Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

I. Konsep Teori
A. Anatomi fisiologi

Gambar :1

Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada intra-seluler. Tulang berasal dari embrionic
hyaline cartilage yang mana melalui proses “Osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini
dilakukan oleh sel-sel yang disebut “Osteoblast”. Proses mengerasnya tulang akibat
penimbunan garam kalsium.(Simon & schuster, 2003).

Tulang dapat diklasifikasikan dalam lima kelompok berdasarkan bentuknya :

1. Tulang panjang (Femur, Humerus) terdiri dari batang tebal panjang yang disebut
diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari epifisis terdapat
metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat daerah tulang rawan yang tumbuh,
yang disebut lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan. Tulang panjang tumbuh
karena akumulasi tulang rawan di lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-
sel tulang yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang memanjang. Batang dibentuk
oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone (cancellous atau
trabecular). Pada akhir tahun-tahun remaja tulang rawan habis, lempeng epifisis
berfusi, dan tulang berhenti tumbuh. Hormon pertumbuhan, estrogen, dan testosteron
merangsang pertumbuhan tulang panjang. Estrogen, bersama dengan testosteron,
merangsang fusi lempeng epifisis. Batang suatu tulang panjang memiliki rongga yang
disebut kanalis medularis. Kanalis medularis berisi sumsum tulang.
2. Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti dari cancellous (spongy)
dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat.
3. Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan lapisan
luar adalah tulang concellous.
4. Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang pendek.
5. Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang
berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial, misalnya
patella (kap lutut).
6. Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya terdiri atas
tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam
pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Matriks tersusun atas 98%
kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan
proteoglikan). Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam mineral anorganik
ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang
dan terletak dalam osteon ( unit matriks tulang ). Osteoklas adalah sel multinuclear (
berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang.
7. Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa. Ditengah osteon
terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang yang
dinamakan lamella. Didalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi
melalui prosesus yang berlanjut kedalam kanalikuli yang halus (kanal yang
menghubungkan dengan pembuluh darah yang terletak sejauh kurang dari 0,1 mm).
8. Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat dinamakan periosteum.
Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan memungkinkannya tumbuh, selain sebagai
tempat perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh
darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulang mengandung osteoblast,
yang merupakan sel pembentuk tulang.
9. Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum tulang
panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus. Osteoklast , yang melarutkan
tulang untuk memelihara rongga sumsum, terletak dekat endosteum dan dalam
lacuna Howship (cekungan pada permukaan tulang).
B. Definisi
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah suatu bentuk pembedahan
dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur.
ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi),open reduksi merupakan suatu
tindakan pembedahan untuk memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah /fraktur
sedapat mungkin kembali seperti letak asalnya.Internal fiksasi biasanya melibatkan
penggunaan plat, sekrup, paku maupun suatu intramedulary (IM) untuk
mempertahan kan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang
solid terjadi (Lukman, & Ningsih, 2009)
C. Etiologi
1. Kekerasan langsung
Terkena pada bagian langsung trauma
2. Kekerasan tidak langsung
Terkena bukan pada bagian yang trauma
D. Manifestasi Klinis
1. Nyeri terus menerus sampai tualang diimobilisasi
2. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
3. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
4. Krepitasi akibat gesekan antara pregmen yang satu dengan lainnya
5. Pembengkakan dan perubahan warna pada kulit
E. Komplikasi
Pada kasus ini jarang sekali terjadi komplikasi karena incisi relatif
kecil dan fiksasi cenderung aman. Komplikasi akn terjadi bila ada penyakit penyerta dan
gangguan pada proses penyambungan tulang
F. Patofisiologi
Setelah fraktur dapat terjadi kerusakan pada sumsum tulang, endosteum dan
jaringan otot. Pada fraktur cruris dan femur dextra upaya penanganan dilakukan tindakan
operasi dengan menggunakan internal fiksasi. Pada kasus ini, hal pertama yang dapat
dilakukan adalah dengan incisi. Dengan incisi maka akan terjadi kerusakan pada jaringan
lunak dan saraf sensoris. Apabila pembuluh darah terpotong dan rusak maka cairan dalam
sel akan menuju jaringan dan menyebabkan oedema. Oedema ini akan menekan saraf
sensoris sehingga akan menimbulkan nyeri pada sekitar luka incisi. Bila terasa nyeri
biasanya pasien cenderung untuk malas bergerak. Hal ini akan menimbulkan
perlengketan jaringan otot sehingga terjadi fibrotik dan menyebabkan penurunan lingkup
gerak sendi (LGS) yang dekat dengan perpatahan dan potensial terjadi penurunan nilai
kekuatan otot. Waktu penyembuhan pada fraktur sangat bervariasi antara individu satu
dengan individu lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara
lain : usia pasien, jenis fraktur, banyaknya displacement, lokasi fraktur, pasokan darah
pada fraktur dan kondisi medis yang menyertai Dan yang paling penting adalah stabilitas
fragmen pada tulang yang mengalami perpatahan. Apabila stabilitas antar fragmen baik
maka penyembuhan akan sesuai dengan target waktu yang dibutuhkan atau diperlukan
(Frandson RD, Wilke WL, Fails AD. 2009)

Trauma patologi

Fraktur

Luka terbuka

ORIF pembedahan draine Resiko


infeksi
Prosedur anastesi

Produksi mucus spasme bronkus

Bersihan jalan nafas tidak gangguan


efektif pertukaran gas
G. Penatalaksanaan
Prinsip dari penanganan adalah :
1. Mobilisasi berupa latihan-latihan seluruh sistem gerak untuk mengembalikan
fungsi anggota badan seperti sebelum patah.
a.Static contraction
Static contraction merupakan kontraksi otot secara isometrik untuk
mempertahankan kestabilan tanpa disertai gerakan (Hoppenfeld, Stanley. 2011).
Dengan gerakan ini maka akan merangsang otot-otot untuk melakukan pumping
action sehingga aliran darah balik vena akan lebih cepat. Apabila sistem peredaran
darah baik maka oedema dan nyeri dapat berkurang.
b.Latihan pasif
Merupakan gerakan yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan dari luar sedangkan
otot penderita rileks (Hoisington, Samuel. 2011). Disini gerakan pasif dilakukan
dengan bantuan terapis.
c. Latihan aktif
Latihan aktif merupakan gerakan murni yang dilakukan oleh otot-otot anggota
tubuh pasien itu sendiri. Tujuan latihan aktifmeningkatkan kekuatan otot
(Hoisington, Samuel. 2011). Gerak aktif tersebut akan meningkatkan tonus otot
sehingga pengiriman oksigen dan nutrisi makanan akan diedarkan oleh darah.
Dengan adanya oksigen dan nutrisi dalam darah, maka kebutuhan regenerasi pada
tempat yang mengalami perpatahan akan terpenuhi dengan baik dan dapat
mencegah adanya fibrotik.
d. Latihan jalan
Salah satu kemampuan fungsional yang sangat penting adalah berjalan. Latihan
jalan dilakukan apabila pasien telah mampu untuk berdiri dan keseimbangan sudah
baik. Latihan ini dilakukan secara bertahap dan bila perlu dapat menggunakan
walker. Selain itu dapat menggunakan kruk tergantung dari kemampuan pasien.
Pada waktu pertama kali latihan biasanya menggunakan teknik non weight bearing
( NWB ) atau tanpa menumpu berat badan. Bila keseimbangan sudah bagus dapat
ditingkatkan secara bertahap menggunakan partial weight bearing ( PWB ) dan full
weight bearing ( FWB ). Tujuan latihan ini agar pasien dapat melakukan ambulasi
secara mandiri walaupun masih dengan alat bantu.
2. Mencegahan infeksi pada daerah luka jahitan

II. Konsep Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
1. Anamnesis : perdarahan, haid terakhir, pola siklus haid, ada tidak gejala / keluhan
lain, cari faktor risiko / predisposisi. Riwayat penyakit umum dan riwayat obstetri /
ginekologi.
2. Prinsip : wanita usia reproduktif dengan perdarahan per vaginam abnormal harus
selalu dipertimbangkan kemungkinan adanya kehamilan.
3. Pemeriksaan fisik umum : keadaan umum, tanda vital, sistematik. JIKA keadaan
umum buruk lakukan resusitasi dan stabilisasi segera.
4. Pemeriksaan ginekologi : ada tidaknya tanda akut abdomen. Jika memungkinkan,
cari sumber perdarahan : apakah dari dinding vagina, atau dari jaringan serviks, atau
darah mengalir keluar dari ostium.
5. Jika diperlukan, ambil darah / cairan / jaringan untuk pemeriksaan penunjang (ambil
sediaan sebelum pemeriksaan vaginal touche).
6. Pemeriksaan vaginal touche : hati-hati. Bimanual tentukan besar dan letak uterus.
Tentukan juga apakah satu jari pemeriksa dapat dimasukkan ke dalam ostium dengan
mudah / lunak, atau tidak (melihat ada tidaknya dilatasi serviks). Jangan dipaksa.
Adneksa dan parametrium diperiksa, ada tidaknya massa atau tanda akut lainnya.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d produksi mucus
2. Gangguan pertukaran gas b/d efek anastesi ( spasme broncus )
3. Resiko infeksi b/d prosedur invasif (pembedahan)
C. Rencana Tindakan Keperawatan

No Diagnosa NOC NIC


1 Bersihan Setelah dilakukan 1. Lakukan suction
jalan napas tindakan 2. Berikan terapi O2
tidak efektif b/d obstruksi keperawatan selama 3. Atur posisi pasien
jalan napas:produksi mucus 1x8 jam jalan napas ekstensikan kepala pasien
pasien 30 derajat dari kaki/
efektif,dengan miringkan pasien
kriteria : 4. Ajarkan batuk efektif
1. Pasien dapat
bernapas dengan
mudah
2. Tidak ada suara
napas
tambahan/suara
napas bersih
3. RR dalam
rentang normal
4. Tidak ada secret

2 Ganguan pertukaran Setelah dilakukan 1. Buka jalan napas dengan


gas b/d efek anastesi ( tindakan maneuver chin lift atau jaw
spasme broncus) keperawatan selama trust
1x8 jam tidak terjadi 2. Kaji TTV
ganguan pertukaran 3. Posisikan pasien untuk
gas,dengan kriteria : memaksimalkan ventilasi
1. Tidak ada 4. Monitor RR (kedalaman,
sianosis irama, frekuansi, suara
2. Kesadaran napas)
composmentis
3. Suara napas
bersih
4. TTV dalam
rentang normal
5. Sputum dapat
keluar dengan
mudah
6. Saturasi o2
dalam rentang
normal

3 Resiko infeksi b/d Setelah di lakukan 1. Monitor TTV


prosedur invasif: tindakan 2. Monitor tanda-tanda
pembedahan keperawatan selama infeksi.
1 x 8 jam resiko 3. pertahankan tekniK
infeksi dapat aseptic selama proses
teratasi,dengan pembedahaN
criteria hasil : 4. Lakukan
1. TTV dalam pencuciantangan sebelum
rentang normal dan sedudah bertemu pasien.
2. Tidak ada 5. Observasi
tanda-tanda pelaksanaanpembedahan
infeksi dengan menggunakan
3. Luka bersih teknik steril.
6. Monitor keadaan luka
7. Tutup rapat luka dengan
jahitan yang rapi.
8. Jaga luka agar tidak
terkontaminasi dari
lingkungan
ANASTESI SPINAL

A. Pengetian Anestesi Spinal


Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat
anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/ subaraknoid juga disebut sebagai
analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Spinal Anestesi adalah pembiusan dengan memasukan obat berupa suntikan jarum halus
melalui tulang belakang (tulang punggung) sehingga pasien tidak mengalami rasa nyeri ketika
di sayat dengan pisau, namun pasien tetap sadar dan bisa bicara dengan petugas dan
mengetahui bahwa dia sedang menjalani operasi.
Spinal anestesi mudah untuk dilakukan dan memiliki potensi untuk memberikan kondisi
operasi yang sangat baik untuk operasi di bawah umbilikus. Spinal anestesi dianjurkan untuk
operasi di bawah umbilikus misalnya hernia, ginekologi dan operasi urologis dan setiap
operasi pada perineum atau alat kelamin. Semua operasi pada kaki, tapi amputasi meskipun
tidak sakit, mungkin merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan untuk pasien yang
dalam kondisi terjaga. Dalam situasi ini dapat menggabungkan tehnik spinal anestesi dengan
anestesi umum.
B. Anatomi Rute Anastesi Spinal
Anatomi rute ini meliputi sebagai berikut:
Tulang punggung (columna vertebralis) Terdiri dari :
- 7 vertebra servikal
- 12 vertebra thorakal
- 5 vertebra lumbal
- 5 vertebra sacral ( menyatu pada dewasa )
- 4 vertebra kogsigeal ( menyatu pada dewasa )
Medula spinalis diperadarahi oleh spinalis anterior dan spinalis posteror.
Tulang belakang biasanya bentuk-bentuk ganda C, yang cembung anterior di daerah
leher dan lumbal. Unsur ligamen memberikan dukungan struktural dan bersama-sama dengan
otot pendukung membantu menjaga bentuk yang unik. Secara ventral, corpus vertebra dan
disk intervertebralis terhubung dan didukung oleh ligamen longitudinal anterior dan posterior.
Dorsal, ligamentum flavum, ligamen interspinous, dan ligamentum supraspinata memberikan
tambahan stabilitas. Dengan menggunakan teknik median, jarum melewati ketiga dorsal
ligamen dan melalui ruang oval antara tulang lamina dan proses spinosus vertebra yang
berdekatan .Untuk mencapai cairan cerebro spinal, maka jarum suntik akan menembus : kulit,
subkutis, ligament supraspinosum, ligament interspinosum, ligament flavum, ruang epidural,
durameter, ruang subarahnoid.

Gambar 2.
Lapisan Columna Vertebralis

C. Obat yang Dimasukan Pada Anastesi Spinal


Anestetik local yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine (xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20-100 mg (2-
5ml)
2. Lidokaine (xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat
hyperbaric, dose 20-50 mg (1-2 ml)
3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20 mg
4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,
dosis 5-15 mg (1-3 ml).
Obat anestetik lokal yang sering digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau
bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah
teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS
(hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil
(hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat
akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan.
Bupivacaine adalah obat anestetik lokal yang termasuk dalam golongan amino amida.
Bupivacaine di indikasi pada penggunaan anestesi lokal termasuk anestesi infiltrasi, blok
serabut saraf, anestesi epidura dan anestesi intratekal. Bupiivacaine kadang diberikan pada
injeksi epidural sebelum melakukan operasi athroplasty pinggul. Obat tersebut juga biasa
digunakan untuk luka bekas operasi untuk mengurangi rasa nyeri dengan efek obat mencapai
20 jam setelah operasi.
Bupivacaine dapat diberikan bersamaan dengan obat lain untuk memperpanjang durasi
efek obat seperti misalnya epinefrin, glukosa, dan fentanil untuk analgesi epidural.
Kontraindikasi untuk pemberian bupivacaine adalah anestesi regional IV (IVRA) karena
potensi risiko untuk kegagalan tourniket dan adanya absorpsi sistemik dari obat tersebut.
Bupivacaine bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium dan
memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi.
Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis
dan tidak memiliki selubung mielin, maka bupivacaine dapat berdifusi dengan cepat ke dalam
serabut saraf nyeri dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang
mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.
D. Persiapan Anastesi Spinal
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia umum.
Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada
kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan
prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
1. Informed consent : tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal
2. Pemeriksaan fisik : tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran : Hb, ht,pt,ptt
Peralatan analgesia spinal :
1. Peralatan monitor: tekanan darah, pulse oximetri, ekg
2. Peralatan resusitasi
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam(ujung bamboo runcing, quinckebacock) atau jarum spinal
dengan ujung pensil (pencil point whitecare).
E. Teknik analgesia spinal
1. Posisis Duduk
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa
dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
a. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal
kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien
membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah
duduk.
b. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka, misal L2-L3,
L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla
spinalis.
c. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
d. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan (Bupivacain 20 mg)
e. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat
langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum
spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada
posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran
likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi
menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat
dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya
untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada
posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar.
Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.
f. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid dengan
anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm. Posisi:
a) Posisi Duduk
b) Pasien duduk di atas meja operasi
c) Dagu di dada
d) Tangan istirahat di lutut
2. Posisi Lateral:
a. Bahu sejajar dengan meja operasi
b. Posisikan pinggul di pinggir meja operasi
c. Memeluk bantal/knee chest position

Faktor yang mempengaruhi tinggi blok analgesia spinal:

1. Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
2. Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
3. Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah
analgetik.
4. Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.
Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
5. Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan akibat
batas analgesia bertambah tinggi.
6. Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung berkumpul ke
kaudal(saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung menyebar ke cranial.
7. Berat jenis larutan: hiper,iso atau hipo barik
8. Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas analgesia
yang lebih tinggi.
9. Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar dosis yang
diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
10. Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan,umumnya larutan analgetik sudah
menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.
F. Komplikasi Anastesi Spinal
Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi delayed.
1. Komplikasi tindakan :
a. Hipotensi berat yang pada dewasa dicegah dengan memberikan infus cairan elektrolit
1000ml atau koloid 500ml sebelum tindakan.
b. Bradikardia : Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok
sampai T-2
c. Hipoventilasi : Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
d. Trauma pembuluh saraf
e. Trauma saraf
f. Mual-muntah
g. Gangguan pendengaran
h. Blok spinal tinggi atau spinal total
i. Komplikasi pasca tindakan:
a) Nyeri tempat suntikan
b) Nyeri punggung
c) Nyeri kepala karena kebocoran likuor
d) Retensio urine
e) Meningitis
f) Komplikasi intraoperatif:
2. Komplikasi kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi
karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan tekanan
arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan
berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati
dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti
efedrin atau fenilefedrin.
Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan
anestesi spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia
yang berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti
ini, hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia
merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-
Jarisch.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid
(NaCl,Ringer laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm 10 menit segera setelah
penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi
hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19mg
diulang setiap 3-4menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia
dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi
dengan sulfas atropine 1/8-1/4 mg IV.
3. Blok spinal tinggi atau total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan perhitungan
dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini
adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati
bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial
dan kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering
terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke
organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain.
Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi
henti nafas pada anestesi spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan
pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat dari blok pada saraf somatic interkostal.
Aktivitas saraf phrenik biasanya dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke serebral
mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi
jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi iskemik miokardiak yang
mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti jantung. Pengobatan yang
cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk
pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan positif. Setelah tingkat
anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan normal seperti sebelum
operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini
jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat.
4. Komplikasi respirasi
a. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-paru
normal.
b. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.
c. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena hipotensi
berat dan iskemia medulla.
d. Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tanda-tanda tidak
adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan.
DAFTAR PUSTAKA

Amin H,2012. Aplikasi asuhan keperawatan nerdasarkan NANDA NOC NIC.


Yogyakarta:Media hardy

Lukman, & Ningsih, N. (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Muskuloskletal. Jakarta : Salemba Medika

Muttaqin, Arif. 2011. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal Aplikasi Pada Praktik Klinik
Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Ningsih, Lukman N. 2011. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan


Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika

Paulsen, F dan J Waschke. 2010. Sobotta, Atlas Anatomi Manusia. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai