan hematologi. Kehamilan juga bisa
menyebabkan false positif.
Tes lain yang biasa digunakan untuk menginformasikan ELISA antara
lain Western Blot (WB), indirect immunofluorescence assay (IFA) ataupun
Radio-Immuno-Precipitation Assay (RIPA). Pada daerah-daerah dimana
pervalensi HIV sangat tinggi, dua kali hasil ELISA positif ditambah gejala
klinis bisa digunakan untuk mendiagnosis HIV. Bila metode ini dipilih, makan
akan lebih baik jika dipilih dua tipe tes ELISA yang berbeda.
Tes Western Blot merupakan tes antibodi untuk konfirmasi HIV pada
kasus yang sulit. Western Blot merupakan elektroforesis gel poliakrilamid yang
digunakan untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika
tidak ada rantai makanan protein yang ditemukan, bererti hasil tes negatif.
Sementara, bila hampir atau semua rantai protein ditemukan, berarti Western
Blot positif. Tes Western Blot mungkin juga tidak menyimpulakan seorang
menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulangi setelah dua
minggu dengan sampel yang sama. Jika Western Blot tetap tidak bisa
disimpulkan maka harus diulangi setelah enam bulan. Jika hasil tes tetap
negatif maka hasilnya negatif.
2. Tes Virologi HIV
Tes Virologi HIV ini dilakukan menggunakan tehnik Polymerase
Chain Reaction (PCR). Tes ini direkomendasikan untuk mendiagnosis HIV
pada anak berusia kurang dari 18 tahun, meliputi : HIV DNA kualitatif dari
darah lengkap atau Dried Blood Spot (DBS) dan HIV RNA kuantitatif
menggunakan sampel plasma darah.
a) HIV DNA Kualitatif (IED) bertujuan mendeteksi keberadaan virus dan
tidak bergantung pada keberadaan antibody, digunakan untuk mendiagnosis
pada bayi.
b) HIV RNA Kuantitatif, bertujuan untuk memeriksa jumlah virus dalam darah
dan memantau terapi ARV pada orang dewasa, atau diagnosis pada bayi jika
HIV DNA tidak tesedia. (Nursalam dkk. 2018)

10 Peraturan Menteri Kesehatan Mengenai HIV/AIDS


a. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013
Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS :
Pasal 1 : “Penanggulangan adalah segala upaya yang meliputi pelayanan
promotif, preventif, diagnosis, kuratif dan rehabilitatif yang ditujukan untuk
menurunkan angka kesakitan, angka kematian, membatasi penularan serta
penyebaran penyakit agar wabah tidak meluas ke daerah lain serta mengurangi
dampak negatif yang ditimbulkannya.”
Pasal 16 : “pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya.”
Pasal 17 :
1) Terhadap ibu hamil yang memeriksakan kehamilan harus dilakukan promosi
kesehatan dan pencegahan penularan HIV.
2) Pencegahan penularan HIV terhadap ibu hamil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui pemeriksaan diagnostis HIV dengan tes dan
konseling.
3) Tes dan Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianjurkan sebagai
bagian dari pemeriksaan laboratorium rutin saat pemeriksaan asuhan
antenatal atau menjelang persalinan.
b. Permenkes RI No. 52 tahun 2017 tentang Eliminasi Penularan Human
Immunodeficiency Virus (HIV), Sifilis, dan Hepatitis B dari ibu ke anak.
Pada pasal 10 ayat 2 yaitu : “ Deteksi dini sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1
dilakukan melalui pemeriksaan darah pada ibu hamil paling sedikit 1x selama
kehamilan”.
c. Permenkes RI No. 52 tahun 2017 tentang Eliminasi Penularan Human
Immunodeficiency Virus (HIV), Sifilis, dan Hepatitis B dari ibu ke anak “Sebagai
bentuk tanggung jawab negara dalam menjamin kelangsungan hidup anak maka perlu
dilakukan upaya untuk memutus rantai penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B melalui
Eliminasi Penularan. Upaya Eliminasi Penularan HIV, Sifilis dan Hepatitis B
dilakukan secara bersama-sama karena infeksi HIV, Sifilis, dan Hepatitis B memiliki
pola penularan yang relatif sama, yaitu ditularkan melalui hubungan seksual,
pertukaran atau kontaminasi darah, dan secara vertikal dari ibu ke anak. Eliminasi
Penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B bersama-sama atau yang sering disebut “Triple
Eliminasi” ini dilakukan untuk memastikan bahwa sekalipun ibu terinfeksi HIV,
Sifilis, dan/atau Hepatitis B sedapat mungkin tidak menular ke anaknya.”

