Anda di halaman 1dari 17

PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA DALAM CERPEN

SURAKH AL-QUBUR KARYA KAHLIL GIBRAN


“Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Sastra Makro yang diampu
oleh Bapak Dr. Ridwan, S.Ag. M.Hum.”

Oleh

MURSYIDUR RIDLWAN
18101010037

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB


FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat,
hidayah serta inayah-Nya sehingga penulisan makalah ini dapat diselesaikan. Selawat dan
salam tetap tercurahkan kepada Nabiyullah Muhammad SAW yang telah menyampaikan
risalah Allah dan membawa umatnya dari zaman jahiliah menuju zaman penuh dengan
peradaban.

Adapun makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Sastra
Makro dengan judul “Pendekatan Sosiologi Sastra Dalam Cerpen Surakh Al-Qubur
Karya Kahlil Gibran”. Tak lupa kami ucapkan terima kasih banyak yang pertama
kepada Allah SWT, kedua orang tua, dan tentunya Bapak Dr. Ridwan, S.Ag. M.Hum.
selaku dosen mata kuliah Teori Sastra Makro.

Kami menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan


makalah ini. Maka, kritik dan saran pembaca sangat membantu dalam pengembangan
penulisan kedepannya. Terima kasih.

Bintan, 28 November 2020

Penulis

i
Daftar Isi

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................2
C. Tujuan..............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
A. Pendekatan Sosiologi Sastra.........................................................................3
B. Analisis cerpen Surakh Al-Qubur dengan pendekatan sosiologi karya sastra
3
BAB III PENUTUP.................................................................................................5
A. Kesimpulan...................................................................................................5
B. Saran..............................................................................................................5
Daftar Pustaka..........................................................................................................6
Lampiran..................................................................................................................7

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sastra merupakan rangkaian kata- kata yang indah sebagai wujud pengekspresian
manusia dan hasilnya berupa karya sastra. Karyanya merupakan pengalaman ataupun
imajinasi atas kreativitas yang dibuat oleh pengarang. Terkadang suatu karya sastra
dibuat sebagai wujud sindiran ataupun keprihatinan terhadap kehidupan sekitar
pengarang. Digambarkan bagaimana yang terjalin disekitarnya serta sebagian
ditambahkan bagaimana sepatutnya yang terjalin. Salah satu hasil dari karya sastra berupa
cerpen. Cerpen ialah karya fiksi yang terkategori dalam karya sastra berupa prosa baru
sebab mengalami transformasi akibat kebudayaan barat. Kependekan dari cerita pendek
ini panjangnya tidak melebihi novel.

Zaman sekarang dapat kita lihat percampuran unsur-unsur kebudayaan sebagai


pola kehidupan suatu masyarakat. Hal ini disebabkan proses globalisasi dan juga
kemajuan teknologi. Dampak dari hal tersebut salah satunya adalah terjadinya pergeseran
tata nilai suatu masyarakat atau bangsa. Begitupula dengan perkembangan karya sastra
yang terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman, sehingga tampaklah gejala
sosial,ekonomi dan politik serta budaya suatu bangsa dapat diungkapkan serta
diimajinasikan dalam bentuk suatu karya sastra.

Berdasarkan hal tersebut, dapat kita simpulkan bahwasannya sastra tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan sosial budaya masyarakat. Dari sastra tersebutlah dapat kita
pahami bagaimana pandangan suatu masyarakat.

Salah satu tokoh cerpenis yang terkenal sampai saat ini ialah Kahlil Gibran. Ia
lahir di Lebanon pada 6 Januari 1883 dari keluarga katolik maronit. Sejak kecil bakat seni
lukis dan sketsa sudah tampak dan akhirnya ia oleh gurunya lebih dalam di jalur seni.
Sejak saat itu, jiwa sastra Gibran mulai berkembang hingga semasa hidupnya ia banyak
menghasilkan karya sastra yang banyak serta berkualitas, baik berupa novel, puisi,
kumpulan cerpen, dan karya terjemahannya dalam bahsa inggris karena terpengaruh oleh
barat dan sejarah kependidikannya di Amerika.

Diantara karya Gibran yang terkenal, ada sebuah antologi cerpen yang berjudul
“Al-Arwah Al-Mutaraddidah” dimana salah satunya berisi cerpen berjudul “Surakh Al-
Qubur”. Antologi cerpen ini terbit pada tahun 1908 di New York dalam Bahasa Arab oleh

1
surat kabar Al-Mujahir. Cerpen ini mengisahkan ketidakadilan yang dilakukan oleh tokoh
Emir dimana ia menghukum tiga orang yang “dianggap” melakukan kejahatan. Ia
mengeksekusinya tanpa mengupas kasus yang dilakukan. Hingga akhirnya kebenaran
tentang ketiga orang yang dieksekusi terkuak ketika tokoh “aku” bertemu dengan tiga
orang yang memiliki hubungan dengan masing-masing penjahat tersebut.

Pada makalah ini, kami akan menganalisis cerpen tersebut dengan pendekatan
sosiologi sastra.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendekatan sosiologi sastra menurut beberapa ahli?

2. Bagaimana pendekatan sosiologi sastra dalam cerpen Surakh Al-Qubur ?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian sosiologi sastra menurut para ahli.

2. Mengetahui pendekatan sosiologi dalam cerpen Surakh Al-Qubur.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pendekatan Sosiologi Sastra

Menurut Swingewood (1972) menguraikan bahwa sosiologi merupakan studi


yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai
lembaga-lembaga dan proses sosial. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan
mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan
mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Sedangkan Soerjono Sukanto (1970)
menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-
segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-
pola umum kehidupan masyarakat. Eksistensi karya sastra tidak terlepas dari
kenyataan sosial yang terjadi dalam masyarakat, seperti yang telah diutarakan
oleh Sapardi Djoko Damono (1979) bahwa karya sastra tidak jatuh begitu saja
dari langit, tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat.
Dalam buku Theory of Litetarure, Rene Wellek dan Austin Warren (1994),
menawarkan adanya tiga jenis sosiologi sastra, yaitu sosiologi pengarang,
sosiologi karya sastra, dan sosiologi pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.
Menurut Wellek dan Warren, sosiologi pengarang memasalahkan status sosial,
ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil
sastra. Sosiologi karya sastra memasalahkan karya sastra itu sendiri. Mengkaji
apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Sedangkan
sosiologi pembaca mengkaji pembaca yang pengaruh sosial karya sastra. Namun
dalam makalah ini hanya menggunakan sosiologi karya sastra.

B. Analisis cerpen Surakh Al-Qubur dengan pendekatan sosiologi karya sastra

Dilihat dari alur cerita yang ada kita dapat menganalisis dengan pendekatan
sosiologi karya sastra dengan mengungkapkan lembaga-lembaga sosial yang ada
dalam cerpen tersebut, diantaranya :

3
1. Perekonomian
Berdasarkan isi cerpen tersebut dapat kita lihat bahwasannya perekonomian
tokoh yang ada termasuk kategori menengah ke bawah . Hal ini dapat
ditunjukkan dari kalimat : “Salah seorang pegawai Emir datang ke
peternakan kami untuk mengumpulkan pajak”
Adapun ekonomi bagian bawah terlihat dari kalimat : “Suatu malam,
kelaparan mengahantui anak-anak kami, terutama yang paling kecil, yang
berusaha menyedot susu dari dadaku yang kering. Mimik muka suamiku
berubah dan ia meninggalkan rumah dalam kegelapan malam. Ia memasuki
gudang biara dan mengambil sebungkus gandum”.
2. Keagamaan
Hal ini dapat kita lihat pada kalimat : “Jandanya yang malang mendirikan
salib di atas kburnya sebagai saksi dalam keheningan malam di hapadan
bintang-bintang di langit untuk bersaksi melawan para pendeta yang
mengubah ajaran kebaikan menjadi pedang tajam yang mereka gunakan
untuk memotong leher orang lain dan mencabik tubuh yang lemah”.
3. Politik
Tentang politk tergambar jelas pada kalimat : “Emir berjalan menuju ruang
pengadilan dan duduk di kursi tengah, sementara di kanan-kirinya adalah
para orang bijak di negeri itu. Para pengawal, yang dipersenjatai pedang
dan perisai, berdiri dengan waspada, dan orang-orang yang datang untuk
menyaksikan sidang berdiri dan membungkuk kepada Emir yang matanya
menunjukkan kekuasaan yang menyingkapkan ketakutan pada jiwa mereka”.

4
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan melakukan analisis pendekatan sosiologi pada cerpen ini, kita
dapat mengetahui bahwa betapa kompleksnya problematika sosial yang
muncul dalam kehidupan manusia dalam hubungannya dengan orang
lain. Sehingga kita dapat menilai dan dapat mengambil nilai positif dari
gambaran kehidupan sosial dalam cerpen tersebut

B. Saran
Kami berharap bahwa analisis ini dapat membantu pembaca dalam
memahami aspek aspek sosial dalam cerpen ini yang dapat diambil sisi
positifnya dan memberikan pengetahuan baru bagi pembaca. Disisi lain
kami merasa masih banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan, oleh
sebab itu adanya kritik dan saran yang membangun dari pembaca dapat
memperbaiki penulisan makalah kami selanjutnya.

5
6
Daftar Pustaka

Nuruddiniyah, Mufidah & Nurul Hidayati, Tri Yanti. (2017). KEBEBASAN WANITA PADA
TEKS “WARDAH AL-HĀNĪ”(1908) DALAM ANTOLOGI CERPEN “AL-ARWĀH AL-
MUTAMARRIDAH” KARYA JUBRĀN KHALĪL JUBRĀN (KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA). Jurnal
CMES. Volume X nomor 2.

Ratna Susanti. 2012. Pendekatan Sosiologi Sastra Dan Nilai Pendidikan Dalam
Kumpulan Cerpen 9 Dari Nadira Karya Leila S, Chudori [tesis]. Surakarta (ID):
Universitas Sebelas Maret Surakarta

Wiyatmi. 2013. Sosiologi Sastra. Kanwa Publisher

Akbar, Syahrizal., Winarni, Retno., Andayani. (2013). KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA


DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL “TUAN GURU” KARYA SALMAN
FARIS. Jurnal pendidikan Bahasa dan sastra. Volume 1, no 1 hal 54-68.

Teks terjemahan jeritan kubur pada laman

https://widyabestari.wordpress.com/2016/01/30/salah-satu-karya-besar-kahlil-gibran/
Minggu, 29 November 2020 pukul 22.30 WIB.

7
Lampiran

Teks terjemahan

Tangisan Kubur
Bagian Satu
          Emir berjalan menuju ruang pengadilan dan duduk di kursi tengah, sementara di
kanan-kirinya adalah para orang bijak di negeri itu. Para pengawal, yang dipersenjatai
pedang dan perisai, berdiri dengan waspada, dan orang-orang yang datang untuk
menyaksikan sidang berdiri dan membungkuk kepada Emir yang matanya menunjukkan
kekuasaan yang menyingkapkan ketakutan pada jiwa mereka. Saat pengadilan hendak
dimulai, Emir mengangkat tangannya dan berseru, “ Bawa maju para penjahat dan
katakan padaku kejahatan apa yang telah mereka perbuat.” Pintu penjara terbuka seperti
mulut binatang buas yang sedang menguap. Di sudut yang temaram ruang bawah tanah,
seseorang dapat mendengar gema derakan belenggu yang berbaur dengan erangan
kepedihan para pesakitan. Penonton ingin melihat mangsa kematian muncul dari
dalamnya neraka. Beberapa saat kemudian, dua prajurit membawa keluar membawa
seorang pria muda dengan tangan terikat di belakang. Wajahnya yang keras menunjukkan
kemuliaan jiwa dan kekuatan hati. Ia digiring ke tengah ruangan dan para prajurit mundur
beberapa langkah. Emir menatapnya dan berkata, “Kejahatan apa yang telah laki-laki ini
lakukan, yang dengan bangga penuh kemenangan berdiri di hadapanku?” Salah seorang
pegawai pengadilan berkata, “Ia seorang pembunuh; kemarin ia memenggal salah satu
pejabat Emir yang sedang melaksanakan misi penting di desa; ia masih mengenggam
pedang yang berlumuran darah ketika ditangkap. “Emir berkata dengan murka,
“Kembalikan pria ini ke penjara yang gelap dan ikat dia dengan rantai yang berat, dan
saat fajar penggal kepalanya dengan pedangnya sendiri, dan buang tubuhnya di hutan
sehingga binatang-binatang dapat memakan dagingnya, dan udara dapat membawa
baunya ke hidung keluarga dan teman-temannya.” Pemuda itu dikembalikan ke penjara,
sementara orang-orang memandangnya dengan mata penuh kepedihan, karena ia seorang
pria yang masih muda.
       Para prajurit kembalil lagi dari penjara dengan membawa seorang wanita muda
dengan kecantikan yang sederhana. Wanita itu terlihat pucat dan diwajahnya terlihat
tanda kekecewaan serta penganiayaan. Matanya penuh dengan air mata dan kepalanya
tertunduk menanggung beratnya penderitaan. Setelah melihat wanita itu, Emir berseru,
“Dan wanita ini, yang berdiri di hadapanku seperti bayangan di samping mayat, apa yang
telah ia lakukan?” Salah seorang prajurit menjawabnya, “Ia adalah pelacur; tadi malam
suaminya menemukannya dalam pelukan orang lain. Setelah kekasihnya melarikan diri,
suaminya menyerahkan wanita ini pada hukum. “Emir menatapnya sementara wanita itu
mengangkat wajahnya tanpa ekspresi, dan Emir memerintahkan, “Bawa ia kembali ke
ruangan gelap dan baringkan ia di ranjang penuh duri sehingga ia dapat mengingat tempat
yang ia cemari kesalahannya; beri dia cuka dicampur dengan empedu untuk diminum

8
sehingga ia akan ingat rasa manisnya ciuman. Saat fajat bawa tubuh telanjangnya ke kota
dan rajam dia. Biarkan serigala menikmati daging lembut tubuhnya dan cacing mencabik
tulangnya.” Saat wanita itu berjalan kembali menuju sel yang gelap, orang-orang
memandangnya dengan simpati dan terkejut. Mereka terkejut dengan keadilan Emir, dan
merasa prihatin dengan nasib wanita itu. Para prajurit muncul kembali, membawa
seorang pria sedih dengan lutut gemetar seperti pohon kecil diguncang angin utara. Ia
terlihat tak berdaya, sakit, dan takut, dan ia sengsara serta miskin. Emir menatapnya dan
berkata, “ Pria kotor ini, yang seperti orang mati diantara yang hidup; apa yang telah ia
lakukan?” salah seorang penjaga berkata, “Ia adalah seorang pencuri yang masuk ke biara
dan mencuri guci suci yang ditemukan di balik pakaiannya ketika para pendeta
menangkapnya.”
        Seperti seeekor elang kelaparan yang melihat seekor burung dengan sayap terluka,
Emir menatapnya dan berkata, “ Bawa ia kembali ke penjara dan rantai dia, dan saat fajar
bawa dia pohon dan gantung dia diantara akhirat dan dunia sehingga tangan berdosanya
dapat menghilang dan bagian tubuh yang lain menjadi keping-keping yang diserakkan
oleh angin.” Saat pencuri itu digiring kembali ke penjara, orang-orang mulai berbisik,
“Betapa beraninya orang yang begitu lemah mencuri guci suci biara?”
         Saat itu pengadilan dihentikan, dan Emir bejalan keluar ditemani oleh seluruh
penasihatnya, dijaga oleh para pengawalnya, sementara penonton bubar dan tempat itu
menjadi kosong kecuali erangan dan ratapan pada pesakitan. Semua ini terjadi ketika aku
berdiri di sana seperti cermin di depan hantu. Aku sedang merenungkan hukum, yang
dibuat oleh manusia untuk manusia, memikirkan apa yang disebut manusia “keadilan”,
dan mengembarakan diriku dalam pikiran dan rahasia kehidupan. Aku mencoba untuk
memahami arti alam semesta. Aku merasa bodoh karena melihat diriku tersesat seperti
cakrawala yang menghilang di balik awan. Saat aku meninggalkan tempat itu, aku
berkata pada diriku sendiri, “Sayuran memberi makan seluruh semua yang ada di bumi,
kambing memakan sayuran, serigala memakan kambing, dan lalu banteng membunuh
serigala, sementara singa memangsa banteng; namun kematian mengalahkan singa.
Apakah ada kekuatan yang mengalahkan kematian dan membuat seluruh kebrutalan ini
keadilan yang abadi? Apakah ada kekuatan yang dapat mengubah seluruh hal-hal buruk
menjadi indah? Apakah ada kekuatan yang dapat merengkuh seluruh unsur dalam
kehidupan dan memeluk mereka dengan kebahagiaan seperti laut yang dengan senang
hati merangkul semua sungai? Apakah ada kekuatan yang dapat menangkap yang
dibunuh dan pembunuh, pelacur yang dilacuri, perampok yang dirampok, dan membawa
mereka ke pengadilan yang lebih tinggi dan lebih agung daripada pengadilan Emir?”
Bagian Kedua
          Hari berikutnya aku meninggalkan kota untuk pergi ke ladang dimana kesunyian
menyingkapkan pada jiwa apa yang menjadi gairah jiwa, dan di mana langit biru
membunuh keputusasaan, berbeda dengan kota yang penuh jalan sempit dan tempat-
tempat gelap. Ketika aku mencapai lembah, aku melihat sekelompok burung gagak dan
burung bangkai yang membumbung tinggi dan kemudian turun, mengisi langit dengan
gaokannya dan juga kepakan sayapnya. Saat aku mendekat, aku melihat di depanku
mayat seorang pria yang tergantung tinggi di pohon, tubuh seorang wanita muda di
tengah tumpukan batu, dan mayat seorang pemuda dengan kepalanya terpotong dan

9
berlumur darah yang tercampur tanah. Itu adalah pandangan mengerikan yang
membutakan mataku dengan penderitaan yan tebal dan gelap. Aku melihat keseluruh
penjuru dan tidak melilhat apapun kecuali bayangan kematian yang berdiri di tengah-
tengah apa yang tersisa. Tidak ada yang terdengan kecuali rintihan ketidakberadaan,
tercampur dengan suara gagak yang berputar di atas korban hukum manusia itu. Tiga
manusia, yang kemarin masih duduk di pangkuan kehidupan, kini jatuh sebagai korban
kematian karena mereka melanggar peraturan manusia. Ketika seorang pria membunuh
pria lain, orang-orang mengatakan bahwa ia seorang pembunuh, namun ketika Emir
membunuhnya, Emir adalah orang yang adil. Ketika seorang pria merampok biara,
mereka berkata bahwa ia adalah pencuri, namun ketika Emir merampok kehidupannya,
Emir adalah orang yang terhormat. Ketika seorang wanita mengkhianati suaminya,
mereka berkata bahwa ia adalah pelacur, namun ketika Emir membuatnya berjalan
telanjang di jalanan dan kemudian merajamnya, Emir adalah orang yang mulia.
Mengucurkan darah dilarang, namun siapa yang membuatnya diperbolehkan bagi Emir?
Mencuri uang seseorang adalah kejahatan, namun mengambil hidup seseorang adalah
perbuatan mulia. Pengkhianatan pada suami mungkin merupakan perbuatan buruk,
namun merajam jiwa yang hidup adalah pemandangan yang indah. Akankah kita
mempertemukan kejahatan dengan kejahatan, dan menyebutnya Hukum? Akankah kita
memerangi korupsi dengan korupsi dan menyebutnya Peraturan? Akankah kita
menaklukkan kejahatan denga lebih banyak lagi kejahatan dan menyebutnya Keadilan?
Apakah Emir tidak pernah membunuh seorang musuh di masa lalunya? Apakah ia tidak
pernah merampok kemiskinan dan uang rakyat miskinnya? Apakah ia tidak pernah
melakukan pelacuran? Apakah ia sempurna ketika ia membunuh pembunuh dan
menggantung pencuri dan merajam pelacur? Siapakah mereka yang menggantung pencuri
di pohon? Apakah mereka malaikat yang turun dari surga, ataukah orang-orang yang
merampas? Siapakah yang memotong kepala si pembunuh? Apakah mereka orang suci,
atau prajurit yang mengucurkan darah ke mana pun meraka pergi? Siapakah yang
merajam si pelacur? Apakah mereka nabi yang datang dari biara, atau manusia yang
mencintai kekuasaan, di bawah hukum yang bodoh? Apakah itu hukum? Siapa yang
melihatnya datang bersama matahari dari surga? Apa yang dilihat manusia dari hati
Tuhan dan menenukan kehendaknya? Pada abad mana malaikat berjalan di antara orang-
orang dan berkhotbah pada mereka, berkata, “Larang si miskin untuk menikmati
kebahagiaan hidup, dan bunuh pelanggar hukum dengan ujung tajam pedang, dan
injaklah pendosa dengan kaki besar?”
            Saat pikiranku merasa menderita, aku mendengar derak langkah di rerumputan
yang makin mendekat. Aku melihat seorang wanita muda datang dari balik pepohonan; ia
melihat ke segala penjuru sebelum mendekati ketiga mayat. Saat ia menatap mayat itu, ia
melihat kepala pemuda yang terpotong. Ia menjerit ketakutan, berlutut, dan memeluknya
dengan tangan gemetar; lalu ia mulai mencucurkan air mata dan menyentuh kepala
dengan rambut keriting yang berlumur darah itu dengan jari-jari lembutnya, menangis
dalam suara hati yang terluka. Ia tidak tahan dengan pemandangan itu lagi. Ia berjalan
menuju tubuh yang terpotong lalu meletakkan kepalanya dengan perlahan, di antara bahu
mayat, menutup seluruh tubuh dengan tanah, dan di aras gundukan tanah ia menancapkan
pedang yang telah membuat kepala pria muda tiu terpotong.
           Saat ia hendak pergi, aku berjalan mendekatinya. Ia gemetar ketika melihatku, dan
matanya penuh dengan air mata. Ia mendesah dan berkata, “Katakan pada Emir bila kau

10
menginginkannya. Lebih baik bagiku untuk mati dan mengikuti orang yang telah
menyelamatkanku dari tangan kotor yang hendak merampas kehormatanku daripada
meninggalkan mayat ini sebagai makanan binatang buas.” Lalu aku menjawab sedih,
“Jangan takut padaku, gadis malang, aku telah merasa sedih untuk pria muda ini sebelum
kau merasakannya. Tetapi katakan padaku, bagaimana ia menyelamatkanmu dari tangan
kotor?” Ia menjawab dengan suara tercekat, “Salah seorang pegawai Emir datang ke
peternakan kami untuk mengumpulkan pajak; ketika ia melihatku, ia menatapku seperti
serigala yang melihat domba. Ia meminta pajak yang tinggai pada ayahku yang bahkan
tidak akan mampu diberikan oleh orang kaya. Ioa menangkapku untuk dibawa kepada
Emir sebagai ganti emas yang tidak dapat diserahkan ayahku. Aku memohon padanya
untuk melepaskan aku, tetapi dia tidak memedulikannya, karena ia tidak mau
mengampuniku. Lalu aku menjeir minta bantuan, dan pria muda ini, yang sekarang telah
mati, satang untuk menolongku dari kematian hidup. Si pegawai Emir berusaha untuk
membunuhnya, namun pria ini mengambil pedang tua yang tergantung di dinding rumah
kami dan menusuknya. Ia tidak lari seperti seorang penjahat, namun tetap berdiri di
samping pegawai yang mati sampai hukum datang dan memenjarakannya.” Setelah
mengutarakan kata-kata yang akan membuat hati manusia berlumuran kepedihan, gadis
itu membalikan badannya dan berjalan manjauh.
      Beberapa saat kemudian aku melihat seorang pemuda datang dengan
menyembunyikan wajahnya di balik mantel. Saat ia mendekati mayat si pelacur, ia
melepaskan pakaiannya dan meletakkannya di atas tubuh telanjang wanita itu. Lalu ia
mengambil belati dan menggali libang di mana ia kemudian melatakkan tubuh wanita itu
dengan lembut dan penuh kasih sayang, dan menutupnya dengan tanah yang di atasnya ia
kucuri dengan air matanya sendiri. Ketika ia telah selesai, ia memetik beberapa kuntum
bunga dan melatakannya di atas kubur. Saat ia hendak pergi, aku mendekatinya dan
berkata, “Apa hubunganmu dengan pelacur ini? Dan apa yang membuatmu
membahayakan hidupmu dengan datang ke tempat ini untuk melindungi tubuh
telanjangnya dari bianatang buas?” Ketika ia menatapku, matanya penuh dengan
kepedihan yang menyuarakan penderitaannya dan ia berkata, “Aku adalah pria malang
yang membuatnya dirajam; aku mencintainya dan ia mencintaiku sejak kecil; kami
tumbuh bersama; cinta, yang memberi dan menerima, seperti Tuhan dalam hati kami.
Cinta mempersatukan kami dan memeluk jiwa kami. Suatu hari aku kembali dari kota
dan aku mendapati bahwa ayahnya memaksa ia untuk menikahi seorang pria yang tidak ia
cintai. Hidupku menjadi perjuangan abadi, dan seluruh hari-hariku menjadi satu malam
panjang yang gelap. Aku mencoba untuk mendamaikan hatiku, namun hatiku tidak bisa
tenang. Akhirnya aku pergi untuk melihatnya dengan diam-diam, dan tujuanku adalah
untuk melihat sinat di matanya yang indah dan mendengar suaranya yang merdu. Ketika
aku tiba di rumahnya, ia sedang sendirian, meratapi kemalangannya. Aku duduk di
dekatnya; keheningan adalah percakapan penting kami dan kebaikan kedekatan kami.
Satu jam berlalu dan suaminya masuk. Aku memperingatkan dia untuk menggunakan
akal sehat, namun ia menyeret istrinya dengan kedua tangan ke jalanan, dan berteriak
keras, “Datanglah, datang dan lihatlah pelacur bersama kekasihnya!” Seluruh tetangga
bergegas datang dan kemudian hukum datang, dan membawanya pada Emir, namun aku
tidak disentuh oleh prajurit. Hukum bodoh dan adat istiadat yang tolol menghukum
wanita atas kesalahan ayahnya dan memaafkan pria.”

11
     Setelah mengucapkan kata-kata ini, pria itu membalikkan tubuhnya ke arah kota,
sementara aku tetap memikirkan mayat pencuri yang tergantung di pohon yang bergerak-
gerak perlahan karena hembusan angin, menunggu seseorang untuk menurunkannya dan
menguburnya di dada bumi, di samping Pembela Kehormatan dan Martir Cinta. Satu jam
kemudian, seorang wanita lemah muncul, manangis. Ia berdir di depan pria yang
tergantung dan berdoa. Lalu ia berusaha untuk memanjat pohon dan kemudian menggigit
tali linen sampai putus dan tubuh mayat itu jatuh ke tanah seperti pakaian basah yang
besar; wanita itu turun, menggali kubur, dan menguburkan pencuri itu di sebelah dua
korban yang lain. Setelah menutpnya dengan tanah, ia mengambil dua potong kayu dan
membuat tanda salib dan meletakkannya di atas kubur. Ketika ia memalingkan wajahnya
ke arah kota dan hendak pergi, aku menghentikannya dan berkata, “Apa yang
membuatmu datang ke tempat ini dan menguburkan s pencuri?” “Ia adalah suamiku yang
setia dan seorang sahabat yang penyayang; ia adalah ayah anak-anaku-lima anak yang
mulai kelaparan; yang paling tua berumur delapan tahun, dan yang paling mudamasih
bayi. Suamiku bukan pencuri, namun petani yang bekerja di tanah biara, bekerja untuk
kehidupan kami dengan memberi sedikit makanan bagi pendeta dan para biarawan, lalu
pulang saat senja. Ia telah menjadi petani di tanah mereka sejak masih muda, dan ketika
ia mulai lemah, mereka memecatnya, menyarankan padanya untuk pulang ke rumah dan
mengirim anaknya untuk menggantikannya. Ia memohon pada mereka, namun mereka
tidak memedulikan permohonannnya. Mereka tidak memedulikannya maupun anak-
anakny yang kelaparan. Ia pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, namun sia-sia, karena
orang kaya hanya memperkejakan mereka yang sehat dan kuat. Lalu ia duduk di jalanan
berdebu dan menjulurkan tangannya kepada mereka yang lewat, mengemis dan
mengulang-ulang lagu sedih kekalahan hidupnya, smentara ia merasa kelaparan dan
malu, namun orang-orang menolak untuk membantunya, mengatakan bahwa orang malas
tidak layak menerima derma. Suatu malam, kelaparan mengahntui anak-anak kami,
terutama yang paling kecil, yang berusaha menyedit susu dari dadaku yang kering. Mimik
muka suamiku berubah dan ia meninggalkan rumah dalam kegelapan malam. Ia
memasuki gudang biara danmengambil sebungkus gandum. Saat ia hendak pergi, para
biarawan terbangun dari tidur mereka dan menagkapnya setelah memukulinya tanpa
ampun. Saat fajar mereka hendak membawanya ke hadapan Emir dan megeluhkan bahwa
ia hendak mencuri guci suci dari altar biara. Ia dimasukkan ke dalam penjara kemudian
digantung pada hari beikutnya. Ia berusaha untuk memenuhi perut anak-anaknya yang
kelaparan dengan satu kantung gandum yang ia tanam sendiri, namun Emir
membunuhnya dan menggunakan dagingnya untuk mengisi perut burung dan binatang
buas.” Setelah berkata demikian, ia meninggalkanku sendirian dengan pandangan yang
menyedihkan.
         Aku berdiri dihadapan tiga buah kubur, seperti seorang pengkhotbah yang tak dapat
mengucpakna satu patah kata pun. Aku tidak bisa berkata apa-apa, namun air mataku
menggantikan kata-kataku dan mengungkapkan isi jiwaku. Jiwaku memberontak ketika
aku berusaha untuk merenung selama beberapa saat karena jiwa seperti bunga yang
menutup kelopaknya saat malam tiba, dan tidak meniupkan keharumannya kepada
kegelapan malam. Aku merasa seolah-olah bumi yang telah merengkuh korban-korban
penindasan dalam tempat yang sunyi mengisi telingaku dengan nada-nada penderitaan
dan jiwa yang menderita, dan mengilhamiku untuk bicara. Aku tetap diam, namun bila
orang-orang mengerti apa yang disingkapkan oleh kesunyian, mereka akan menjadi dekat

12
dengan Tuhan dan bagaikan bunga di lemabh. Bila nyala api desahan jiwa ku yang
menyentuh pepohonan, mereka akan bergerak dari tempat mereka dan berbaris seperti
prajurit yang kuat untuk memerangi Emir dengan ranting-ranting mereka dan
menghancurkan biara di atas kepala biarawan dan pendetanya. Aku berdiri di sana
menatap, dan merasakan perasaan indah dan kepahitan penderitaan yang tertuang dari
hatiku di atas tiga kubur yang masih bari itu-kubur seorang pria muda yang
mengorbankan hidupnya untuk membela seorang wanita yang lemah, yang hidup dan
kehormatannya ia selamatkan dari cakar dan taring manusia liar; seorang pemuda yang
kepalanya dipenggal sebagai balasan keberaniannya, dan pedangnya ditancapkan di atas
kuburnya oleh orang yang ia selamtkan, sebagai lambah kepahlawanan di depan wajah
matahari yang menyinari kerajaan penuh dengan kebodohan dan korupsi. Sebuak kubur
seorang wanita muda yang hatinya dibakar cinta sebelum tubuhunya diambil oleh
ketamakan, birahi, dan kemudian dirajam oleh tirani…Ia menjaga kesetiannya sampai
kematian tiba; kekasihnya meletakkan bunga di atas kuburnya untuk mengucapkan
melalui masa tentang jiwa-jiwa yang cintanya dipilih dan diberkahi d antara orang-orang
yang dibutakan oleh materi duniawi dan terdiam karena kebodohan. Sebuah kubur pria
malang, lemah kerena kerja keras di tanah biara, yang meminta roti untuk memberi
makan anak-anaknya yang kelaparan, namun 0rangh-orang menolak. Ia lalu mulai
memohon, namun orang-orang tidak memedulikannya. Ketika jiwanya membawanya
untuk kembali kepada gandum yang ia tanam dan ia panen, ia ditangkap dan kemudian
dipukuli. Jandanya yang malang mendirikan salib di atas kburnya sebagai saksi dalam
keheningan malam di hapadan bintang-bintang di langit untuk bersaksi melawan para
pendeta yang mengubah ajaran kebaikan menjadi pedang tajam yang mereka gunakan
untuk memotong leher orang lain dan mencabik tubuh yang lemah.
           Matahari menghilang di balik cakrawala seolah-olah sudah muak menghadapi
masalah dunia dan penderitaan manusia. Saat itu petang mulai menenun tabir indah dari
benang kesunyian dan menghamparkannya di atas tubuh alam. Aku menjulurkan
tanganku ke arah kubur itu, menunjuk lambang-lambangnya, mengangkat kepalaku
menghadap surga dan berteriakm “Oh keberanian, ini adalah pedangmu, terkbur dalam
bumi! Oh cinta ini adalah bungamu, terbakar oleh api!

13
14

Anda mungkin juga menyukai