5273 14973 1 PB
5273 14973 1 PB
ABSTRAK
Keberadaan rumah tradisional berupa rumah panggung tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan masyarakat yang
bermukim di wilayah Asia Tenggara. Sebagian besar rumah tradisional di Indonesia berupa rumah panggung.
Pengetahuan mengenai aliran angin di sekitar bangunan merupakan hal yang penting bagi perencanaan bangunan
maupun kawasan pemukiman. Aliran angin yang mengenai bangunan memberikan dampak dari ketahanan struktur
dan perpindahan termal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak aliran angin yang melalui kolong
rumah dan pengaruhnya terhadap distribusi kecepatan angin dan tekanan statis pada beberapa ketinggian rumah
panggung. Dilakukan metode eksperimental terhadap 6 ketinggian kolong rumah, 0 cm, 50 cm, 100 cm, 150 cm, 200
cm, dan 250 cm. Metode pengujian pertama melalui uji alat wind tunnel dengan prinsip Bernouli dan kedua melalui
simulasi CFD (Computational Fluid Dynamic). Hasil dari pengujian diperoleh nilai drag force tertinggi tertinggi
yakni pada kolong 250 cm dengan nilai drag force 212.000. Hal ini berarti semakin tinggi kolong suatu rumah,
semakin tinggi resiko kerusakan rumah akibat angin.
Kata Kunci: Kolong Rumah Panggung, Tekanan Udara, Kecepatan Angin, Wind Tunnel, CFD
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang beriklim tropis lembab dan negara kepulauan yang terletak di antara
dua benua yaitu Benua Asia dan Benua Australia, serta berada di antara dua samudera yaitu Samudra Hindia dan
Samudra Pasifik. Kondisi iklim ini menjadi tantangan tersendiri bagi para perancang dalam menentukan desain
bangunan. Selain itu, faktor letak geografis Indonesia tersebut mempunyai pengaruh terhadap perubahan angin asia
dan angin australia yang selalu berganti arah dua kali selama setahun, hal ini terjadi karena mengikuti pergeseran
matahari ke arah utara/selatan garis khatulistiwa.
Pada musim pancaroba, cuaca di wilayah Indonesia terkadang tak mudah di prediksi. Kejadian cuaca ekstrim
pada musim pancaroba yang paling banyak adalah bencana angin puting beliung. Setiap tahun terjadi bencana angin
kencang di Indonesia. Melihat hasil data perbandingan bencana alam per jenis kejadian selama periode tahun 1815-
2014 (BNPB dalam http://bmkg.go.id) yang terjadi di wilayah Indonesia, angin puting beliung menempati urutan ke
2 terbesar yaitu 21 %. Data dari BNPB, selama tahun 2013 telah terjadi kejadian angin puting beliung di wilayah
Indonesia sebanyak 503 kejadian, jumlah meninggal 31 jiwa, luka-luka 171 jiwa, menderita 45.774 jiwa, mengungsi
1.598 jiwa, serta rumah rusak ringan hingga rusak berat sebanyak 26.703 unit. Sebagian besar korban luka-luka dan
meninggal karena tertimpa bagian bangunan yang runtuh akibat tertiup angin. Oleh karena itu dalam perancangan
bangunan, harus benar-benar memperhatikan faktor alam, untuk mengantisipasi jatuhnya koban jiwa jika terjadi
bencana serupa.
Arsitektur tradisional di Indonesia khususnya rumah tinggal tradisional merupakan unsur budaya yang
berkembang dari masa ke masa di suatu lingkungan masyarakat. Keberadaan rumah tradisional sebaiknya
dipertahankan sebagai identitas suatu daerah sebagai hasil kebudayaan masyarakat. Keberadaan bangunan
tradisional berupa rumah panggung merupakan ciri khas rumah tradisional di negara-negara di kawasan Asia
Tenggara. Perkembangan rumah tradisional berbentuk panggung di Indonesia terlihat dari penyebaran bentuk rumah
yang sebagian besar berupa rumah panggung yang bisa dijumpai dari sebagian besar daerah di Indonesia.
Rumah panggung masih digunakan oleh penduduk yang bermukim di daerah pedesaan, tepi sungai dan tepi laut.
Selain itu, rumah panggung dianggap sebagai salah satu bentuk arsitektur vernakular yang sesuai dengan kondisi
geografis dan kondisi iklim di Indonesia. Bagian bawah rumah panggung dikenal dengan istilah “kolong”.
Ketinggian kolong rumah panggung bervariasi di setiap daerah. Pada beberapa daerah ketinggian kolong rumahnya
disesuaikan dengan ketinggian manusia sehingga bagian bawah rumah masih bisa dimanfaatkan sebagai tempat
beraktifitas. Pada rumah-rumah panggung suku Bugis-Makassar contohnya, masyarakat memanfaatkan bagian
bawah rumahnya sebagai garasi atau tempat penyimpanan perkakas bertani/berkebun.
SNT2BKL-ST-1 125
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI TERAPAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (SNT2BKL)
ISSBN : 978-602-71928-1-2
Berdasarkan beberapa latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka diperlukan penelitian mengenai
dampak yang ditimbulkan angin pada jenis rumah panggung. Dapak tersebut dapat berupa pola aliran angin, serta
tekanan angin pada rumah panggung itu sendiri. Hal ini untuk memperoleh model rumah panggung yang fungsional
serta aman dari bahaya angin kencang.
SNT2BKL-ST-1 126
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI TERAPAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (SNT2BKL)
ISSBN : 978-602-71928-1-2
Bentuk rumah panggung cenderung berupa bangunan tunggal. Sirkulasi udara di bawah lantai atau kolong rumah
mengharuskan rumah panggung memiliki ruang berupa halaman cukup lebar pada minimal pada 3 sisinya.
Penggambaran sirkulasi udara terlihat pada gambar berikut ini.
1.2.2 Angin
Aliran udara (angin) adalah udara yang bergerak (Szokolay, 1980) karena adanya perbedaan tekanan di
permukaan bumi. Angin cenderung bergerak dari daerah bertekanan udara tinggi ke daerah bertekanan udara rendah.
Angin yang berhembus di permukaan bumi ini terjadi akibat adanya perbedaan penerimaan radiasi matahari,
sehingga mengakibatkan perbedaan suhu udara. Perbedaan suhu udara inilah yang menyebabkan perbedaan tekanan,
yang akhirnya menimbulkan gerakan udara. Udara bergerak mengikuti hukum-hukum alam tertentu, sehingga
pergerakan udara ini relatif teratur dan dapat diprediksi (Boutet, 1987). Adapun prinsip-prinsip dasar aliran udara
(Lechner, 2007) antara lain:
1. Pergerakan udara. Udara bergerak karena adanya arus konveksi natural yang disebabkan oleh perbedaan suhu
atau karena adanya perbedaan tekanan.
2. Tipe-tipe pola aliran udara. Boutet (1987) membagi pola aliran udara atas 3 kategori, yakni pola aliran udara
laminar (berlapis) yang cenderung sejajar dan mudah diprediksi, pola aliran udara turbulen (bergolak) yang
acak dan susah diprediksi, dan pola aliran udara separated (terpisah) yang kecepatan anginnya berkurang
walaupun tetap bergerak sejajar. Selain ketiga pola aliran udara ini, Lechner (2007) menambah pola aliran udara
eddy (berpusar),
3. Kelambanan (inertia). Udara mempunyai massa, sehingga pergerakannya cenderung di jalur yang lurus. Oleh
karena itu, bila dipaksa mengubah arah alirannya, aliran udara ini akan mengikuti bentuk kurva dan tidak
pernah membentuk sudut yang benar.
4. Konservasi udara. Garis-garis yang menggambarkan aliran udara harus digambar secara terus menerus karena
udara yang mendekati suatu bangunan harus setara dengan udara yang keluar dari bangunan tersebut.
5. Area dengan tekanan udara yang tinggi dan rendah. Sewaktu angin mencapai permukaan bangunan, ia akan
memadatkan dan menciptakan tekanan positif (+) (windward). Kemudian udara akan dibelokkan ke sisi
bangunan tersebut, sehingga tercipta tekanan negatif (-) (leeward).
6. Efek Bernoulli. Peningkatan kecepatan cairan akan menurunkan tekanan statiknya, sehingga menyebabkan
tekanan negatif pada pembatasan tabung “venturi”
7. Efek cerobong asap. Efek cerobong asap merupakan gabungan dari efek Bernoulli dan efek venturi, dimana
pembuangan udara dari bangunan dilakukan melalui aksi konveksi alami.
Menurut Boutet (1987), terdapat 3 hal yang mempengaruhi pola aliran udara dan kecepatan angin pada skala
lingkungan, yakni bentuk lahan, vegetasi, dan bangunan. Struktur bangunan membelokkan, menghalangi, dan
SNT2BKL-ST-1 127
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI TERAPAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (SNT2BKL)
ISSBN : 978-602-71928-1-2
mengarahkan aliran udara di sekitarnya, serta mengurangi maupun menambah kecepatan aliran udaranya. Saat aliran
udara menuju permukaan bangunan, sepertiga aliran udara naik ke atas bangunan sementara dua per tiga aliran udara
membelok ke sisi bangunan, seperti terlihat pada gambar 2.4.
Pembelokan aliran udara dan pengurangan kecepatan angin menciptakan perbedaan tekanan; tekanan positif
tercipta sewaktu udara mengumpul di sisi bangunan yang menghadap arah datangnya angin dan tekanan negatif
tercipta sewaktu aliran udara membentuk pola baru pada sisi yang membelakangi arah datangnya angin.
Lebih lanjut, menurut Boutet (1987), aliran udara pada skala bangunan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara
lain: bangunan itu sendiri, vegetasi di sekitar bangunan, pagar di sekitar bangunan, dan bangunan sekitarnya.
Adapun pada bangunan itu sendiri, terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pola aliran udara dan
kecepatan angin, seperti konfigurasi, orientasi, tinggi, teritis, bentuk kolong rumah, dan bentuk-bentuk arsitektural
lainnya. Konfigurasi dan orientasi bangunan terhadap arah datangnya angin mempengaruhi pola pergerakan aliran
udara dan kecepatan angin. Seperti terlihat pada gambar 4 berikut, pada bangunan berbentuk panggung, aliran udara
menyebar ke bagian kolong rumah dan atap rumah; pada bangunan beratap rumah jengki, sebagian besar aliran
udara terhadang oleh dinding bangunan; dan pada bangunan beratap rumah planar, aliran udara mengikuti bentuk
atap rumah.
Gambar: 4: Aliran udara pada konfigurasi dan orientasi bangunan yang berbeda
Sumber: Boutet, 1987
SNT2BKL-ST-1 128
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI TERAPAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (SNT2BKL)
ISSBN : 978-602-71928-1-2
Gambar 5: (a) wind tunnel tipe terbuka; (b) wind tunnel tipe tertutup
Sumber: www.grc.nasa.gov
Pada terowongan angin (wind tunnel) tipe terbuka terdiri dari dua bagian bagian uji dan bagian penggerak udara.
Dalam bagian uji akan diletakkan model bangunan yang akan diteliti, dimana pengukuran dan pemotretan
dilakukan. Sisi bagian uji dibuat dengan menggunakan kaca/acrylic, agar model dapat diamati dan kemudian
dipotret.
Untuk dapat melihat aliran udara di sekitar dan di dalam model yang berada dalam bagian uji, diperlukan asap
yang berwarna putih. Asap tersebut terbawa oleh aliran angin sehingga dapat dengan jelas dipotret. Untuk
pengukuran kecepatan udara, diperlukan sensor kecepatan udara yang kecil, misalnya alat Hot Wire Anemometer,
sehingga dapat dimasukkan melalui celah-celah yang terdapat pada bagian uji.
SNT2BKL-ST-1 129
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI TERAPAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (SNT2BKL)
ISSBN : 978-602-71928-1-2
Variabel terikat adalah variabel penelitian yang diukur untuk mengetahui besarnya efek atau pengaruh variabel
lain. Pada penelitian ini, variabel terikatnya, terdiri atas: pola aliran angin di sekitar kolong rumah dan besar
koefisien aerodinamis model uji.
Model yang digunakan dalam penelitian adalah terbagi atas dua jenis disesuaikan dengan jenis pengujiannya.
Pada pengujian wind tunnel, model yang digunakan adalah model berskala, disesuaikan dengan ukuran alat wind
tunnel yang digunakan. Wind Tunel Experiment dilakukan untuk memperoleh informasi pergerakan angin di dalam
ruangan dengan variabel peubah temperatur ruang dan kecepatan angin yang mengenai objek uji. Tujuan dari
ekperimen wind tunnel untuk memperoleh variasi yang ditimbulkan oleh aliran angin pada bangunan yang meliputi
1) kecepatan angin; 2) intensitas turbulensi; 3) arah angin; tekanan udara; dan 5) perbedaan temperatur. Pengujian
pada alat wind tunnel tipe terbuka menggunakan asap sebagai alat visualisasi aliran angin dalam wind tunnel.
H
(a) (b)
Gambar 7: (a) Alat dan model uji wind tunnel; (b) Perletakan titik sensor kecepatan angin alat wind tunnel
Sementara itu, pengujian CFD menggunakan software komputer menggunakan skala sebenarnya. Peubah yang
digunakan untuk menentukan kolong rumah adalah ketinggian kolong. Model yang digunakan adalah model yang
mempunyai kesebangunan geometrika (geometrically similar model). Hasil data pengukuran yang diperoleh melalui
uji wind tunnel maupun CFD divalidasi, lalu didistribusikan dalam bentuk tabel, gambar dan grafik, kemudian
dievaluasi. Tahapan pengumpulan data yang pertama adalah simulasi CFD, pada uji ini, model disimulasikan
menggunakan software Autodesk Flow Design. Untuk menghitung drag coefficient, maka dapat digunakan
persamaan di bawah ini (Bhandari, 2011):
Di mana:
cd : drag coefficient
Fd : drag force, yaitu gaya yang bekerja searah aliran fluida
ρ : massa jenis fluida
υ : kecepatan fluida
A : luas area dari benda yang terkena angin
SNT2BKL-ST-1 130
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI TERAPAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (SNT2BKL)
ISSBN : 978-602-71928-1-2
SNT2BKL-ST-1 131
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI TERAPAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (SNT2BKL)
ISSBN : 978-602-71928-1-2
b. proses, dimana geometri (domain) diproses berdasarkan hasil penentuan grid dan kondisi batas (boundary
condition) pada tahap pra-proses.
c. pasca-proses, meliputi visualisasi dan interpretasi hasil simulasi.
Penelitian dengan uji CFD menggunakan software Autodesk Flow Design. Dari segi interface dan penggunaan
software terasa lebih mudah dibandingkan sofftware analisis CFD lainnya. Analisis pengujian CFD menghasilkan
beberapa ulasan, yakni visualisasi aliran udara, drag coefficient, dan drag force pada semua objek uji.
0 cm 50 cm
100 cm 150 cm
200 cm 250 cm
Gambar 9: Visualisasi aliran udara uji CFD
SNT2BKL-ST-1 132
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI TERAPAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (SNT2BKL)
ISSBN : 978-602-71928-1-2
Tabel 2: Besaran drag coefficient dan drag force pada pengujian CFD bentuk kolong rumah
Avg drag Avg drag
Variabel kolong
coefficient force
0 cm 1,37 193.000
50 cm 1,08 134.000
100 cm 1,21 141.000
150 cm 1,38 163.000
200 cm 1,57 194.000
250 cm 1,65 212.000
Penentuan tingkat ketahanan suatu bentuk terhadap aliran angin dilihat dari nilai drag coefficient suatu objek.
Tabel 2 merupakan hasil nilai drag force dan nilai drag coefficient yang diperoleh melalui simulasi. Adapun hasil
simulasi tekanan udara pada objek uji terlihat pada gambar 10. Terlihat dari table 2 bahwa nilai drag force pada
jenis kolong rumah tertinggi 250 cm adalah yang paling besar yakni 212.000, hal ini sejalan pula dengan nilai drag
coefficient yang tinggi pula yakni 1,65. Hal ini berarti nilai hambat bangunan dengan bentuk kolong paling tinggi
terhadap angin lebih besar, sehingga memiliki kemungkinan bangunan terbawa angin lebih tinggi.
0 cm 50 cm
100 cm 150 cm
200 cm 250 cm
Gambar 10: visualisasi tekanan udara uji CFD
Berdasarkan hasil uji Wind Tunnel dan simulasi, diperoleh gambaran mengenai penggunaan kolong rumah.
Untuk penyebaran udara dan menjamin kenyamanan thermal rumah, sebuah rumah sebaiknya dibangun dengan
menggunakan kolong rumah. Hal ini tentunya sudah diterapkan oleh penduduk di nusantara yang mana sebagian
besar menerapkan prinsip rumah panggung pada rumah tradisionalnya. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa rumah
dengan ketinggian kolong yang cukup tinggi sangat rentan terbawa angin. Oleh karena itu, sebaiknya tinggi kolong
rumah disesuaikan pada ketinggian dimana orang-orang dapat beraktifitas, yakni pada ketinggian 170 cm- 200 cm.