2.1 VCT (Voluntary Counselling and Testing)


1. Definisi VCT
Voluntary Counselling and Testing (VCT) adalah suatu pembinaan dua
arah atau dialog yang berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya
dengan tujuan untuk mencegah penularah HIV, memberikan dukungan moral,
informasi, serta dukungan lainnya kepada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA),
keluarga dan lingkungannya (Nursalam dkk, 2018).
2. Tujuan Pemeriksaan VCT
1. Upaya pencegahan HIV/AIDS
2. Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi atau
pengetahuan mereka tentang faktor-faktor resiko penyebab seseorang
terinfeksi HIV.
3. Upaya pengembangan perubahan perilaku, sehingga secara dini mengarahkan
mereka menuju program pelayanan dan dukungan termasuk askes terapi
antiretroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat
(Nursalam dkk, 2018).

b) Prinsip pelaksanaan VCT


1. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV
Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan pasien, dengan
tanpa paksaa, dan tanpa tekanan. Keputusan untuk dilakukan pemeriksaan
berada pada keputusan pasien. Kecuali pemeriksaan HIV pada darah donor di
unit transfusi dan transplantasi jaringan, organ, dan sel.
2. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas
Layanan harus bersifat professional serta menghargai hak dan martabat
sebuah klien. Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga
kerahasiaannya oleh konselor dan petugas kesehatan.
3. Mempertahankan hubungan relaksasi dengan konselor –klien yang efektif
Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan
mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi perilaku
beresiko. Dalam VCT juga dibicarakan respond an perasaan klien dalam
menerima hasil testing dan tahapan penerimaan hasil testing positif.
(Nursalam dkk, 2018)
c) Tahap VCT
1. Sebelum Deteksi HIV ( Pra-Konseling)
Pra konseling juga disebut konseling pencegahan AIDS. Dua hal
dalam konseling ini, yaitu aplikasi perilaku klien yang menyebabkan klien
dapat beresiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS dan apakah klien mengetahui
tentang HIV/AIDS.
Apabila klien tidak beresiko, biasanya setelah mengetahui dengan
benar bagaimana cara AIDS menular, maka klien akan membatalkan
pemeriksaan. Konselor harus lebih hati-hati pada klien dengan perilaku
beresiko tinggi Karena harus di teruskan secara rinci tentang akibat yang akan
timbul apabila hasil tes sudah keluar. Tujuan dari konseling ini adalah untuk
mengubah pola tingkah laku.
Tujuan konseling pra-tes HIV/AIDS :
a. Klien memahami benar kegunaan tes HIV/AIDS
b. Klien dapat menilai resiko dan mengerti persoalan dirinya
c. Klien dapat menurunkan rasa kecemasan
d. Klien dapat membuat rencana penyesuaian diri dalam kehidupannya
e. Klien memilih dan memahami apakah ia akan melakuka tes darah
HIV/AIDS atau tidak
2. Deteksi HIV (sesuai keinginan klien dan setelah klien menandatangani lembar
persetujuan-informed consent)
Tes HIV adalah tes darah yang digunakan untuk memastikan apakah
seseorang sudah positif terinfeksi HIV atau belum. Caranya adalah dengan
cara mendeteksi ada atau tidaknya antibody HIV dalam sampel darahnya. Hal
ini perlu dilakukan agar seseorang bisa mengetahui secara pasti status
kesehatan yang menyangkut resiko dari perilakunya selama ini.
Tes HIV harus bersifat :
a. Sukarela : orang yang akan melakukan tes HIV haruslah berdasarkan atas
kesadaran sendiri, bukan atas paksaan atau tekanan orang lain. Hai ini ia
menyetujui untuk dilakukan tes, setelah ia mengetahui hal-hal apa saja
yang tercakup, dalam tes itu, apa keuntungan dan kerugian tes itu, serta
apasaja implikasi dari hasil tes yang positif ataupun hasil yang negatif.
b. Rahasia : apapun hasil tes ini baik positif maupun negatif hanya boleh
diberitahu langsung kepada orang yang bersangkutan.
c. Tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, baik orang tua atau pasangan
dan lain-lain
3. Pasca konseling : konseling setelah deteksi HIV
Pasca konseling merupakan kegiatan konseling yang harus diberikan setelah
hasil tes diketahui. Konseling pasca tes sangat penting untung membantu
mereka yang hasil HIV positif agar dapat mengetahui cara menghindarkan
penularan HIV kepada orang lain. Cara untuk bida mengatasinya dan
menjalani hidup secara positif. Bagi mereka yang hasil tesnya negatif, maka
konseling pasca tes bermanfaat untuk membantu tentang berbagaicara
mencegah infeksi HIV di masa mendatang.
Konseling pasca tes memiliki beberapa tujuan yang berbeda bergantung pada
hasil tes. Apabila hasil tes negatif, maka diharapkan dengan konseling yaitu
dapat memahami arti periode jandela, klien membuat keputusan akan tes
ulang atau tidak, kapan waktu tepat untuk mengulang, klien dapat
mengembangkan pedoman praktis bagi dirinya untuk mengurangi resiko
melalui perilakunya. Sementara apabila tes positif, maka diharapkan klien
memiliki beberapa pencapaian yaitu:
a. Klien memahami dan menerima hasil tes secara tepat
b. Klien dapat menurunkan masalah psikologis dan emosi karena hasil tes
(Nursalam dkk, 2018)
d) Tujuan Pemeriksaan Pada Ibu Hamil
Tujuan pemeriksaan HIV pada ibu hamil adalah untuk mencegah
terjadinya kasus HIV pada bayi yang dilahirkan oleh ibu ke bayi dapat terjadi
selama masa kehamilan, saat persalinan dan selama menyusui. Infeksi HIV pada
bayi dapat menyebabkan kesakitan, kecacatan dan kematian sehingga dampak
buruk pada kelangsungan dan kualitas hidup anak (Kemenkes RI, 2018).
e) Layanan Konseling dan Tes HIV
Konseling adalah suatu bentuk dialog untuk menolong seseorang agar
memperoleh pengertian yang lebih baik mengenai dirinya dan permasalahan yang
sedang dihadapi, sehingga mampu mengambil langkah-langkah.
Konseling dalam AIDS disebut dengan istilah VCT (Voluntary Counseling and
Testing).
1. Menolong seseorang memperoleh pengertian yang benar tentang penyakit
tersebut, bagaimana pencegahan penularan HIV, memberikan dukungan moril
bagi ODHA dan lingkungannya
2. Konseling bukanlah percakapan tanpa tujuan
3. Konseling bukan berarti memberi nasehat atau intruksi pada orang untuk
melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak konselornya
Layanan dan konseling tes HIV dilakukan melalui pendekatan Provider Initiated
Test and Counseling (PITC) dan Voluntary Counseling and Testing (VCT), yang
merupakan komponen penting dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu
ke anak. Cara untuk mengetahui status HIV seseorang adalah melalui tes darah.
Prosedur pelaksanaan tes darah didahului dengan konseling sebelum dan sesudah
tes (Counseling), menjaga kerahasiaan (Confidensiality), serta adanya persetujuan
tertulis (Informed Consent). Jika status HIV sudah diketahui, untuk ibu dengan
status HIV positif dilakukan intervensi agar ibu tidak menularkan HIV kepada
bayi yang dikandungnya. Untuk yang HIV negatif, mereka juga mendapat
konseling tentang bagaimana menjaga perilakunya agar tetap berstatus HIV
negatif. Layanan konseling dan tes HIV tersebut dijalankan dilayanan HIV-AIDS,
layanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana di tiap jenjang
pelayanan kesehatan (Ardhiyanti dkk, 2015).

f) Peran Bidan
Peran bidan sesuai dengan Kemenkes RI tahun 2015 tentang pedoman manajemen
progam pencegahan penularan dari ibu ke anak yaitu :
a. Menganjurkan tes skrining HIV dan sifilis pada saat pelayanan antenatal dan
merujuk ibu hamil ke puskesmas yang telah mampu melakukannya
b. Melaksanakan kerjasama dengan kader peduli HIV-AIDS Kelompok Dukunga
Sebaya Orang Dengan HIV-AIDS (KDS ODHA), Lembaga Swadaya
masyarakat HIV yang ada, serta kelompok masyarakat peduli HIV-AIDS
lainnya
c. Melaksanakan rujukan kasus ke puskespas pengampu atau rumah sakit,
berjejaring dan memantau mutu pemeriksaan laboratorium HIV
d. Memberikan konseling menyusui dan persalinan aman pada ibu hamil dengan
HIV
e. Memantau kepatuhan minum obat ARV pada ibu hamil dengan HIV dan
mencegah atau memberi perawatan dasar infeksi oportunistik bila terjangkit
f. Melakukan pemantauan pengobatan dan tumbuh kembang bagi bayi lahir dari
ibu dengan HIV
g. Melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan alur yang disetujui
h. Melaksanakan pemantapan mutu internal untuk pemeriksaan laboratorium HIV
dan berjejaring dengan puskesmas pengampu untuk rujukan dana tau
pemantauan pemeriksaan laboratorium HIV

Anda mungkin juga menyukai