Anda di halaman 1dari 6

Intelektualisme dalam Pendidikan

Akidah

FREEPIK
Bagikan:

WhatsAppTelegramFacebookTwitterEmai
lShare
Oleh: Kholili Hasib

Hidayatullah.com | TAHUN 2016 saya mengisi training pemikiran Islam di


sebuah kampus terkemuka di Surabaya. Mayoritas peserta dari mahasiswa
perguruan tinggi negeri di Surabaya.

Mahasiswa dari perguruan tinggi Islam tidak banyak. Materi yang saya
sampaikan berjudul “Akidah dan Ilmu Kalam”.
Materi yang saya berikan lebih saya tekankan pada dasar-dasar
serta framework pengkajian. Meski saya sentuh juga beberapa isu kalam yang
lumayan mendalam. Seperti teori tentang teori wujud.

Saya terangkan tentang teori wujud karena salah satu sifat Allah Swt dari dua
puluh itu adalah sifat wujud yang pertama. Pengertian wujud, perbedaan
dengan ‘adam (tidak ada), kapan sesuatu itu disebut wujud dan kapan tidak.
Lalu tentang tingkatan wujud (maratibul wujud). Allah Swt
merupakan wujud paling tinggi.

Jika kajian ini diteruskan, maka akan sampai pada area kajian tasawuf. Justru
para mahasiswa peserta training tertarik untuk meneruskan kajian pada area
tasawuf. Tentu saja saya tidak berani. Karena harus ada dasar sebelumnya agar
pemahaman yang diterima adalah utuh.

Beberapa pertanyaan mahasiswa saya simpan jawabannya.  Memang, kajian-


kajian akidah dalam tradisi Madzhab Asy’ari ini akan membuka pada ‘gerbang’
tasawuf.

Kepentingan dari kajian seperti ini, sebagai contoh, mempelajari sifat pertama
Allah yaitu wujud itu bukan saja pasti akan memahami hakikat Tuhan yang
secara otomatis menafikan ateisme, akan tetapi mengajak mahasiswa untuk
berfikir lebih tinggi lagi.

Materi “Akidah dan Ilmu Kalam” yang saya sampaikan merupakan ringkasan
mata kuliah yang saya ajar di IAI Darullughah Wadda’wah Bangil. Saya
mengajar mata kuliah ilmu kalam sejak 2017.

Di dalam training maupun di kelas kuliah, saya mendesign materi agar materi


ini menjadi salah satu “latihan” berfikir tinggi.  Berfikir tertinggi itu berfikir
pada level tasawuf.

Namun dasar pijakannya adalah akidah dan ilmu kalam. Ilmu akidah atau ilmu
kalam mengajar untuk berfikir secara rasional. Pemikiran-pemikiran dan
keyakinan menyimpang dijawab secara rasional dalam ilmu ini. Sehingga
keyakinan-keyakinan tentang pokok-pokok akidah dapat dibuktikan
secara aqliyah. Tetapi dalam tasawuf, berfikirnya sudah suprarasional. Satu
tingkatan berfikir yang tinggi.

Mahasiswa, khususnya yang sedang belajar pada jurusan/program studi ilmu-


ilmu alam, sangat perlu mendapatkan materi akidah ilmu kalam ini. Karena,
disamping mengajak mahasiswa berfikir tinggi, mengasah akal dan menguji
rasionalitas seorang Muslim. Juga  beberapa isu akidah yang terhubung
dengan ilmu yang sedang ditekuni dalam program studinya.

TERKAIT

Konsep Kebahagiaan dalam Pandangan Alam Islam

Kecerdasan dan Keimanan

Toleransi Antar Umat Beragama di Indonesia


Islamofobia dan Gerakan Westernisasi

Syaikh Ibrahim al-Laqqani menulis  sebuah syair: Fandzur ila nafsika tsumman


taqil, lil ‘alam al-‘ulwi tsumma as-sufli (Kemudian berfikirlah tentang jiwamu
kemudian tentang alam ulwi dan berlanjut kepada alam sufli). Syair ini ditulis
di dalam karya nya berjudul Jauharatu at-Tauhid.

Kitab tentang ilmu akidah yang disusun dalam bentuk syair. Syaikh Ibrahim
dalam kitab syarahnya menjelaskan bahwasannya salah satu cara mengenal
Allah Swt (ma’rifatullah) adalah dengan melakukan penelaah tentang hakikat
jiwa, menelaah tentang alam semesta ini. Ia kemudian menukil sebuah riwayat
saidina Ali radhiallahu ‘anhu: Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa
rabbahu (barangisapa yang mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya).

Dengan demikian, media ma’rifatullah itu adalah diantaranya dengan


melakukan penelitian terhadap diri dan alam semesta yang dapat dipelajari
melalui ilmu sains.

Belajar ilmu akidah memang perlu diawali dengan dasar-dasar epistemologis,


sebagai sebuah perangkat penting untuk membangun pondasi keyakinan dan
pemikiran. Syaikh Al-Baijuri dalam Kifayatul Awam menerangkan tentang tiga
macam hukum ilmu di awal kitabnya, yaitu; al-wajib, al-mustahil dan al-jaiz.
Al-Wajib dibagi menjadi dua yaitu; dharuri (aksiomatis) dan nadzari (teoritis).

Imam Nasafi dalam kitab al-‘Aqaid memulai pembahasan akidah dengan


pembahasan tentang sebab-sebab ilmu: Wa anna asbabal ilmi lil khalqi
tsalasatun: al-hawas as-salimah wal-khabar as-shadiq wal aql (Sesungguhnya
sebab-sebab ilmu itu ada tiga yaitu indra yang sehat, khabar shadiq dan akal).
Imam Nasafi perlu menjelaskan sumber-sumber ilmu yang diakui Aswaja,
sebab ada kolompok-kelompok yang menolak itu.
Di antara yang menolak itu adalah golongan sufastaiyyah. Golongan ini
terbagi menjadi tiga. Pertama, Allaadriyah. Mereka golongan yang menjadikan
keragu-raguan (syak) sebagai metode. Meragukan hakikat sesuatu. Bahkan
mereka meragukan wujud mereka sendiri. Mereka ragu apakah dalam diri
mereka atau dalam ilmu itu ada hakikatnya.

Kedua, Al-Inadiyyah. Golongan ini menolak (inad) terhadap kemungkinan


manusia mencapai ilmu. Ilmu yang pasti ia ragui. Bahwa manusia tidak bisa
sampai pada level pengetahuan mutlak.

Ketiga, Al-Indiyyah. Mereka kaum subjektivisme. Yaitu bahwa kebenaran itu


tergantung oleh tiap-tiap golongan atau orang. Mereka mirip dengan kaum
relativisme, yaitu merelatifkan kebenaran.

Dalam kitab al-Farqu baina al-Firaq karya Abdul Qahir al-Baghdadi juga


demikian di dalamnya dijelaskan tentang pembagian ilmu menjadi tiga
yaitu: ilmu badihi, ilmu hissi dan ilmu istidlali. Ilmu badihi adalah pengetahuan
yang bersifat aksiomatis diperoleh tanpa penelitian penalaran terlebih
dahulu. Ilmu hissi yaitu ilmu indrawi yang diperoleh melalui jalan pengindraan
dan ilmu istidlali diperoleh melalui pembuktian dan penelitian.

Al-Baqillani memulai kajian ilmu kalam dengan penjelasan tentang hakikat


ilmu, akal, nalar dan klasifikasi ilmu. Karena itu, pada masa fase awal ilmu
kalam berkaitan dengan ilmu ushul. Atau dengan kata lain, kajian ilmu ushul
itu bersentuhan dengan teologi.

Hal ini diakui oleh George Makdisi bahwa ilmu ushul yang dikodifikasi oleh
Imam Syafi’i tidak ada yang baru. Kandungan kitab al-Risalah- nya
berhubungan dengan ushul al-din. Sehingga Makdisi menyebut ilmu ini
dengan Juridical Theology.

Menurut Makdisi, sebagaimana dirujuk oleh Nirwan Syafrin, tujuan Imam


Syafi’i menkodifiksi ilmu ushul ini adalah untuk meletakkan dasar berpikir
ilmiah untuk menentang pola pikir kalam yang pada saat itu dipresentasikan
oleh kelompok Mu’tazilah (Jurnal Tsaqafah Vo. 5, No. I, Zulqa’dah 1429, hal. 9).
Dengan demikian, kepentingan belajar ilmu akidah bagi mahasiswa adalah,
bukan sekedar dirasatul firaq (studi aliran-aliran/firqah), akan tetapi lebih dari
itu bagaimana akidah menjadi the mother of science (induk ilmu pengetahuan).
Pengkajian dengan framework seperti ini tentu saja sebuah pembahasan yang
epistemologis.

Pendidikan akidah sudah saatnya memang tidak sempit seperti dirasatul firaq,


namun bagaimana Pendidikan akidah itu menjadi kajian yang mengajak
berfikir mahasiswa untuk berfikir lebih tinggi lagi. Banyak para ahli sains yang
mengambil faidah dari teori-teori ahli kalam terdahulu.

Justru para mahasiswa yang studi ilmu-ilmu sains sangat membutuhkan ilmu
akidah dengan framework seperti ini. Meningkatkan intelektualisme dan
‘radikalisme’. Yaitu radikalisme dalam arti berfikir mendalam dan sampai
akarnya.*

Rep: Admin Hidcom


Editor: Insan Kamil

Anda mungkin juga menyukai