FADLI AZHIMIASGAR
NIM : E011181340
PRODI : ILMU ADMINISTRASI NEGARA
Dialog ini diadakan di Hotel Four Points by Sheraton Makassar, The Wrapped Room Lantai 1.
Jl. Andi Djemma nomor 130 Makassar, Sulsel, Kamis (16/05/2019).
Aktor-aktor ini termasuk lembaga penelitian kebijakan seperti the SMERU Research Institute
(SMERU), Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dan Sekretariat
Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA). Direktur SMERU,Dr.
Asep Suryahadi mengatakan upaya pengentasan kemiskinan harus didukung oleh riset-riset
untuk mengembangkan pengetahuan-pengetahuan baru guna menyusun terobosan kebijakan
yang tepat.
Tetapi, sayangnya, masih terdapat praktik umum dalam pengembangan kebijakan yang lebih
menggunakan intuisi, pendapat, dan kepentingan sektoral daripada hasil analisis atau penelitian.
Di samping itu, banyak kebijakan masih tidak sensitif terhadap kesetaraan gender dan inklusi
sosial (Gender Equality and Social Inclusion/GESI), sehingga dapat meningkatkan kesenjangan
sosial antara kelompok masyarakat bahkan antar wilayah.
“Berdasarkan penelitian kami pada tahun 2017, Sulawesi Selatan menduduki peringkat ke 17
dari 34 provinsi dalam Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif,” kata Asep Suryahadi.
Ia menambahkan disparitas antar wilayah di Sulawesi Selatan sangat tinggi, terlihat dari
persentase penduduk miskin yang sangat berbeda antar wilayahnya.
etapi, pemerintah Provinsi Sulsel telah melakukan beberapa upaya untuk mendukung kebijakan
berbasis bukti.
Di antaranya adalah riset Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Sulsel pada
awal 2019 untuk mempromosikan inovasi yang berkaitan dengan empat produk unggulan daerah,
yaitu kopi, rumput laut, gula aren, dan garam.
Hasil penelitian tersebut direkomendasikan ke gubernur dan kepala dinas terkait dan menjadi
bahan pertimbangan dalam penyusunan program kerja dan kebijakan daerah.
Untuk memastikan terbangunnya industri inti dan penunjang keempat produk tersebut, perlu ada
cluster inovasi dan lembaga riset untuk mendorong inovasi dan entrepreneurship.
Untuk memastikan terbangunnya industri inti dan penunjang keempat produk tersebut, perlu ada
cluster inovasi dan lembaga riset untuk mendorong inovasi dan entrepreneurship.
Direktur Eksekutif KPPOD, Endi Robert Jaweng, menyebutkan untuk memahami efektivitas
kebijakan daerah dan dampaknya terhadap bisnis, KPPOD melakukan studi tentang Kemudahan
Berusaha (Ease of Doing Business/EoDB) di sepuluh kota bisnis, termasuk Makassar.
Penelitian telah menunjukkan bahwa di Makassar, waktu yang diperlukan untuk memulai bisnis
relatif lebih lama (24,5 hari) dan biayanya relatif lebih tinggi (8,4 juta rupiah) dibandingkan
dengan kota-kota lainnya.
Saat ini Makassar juga merupakan satu-satunya kota yang masih menyertakan syarat besaran
modal minimum, di mana dalam ketentuan PP No. 29 tahun 2016 pemohon PT sudah tidak lagi
terbebani dengan penyetoran modal minimum.
Selain itu, penting untuk menganalisis kebijakan anggaran dan perencanaan nasional dan daerah.
Hasil kajian Local Budget Index (LBI) terakhir, yang dilakukan oleh Seknas FITRA,
menempatkan daerah-daerah di Sulsel berada di papan tengah dari 70 daerah se-Indonedia,
kecuali Kabupaten Bone.
“Pada Penghargaan Pembangunan Daerah 2019 yang diserahkan oleh Presiden Jokowi tanggal 9
Mei kemarin pun, Provinsi Sulsel tidak masuk dalam 10 besar”, tuturnya.Untuk itu, pemerintah
provinsi Sulsel perlu menggalang sinergi dengan semua pihak, utamanya organisasi masyarakat
sipil, kampus, kelompok masyarakat marginal untuk memperkuat kualitas perencanaan dan
penganggarannya.” Untuk membangun sinergi serta mengidentifikasi agenda dan prioritas
bersama untuk mendukung pengembangan kebijakan berbasis bukti yang berpotensi mengurangi
kemiskinan dan kesenjangan sosial di Sulsel.
PENDAHULUAN
Kemiskinan menjadi masalah di hampir semua daerah di Indonesia. Padahal salah satu tujuan
pembangunan nasional Indonesia adalah meningkatkan kinerja perekonomian agar mampu
menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang layak bagi seluruh rakyat yang pada
gilirannya akan mewujudkan kesejahteraan penduduk Indonesia melalui salah satu sasaran
pembangunan nasional yaitu dengan menurunkan tingkat kemiskinan. Upaya penanggulangan
kemiskinan sudah dilakukan sejak tiga dekade terakhir yaitu dengan program-program
pembangunan pemerintah di antaranya dengan penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan,
pelayanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian,
pemberian dana bergulir melalui sistem kredit, pembangunan prasarana dan pendampingan,
penyuluhan sanitasi dan program lainnya (Hureirah, 2005). Namun faktanya, pertumbuhan
ekonomi Indonesia, yang berkisar 5% - 7% per tahun sejak lebih dari satu dasawarsa terakhir,
belum mampu mengurangi jumlah penduduk miskin. Meskipun peringkat Indonesia
dibandingkan negara lain dalam hal laju pertumbuhan ekonomi tergolong tidak mengecewakan,
yaitu berada pada peringkat 38 dari 179 negara (IMF, 2015), namun pertumbuhan tersebut dirasa
belum memberi dampak yang berarti terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang terakhir dilaksanakan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012 mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia
berkisar 28,5 juta jiwa. Hampir 15% dari jumlah penduduk Indonesia di pedesaan dan hampir
10% jumlah penduduk Indonesia di perkotaan dikategorikan miskin dan berada di ambang
kemiskinan. Fakta tersebut menjadikan permasalahan kemiskinan patut mendapat perhatian yang
besar dari semua pihak. Sehingga penanggulangan kemiskinan harus dilakukan secara
menyeluruh, yang berarti menyangkut seluruh penyebab kemiskinan. Beberapa diantaranya yang
menjadi bagian dari penanggulangan kemiskinan tersebut yang perlu tetap ditindaklanjuti dan
disempurnakan implementasinya misalnya peningkatan pendidikan dan kesehatan masyarakat,
perluasan lapangan kerja dan pembudayaan entrepreneurship (Hureirah, 2005). Program
pengentasan kemiskinan daerah sebagai salah satu indikator penting kinerja pemerintah daerah di
era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal diharapkan menjadi pintu untuk mengatasi masalah
ini. Sehingga perlu untuk menelaah kinerja pemerintah daerah dalam menanggulangi
kemiskinan, dengan terlebih dahulu mengkaji faktor-faktor penyebab (determinan) kemiskinan
tersebut di daerah. Di antara faktor yang perlu dikaji seperti pertumbuhan ekonomi regional di
daerah, tingat pengangguran, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan belanja pemerintah
daerah yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Derah (APBD). Kebijakan
pemerintah daerah yang berorientasi pada program pengentasan kemiskinan sudah seharusnya
didasarkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi kemiskinan tersebut. Provinsi
Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah di Indonesia yang masih menghadapi
permasalahan kemiskinan. Meski menjadi salah satu provinsi yang mempunyai tingkat
pertumbuhan ekonomi cukup baik, angka kemiskinan di Provinsi Sulawesi Selatan masih
terbilang cukup tinggi. Berdasarkan data resmi yang dirilis oleh BPS hingga akhir Desember
2014, penduduk dengan keadaan miskin di Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 806.350 jiwa.
Angka ini setara dengan 9,54 persen dari total penduduk yang bermukim di Provinsi Sulawesi
Selatan. Jumlah penduduk miskin ini sebagian besar masih didominasi oleh daerah perdesaan
yang mencapai 12,25 persen, sedangkan di perkotaan mencapai 4,93 persen.
Penurunan ini tidak lepas dari kondisi perkonomian yang sangat baik, keadaan ketenagakerjaan
yang mendukung, serta terkendalinya harga-harga. Pertumbuhan ekonomi di Sulsel triwulan 3
(y-on-y) sebesar 7,17 persen jauh di atas angka nasional (5,17 persen). Sumber pertumbuhan
utamanya berasal dari pertumbuhan sektor-sektor yang merupakan domain utama penduduk
miskin seperti sektor pertanian (1,16 persen), kontruksi (1,68 persen), dan perdagangan (1,82
persen.
Angka pengangguran juga mengalami penurunan dari 5,61 persen pada Agustus 2017 menjadi
5,34 pada Agustus 2018. Secara sektoral perubahan tenaga kerja sangat mendukung terjadinya
penurunan angka kemiskinan dengan adanya penambahan tenaga kerja sektor industri
pengolahan (bertambah 62 ribu orang), perdagangan (bertambah 46 ribu), pertanian (bertambah
35 ribu), maupun kontruksi (bertambah 22 ribu).
Inflasi tahun 2018 sangat terkendali dan lebih kecil dibandingkan tahun 2017 di mana inflasi
kumulatif tahun kalender hingga Agustus 2018 relatif kecil sebesar 2,95 persen dibandingkan
3,46 persen tahun 2017 dan inflasi y-on-y sebesar 3,92 persen dibanding 4,58 persen tahun 2017.
Semua penduduk yang ber KTP Sulawesi Selatan dapat pelayanan BPJS kelas 3. Selain itu di
bidang pendidikan memberikan bantuan seragam dan perlengkapan sekolah baik dari TK,SD,
SMP/MTS, SMA/SMA/SMA kepada warga miskin, bekerjasama dengan toyota bagi mereka
yang lulus SMK atau lulus BLK langsung dapat magang ke jepang.
Update data kemiskinan tiap tahun menjadi penting, ambulance gratis dan program dari baznas
dengan rujukan dari Data kemiskinan yang ada di Provinsi Sulawesi selatan
Ada pusat pembelajaran keluarga untuk anak yang terlantar, pelecehan seksual maka ada tenaga
yang mendampinginya. Untuk CSR dapat Rp 350 juta wajib buat penanggulangan kemiskinan
namun belum ada regulasi tapi punya CSR.
Provinsi Sulawesi Selatan juga menjadi daerah intervensi kompak untuk peningkatan kapasitas.
Dalam penyusunan perda tidak mengeluarkan anggaran, karena ada dukungan dari LSM dan
Kompak. Polri dan TNI jika mau membangun rehab dan polisi juga peduli kemiskinan maka data
berasal dari Data Kemiskinan Provinsi Sulawesi Selatan .
Provinsi Sulawesi Selatan juga mendapatkan penghargaan dari kemensos, dan berbagai
penghargaan lainnya terkait Intervensi penurunan kemiskinan melalui SLRT dan pihak Pemkab
Bantaeng juga mengapresiasi kepada penyelenggara dengan dana nol rupiah saat ada
penghargaan hari nasional.
Di level desa juga diberikan hak untuk penanganan penanggulangan kemiskinan melalui
anggaran dari dana desa. Dan mereka dikasihkan tools dan cara penurunan kemiskinan.
5. Belanja Daerah pemerintah kabupaten/ kota Provinsi Sulawesi Selatan terbukti memiliki
pengaruh negatif terhadap angka kemiskinan di Provinsi Sulawesi Selatan, dengan tingkat
pengaruh yang signifikan. Hal ini berarti bahwa belanja daerah pemerintah yang selama ini
(paling tidak dalam lima tahun terakhir) memiliki kecenderungan secara umum terus meningkat
telah mampu memberikan dampak terhadap penurunan angka kemiskinan secara nyata
(signifikan);
6. Beberapa rekomendasi yang dapat diajukan dalam rangka untuk menekan laju pertumbuhan
tingkat kemiskinan di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu:
b. Dalam upaya mengurangi jumlah kemiskinan di Sulawesi Selatan, pada tingkatan mikro,
program-program yang diarahkan untuk menekan beban pengeluaran penduduk miskin di satu
sisi, dan meningkatkan produktivitas penduduk miskin di sisi lain, harus terus diintensifkan.
Program layanan pendidikan dan kesehatan untuk rumah tangga miskin perlu terus dilanjutkan
dengan memperluas jangkauan dan meningkatkan aksesibilitas. Program semacam ini,
disamping dapat menekan beban pengeluaran penduduk miskin dalam jangka pendek, juga dapat
memperbaiki kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia penduduk miskin dalam jangka
panjang. Menyertai usaha tersebut, programprogram yang diarahkan untuk mendorong
peningkatan produktivitas penduduk miskin juga harus terus diupayakan dan ditingkatkan
intensitas dan jangkauannya, misalnya melalui pemberian kredit mikro, program padat karya
perdesaan, pelatihan keterampilan, dan sebagainya;