I. Konsep Teori
A. Anatomi fisiologi
Gambar :1
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada intra-seluler. Tulang berasal dari embrionic
hyaline cartilage yang mana melalui proses “Osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini
dilakukan oleh sel-sel yang disebut “Osteoblast”. Proses mengerasnya tulang akibat
penimbunan garam kalsium.(Simon & schuster, 2003).
1. Tulang panjang (Femur, Humerus) terdiri dari batang tebal panjang yang disebut
diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari epifisis terdapat
metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat daerah tulang rawan yang tumbuh,
yang disebut lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh
karena akumulasi tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-
sel tulang yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang memanjang. Batang dibentuk
oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone (cancellous atau
trabecular). Pada akhir tahun-tahun remaja tulang rawan habis, lempeng epifisis
berfusi, dan tulang berhenti tumbuh. Hormon pertumbuhan, estrogen, dan testosteron
merangsang pertumbuhan tulang panjang. Estrogen, bersama dengan testosteron,
merangsang fusi lempeng epifisis. Batang suatu tulang panjang memiliki rongga yang
disebut kanalis medularis. Kanalis medularis berisi sumsum tulang.
2. Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari cancellous (spongy)
dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat.
3. Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan lapisan
luar adalah tulang concellous.
4. Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang pendek.
5. Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang
berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial, misalnya
patella (kap lutut).
6. Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya terdiri atas
tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam
pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun atas 98%
kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan
proteoglikan). Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam mineral anorganik
ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang
dan terletak dalam osteon ( unit matriks tulang ). Osteoklas adalah sel multinuclear (
berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang.
7. Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa. Ditengah osteon
terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang yang
dinamakan lamella. Didalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi
melalui prosesus yang berlanjut kedalam kanalikuli yang halus (kanal yang
menghubungkan dengan pembuluh darah yang terletak sejauh kurang dari 0,1 mm).
8. Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat dinamakan periosteum.
Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan memungkinkannya tumbuh, selain sebagai
tempat perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh
darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulang mengandung osteoblast,
yang merupakan sel pembentuk tulang.
9. Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum tulang
panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Osteoklast , yang melarutkan
tulang untuk memelihara rongga sumsum, terletak dekat endosteum dan dalam
lacuna Howship (cekungan pada permukaan tulang).
B. Definisi
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah suatu bentuk pembedahan
dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur.
ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi),open reduksi merupakan suatu
tindakan pembedahan untuk memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah /fraktur
sedapat mungkin kembali seperti letak asalnya.Internal fiksasi biasanya melibatkan
penggunaan plat, sekrup, paku maupun suatu intramedulary (IM) untuk
mempertahan kan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang
solid terjadi (Lukman, & Ningsih, 2009)
C. Etiologi
1. Kekerasan langsung
Terkena pada bagian langsung trauma
2. Kekerasan tidak langsung
Terkena bukan pada bagian yang trauma
D. Manifestasi Klinis
1. Nyeri terus menerus sampai tualang diimobilisasi
2. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
3. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
4. Krepitasi akibat gesekan antara pregmen yang satu dengan lainnya
5. Pembengkakan dan perubahan warna pada kulit
E. Komplikasi
Pada kasus ini jarang sekali terjadi komplikasi karena incisi relatif
kecil dan fiksasi cenderung aman. Komplikasi akn terjadi bila ada penyakit penyerta dan
gangguan pada proses penyambungan tulang
F. Patofisiologi
Setelah fraktur dapat terjadi kerusakan pada sumsum tulang, endosteum dan
jaringan otot. Pada fraktur cruris dan femur dextra upaya penanganan dilakukan tindakan
operasi dengan menggunakan internal fiksasi. Pada kasus ini, hal pertama yang dapat
dilakukan adalah dengan incisi. Dengan incisi maka akan terjadi kerusakan pada jaringan
lunak dan saraf sensoris. Apabila pembuluh darah terpotong dan rusak maka cairan dalam
sel akan menuju jaringan dan menyebabkan oedema. Oedema ini akan menekan saraf
sensoris sehingga akan menimbulkan nyeri pada sekitar luka incisi. Bila terasa nyeri
biasanya pasien cenderung untuk malas bergerak. Hal ini akan menimbulkan
perlengketan jaringan otot sehingga terjadi fibrotik dan menyebabkan penurunan lingkup
gerak sendi (LGS) yang dekat dengan perpatahan dan potensial terjadi penurunan nilai
kekuatan otot. Waktu penyembuhan pada fraktur sangat bervariasi antara individu satu
dengan individu lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara
lain : usia pasien, jenis fraktur, banyaknya displacement, lokasi fraktur, pasokan darah
pada fraktur dan kondisi medis yang menyertai Dan yang paling penting adalah stabilitas
fragmen pada tulang yang mengalami perpatahan. Apabila stabilitas antar fragmen baik
maka penyembuhan akan sesuai dengan target waktu yang dibutuhkan atau diperlukan
(Frandson RD, Wilke WL, Fails AD. 2009)
Trauma patologi
Fraktur
Luka terbuka
Gambar 2.
Lapisan Columna Vertebralis
1. Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
2. Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
3. Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah
analgetik.
4. Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.
Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
5. Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan akibat
batas analgesia bertambah tinggi.
6. Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung berkumpul ke
kaudal(saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung menyebar ke cranial.
7. Berat jenis larutan: hiper,iso atau hipo barik
8. Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas analgesia
yang lebih tinggi.
9. Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar dosis yang
diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
10. Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan,umumnya larutan analgetik sudah
menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.
F. Komplikasi Anastesi Spinal
Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi delayed.
1. Komplikasi tindakan :
a. Hipotensi berat yang pada dewasa dicegah dengan memberikan infus cairan elektrolit
1000ml atau koloid 500ml sebelum tindakan.
b. Bradikardia : Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok
sampai T-2
c. Hipoventilasi : Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
d. Trauma pembuluh saraf
e. Trauma saraf
f. Mual-muntah
g. Gangguan pendengaran
h. Blok spinal tinggi atau spinal total
i. Komplikasi pasca tindakan:
a) Nyeri tempat suntikan
b) Nyeri punggung
c) Nyeri kepala karena kebocoran likuor
d) Retensio urine
e) Meningitis
f) Komplikasi intraoperatif:
2. Komplikasi kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi
karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan tekanan
arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan
berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati
dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti
efedrin atau fenilefedrin.
Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan
anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia
yang berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti
ini, hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia
merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-
Jarisch.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid
(NaCl,Ringer laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm 10 menit segera setelah
penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi
hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19mg
diulang setiap 3-4menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia
dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi
dengan sulfas atropine 1/8-1/4 mg IV.
3. Blok spinal tinggi atau total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan perhitungan
dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini
adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati
bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial
dan kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering
terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke
organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain.
Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi
henti nafas pada anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan
pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic interkostal.
Aktivitas saraf phrenik biasanya dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke serebral
mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi
jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi iskemik miokardiak yang
mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti jantung. Pengobatan yang
cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk
pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan positif. Setelah tingkat
anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan normal seperti sebelum
operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini
jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat.
4. Komplikasi respirasi
a. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-paru
normal.
b. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.
c. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena hipotensi
berat dan iskemia medulla.
d. Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tanda-tanda tidak
adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan.
DAFTAR PUSTAKA
Lukman, & Ningsih, N. (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Muskuloskletal. Jakarta : Salemba Medika
Muttaqin, Arif. 2011. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal Aplikasi Pada Praktik Klinik
Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Paulsen, F dan J Waschke. 2010. Sobotta, Atlas Anatomi Manusia. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC