Anda di halaman 1dari 16

Pangeran dipenogoro

Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta pada jumat 11 November 1785 dari ibu yang
merupakan seorang selir bernama R.A. Mangkarawati, dan ayahnya yang bernama Gusti
Raden Mas Surojo, yang di kemudian hari naik tahta bergelar Hamengkubuwono III.

Pangeran Diponegoro Menolak Diangkat Menjadi Raja

Pangeran Diponegoro sadar bahwa dirinya terlahir dari seorang selir. Ia pun menolak
permintaan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III, untuk diangkat menjadi raja. Pasalnya, di
lingkungan kerajaan pada saat itu yang biasa dinobatkan menjadi raja hanyalah anak dari
permaisuri.

Perang Diponegoro

Sekitar 1825-1830, Pangeran Diponegoro memimpin Jawa Tengah dan sebagian Jawa
Timur dalam perang besar-besaran yang hampir-hampir meruntuhkan kekuasaan imperialis
Belanda di Indonesia. Perang ini diawali dengan keputusan dan tindakan Hindia Belanda
yang memasang patok-patok di atas lahan milik Diponegoro di Desa Tegalrejo. Ditambah
lagi, Hindia Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat serta eksploitasi
berlebihan terhadap rakyat dengan pajak tinggi.

Belanda melakukan berbagai cara untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan


pasukannya. Belanda membuat taktik sayembara barang siapa yang bisa menangkap atau
membunuh Pangeran Diponegoro akan diberikan hadiah sangat besar yaitu 20.000 gulden.
Akan tetapi, pengikut Pangeran Diponegoro pada saat itu tidak goyah akan tawaran
tersebut.

Kilas Sejarah Pangeran Diponegoro


Perang Diponegoro (1825-1830)
Ditawan Belanda di Batavia atau Stadhius (8 April-3 Mei 1830)
Diasingkan di Benteng Fort Nieuw Amsterdam, Manado (12 Juni 1830-20 Juni 1833)
Dipindahkan ke Benteng Fort Rotterdam, Makassar dan menetap (12 Juli 1833-8
Januari 1855)
Meninggal dunia (8 Januari 1855)

Ra kartini

Dari berbagai literatur, R.A. Kartini lahir di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, pada 21 Januari
1879. Sesuai dengan ketetapan Presiden RI, Ir. Soekarno, melalui surat No.108 Tahun 1964
tertanggal 2 Mei 1964 menetapkan R. A. Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Di surat yang sama, Soekarno juga menetapkan peringatan Hari Kartini sebagai hari besar
Nasional yang jatuh pada tanggal 21 April setiap tahunnya. Tanggal tersebut dipilih sesuai
dengan hari lahir R.A. Kartini.

R.A. Kartini adalah putri tertua keturunan keluarga ningrat Jawa atau istilahnya keluarga priyayi.
Dengan kata lain, ia menyandang predikat sebagai kasta bangsawan di kala itu. Ayahnya
seorang Bupati Jepara yang bernama Raden Mas Sosriningrat.

Sedangkan sang Ibu bernama M.A. Ngasirah yaitu putri anak dari seorang guru agama di
Teluwakur, Jepara. Tidak hanya pesohor di kala itu, keluarga Kartini dikenal cerdas. Sang kakek,
Pangeran Ario Tjondronegoro IV adalah sosok cerdas yang diangkat menjadi bupati di usia 25
tahun.

Sahabat pena R.A. Kartini

R.A. Kartini kecil berusia 12 tahun menempa pendidikan di sekolah mentereng pada zaman
kolonial Hindia Belanda di Indonesia, Europeesche Lagere School (ELS). Sejatinya sekolah ini
dikhususkan untuk anak-anak keturunan Eropa, timur asing atau pribumi dari tokoh terkemuka.
Saat itu, R.A. Kartini begitu menggemari pelajaran bahasa Belanda yang menjadi bahasa
komunikasi wajib bagi murid-murid ELS. Sayangnya, aktivitas belajar di ELS tak dapat
berlangsung lama karena ia dipingit dan harus tinggal di rumah. Meski demikian, R.A. Kartini tak
mau mengurung diri, ia justru memanfaatkan kesempatan itu memilih belajar sendiri, membaca,
dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda, salah
satunya bernama Rosa Abendanon.

R.A. Kartini Menikah

Tak lama kemudian, R.A. Kartini menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Joyodiningrat
pada tanggal 12 November 1903. Mengerti akan keinginannya, sang suami memberi kebebasan
dan mendukungnya mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor
kabupaten Rembang. Berkat kegigihannya, dia mendirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini
(Sekolah Kartini) di Semarang pada tahun 1912, kemudian menyusul Surabaya, Yogyakarta,
Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Kini, Gedung tersebut disebut sebagai Gedung
Pramuka. Dari pernikahannya, R.A. Kartini memiliki anak pertama sekaligus menjadi anak
terakhirnya yang lahir pada tanggal 13 September 1904 bernama Soesalit Djojoadhiningrat.
Empat hari pasca melahirkan, R.A. Kartini meninggal dunia pada 17 September 1904. Wafat
diusia 25 tahun, R.A. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang, Jawa
Tengah. Walaupun sudah tiada, karya tulisan R.A. Kartini berhasil dikumpulkan Mr JH
Abendanon, sahabatnya di Belanda. Pada 1911, sahabatnya tersebut juga menerbitkan karya
tulisan R.A. Kartini dalam buku berjudul Door Duisternis tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah
Terang. Dan pada 1922 buku tersebut terbit dalam bahasa melayu yang berjudul "Habis Gelap
Terbitlah Terang" diterbitkan Balai Pustaka.

Ki hadjar dewantara
Ki Hadjar Dewantara sang Bapak Pendidikan Nasional. Ki Hadjar Dewantara adalah
pahlawan Nasional asal Yogyakarta. Nama asli beliau adalah Raden Mas Soewardi
Soerjaningrat. Beliau lahir di Yogyakarta tanggal 2 Mei 1889.
Hayo inget gak kalau 2 mei itu hari apa?
Tanggal 2 Mei itu adalah Hari Pendidikan Nasional. Hari Pendidikan Nasional dirayakan pada
tanggal ini adalah karena untuk memperingati jasa-jasa Ki Hadjar Dewantara yang telah
memberikan banyak sumbangsih pendidikan di Indonesia.
Ki Hadjar Dewantara pertama kali bersekolah di ELS (Eropeesche Legere School) atau
sekolah dasar untuk anak-anak Eropa dan bangsawan yang ada di Indonesia. Beliau bisa
masuk ke sekolah ini karena beliau adalah anak bangsawan. Beliau lahir di dalam sebuah
keluarga keraton, dari pasangan Gusti Pangeran Harya Surjaningrat dan cucu dari
Pakualaman III.
Setelah lulus dari ELS ia kemudian melanjutkan pendidikannya di STOVIA (School tot
Opleiding van Indische Artsen) yaitu sekolah yang dibuat untuk pendidikan dokter pribumi di
kota Batavia yang sekarang jadi Kedokteran Universitas Indonesia. Siapa yang pengen masuk
Kedokteran UI cung! Biar samaan sama Ki Hadjar Dewantara.
Tau gak sih kalau beliau itu adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia? Beliau itu
adalah bagian dari orang-orang Indonesia yang mengusir penjajah. Ets tentunya dengan
pemikirannya lho. Beliau masuk organisasi pergerakan Boedi Oetomo yang didirikan oleh Dr.
Soetomo. Selanjutnya membuat suatu organisasi bersama temannya Douwes Dekker dan
Dr. Tjipto Mangunkusumo yang terkenal dengan nama tiga serangkai.
Ki Hadjar Dewantara gencar mengkritik Belanda. Beliau sering membuat tulisan
yang menyentak pemerintahan Belanda lewat berbagai surat kabar. Seperti
tulisannya "Seandainya Aku Seorang Belanda" yang membuat beliau diasingkan ke
negeri Belanda.
Ki Hadjar Dewantara adalah pendiri sekolah Nationaal Onderwijs Taman Siswa atau
yang sekarang kita kenal dengan Taman Siswa.Sekolah Taman Siswa pertama
didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara pada bulan Juli tahun 1922. Nah, sekolah ini nih
yang nerapin sistem pembelajaran yang asik tadi.
Sistem pendidikan tersebut dilakukan secara informal dengan menekankan
keterampilan tradisional dan nilai-nilai kehidupan orang Jawa, terutama pada musik
dan tarian tradisional. Mata pelajaran yang berasal dari Barat juga diajarkan beliau
agar membantu siswa mengatasi tuntutan kehidupan modern saat ini.
Sistem yang dibuat Ki Hadjar Dewantara ini menghasilkan banyak sekali keuntungan
untuk bangsa Indonesia. Selain masyarakatnya diajari untuk menjadi terdidik dan
tidak ketinggalan zaman, ia juga menciptakan sistem pembelajaran berbasis
kebudayaan untuk tetap mempertahankan kebudayaan asli Indonesia.
Gaes, yang dimaksud dengan berbasis kebudayaan itu adalah, dalam sistem
pembelajarannya murid diajarkan tentang apa saja yang ada di Indonesia, seperti
budaya, bahasa, dan banyak hal lagi tentang ke-Indonesiaan. Hal ini ditujukan untuk
menumbuhkan rasa Nasionalisme dari peserta didik.
Nah, pembelajaran terkait kebudayaan untuk menumbuhkan rasa Nasionalisme ini
yang menjadi tombak perjuangan orang-orang indonesia untuk mengusir Belanda.
Karena ini juga keberadaan Taman Siswa ditakuti oleh pemerintahan Belanda.
Kamu tahu gak sih kalau sekolah Taman Siswa itu sudah menyebar ke seluruh
nusantara pada akhir tahun 1930-an? Jadi, sistem pendidikan Taman Siswa ini
sudah menyebar ke seluruh penjuru Nusantara sekitar 8 tahun setelah didirikan
karena, sistem pendidikan taman siswa memang diperuntukkan untuk pribumi yang
pada masa itu juga masih sedikit dapat mengenyam bangku pendidikan.
Dia merasa bahwa pendidikan adalah sebuah cara terbaik untuk memperkuat orang
Indonesia, dan ia sangat dipengaruhi oleh banyak teori yang melandasi cara
berpikirnya. Salah satunya adalah pemikir teori pendidikan reformis dari Italia, Maria
Montessori. Dia juga banyak dipengaruhi oleh penyair dan filsuf asal India yakni
Rabindranath Tagore.
Pemikiran yang diambil dari Maria Montessori adalah terkait pendidikan usia dini.
Hal yang diterapkan pada pendidikan Montessori adalah bagaimana peserta didik
memiliki kebebasan dalam belajar, tempat belajar yang menyenangkan dan dapat
membangun karakter peserta didik dengan metode bernyanyi dan menari.
Sedangkan pemikiran dari Tagore diambil oleh Ki Hadjar Dewantara dari sisi konsep
kebebasan dan merdeka yang beliau terapkan dalam sistem pembelajaran Taman
Siswa. Disini siapa yang suka belajar tanpa tekanan? atau punya kebebasan berpikir
apapun? suka dong tentunya. Gak ada lagi dimarahin guru, atau takut belajar di
sekolah.
Setelah banyak membantu masyarakat Indonesia dalam mengenyam pendidikan,
dan setelah indonesia merdeka, beliau diangkat menjadi menteri pendidikan oleh
presiden Soekarno. Karena ketulusan hatinya untuk membangun bangsa Indonesia
dengan pemikirannya dan jerih payahnya membuat sistem pendidikan, Beliau
dianugerahi gelar Bapak Pendidikan Nasional

Dr tjipto mangunkusumo

Masa Kecil dr. Cipto Mangunkusumo


Cipto Mangunkusumo lahir di Jawa Tengah sekitar tahun 1880-an. Beliau lahir dari
keluarga priayi atau keluarga terhormat di kalangan masyarakat.
Dalam ejaan lama, nama beliau dituliskan dengan Tjipto Mangoenkoesoemo.
Sejak sebelum dilahirkan, ibundanya sudah ingin memberikan nama “Cipto” jika
anaknya laki-laki. Nama “Cipto” berarti “ia yang mencipta”.
Sejak kecil, Cipto Mangunkusumo sudah suka belajar, ini juga didukung oleh
ayahnya yang seorang guru.
Pada usia 6 tahun, Cipto Mangunkusumo bersekolah di sekolah Belanda, yaitu
Europeesche Lagere School.
Cipto Mangunkusumo adalah murid yang cerdas dan lulus dengan nilai terbaik di
antara teman-temannya.
Kemudian, saat berusia 13 tahun, Cipto Mangunkusumo melanjutkan pendidikan ke
STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen).
STOVIA merupakan sekolah pendidikan kedokteran bagi rakyat pribumi pada zaman
Hindia Belanda.
Di masa mudanya, Cipto Mangunkusumo menghabiskan sebagian besar waktunya
untuk belajar ilmu kedokteran dengan gigih. Beliau ingin ilmunya bermanfaat untuk
membantu sesama.
Karena sering membantu masyarakat, dr. Cipto Mangunkusumo dikenal sebagai
“Dokter Rakyat”.
Bahkan, dr. Cipto Mangunkusumo berperan penting dalam penanganan wabah pes
di kota Malang pada 1910 - 1911.
Peran dr. Cipto Mangunkusumo dalam Memperjuangkan Kemerdekaan
Selain mendalami ilmu kedokteran, dr. Cipto Mangunkusumo juga kritis dalam
memperjuangkan bangsa Indonesia agar bebas dari kungkungan penjajah.
Beliau melakukan perlawanan melawan penjajah dengan membuat tulisan yang
diterbitkan di koran.
Tidak hanya itu, dr. Cipto Mangunkusumo bergabung dengan sebuah organisasi
pemuda Budi Utomo, pada 1908.
Organisasi Budi Utomo merupakan salah satu titik awal perjuangan melawan
penjajah, teman-teman.

Di organisasi Budi Utomo, dr. Cipto Mangunkusumo bertemu sosok-sosok pemuda


yang ingin memperbaiki nasib bangsa melalui pendidikan.
Namun, pada suatu dr. Cipto Mangunkusumo memiliki perbedaan pendapat dan
tujuan anggota Budi Utomo. Sehingga beliau memilih untuk mundur dari organisasi
itu.
Ini karena dr. Cipto Mangunkusumo berpendapat bahwa Budi Utomo harus menjadi
organisasi politik yang berjuang untuk semua kalangan, bukan hanya kalangan
tertentu.
Saat itu, dr. Cipto Mangunkusumo bersama sahabatnya Ernest Douwes Dekker
memiliki pemikiran yang sama.
Kemudian, Ernest Douwes Dekker, dr. Cipto Mangunkusumo, dan sahabatnya
Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) membentuk partai Indische Partij yang
memperjuangkan kesetaraan ras dan melawan kolonialisme.
Wah, ada banyak ya, inspirasi yang kita dapatkan dari sosok dr. Cipto
Mangunkusumo?
Sejak kecil, beliau memanfaatkan waktunya untuk belajar dengan tekun, kemudian
saat sudah menjadi dokter ilmunya digunakan untuk membantu sesama.
Beliau juga gigih memperjuangkan hak bangsa Indonesia melalui berbagai
organisasi dan mempertahankan ideologinya dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Dokter yang Membantu Masyarakat
Di masa mudanya, Cipto Mangunkusumo menghabiskan sebagian besar waktunya
untuk belajar ilmu kedokteran dengan gigih. Beliau ingin ilmunya bermanfaat untuk
membantu sesama.
Karena sering membantu masyarakat, dr. Cipto Mangunkusumo dikenal sebagai
“Dokter Rakyat”.
Bahkan, dr. Cipto Mangunkusumo berperan penting dalam penanganan wabah pes
di kota Malang pada 1910 - 1911.
Peran dr. Cipto Mangunkusumo dalam Memperjuangkan Kemerdekaan
Selain mendalami ilmu kedokteran, dr. Cipto Mangunkusumo juga kritis dalam
memperjuangkan bangsa Indonesia agar bebas dari kungkungan penjajah.
Beliau melakukan perlawanan melawan penjajah dengan membuat tulisan yang diterbitkan
di koran.
Tidak hanya itu, dr. Cipto Mangunkusumo bergabung dengan sebuah organisasi pemuda
Budi Utomo, pada 1908.
Organisasi Budi Utomo merupakan salah satu titik awal perjuangan melawan penjajah,
teman-teman.
Di organisasi Budi Utomo, dr. Cipto Mangunkusumo bertemu sosok-sosok pemuda yang
ingin memperbaiki nasib bangsa melalui pendidikan.
Namun, pada suatu dr. Cipto Mangunkusumo memiliki perbedaan pendapat dan tujuan
anggota Budi Utomo. Sehingga beliau memilih untuk mundur dari organisasi itu.
Ini karena dr. Cipto Mangunkusumo berpendapat bahwa Budi Utomo harus menjadi
organisasi politik yang berjuang untuk semua kalangan, bukan hanya kalangan tertentu.
Saat itu, dr. Cipto Mangunkusumo bersama sahabatnya Ernest Douwes Dekker memiliki
pemikiran yang sama.
Kemudian, Ernest Douwes Dekker, dr. Cipto Mangunkusumo, dan sahabatnya Suwardi
Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) membentuk partai Indische Partij yang memperjuangkan
kesetaraan ras dan melawan kolonialisme.
Wah, ada banyak ya, inspirasi yang kita dapatkan dari sosok dr. Cipto Mangunkusumo?
Sejak kecil, beliau memanfaatkan waktunya untuk belajar dengan tekun, kemudian saat
sudah menjadi dokter ilmunya digunakan untuk membantu sesama.
Beliau juga gigih memperjuangkan hak bangsa Indonesia melalui berbagai organisasi dan
mempertahankan ideologinya dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Ir. Soekarno

Ir. Soekarno atau yang biasa dipanggil Bung Karno yang lahir di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 6 Juni 1901
dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dengan Ida Ayu Nyoman Rai.

Ayah Soekarno adalah seorang guru. Raden Soekemi bertemu dengan Ida Ayu ketika dia mengajar di Sekolah
Dasar Pribumi Singaraja, Bali.

Soekarno hanya menghabiskan sedikit masa kecilnya dengan orangtuanya hingga akhirnya dia tinggal bersama
kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.

Soekarno pertama kali bersekolah di Tulung Agung hingga akhirnya dia ikut kedua orangtuanya pindah ke
Mojokerto.

Di Mojokerto, ayahnya memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School. Di tahun 1911, Soekarno dipindahkan
ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hoogere Burger School (HBS).

Setelah lulus pada tahun 1915, Soekarno melanjutkan pendidikannya di HBS, Surabaya, Jawa Timur. Di
Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para tokoh dari Sarekat Islam, organisasi yang kala itu dipimpin
oleh HOS Tjokroaminoto yang juga memberi tumpangan ketika Soekarno tinggal di Surabaya.

Dari sinilah, rasa nasionalisme dari dalam diri Soekarno terus menggelora. Di tahun berikutnya, Soekarno mulai
aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Darmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo.
Nama organisasi tersebut kemudian Soekarno ganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918.

Di tahun 1920 seusai tamat dari HBS, Soekarno melanjutkan studinya ke Technische Hoge School (sekarang
berganti nama menjadi Institut Teknologi Bandung) di Bandung dan mengambil jurusan teknik sipil.

Saat bersekolah di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam
dan sahabat karib Tjokroaminoto. Melalui Haji Sanusi, Soekarno berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto
Mangunkusumo dan Dr Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.

Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung yang diinspirasi dari Indonesische
Studie Club (dipimpin oleh Dr Soetomo). Algemene Studie Club merupakan cikal bakal berdirinya Partai
Nasional Indonesia pada tahun 1927.

Bulan Desember 1929, Soekarno ditangkap oleh Belanda dan dipenjara di Penjara Banceuy karena aktivitasnya
di PNI. Pada tahun 1930, Soekarno dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Dari dalam penjara inilah, Soekarno
membuat pledoi yang fenomenal, Indonesia Menggugat.

Soekarno dibebaskan pada tanggal 31 Desember 1931. Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan
Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI.

Soekarno kembali ditangkap oleh Belanda pada bulan Agustus 1933 dan diasingkan ke Flores. Karena jauhnya
tempat pengasingan, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional lainnya.

Namun semangat Soekarno tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru
Persatuan Islam bernama Ahmad Hasan. Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi
Bengkulu. Soekarno baru benar-benar bebas setelah masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.

Di awal kependudukannya, Jepang tidak terlalu memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia hingga
akhirnya sekitar tahun 1943 Jepang menyadari betapa pentingnya para tokoh ini. Jepang mulai memanfaatkan
tokoh pergerakan Indonesia dimana salah satunya adalah Soekarno untuk menarik perhatian penduduk
Indonesia terhadap propaganda Jepang.

Akhirnya tokoh-tokoh nasional ini mulai bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk dapat
mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang tetap melakukan gerakan perlawanan seperti Sutan
Sjahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.

Soekarno sendiri mulai aktif mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah merumuskan
Pancasila, UUD 1945 dan dasar-dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi
Kemerdekaan.

Pada bulan Agustus 1945, Soekarno diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia
Tenggara ke Dalat, Vietnam. Marsekal Terauchi menyatakan bahwa sudah saatnya Indonesia merdekan dan
segala urusan proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah tanggung jawab rakyat Indonesia sendiri.
Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16
Agustus 1945. Para tokoh pemuda dari PETA menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan
kemerdekaan Republik Indonesia, karena pada saat itu di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan.

Ini disebabkan karena Jepang telah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan
beberapa tokoh lainnya menolak tuntutan ini dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang.

Pada akhirnya,Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional lainnya mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia. Berdasarkan sidang yang diadakan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) panitia kecil untuk upacara proklamasi yang terdiri dari delapan orang resmi
dibentuk.

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memplokamirkan kemerdekaannya. Teks proklamasi secara langsung
dibacakan oleh Soekarno yang semenjak pagi telah memenuhi halaman rumahnya di Jl Pegangsaan Timur 56,
Jakarta.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan
Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Mohammad Hatta dikukuhkan oleh KNIP.

Kemerdekaan yang telah didapatkan ini tidak langsung bisa dinikmati karena di tahun-tahun berikutnya masih
ada sekutu yang secara terang-terangan tidak mengakui kemerdekaan Indonesia dan bahkan berusaha untuk
kembali menjajah Indonesia.

Gencaran senjata dari pihak sekutu tak lantas membuat rakyat Indonesia menyerah, seperti yang terjadi di
Surabaya ketika pasukan Belanda yang dipimpin oleh Brigadir Jendral A.W.S Mallaby berusaha untuk kembali
menyerang Indonesia.

Rakyat Indonesia di Surabaya dengan gigihnya terus berjuang untuk tetap mempertahankan kemerdekaan
hingga akhirnya Brigadir Jendral AWS Mallaby tewas dan pemerintah Belanda menarik pasukannya kembali.
Perang seperti ini tidak hanya terjadi di Surabaya tapi juga hampir di setiap kota.

Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB karena agresi militer tersebut dinilai
telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggajati.

Walaupun telah dilaporkan ke PBB, Belanda tetap saja melakukan agresinya. Atas permintaan India dan
Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda
rapat Dewan Keamanan PBB, di mana kemudian dikeluarkan Resolusi No 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang
isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.

Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947, Pemerintah Belanda akhirnya
menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.

Pada 17 Agustus 1947, Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan
Keamanan untuk melakukan gencatan senjata dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu
komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda.

Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden
Soekarno kembali diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat
sebagai perdana menteri RIS.

Karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17
Agustus 1950, RIS kembali diubah menjadi Republik Indonesia dimana Ir Soekarno menjadi Presiden dan
Mohammad Hatta menjadi wakilnya.

Pemberontakan G30S/PKI melahirkan krisis politik hebat di Indonesia. Massa dari KAMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi demonstrasi dan
menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah satu isinya meminta agar PKI dibubarkan.

Namun, Soekarno menolak untuk membubarkan PKI karena menilai bahwa tindakan tersebut bertentangan
dengan pandangan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme).

Sikap Soekarno yang menolak membubarkan PKI kemudian melemahkan posisinya dalam politik. Lima bulan
kemudian, dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditandatangani oleh Soekarno
dimana isinya merupakan perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang perlu guna
menjaga keamanan pemerintahan dan keselamatan pribadi presiden.
Surat tersebut lalu digunakan oleh Soeharto yang telah diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat untuk
membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang. MPRS pun mengeluarkan dua
Ketetapannya, yaitu TAP No IX/1966 tentang pengukuhan Supersemar menjadi TAP MPRS dan TAP No
XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap saat bisa
menjadi presiden apabila presiden sebelumnya berhalangan.

Pada 22 Juni 1966, Soekarno membacakan pidato pertanggungjawabannya mengenai sikapnya terhadap
peristiwa G30S. Pidato pertanggungjawaban ini ditolak oleh MPRS hingga akhirnya pada 20 Februari 1967
Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka.

Hari Minggu, 21 Juni 1970 Presiden Soekarno meninggal dunia di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat)
Gatot Subroto, Jakarta. Presiden Soekarno disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan kemudian dimakamkan
di Blitar, Jawa Timur berdekatan dengan makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah kemudian
menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.

Ir Soekarno adalah seorang sosok pahlawan yang sejati. Dia tidak hanya diakui berjasa bagi bangsanya sendiri
tapi juga memberikan pengabdiannya untuk kedamaian di dunia. Semua sepakat bahwa Ir Soekarno adalah
seorang manusia yang tidak biasa yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Ir Soekarno
adalah bapak bangsa yang tidak akan tergantikan.

Sutan syahrir

Masa Kecil-Remaja (1909-1929)


Sutan Sjahrir lahir di Padang Panjang – Hindia Belanda, pada tanggal 5 Maret 1909. Ia
merupakan anak seorang jaksa lokal yang bernama Mohamad Rasad Gelar Maharajo
Sutan, dan ibu bernama Puti Siti Rabiah. Ketika Sjahrir berusia empat tahun, ayahnya
diangkat oleh Sultan Deli untuk menjadi kepala jaksa sekaligus penasihat di Kesultanan
Deli.
Pengangkatan jabatan yang sangat bergengsi ini membuat orangtua memiliki dana yang
cukup untuk menyekolahkan Sjahrir di sekolah-sekolah berkualitas di Medan dan Bandung.
Di Medan, Sjahrir mengenyam pendidikan di ELS & MULO terbaik di Medan (ELS & MULO
itu istilah SD & SMP jaman Belanda). Setelah lulus dari MULO tahun 1926, Sjahrir
melanjutkan sekolahnya ke AMS paling bergengsi di Bandung (AMS istilah SMA zaman
Belanda).
Punya kesempatan bersekolah di tempat bergengsi dengan kondisi finansial orangtua yang
berkecukupan gak bikin Sjahrir takabur, tapi justru dia pertanggungjawabkan dengan
optimal. Selama bersekolah, Sjahrir dianggap bintang kelas yang sangat cerdas, rajin baca
buku filsafat, dan sangat aktif dalam berbagai macam kegiatan. Dari mulai klub teater,
bermain musik biola, sampai ikut klub sepak bola di Bandung.
Saat sebagian anak-anak muda Indonesia jaman sekarang males-malesan sekolah, Sjahrir
remaja malah MENDIRIKAN SEKOLAH untuk kaum miskin di Bandung pada umur 18 tahun!
Sekolah rakyat ini dia kasih nama Tjahja Volksuniversiteit atau dalam bahasa Melayu berarti
“Universitas Rakyat Cahaya”. Di lembaga pendidikan ini, entah berapa banyak anak-anak
kurang mampu di Bandung yang diajari membaca dan menghitung secara gratis.
Serpak terjang Sjahrir remaja gak cuma dalam bidang sosial aja, bersama temen-temennya,
Sjahrir mendirikan sebuah klub diskusi politik untuk para pemuda di Bandung, yang
dinamakan Patriae Scientiaeque. Kegiatannya di klub diskusi itu membawa takdir pertemuan
dengan sosok aktivis lain dari klub debat tetangga (Algemenee Studie Club), yang dipimpin
seorang mahasiswa Bandung Technische Hogeschool (ITB) bernama Koesno (alias Ir.
Sukarno).
Sampai akhirnya, Sukarno (26 tahun) bersama teman-temannya di klub diskusi mendirikan
Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927. Dalam partai itu, Sjahrir (18 tahun) dipercaya
untuk mengurus organisasi pemuda PNI yang awalnya disebut Jong Indonesien, lalu
berubah nama menjadi Pemuda Indonesia. Bentuk kepercayaan yang diberikan pada Sjahrir
ini ia manfaatkan untuk membuat momentum bersejarah bersama dengan Jong Indonesien
pada tahun 1928, dengan mewujudkan Kongres Pemuda Indonesia II yang menghasilkan
semangat perjuangan baru, bernama Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.
Sekarang lo bayangin sosok seperti apa Sjahrir ketika remaja? Udah mah juara kelas, doyan
baca buku, punya jiwa seni, pandai main biola, suka olahraga, rajin diskusi politik,
mendirikan sekolah untuk anak-anak miskin, hingga ikut mewujudkan momentum
pemberontakan yang sangat bersejarah bagi bangsa kita, yaitu Sumpah Pemuda. Semua itu
dia lakukan ketika beliau belum genap berumur 19 tahun! Emang sakti abis nih sang (calon)
Bapak Bangsa kita!

Masa Studi di Belanda & Perjuangan Awal (1929-1935)


Setelah lulus dari AMS tahun 1929, Sjahrir melanjutkan kuliah di Eropa, tepatnya di Fakultas
Hukum Universiteit van Amsterdam. Tidak lama banget setelah keberangkatan dirinya ke
Amsterdam, pemimpin Hindia Belanda waktu itu Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de
Graeff, ngeluarin perintah buat nangkepin pemimpin-pemimpin PNI termasuk Sukarno,
Gatot Mangkupradja, dan kawan-kawan di tanah Hindia Belanda. Nyaris banget Sjahrir ikut
ditangkep, untung keburu kabur kuliah!
Pada masa awal kuliahnya, Sjahrir aktif mengikuti kegiatan sebuah klub studi yang bernama
Sociaal Democratische Studenten Club. Klub studi yang diikutin sama Sjahrir ini merupakan
bentukan dari Partai Sosialis Demokrat Belanda (Sociaal Demokratische Arbeiderspartij –
SDAP). Pada klub inilah, Sjahrir untuk pertama kalinya membedah secara mendalam
gagasan-gagasan politik kelas dunia yang sedang bergelora saat itu, seperti pemikiran
Friedrich Engels, Otto Bauer, Karl Marx, Rosa Luxemburg, dan filsuf kelas dunia lainnya.
Mendapatkan kesempatan pendidikan di Eropa benar-benar membuat pemikiran Sjahrir
menjadi terbuka dari berbagai macam gagasan serta situasi politik internasional yang
sedang terjadi.
Sampai pada akhirnya, karena masalah keuangan keluarga, Sjahrir terpaksa harus pindah
dan tinggal di rumah ketua klub SDAP sekaligus sahabatnya, Salomon Tas. Sejak saat itu
Sjahrir pindah kuliah ke Universiteit Leiden dan mulai belajar mandiri dan bekerja di sebuah
perusahaan transportasi. Pengalaman pertamanya bekerja itu, membuat Sjahrir betul-betul
merasakan ketidakadilan bagi kaum pekerja. Pengalamannya bekerja serta aktivitasnya di
serikat buruh inilah yang membuat pemikiran Sjahrir semakin terarah pada gagasan sosialis
demokratis yang mengusung kesetaraan dan keadilan.
Sementara itu, pergerakan awal untuk membebaskan Hindia Belanda sudah dimulai oleh
para senior Sjahrir, tepatnya oleh gerakan Perhimpunan Indonesia (PI) di Rotterdam yang
saat itu diketuai oleh Mohammad Hatta. Singkat kata, Bung Hatta yang saat itu lagi ribet
oleh berbagai macam hal, memerlukan sosok pendamping. Berita tentang seorang pemuda
berbakat yang bernama Sjahrir membuat Hatta memanggilnya untuk membantu pergerakan
dari Perhimpunan Indonesia sebagai sekretaris.
Sejak saat itulah, duet maut 2 (calon) Bapak Bangsa Indonesia yang berbeda umur cukup
jauh ini dipertemukan dan mulai beradu gagasan kenegaraan demi cita-cita gila mereka
untuk memerdekakan Indonesia. Namun demikian, duet maut ini sempat mengalami
kendala karena konflik internal dalam PI, di mana sebagian besar anggotanya menginginkan
perjuangan kemerdekaan dari arah ideologi komunis, sementara Sjahrir dan Hatta lebih
cenderung ke arah sosialis & nasionalis. Akhirnya Hatta dan Sjahrir pun dikeluarin dari
keanggotaan PI.
Sementara itu, keadaan perjuangan di tanah air juga sedang terhambat. Terutama pasca
penangkapan Soekarno tahun 1929 oleh de Graeff, pergerakan kemerdekaan yang tadinya
dimotori oleh PNI semakin ciut. Terlebih lagi, pecahan PNI yang membentuk partai baru
bernama Partindo malah bersikap cenderung kooperatif terhadap pemerintah Hindia-
Belanda. Ketika pergerakan kemerdekaan Indonesia hampir padam sepenuhnya, Hatta &
Sjahrir segera membentuk surat kabar yang dinamakan Daulat Ra’jat untuk terus
menyuarakan suara pemberontakan pada Hindia Belanda untuk membakar semangat
pemberontakan.
Selain aktif menulis di surat kabar, Hatta dan Sjahrir yang gemas dengan gerakan lapangan
akhirnya memutuskan untuk membentuk kembali PNI-Baru tahun 1931. Berbeda dengan
PNI-Lama bentukan Sukarno yang bersifat menggalang massa secara serabutan, PNI-Baru
ini lebih bersifat ke kaderisasi yang mengutamakan pendidikan bertahap bagi para
anggotanya untuk menjadi aktivis pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kalo
Sukarno fokus pada kuantitas, Sjahrir & Hatta fokus pada kualitas. Nah, pada titik inilah
Sjahrir & Hatta kembali menegaskan bentuk perjuangan mereka bahwa cita-cita mereka
bukan sekedar mendapat kedudukan setara dengan Kerajaan Belanda sebagai anggota
persemakmuran, tapi untuk menjadikan Indonesia negara yang merdeka sepenuhnya.

Memulai Pergerakan PNI-baru di Hindia (1931-1934)


Pada tahun 1931, Sjahrir memutuskan untuk sementara meninggalkan studinya dan kembali
ke Jakarta untuk terjun langsung dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia dengan tokoh-
tokoh dan aktivis nasional. Sementara Hatta masih di Belanda karena kagok ingin
menuntaskan gelar doctorandus yang tinggal sebentar lagi selesai.
Sesampainya di Batavia (nama Jakarta dulu), yang ada di kepala Sjahrir cuma satu hal,
yaitu gimana caranya ngerekrut pemuda-pemuda potensial untuk ikut gerakan kemerdekaan
(baca=gerakan pemberontakan) melawan Hindia Belanda. Tentu ini bukan hal mudah untuk
mengajak para kaum muda untuk memberontak, tapi kepiawaian dan pengalaman Sjahrir
sewaktu aktif di serikat pekerja Belanda sangat membantu dalam membentuk jaringan
underground pemberontakan sampai-sampai tidak terdeteksi (setidaknya sampai 1934) oleh
polisi Hindia-Belanda.
Kaderisasi kaum muda semakin gencar terutama ketika Sjahrir didaulat menjadi ketua
umum PNI-baru pada kongres PNI-Baru Yogjakarta 1932. Gagasan yang menginspirasi
Sjahrir dalam mendidik kaum muda bermuara pada ide-ide Karl Marx yang mengusung
kesejahteraan sosial, kesetaraan, serta kemandirian ekonomi. Peristiwa ini dinilai cukup unik
dalam sejarah, ketika biasanya ide sosialisme ditanamkan di kalangan proletariat dan kaum
buruh. Di tanah Hindia, gagasan ini malah diusung oleh kaum terpelajar dan kalangan
menengah atas. Akibatnya, gerakan ini berjalan jadi jauh lebih cerdas dan terukur serta tidak
mudah goyah oleh isu-isu propaganda. Hal ini membuat Belanda semakin kewalahan dalam
meredam aktivitas gerakan Sjahrir, dan kawan-kawan.

Tahun 1933, Hatta kembali ke tanah Hindia dengan menyandang gelar dokterandus. Kedatangan
Hatta disambut baik kalangan aktivis Hindia sekaligus membuat Sjahrir menyerahkan kepemimpinan
PNI-Baru ke seniornya tersebut. Sementara itu, Sukarno yang sudah dibebaskan dari penjara
Sukamiskin juga terus berjuang melalui ‘kendaraan’ lain, yaitu Partindo. Pada saat itu, Sukarno &
Partindo yang fokus pada penggalangan massa secara kuantitatif mengklaim memiliki pengikut lebih
dari 20,000 orang, sedangkan PNI-Baru yang fokus pada kaderisasi dan anggota yang terdidik, baru
memiliki 1,000 anggota.

Gub Jend, de Graeff yang pensiun tahun 1931 diganti oleh Bonifacius Cornelis de Jonge. Baru aja
ngejabat, Jonkheer de Jonge ini langsung pusing menghadapi pergerakan para aktivis kemerdekaan
yang semakin terkoordinir dan memiliki basis massa. Akhirnya De Jonge mau gak mau harus kerja
extra untuk memata-matai serta menangkapi orang-orang yang terbukti terlibat dalam gerakan
pemberontakan. Salah satu tokoh yang ditangkep pertama adalah Sukarno (lagi) tahun 1933.
Khawatir dengan basis masa fans Sukarno yang banyaknya udah kelewatan di Pulau Jawa, Sukarno
dibuang jauh-jauh ke Ende, Flores. Februari 1934, giliran duet maut Sjahrir & Hatta yang diciduk.

Hatta ditahan di Penjara Glodok, Batavia, sedangkan Sjahrir dijeblosin di Penjara Cipinang, Meester
Cornelis. Awalnya, sel tempat Sjahrir ditahan cukup lumayan lah buat ukuran penjara. Tapi dalem
hati Sjahrir tau gak lama juga dia bakal senasib sama Sukarno, bakal dibuang di tempat gak jelas!
Ternyata bener dugaan dia, Desember 1934 Sjahrir, Hatta, dan banyak aktivis lain seperti Tjipto
Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, dkk dibuang ke Boven Digoel, di pelosok paling pelosok dari
Pulau Papua.

Di Pembuangan Digoel & Banda Neira (1935-1942)


Nyampe di Digoel, Sjahrir bengong karena harus bikin rumah sendiri dengan nebang kayu dari hutan
lebat Papua. Boven Digoel adalah tanah pengasingan yang bener-bener gak ada apa-apa. Kalaupun
ada sedikit penduduk lokal, tetap kalah banyak jumlahnya dengan nyamuk malaria dan buaya-buaya
kelaparan di sepanjang rawa dan sungai.

Berbeda dengan Hatta yang introvert, pendiam, dan bisa dengan mudah larut berjam-jam hanya
dengan membaca buku. Sjahrir yang pembawaannya lebih extrovert, bersemangat, spontan…
merasa kesepian di tanah pengasingan. Di tanah buangan tanpa ada rumah sakit, sekolah, dan
kepastian akan masa depan. Sjahrir banyak menghabiskan waktu untuk menulis surat pada istrinya
Maria Duchateau di Belanda, yang sudah lama tidak ia temui.

Mungkin karena rindu istri, kesepian, dan stress gak bisa berkarya lebih banyak di pengasingan,
kondisi psikologis Sjahrir mengalami demoralisasi. Doi jadi sering banget nyelonong ke rumah-rumah
Hatta, dr Tjipto, dan kawan-kawan pas tengah malem dengan beralasan mau minta gula, garem,
pokoknya ada-ada aja deh..! Padahal sebetulnya kemungkinan Sjahrir cuma lagi kesepian pengen
ditemenin ngobrol. Menurut jurnalis senior Bang Rosihan Anwar, kalo Bung Hatta ditanyai tentang
Sjahrir, Hatta bilang “Ah si Sjahrir lagi terganggu pikirannya dan jadi agak sinting!” hehehe…

2 Januari 1936, penderitaan Sjahrir, Hatta, dan kawan-kawan jadi agak mendingan karena dipindahin
ke Banda Neira, Maluku. Di tempat inilah akhirnya Sjahrir menemukan kedamaian tinggal di daerah
terpencil dengan di kelilingi penduduk lokal yang bersahabat (bukan nyamuk malaria dan buaya lagi).
Di Banda Neira, Sjahrir yang extrovert dan bersemangat menyalurkan energinya untuk main sama
anak-anak dan mengajar penduduk lokal. Saking deketnya dia sama anak-anak di daerah itu, tiga di
antaranya dia angkat sebagai anak.

Sjahrir, Hatta menanti pembebasan selama 5 tahun di Banda Neira, sampai Jepang menyerang Pearl
Harbour (Desember 1941), Kepulauan Pasifik, dan Malaya. Dalam ekspansi wilayah itu, Pulau Ambon
juga kena kepungan oleh Jepang. Untung belum terlambat, pemerintahan Hindia memutuskan
memindahkan Sjahrir dan tahanan-tahanan lain ke Pulau Jawa sampai akhirnya Jepang betul-betul
menguasai Nusantara, dan membebaskan semua tawanan politik Hindia Belanda.

Penguasaan Jepang dan Perjuangan Menuju Kemerdekaan (1942-1945)


Maret 1942, Belanda nyerah kepada Jepang. Penyerahan kekuasaan berlangsung cepet banget.
Untuk memudahkan Jepang mendapat dukungan rakyat setempat, para tokoh pemberontak seperti
Hatta, Sjahrir, dan kawan-kawan dibebasin gitu aja sama tentara-tentara Jepang. Menyusul bulan
Juli 1942, Bung Karno juga dibebaskan dari pengasingan di Bengkulu. Setibanya di Jakarta, Sukarno
memutuskan untuk bertemu dengan Hatta dan Sjahrir di rumahnya Hatta. Pertemuan ini bisa
dibilang moment yang sangat sangat bersejarah, karena setelah berjuang masing-masing dari tahun
1931, tiga tokoh utama kemerdekaan kita ini baru bertemu untuk pertama kalinya.

Dari hasil pertemuan itu, Sukarno berpendapat bahwa untuk sementara kita perlu mengikuti
keinginan Jepang, agar kemerdekaan Indonesia bisa didapatkan tanpa perlu pertumpahan darah.
Sementara itu, Sjahrir menolak bentuk perjuangan yang berkooperasi dengan Jepang dan lebih
memilih meneruskan perjuangan secara underground dengan membangun basis massa agar
semangat kemerdekaan tetap terjaga dari akar rumput. Akhirnya Sukarno & Hatta memilih jalan
untuk berkooperasi dengan Jepang dengan harapan Indonesia dapat merdeka tanpa perlu
membuang nyawa melawan tentara Jepang yang bahkan mampu memukul mundur Belanda hanya
dalam beberapa bulan.

Keputusan Bung Karno & Hatta untuk berkooperasi dengan Jepang seringkali menjadi polemik moral
yang tidak berujung dalam sejarah bangsa kita. Di satu sisi, Bung Karno & Hatta menganggap cara
yang mereka tempuh adalah “langkah yang paling taktis” agar Indonesia bisa mendapatkan celah
untuk memerdekakan diri tanpa perlu berperang melawan Jepang yang kekuatan militernya sangat
mengerikan. Sementara bagi tokoh pergerakan lapangan seperti Tan Malaka, bahkan juga Sjahrir,
Bung Karno & Hatta dinilai terlalu lembek dan pengecut untuk melawan Jepang secara terang-
terangan. Puncaknya adalah ketika Jepang memberlakukan romusha (1942-1945) bagi 4-10 juta
penduduk lokal untuk membangun basis militer, terowongan, dan pengangkutan bahan pangan bagi
Jepang.

Menjelang pertengahan 1945, Jepang mengalami kekalahan beruntun di peperangan Pasifik


melawan sekutu. Berdasarkan analisis Sjahrir, ini adalah saat yang paling tepat untuk menyatakan
kemerdekaan, ia lalu mendesak Bung Karno untuk segera menyatakan kemerdekaan. Akan tetapi,
Sukarno yang udah kepalang basah kerja sama dengan Jepang, memilih untuk berkonsultasi sama
Jepang dulu biar ga terjadi pertumpahan darah. Hal ini membuat Sjahrir kecewa dan semakin gemas
mendesak tokoh-tokoh besar lain untuk berani menyatakan kemerdekaan, termasuk Bung Hatta &
Tan Malaka, tapi semuanya belum berani secara terang-terangan melangkahi kekuasaan Jepang.

Hari-hari menjelang kemerdekaan…


Setelah Bom Atom sekutu menghancurkan Hiroshima & Nagasaki (7 & 9 Agustus 1945), analisis
Sjahrir sejak berbulan-bulan lalu tentang kekalahan telak Jepang semakin menjadi kenyataan. Lobby
demi lobby dia terus mendesak Sukarno & Hatta untuk terus mendeklarasikan proklamasi, tapi
“nanti-nanti” terus jawabannya. Sampai hari yang dijanjikan Sukarno akhirnya tiba (15 Agustus 1945)
itulah yang sejatinya tanggal proklamasi yang direncanakan. Tapi karena kondisi keamanan yang
sangat tidak kondusif mengingat Jepang baru aja sehari nyerah sama Sekutu, Sukarno lagi-lagi
menunda kemerdekaan. Di sisi lain, Sjahrir yang udah mengerahkan ribuan orang dari pelosok Jawa
untuk datang ke Jakarta, lagi-lagi jengkel dengan Sukarno.

Para pemuda pengikut Sjahrir ikutan jengkel karena pembatalan ini, dan mendesak Sjahrir untuk
langsung mengumumkan kemerdekaan! Walaupun jengkel dengan Sukarno, Sjahrir menolak untuk
menyatakan kemerdekaan, karena menurut dia Sukarno tetap orang yang paling layak untuk
melakukannya, terutama karena basis pendukungnya yang sangat banyak dan kharismanya yang
selangit. Sjahrir tetap bersabar, agar tidak menimbulkan perpecahan di kalangan sendiri.

Puncak ketegangan ini memuncak ketika kelompok pemuda dari Menteng (Wikana, dan kawan-
kawan) menculik Sukarno & Hatta ke Rengasdengklok. Ketika dengar berita bahwa Dwitunggal
beneran diculik oleh pemuda, Sjahrir kaget setengah mati! Bayangin aja, di detik-detik yang
menentukan kemerdekaan, sekelompok remaja tanggung berdarah panas malah nyulik tokoh sentral
Indonesia!! Menurut gosipnya sih, saking marahnya Sjahrir, salah satu geng pemuda itu ditabokin
sama dia, hehehe…

Akhirnya Sukarno-Hatta dijemput balik sama Ahmad Subardjo untuk menyusun teks proklamasi di
rumah Tadashi Maeda, Menteng. Keesokan harinya 17 Agustus 1945, akhirnya peristiwa yang
dimimpikan oleh para tokoh awal pergerakan Indonesia sejak tahun 1931 terjadi juga. Indonesia
akhirnya menyatakan proklamasi kemerdekaan. Sjahrir, sebagai tokoh arsitek gerakan underground
yang selalu bergerak di belakang panggung, memutuskan untuk tidak hadir dalam momentum paling
bersejarah itu.

Diplomasi cerdik Bung Kecil untuk mendapat pengakuan Internasional (1945-1949)


Berdasarkan kacamata Indonesia, bangsa ini memang sudah merdeka, tapi masih sangat rapuh.
Untuk menjaga status kemerdekaan yang masih bayi ini, Negara Indonesia membutuhkan bentuk
sistem pemerintahan yang jelas dan terstruktur. Keesokan harinya Sukarno diangkat menjadi
presiden, sementara Hatta menjadi wakil presiden – keduanya berperan sebagai lembaga eksekutif.
Sementara itu, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang kemudian berfungsi
sebagai badan legislatif (DPR) agar jadi penyeimbang keberadaan eksekutif. Elemen pemerintah yang
krusial ini, dipercayakan kepada Sjahrir untuk menjadi ketua KNIP. Sampai pada akhirnya,14
November 1945 Sjahrir diangkat sebagai Perdana Menteri Indonesia yang pertama pada umur 36
tahun.

Pasca kemerdekaan, Indonesia memiliki 2 PR besar, yaitu: (1) upaya mempertahankan status
kemerdekaan dari serangan militer Belanda maupun daerah-daerah terpencil yang masih dikuasai
sisa tentara Jepang. (2) Upaya memenangkan pengakuan dunia internasional yang perlu
diperjuangkan dalam bentuk perundingan dan perjanjian.

Lagi-lagi, terdapat perselisihan cara pandang antar para Bapak Bangsa kita. Bagi Tan Malaka dan
Sudirman yang berjuang di garis depan, kita tidak perlu lagi berunding dengan pihak luar untuk
mencapai kemerdekaan yang utuh. Sementara bagi Hatta dan (terutama) Sjahrir, kemerdekaan yang
realistis sesungguhnya hanya bisa dicapai secara bertahap, rapi, dan elegan, bukan frontal dengan
angkat senjata. Setelah berbagai macam drama perselisihan antar 2 kubu Bapak Bangsa kita. Pada
akhirnya, Jendral Sudirman & Tan Malaka banyak berperan pada PR pertama untuk meredam agresi
militer. Sementara Sjahrir dan Bung Hatta fokus pada misi kedua, mendapatkan pengakuan dunia
internasional.
Dalam upaya menuntaskan misi kedua ini, ada 2 prestasi Sjahrir yang bikin dia dikenang sebagai
diplomat ulung yang sangat cerdik membaca situasi dunia internasional. Pertama adalah keputusan
cerdiknya untuk memberikan bantuan pada India yang saat itu sedang krisis pangan, dengan
mengirim 500,000 ton beras pada 20 Agustus 1946! India yang saat itu masih berada dalam koloni
Inggris menyambut baik bantuan itu. Inggris yang memiliki kekuatan politik yang besar di Eropa,
mulai menaruh simpatik pada Negara baru “kemarin sore” bernama Indonesia. Dengan sambutan
baik Inggris, pada Indonesia. Belanda jadi makin keki.

Jeniusnya lagi, kemungkinan Sjahrir sudah meramalkan India akan segera merdeka dari kolonisasi
Inggris dan memiliki kekuatan politik yang cukup kuat. Bener aja, India merdeka dari kolonisasi
Inggris 15 Agustus 1947. Jawaharlal Nehru, Bapak Bangsa India sekaligus Perdana Menteri pertama
masih ingat bantuan dari Sjahrir, akhirnya mengundang Indonesia berpartisipasi di Konferensi
Hubungan Negara-negara Asia di New Delhi. Di acara ini, jaringan internasional Sjahrir makin
berkembang dan akhirnya dia diundang ke berbagai negara untuk memperkenalkan Indonesia. Inilah
kenapa strategi diplomasi Sjahrir seringkali disebut “diplomasi kancil”, sekali tepuk 2 lalat coy!
Setelah dari India, Sjahrir melanjutkan diplomasinya ke Kairo, Mesir, Suriah, Iran, Burma, dan
Singapura untuk membangun hubungan baik dan minta dukungan pengakuan dunia kepada
Indonesia. Makin keki banget deh Belanda!

Prestasi kedua Sjahrir adalah trik jitu Sjahrir mensiasati hasil Perundingan Linggarjati. Pada
November 1946, delegasi Belanda siap berunding dengan delegasi Republik buat nyelesein sengketa
wilayah Indonesia. Dengan segala cara Sjahrir mengupayakan agar Belanda mau berunding,
termasuk dengan cara ngelobby temen-temen dia pas kuliah dulu yang sekarang udah pada jadi
pejabat di Belanda. Gayung bersambut, Sjahrir akhirnya berhasil ngadain Perundingan Linggarjati.
Walaupun hasil perjanjian Linggarjati dinilai merugikan wilayah Indonesia, tapi dengan cerdiknya
Sjahrir mengusulkan tambahan satu pasal, yaitu pasal perundingan tingkat PBB kalo-kalo aja nanti
ada perselisihan di kemudian hari. Tanpa pikir panjang, Belanda setuju-setuju aja karena hasil
perjanjiannya nguntungin Belanda banget.

Ujung-ujungnya, pasal tambahan usulan Sjahrir itulah yang nyelametin Indonesia ketika Belanda
ngelancarin Agresi Militer I tahun 1947. Berkat adanya pasal ini, Belanda terbukti melanggar
perjanjian dan harus menuntaskan persengketaan wilayah ini pada sidang Internasional. Momentum
inilah yang membuat seluruh dunia melek bahwa Republik Indonesia sedang ditindas oleh mantan
penguasa koloninya. Dunia semakin berpihak pada NKRI. Belanda tersandung keserakahannya
sendiri.

Ibarat pemain catur, Sjahrir awalnya memberikan umpan yang kemudian berbalik menjadi serangan
balasan yang merontokan pertahanan politik Belanda. Namun pada akhirnya, giliran Bung Hatta yang
menjebol pertahanan terakhir Belanda dengan pukulan telak di Konferensi Meja Bundar (23 Agustus
– 2 November 1949). Skakmat! Bung Hatta pulang ke tanah air dengan kemenangan penuh, karena
telah berhasil mendapatkan pengakuan kedaulatan resmi dari Belanda dan juga dunia internasional.
Di sini kita bisa lihat, kalau bukan karena Bung Sjahrir, Indonesia mungkin gak pernah kepikiran
untuk maju lewan jalan diplomasi dan perundingan. Kalo bukan karena kecerdikan Sjahrir juga,
dukungan dunia internasional tidak akan sederas itu untuk membela Indonesia di KMB.
Perlahan Turun dari Panggung Politik (1950-1966)
Karier diplomasi manis Sjahrir sebagai PM ternyata tidak seharum itu di mata orang-orang di
kelompok pejuang, seperti Tan Malaka, Sudirman, dan kawan-kawan. Begitu pula Bung Karno dan
Amir Sjarifuddin belakangan banyak berselisih pendapat dengan Sjahrir. Puncaknya ketika Sjahrir
dan Bung Karno sering cekcok beradu mulut ketika keduanya disembunyikan ke Brastagi dalam
kemelut agresi militer Belanda II. Maka dari itu, setelah era Demokrasi Liberal dimulai (1950), Sjahrir
konsentrasi untuk membangun Partai Sosialis Indonesia (PSI) untuk menghadapi pemilihan umum
pertama tahun 1955.

Di partai ini ide-ide sosialisme demokrat Sjahrir makin diusung kepada para simpatisannya. Kalo lo
mau tau ide-ide sosialis Sjahrir yang dia tawarkan dalam PSI ini, lo tinggal lihat aja sistem
pemerintahan di Jerman, Perancis, Swedia, Belanda sekarang ini seperti apa. Pada intinya, gagasan
pemerintahan Sjahrir 66 tahun yang lalu adalah konsep yang dilakukan Eropa modern sekarang ini.

Pemilu 1955 pun berjalan. Ide Sjahrir ini kurang dapet banyak tanggapan dari rakyat waktu itu. Sejak
saat itu, karir politik Sjahrir terus merosot dan betul-betul menghilang. Pada 7 Januari 1962, terjadi
percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno saat melewati jalan Cendrawasih (Makassar),
seseorang melemparkan granat. Granat itu meleset, Presiden Sukarno selamat.

Dalam peristiwa itu, Sjahrir dituduh mendalangi percobaan pembunuhan itu. Presiden Sukarno yang
saat itu lagi pusing banget menghadapi banyak pemberontakan dalam negeri, agak gelap mata.
Sukarno langsung menjadikan Sjahrir sebagai tersangka tanpa proses pengadilan, dan menempatkan
Sjahrir sebagai tahanan di Madiun, lalu di Kebayoran Baru-Jakarta.

Walaupun selama di tahanan Sjahrir diperlakukan cukup baik, tapi keadaan fisiknya terus menurun.
Sampai akhirnya, Sutan Sjahrir terkena serangan stroke dua kali hingga membuat Sjahrir tidak
mampu berbicara dan agak lumpuh tangan kanannya. Akhirnya, Sukarno memperbolehkan Sjahrir
mendapatkan perawatan di luar negeri, asalkan bukan di Belanda. Keluarga Sjahrir memilih Zurich-
Swiss, sebagai tempat pengobatannya.

Bulan Juli 1965, Sjahrir beserta keluarganya terbang ke Zurich. Momen itu pula lah yang menjadi
momen terakhir Sjahrir melihat tanah air yang ia perjuangkan sepenuh jiwa-raga. Di momen ini, kaki
Sjahrir terangkat terakhir kali untuk selamanya dari Indonesia. Tidak lama setelah peristiwa
Supersemar, tepatnya 9 April 1966, Sutan Sjahrir meninggal dunia pada umur 57 tahun di Swiss.
Hatta terlihat sangat depresi karena ditinggal sahabatnya tersebut. Sampai hari pemakaman, Hatta
masih sangat kecewa dengan keputusan Sukarno yang memenjarakan Sjahrir tanpa proses
peradilan. Triumvirat Kemerdekaan Indonesia akhirnya resmi bubar.

Selama 5 hari setelah Sjahrir meninggal, Indonesia berkabung total. Beberapa bulan sebelumnya,
ternyata Presiden Sukarno telah mempersiapkan Keppres nomor 76 tahun 1966 untuk menjadikan
Sjahrir sebagai Pahlawan Nasional sekaligus permintaan agar Sjahrir dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, Jakarta. Setelah tiba di Jakarta, jenazah Sjahrir diantar oleh ratusan ribu orang ke
pemakamannya. Bayangin, rombongan paling depan udah nyampe Kalibata, rombongan paling
belakang baru sampe Bundaran Hotel Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai