Anda di halaman 1dari 8

1.

Vaksinasi
f. jenis vaksin
Ada 2 jenis vaksin berdasarkan sensitivitasnya terhadap suhu, yaitu vaksin yang
sensitif terhadap beku dan sensitif terhadap panas.

KEMENKES RI. Buku Ajar Imunisasi. 2014. oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Tenaga Kesehatan

h. efek samping
 Demam kpnvulsi: disebabkan oleh demam tinggi, umunya terjadi pada anak-anak
dibawah usia 3 tahun
 Bayi tiba-tiba menjadi pucat, lemas, dan tidak responsive dari 1 sampai 48 jam
setelah vaksinasi. Segera setelah bayi benar-benar pulih
 Penyumbatan usus (intususepsi): terjadi jika sebagian dari usus melesap ke sisi usus
lainnya, seperti potongan teleskop. Ini dapat terjadi pada bayi dalam 7 hari setelah
diberi vaksin rotavirus dosis pertama dan ke-dua. Tanda-tanda penyumbatan usus
termasuk:
o Tidak berhenti nangis
o Wajah pucat
o Menarik kaki ke perut
 Peradangan pada saraf di lengan (brakialis neuritis): menyebabkan rasa lemas atau
mati rasa di lengan.
 Reaksi alergi yang parah (anafilaksis) terjadi tiba-tiba, biasanya dalam waktu 15
menit setelah di vaksin tetapi dapat terjadi dalam sejam setelah di vaksin. Tanda-
tanda awal anafilaksis meliputi:
o Kemerahan dan gatal-gatal pada kulit
o Gangguan pernapasan
o Rasa tertekan
 Sindroma Gullain-Barre: menyebabkan kelumpuhan yang semakin naik seiring
perjalan penyakit dan kadang-kadang mati rasa. Dulu, masalah ini jarang
dihubungkan dengan vaksin influenza ataupun tidak sama sekali.

Health and Human Services. 2013. The Australian Immunization Handbook 10th
Edition. Authorized and published by the Victorian Government,1 Treasure Place,
Melbourne.

2. Shock anafilatik
c. bagaimana penanganan shock yang terjadi
Pada renjatan yang berat (syok anafilaktik), penatalaksanaan pada dasarnya
ditujukan untuk mengembalikan sirkulasi yang adekuat, dan memberikan ventilasi yang
bagus, dan bila mungkin dilakukan upaya pencegahan.

Tindakan segera
Tindakan pertama yang paling penting dilakukan menghadapi pasien dengan syok
anafilaktik adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang
diduga menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras.
Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam
usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
Selanjutnya dilakukan penilaian airway, breathing dan circulation dari tahapan
resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar. Airway,
penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga teap bebas agar tidak ada sumbatan sama
sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak
jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple airway maneuver
yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan
sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi
endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. Breating support, segera memberikan bantuan
napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas spontan, baik memalui mulut ke mulut
atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang
mengalami sumbatan jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan
jalan napas parsial, selain ditolong dengan obatobatan, juga harus diberikan bantuan
napas dan oksigen 5-10 liter/menit. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada
arteri besar (a. karotis atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.

Obat-obatan
Obat pilihan pertama untuk mengobati syok anafilaktik adalah adrenalin. Obat ini
berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah,
melebarkan bronkus dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja pda
reseptor adrenergic di seluruh tubuh sehingga mempunyai kemampuan memperbaiki
kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus.
Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan
memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika
dan berakhir dalam waktu pendek.
Cara pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha ataupun
sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan
syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler.
Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari
pada pemberian subkutan. Berikan 0.5 ml larutan 1:1000 (0.3-0.5 mg) untuk orang
dewasa dan 0.01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15
menit, sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan.
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan
tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anesthesia.
Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi
intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi
intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5 ml dari pengenceran injeksi adrenalin
1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat
dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB (0.1 ml/kg BB dari
pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa
menit. Beberapa penulis menganjukan pemberian infus kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit.
Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilktik perlu membawa
adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikan yang benar. Pada
kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan
adrenalin tersebut.
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat yang
sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator. Pemberian
antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas vascular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara
menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan merupakan obat pengganti
adrenalin. Tergantug beratnya penyaki, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral.
Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti
simetidin (300mg) atau ranitidun (150mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0.9%
dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin
pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantunya dipakai ranitidin. Anti histamine
yang juga dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-
10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48 jam.
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid
tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada
reaksi sedang hingga berap untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah
anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-
6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena dapat diberikan tiap 4-6 jam sampai
kondisi pasien stabil (yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena
7-10 mg/kg BB, dilanjutkan dengan 5 mg/kg BB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6
mg/kg BB.
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4- 7
mg/kg BB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0.6 mg/kg BB/jam, atau
aminofilin 5-6 mg/kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrose 5% atau NaCl 0.9% dan
diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol
(terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0.25 cc –
0.5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0.99% diberikan melalui nebulisasi.

Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok
anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat
alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor
risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang
mempunyai alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap
kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes
kulit negative pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut,
tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dewasa
tes kulit negatif, dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi
sebesar1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bisla tes kulit
positif.
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian
dengan jalur subkutan, intradermal, intramuscular ataupun intravena dan observasi
selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat.
Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada
status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan
atau obat yang menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia
obat penawar untuk mengantisipasi reaksi anafilaksis serta adanya alat-alat bantu
resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan
jangka panjang.

Jessenggar, V., Sidemen, G. 2016. Penatalaksanaan Syok Anafilatik. Bagian/SMF


Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
4. Covid-19
b. transmisi
Transmisi COVID-19 terjadi umumnya dari orang saat menunjukkan gejala, dan
dapat juga terjadi tepat sebelum orang menunjukkan gejala, saat berada dalam jarak dekat
dengan orang lain untuk waktu yang lama. Meskipun orang yang tidak menunjukkan
gejala juga dapat menyebarkan virus kepada orang lain, masih belum jelas sejauh mana
transmisi jenis ini terjadi dan hal ini perlu lebih diteliti.
Virus ini umumnya menyebar melalui kontak dan droplet saluran napas. Dalam
keadaan-keadaan tertentu (seperti jika prosedur yang menghasilkan aerosol dilakukan di
fasilitas layanan kesehatan atau kemungkinan di tempat lain dalam ruangan yang padat
dan berventilasi buruk), transmisi melalui udara dapat terjadi. Lebih banyak penelitian
segera dibutuhkan untuk menginvestigasi kejadian-kejadian seperti itu dan menilai
signifikansinya yang sebenarnya bagi transmisi COVID-19.

WHO. 2020. Transmsi SARS-CoV-2 – Implikasi untuk Kewaspadaan Pencegahan


Infeksi: Pernyataan Keilmuan.
7. KIPI
c. upaya penanganan
penanggulangan KIPI terbagi menjadi 2, yaitu:
1. Pencegahan Primer

2. Penanggulangan Medis KIPI


Penanggulangan kasus ringan dapat diselesaikan oleh puskesmas dan
memberikan pengobatan segera, Komda PP-KIPI hanya perlu diberikan laporan.
Jika kasus tergolong berat harus segera dirujuk. Kasus berat yang masih
dirawat, sembuh dengan gejala sisa, atau meninggal, perlu dilakukan evaluasi ketat
dan apabila diperlukan Komda PP-KIPI segera dilibatkan.
KEMENKES RI. Buku Ajar Imunisasi. 2014. oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Tenaga Kesehatan
11. studi kasus
b. hubungan vaksin covid-19 dengan keluhan teman medik

Anda mungkin juga menyukai