Untuk menghindari kecepatan angin yang membuat kerusakan struktur panggung rumah, sebaiknya membuat
penghalang berupa vegetasi pada area di sekitar rumah.
SNT2BKL-ST-1 133
SEMINAR NASIONAL
TEKNOLOGI TERAPAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL (SNT2BKL)
ISSBN : 978-602-71928-1-2
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas diperoleh beberapa kesimpulan mengenai bentuk kolong rumah,
diantaranya:
1. Kecepatan angin pada inlet dan outlet kolong rumah semakin tinggi suatu kolong maka kecepatannya akan
semakin naik.
2. Kecepatan angin di bawah kolong rumah akan semakin meningkat jika kolong rumah semakin rendah.
3. Pola penyebaran angin di sekitar rumah yang memiliki kolong lebig baik dibandingkan rumah tanpa kolong.
4. Nilai drag coefficient dan drag force tertinggi dimiliki oleh rumah dengan kolong tertinggi. Semakin tinggi
kolong, semakin tinggi resiko kerusakannya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Karya tulis ini merupakan hasil dari hibah penelitian dengan skema penelitian Dosen Pemula melalui pendanaan
DIPA BLU UHO Tahun 2017.
REFERENSI
Asmal, I. (2015) &Yuan, L. J. 1987. The Malay House: Rediscovering Malaysia’s Indigenous Shelter System.
Institut Masyarakat. Pulau Pinang. Temu Ilmiah IPLBI, Prosiding.
Autodeks Help (2015), Get Started With Autodesk Flow Design,
https://www.autodesk.com/products/flowdesign/overview (diakses tanggal 5 November 2017)
Baskaran, Appupillai & Kashef, Ahmed. (1996). Investigation of air flow around buildings using computational
fluid dynamics techniques. Engineering Structures. 18. 861-875. 10.1016/0141-0296(95)00154-9.
Bhandari NM, Krishna P. (2011) An Explanatory handbook on proposed IS- 875 (Part 3): Wind loads on buildings
and structure. IITK-GSDMA Project on Building Codes.
Biswas, S & Hasan, M & S Islam, M. (2015). Stilt Housing Technology for Flood Disaster Reduction in the Rural
Areas of Bangladesh. International Journal of Research in Civil Engineering, Architecture & Design. 3. 1-
62347.
Boutet, T. (1987). Controlling Air Movement. New York: McGraw Hill.
David M. B. (2004). Living with Florida's Atlantic beaches: coastal hazards from Amelia Island to Key West. Duke
University Press. pp. 263–264. ISBN 978-0-8223-3289-3. Retrieved 27 March 2011.
Frick, H., & Setiawan, P. L. (2001). Ilmu Konstruksi Struktur Bangunan. Yogyakarta: Kanisius.
Gross, R. (2015). Stilt Houses: 10 Resons to Get your House off the Ground. Architecture. Article Houzz. Dikutip
tanggal 21 September 2018. https://www.houzz.com/ideabooks/35270725/list/stilt-houses-10-reasons-to-
get-your-house-off-the-ground
Lechner, N. (2007). Heating, Cooling, Lighting: Metode Desain untuk Arsitektur. Jakarta: Rajawali.
Rahayu, R. L. & Soepardi, H. (2017). Keunggulan Teknologi Bangunan Rumah Panggung pada Rumah Sederhana
Sehat Perumahan Citra Inda Kecamatan Jonggol-Cileungsi Kabupaten Bogor. Faktor Exacta. 10(1). 28-39.
Ratna, S. (2011). Our Experts. Our Living World 5. p. 63. ISBN 978-81-8332-295-9.
Sastrawati, I. (2009). The Characteristis of the Self-Support Stilt Houses Toward the Disaster Potentialytiy at the
Cambaya Coastal Area Makassar. Dimensi (Journal of Architecture and Built Environment). 37(1). 33-40.
Szokolay, N. V. (1980). Environmental Science Handbook. New York: Wiley.
Yuan, L. J. (1987) The Malay House : Rediscovering Malaysia’s Indigenous Shelter System. Institut Masyarakat.
Pulau Pinang.
SNT2BKL-ST-1 134