Anda di halaman 1dari 2

Latar Belakang

Hipertensi merupakan suatu kondisi dimana tekanan darah sistolik berada pada angka lebih dari 140
mmHg dan diastolik lebih dari 90 mmHg (sri mulyati rahayu, Nur Intan Hayati, 2020). Faktor risiko yang
menyebabkan hipertensi di antaranya adalah usia, riwayat keluarga, gaya hidup yang kurang baik seperti
merokok, banyak makan makanan yang mengandung lemak, kurang beraktivitas, dan sebagainya.
Apabila tidak ditangani dengan baik, hipertensi dapat menyebabkan stroke, infark miokard, gagal ginjal
dan kerusakan pada otak.

Menurut Riskesdas tahun 2018, hipertensi merupakan penyakit dengan persentase paling tinggi yang
terjadi pada lansia usia 55-64 tahun. Persentasenya sebesar 55,2% (sri mulyati rahayu, Nur Intan Hayati,
2020). Dari pengkajian yang dilakukan mahasiswa kepada masyarakat agregat dewasa yang tinggal di
Pulau Jawa dan Sumatra, didapatkan hasil bahwa sebanyak 82 responden dengan persentase 48,8%
menderita hipertensi. Angka tersebut merupakan angka tertinggi dibandingkan penyakit lainnya (ISPA,
DM, asam urat).

Tingginya angka tersebut menandakan bahwa hipertensi harus segera ditangani. Penanganannya bisa
dilakukan dengan dua cara, yaitu farmakologi dan non-farmakologi. Untuk penanganan secara
farmakologi bisa dilakukan dengan memberikan obat antihipertensi (sri mulyati rahayu, Nur Intan
Hayati, 2020). Namun, mengonsumsi obat antihipertensi dalam jangka waktu yang panjang dapat
menyebabkan terjadinya Drug Related Problems, yaitu suatu kondisi yang tidak diharapkan yang dialami
pasien yang terlibat yang memengaruhi keadaan pasien seperti ketidak-patuhan, alergi terhadap obat,
dan interaksi obat. Penggunaan obat antihipertensi dalam jangka waktu yang lama juga akan
menimbulkan kerusakan pada beberapa organ (Ainurrafiq, Risnah, & Ulfa Azhar, 2019).

Jika dilihat dari kejadian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pasien hipertensi perlu alternatif
terapi lain yang bisa dilakukan untuk mengurangi tingkat ketergantungan terhadap obat untuk
mempertahankan kualitas hidup pasien. Alternatif lain yang bisa dilakukan adalah terapi non-
farmakologi, salah satunya adalah terapi relaksasi otot progresif.

Teknik relaksasi otot progresif adalah teknik dengan memusatkan perhatian pada suatu aktivitas otot,
dengan mengidentifikasi otot yang tegang kemudian menurunkan ketegangan dengan melakukan teknik
relaksasi untuk mendapatkan perasaan rileks (Baharuddin, 2016). Teknik relaksasi ini juga
mengombinasikan latihan napas dalam dan serangkaian seri kontraksi dan relaksasi otot tertentu (sri
mulyati rahayu, Nur Intan Hayati, 2020). Gerakan-gerakan pada teknik ini diberikan kepada penderita
hipertensi dengan menegangkan dan melemaskan otot-otot dari kelompok otot wajah hingga kaki.
Teknik relaksasi otot progresif ini dilakukan selama 20 menit dan dilakukan seminggu tiga kali. Untuk
melakukan teknik ini bisa dilakukan di pagi dan sore hari (sri mulyati rahayu, Nur Intan Hayati, 2020).

Sumber:

Ainurrafiq, A., Risnah, R., & Ulfa Azhar, M. (2019). Terapi Non Farmakologi dalam Pengendalian Tekanan
Darah Pada Pasien Hipertensi: Systematic Review. MPPKI (Media Publikasi Promosi Kesehatan
Indonesia): The Indonesian Journal of Health Promotion, 2(3), 192–199.
https://doi.org/10.31934/mppki.v2i3.806

Baharuddin, R. (2016). Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Tekanan Darah Pada Klien
Hipertensi Primer. IV, 82–89.

sri mulyati rahayu, Nur Intan Hayati, S. L. A. (2020). Pengaruh Teknik Relaksasi Otot Progresif Terhadap
Tekanan Darah Pada Lansia Dengan Hipertensi. Journal Media Karya Kesehatan, 3(1), 91–98.

Anda mungkin juga menyukai