Disusun Oleh :
Fajar Septian
(1908101131)
PAI D/2
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
2019/2020
KATA PENGANTAR
Penyusun
Daftar Isi
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………... i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………..... ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………. 1
A. Latar Belakang…………………………………………………………. 2
B. Rumusan Masalah………………………………………………………2
C. Tujun Penulisan………………………………………………………... 2
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………… 3
A. Pengertian faraidh……………………………………………….......... 3
A. Kesimpulan……………………………………………………………. 12
B. Saran…………………………………………………………………… 12
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………... 13
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Al qur’an telah dijelaskan jenis harta yang dilarang mengambilnya dan
jenis harta yang boleh diambil dengan jalan yang baik, diantara harta yang halal yang
diambil adalah harta pusaka. Di dalam Al Qur’an dan Hadits telah diatur cara pembagian
harta pusaka dengan sadil adilnya, agar harta itu menjadi halal dan berfaedah. Dalam
Qur’an Surat An Nisa ayat 10 yang artinya” Sesungguhnya orang orang yang memakan
harta anak yatim secara bathil, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya, dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)” (An Nisa:10). Dan juga
dijelaskan pada Qur’an Surat AL Baqarah ayat 188 yang artinya”Dan janganlah
sebagiann kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang
bathil” (Al-Baqarah:188).
Syariat islam menetapkan aturan waris dalam bentuk yang sangat teratur dan adil.
Didalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun
perempuan dengan cara yang legal. Syariat islam juga menetapkan hak pemindahan
kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh
kerabat dan nasab, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar ataupun
kecil.
Oleh karena itu, Al Qur’an merupakan acuan utama hukum dan penentuan
pembagian waris. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syari’at islam sedikit sekali
ayat Al Qur’an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris
ini. Hal demikian disebabkan karenakewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan
yang legal dan dibenarkan oleh Allah SWT. Disamping bahwa harta merupakan tonggak
penegak kehidupan bagi individu maupun kelompok masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian faraidh dalam hukum islam?
2. Bagaimana sebab pembagian harta warisan pada zaman jahiliyyah?
3. Apa saja sebab, syarat, dan rukun dalam warisan?
4. Bagaimana pembagian harta warisan bagi ahli waris laki-laki dan perempuan?
5. Apa hikmah yang dapat diambil dari pembagian harta pusaka?
C. Tujuan Penulisan
1. Dapat mengetahui pengertian faraidh dalam hukum islam
2. Dapat mengetahui sebab pembagian harta warisan pada zaman jahiliyyah
3. Dapat mengetahui bentuk, syarat, dan rukun dalam warisan
4. Dapat mengetahui pembagian harta warisan bagi ahli waris laki-laki dan perempuan
5. Dapat mengetahui hikmah yang dapat diambil dari pembagian harta pusaka
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Faraidh
Faraidh adalah bentuk jama’ dari kata fariidhah. Kata fariidhah terambil dari kata
fardh yang berarti takdir, ketentuan, Allah SWT. Berfirman:
فنصف ما فرضتم
“Maka bayarlah separuh dari mahar yang telah kemu tentukan itu “ (QS. AL-Baqarah:237).
Sementara fara’idh adalah bentuk plural faridhah. Dalam bahasa arab, kata
faridhah bermakna takaran atau ukuran. Ia adalah bentuk subjek (fa’il),namun bermakna
objek (maf’ul)). Kata tersebud adalah deriivasi akar kata al-fardhu yang berate ukuran tau
takaran. Dalam syariat, ia memiliki definisi: “Bagian yang sudah ditentukan secara syariat
bagi para peneriam waris”
Ilmu waris atau ilmu faraidh adalah ilmu yang dipelajar untuk mengetahui ukuran
hak yang diterima setiap ahli waris dari harta warisan.
Dalil-dalil akan legalitas ilmu ini berasal dari Al-Qur’an, As-sunnah dan
consensus ulama. Dalil dari Al-Qur’an adalah ayat-ayat tentang warisan “Bagi tiap-tiap harta
peninggalan dari hartayang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-
pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka,
maka berilah bagiannya. Sesungguhnya allah menyaksikan segala sesuatu.”(AN-
NISAA’:33). Sementara dalil dari sunnah adalah semisal sabda Nabi Muhammad yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari Muslim, “Berikanlah warisan kepada orang yang berhak,
adapun sisanya, maka prioritas utama adalah diberikan di beriakan kepada anak laki-laki.”
Banyak hadis Nabi yang mendorong untuk mempelajari ilmu ini. Di antaranya ada
sabda Rasulullah yang berbunyi, “Pelajari oleh kalian ilmu faraidh dan ajarkanlah ia kepada
orang banyak, karena aku akan meninggalkan dunia. Dan sesungguhnya
(dikhawatirkan)ilmu ini juga akan tercabud, sehingga akan muncul fitnah. Sehingga ada dua
orang yang bertikai tentang pembagia warisan, namun keduanya tidak menemukan
seseorany yang dapat member eputusan bagi keduanya.”
B. Pembagian Harta Pusaka Paada Zaman Jahiliyah
Di masa jahiliyah sebelum islam, sebab sebab mendapat pusaka itu adalah sebagai
berikut:
1. Keturunan. Kepada keturunan yang ditentukan, yaitu laki laki yang kuat berperang saja.
Sedangkan perempuan dan anak anak tidak berhak mendapat harta pusaka. Aturan ini
telah dibatalkan oleh surat An-Nisa ayat 7.
2. Anak angkat. Hendaklah umat islam indonesia insaf bahwa anak angkat itu, meskipun
sudah dianggap anak sendiri, ia tetap (hukumnya) orang lain, tidak menjadi mahram dan
tidak pula dapat mewarisi. Harta bapak anak angkat tetap hak ahli warisnya.
3. Perjanjian sumpah. Umpamanya dua orang berjanji dengan sumpah bahwa antara
keduanya akan pusaka-mempusakai. Ini juga tidak sesuai dengan aturan agama Allah
SWT.
Jika anda melihat kembali para wanita tersebud, anda akan mendapatkan bahwa
salah satu dari mereka mendapatkan warisan karena tali pernikahan, yaitu istri, satu dari
mereka mewarisi karena wala’, yaitu maula al-mu’taqah dan delapan wanita lainnya
mendapatkan warisan karena hubungan kekerabatan. Mereka tentu selain dari dua orang
sebelumnya. Jika anda melihat kembali delapan kelompok wanita tersebud yang
mendapatkan warisan karena hubungan kekerabatan, anda akan mendapatkan bahwa
mereka dibagi menjadi tiga; pertama, cabang dari si mayit. Kedua nya, anak perempuan
dan cucu dari anak perempuan ke bawah ayahnya. Kedua, pokokdari simayit. Mereka ada
tiga, yaitu ibu, nenek ibu dari ibu ke atas dengan syarat-syaratnya, nenek ibu dari ayah.
Anda tidak akan menemukan dari mereka itu cabang dari kake si mayit karena semua
cabang dari kakek nenek dari kalangan wanita seperti bibi saudara perempuan ayah, bibi
saudara perempuan ibu dan anaknya termasuk dari dzawi al-arham.
Para ulama berbeda pendapat mengenai tiga macam wanita; Pertama, wanita dari
dzawat al-arham(kerabat dekat wanita), seperti bibi saudara perempuan ayah, bibi
saudara perempuan ibu,anak perempuan dari bibi saudara perempuan ayah, anak
perempuan dari bibi saudara perempuan ibu dan cucu dari anak perempuan. Menurut Abu
Hanifah, Ahmad, ulama-ulama madzhab Malik kontenporer dan Asy-Syafi’iyah bahwa
mereka bisa mendapatkan warisan. Menurut imam Asy-Syafi’I dan Malik bahwa mereka
tidak mendapatkan warisan. Bagian dua, maulah al-muwalah, menurut Abu Hanifah
bahwa dia mendapat warisan.
Sementara menurut tiga imam lainnya diatidah mendapatkan warisan. Bagian
ketiga nenek dari ayah jika antara dia dan ayah terdapat lebih dari satu perantara. Imam
Malik berkata, “jika antara dia dengan si mayit tidak ada laki-laki selain ayah si mayit,
maka diamendapat warisan seperti ibu ibu ayah dari si mayit dan ibu ibu ibu ayahnya.
Jika antara dia dan si mayit ada dua orang laki-laki maka dia tidak mendapatkan warisan,
seperti ibu ayah ayahnya dan ibu ibu ayah ayahnya.” Ini adalah salah satu pendapa dari
Asy-Syafi’i.
Ahmad bin Hambal berkata,”jika antara dia dan si mayit ayahnya atau kakeknya
ayah dari ayanhnya, maka dia mendapatkan warisan seperti ibu ibu ayah ayahnya dan ibu
ibu ibu ibu ayahnya. Jika antara dia dan si mayit lebih dari dua orang, maka dia tidak
mendapatkan warisan seperti ibu ayah ayah ayahnya.” Abu Hanifah dan Asy-syafi’I
berkata,” dalam pendapat yang kedua yaitu pendapat yang paling rajih, kakek
mendapatkan warisan dari sisi ayah meski ada perantara nasab antara dia dengan si mayit
dengan syarat antara dia dengan si mayit seorang laki-laki selain ahli waris.
Seorang laki-laki selain ahli waris tersebud adalah semua laki-laki yang terletak
antaradua wanita seperti ibu ayah ibu ayah si mayit, jika seorang laki-laki tidak terletak
antara dua wanita dalam silsilah nasab yang sampai kepada mayit, maka dia termasuk
ahli waris, seperti ibu ayahnya ibu ibu ayahnya, ibu ayah ayahnya, ibu ibu ibu ayah
ayahnya, ibu ayah ayah ayahnya, dan ibu ibu ayah ayah ayahnya.
E. Hikmah Yang Dapat Diambil Dari Harta Pusaka
1) Persamaan Hak
Sebelum Islam diturunkan, pada masyarakat Arab, Romawi, dan Yahudi telah
terdapat hukum ahli waris yang masing-masing mereka ciptakan sendiri. Semua hukum
waris tersebut memandang ahwa harta warisan sepenuhnya hak pribadi. Dengan demikian
jika pemilik harta meninggal, sebelumnya ia berhak memberikan wasiat kepada orang
yang ia kehendaki, sekalipun harta tersebut seluruhnya diwasiatkan kepada orang lain
yang bukan keluarganya.
2) Mempererat Persaudaraan
Dengan meratanya pembagian harta warisan kepada ahli waris sesuai dengan
hukum syara, maka ahli waris satu sama lain semakin merasakan ikatan saudara senasib.
Teknis pembagian harta warisan dilakukan dengan musyawarah secara kekeluargaan dan
kasih sayang. Hal mi demi mempererat persaudaraan.
3) Menjauhkan Diri Dari Sifat Serakah
Dengan adanya sistem pembagian harta warisan yang adil berdasarkan hukum
Islam, setisp ahli waris harus patuh pada ketentuan tersebut. Pada sistem ini ahli waris
tidak mungkin mementingkan dirinya sendiri. Dengan demikian hubungan waris
menjauhkan din dan sikap hidup egois, tidak serakah, dan mendidik taslim (tunduk patuh)
pada ketentuan Allah. Menuntut ilmu itu hukumnya wajib, termasuk mempelajari ilmu
pembagian harta warisan (faraidh).
Rasulullah saw. memperingatkan kepada umat Islam supaya sungguh-sungguh
mempelajari faraidh.
“Belajarlah al-Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan
ajarkanlah faraidh, karna sesungguhnya aku seorang yang akan mati. dan ilmu akan
terangkat, dan bisa jadi akan ada dua orang yang berseiisih, tetapi mereka tak bertem u
den gan orang yang menyampaikan kepada mereka hukumnya. “(HR Ahmad, Tirmizi,
dan Nasai)
Sabdanya pula:
“Ilmu itu tiga, dan selain itu semuanya cabang,yaitu: ayat yang tegas, sunnah yang
sahih, dan pembagian harta warisan yang adil. “(HR Abu Daud dan Ibnu Majah)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Harta warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id dinamakan Tirkah
(peninggalan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang meninggal, baik berupa
uang atau materi lainya yang dibenarkan oleh syariat islam untuk diwariskan kepada ahli
warisnya.dan dalam pelaksanaanya atau apa-apa yang yang ditinggalkan oleh yang
meninggal harus diartikan sedemikian luas sehingga mencakup hal-hal yang ada pada
bagianya. Kebendaan dan sifat-sifatnya yang mempunyai nilai kebendaan. hak-hak
kebendaan dan hak-hak yang bukan kebendaan dan benda-benda yang bersangkutan
dengan hak orang lain.
Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkan dengan
seadil-adilnya sudah diatur dalam Islam, mencegah terjadinya konflik antar ahli waris dan
menghindari perpecahan ukhuwah persaudaraan antar sesama keluarga yang masih hidup.
Pembagian tersebut sudah di atur dalam al-quran dan al hadist Namun ada beberapa
ketentuan yang di sepakati dengan ijma’ dengan seadil-adilnya.
B. Saran
Penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekeliruan yang terdapat dalam
penyusuanan makalah ini, baik dari segi penulisan maupun dalam pembasannya. Oleh
karena itu, penulis memohon saran dan kritikannya yang bersifat membangun sehingga
dalam penyusunan makalah-makalah selanjutnya dapat lebih sempurna.
Daftar Pustaka
Ashim, Abdul. 2008. Al Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil Aziz. Jakarta: Pustaka As-Sunnah
http://rizalcahayaakbarcom.blogspot.com/2016/09/makalah-pembagian-waris-faraidh.html
Diunduh pada 22/03/2020 20:23 WIB
Rasjid, Sulaiman. 2016. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo