Anda di halaman 1dari 8

UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL 2020/2021

MATA KULIAH : HUKUM KELUARGA (MUNAKAHAT DAN MAWARITS) 2 SKS


SMT/JUR/KLS : III/HES/ A, B, DAN C
DOSEN : Drs. ALIYUDIN, M.Ag

Soal :
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan jelas dan singkat!
1. Jelaskan pengertian dan ruang lingkup Hukum Keluarga
2. Jelaskan persamaan dan perbedaan antara Hukum Keluarga, Fiqh Ahwal al Syahsiyah dan
Hukum Perikatan Islam
3. Jelaskan syarat-syarat nikah yang berkaitan dengan calon suami dan calon istri menurut
perspektif hukum keluarga dan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
4. Jelaskan Kedudukan istri yang sudah lebih 10 tahun ditinggalkan oleh suaminya, tanpaada
komunikasi sedikit punantara keduanya. Dapatkah istri menikah lagi dengan laki-laki lain.
Jelaskan menurut perspektif Hukum Keluarga.
5. Jelaskan bagaimana upaya hukum ketika seorang istri menggugat cerai/talak, sementara
suaminya tidak mau menjatuhkan talak kepada istrinyaitu. Jelaskan dengan mengemukakan
dalil Al Qur’an.
6. Tuliskan beberapa ayat dan hadits yang berkaitan dengan hukum waris
7. Jelaskan pengertian dzawil furudh dalam hukum waris Islam. Kemudian jelaskan ketentuan
pembagian harta warisan untuk ahliwaris yang tegolong kedalam golongan dzawil furudh.
8. Uraikan cara menghitung harta waris yang diterima masingmasing ahli waris jika suami
sebagai waris meninggal dunia dengan meninggalkan istri,ibu, satu anak perempuan dan
satu anak laki-laki dengan meninggalkan harta sebesar 720 juta.

Catatan:
1. Hasil jawaban diserahkan paling lambat tanggal 1 Februari 2020
2. Layout : normal; font Calibri 12, 1.5 spasi
NAMA :ANGGA MARDIANSYAH
NIM :1193020016
SMT/JUR/KLS : III/HES/ A
JAWABAN
1. Jelaskan pengertian dan ruang lingkup Hukum Keluarga
Ruang Lingkup Bahasan
Dari berbagai pendapat, dapat disimpulkan bahwa cakupan Hukum Keluarga Islam :
1. Perkawinan :
a. Peminangan
b. Syarat dan rukun nikah (mahar, mahram dan status nikah)
2. Kehidupan Rumah Tangga :
a. Hak dan kewajiban suami, istri dan anak
b. Poligami
c. Nafkah
3. Perceraian (proses penyelesaian masalah rumah tangga) :
a. Shiqaq dan nusyuz (percekcokan dan durhaka)
b. Khuluq dan talaq
c. ‘Iddah (masa menunggu) dan ruju’ (tidak jadi cerai)
4. Pemeliharaan dan pengasuhan anak
5. Penyelesaian urusan harta akibat waris mewarisi :
a. Waris
b. Wasiyat
c. Wakaf
d. Transaksi penyerahan atau penerimaan lain.
2. Jelaskan persamaan dan perbedaan antara Hukum Keluarga, Fiqh Ahwal al Syahsiyah dan
Hukum Perikatan Islam

Dari perbedaan dan persamaan definisi hukum keluarga, fiqih ahwal al syahsiyah dan hukum
perikatan islam ini mungkin sama saja dalam definisi , namun berbeda sedikit dalam
berpendapatnya yaitu dengan pengertian, mungkin hukum keluarga Keseluruhan ketentuan
yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan
kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian,
pengampuan, keadaan takhadir). Dan ada juga hukum perikatan islam itu perikatan dalam
hukum Islam, menurut Syamsul Anwar dapat diartikan sebagai: “Terisinya dzimmah
seseorang atau suatu pihak dengan suatu hak yang wajib ditunaikanya kepada orang lain
atau pihak lain.” Jika dikaitkan dengan akad, maka hubungan antara iltizām dan akad adalah
kaitan sebab akibat. Jadi dari kedua definisi ini juga kesaamaanya , namun perbedaannya itu
isi dari pembahasannya saja.

3. Jelaskan syarat-syarat nikah yang berkaitan dengan calon suami dan calon istri menurut
perspektif hukum keluarga dan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

 .Calon Suami
Supaya akad nikah yang akan dilangsungkan itu sah menurut syari'at Islam, maka calon
suami haruslah memenuhi ketentuan (syarat) yang telah diatur dalam hukum Islam. Mazhab
Syafi'iyah menyebutkan sebagai berikut:
1) Calon suami tidak sedang dalam berihram ibadah umrah atau haji. la juga tidak boleh
mewakilkan kepada orang lain (kalau sedang dalam ihram);
2) Tidak boleh dipaksa, tetapi atas kemauannya sendiri, sebab dialah yang akan bertanggung
jawab atas kesejahteraan rumah tangganya kelak kemudian hari;
3) Calon suami itu harus pasti orangnya, sebab banyak orang yang sama namanya. Kalau
seorang bapak mempunyai beberapa orang anak laki-laki dewasa, maka untuk mencegah
hal-hal yang tidak diinginkan, haruslah pasti dan jelas yang mana calon suami itu diantara
mereka yang sebapak itu;
4) Calon suami harus tahu bahwa calon isterinya hahal baginya, yaitu tidak ada larangan kawin
dengannya, baik larangan yang bersifat muabbad ataupun muaqqat.
Demikian syatat-syarat calon suami menurut mazhab Syafi'i, kemudian dalam mazhab Hanafi
terdapat tambahan persyaratan, yaitu:
a) berakal;
b) sudah berusia akil balig; dan
c) harus orang yang merdeka.
 Calon isteri
Menurut mazhab Syafi'i, syarat-syarat bagi seorang calon isteri ialah:
1) Wanita itu tidak haram dinikahi oleh laki-laki yang bersangkutan; baik karena hubungan
nasab, susuan, perkawinan ataupun sedang dalam iddah;
2) Calon isteri harus pasti orangnya, seperti halnya syarat bagi calon suami;
3) Tidak ada suatu larangan yang menghambat kawin dengannya, seperti wanita yang sedang
ihram maka ia tidak boleh kawin, ihram itulah sebagai penghambatnya;
4) Pada waktu akad dilangsungkan harus sudah pasti wanita yang mana yang akan dinikahkan.
Maka tidak sah akad nikah apabila wali mengucapkan ijabnya: "Saya nikahkan kepadamu
salah seorang diantara tiga orang putriku".
Kemudian dalam mazhab Hanafi terdapat penambahan persyaratan calon isteri sebagaimana
yang ditentukan bagi calon suami, yaitu :
a) Calon isteri harus sudah dewasa;
b) Sudah balig dan merdeka.
Syarat-syarat perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, pasal 6
dan 7 sebaga berikut:
1) Harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai;
Persetujuan atau kerelaan kedua belah pihak untuk melaksanakan perkawinan adalah
merupakan syarat yang penting sekali untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia kekal
dan sejahtera, sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri.
Untuk menimbulkan kesepakatan antra kedua belah pihak maka dalam Islam sebelum
perkawinan dianjurkan untuk melakukan khitbah terlebih dahulu ; supaya keduanya saling
mengadakan pendekatan dan untuk mengenal watak masing-masing. Apabila dalam masa
khitbah terdapat persesuaian maka perkawinan dapat dilangsungkan, tetapi apabila
persesuaian itu tidak dapat dicapai maka rencana perkawinan dapat dibatalkan. Hal ini lebih
baik dari pada perkawinan sudah dilaksanakan tetapi putus di tengah jalan, karena kedua
belah pihak tidak ada keharmonisan di dalam mengendalikan rumah tangga.
2) Ada ijin dari kedua orang tua atau wali (pasal 6 ayat 2) . Ijin ini hanya diperlukan bagi calon
mempelai yang belum berumur 21 tahun.
3) Apabila kedua orang tua meninggal dunia , maka yang berhak memberi ijin sesuai dengan
ketentuan pasal 6 ayat 3 , 4, dan 5 ) adalah berturut-turut sebagai berikut:
4) Jika kedua orang tua masih hidup maka yang berhak memberi ijin adalah kedua-duanya.
Sedangkan apabila salah satunya telah meninggal dunia maka yang berhak memberikan ijin
adalah salah satu dari keduanya yang masih hidup.
5) Apabila salah seoang dari kedua orang tua dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya karena disebabkan :
a. karena dibawah kuratele;
b. sakit ingatan
c. tempat tinggalnya tidak diketahui;
maka ijin cukup diberikan oleh salah satu pihak saja yang mampu menyatakan kehendaknya.
6) Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau kedua-duanya tidak mampu
menyatakan kehendak maka yang berhak memberi ijin adalah :
a. wali yang memelihara calon mempelai;
b. Keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama
mereka masih hidup dan mampu menyatakan kehendak.
7) Batas umur untuk melaksanakan perkawinan adalah sekurang-kurangnya 19 tahun bagi
calon suami dan 16 tahun bagi calon istri (pasal 7 ayat 1).

4. Jelaskan Kedudukan istri yang sudah lebih 10 tahun ditinggalkan oleh suaminya, tanpaada
komunikasi sedikit pun antara keduanya. Dapatkah istri menikah lagi dengan laki-laki lain.
Jelaskan menurut perspektif Hukum Keluarga.

 Penjamin Nafkah
Apakah seorang istri berhak meminta adanya seorang penjamin nafkahnya di masa
mendatang dari suaminya manakala suami bermaksud bepergian jauh, sedangkan si istri
tidak ikut serta dan si suami tidak meninggalkan sesuatu untuknya.
Hanafi. Malikidan Hambalimengatakan: Si istri berhak menuntut hal itu, dan si suami harus
menunjuk seorang penjamin nafkah. Kalau si suami tidak bersedia, maka si istri berhak
mencegahnya bepergian. Bahkan lebih lanjut Malikimengatakan bahwa, si istri berhak
meminta kepada suaminya untuk membayar lebih dulu nafkahnya (untuk masa yang akan
datang) manakala si suami menyatakan bahwa dia bermaksud bepergian seperti
kebiasaannya. Tetapi bila si istri menyangka bahwa suaminya akan bepergian untuk waktu
yang lama dan tidak seperti biasa, maka dia berhak menuntut pembayaran nafkah terlebih
dahuluuntuk masa ketika suaminya bepergian jauh seperti biasa, dan memintaadanya
penjamin bagi perjalanan jauh yang lebih dari waktu yang biasa.
Imamiyahdan Syafi'iyahberkata: Istri tidak berhak meminta pen¬jamin bagi nafkahnya untuk
waktu-waktu yang akan datang, sebab belum pasti bahwa itu merupakantanggungan suami,
dan bahwasanyanafkah itu sewaktu-waktu bisa gugur bila terjadi nusyuz, talak dan kematian.
Kalau persoalannya sampaipada ijma', maka bagi Imamiyah bobotnya menjadi merosot.
Sebab, ijma' yang terselenggara sesudah periode keimaman sangat mungkin dipatahkan
dengan prinsip-prinsip mereka. Kalaukita andaikanbahwa sandaran bagi ijma' tersebut
adalah keyakinan para ulama yang berijma' bahwa nafkah tersebut belum lagi merupakan
kepastian yang menjadi tanggungan suami, dengan demikian maka tidak sahpenjaminannya,
niscaya gugurlah penarikan dalil berdasar ijma'tersebut disebabkan oleh adanya ke-
mungkinan lain, di samping perlu dipertimbangkan kaidah yang mereka jadikan sandaran,
apakah ia benardan sesuai dengan apa yang kita bicarakan atau tidak? Penulis telah
menjelaskan bahwa, adanya sebab-sebab yang mengharuskan diberikannya jaminan seperti
itu, sudah cukup sebagai alasan. Karena itu, adalah hak bagi istri untuk meminta penjamin
bagi nafkahnya di masa-masa yang akan datang manakala suami ingin bepergian jauh,
khususnya bila dia adalah orang yang tidak bisa dipercaya yang terbukti dari kehendak
bepergiannya itu menunjukkan kurangnya rasa tanggung jawab yang dimilikinya.
Berdasarkan penjelasan di atas seorang istri memiliki hak untuk mendapatkan penjamin
nafkahnya, kemudian dalam kasus ini sang suami pergi 10 tahun tanpa ada kabar dan tidak
memberikan nafkah pada istrinya
- Seorang istri harus mencari kejelasan hubungan pernikahan mereka
- Jika memang tidak ada kabar dan tidak memungkinkan untuk hal tersebut bersdasarkan
penjelasan di atas maka istri boleh menikah lagi demi adanya penanggung nafkah bagi
keluarganya.
5. Jelaskan bagaimana upaya hukum ketika seorang istri menggugat cerai/talak, sementara
suaminya tidak mau menjatuhkan talak kepada istrinyaitu. Jelaskan dengan mengemukakan
dalil Al Qur’an.
Upaya yang perlu ditempuh biasa kita kenal dengan istilah khulu’ , Khulu’ ialah suatu
perceraian perkawinan dengan caramemberikan sejumlah uang dari pihak isteri kepada
suami, yang sering disebut “talak tebus”.
Dalam keadaan seperti ini Islam memberikan jalan keluar bagi rumah tangga tersebut
dengan menempuh jalan khuluk. Inilah yang dimaksudkan Allah SWT dalam firman-Nya pada
surah an-Nisa’ (4) ayat 128 yang artinya: "Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyus atau
sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih balk (bagi mereka)..." Perdamaian dalam ayat
ini dapat dilakukan dengan mengakhiri hubungan suami istri melalui perceraian atas per-
mintaan istri dengan kesediaannya membayar ganti rugi atau mengembalikan mahar suami
yang telah diberikan ketika akad nikah berlangsung. Alasan lain penyebab khuluk menurut Ibnu
Qudamah adalah ketidakpuasan seorang istri dalam nafkah batin.

6. Tuliskan beberapa ayat dan hadits yang berkaitan dengan hukum waris
Surat an nisa ayat 12
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang
kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki
maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu
saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
member mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at
yang benar-benardari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW menetapkan bagian
aktunggal perempuan setengah bagian, dan buat anak perempuan dari anak laki seperenam
bagian sebagai penyempurnaan dari 2/3. Dan yang tersisa buat saudara perempuan .(HR.
Jamaahkecuali Muslim danNasai).
7. Jelaskan pengertian dzawil furudh dalam hukum waris Islam. Kemudian jelaskan ketentuan
pembagian harta warisan untuk ahliwaris yang tegolong kedalam golongan dzawil furudh.
Ahli waris dzawil furud yaitu ahli waris yang mendapat bagian tertentu menurut
ketentuanketentuan yang telah diterangkan di dalam Al-Qur’an dan hadis. Yang dimaksud
dengan tertentu ialah tertentunya jumlah yang mereka terima, yaitu bilangan-bilangan
seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga, dan seperenam. Semua
bilangan ini disebutkan dalam Al-Qur’an untuk ahli waris tertentu. Mereka yang termasuk
ahli waris dzawil furud ialah, ibu, bapak, duda, janda,saudara laki-laki seibu, saudara
perempuan seibu, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung, saudara
perempuan sebapak, kakek (datuk) dan nenek
8. Uraikan cara menghitung harta waris yang diterima masingmasing ahli waris jika suami
sebagai waris meninggal dunia dengan meninggalkan istri,ibu, satu anak perempuan dan
satu anak laki-laki dengan meninggalkan harta sebesar 720 juta.
a. Ibu mendapatkan 1/6 bagian, sihamnya 4
b. Istri mendapatkan 1/8 bagian sihamya 3
c. Anak laki – laki mendapatkan ashobah
d. Anak perempuan mendapatkan ashobah dan keduanya sihamnya 17
e. Nominal harta Rp. 720.000.000 dibagi 24 bagian masing – masing bagian mendapatkan Rp.
30.000.000
Bagian harta masing – masing ahli waris
a. Ibu : 4 x Rp. 30.000.000 = Rp. 120.000.000
b. Istri : 3 x Rp. 30.000.000 = Rp. 90.000.000
Sisa dari ibu dan istri adalah Rp. 510.000.000
c. anak laki – laki 2x lebih besar dari anak perempuan
maka anak perempuan 2 = 2/3 x Rp. 510.000.000 = Rp. 340.000.000
d. anak perempuan 1 = 1/3 x Rp. 510.000.000 = Rp. 170.000.000
untuk pembuktian pembenaran dari hasil pembagian warisan tersebut adalah dengan
menjumlahkan semua hasil bagian warisan tersebut :
120.000.000 + 90.000.000 + 340.000.000 + 170.000.000 = 720.000.000

Anda mungkin juga menyukai