Anda di halaman 1dari 29

Kelompok 4

LAPORAN DISKUSI PEMICU 3


MODUL MUSKULOSKELETAL

Disusun Oleh:

Gaudensius I1011151073
Tasya Fathia Zhafira I1011181013
Marvin Lionel I1011181015
Wahyu Putranda Gustyarbi I1011181033
Agusriani Putri I1011181038
Desnafitri Chamila I1011181043
Muhammad Aqil I1011181047
Siti Haura Amiralevi I1011181052
Putri Adelya Pramasari I1011181069
Hana Lutfiya I1011181081
Clarisa Josevine I1011181097
Shella Sakila I1011181098

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pemicu
A 18-year-old male patient presents to the hospital with painful night knee for the past 3
months. The pain was intermittent at first, but has become more persistent in the last three
weeks. The pain is worse during activity. He notices a lump on his right knee. Past medical
history prior to the onset of pain is not remarkable. Vital signs are normal. Physical
examination reveals a palpable mass on posterior aspect of the knee. The mass is hard, the
size of a tennis ball, and tender to palpation. Movement of the right knee joint is limited.

1.2 Klarifikasi dan Definisi


a. Palpasi, merupakan pemeriksaan menggunakan indra peraba.

1.3 Kata Kunci


a. Pria 18 tahun
b. Nyeri lutut kanan
c. Massa diposterior lutut
d. Massa keras
e. Massa seukuran bola tenis
f. Massa teraba lunak
g. Gerakan sendi lutut kanan terbatas

2
1.4 Rumusan Masalah
Pria 18 tahun mengeluh nyeri dilutut kanan. Ditemukan massa keras, teraba lunak
seukuran bola tenis diposterior lutut dan pergerakan sendi lutut terbatas.

1.5 Analisis Masalah

Pria 18 tahun

Keluhan: Pemeriksaan fisik:

- Lutut kanan sakit - Massa pada posterior


selama 3 bulan lutut
- Nyeri intermiten → - Keras, seukuran bola
persisten tenis
- Diperparah saat - Teraba lunak
bergerak - Gerakan terbatas

Pria 18 tahun

Kista baker Osteosarcoma Kondrosarkoma

Laboratorium Pemeriksaan penunjang


a
Radiologi Diagnosis

Tatalaksana Non-faramakologi

Farmakologi

Bedah

3
1.6 Hipotesis
Pria 18 tahun mengalami neoplasma pada posterior lutut.

1.7 Pertanyaan Diskusi


1. Muskuloskeletal knee joint
a. Anatomi
b. Gambaran radiologi
2. Cairan synovial
a. Definisi
b. Komposisi kimia
c. Fisiologis
d. Patologi
3. Osteosarkoma
a. Definisi
b. Etiologi
c. Faktor resiko
d. Klasifikasi
e. Manifestasi klinis
f. Pemeriksaan penunjang
g. Diagnosis
h. Tatalaksana
i. Deteksi dini
4. Kista baker
a. Definisi
b. Etiologi
c. Faktor resiko
d. Klasifikasi
e. Manifestasi klinis
f. Pemeriksaan penunjang
g. Diagnosis
h. Tatalaksana
5. Kandrosarkoma
a. Definisi
b. Etiologi
c. Faktor resiko
d. Klasifikasi
e. Manifestasi klinis
f. Pemeriksaan penunjang
g. Diagnosis
h. Tatalaksana

4
BAB II
PEMBAHASAN

1. Muskuloskeletal knee joint

a. Anatomi
Knee joint atau sendi lutut, sendi terbesar dan paling kompleks dalam tubuh,
bertindak terutama sebagai hinge/engsel. Sendi lutut juga memungkinkan beberapa
rotasi medial dan lateral ketika dalam posisi fleksi dan ekstensi. Pada sendi lutut
terdapat artikulasi di antara patella dan ujung inferior femur; sendi femoropatellar ini
merupakan sendi jenis plane/planar yang memungkinkan patella untuk meng-
glide/bergeser melintasi bagian distal femur saat lutut ditekuk.

Dua menisci lateral dan medial berbentuk C melekat pada eksternal kondilus
tibia. Selain mendistribusi beban tekan dan cairan sinovial, menisci membantu untuk
menstabilkan sendi dengan mengarahkan kondilus selama gerakan fleksi, ekstensi,
dan rotasi.
Kapsul artikular sendi lutut mencakup sebagian besar kondilus femoralis dan
tibialis. Daerah anterior ditutupi oleh tiga ligamen luas yang berjalan lebih inferior

5
dari patela ke tibia, yakni ligamentum patela, yang diapit oleh retinakula patella
medial dan lateral. Ligamentum patela merupakan kelanjutan dari quadriceps
femoris. Kapsul sendi lutut diperkuat oleh beberapa ligamen kapsular dan
ekstrakapsular, yang semuanya mengencang ketika lutut di ekstensi untuk
mencegah hiperekstensi kaki pada lutut, yakni ligamen kolateral fibularis dan tibialis
ekstrakapsular, ligamentum poplitea oblique, dan ligamentum popliteus arcuate,
serta ligamentum krusiatus anterior dan posterior 1.

b. Gambaran radiologi

Gambaran Osteosarkoma 2

6
Gambaran Kondrosarkoma 2

Gambaran Giant Cell 2

2. Cairan synovial

a. Definisi
Cairan synovial adalah cairan yang berfungsi sebagai pelumas pada tulang
rawan yang menyebabkan pergerakan tulang rawan menjadi lebih baik. Cairan
synovial diproduksi oleh salah satu matrik ekstraseluler sel yaitu proteoglikan. Cairan
ini apabila mengalami gangguan maka dapat mengakibatkan terjadinya gangguan
pada sendi 3.

b. Komposisi kimia
Jaringan synovial bersifat steril dan terdiri dari jaringan ikat dengan vaskularisasi
pada dasar membrane. Didapatkan 2 tipe sel yaitu sel A dan sel B. Sel tipe A adalah
monosit yang berfungsi membersihkan debris dari cairan synovial. Sel tipe B
memproduksi cairan synovial yang terdiri dari asam hyaluronat, lubricin, proteinase,
dan collagenase. Cairan synovial yang normal terdiri dari 3-4 mg/ml hyaluronan.
Lubricin adalah komponen pelumas kedua yang disekresi oleh sel fibroblast synovial
yang berfungsi menurunkan gesekan antara permukaan kartilago, mengatur
pertumbuhan sel synovial dan membuang debris akibat proses aktivitas sendi.
Cairan sendi yang normal adalah jernih, pucat kekuningan, kental namun tidak
mudah menggumpal. Cairan sendi sebenarnya adalah modifikasi dialisat plasma

7
yang disekresi oleh jaringan sendi. Komponen hyaluronic acid hanya terdapat pada
cairan sendi. Didapatkan adanya transport medium yang bersifat aktif untuk
menyalurkan nutrisi dari jaringan membrane synovial menuju kartilago. Glukosa
untuk kondrosit dalam kartilago ditransport oleh jaringan vascular periartikular
melalui cairan sendi. Permeabilitas membrane synovial sama halnya dengan
pembuluh darah sangat dipengaruhi oleh proses inflamasi, dimana immunoglobulin,
kompleks imun dan komplemen akan terakumulasi dalam membrane synovial
menuju cairan synovial sebagai jalan keluar 4.

c. Fisiologi
Membran sinovial mengeluarkan cairan sinovial (telur), sebuah cairan kuning
kental, bening atau pucat dinamai karena kesamaan dalam penampilan dan
konsistensinya dengan putih telur mentah. Cairan sinovial terdiri dari asam
hialuronat yang disekresikan oleh sel mirip fibroblast di membran sinovial dan cairan
interstitial disaring dari darah plasma. Ini membentuk film tipis di atas permukaan
dalam artikular kapsul. Fungsinya termasuk mengurangi gesekan dengan melumasi
sendi, menyerap guncangan, dan memasok oksigen dan nutrisi ke dan
menghilangkan karbon dioksida dan limbah metabolisme dari kondrosit dalam tulang
rawan artikular. (Ingat bahwa tulang rawan adalah jaringan avaskular, sehingga tidak
memiliki pembuluh darah untuk melakukan fungsi terakhir.) Cairan sinovial juga
mengandung sel fagosit menghapus mikroba dan puing-puing yang dihasilkan dari
pemakaian normal dan sobek di sendi. Ketika sendi sinovial tidak bergerak untuk
suatu waktu, cairan menjadi sangat kental (seperti gel), tetapi sebagai gerakan sendi
meningkat, cairan menjadi kurang kental. Salah satu manfaat dari pemanasan
sebelum berolahraga adalah merangsang produksi dan sekresi cairan sinovial; lebih
banyak cairan berarti lebih sedikit tekanan pada sendi selama latihan 5.
Karakteristik cairan synovial 6:
A) Fisik
Cairan synovial yang normal berupa cairan bening, berwarna jernih hingga
kekuningan, dan kental karena viskositas tinggi akibat kandungan asam
hialuronat.
B) Kimia
Zat kimia pada cairan synovial adalah glukosa, protein, dan asam urat. Glukosa
pada cairan synovial lebih rendah daripada glukosa darah. Kandungan protein
akan meningkat akibat peradangan infeksi. Asam urat akan meningkat pada
Gout.
C) Mikroskopik
Pada cairan synovial dapat dilakukan penghitungan sel-sel seperti menghitung
leukosit (batas notmal <200 sel/mm3, dimana jika berlebihan menandakan
adanya inflamasi seperti pada Gout dan Rheumatoid arthritis.

d. Patologi
Inflamasii mula – mula mengenai sendi sinovial seperti edema, kongesti
vaskular, eksudat febrin dan infiltrasi seluler. Peradangan yang berkelanjutan,
sinovial menjadi menebal, terutama pada sendi articular kartilago dari sendi. Pada
persendian ini granulas membentuk panus, atau penutup yang menutupi kartilago.
Panus masuk ketulang sub chondria. Jaringan granulasi menguat karena radang
menimbulkan gangguan pada nutrisi artilago artikuler. Kartilago menjadi nekrosis.

8
Kerusakan kartilago dan tulang menyebabkan tendon dan ligamen jadi lemah
dan bisa menimbulkan subluksasi atau disiokasi dari persendian. Proses fagositosis
menghasilkan enzim – enzim dalam sendi. Enzim – enzim tersebut akan memecah
kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial, dan akhirnya
membentuk panus. Panus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan
erosi tulang, akibatnya menghilangkan permukaan sendi yang akan mengalami
perubahan generative dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi
otot 7.

3. Osteosarkoma

a. Definisi
Osteosarkoma adalah tumor ganas tulang primer yang berasal dari sel
mesenkimal primitif yang memproduksi tulang dan matriks osteoid 8.

b. Etiologi
Etiologi dari osteosarkoma, yaitu 9:
1. Senyawa kimia: Senyawa antrasiklin dan senyawa pengalkil, beryllium dan
methylcholanthrene merupakan senyawa yang dapat menyebabkan perubahan
genetik
2. Virus: Rous sarcoma virus yang mengandung gen V-Src yang merupakan proto-
onkogen, virus FBJ yang mengandung proto-onkogen c-Fos yang menyebabkan
kurang responsif terhadap kemoterapi.
3. Radiasi, dihubungkan dengan sarcoma sekunder pada orang yang pernah
mendapatkan radiasi untuk terapi kanker.
4. Lain-lain:
- Penyakit lain: Paget’s disease, osteomielitis kronis, osteochondroma,
poliostotik displasia fibrosis, eksostosis herediter multipel dll.
- Genetik: Sindroma Li-Fraumeni, Retinoblastoma, sindrom Werner,
Rothmund-Thomson, Bloom. lokasi implan logam.

c. Faktor resiko
a. Pertumbuhan tulang yang cepat 10
Pertumbuhan tulang yang cepat dapat mempengaruhi terjadinya osteosarcoma
yang didasari pada pengamatan peningkatan insiden yang tinggi di antara anjing
yang berpostur besar dan lokasi khas osteosarcoma di daerah metafisis
berdekatan dengan lempeng pertumbuhan tulang panjang.
b. Faktor lingkungan 10
Faktor lingkungan yang diketahui adalah paparan radiasi. Osteosarkoma
sekunder dipicu oleh radiasi.
c. Predisposisi genetic 10
Contoh dari presisposisi genetic yaitu Paget disease, fibrous dysplasia,
enchondromatosis, dan beberapa keturunan eksotosis dan retinoblastoma.
d. Virus 11
Rous sarcoma virus mengandung gen V-Src yang merupakan proto-onkogen.
Virus FBJ mengandung proto-onkogen c-Fos yang menyebabkan kurang
responsive terhadap kemoterapi.
e. Senyawa Kimia 11

9
Senyawa antrasiklin dan senyawa pengalkil, beryllium dan methylcholanthrene
merupakan senyawa yang dapat menyebabkan perubahan genetic

d. Klasifikasi
Klasifikasi histologi dan stadium 12:
1. Klasifikasi histologi
Terdapat 3 jenis sub tipe secara histologi:
a. Intramedullary
1. High - grade intra-medullary osteosarkoma
2. Low - grade intramedullary osteosarkoma
a. Surface
1. Parosteal osteosarkomas
2. Periosteal osteosarkomas
3. High –gradesurfaceosteosarkoma
b. Extraskeletal
2. Penentuan stadium
Terdapat 2 jenis klasifikasi stadium, yaitu berdasarkan Musculoskeletal
Tumor Society (MSTS) untuk stratifikasi tumor berdasarkan derajat dan ekstensi
local serta stadium berdasarkan American Joint Committee on Cancer (AJCC)
edisi ke-7.
a. Sistem Klasifikasi Stadium MSTS (Enneking):
IA: derajat keganasan rendah, lokasi intra-kompartemen,
tanpa metastasis.
IB: derajat keganasan rendah, lokasi ekstra-kompartemen,
tanpa metastasis.
IIA: derajat keganasan tinggi, lokasi intra-kompartemen,
tanpa metastasis.
IIB: derajat keganasan tinggi, lokasi ekstra-kompartemen,
tanpa metastasis.
III: ditemukan adanya metastasis.
b. Sistem klasifikasi AJCC edisi ke-7:
IA: derajat keganasan rendah, ukuran ≤ 8.
IB: derajat keganasan rendah, ukuran > 8 atau adanya
diskontinuitas.
IIA: derajat keganasan tinggi, ukuran ≤ 8.
IIB: derajat keganasan tinggi, ukuran > 8.
III : derajat keganasan tinggi, adanya diskontinuitas.
IVA: metastasis paru.
IVB: metastasis lain.

e. Manifestasi klinis
Umumnya gejala klinik terjadi beberapa minggu sampai bulan setelah timbulnya
penyakit ini. Gejala awal relatif tidak spesifik seperti nyeri dengan atau tanpa teraba
massa. Nyeri biasanya dilukiskan sebagai nyeri yang dalam dan hebat 13, yang dapat
dikelirukan sebagai peradangan. Pemeriksaan fisik mungkin terbatas pada massa
nyeri, keras, pergerakan terganggu, fungsi normal menurun, edema, panas
setempat, teleangiektasi, kulit diatas tumor hiperemi, hangat, edema, dan pelebaran

10
vena 14. Pembesaran tumor secara tiba-tiba umumnya akibat sekunder dari
perdarahan dalam lesi. Fraktur patologik terjadi pada 5-10% kasus 13,14.
Tumor ini dapat tumbuh pada tulang manapun, tetapi umumnya pada tulang
panjang terutama distal femur, diikuti proksimal tibia dan proksimal humerus dimana
growth plate paling proliferatif. Pada tulang panjang sering pada bagian metafisis
(90%) kemudian diafisis (9%), dan jarang pada epifisis 14,15. Osteosarkoma
bertumbuh cepat dengan ekspansi lokal, doubling time sekitar 34 hari. Penyebaran
hematogen paling sering terjadi pada awal penyakit dan biasanya ke paru-paru dan
tulang sedangkan metastasis ke kelenjar limfe jarang. Penyebaran transartikuler
juga jarang dan dapat terjadi pada sendi dengan mobilitas rendah. Pada stadium
lanjut, berat badan umumnya menurun dan menjadi kaheksia. 1 Penanganan
osteosarkoma dilakukan melalui pendekatan dari banyak segi, termasuk kemoterapi
dengan asumsi bahwa semua kasus mempunyai metastasis pada waktu didiagnosis
dan kemudian diikuti dengan operasi. Paru-paru merupakan tempat tersering dari
metastasis tumor ini. Pada waktu didiagnosis sekitar 10-20% kasus telah terdapat
metastasis paru. Dari kasus yang meninggal karena penyakit ini, 90% telah
mempunyai metastasis paru, tulang, dan otak 16. Terdapat laporan mengenai
metastasis pada paru dan pleura yang terjadi 4 tahun setelah diamputasi
osteosarkoma tibia. Dengan demikian, selain pemeriksaan paru untuk deteksi
metastasis, perlu juga pemeriksaan torakostomi untuk menilai keadaan pleura 17.

f. Pemeriksaan penunjang
1. Radiografi Konvensional 18
Radiografi konvensial merupakan pemeriksaan radiologi pertama pada
kasus-kasus osteosarkoma.
a. Osteosarkoma konvensional menunjukkan lesi litik moth eaten atau permeatif,
lesi blastik, destruksi korteks, reaksi periosteal tipe agresif (segitiga codman,
sunbrust, dan hair on end), massa jaringan lunak, dan formasi matriks
(osteoid maupun campuran osteoid dan khondroid).
b. Osteosarkoma parosteal menunjukkan massa eksofitik berlobulasi dengan
kalsifikasi sentral berdensitas tinggi, berlokasi di dekat tulang, kadang disertai
gambaran string sign. Osteosarkoma periosteal memperlihatkan massa
jaringan lunak dengan reaksi periosteal perpendikuler, erosi kortikal, dan
penebalan korteks.
c. High grade surface osteosarcoma menunjukkan ossifikasi berdensitas tinggi,
reaksi periosteal, erosi, dan penebalan korteks. Dapat juga ditemukan invasi
intramedular.
d. Osteosarkoma telangiektatik memperlihatkan lesi litik geografik ekspansil
asimetrik, tepi sklerotik minimal dan destruksi korteks yang menunjukkan pola
pertumbuhan agresif. Dapat ditemukan fraktur patologik dan matriks osteoid
minimal.
e. Small cell osteosarcoma memperlihatkan lesi litik permeatif, destruksi korteks,
massa jaringan lunak, reaksi periosteal, serta kalsifikasi matriks osteoid
f. Low grade central osteosarcoma memperlihatkan lesi litik destruktif ekspansil,
disrupsi korteks, massa jaringan lunak, dan reaksi periosteal.
Pasca kemoterapi, radiografi konvensional dapat digunakan untuk menilai
pengurangan ukuran massa, penambahan ossifikasi, dan pembentukan
peripheral bony shell. Foto x-ray thorax proyeksi AP/PA untuk melihat adanya
metastasis paru dengan ukuran yang cukup besar.

11
2. Computed Tomography (CT) Scan 18
CT scan dapat berguna untuk memperlihatkan detail lesi pada tulang
kompleks dan mendeteksi matriks ossifikasi minimal. Selain itu dapat digunakan
untuk mendeteksi metastasis paru. Kegunaan lain dari CT scan adalah tuntunan
biopsi tulang (CT guided bone biopsy). CT scan thoraks berguna untuk
mengidentifikasi adanya metastasis mikro pada paru dan organ thoraks.
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI) 18
MRI merupakan modalitas terpilih untuk evaluasi ekstensi lokal tumor dan
membantu menentukan manajemen bedah yang paling sesuai. MRI dapat
menilai perluasan massa ke intramedular (ekstensi longitudinal, keterlibatan
epifisis, dan skip lession), perluasan massa ke jaringan lunak sekitarnya dan
intraartikular, serta keterlibatan struktur neurocaskular. Pemberian kontras
gadolinium dapat memperlihatkan vaskularisasi lesi, invasi vaskular, dan area
kistik atau nekrotik. Pasca kemoterapi, MRI digunakan untuk menilai ekstensi
massa dan penambahan komponen nekrotik intramassa. Dynamic MRI juga
dapat digunakan untuk menilai repson pasca kemoterapi.
4. Kedokteran Nuklir 18
Bone scintigraphy digunakan untuk menunjukkan suatu skip metastasis
atau suatu osteosarkoma multisentrik dan penyakit sistemik.
5. Biopsi 18
Pemeriksaan histopatologi dilakukan dengan menggunakan biopsi jarum
halus (fine needle aspiration biopsy- FNAB) atau dengan core biopsy bila hasil
FNAB inkonklusif. FNAB mempunyai ketepatan diagnosis antara 70-90%.
Penilaian skor Huvos untuk mengevaluasi secara histologis respons
kemoterapi neoadjuvant. Pemeriksaan ini memerlukan minimal 20 coupe.
Penilaian dilakukan secara semi kuantitatif dengan membandingkan luasnya
area nekrosis terhadap sisa tumor yang riabel:
Grade 1: sedikit atau tidak ada nekrosis (0-50%)
Grade 2: nekrosis >50-90%.
Grade 3: nekrosis 90-99%.
Grade 4: nekrosis 100%.
Penilaian batas sayatan diperoleh dari jaringan intramedulari segmen
tulang proksimal.
6. Pemeriksaan Lainnya 18
Pemeriksaan lain yang dimaksud adalah fungsi organ-organ sebagai
persiapan operasi, radiasi, maupun kemoterapi. Pada kemoterapi akan diberikan
sitostatika, bersifat sistemik baik khasiat maupun efek samping, sehingga fungsi-
fungsi organ harus baik. Di samping itu, juga diperiksa adanya komorbiditas yang
aktif, sehingga harus diobati, atau dicari jalan keluarnya sehingga penderita tidak
mendapatkan efek samping yang berat, bahkan dapat menyebabkan morbiditas
pada waktu terekspos kemoterapi (treatment related morbidity/mortality).
Pemeriksaan tersebut meliputi fungsi paru, fungsi jantung (echo), fungsi
liver, darah lengkap, termasuk hemostasis. D-Dimer, fungsi ginjal, elektrolit, dan
LDH sebagai cermin adanya kerusakan sel yang dapat digunakan sebagai
prognosis. Pada waktu tindakan, fungsi organ yang relevan harus dapat toleran
terhadap tindakan tersebut.

g. Diagnosis

12
Gejala osteosarkoma dapat hadir untuk waktu yang signifikan, kadang-kadang
beberapa minggu hingga berbulan-bulan sebelum pasien pergi ke dokter. Gejala
yang paling umum muncul adalah nyeri tulang, terutama dengan aktivitas. Orang tua
seringkali datang ke dokter dengan kekhawatiran bahwa anak mereka mengalami
keseleo, radang sendi, atau growing pains. Bisa jadi terdapat riwayat cedera
muskuloskeletal yang dilaporkan.
Fraktur patologis bukan merupakan andalan ciri umum perkembangan
osteosarkoma, kecuali untuk jenis ostesarkoma telangiectatic, yang berhubungan
dengan fraktur patologis. Rasa sakit yang dihasilkan dapat bermanifestasi sebagai
pincang. Pembengkakan atau benjolan bisa jadi dilaporkan, tergantung pada ukuran
dan lokasi tumor. Gejala sistemik, seperti yang terlihat pada limfoma (demam,
keringat malam, dll.), jarang terjadi 19.
Gejala pernapasan jarang terjadi; jika ada maka akan menunjukkan keterlibatan
paru yang luas. Gejala tambahan umumnya tidak ditemukan karena metastasis ke
situs lain sangat jarang. Temuan pemeriksaan fisik biasanya difokuskan di sekitar
lokasi primer tumor dan dapat meliputi temuan berikut 19:
 Massa teraba yang mungkin lunak dan hangat dengan atau tanpa denyut atau
bruit; tanda-tanda ini tidak spesifik
 Keterlibatan sendi dengan penurunan rentang gerak
 Limfadenopati lokal atau regional (penemuan tidak biasa)
 Temuan pernapasan dengan bentuk metastasis

h. Tatalaksana
1. Bedah 20,21,22
Tujuan dari bedah tumor adalah reseksi lengkap penyakit melalui eksisi
luas tumor. Opsi bedah dapat dibagi menjadi limb salvage dan amputasi.
Teknik limb salvage memberikan metodologi pengobatan yang aman
untuk 85-90% pasien dengan osteosarkoma. Ada dua langkah penting
penyelamatan anggota tubuh, yakni reseksi dan rekonstruksi. Reseksi harus
mencakup eksisi dari situs biopsi sebelumnya dengan margin minimal 2 cm.
Semua pembuluh darah utama harus diidentifikasi sebelum ligasi. Pencitraan
sebelum operasi, seperti tulang dan CT scan, harus dilakukan untuk menentukan
jumlah tulang yang perlu diosteotomi, dengan jarak sekitar 6-7 cm ke lesi untuk
memastikan margin yang jelas. Rekonstruksi merupakan langkah selanjutnya
dari limb salvage. Tulang yang tidak menahan beban seperti klavikula atau fibula
proksimal tidak memerlukan rekonstruksi karena eksisi tidak akan menyebabkan
defisit fungsional. Rekonstruksi pada tulang yang menahan beban dibagi menjadi
penggantian endoprostetik dan rekonstruksi biologis. Teknik amputasi hanya
diperuntukkan bagi tumor yang tidak dapat direseksi dengan kontaminasi
jaringan lunak dan neuromuskuler yang tidak dapat diperbaiki.
2. Kemoterapi 20,21,22
Agen kemoterapi lini pertama yang digunakan dalam osteosarkoma
adalah doxorubicin, cisplatin, ifosfamide dan methotrexate. Kemoterapi multi-
agen neoadjuvan dimulai segera setelah diagnosis selama 8-12 minggu; setelah
re-staging untuk mengevaluasi respons terhadap induksi kemoterapi, apabila
tumor dapat direseksi dan tidak terdapat skip lesions, reseksi luas dan
rekonstruksi ekstremitas dapat dilakukan.
Spesimen yang direseksi kemudian dianalisis secara histopatologis untuk
menentukan apakah margin yang memuaskan telah dicapai; respon terhadap

13
kemoterapi dinilai berdasarkan derajat nekrosis sel tumor, yang dapat
memprediksi risiko kekambuhan dan kelangsungan hidup lokal. Setidaknya 30
bidang mikroskop dalam tumor diperiksa untuk melihat tingkat nekrosis; tingkat
nekrosis minimum 90% diperlukan untuk respon yang baik. Faktor selain margin
reseksi dan respons kemoterapi yang secara independen memprediksi hasil
yang lebih buruk meliputi ukuran tumor yang besar, operasi ablatif, usia di bawah
14 tahun, jenis kelamin laki-laki, ALP tinggi, rekurensi lokal, ekspresi p-
glikoprotein, dan tidak ada nya ekspresi Erb2. Jika nekrosis tumor ditemukan,
kemoterapi dilanjutkan selama 6-12 bulan lagi. Namun apabila responnya buruk,
maka rejimen kemoterapi diganti dengan rejimen yang berbeda. Metastasis paru,
terutama jika ukurannya kecil dan terletak di tepi, dapat sepenuhnya direseksi
dengan irisan jaringan paru-paru.
3. Terapi Radiasi 20,21,22
Terapi radiasi memiliki peran kontroversial dalam pengobatan
osteosarkoma karena efektivitasnya yang dipertanyakan dan risiko infeksi terkait.
Sebuah studi retroaktif pada 2013 meninjau 101 pasien dengan sarkoma (37 di
antaranya memiliki osteosarkoma) setelah menerima iradiasi ekstrakorporeal
(ECI) dan menghasilkan beberapa hasil yang menjanjikan. ECI terdiri atas
reseksi en bloc tulang yang terlibat, perawatan setiap segmen tulang dengan
radiasi 50 Gy, dan replantasi ultima tulang. Tidak satu pun pasien dengan
osteosarkoma dilaporkan mengalami kekambuhan penyakit.

i. Deteksi dini
Hingga saat ini, tidak ada tes skrining yang dapat direkomendasikan untuk
osteosarkoma. Namun, kebanyakan osteosarkoma dapat ditemukan pada tahap
awal sebelum menyebar ke bagian tubuh yang lain. Gejala-gejala yang ditimbulkan
pada osteosarkoma dapat menjadi deteksi dini. Tanda dan gejala yang dapat timbul
dari osteosarkoma adalah nyeri atau pembengkakan yang biasanya terjadi di sekitar
lutut atau lengan atas dan nyeri tersebut semakin meningkat saat beraktivitas serta
menimbulkan kelemahan pada tulang lutut. Selain nyeri, benjolan adalah gejala lain
dari osteosarkoma. Pada beberapa orang yang berisiko tinggi terkena osteosarkoma
karena penyakit tulang tertentu ataupun adanya faktor risiko harus selalu melakukan
pemantauan 23.

4. Kista baker

a. Definisi
Baker’s cyst didefinisikan sebagai distensi abnormal berisi cairan dari bursa
gastrocnemius-semimembranosus. Kista ini biasanya meluas ke posterior diantara
tendon medial head muskulus gastrocnemius dan muskulus semimembranosus
melalui suatu saluran hubungan dengan sendi lutut. Kista paling sering terdapat di
aspek posteromedial lutut 24.

b. Etiologi
Kista sinovial poplitea, juga dikenal sebagai kista Baker. Kista baker diakibatkan
oleh penumpukan cairan sendi yang terjebak, yang menonjol dari kapsul sendi di
belakang lutut sebagai kantung yang menonjol. Kista Baker biasanya disebabkan
karena noninfeksius efusi lutut sekunder karena kondisi seperti meniscal tears,
osteoarthritis, rheumatoid arthritis, trauma, synovitis ataupun pembedahan pada

14
daerah lutut 25.Pembentukan kista poplitea pada orang dewasa sering ditemukan
dalam hubungan dengan gangguan intraartikular, hingga 94% .32 Patologi lutut yang
telah dikaitkan dengan kista Baker termasuk adanya robekan meniskus, ukuran efusi
23,32,35. 23 osteoartritis, 37 lesi chondral, 32 arthritis radang, dan air mata ligamen
anterior cruciate. Dari gangguan ini, air mata meniskus paling sering dikaitkan
dengan kista poplitea 26.

c. Faktor resiko
kista baker timbul biasanya dari hampir semua bentuk radang sendi lutut
contohnya rheumatoid athritis atau tulang rawan terutama area meniskusyang
sobek. Kista baker muncul di antara kepala tendin, medial gastrocnemius dan otot
semimebranosus, posterior dari kondilus femoralis median. Menghasilkan tonjolan
posterio. Jika membesar akan teraba dan kristik. Faktor resiko berupa Masalah lutut
seperti osteoartritis , robekan meniscal , rheumatoid arthritis 27.

d. Klasifikasi
Kista Baker diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu primer atau idiopatik dan
sekunder 28
a. Kista Baker Primer
Kista Baker primer berdasal jika terdapat distensi bursa
semimembranosus dengan sendi lutus tidak terkait dengan penyakit sendi lain
dan tidak terdapat hubungan antara bursa semimembranosus-gastroocnemius
dan rongga sendi lutut.
b. Kista Baker Sekunder
Kista Baker sekunder berasal jika adanya kaitan dengan penyakit sendi
lain dan terdapat hubungan yang terbuka antara bursa semimembranosus-
gastrocnemius dan rongga sendi lutut. Sebagian besar Baker’s cyst adalah kista
sekunder dan terkait dengan penyakit degeneratif sendi lutut.
.
e. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dari Baker’s cyst bervariasi. Pada anak-anak, kista inisering
ditemukan secara insidental pada pemeriksaan fisik. Gambaran klinispada pasien
dewasa dapat berupa nyeri lutut posterior, pembengkakan ataumassa lokal, dan
terasa tegang di daerah poplitea. Gejala dan temuan fisiklainnya sering berkaitan
dengan penyakit lain yang terkait dengan kista.Pembesaran progresif dari Baker’s
cyst dapat menyebabkan pseudotromboflebitisakibat kebocoran atau ruptur dari
kista dan deep vein trombosis akibat kompresilangsung pada arteri dan vena
poplitea 29,30.

f. Pemeriksaan penunjang
b) USG 31
Ultrasonografi (USG) adalah alat pencitraan non-invasif, mudah tersedia,
akurat, dan hemat biaya untuk mendiagnosis kista baker. USG memungkinkan
penilaian jenis massa solid atau kistik, ukuran dan volume kista, hubungannya
dengan otot, tendon, pembuluh darah yang berdekatan dan adanya komplikasi.
USG juga berperan dalam memandu aspirasi kista. Kelemahan USG adalah
kurang sensitive terhadap lesi intra-artikular sehinga diperlukan pencitraan lebih
lanjut untuk mengkonfirmasi adanya kerusakan internal yang terkait. Gambaran
lain berupa X shaped dan grape life form. Gambar X shaped terjadi karena

15
adanya hubungan antara bursa semimembranosus dan gastrocnemius medial.
Grape like form berkaitan dengan kelainan pada remathoid atau arthritis
inflamasi lutut lainnya. Septasi atau doughter cyst membentuk gambaran grape
like form.
c) MRI 31
Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan gold standar dalam
visualisasi dan karakterisasi massa lutut. MRI dapat bersifat non-invasif dan tidak
melibatkan paparan radiasi. MRI dapat mengkornfirmasi, sifat unilocular dan
kistik dari kista poplitea jinak, mengevaluasi hubungan dengan struktur anatomi
di sendir dan jaringan sekitarnya, dan menggambarkan patologi intra-artikular.
Pada MRI, kista baker tampak sebagai massa dengan intensitas sinyal rendah
pada T1-weighted image, intensitas sinyal menengah pada proton density, dan
intensitas sinyal tinggi pada proton density-weighted fat saturation. Kelebihan
dari MRI adalah memiliki kemampuan gambar axial untuk memvisualisasi leher
dari hubungan kista dengan sendi yang berisi cairan.
d) Biopsi 32
Manajemen tumor yang berhasil didasarkan pada diagnosis histologis
yang akurat. Biopsi jarum secara rutin digunakan dengan atau tanpa panduan
CT untuk membuat diagnosis sarkoma. Namun, biopsi insisi terbuka, yang
melibatkan pemotongan dan pengambilan sepotong lesi, tetap menjadi standar
emas untuk diagnosis tetapi berisiko kontaminasi jaringan yang berdekatan.
Risiko kontaminasi luka dengan biopsi insisi dapat diminimalisir dengan
kepatuhan pada prinsip-prinsip bedah berikut:
1. Penempatan Sayatan yang Benar
2. Minimal Diseksi Jaringan Lunak
3. Menghindari Struktur Neurovaskular dan Sendi Berdekatan.
4. Spesimen yang memadai.
5. Penutupan Luka Ketat
6. Komplikasi
7. Hemostasis yang ketat.

Gambar: Biopsi jarum[2]

16
Gambar: Biopsi insisi longitudinal 32

Biopsi eksisi en bloc juga dapat dilakukan sebagai alternative biopsiuntuk


mendapatkan tumor jinak yang jelas. 32

Gambar: biopsy eksisi en bloc 32

g. Diagnosis
Pasien biasanya datang dengan gejala patologi meniscal atau chondral. Gejala
yang terkait dengan asal kista poplitea jarang terjadi dan mungkin terkait dengan
ukuran. Gejala yang berhubungan dengan kista termasuk kepenuhan posterior atau
posteromedial dan rasa sakit, massa, dan kekakuan. Gejala yang paling umum

17
adalah pembengkakan poplitea (76%) dan nyeri posterior (32%). Pasien juga dapat
mengeluh nyeri yang terjadi dengan ekstensi lutut terminal. Secara fungsional,
mereka mungkin mengalami kehilangan fleksi lutut dari kista yang sangat besar
sehingga mereka secara mekanik memblokir fleksi.39 Pemeriksaan akan paling
umum mengungkapkan patologi meniskal atau kondondus lutut. Kepenuhan
posteromedial teraba atau kelembutan dapat hadir jika kista besar. Jika teraba, kista
seringkali akan mengeras dengan ekstensi lutut penuh dan lunak ketika lutut
tertekuk. Temuan ini umumnya dikenal sebagai "tanda Foucher" dan disebabkan
oleh kompresi kista antara kepala medial gastrocnemius dan semimembranosus
karena mereka memperkirakan satu sama lain dan kapsul sendi selama ekstensi
lutut. Hal ini berguna untuk membedakan kista roti dari popliteal lainnya. massa,
seperti aneurisma arteri poplitea, ganglia, kista adventisial, dan tumor, yang palpasi
massa tidak terpengaruh oleh posisi lutut.
Pasien dapat menunjukkan tanda atau gejala tromboflebitis, seperti nyeri betis
atau bengkak dan tanda Homan positif — temuan yang dikenal sebagai sindrom
pseudothromboflebitis.20 Kondisi ini paling sering terlihat dengan kista poplitea yang
besar, membedah, atau pecah 33.

h. Tatalaksana
Jika tidak menimbulkan gejala, Kista Baker tidak memerlukan pengobatan.
Namun apabila pasien mengeluhkan gejala dapat dilakukan tatalaksana sebagai
berikut:
• Non Medikamentosa:
o Istirahatkan kaki, hindari posisi berlutut, berjongkok, mengangkat beban
berat, berlari dan aktivitas lain yang mengakibatkan peregangan pada bagian
posterior dari lutut.
o Beri bantalan es atau bantalan hangat
o Kompresi dengan menggunakan balutan untuk mengurangi pembengkakan
lutut
o Elevasikan kaki
• Medikamentosa
o NSAID sangat membantu apabila terjadi proses peradangan.
Ada dua jenis terapi yang dapat dilakukan untuk kista poplitea yang tidak hilang
spontan atau tidak hilang setelah diberi pengobatan: non surgical dan surgical
1) Nonsurgical Treatment
Mengambil cairan dengan jarum suntik (aspirasi) dapat mengurangi
ukuran kista. Kemudian kortison dapat disuntikkan ke daerah yang terkena untuk
mengurangi peradangan. Injeksi intra-artikular glukokortikoid merupakan terapi
yang sering dilakukan untuk mengatasi gejala dari osteoarthritis pada lutut dan
Kista Baker. Injeksi tersebut terbukti efektif untuk terapi jangka pendek untuk
arthritis yang sangat menyakitkan dan mengecilkan ukuran dari Kista Baker 34.
2) Surgical
Tujuan pembedahan adalah untuk membuang kista dan memperbaiki
lubang di lapisan sendi tempat kista menerobos. Sayangnya, sekitar setengah
dari waktu kista kembali, atau berulang, setelah dibuang. Ahli bedah berhati-hati
ketika menyarankan operasi untuk menghapus poplitea kista karena mereka
cenderung akan berulang. Penyembuhan sering permanen, tetapi mencegah
kembalinya kista tergantung pada keberhasilan mengobati penyebab.

18
Pembedahan memerlukan waktu satu jam untuk menyelesaikannya, dilakukan
baik di bawah anestesi umum atau spinal anestesi 35.

5. Kandrosarkoma

a. Definisi
Kondrosarkoma merupakan neoplasma kartilaginosa ganas dengan beragam
fitur morfologis dan manifestasi klinis. Kondrosarkoma biasanya muncul di panggul
atau tulang panjang. Kondrosarkoma primer atau konvensional timbul pada tulang
normal yang sudah ada sebelumnya dan dibedakan dari tumor sekunder yang terjadi
pada enchondroma atau osteochondroma yang sudah ada sebelumnya;
kondrosarkoma konvensional dibagi menjadi subkelompok sentral, periosteal, dan
perifer; sementara varian kondrosarkoma non-konvensional meliputi kondrosarkoma
clear-cells, kondrosarkoma mesenkimal, dan kondrosarkoma terdiferensiasi 36.

b. Etiologi
Etiologi dari kondrosarkoma belum diketahui dengan pasti. Beberapa unsur dari
fisika dan kimia seperti radiasi, berilium, dan isotop radioaktif diduga sebagai faktor
resiko yang berpotensi terhadap perkembangan tumor kondroid ini. Berdasarkan
hasil penelitian yang terus berkembang ditemukan bahwa kondrosarkoma bisa juga
berkembang dari tumor-tumor tulang jinak berupa enkondroma atau osteokondroma.
Tumor ini dapat terjadi akibat dari efek samping terapi radiasi pada kanker 37. Selain
itu, pasien yang menderita sindrom enkondromatosis seperti penyakit Ollier dan
Sindrom Maffuci biasanya berisiko tinggi terkena kondrosarkoma 38.

c. Faktor resiko
Kondrosarkoma dapat mengenai semua orang dengan berbagai umur, meskipun
lebih sering terjadi pada decade lima atau enam dengan perbandingan laki-laki dan
perempuan 1,5-2 berbanding 1. Kondrosarkoma jarang terjadi pada anak 39.

d. Klasifikasi
Kondrosarkoma memiliki berbagai bentuk dan pada umumnya diidentifikasikan
sesuai dengan: (a) lokasi di tulang (pusat atau perifer); (b) apakah berkembang
tanpa prekursor jinak (kondrosarkoma primer) atau perubahan menjadi keganasan
dari lesi jinak yang sudah ada sebelumnya (kondrosarkoma sekunder); dan (c) tipe
sel yang dominan pada tumor 40.
a. Kondrosarkoma Sentral Primer
Sekitar 85% kondrosarkoma merupakan kondrosarkoma sentral primer
yang menempati rongga meduler. Secara radiografis, kondrosarkoma sentral
primer muncul sebagai tumor osteolitik yang besar, intraoseus, dengan zona
transisi yang sempit dan kalsifikasi granular yang tidak teratur dalam matriks
yang digambarkan sebagai 'sarang lebah' atau 'popcorn'. Dapat terjadi
scalloping endosteal korteks yang berakhir pada kerusakan kortikal; dapat
ditemukan reaksi periosteal yang samar. Tumor tumbuh di sepanjang kanal
meduler; ekstensi jaringan lunak lebih umum pada kondrosarkoma pelvis. CT
berguna untuk menunjukkan kalsifikasi matriks dan penghancuran permeatif
pada tumor 40.

19
20
b. Kondrosarkoma Sentral Sekunder
Kondrosarkoma sentral sekunder timbul pada enchondroma yang
awalnya jinak. Temuan klinis meliputi pemendekan ekstremitas asimetris,
pembengkakan jari tangan dan kaki dan pergerakan sendi interfalangeal yang
terganggu. Kondrosarkoma sentral sekunder dapat terjadi secara unilateral,
tetapi seringkali bersifat bilateral. Fraktur patologis pada tulang yang terkena
dapat terjadi. Pasien Ollier’s disease dan sindrom Maffucci memiliki risiko yang
lebih signifikan untuk mengalami kondrosarkoma sekunder (20-30% dan 40-
50%), biasanya pada dekade ketiga atau keempat 40.
c. Kondrosarkoma Periferal Sekunder
Kondrosarkoma periferal sekunder muncul dari cartilago cap eksostosis
(osteokondroma) yang telah ada sejak kecil. Eksostosis panggul dan skapula
lebih rentan terhadap perubahan menjadi keganasan dibandingkan bagian lain
karena situs ini memungkinkan pertumbuhan yang tidak terdeteksi. Perubahan
menjadi keganasan dikaitkan dengan 1% osteokondroma soliter dan pada 4%
pasien dengan multiple osteochondromas (MO) (diaphyseal aclasia); biasanya
terjadi pada dekade keempat, jauh lebih awal dibandingkan kondrosarkoma
meduler pusat. Cartilage cap yang lebih tebal dari 1,5 cm apabila diukur dengan
MRI dapat mengindikasikan perubahan ganas dan eksisi bedah 40.
d. Kondrosarkoma Periosteal
Kondrosarkoma periosteal merupakan jenis kondrosarkoma yang lebih
jarang. Kondrosarkoma periosteal muncul dari periosteum dari metafisis tulang
paha atau humerus, umumnya pada dekade kedua hingga keempat. Dapat
terjadi nyeri dan pembengkakan; pencitraan menunjukkan massa lobular yang
berdekatan dengan korteks yang seringkali mengandung flek kalsifikasi, serta
garis 'sunray' dan pembentukan tulang baru pada margin stripped periosteum;
keterlibatan medula jarang terjadi. Secara histologis pada umumnya termasuk
kondrosarkoma tingkat I atau II. Rekurensi lokal tergantung pada margin eksisi
bedah, dengan tingkat rekurensi dilaporkan hingga 29%; kelangsungan hidup
bebas metastasis tergantung pada derajat histologis 40.
e. Kondrosarkoma Clear-cells
Kondrosarkoma clear-cells umumnya memiliki lokasi di epifisis femur
proksimal atau distal atau humerus dan lebih sering ditemukan pada pria pada
usia antara dekade ketiga dan kelima kehidupan. Kondrosarkoma clear-cells
memiliki pertumbuhan lambat dan merupakan tumor derajat rendah.
Kondrosarkoma clear-cells menimbulkan rasa sakit dan keterbatasan sendi dan
muncul sebagai lesi osteolitik dengan transisi sempit, tepi sklerotik sempit dan
kalsifikasi matriks kecil. Secara histologis, kondrosarkoma clear-cells bisa sulit
dibedakan dari kondroblastoma, yang membedakan adalah kondrosarkoma
clear-cells berkembang pada orang dewasa dan tidak memiliki mutasi IDH yang
terjadi pada kondrosarkoma lainnya. Prognosis jangka panjang baik, meskipun
terdapat laporan metastasis lanjut yang memerlukan pengawasan jangka
panjang setelah eksisi bedah luas 40.
f. Kondrosarkoma Mesenkimal
Kondrosarkoma mesenkimal merupakan kondrosarkoma yang sangat
ganas dan berdiferensiasi buruk yang biasanya terdapat pada sebagian besar
kelompok umur (median 30 tahun) di berbagai situs anatomi (ekstremitas,
panggul, vertebra, kraniofasial) termasuk sepertiga ekstraskeletal. Penampilan
radiografi mirip dengan jenis kondrosarkoma umum tetapi perilaku klinis tumor

21
biasanya lebih agresif. Prognosis sangat bervariasi, dengan penyakit metastasis
saat diagnosis memberikan prognosis terburuk. Kelangsungan hidup 5 tahun
secara keseluruhan adalah sekitar 50%. Reseksi luas dan kemoterapi ajuvan
dijadikan standar perawatan; metastasis lanjut merupakan ciri dari penyakit
langka ini 40.

e. Manifestasi klinis
 Kondrosarkoma Primer 41
1. Kondrosarkoma Intramedullari
Gejala klinis sebagian besar tidak spesifik. Nyeri lokal adalah gejala yang
paling sering muncul (sekitar 80%) setelah pembengkakan lokal. Gejala-
gejalanya biasanya berbahaya, progresif, dan lebih buruk di malam hari dan
memiliki durasi yang lama (beberapa bulan atau tahun). Fraktur patologis juga
umum terjadi pada gejala awal (hingga 27%). Radiografi CHS konvensional
biasanya menunjukkan pola litik dan sklerotik campuran dengan kalsifikasi
kecil yang khas, sering disebut kalsifikasi "popcorn" atau "ringlets". Pada
tulang panjang, CHS primer paling sering melibatkan metafisis (49%), diikuti
oleh diafisis (36%).

2. Kondrosarkoma pada Tangan dan Kaki


Nyeri (biasanya tanpa fraktur) biasanya muncul. Ukuran rata-rata sekitar
3 cm (kisaran, 1–8 cm). Secara radiologis, CHS adalah lesi yang dominan,
kadang-kadang dengan area kalsifikasi yang jelas, dengan kerusakan kortikal
tidak teratur dan ekstensi ke jaringan lunak sekitarnya.
3. Kondrosarkoma pada Regio Kraniofasial
Sebagian besar pasien datang dengan gejala yang berkaitan dengan
sistem saraf pusat. Pencitraan CT dan MR mengungkapkan kerusakan tulang
dan massa jaringan lunak terkait biasanya mengandung area mineralisasi
kondroid.
4. Kondrosarkoma Periosteal (Juxtacortical)
Tanda-tanda dan gejala klinis sebagian besar tidak spesifik dan muncul
dengan nyeri atau massa yang tumbuh perlahan. Lesi tampaknya melibatkan

22
korteks dengan margin yang tidak jelas. Pada radiografi, tumor sering muncul
sebagai massa jaringan lunak juxtacortical radiolusen dengan batas tegas
yang mengandung karakteristik kalsifikasi tumor kartilago.
 Kondrosarkoma Sekunder 41
1. Kondrosarkoma Sekunder Perifer
Dalam Ostekondroma, lesi yang terus tumbuh atau menyebabkan rasa
sakit setelah maturitas tulang menunjukkan transformasi ganas karena
ostekondroma jarang tumbuh setelah maturasi skeletal. Tutup tulang rawan
hialin yang tebal lebih besar dari 1,5 ~ 2,0 cm (dalam ostekondroma: tebal 6
sampai 8 mm) pada pasien yang telah matang secara skeletal telah dikutip
sebagai tanda kemungkinan transformasi ganas.

2. Kondrosarkoma Sekunder Sentral


CHS sekunder pusat berkembang sebagai transformasi ganas dari
enchondroma (sangat jarang) atau enchondromatosis seperti penyakit Ollier
atau sindrom Maffucci.
Penyakit Ollier adalah kelainan perkembangan nonherediter yang
ditandai dengan beberapa enchondroma sepanjang epifisis, metafisis, dan
diafisis kerangka. Ukuran, jumlah, lokasi, dan evolusi enchondroma cukup
bervariasi. Secara klinis, penyakit Ollier sering menunjukkan keterlibatan
unilateral ekstremitas asimetris, unilateral, tetapi sering bilateral di tangan dan
kaki. Setiap bagian dari kerangka yang dibentuk oleh osifikasi endokhondral
dapat dipengaruhi; Namun, penyakit Ollier jarang mempengaruhi tulang yang
terbentuk oleh osifikasi membran, seperti tulang tengkorak dan wajah.
Sindrom Maffucci adalah suatu kondisi di mana enchondromatosis dikaitkan
dengan hemangioma jaringan lunak.
Perkembangan rasa sakit serta penampilan massa jaringan lunak, area
kerusakan tulang, scalloping endosteal, reaksi periosteal, dan fraktur tanpa
trauma yang signifikan menimbulkan kecurigaan transformasi ganas dari
enchondromatosis.
 Kondrosarkoma Berdiferensiasi 41
Para pasien paling sering hadir dengan rasa sakit (90%), diikuti oleh fraktur
patologis dan massa jaringan lunak. Proporsi komponen noncartilaginous sangat
bervariasi dan mungkin sering osteosarkoma, fibrosarkoma, atau histiositoma
berserat ganas. Rhabdomyosarcoma, leiomyosarcoma, dan angiosarcoma telah
dilaporkan sebagai komponen terdiferensiasi. CHS yang berdiferensiasi memiliki
berbagai tampilan radiologis; Namun, keberadaan "dimorfisme tumor" dengan
komponen tulang rawan dan komponen litik agresif menyerang jaringan lunak
yang berdekatan menunjukkan diagnosis CHS yang terdiferensiasi.

23
 Kondrosarkoma Mesenchymal 41
Sebagian besar pasien mengalami nyeri dan / atau pembengkakan. Durasi
gejala sebelum diagnosis histologis cukup bervariasi, mulai dari beberapa hari
hingga beberapa tahun. Osteomalasia onkogenik sekunder akibat CHS
mesenchymal telah dilaporkan.
Roentgenografis, CHS mesenchymal dalam tulang sering menyerupai CHS
biasa, menunjukkan penampilan osteolitik dan destruktif dengan kalsifikasi.
Tumor di situs ekstraskeletal hampir selalu diidentifikasi sebagai massa dengan
kepadatan kalsifikasi flokulen atau ditetapkan. Sklerosis atau reaksi periosteal
jarang terjadi, sementara ekspansi tulang, kerusakan kortikal, atau terobosan
kortikal dengan ekstensi jaringan lunak yang luar biasa sering terjadi.
 Kondrosarkoma Clear Cell 41
Secara klinis, CHS clear cell muncul satu atau dua dekade lebih lambat
daripada chondroblastoma. Gejala klinisnya tidak spesifik; Namun, rasa sakit
adalah gejala yang paling umum muncul. Lebih dari setengah pasien mengalami
rasa sakit selama lebih dari satu tahun.
Secara rontgenografis, lesi ini biasanya terletak pada metafisis epifisis tulang
panjang. Lesi ini paling sering berupa litik murni dan sedikit ekspansil, dengan
margin yang tajam antara tumor dan tulang normal yang berdekatan. Biasanya,
tidak ada kerusakan kortikal atau pembentukan tulang baru periosteal. Lebih dari
sepertiga dari lesi tulang panjang mengandung mineralisasi matriks dengan
penampilan chondroid yang khas. Fraktur patologis kadang-kadang hadir. Lesi
tulang datar biasanya bersifat litik dan ekspansil dengan area yang kadang
menunjukkan gangguan kortikal. Biasanya, mineralisasi matriks, jika ada, adalah
amorf. Edema sumsum tulang yang berdekatan biasanya tidak ada atau hanya
diamati secara minimal.

24
f. Pemeriksaan penunjang
Kecurigaan ke arah kondrosarkoma sering kali didasarkan pada foto toraks,
khususnya gambaran pola matriks kondroit ring and arc dengan ciri pertumbuhan
agresif. Tambahan modal pencitraan lainnya meliputi CT scan, MRI, dan bone
scintigraphy yang diperlukan untuk evaluasi, staging, dan sebagai pedoman reseksi
bedah 42.

g. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi
pemeriksaan radiologi dan patologi anatomi. Kecurigaan ke arah kondrosarkoma
sering kali didasarkan pada foto toraks, khususnya gambaran matriks kondroit ring
and arc pertumbuhan agresif. Foto polos merupakan pemeriksaan penting dalam
diagnosis awal. Dari foto polos dapat tergambar lokasi lesi, sifat kartilago, dan
agresivitas tumor. Tampilan khas lesi tulang rawan pada radiografi polos adalah
kalsifikasi diskret. Lesi dapat bersifat radiolusen atau sklerotik disertai kalsifikasi.
Tampilan lesi bergantung pada jumlah mineralisasi yang terjadi. Baik
kondrosarkoma primer ataupun sentral memberikan gambaran radiolusen pada area
dekstruksi korteks. Di samping pemeriksaan radiologi, diagnosis kondrosarkoma
dapat ditunjang oleh pemeriksaan mikroskopis. Tambahan modal pencitraan lainnya
meliputi CT scan, MRI, dan yang diperlukan untuk evaluasi, pedoman reseksi bedah
43
.

h. Tatalaksana
Jenis terapi yang diberikan bergantung pada beberapa hal dibawah ini 44:
a) Ukuran dan lokasi
b) Menyebar atau tidaknya sel kanker
c) Grade dari sel kanker
d) Keadaan kesehatan umum pasien
Pasien dengan kondrosarkoma memerlukan terapi kombinasi dari pembedahan,
kemoterapi, dan radioterapi 44.
1) Pembedahan
Pembedahan merupakan langkah utama dalam penatalaksanaan
kondrosarkoma karena kondrosarkoma kurang berespon terhadap terapi radiasi
dan kemoterapi. Kuret intralesi dilakukan untuk lesi grade rendah, eksisi radikal,
bedah beku hingga amputasi radikal untuk lesi agresif grade tinggi.
2) Kemoterapi
Kemoterapi dilakukan jika kanker telah menyebar ke area tubuh lain
dengan menggunakan obat anti kanker (cytotoxic) untuk menghancurkan sel-sel
kanker.
3) Radioterapi
Radioterapi mempunyai prinsip yaitu membunuh sel kanker
menggunakan sinar berenergi tinggi. Radioterapi diberikan apabila masih ada
residu tumor, baik makro maupun mikroskopik. Radiasi diberikan dengan dosis
per fraksi 2,5 Gy per hari dan total 50-55 Gy memberikan hasil bebas tumor
sebanyak 25% 15 tahun setelah pengobatan. Pada kasus-kasus yang hanya
menjalani operasi saja menunjukkan kekambuhan pada 85%. Efek samping

25
general radioterapi adalah nausea dan malasea. Efek samping ini dapat
diminimalkan dengan mengatur jarak dan dosis radioterapi.

26
BAB III
KESIMPULAN

Pria 18 tahun mengalami osteosarkoma pada femur distal posterior.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Marieb EN, Brady PM, Mallatt JB. Human Anatomy, Global Edition. 8th ed. Harlow,
United Kingdom: Pearson Education Canada; 2017.
2. FKUI. Buku Ajar Penyakit Dalam, Jilid III Edisi V. Jakarta: Internal Publishing; 2009.
3. Maulina M. Kerusakan Proteoglikan pada Osteoporosis. Jurnal Ilmiah Sains, Teknologi,
Ekonomi, Sosial dan Budaya. 2017: 1(1); 61-67.
4. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 2.
Cetakan Pertama. Surabaya: Airlangga University Press; 2015.
5. Tortora GJ, and Derrickson B. Principles of Anatomy & Physiology. 13th Edition. John
Wiley & Sons, Inc; 2012.
6. Zier B, Erb G, Berman A, dan Snyder S. Buku Ajar Keperawatan Klinis. Eds 5. Jakarta:
EGC; 2004.
7. Sloane et all. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC; 2004.
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Penatalaksaan Osteosarkoma.
Jakarta.
9. Komite Penanggulanan Kanker Nasional. Panduan Penatalaksanaan Osteosarkoma. In:
KEMENKES RI [Internet]. 2015. p. 1–40. Available from:
http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PPKOsteosarkoma.pdf
10. Seger RW. Studi Kasus Osteosarkoma Metastase. Jurnal Widya Medika Surabaya.
2014
11. Komite Penanggulangan Kanker Nasional. Panduan Penatalaksanaan Osteosarkoma.
Kemenkes RI.
12. Kemenkes RI. Osteosarkoma. 2019.
13. Raymond AK, Ayala AG, Knuutila S. Conventional Osteosarcoma. WHO Classification of
Tumours. Pathology & Genetics Tumour of Soft Tissue and Bone. editor: Fletcher CDM,
Unni KK, Merlens. FIARC Press Lyon 2002; 26885.
14. Nielsen GP, Rosenberg AE. Osteosarcoma. In: Folpe AE, Inwards CY, editors. Bone
and Soft Tissue Pathology. Philadelphia: Saunder Elsevier; 2010; p. 320-29.
15. Rosenberg AF. Osteosarcoma. Robbins and Cotran Pathology basis of Disease edisi 8
editor: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. Saunder Elsevier Philadelphia; 2010:
1225.
16. Horvai A. Osteosarcoma. In: Kumar V, Abbas A, Aster J, editors. Robbins and Cotran
Pathology Basis of Disease (Ninth Edition). Philadelphia: Saunders Elsevier, 2015; p.
1198-200.
17. Saha D, Saha K, Banerjee A, Jash D. Osteosarcoma relapse as pleural metastasis.
South Asia Journal Cancer. 2013; 2:56.
18. Komite Penanggulangan Kanker Nasional. Panduan Penatalaksanaan Kanker Tulang
(Osteosarkoma). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
19. Prater S, McKeon B. Cancer, Osteosarcoma. [Updated 2019 Nov 12]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019 Jan- [cited 26 November
2019]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK549868/
20. Misaghi A, Goldin A, Awad M, Kulidjian AA. Osteosarcoma: a comprehensive review.
SICOT J. 2018;4:12.
21. Blom A, Warwick D, Whitehouse M, Solomon L. Apley & Solomon's System of
Orthopaedics and Trauma. 10th ed. Boca Raton, FL: CRC Press; 2018.
22. O'Kane GM, Cadoo KA, Walsh EM, et al. Perioperative chemotherapy in the treatment
of osteosarcoma: a 26-year single institution review. Clin Sarcoma Res. 2015;5:17.

28
23. American Cancer Society. Osteosarcoma Early Detection, Diagnosis, and Staging;
2018.
24. Ward EE, Jacobson JA, Fessell DP, Hayes CW, Holsbeeck MV. Sonographic Detection
of Baker’s Cysts: Comparison with MR Imaging. Am J Roentgenol. 2001;176:373-80
25. Sumber: Lee, Dennis. Baker’s Cysts. Updated April 14, 2011.
26. Frush TJ, & Noyes FR. 2015. Baker's Cyst: Diagnostic and Surgical
Considerations. Sports health, vol. 7(4):359–365
27. Leib AD, Roshan A, Foris LA, Varacallo M. Baker's Cyst. StatPearls. 2019.
28. Chen CK, Lew HL, Liao RIH. Ultrasound-Guided Diagnosis and Aspirationof Baker’s
Cyst. M. J. Phys. Rehabil. 2012; 91(11).
29. Tsang JPK, Yuen MK. Sonography of Baker’s Cyst (Popliteal Cyst): theTypical and
Atypical Features. Hong Kong J Radiol. 2011;14:200-6.
30. Neubauer H, Morbach H, Schwarz T, Wirth C, Girschick H, Beer M. ClinicalStudy
Popliteal Cysts in Paediatric Patients: Clinical Characteristics andImaging Features on
Ultrasound and MRI. Arthritis. 2011.
31. Riastiti Y. Gambaran Baker’s Cyst pada Pemeriksaan Ultrasonografi. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada. 2014.
32. Iannotti JP. Parker RD. The Netter Collection of Medical Illustrations Frank H. Netter,
MD Part III Biology and Systemic Diseases, 2E. Elsevier. 2011.
33. Frush, T. J., & Noyes, F. R. 2015. Baker's Cyst: Diagnostic and Surgical
Considerations. Sports health, vol. 7(4):359–365.
34. Bellamy N, Campbell J, Robinson V, Gee T, Bourne R, Wells G. Intraarticular
corticosteroid for treatment of osteoarthritis of the knee. Cochrane Database of
Systematic reviews 2006, Issue 2. Art. No.: CD005328. DOI:
10.1002/14651858.CD005328.pub2.
35. Gary B. Clark, MD, MPA. Poplitea (Baker’s) Cysts of the Knee. Journal of Prolotherapy.
2010 May; Vol 2 (2).
36. Limaiem F, Sticco KL. Cancer, Chondrosarcoma. [Updated 2019 Nov 12]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019 Jan- [cited 26 November
2019]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538132/?report=classic
37. Abraham VJ, Devgarha S, Mathur RM, Sisodia A, Yadav A. Dedifferentiated
Chondrosarcoma of The Rib Masquerading as A Giant Chest Wall Tumor In A Teenage
Girl: An Unusual Presentation. Korean J Thorac Cardiovasc Surg 2014; 47: 427-30.
38. Augustine D, Murali S, Sekar B. High-Grade Chondrosarcoma of The Mandible: A Rare
Case Report with Immunohistochemical Findings. Journal of Advanced Clinical &
Research Insight 2014; 13: 99-101.
39. Ina J Chest Crit and Emerg Merd. Vol 2, No.1. Januari-Maret 2015
40. Blom A, Warwick D, Whitehouse M, Solomon L. Apley & Solomon's System of
Orthopaedics and Trauma. 10th ed. Boca Raton, FL: CRC Press; 2018.
41. Kim et al. 2011. Chondrosarcoma: With Updates on Molecular Genetics. Sarcoma, vol.
2011:
42. Roscoe PA, Reznik SI, Smythe WR. Chondrosarcoma of the thorax. Sarcoma 2011;
2011: 342879.
43. Roscoe PA, Reznik SI, Smythe WR. Chondrosarcoma of the thorax. Sarcoma 2011;
2011: 342879.
44. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson J, Loscalzo J. eds. Harrison's
Principles of Internal Medicine, 19e. New York, NY: McGraw-Hill; 2015

29

Anda mungkin juga menyukai