Anda di halaman 1dari 85

LAPORAN PENDAHULUAN

PERAWATAN PASIEN DENGAN VENTILATOR MEKANIK


A. Konsep teori
Ventilator adalah suatu alat mekanis yang mampu membantu pernafasan. Ventilator
berfungsi membantu seseorang untuk memenuhi oksigen paru, mengeluakan
karbondioksida dalam tubuh, membantu pasien untuk lebih mudah bernafas, membantu
pasien yang kehilangan kemampuan bernafas. Ventilator menyalurkan gas ke paru-paru
dengan menggunakan tekanan positif pada tingkat tertentu. Jumlah gas disampaikan
dapat dibatasi oleh waktu, tekanan atau volume. Durasi bisa dikontrol dengan waktu,
tekanan atau aliran(purnawan & saryono,2010).
B. Tujuan
1. Memberikan kekuatan mekanis pada system paru untuk mempertahankan ventilasi
yang fisiologis.
2. Membantu otot nafas yang lelah/lemah.
3. Memperbaiki oksigenasi.
4. Meningkatkan kenyamanan pasien.
C. Indikasi
1. Pasien dengan gagal napas.
2. Respiratory arrest.
3. Penurunan fungsi jantung.
4. Koma.
D. Kontraindikasi
1. Riwayat operasi seperti saluran pernapasan bagian atas, saluran pencernaan bagian
bawah.
2. Ketidakmampuan melindungi jalan napas.
3. Gangguan kesadaran atau agitasi.
4. Obstruksi saluran napas bagian atas.
E. Klasifikasi cara kerja ventilator
1. Ventilator tekanan negative
Mengeluarkan tekanan negative pada dada eksternal. Dengan mengurangi
tekanan intrathoraks selama inspirasi memungkinkan udara mengalir ke dalam paru-
paru sehingga memenuhi volumenya. Pada jenis ini digunakan terutama pada gagal
nafas kronik yang berhubungan dengan kondisi neurovascular seperti polymyelitis,
distrofi muscular, sklerosisi lateral amiotrifik dan miastenia gravis. Penggunaan tak
sesuai untuk pasien yang tak stabil atau pasien yang kondisinya membutuhakn
perubahan ventilasi sering
2. Ventilator tekanan positif
Ventilator tekanan positif menggembungkan paru-paru dengan mengeluarkan
tekanan positif pada jalan nafas dengan demikian mendorong alveoli untuk
mengembang selama inspirasi. Pada ventilator jenis ini diperlukan intubasi
endrotrakeal atau trakeostomi. Ventilator ini secaar luas digunakan pada klien
dengan penyakit paru primer.
Jenis ini ada 3, yaitu:
a. Time Cycled: Prinsip kerja dari ventilator type ini adalah cyclusnya
berdasarkan waktu ekspirasi atau waktu inspirasi yang telah ditentukan. Waktu
inspirasi ditentukan oleh waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah napas
permenit). Normal ratio I:E (inspirasi : ekspirasi) 1:2. Bantuan yang diberikan
berdasarkan waktu Biasa digunakan pada neonatus dan bayi.
b. Volume Cycled: Prinsip dasar ventilator ini adalah cyclusnya berdasarkan
volume. Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai
volume yang ditentukan. Keuntungan volume cycled ventilator adalah
perubahan pada complain paru pasien tetap memberikan volume tidal yang
konsisten.
c. Pressure Cycled: Ventilator yang mengakhiri inspirasi ketika tekanan preset
telah tercapai. Dengan kata lain siklus ventilator hidup mengantarkan aliran
udara sampai tekanan tertentu yang telah ditetapkan seluruhnya tercapai dan
kemudian siklus mati. Prinsip dasar ventilator type ini adalah cyclusnya
menggunakan tekanan. Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah
mencapai tekanan yang telah ditentukan. Pada titik tekanan ini, katup inspirasi
tertutup dan ekspirasi terjadi dengan pasif. Kerugian pada type ini bila ada
perubahan komplain paru, maka volume udara yang diberikan juga berubah.
Sehingga pada pasien yang setatus parunya tidak stabil, penggunaan ventilator
tipe ini tidak dianjurkan.
F. Cara pengguanaan
1. Prosedur pemberian
Sebelum memasang ventilator pada pasien, dokter akan
melakukan intubasi untuk memasukkan selang khusus melalui mulut, hidung, atau
lubang yang dibuat di bagian depan leher pasien (trakeostomi). Setelah intubasi
selesai, ventilator kemudian akan dihubungkan pada selang tersebut.
Sebelum memasang ventilator pada pasien. Lakukan tes paru pada
ventilator untuk memastikan pengesetan sesuai pedoman standar. Sedangkan
pengesetan awal adalah sebagai berikut:
a. Fraksi oksigen inspirasi (FiO2) 100%.
b. Volume tidal: 4-5 ml/kg BB.
c. Frekwensi pernafasan: 10-15 kali/menit.
d. Aliran inspirasi: 40-60 liter/detik.
e. PEEP (Possitive End Expiratory Pressure) atau tekanan positif akhir
ekspirasi: 0-5 Cm, ini diberikan pada pasien yang mengalami oedema
paru dan untuk mencegah atelektasis.
f. Pengesetan untuk pasien ditentukan oleh tujuan terapi dan perubahan
pengesetan ditentukan oleh respon pasien yang ditujunkan oleh hasil analisa
gas darah (Blood Gas).
a. Mode ventilator
b. CMV (Continous Mechanical Ventilation) Disebut juga dengan modus
control. Karena pada modus ini pasien menerima volume dan ferkuensi
pernafasan sesuai dengan yang telah diatur. Sedangkan pasien tak dapat
bernafas sendiri.
c. ACV (Assist Control Ventilation) Pada modus in pasien menerima volume dari
mesin dan bantuan nafas, tetapi hanya sedikit. Pasien diberikan kesempatan
untuk bernafas spontan. Total jumlah pernafasan dan volume semenit ditentukan
oleh pasien sendiri.
d. IMV (Intermitent Mandatory Ventilation) Pasien menerima volume and
frekuensi pernapasan dari ventilator. Keuntungannya adalah pasien diberikan
kesempatan untuk bernafas sendiri.
e. Pressure Support Modus ini memberikan bantuan ventilasi dengan cara
memberikan tekanan. Pada saat pasien inspirasi, mesin memberikan
bantuan nafas sesuai dengan tekanan positif yang telah ditentukan. Modus
ini sangat baik untuk digunakan pada proses penyapihan pasien dari
penggunaan ventilator.
f. SIMV (Syncronous Intermitent Mandatory Ventilation) Modus ini sama dengan
IMV, hanya pada modus ini bantuan pernafasan dari sesuaikan kapan terjadi
pernafasan pasien sendiri
g. CPAP (Continous Positif Airway Pressure) Pemberian tekanan positif pada
jalan nafas untuk membantu ventilasi selama siklus pernafasan. Pada
modus ini frekuensi pernafasan dan volume tidal ditentukan oleh pasien
sendiri
h. PEEP (Positif End Expiratory Pressure) Digunakan untuk mempertahankan
tekanan jalan nafas pada akhir ekspirasi sehingga meningkatkan
pertukaran gas didalam alveoli. Pemakaian PEEP dianjurkan adalah 5-15
cm H2O
G. Hal-hal yang harus di perhatikan
1. Pencegahan infeksi nosocomial.
2. System alarm.
3. Humidifasi dan suhu.
4. Perawatan jalan napas.
5. Perawatan selang endotrakeal.
6. Tekanan cuff endotrakeal.
7. Dukungan nutrisi.
8. Perawatan mata.
H. Sumber
Sanders, K. Jordan. (2000). Emergency Nursing Core Curriculum. 5thed. Philadelphia:
Saunders.
Purnawan, I., saryono. 2010. Mengelola pasien dengan ventilastor mekanik. Jakarta:
Rekatama
TOOL PENILAIAN VENTILASI MEKANIK
N Aspek yang dinilai Bobot Ya Tidak
O
A. Fase Orientasi
1. Memberikan salam atau menyapa pasien
2. Memperkenalkan diri
3. Menjelaskan maksud dan tujuan
4. Menjelaskan prosedur kerja
5. Menanyakan kesiapan pasien dan kontrak waktu
B. Fase kerja
1. Mencuci tangan
2. Menyiapkan alat
3. Pasang handscoon
4. Jaga privasi pasien
5. Atur posisi pasien
6 Cara pengguanaan
a. Prosedur pemberian
 Sebelum memasang ventilator pada pasien, dokter akan
melakukan intubasi untuk memasukkan selang khusus
melalui mulut, hidung, atau lubang yang dibuat di bagian
depan leher pasien (trakeostomi). Setelah intubasi selesai,
ventilator kemudian akan dihubungkan pada selang
tersebut.

 Sebelum memasang ventilator pada pasien.


Lakukan tes paru pada ventilator untuk
memastikan pengesetan sesuai pedoman
standar. Sedangkan pengesetan awal adalah
sebagai berikut:
1. Fraksi oksigen inspirasi (FiO2) 100%.
2. Volume tidal: 4-5 ml/kg BB.
3. Frekwensi pernafasan: 10-15 kali/menit.
4. Aliran inspirasi: 40-60 liter/detik.
5. PEEP (Possitive End Expiratory
Pressure) atau tekanan positif akhir
ekspirasi: 0-5 Cm, ini diberikan pada
pasien yang mengalami oedema paru dan
untuk mencegah atelektasis. Pengesetan
untuk pasien ditentukan oleh tujuan terapi
dan perubahan pengesetan ditentukan oleh
respon pasien yang ditujunkan oleh hasil
analisa gas darah (Blood Gas).

b. Mode ventilator
 CMV (Continous Mechanical Ventilation)
Disebut juga dengan modus control. Karena
pada modus ini pasien menerima volume dan
ferkuensi pernafasan sesuai dengan yang telah
diatur. Sedangkan pasien tak dapat bernafas
sendiri.
 ACV (Assist Control Ventilation) Pada modus in
pasien menerima volume dari mesin dan bantuan
nafas, tetapi hanya sedikit. Pasien diberikan
kesempatan untuk bernafas spontan. Total jumlah
pernafasan dan volume semenit ditentukan oleh
pasien sendiri.
 IMV (Intermitent Mandatory Ventilation) Pasien
menerima volume and frekuensi pernapasan
dari ventilator. Keuntungannya adalah pasien
diberikan kesempatan untuk bernafas sendiri.
 Pressure Support Modus ini memberikan
bantuan ventilasi dengan cara memberikan
tekanan. Pada saat pasien inspirasi, mesin
memberikan bantuan nafas sesuai dengan
tekanan positif yang telah ditentukan. Modus
ini sangat baik untuk digunakan pada proses
penyapihan pasien dari penggunaan ventilator.
 SIMV (Syncronous Intermitent Mandatory
Ventilation) Modus ini sama dengan IMV, hanya
pada modus ini bantuan pernafasan dari
sesuaikan kapan terjadi pernafasan pasien sendiri
 CPAP (Continous Positif Airway Pressure)
Pemberian tekanan positif pada jalan nafas
untuk membantu ventilasi selama siklus
pernafasan. Pada modus ini frekuensi
pernafasan dan volume tidal ditentukan oleh
pasien sendiri
 PEEP (Positif End Expiratory Pressure)
Digunakan untuk mempertahankan tekanan
jalan nafas pada akhir ekspirasi sehingga
meningkatkan pertukaran gas didalam
alveoli. Pemakaian PEEP dianjurkan adalah 5-
15 cm H2O
7. Setelah semua prosedur selesai, bereskan alat dan
rapikan pasien kembali
8. Buka handscoon dan cuci tangan
C. Fase Terminasi
1. Evaluasi keadaan pasien
2. Menyampaikan rencana tindak lanjut
3. Berpamitan
4. Lakukan pendokumentasian
D. Penampilan
1. Melakukan komunikasi terapeutik selama tindakan yang
dilakukan
2. Ketelitian selama tindakan
3. Menjaga keamanan pasien dan keamanan perawat
Total

LAPORAN PENDAHULUAN
PEMBACAAN RONTGEN SEDERHANA
A. DEFENISI
Rontgen atau dikenal dengan sinar x merupakan pemeriksaan yang memanfaatkan
peran sinar x dalam mendeteksi kelainan pada berbagai organ diantaranya dada, jantung,
abdomen, ginjal, ureter, kandung kemih, tengkorak, dan rangka. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan menggunakan radiasi sinar x yang sedikit karena tingginya kualitas
film sinar x dan digunakan untuk melakukan skrining dari berbagai kelainan yang ada
pada organ.
B. TUJUAN
Tujuan foto rontgen adalah untuk mendapatkan gambaran dan mengetahui kelainan
anatomis tubuh, dpt mempertanggung jawabkan dlm memberikan perawatan selanjutnya
membantu menegakkan diagnosa, juga dapat menimbulkan bahaya bagi pekerja radiasi
dan masyarakat umum yang berada disekitar sumber radiasi tersebut. Membantu
menegakkan diagnosa. Besarnya bahaya radiasi ini ditentukan oleh besarnya radiasi,
jarak dari sumber radiasi, dan ada tidaknya pelindung radiasi.
C. INDIKASI
1. Sesak napas pada bayi
Untuk memastikan ada tidaknya kelainan di toraksnya (rongga dada), dokter
membutuhkan foto rontgen agar penanganannya tepat.
2. Bayi muntah hijau terus menerus
Bila dokter mencurigai muntahnya disebabkan sumbatan di saluran pencernaan,
maka pengambilan foto rontgen pun akan dilakukan. Pertimbangan dokter untuk
melakukan tindakan ini tidak semata-mata berdasarkan usia, melainkan lebih pada
risk and benefit alias resiko dan manfaatnya..
3. Deteksi masalah pada tulang, paru-paru, usus, dan organ dalam lainnya.
Bagi balita sampai kalangan dewasa, foto rontgen lazimnya dimanfaatkan untuk
mendeteksi masalah pada tulang, paru-paru, usus, dan organ dalam lainnya.
D. KONTRAINDIKASI
Meski risiko efek samping yang ditimbulkan kecil, foto rontgen tidak
direkomendasikan untuk ibu hamil (kecuali tindakan darurat). Risiko rontgen pada
kehamilan adalah radiasi yang ditimbulkan dapat menyebabkan gangguan pembentukan
organ pada janin. Maka itu, sebaiknya berbicara pada dokter terlebih dahulu sebelum
pemeriksaan foto rontgen, guna mengetahui efek samping yang ditimbulkannya.
E. PROSEDUR
1. Informed consent.
2. Tidak ada pembatasan makanan atau cairan.
3. Pada dada pelaksanaan fotodengan posisi PA (posterior anterior) dapat dilakukan
dengan posisi berdiri dan foto AP (anterior posterior) lateral dapat juga dilakukan.
Baju harus diturunkan sampai ke pinggang, baju kertas atau baju kain bisa
digunakan, dan perhiasan dapat dilepaskan. Anjurkan pasien untuk tarik napas dan
menahan napas pada waktu pengambilan foto sinar x.
4. Pada jantung, foto PA dan lateral kiri dapat diindikasikan untuk mengevaluasi
ukuran dan bentuk jantung, dalam pelaksanaannya, perhiasan pada leher harus
dilepaskan, baju diturunkan hingga ke pinggang.
5. Pada abdomen, baju haru dilepaskan dan digunakan baju kain/kertas, pasien tidur
telentang dengan tangan menjauh dari tubuh, serta testis harus dilindungi.
Pelaksanaan foto harus dilakukan sebelum pemeriksaan IVP.
6. Pada tengkorak, penjepit rambut, kaca mata, dan gigi palsu harus dilepaskan
sebelum pelaksanaan fotoPada rangka bila dicurigai terdapat fraktur, maka anjurkan
puasa dan immobilisasi pada daerah fraktur.
F. HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN
1. Berdasarkan jenis persiapannya, pemeriksaan SINAR X terbagi atas:
a. Radiografi konvesional tanpa persiapan: Pasien dapat langsung difoto saat
datang.
b. Radiografi konvensional dengan persiapan
1) Pemeriksaan organ abdomen (perut) memerlukan puasa beberapa jam atau
hanya makan makanan tertentu agar usus dapat tergambar dengan jelas
tanpa adanya penutupan dari feses.
2) Pada pemeriksaan saluran kemih, Anda akan diminta berbaring telentang
dengan tangan menjauh dari tubuh. Serta sebelum pemeriksaan Anda akan
diminta untuk meminum banyak air atau dan menahan kencing agar dapat
terlihat gambaran yang bagus pada buli-buli (kandung kemih).
3) Pemeriksaan dada proyeksi posterior anterior (PA) dilakukan dengan posisi
berdiri, baju harus diturunkan sampai ke pinggang. Anda akan diminta
untuk menahan nafas saat foto diambil.
4) Jika rontgen dilakukan pada daerah tengkorak, penjepit atau hiasan rambut,
kaca mata, dan gigi palsu harus dipindahkan. Persiapan teknis lainnya
sebagai berikut:
a) Memakai pakaian yang nyaman dan longgar agar mudah untuk
membukanya, namun pada beberapa rumah sakit akan diberikan gaun
untuk dipakai.
b) Mencopot perhiasan, jam atau alat-alat yang mengandung logam pada
tubuh. Jika Anda memiliki implantasi metalik di dalam tubuh dari
operasi sebelumnya, segera laporkan ke dokter karena implant akan
memblokir sinar X-Ray untuk menembus ke dalam tubuh
CONTOH PEMBACAAN RONTGEN
A. Melakukan pemeriksaan awal
1. Periksalah nama pasien. Sebelum melakukan hal-hal yang lain, pastikan bahwa
Anda melihat hasil tes rontgen dada yang benar. Ini sepertinya jelas, tetapi ketika
sedang stres dan merasa tertekan, Anda bisa saja melewatkan beberapa hal
mendasar. Mempelajari hasil tes rontgen dada yang salah berarti membuang-buang
2. Pelajari riwayat kesehatan pasien. Ketika Anda bersiap-siap untuk membaca hasil tes
rontgen, pastikan bahwa Anda memiliki semua informasi terkait mengenai pasien
tersebut, termasuk umur dan jenis kelaminnya, serta riwayat medisnya. Ingatlah
untuk membandingkannya dengan hasil tes rontgen yang sebelumnya, jika ada.
waktu, padahal Anda justru ingin menghemat waktu.
3. Bacalah tanggal tes itu. Buatlah catatan khusus saat membandingkan hasil tes itu
dengan hasil tes sebelumnya (selalu perhatikan juga hasil tes sebelumnya, jika ada).
Tanggal tes yang dicatat memiliki konteks penting untuk menerjemahkan hasil apa
pun.
B. Menilai kualitas film
1. Periksalah apakah film tersebut diambil pada kondisi pernapasan penuh. Hasil
rontgen dada biasanya diambil pada saat pasien berada pada kondisipernapasan
penuh dalam siklus pernapasan, yaitu kondisi yang dalam istilah awam disebut
menarik napas. Ini memiliki efek penting pada kualitas film rontgen. Ketika cahaya
rontgen terpancar melalui bagian depan dada terhadap film tersebut, bagian rusuk
yang terdekat dengan filmnya adalah rusuk bagian belakang, sehingga akan menjadi
bagian yang paling terlihat. Anda seharusnya dapat melihat seluruh sepuluh rusuk
belakang jika film diambil saat pernapasan penuh.
 Jika Anda melihat 6 rusuk bagian depan juga, ini berarti film memiliki standar
kualitas yang sangat baik

2. Periksa pencahayaannya.
a. Film yang kelebihan pencahayaan akan terlihat lebih gelap dari normal, dan
menyebabkan tampilan masing-masing areanya tidak jelas. Perhatikan bagian
tubuh antar tulang belakang pada hasil rontgen yang dilakukan dengan benar.
 Hasil rontgen dada yang kurang cahaya tidak dapat membedakan tulang
belakang tubuh dengan ruang antar tulang belakang.
 Film dapat dipastikan kurang pencahayaan jika Anda tidak dapat melihat
tulang belakang pada bagian toraks.
 Film yang kelebihan pencahayaan memperlihatkan ruang antar tulang
belakang dengan sangat tajam

b. Temukan tanda-tanda rotasi. Jika pasien tidak sepenuhnya bersandar pada alat
rontgen, mungkin Anda akan melihat rotasi atau putaran pada hasilnya. Jika hal
ini terjadi, bagian mediastinum dapat terlihat tidak normal. Anda dapat mencari
rotasi dengan melihat bagian kepala clavicular dan batang tulang belakang pada
bagian toraks. Periksalah apakah toraks tulang belakang lurus pada posisi di
tengah tulang sternum dan di antara clavicular.Periksalah apakah clavicular
sama tinggi posisinya.
C. Mengindentifikasi dan Mengatur Posisi Hasil Rontgen

1. Carilah petunjuk posisi


Hal berikutnya yang dilakukan adalah mengindentifikasi posisi rontgen dan
mengaturnya dengan benar. Periksalah petunjuk-petunjuk posisi, yang tercetak pada
lembaran film. “L” berarti posisi kiri (left), dan “R” berarti posisi kanan (right).
“PA” berarti posisi bagian depan (posteroanterior), dan “AP” berartiposisi bagian
belakang (anteroposterior), dst. Perhatikan posisi tubuh pasien: supine (telentang),
upright (berdiri tegak), lateral (menyamping), decubitus (bersandar). Periksalah dan
ingatlah setiap posisi pada rontgen dada ini.
2. Atur posisi rontgen bagian belakang (PA) dan bagian lateral.
Rontgen dada biasanya terdiri dari film bagian PA dan bagian lateral, yang akan
dibaca bersamaan. Sejajarkan film-film tersebut agar dapat dilihat, seolah- olah
pasien tersebut sedang berada di hadapan Anda, sehingga sisi kanan pasien
menghadap sisi kiri Anda. Jika ada film yang lama, Anda harus menggantungnya
berdekatan. Istilah “posteroanterior” (PA) mengacu pada arah sinar rontgen yang
memancar melintasi tubuh pasien dari posterior ke anterior, yaitu dari belakang ke
depan
Istilah “anteroposterior” (AP) mengacu pada arah sinar rontgen yang melintasi
tubuh pasien dari anterior ke posterior, yaitu dari depan ke belakang. Posisi
radiografi lateral dada diambil dari bagian sisi kiri dada pasien terhadap alat tes
rontgen. Posisi oblique (miring) menggunakan sudut pandang yang diputar di antara
tampilan depan biasa dan posisi lateral. Posisi ini berguna untuk menemukan lokasi
luka dan menghilangkan struktur yang tumpang- tindih

3. Pahami posisi rontgen AP. Terkadang rontgen AP memang dilakukan, tetapi


biasanya hanya pada pasien yang sakit parah sehingga tidak sanggup berdiri tegak
untuk melakukan rontgen PA. Radiografi AP pada umumnya diambil dengan jarak
dekat dari film, dibandingkan dengan radiografi PA. Jarak mengurangi efek
perbedaan pencahayaan dan perbesaran struktur pada bagian- bagian yang lebih
berdekatan dengan alat rontgen, seperti jantung.
Karena radiografi AP diambil pada jarak dekat, hasilnya terlihat lebih besar dan
kurang tajam dibandingkan pada film PA biasa. Film AP dapat menyebabkan
jantung tampak lebih besar dan mediastium tampak lebih lebar tolok ukur normal
yang gunakan sebagai titik acuan saat mempelajari rinciannya. Memulaidengan
gambaran umum juga mempertajam kepekaan Anda untuk mencari hal-hal yang
khusus. Teknisi tes rontgen sering menggunakan apa yang disebut metode ABCDE:
memeriksa saluran napas/airway (A), tulang/bones (B), siluet jantung/cardiac
silhouette (C), diafragma/diaphragm (D) dan ruang paru-paru dan segala sesuatu
yang lain/lung field and everything else (E) .

a. Periksalah apakah ada bagian lain seperti selang, jalur infus intravena (IV),
petunjuk EKG, alat pacu jantung, klip bedah, atau saluran pengeluaran cairan.

b. Periksalah saluran napas.Periksalah untuk melihat apakah saluran napas pasien


terlihat jelas atau samar-samar. Contohnya, dalam kasus pneumotoraks, saluran
udaramenyimpang jauh dari sisi yang bermasalah. Temukan “carina”, yaitu titik
trakea bercabang ke kanan dan kiri dari batang utama bronkus.
c. Periksalah tulang-tulang.Temukan tanda-tanda fraktur, luka, atau cacat.
Perhatikan ukuran keseluruhan, bentuk, dan kontur setiap tulang, serta
kepadatan atau mineral (tulang osteopenic tampak kurus dan sedikit buram),
ketebalan korteks dibandingkan dengan rongga medula, pola trabekular,
keberadaan pengikisan/erosi, patah tulang, litik atau daerah blastik. Carilah
luka-luka, yang tampak berwarna terang dan sklerotik.
Sebuah tulang jelas mengalami luka jika menunjukkan kepadatan yang
kurang (terlihat lebih gelap), yang mungkin terlihat menekan keluar
dibandingkan dengan tulang lain di sekitarnya. Sebuah tulang jelas mengakami
luka sklerotik jika menunjukkan kepadatan tinggi daripada normal (terlihat lebih
putih). Pada sendi-sendi, amati ruang sendi yang menyempit, melebar,
pengapuran pada tulang rawan, udara di ruang sendi, serta bantalan lemak yang
abnormal.

d. Amati tanda siluet jantung. Tanda siluet pada dasarnya adalah tidak adanya
siluet atau kehilangan paru-paru/jaringan lunak antarmuka, yang terjadi setelah
terdapat massa atau air yang banyak pada paru-paru. Lihatlah ukuran bayangan
jantung (ruang putih mewakili jantung, yang terletak di antara paru-paru). Siluet
jantung normal menempati kurang dari setengah lebar dada.
Jantung tampak berbentuk botol air pada film PA biasa, dengan pengaliran
cairan perikardial yang tidak wajar. Lakukan USG atau “Computed
Tomography” (CT) bagian dada untuk mengonfirmasi penafsiran Anda.
e. Periksa diafragma. Carilah diafragma yang mendatar atau menonjol. Diafragma
yang datar mungkin merupakan indikasi empisema. Diafragma yang menonjol
mungkin merupakan indikasi area konsolidasi ruang udara (seperti pada kasus
pneumonia), yang membuat paru-paru bagian bawah berbeda dalam hal
kepadatan jaringan dibandingkan dengan bagian perut
Diafragma kanan biasanya lebih tinggi daripada yang kiri, karena hati
berada di bawah diafragma kanan. Amati juga sudut kostofrenikus (yang
seharusnya tajam) jika ada bagian yang tumpul, karena ini mungkin
menunjukkan kelainan pengaliran cairan (yaitu penumpukan cairan di bagian
itu).

f. Periksalah jantung.
Periksa tepi jantung, karena garis tepi siluet seharusnya tajam. Amatilah jika
ada bagian yang terang yang mengaburkan garis tepi jantung, di lobus tengah
kanan dan kiri pada lingula pneumonia, misalnya. Amati juga jaringan lunak
eksternal untuk setiap kelainan. Jantung dengan diameter yang lebih besar dari
setengah diameter toraks adalah jantung yang membesar/membengkak.
Perhatikan pembengkakan getah bening, carilah emfisema subkutan (kerapatan
udara di bawah kulit), dan luka-luka lainnya.
g. Amati hila. Carilah jika ada pembekakan dan massa pada hila dari kedua sisi
paruparu. Dari pandangan depan, kebanyakan bayangan hila mewakili arteri
paru-paru bagian kiri dan kanan. Arteri paru-paru selalu lebih menonjol
daripada bagian kanan, sehingga hilum bagian kiri tampak lebih tinggi. Carilah
pengapuran kelenjar getah bening pada hilus, yang mungkin disebabkan oleh
infeksi tuberkulosis yang telah terjadi sejak sebelumnya
G. DAFTAR PUSTAKA
Bandu,Karmila. 2014. Efek Radiasi Sinar X Pada Anak-Anak . Skripsi Universitas
Hasanuddin Makassar.
Ambarwati, Eny Retna dan Tri Sunarsih. 2009.KDPK Kebidanan Teori dan
Aplikasi.Yogyakarta: Nuha Medika.
FORMAT PENILAIAN PEMBACAAN RONTGEN SEDERHANA
NO Aspek yang dinilai Bob Y Tida
ot a k
A. Fase Orientasi
1. Memberikan salam atau menyapa pasien
2. Memperkenalkan diri
3. Menjelaskan maksud dan tujuan
4. Menjelaskan prosedur kerja
5. Menanyakan kesiapan pasien dan kontrak waktu
B. Fase kerja
1. Mencuci tangan
2. Menyiapkan alat
3. Pasang handscoon
4. Jaga privasi pasien
5. Prosedur :
 Melakukan pemeriksaan awal :

 periksalah nama pasien.

 Pelajari riwayat kesehatan pasien

 Bacalah tanggal tes itu.

 Menilai kualitas film

 Periksalah apakah film tersebut diambil pada kondisi


pernapasan penuh.
 Periksa pencahayaannya.

 Temukan tanda-tanda rotasi

 Mengindentifikasi dan Mengatur Posisi Hasil


Rontgen :
 Carilah petunjuk posisi.
Hal berikutnya yang dilakukan adalah
mengindentifikasi posisi rontgen dan mengaturnya
dengan benar. Periksalah petunjuk-petunjuk posisi,
yang tercetak pada lembaran film. “L” berarti posisi
kiri (left), dan “R” berarti posisi kanan (right). “PA”
berarti posisi bagian depan (posteroanterior), dan “AP”
berarti posisi bagian belakang (anteroposterior), dst
 Atur posisi rontgen bagian belakang (PA) dan bagian
lateral.
Rontgen dada biasanya terdiri dari film bagian PA dan
bagian lateral, yang akan dibaca bersamaan. Sejajarkan
film-film tersebut agar dapat dilihat, seolah-olah pasien
tersebut sedang berada di hadapan Anda, sehingga sisi
kanan pasien menghadap sisi kiri Anda.
 Pahami posisi rontgen AP.

Terkadang rontgen AP memang dilakukan, tetapi


biasanya hanya pada pasien yang sakit parah sehingga
tidak sanggup berdiri tegak untuk melakukan rontgen
PA. Radiografi AP pada umumnya diambil dengan
jarak dekat dari film, dibandingkan dengan radiografi
PA
 Tentukan apakah film diambil dari posisi lateral
decubitus (berbaring menyamping). Sebuah rontgen
dari posisi ini diambil dengan tubuh pasien berbaring
menyamping. Posisi ini membantu pemeriksaan cairan
tertentu yang dicurigai bermasalah (cairan pada rongga
pleura), dan menunjukkan apakah pengaliran cairan itu
terjadi dengan lambat atau cepat.
 Sejajarkan hasil rontgen kiri dan kanan.

Anda butuh memastikan agar melihat hasil tes dengan


benar. Lakukan ini dengan mudah dan cepat dengan
mencari gelembung lambung.
 Menganalisis gambar

a) Mulailah dengan gambaran umum.

b) Periksalah apakah ada bagian lain seperti selang, jalur


Mulailah dengan gambaran umum.
Periksalah apakah ada bagian lain seperti selang, jalur infus
intravena (IV), petunjuk EKG, alat pacu jantung, klip bedah, atau
saluran pengeluaran cairan.
c) Periksalah saluran napas.

d) Periksalah tulang-tulang : Temukan tanda-tanda


fraktur, luka, atau cacat.
e) Amati tanda siluet jantung

f) Periksa diafragma.

g) Periksalah jantung.

Periksa tepi jantung, karena garis tepi siluet seharusnya


tajam
h) Amati hila. Carilah jika ada pembekakan dan massa
pada hila dari kedua sisi paru-paru
6. Setelah semua prosedur selesai, bereskan alat dan rapikan
pasien kembali
7. Buka handscoon dan cuci tangan
C. Fase Terminasi
1. Evaluasi keadaan pasien
2. Menyampaikan rencana tindak lanjut
3. Berpamitan
4. Lakukan pendokumentasian
D. Penampilan
1. Melakukan komunikasi terapeutik selama tindakan yang

dilakukan
2. Ketelitian selama tindakan
3. Menjaga keamanan pasien dan keamanan perawat
Total

LAPORAN PENDAHULUAN
Pengukuran JVP ( Jugular Venous Pressure)
A. DEFENISI
Pemantauan hemodinamik adalah suatu pengukuran terhadap sistem kardiovaskuler yang
dapat dilakukan baik invasif atau noninvasive. Pemantauan memberikan informasi
mengenai keadaan pembuluh darah, jumlah darah dalam tubuh dan kemampuan jantung
untuk memompakan darah. Pengkajian secara noninvasif dapat dilakukan melalui
pemeriksaan, salah satunya adalah pemeriksaan vena jugularis (jugular venous pressure).

B. TUJUAN
Adapun tujuan dari pengukuran JVP antara lain:
1. Mengetahui ada tidaknya distensi vena jugular (JVD)
2. Memperkirakan tekanan vena sentral (central venous pressure)
Kompetensi dasar yang harus dimiliki
Bila denyut vena jugularis telah ditemukan, maka tentukan tinggi pulsasi di atas
level atrial dan bentuk gelombang pulsasi vena jugularis. Karena tidak mungkin dapat
melihat atrium kanan, maka dianggap sama dengan tinggi pulsasi vena jugularis di atas
sudut manubriosternal. Tinggi sudut manubriosternal di atas mid-right atrium selalu
konstan, walaupun pasien dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri. JVP yang
normal adalah kurang dari 4 cm di atas sudut manubriosternal.
C. INDIKASI
1. Pasien yang menerima operasi jantung sehingga status sirkulasi sangat penting
diketahui.
2. Pasien dengan distensi unilateral
3. Pasien dengan trauma mayor
4. Pasien yang sering diambil darah venanya untuk sampel tes laboratorium
5. Pasien yang diberi cairan IV sangat cepat;
6. Gagal jantung kanan
7. Cor plumonal
8. Efusi perikardial atau tamponade
9. Obstruksi vena kava superior
10. Peningkatan pembuluh darah
D. KONTRA INDIKASI
1. SVC sindrom
2. Infeksi pada area inseri
3. Koagulopati
4. Insersi kawat pacemaker
5. Disfungsi kontralateral diafragma
6. Pembedahan leher
E. KOMPLIKASI
1. Hematoma local
2. Sepsis
3. Disritmia
4. Tamponade perikard
5. Bakteriemia
6. Emboli Udara
7. Pneumotoraks
F. ALAT DAN BAHAN
1. 2 buah penggaris (skala sentimeter)
2. Senter
G. ANATOMI DAERAH
Vena Jugularis Interna karena terhubung langsung dengan vena cava superior dan atrium
kanan.
Aspek keamanan dan keselamatan yang perlu diperhatikan
1. Posisi pasien, nyaman atau belum
2. Memastikan leher dan thoraks telah terbuka
3. Menghindari hiperekstensi atau fleksi leher
4. Mengkaji tingkat kesadaran pasien
5. Memasang restrain

H. PROSEDUR
1. Atur klien pada posisi supine dan rileks
2. Tempat tidur bagian kepala ditinggikan:
a. 15° - 30° atau
b. 30° - 45° atau
c. 45° - 90° (pada klien yg mengalami peningkatan tekanan atrium kanan yang
cukup bermakna)
3. Gunakan bantal untuk menopang kepala klien dan hindari fleksi leher yang tajam
untuk memastikan bahwa vena tidak teregang atau keriting, pastikan bahwa leher
dan toraks atas sudah terbuka
4. Kepala menengok menjauhi arah pemeriksa
5. Lepaskan pakaian yang sempit/menekan leher atau thorak bagian atas.
6. Gunakan lampu senter dari arah miring untuk melihat bayangan (shadows) vena
jugularis. Identifikasi pulsasi vena jugular interna, jika tidak tampak gunakan vena
jugular eksterna.
7. Tentukan titik tertinggi di mana pulsasi vena jugular interna/eksterna dapat dilihat
(Meniscus).
8. Pakailah sudut sternum (sendi manubrium) sebagai tempat untuk mengukur tinggi
pulsasi vena. Titik ini ± 4 – 5 cm di atas pusat dari atrium kanan.
9. Gunakan penggaris.Penggaris ke-1 diletakan secara tegak (vertikal), dimana salah
satu ujungnya menempel pada sudut sternum.Penggaris ke-2 diletakan mendatar
(horizontal), dimana ujung yang satu tepat di titik tertinggi pulsasi vena (meniscus),
sementara ujung lainnya ditempelkan pada penggaris ke-1. Angulus ludocivi
(patokan jarak dari vena cava superior + 5 cm /selanjutnya disebut R cm). Bila
permukaan titik kolaps vena jugularis berada 5cm di bawah bidang horizontal yang
melalui angulus ludovici, maka tekanan vena jugularis (CVP) sama dengan R-5 cm
H20, sedang bila titik kolapsnya berasa 2 cm diatas berarti CVP R + 2 cm H20 Bila
hasil CVP kiri dan kanan berbeda, maka diambil CVP yang lebih rendah
10. Ukurlah jarak vertikal (tinggi) antara sudut sternum dan titik tertinggi pulsasi vena
(meniscus).
11. Nilai normal: kurang dari 3 atau 4 cm diatas sudut sternum, pada posisi tempat tidur
bagian kepala ditinggikan 30° - 45°
12. Catat hasilnya.
Menulis dan Membaca HasilMisal = 5+2
5: adalah jarak dari atrium ka ke sudut manubrium
+2: hasilnya—meniscus
I. HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN
1. Kebersihan diri perawat saat melakukan pengukuran
2. Privacy klien
3. Kenyamanan, keselatamatan dan keamanan pasien
4. Ketelitian dalam melakukan inpeksi dan pengukuran
5. Keruntutan prosedur dan tindakan
J. DAFTAR PUSTAKA
Potter&Perry.2005.Fundamental Keperawatan :Konsep, Proses, dan Praktik Vol.1.(Ed.ke
4).Jakarta:EGC.
Rokhaeni H.2001. Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler, Jakarta: Bidang Diklat RS
Jantung Harapan Kita Altman: NursingSkills.

TOOL PENILAIAN JVP


NO Aspek yang dinilai Bobot Ya Tidak
A. Fase Orientasi
1. Memberikan salam atau menyapa pasien
2. Memperkenalkan diri
3. Menjelaskan maksud dan tujuan
4. Menjelaskan prosedur kerja
5. Menanyakan kesiapan pasien dan kontrak waktu
B. Fase kerja
1. Mencuci tangan
2. Menyiapkan alat
3. Pasang handscoon
4. Jaga privasi pasien
5. Atur posisi pasien (supinasi)
6 a. Tempat tidur dibagian kepala ditinggikan
b. Gunakan bantal untuk menopang kepala klien
c. Kepala menengok menjauhi arah pemeriksa
d. Lepaskan pakaian yang sempit/menekan leher atau
thorak bagian atas.
e. Gunakan lampu senter dari arah miring untuk melihat
bayangan (shadows) vena jugularis. Identifikasi
pulsasi vena jugular interna, jika tidak tampak
gunakan vena jugular eksterna.
f. Tentukan titik tertinggi di mana pulsasi vena jugular
interna/eksterna dapat dilihat (Meniscus).
g. Pakailah sudut sternum (sendi manubrium) sebagai
tempat untuk mengukur tinggi pulsasi vena. Titik ini ±
4 – 5 cm di atas pusat dari atrium kanan.
h. Gunakan penggaris.
i. Penggaris ke-1 diletakan secara tegak (vertikal),
dimana salah satu ujungnya menempel pada sudut
sternum.
j. Penggaris ke-2 diletakan mendatar (horizontal),
dimana ujung yang satu tepat di titik tertinggi pulsasi
vena (meniscus), sementara ujung lainnya
ditempelkan pada penggaris ke-1. Angulus ludocivi
(patokan jarak dari vena cava superior + 5 cm
/selanjutnya disebut R cm). Bila permukaan titik
kolaps vena jugularis berada 5cm di bawah bidang
horizontal yang melalui angulus ludovici, maka
tekanan vena jugularis (CVP) sama dengan R-5 cm
H20, sedang bila titik kolapsnya berasa 2 cm diatas
berarti CVP R + 2 cm H20 Bila hasil CVP kiri dan
kanan berbeda, maka diambil CVP yang lebih rendah
k. Ukurlah jarak vertikal (tinggi) antara sudut sternum
dan titik tertinggi pulsasi vena (meniscus)
l. Nilai normal: kurang dari 3 atau 4 cm diatas sudut
sternum, pada posisi tempat tidur bagian kepala
ditinggikan 30° - 45°

7. Setelah semua prosedur selesai, bereskan alat dan rapikan


pasien kembali
8. Buka handscoon dan cuci tangan
C. Fase Terminasi
1. Evaluasi keadaan pasien

2. Menyampaikan rencana tindak lanjut

3. Berpamitan

4. Lakukan pendokumentasian

D. Penampilan

1. Melakukan komunikasi terapeutik selama tindakan yang


dilakukan

2. Ketelitian selama tindakan

3. Menjaga keamanan pasien dan keamanan perawat


Total

LAPORAN PENDAHULUAN
PEMASANGAN CENTRAL VENOUS PRESSURE (CVP)
A. Pengertian
CVP adalah memasukkan kateter poli ethylene dari vena tepi sehingga ujungnya
berada di dalam atrium kanan atau di muara vena cava. CVP disebut juga kateterisasi
vena sentralis (KVS).
Tekanan vena sentral secara langsung merefleksikan tekanan pada atrium kanan.
Secara tidak langsung menggambarkan beban awal jantung kanan atau tekanan ventrikel
kanan pada akhir diastole. Menurut Gardner dan Woods nilai normal tekanan vena
sentral adalah 3-8 cmH2O atau 2-6 mmHg. Sementara menurut Sutanto (2004) nilai
normal CVP adalah 4 – 10 mmHg.
B. Tujuan
1. Mengetahui tekanan vena sentralis (TVS)
2. Untuk memberikan total parenteral nutrition (TPN) ; makanan kalori tinggi secara
intravena
3. Untuk mengambil darah vena
4. Untuk memberikan obat – obatan secara intra vena
5. Memberikan cairan dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat
6. Dilakukan pada penderita gawat yang membutuhkan erawatan yang cukup lama
CVP bukan merupakan suatu parameter klinis yang berdiri sendiri, harus dinilai
dengan parameter yang lainnya seperti :
a. Denyut nadi
b. Tekanan darah
c. Volume darah
d. CVP mencerminkan jumlah volume darah yang beredar dalam tubuh penderita, yang
ditentukan oleh kekuatan kontraksi otot jantung. Misal : syock hipovolemik –> CVP
rendah.
C. Indikasi Pemasangan CVP
1. Pasien dengan trauma berat disertai pendarahan yang banyak dapat menimbulkan
syok
2. Pasien dengan tindakan pembedahan yang besar seperti open heart trepanasi
3. Pasien dengan kelainan ginjal
4. Pasien dengan gagal jantung
5. Pasien terpasang nutrisi parenteral (dextosa 20% aminofusin)
6. Pasien yang di berikan tranfusi darah dalam jumlah yang besar
D. Persiapan untuk pemasangan
1. Persiapan pasien
a. Memberikan penjelasan pd klien dan klg ttg:
1) tujuan pemasangan,
2) daerah pemasangan, &
3) prosedur yang akan dikerjakan
2. Persiapan alat
a. Kateter CVP
b. Set CVP
c. Spuit 2,5 cc
d. Antiseptik
e. Obat anaestesi local
f. Sarung tangan steril
g. Bengkok
h. Cairan NaCl 0,9% (25 ml)
i. Plester
3. Cara Kerja
a. Daerah yang Dipasang :

1) Vena femoralis
2) Vena cephalika
3) Vena basalika
4) Vena subclavia
5) Vena jugularis eksterna
6) Vena jugularis interna
b. Cara Pemasangan :
1) Penderita tidur terlentang
2) Bahu kiri diberi bantal
3) Pakai sarung tangan
4) Desinfeksi daearah CVP
5) Pasang doek lobang
6) Tentukan tempat tusukan
7) Beri anestesi local
8) Ukur berapa jauh kateter dimasukkan
9) Ujung kateter sambungkan dengan spuit 20 cc yang diisi NaCl 0,9% 2-5 cc
10) Jarum ditusukkan kira – kira 1 jari kedepan medial, ke arah telinga sisi yang
berlawanan
11) Darah dihisap dengan spuit tadi
12) Kateter terus dimasukkan ke dalam jarum, terus didorong sampai dengan
vena cava superior atau atrium kanan
13) Mandrin dicabut kemudian disambung infus -> manometer dengan three
way stopcock
14) Kateter fiksasi pada kulit
15) Beri betadhin 10%
16) Tutup kasa steril dan diplester
E. Keuntungan Pemasangan di Daerah Vena Sublavia
1. Mudah dilaksanakan (diameter 1,5 cm – 2,5 cm)
2. Fiksasi mudah
3. Menyengkan penderita
4. Tidak mengganggu perawatan rutin dapat dipertahankan sampai 1 minggu
F. Cara Menilai CVP dan Pemasangan Manometer
1. Cara Menentukan Titik Nol

CVP Manometer
2. Penderita tidur terlentang mendatar
3. Dengan menggunakan slang air tang berisi air ± setengahnya -> membentuk
lingkaran dengan batas air yang terpisah
4. Titik nol penderita dihubungkan dengan batas air pada sisi slang yang satu. Sisi yang
lain ditempatkan pada manometer.
5. Titik nol manometer dapat ditentukan
6. Titik nol manometer adalah titik yang sama tingginya dengan titik aliran V.cava
superior, atrium kanan dan V.cava inferior bertemu menjadi satu.
Liat gambar di bawah ini

Posisi pasien saat pengukuran CVP


G. Penilaian CVP
1. Kateter, infus, manometer dihubungkan dengan stopcock -> amati infus lancar atau
tidak
2. Penderita terlentang
3. Cairan infus kita naikkan ke dalam manometer sampai dengan angka tertinggi ->
jaga jangan sampai cairan keluar
4. Cairan infus kita tutup, dengan memutar stopcock hubungkan manometer akan
masuk ke tubuh penderita
5. Permukaan cairan di manometer akan turun dan terjadi undulasi sesuai irama nafas,
turun (inspirasi), naik (ekspirasi)
6. Undulasi berhenti -> disitu batas terahir -> nilai CVP
7. Nilai pada angka 7 -> nilai CVP 7 cmH2O
8. Infus dijalankan lagi setelah diketahui nilai CVP
H. Nilai CVP Dan Arti Klinisnya
1. Nilai rendah : < 4 cmH2O
a. Beri darah atau cairan dengan tetesan cepat.
b. Bila CVP normal, tanda shock hilang -> shock hipovolemik
c. Bila CVP normal, tanda – tanda shock bertambah -> shock septic
2. Nilai normal : 4 – 10 cmH2O
a. Bila darah atau cairan dengan hati – hati dan dipantau pengaruhnya dalam
sirkulasi.
b. Bila CVP normal, tanda – tanda shock negatif -> shock hipovolemik
c. Bila CVP bertambah naik, tanda shock positif -> septik shock, cardiogenik
shock
3. Nilai sedang : 10 – 15 cmH2O
4. Nilai tinggi : > 15 cmH2O
a. Menunjukkan adanya gangguan kerja jantung (insufisiensi kardiak)
b. Terapi : obat kardiotonika (dopamin).
I. Faktor -faktor yang Mempengaruhi CVP
1. Volume darah :
a. Volume darah total
b. Volume darah yang terdapat di dalam vena
c. Kecepatan pemberian tranfusi/ cairan
2. Kegagalan jantung dan insufisiensi jantung
3. Konstriksi pembuluh darah vena yang disebabkan oleh faktor neurologi
4. Penggunaan obat – obatan vasopressor
5. Peningkatan tekanan intraperitoneal dan tekanan intrathoracal, misal :
a. Post operasi ileus
b. Hematothoraks
c. Pneumothoraks
d. Penggunaan ventilator mekanik
e. Emphysema mediastinum
6. Emboli paru – paru
7. Hipertensi arteri pulmonal
8. Vena cava superior sindrom
9. Penyakit paru – paru obstruksi menahun
10. Pericarditis constrictive
11. Artevac ; tersumbatnya kateter, ujung kateter berada di dalam v.jugularis inferior
J. Hal Yang Perlu Di Perhatikan
1. Mengadakan persiapan alat – alat
2. Pemasangan manometer pada standard infuse
3. Menentukan titik nol
4. Memasang cairan infuse
5. Fiksasi
6. Fisioterapi dan mobilisasi
K. DAFTAR PUSTAKA
Dongbetty, Lina. 2006. Central Venous Acces Devices. Jakarta: Erlangga
Nurachmah, Elly. 2000. Buku Saku Prosedur keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:EGC

FORMAT PENILAIAN CVP


N Aspek yang dinilai Bobot Ya Tidak
O
E. Fase Orientasi
6. Memberikan salam atau menyapa pasien
7. Memperkenalkan diri
8. Menjelaskan maksud dan tujuan
9. Menjelaskan prosedur kerja
10. Menanyakan kesiapan pasien dan kontrak waktu
F. Fase kerja
1. Mencuci tangan
2. Menyiapkan alat
a. Kateter CVP
b. Set CVP
c. Spuit 2,5 cc
d. Antiseptik
e. Obat anaestesi local
f. Sarung tangan steril
g. Bengkok
h. Cairan NaCl 0,9% (25 ml)
i. Plester
3. Jaga privasi pasien
4. Atur posisi pasien
5.
m. Pasien Tidur Telentang
n. Bahu kiri diberi bantal
o. Pakai sarung tangan
p. Desinfeksi daearah CVP
q. Pasang doek lobang
r. Tentukan tempat tusukan
s. Beri anestesi local
t. Ukur berapa jauh kateter dimasukkan
u. Ujung kateter sambungkan dengan spuit 20 cc yang diisi
NaCl 0,9% 2-5 cc
v. Jarum ditusukkan kira – kira 1 jari kedepan medial, ke
arah telinga sisi yang berlawanan
w. Darah dihisap dengan spuit tadi
x. Kateter terus dimasukkan ke dalam jarum, terus didorong
sampai dengan vena cava superior atau atrium kanan
y. Mandrin dicabut kemudian disambung infus ->
manometer dengan three way stopcock
z. Kateter fiksasi pada kulit
aa. Beri betadhin 10%
bb. Tutup kasa steril dan diplester

7. Setelah semua prosedur selesai, bereskan alat dan rapikan


pasien kembali
8. Buka handscoon dan cuci tangan
G. Fase Terminasi
2. Evaluasi keadaan pasien
2. Menyampaikan rencana tindak lanjut
3. Berpamitan
4. Lakukan pendokumentasian
H. Penampilan
1. Melakukan komunikasi terapeutik selama tindakan yang
dilakukan
2. Ketelitian selama tindakan
3. Menjaga keamanan pasien dan keamanan perawat
Total

LAPORAN PENDAHULUAN
BEDSIDE MONITOR
A. Pengertian dan Fungsi Bedside Monitor
Bedside Monitor adalah suatu alat yang digunakan untuk memonitor vital sign pasien,
berupa detak jantung, nadi, tekanan darah, temperatur bentuk pulsa jantung secara terus
menerus.
B. Parameter Bedside Monitor
Parameter adalah bagian-bagian fisiologis dari pasien yang diperiksa melalui pasien
monitor. Jika kita ketahui ada sebuah pasien monitor dengan 5 parameter, maka yang
dimaksud dari lima parameter tersebut adalah banyaknya jenis pemeriksaan yang bisa
dilakukan oleh pasien monitor tersebut.
Didalam istilah pasien monitor kita mengetahui beberapa parameter yang diperiksa,
parameter itu antara lain adalah :

1. EKG adalah pemeriksaan aktivitas kelistrikan jantung, dalam pemeriksaan ECG ini
juga termasuk pemeriksaan “Heart Rate” atau detak jantung pasien dalam satu
menit.
2. Respirasi adalah pemeriksaan irama nafas pasien dalam satu menit
3. Saturasi darah / SpO2, adalah kadar oksigen yang ada dalam darah.
4. Tensi / NIBP (Non Invasive Blood Pressure) / Pemeriksaan tekanan darah.
5. Temperature, suhu tubuh pasien yang diperiksa.
Jenis Bedside Monitor
a. Pasien Monitor Vital Sign
Monitor ini bersifat pemeriksaan stándar, yaitu pemeriksaan ECG, Respirasi,
Tekanan darah atau NIBP, dan Kadar oksigen dalam darah / saturasi darah/ SpO2.
b. Pasien Monitor 5 Parameter
Pasien monitor ini bisa melakukan pemeriksaan seperti ECG, Respirasi, Tekanan
darah atau NIBP, kadar oksigen dalam darah / saturasi darah / SpO2, dan
Temperatur.
c. Pasien Monitor 7 Parameter
Pasien monitor ini biasanya dipakai diruangan operasi, karena ada satu
parameter tambahan yang biasa dipakai pada saat operasi, yaitu “ECG, Respirasi,
Tekanan darah atau NIBP (Non Invasive Blood Pressure) , kadar oksigen dalam
darah/ Saturasi darah / SpO2, temperatur, dan sebagai tambahan adalah IBP
(Invasive Blood Pressure) pengukuran tekanan darah melalui pembuluh darah
langsung, EtCo2 (End Tidal Co2) yaitu pengukuran kadar karbondioksida dari
sistem pernafasan pasien.
Nama lain dari Bedside Monitor adalah:
 Cardiorespiratory Monitors
 Apnea Alarms dan repiration monitor
 Patient Monitor
C. KOMPONEN ALAT
1. Preamplifier
2. Modul elektrode dan pasien kabel
3. Parameter sesuai kebutuhan
4. Monitor
Blok Diagram Bedside Monitor DAN Prinsip Kerja

Prinsip Kerja
Power supply board fungsinya untuk:
a. Penyearah dan filter input tegangan AC
b. Penstabil dan menghasilkan tegangan DC untuk semua rangkaian
c. Baterai charger
d. Menghasilkan perintah power fail ke main board
e. Memilih ON/OFF DC power supply dari front panel
f. Mematikan DC power supply, jika terjadi kerusakan pada power

LCD DISPLAY:
Menghasilkan gambar bagi tampilan sinyal-sinyal hasil pengukuran yang telah diolah
dan didapatkan dari main prosessor board.
BACKLIGTH:
Tampilan bagi belakang layar dua tegangan anoda (200 v dan 6 KV), heater current
kontrol grid voltage, arus katoda.
MAIN PROSESSOR BOARD
Fungsinya untuk, afirmware programed microcomputer, system timing, interface, pada
rangkaian lainnya seperti display monitor, spiker front-end dan keyboard, alarm, recorder
serta interface pada keluaran dan mini recorder.
KEYPAD
Fungsinya keypad board adalah untuk mengetik dan mengisi data-data pasien yang
sedang diperiksa dan memberikan perintah-perintah untuk melakukan program yang
akan dilakukan .
MAIN CONECTOR BOARD
Terdiri dari 3 fungsi blok: ECG/Defib syn, Unity, Auxilary port, Expansion and docking
port.
Auxilary parameter board dibagi dalam 3 daerah operasi utama:
Input channel (2 pressure dan 2 temperatur) Control dan A/D konversion dari front panel
dan semua input channel (pressure, temperatur, ECG, peripheral pulse dan respiration)
D. HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN
1. Kebersihan probe
2. Grounding
3. Aksesoris
4. Lakukan pemeliharaan sesuai jadwal
E. CARA KERJA
1. Lepaskan penutup debu
2. Siapkan aksesoris dan pasang sesuai kebutuhan
3. Hubungkan alat ke terminal pembumian
4. Hubungkan alat ke catu daya
5. Hidupkan alat dengan menekan/mamutas tombol ON/OFF
6. Set rentang nilai (range) untuk temperatur, pulse dan alarm
7. Perhatikan protap pelayanan
8. Beritahukan kepada pasien mengenai tindakan yang akan dilakukan
9. Hubungkan patient cable, stap dan chest electrode ke pasien dan pastikan sudah
terhubung dengan baik
10. Lakukan monitoring
11. Lakukan pemantauan display terhadap heart rate, ECG wave form, pulse,
temperatur, saturasi oksigen (SpO2), NiBP, tekanan hemodinamik
12. Setelah pengoperasian selesai matikan alat dengan menekan tombol ON/OFF
13. Lepaskan hubungan alat dari catu daya
14. Lepaskan hubungan alat dari terminal pembumian
15. Lepaskan patient cable, strap, chest electrode dan bersihkan
16. Pastikan bahwa Bedside Monitor dalam kondisi baik dan siap difungsikan lagi
Pasang penutup debu
17. Simpan alat dan aksesoris ke tempat semula
F. Pemantauan Fisik Bedside Monitor
Secara umum pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk peralatan bedside monitor
adalah sebagai berikut:
1. chassis / selungkup
2. kotak kontak
3. terminal pembumian
4. kabel daya
5. saklar ON/OFF
6. sikring
7. patient cables
8. fitting / connector
9. electrode & streps
10. control / pengatur
11. battery / charger
12. indikator / display
13. user calibration
14. alarm
15. audibla signals
16. aksesori
17. kebersihan alat
G. DAFTAR PUSTAKA
Ashton,J.(2006).Health Manager’s Guide : monitoring the Quality of hospital
Care.USA.U.S Agency forInternational Development ( USAID ) http://akatsuki-
ners.blogspot.com/2011/11/prosedur-pengoperasian-bedside-monitor.html
TOOL PENILAIAN BEDSIDE MONITOR
N Aspek yang dinilai Bobot Ya Tidak
O
I. Fase Orientasi
11. Memberikan salam atau menyapa pasien
12. Memperkenalkan diri
13. Menjelaskan maksud dan tujuan
14. Menjelaskan prosedur kerja
15. Menanyakan kesiapan pasien dan kontrak waktu
J. Fase kerja
1. Mencuci tangan
2. Menyiapkan alat
3. Pasang handscoon
4. Jaga privasi pasien
5. a) Lepaskan penutup debu 
b) Siapkan aksesoris dan pasang sesuai kebutuhan 
c) Hubungkan alat ke terminal pembumian 
d) Hubungkan alat ke catu daya 
e) Hidupkan alat dengan menekan/mamutas tombol
ON/OFF 
f) Set rentang nilai (range) untuk temperatur, pulse
dan alarm 
g) Perhatikan protap pelayanan 
h) Beritahukan kepada pasien mengenai tindakan
yang akan dilakukan 
i) Hubungkan patient cable, stap dan chest electrode
ke pasien dan pastikan sudah terhubung dengan
baik
j) Lakukan monitoring 
k) Lakukan pemantauan display terhadap heart rate,
ECG wave form, pulse, temperatur, saturasi
oksigen (SpO2), NiBP, tekanan hemodinamik
l) Setelah pengoperasian selesai matikan alat dengan
menekan tombol ON/OFF
m) Lepaskan hubungan alat dari catu daya 
n) Lepaskan hubungan alat dari terminal
pembumian 
o) Lepaskan patient cable, strap, chest electrode dan
bersihkan p. Pastikan bahwa Bedside Monitor
dalam kondisi baik dan siap difungsikan lagi 
p) Pasang penutup debu 
q) Simpan alat dan aksesoris ke tempat semula  

16. Setelah semua prosedur selesai, bereskan alat dan


rapikan pasien kembali
7. Buka handscoon dan cuci tangan
K. Fase Terminasi
3. Evaluasi keadaan pasien
2. Menyampaikan rencana tindak lanjut
3. Berpamitan
4. Lakukan pendokumentasian
L. Penampilan
1. Melakukan komunikasi terapeutik selama tindakan
yang dilakukan
2. Ketelitian selama tindakan
3. Menjaga keamanan pasien dan keamanan perawat
Total

LAPORAN PENDAHULUAN
DC SYOK
A. Konsep Teori
Defibrilasi adalah terapi dengan cara memberikan aliran listrik yang kuat dengan
metode asinkron ke jantung pasien melalui elektroda yang ditempatkan pada permukaan
dada pasien. Tujuannya adalah untuk mengkoordinasikan aktivitas listrik jantung dan
mekanisme pemompaan, ditunjukkan dengan membaiknya cardiac output, perfusi
jaringan dan oksigenasi. AHA (2015) merekomendasikan agar defibrilasi diberikan
secepat mungkin saat pasien mengalami gambaran VT atau VF, yaitu 3 menit atau
kurang untuk setting rumah sakit dan dalam waktu 5 menit atau kurang dalam setting
luar rumah sakit. (Vol 9. No. 1, Maret 2017 Medica majapahit )
Defibrilator adalah alat yang dapat memberikan shock listrik dan dapat
menyebabkan depolarisasi sementara dari jantung yang denyutnya tidak teratur, sehingga
memungkinkan timbulnya kembali aktifitas listrik jantung yang terkoordinir. Enerji
dialirkan melalui suatu elektrode yang disebut paddle. Defibrilator diklasifikasikan
menurut 2 tipe bentuk gelombangnya yaitu monophasic dan biphasic.
Terdapat berbagai tipe defibrilator, anatara lain :
1. Defibrilator standar dengan monitor baik monofasik maupun bifasik.
2. Automated External Defibrillators (AED)
3. Semi automated AED
4. Defibrilator transvena atau implant
Kardioversi adalah renjatan elektris berkala pada jantung untuk mengatasi aritmia
tertentu dimana arus listrik yang diberikan bervoltase rendah dan diatur untuk tidak
menimpa gelombang T (Nurahman, 2014). Dengan tujuan Menghentikan aritmia yang
mengancam menjadi irama sinus yang normal. Mekanisme pemberian dosis kardioversi
sebagai terapi listrik pada impuls jantung.
1. Fluter atrial dimulai dengan dosis 20 Joule bila gagal diulang memakai 50 atau 100
Joule
2. Fibrilasi atrial diawali dengan dosis 100 Joule bila gagal bisa 200-300 Joule.
3. Takikirdia supraventrikular 10 Juole biasanya efektif. 100 Joule hampir selalu
efektif.
4. Fibrilasi ventrikular dosis awal 200 joule bila gagal segera pakai 360 Joule.

B. Tujuan
1. Untuk menentukan adanya fibrilasi ventrikel dengan cara memberikan arus listrik
melewati dinding dada pasien. Fibrilasi yang dilakukan dengan segera telah
memperlihatkan peningkatan yang berarti meyerupai tindakan resusitasi yang
berhasil.
2. Sebagai terapi kelistrikan untuk gangguan impuls jantung secara kontinu.
C. Cara Kerja
Cara kerja defibrilator baik otomatis maupun defibrilator manual sama. Yaitu
memberikan sengatan (kejutan) energi listrik dalam ukuran tertentu yang biasanya
disesuaikan melalui proses analisa aritma jantung pada layar ECG. Oleh sebab itu,
defibrilator manual seperti Mindray D3 dilengkapi dengan monitor untuk melihat kondisi
aritma jantung pasien.
D. Indikasi
1. Fibrilasi ventrikel
2. Takikardi ventrikel pada pasien tidak sadar atau nadi sangat lemah
3. Bila ada kemungkinan yang memperlihatkan asistole dan mengarh pada fibrilasi
ventrikel
E. Kontra Indikasi
1. Kemungkinan terbakar karena lempeng atau bantalan defibrilator
2. Kerusakan miokardium
F. Prosedur
1. Alat dan bahan
a. Defrilator dan kelengkapannya
b. Jelly
c. Catatan resusitasi jantung paru (CPR Record)
d. Elektroda
e. Obat-obat sedasi, jika perlu
2. Prosedur kerja
Asyncrone
a. Pasang elektrode EKG dan pindahkan elektrode tersebut sehingga tidak
mengganggu tempat melakukan shock.
b. Angkat pedal defobrilator dan berikan jeli pada ke dua pedal atau gunakan
defibrilator pad.
c. Putar energi sesuai dengan yang dikenhendaki atau sesuai dengan instruksi
dokter
d. Tempatkan pada pada sternum dan apek jantung.
e. Tekan charge pada pedal atau pada mesin.
f. Tunggu sampai muncul angka sesuai dengan joule yang dikehendaki pada layar
monitor atau terdengar bunyi panjang yang menandakan bahwa defibrilator siap
untuk diberikan.
g. Pastikan area sekitar pasien yang akan dilakukan DC shock aman.
h. Tekan kedua ujung pedal bersamaan dengan kedua ibu jari dengan tekanan
(sesuai instruksi dokter) untuk melakukan DC shock.
i. Setelah prosedur selesai, bereskan sesuai dengan pedoman pemiliharaan.
j. Dokumentasikan semua prosedur pada catatan resusitasi jantung paru (CPR
Record).
 Syncrone
a. Pasang elektrode EKG dan pindahkan elektrode tersebut sehingga tidak
mengganggu tempat melakukan shock.
b. Angkat pedal defobrilator dan berikan jeli pada ke dua pedal atau gunakan
defibrilator pad.
c. Putar energi sesuai dengan yang dikenhendaki atau sesuai dengan instruksi
dokter
d. Tempatkan pada pada sternum dan apek jantung.
e. Tunggu sampai muncul angka sesuai dengan joule yang dikehendaki pada layar
monitor atau terdengar bunyi panjang yang menandakan bahwa defibrilator siap
untuk diberikan.
f. Pastikan area sekitar pasien yang akan dilakukan DC shock aman.
g. Mesin akan otomatis mengkardioversi pada komplek QRS yang terbaik.
h. Bereskan alat – alat setelah dipakai
i. Dokumentasi semua prosedur pada cacatan resusitasi jantung paru (CPR
Record).

G. Hal-hal yang harus diperhatikan


1. Bila terjadi asistole, lakukan segera tindakan RJP
2. Tindakan-tindakan DC shock dihentikan bilamana tidak ada respon
3. Setiap perubahan gambaran EKG harus di print
H. Sumber
Defibrillation. Texas : Circulation, 2015, Vol. 112.
Mumpuni, R . Y ., Winarni, I ., haedar A ( 2017 ) Pengalaman perawat puskesmas Kota
Malang Dalam Penatalaksanaan Henti Jantung (Out-Of-Hospital Cardiac
Arrest) . Medica Majapahit 
Resuscitation Guidelines 2015. London : Resuscitation Council (UK), 2015.
Sudoyo, Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi Keempat Jilid III. Jakarta : Pusat Penerbitan FKUI, 2014.

TOOL PENILAIAN DC SYOK


N Aspek yang dinilai Bobot Ya Tidak
O
M. Fase Orientasi
17. Memberikan salam atau menyapa pasien
18. Memperkenalkan diri
19. Menjelaskan maksud dan tujuan
20. Menjelaskan prosedur kerja
21. Menanyakan kesiapan pasien dan kontrak waktu
N. Fase kerja
1. Mencuci tangan
2. Menyiapkan alat
3. Pasang handscoon
4. Jaga privasi pasien
5. Atur posisi pasien (supinasi)
6 a. Pasang elektrode EKG dan pindahkan elektrode
tersebut sehingga tidak mengganggu tempat
melakukan shock.
b. Angkat pedal defobrilator dan berikan jeli pada
ke dua pedal atau gunakan defibrilator pad.
c. Putar energi sesuai dengan yang dikenhendaki
atau sesuai dengan instruksi dokter
d. Tempatkan pada pada sternum dan apek jantung.
e. Tekan charge pada pedal atau pada mesin.
f. Tunggu sampai muncul angka sesuai dengan
joule yang dikehendaki pada layar monitor atau
terdengar bunyi panjang yang menandakan bahwa
defibrilator siap untuk diberikan.
g. Pastikan area sekitar pasien yang akan dilakukan
DC shock aman.
h. Tekan kedua ujung pedal bersamaan dengan
kedua ibu jari dengan tekanan (sesuai instruksi
dokter) untuk melakukan DC shock.
7. Setelah semua prosedur selesai, bereskan alat dan
rapikan pasien kembali
8. Buka handscoon dan cuci tangan
O. Fase Terminasi
4. Evaluasi keadaan pasien
2. Menyampaikan rencana tindak lanjut
3. Berpamitan
4. Lakukan pendokumentasian
P. Penampilan
1. Melakukan komunikasi terapeutik selama tindakan
yang dilakukan
2. Ketelitian selama tindakan
3. Menjaga keamanan pasien dan keamanan perawat
Total

LAPORAN PENDAHULUAN PRATIKUM


PEMANTAUAN TEKANAN INTRACRANIAL
A. Konsep Teori
Pemantauan TIK adalah pemantauan intrakranial yang paling banyak digunakan
karena pencegahan dan kontrol terhadap peningkatan TIK serta mempertahankan tekanan
perfusi serebral (Cerebral Perfusion Pressure/CPP) adalah tujuan dasar penanganan
cedera kepala.
B. Tujuan Peamantauan TIK
Pemantauan TIK digunakan untuk mencegah terjadinya fase kompensasi ke fase
dekompensasi. Secara obyektif, pemantauan TIK adalah untuk mengikuti kecenderungan
TIK tersebut, karena nilai tekanan menentukan tindakan yang perlu dilakukan agar
terhindar dari cedera otak selanjutnya, dimana dapat bersifat ireversibel dan letal.
Dengan pemantauan TIK juga kita dapat mengetahui nilai CPP, yang sangat penting,
dimana menunjukkan tercapai atau tidaknya perfusi otak begitu juga dengan oksigenasi
otak.
C. Cara Kerja TIK
Pemantauan TIK digunakan untuk mencegah terjadinya fase kompensasi ke fase
dekompensasi. Secara obyektif, pemantauan TIK adalah untuk mengikuti kecenderungan
TIK tersebut, karena nilai tekanan menentukan tindakan yang perlu dilakukan agar
terhindar dari cedera otak selanjutnya, dimana dapat bersifat ireversibel dan letal.
Dengan pemantauan TIK juga kita dapat mengetahui nilai CPP, yang sangat penting,
dimana menunjukkan tercapai atau tidaknya perfusi otak begitu juga dengan oksigenasi
otak .
D. Indikasi Pemantauan TIK
Pedoman BTF (Brain Trauma Foundation) 2007 merekomendasi bahwa TIK harus
dipantau pada semua cedera kepala berat (Glasgow Coma Scale/GCS 3-8 setelah
resusitasi) dan hasil CT scan kepala abnormal (menunjukkan hematoma, kontusio,
pembengkakan, herniasi, dan/atau penekanan sisterna basalis) (Level II), TIK juga
sebaiknya dipantau pada pasien cedera kepala berat dengan CT scan kepala normal jika
diikuti dua atau lebih kriteria antara lain usia>40 tahun, sikap motorik, dan tekanan darah
sistolik <90 mmHg (level III).
Indikasi Pemantauan TIK, sebagai berikut :
1. Severe Head Injury (Cedera kepala parah)
2. Intracerebral Hemorrhagr (Pendarahan Intraserebral)
3. Subarachoid Hemorrhage (Perdarahan Subarachnoid)
4. Hydrocephalus
5. Stroke
6. Cerebral Edema
7. Central Nervous System Infection (Infeksi sistem saraf pusat)
8. Hepatic Encephalopathy
E. Kontraindikasi TIK
Tidak ada kontrindikasi absolut untuk memantau TIK, hanya ada beberapa kontraindikasi
relatif yaitu 3:
1. Koagulopati dapat meningkatkan risiko perdarahan pada pemasangab pemantauan
TIK. Bila memungkinkan pemantauan TIK ditunda sampai International Normalized
Ratio (INR), Prothrombin Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT)
terkoreksi ( INR <1,4 dan PT <13,5 detik). Pada kasus emergensi dapat diberikan
Fresh Frozen Plasma (FFP) dan vitamin K.
2. Trombosit < 100.000/mm³
3. Bila pasien menggunakan obat anti platelet, sebaiknya berikan sekantong platelet
dan fungsi platelet dengan menghitung waktu perdarahan.
4. Imunosupresan baik iatrogenik maupun patologis juga merupaka kontraindikasi
relatif pemasangan pemantauan TIK
F. Prosedur Kerja TIK
Pemantauan Tekanan Intrakranial (TIK) Menggunakan Kateter Intraventrikular
1. Persiapan Alat
a. Pencukur
b. Sikat
c. scrubbetadine atau wadah spons dengan larutan povidon iodin
d. Lidokain dengan atau tanpa epinefrin untuk injeksi
e. Spuit 5 sampai 10 cc dan dengan jarum ukuran berbeda untuk injeksi
f. Penggantung IV yang disambung ketempat tidur
g. Modul dan monitor tekanan
h. Stopcoc
i. Tranduser
j. Slang 30,5 cm
k. 1 botol salin normal nonbakteriostatik
l. Spuit 10 ml dengan jarum 18G untuk mengambil SN
m. Luer
n. Lok
o. Salep betadine, tameng mata steril, dan plester 8 cm untuk balutan
p. diatas tempat
q. insersi
r. Kateter intraventrikular dan sistem
s. penampung drainase eksternal
2. Tindakan Keperawatan Awal
a. Isi spuit 10 ml dengan SN non bakteriostatik steril untuk injeksi
b. Sambungkn ujung terbuka tranduser kebagian lubang stopcock
c. Sambungkan slang tekanan 12 inci kesisi lain kelubang stopcock
d. Matikan stopcock yang ke tranduser dan bilas slang tekanan
e. Matikan slang stopcock yang ke slang tekanan dan bilas tranduser,
jalankan stopcock yang ke tranduser dan slang.
f. Lepaskan spuit dan pasang Luer
g. Lok pada ujung terbuka stopcock. Teknik aseptik harus digunakan ketika
memasang dan membilas sistem. Jangan pernah menggunakan tranduser
dengan sistem pembilas.
h. Sambungkan tranduser ke kabel tekanan. Kabel tekanan harus disambulkan
ke modul tekanan pada monitor.
i. Plester tranduser ke gulungan handuk untuk mempertahankan posisi
tranduser pada ketinggian yang tepat. Tinggikan kepala tempat tidur.
j. Leher harus dipertahankan tetap pada posisi netral.
k. Tempatkan barier pelindung dibawah kepala.
l. Dokter akan mencukur rambut sekitar insersi dan mengusapkan betadine
atau spons yang direndam larutan povidon iodin pada larutan tersebut.
Dokter harus menggunak an masker dan sarung tangan steril. Bergantung
pada kondisi pasien dan urgensi situasi, lidokain dapat di injeksikan untuk
menganastesi tempat insersi. Dengan menggunakan bor ulir, suatu bor
lubang dapat dibuat anterior terhadap sutura koronal. Kateter dengan
kawat pemandu dimasukkan, diarahkan ke kantus mata dalam. Kawat
pemandu ditarik, dengan menggunakan teknik aseptik, ujung sistem
penampung drainase eksternal disambungkan ke kateter melalui suatu
lubang atau katup. Sambungkan slang tekanan dari tranduser ke ujung lain
lubang tersebut. Ujung distal kateter dijahit ke kulit kepala.
m. Catat tekanan pembukaan.
n. Pertahankan tranduser pada tingkat foramen Monro.
o. Oleskan salep betadine (sesuai dengan petunjuk dokter) diatas tempat
insersi.
p. Tutup tempat insersi de ngan tameng mata steril atau kasa dan plester
tameng tersebut atau kasa ditempatnya.
q. Dengan menggunakan tali yang tersedia, sokong sistem
penampungdrainase eksternal dari penggantung IV yang dipasang di
tempat tidur. Ruang tetesan biasanya diposisikan 10 sampai 20 cm diatas
tinggi foramen Monro.
r. CSS harus dialirkan secara intermitten atau kontinu sesuai dengan
ketentuan. Dengan drainase intermitten, sistem drainase dihidupkan ketika
TIK mencapai tingkat tertentu. Dokter biasanya memprogramkan drainase
CSS ketika TIK sebesar 20 mmHg atau lebih.
s. Sistem ini harus dimatikan yang ke arah drainase saat pembacaan TIK
telah diperoleh untuk dokumentasi. Tekanan yang dikeluarkan ke arah
sistem penampung dan menjauh dari tranduser dapat menyebabkan TIK
rendah buatan.
3. Penatalaksaan Perawatan Pasien
a. Hindari lipatan pada sistem drainase.
b. Evaluasi dan dokumentasikan kejerbihan, warna, dan jumlah drainase.
c. Beri tahu dokter bila tidak ada drainase CSS saat terjadi hipertensi intrakranial.
d. Pastikan integritas sistem untuk mencegah masuknya udara dan infeksi.
e. “Nol” kan tranduser setiap pergantian tugas, setelah perubahan posisi atau
ketika ada perubahan tiba-tiba pembacaan TIK atau bentuk gelombang.
f. Antibiotik profilaktik dapat diberikan oleh dokter untuk mencegah infeksi otak
g. Pantau bentuk gelombang pada monitor. Bentuk gelombang terdiri
dari sedikitnya 3 puncak. Bila TIK meningkat , P2 evaluasi. Bila P2 lebih tinggi
dari P1 curigai penurunan komplians.
h. Beritahu dokter bila bentuk gelombang abnormal terlihat gelombang
A (gelombang plateau) terlihat pada peningkatan transien tiba-tiba 50-100
mmHg yang berlangsung 5 samoai 20 menit.
i. Gelombang B (bentuk gigi gergaji) terlihat pada peningkatan TIK sampai
50 mmHg dan terjadi setiap 30 detik sampai 2 menit. Gelombang B
menunjukkan TIK tidak stabil
Gambar Untuk Tekanan Intrakranial (TIK) Menggunakan Kateter Intraventrikular

G. Cara Menilai TIK


a. Oftalmoskopi adalah salah satu penilaian yang bermakna pada peningkatan TIK.
Papil edema ditemukan bila peningkatan TIK telah terjadi lebih dari sehari.
b. Neuroimaging 9 Pada pasien yang dicurigai peningkatan TIK sebaiknya dilakukan
pemeriksaan CT scan kepala.
c. Neurosonology TCD telah terbukti merupakan alat klinis noninvasif yang berguna
untuk penilaian aliran darah arteri basal otak.
Beberapa kondisi klinis yang harus dinilai pada peningkatan TIK yaitu :
1. Tingkat kesadaran (GCS)
2. Pemeriksaan pupil
3. Pemeriksaan motorik ocular (perhatian khusus pada nervus III dan VI)
4. Pemeriksaan motorik (perhatian khusus pada hemiparesis
5. Adanya mual atau muntah
6. Keluhan nyeri kepala
7. Vital sign saat itu
H. DAFTAR PUSTAKA
Kayana, I. B., Maliawan, S., & Kawiyana, I. K. (n.d.). TEKNIK PEMANTAUAN
TEKANAN INTRAKRANIAL. Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana .
Kidd, Pamela S. 2010. Pedoman Keperawatan Emergensi, Edisi 2. Jakarta: EGC

TOOL PENILAIAN PEMANTAUAN TEKANAN INTRAKRANIAL


N Aspek yang dinilai Bobot Ya Tidak
O
Q. Fase Orientasi
22. Memberikan salam atau menyapa pasien
23. Memperkenalkan diri
24. njelaskan maksud dan tujuan
25. Menjelaskan prosedur kerja
26. Menanyakan kesiapan pasien dan kontrak waktu
R. Fase kerja
1. Mencuci tangan
2. Menyiapkan alat
a. Pencukur
b. Sikat
c. scrubbetadine atau wadah spons dengan larutan
povidon iodin
d. Lidokain dengan atau tanpa epinefrin untuk injeksi
e. Spuit 5 sampai 10 cc dan dengan jarum ukuran
berbeda untuk injeksi
f. Penggantung IV yang disambung ketempat tidur
g. Modul dan monitor tekanan
h. Stopcoc
i. Tranduser
j. Slang 30,5 cm
k. 1 botol salin normal nonbakteriostatik
l. Spuit 10 ml dengan jarum 18G untuk mengambil
SN
m. Luer
n. Lok
o. Salep betadine, tameng mata steril, dan plester
8 cm untuk balutan
p. diatas tempat
q. insersi
r. Kateter intraventrikular dan sistem
s. penampung drainase eksternal
3. Pasang handscoon
4. Jaga privasi pasien
5. Atur posisi pasien (supinasi)
6 a. Isi spuit 10 ml dengan SN non bakteriostatik steril
untuk injeksi
b. Sambungkn ujung terbuka tranduser kebagian
lubang stopcock
c. Sambungkan slang tekanan 12 inci kesisi lain
kelubang stopcock
d. Matikan stopcock yang ke tranduser dan bilas
slang tekanan
e. Matikan slang stopcock yang ke slang tekanan
dan bilas tranduser, jalankan stopcock yang ke
tranduser dan slang.
f. Lepaskan spuit dan pasang Luer
g. Lok pada ujung terbuka stopcock. Teknik aseptik
harus digunakan ketika memasang dan
membilas sistem. Jangan pernah
menggunakan tranduser dengan sistem pembilas.
h. Sambungkan tranduser ke kabel tekanan. Kabel
tekanan harus disambulkan ke modul tekanan
pada monitor.
i. Plester tranduser ke gulungan handuk untuk
mempertahankan posisi tranduser pada
ketinggian yang tepat. Tinggikan kepala tempat
tidur.
j. Leher harus dipertahankan tetap pada posisi netral.
k. Tempatkan barier pelindung dibawah kepala.
l. Dokter akan mencukur rambut sekitar insersi
dan mengusapkan betadine atau spons yang
direndam larutan povidon iodin pada larutan
tersebut. Dokter harus menggunak an masker
dan sarung tangan steril. Bergantung pada
kondisi pasien dan urgensi situasi, lidokain
dapat di injeksikan untuk menganastesi tempat
insersi. Dengan menggunakan bor ulir, suatu
bor lubang dapat dibuat anterior terhadap
sutura koronal. Kateter dengan kawat pemandu
dimasukkan, diarahkan ke kantus mata dalam.
Kawat pemandu ditarik, dengan menggunakan
teknik aseptik, ujung sistem penampung
drainase eksternal disambungkan ke kateter
melalui suatu lubang atau katup. Sambungkan
slang tekanan dari tranduser ke ujung lain
lubang tersebut. Ujung distal kateter dijahit ke
kulit kepala.
m. Catat tekanan pembukaan.
n. Pertahankan tranduser pada tingkat foramen
Monro.
o. Oleskan salep betadine (sesuai dengan petunjuk
dokter) diatas tempat insersi.
p. Tutup tempat insersi de ngan tameng mata
steril atau kasa dan plester tameng tersebut
atau kasa ditempatnya.
q. Dengan menggunakan tali yang tersedia,
sokong sistem penampungdrainase eksternal
dari penggantung IV yang dipasang di tempat
tidur. Ruang tetesan biasanya diposisikan 10
sampai 20 cm diatas tinggi foramen Monro.
r. CSS harus dialirkan secara intermitten atau
kontinu sesuai dengan ketentuan. Dengan
drainase intermitten, sistem drainase
dihidupkan ketika TIK mencapai tingkat
tertentu. Dokter biasanya memprogramkan
drainase CSS ketika TIK sebesar 20 mmHg atau
lebih.
s. Sistem ini harus dimatikan yang ke arah
drainase saat pembacaan TIK telah diperoleh
untuk dokumentasi. Tekanan yang
dikeluarkan ke arah sistem penampung dan
menjauh dari tranduser dapat menyebabkan TIK
rendah buatan.

7. Setelah semua prosedur selesai, bereskan alat dan


rapikan pasien kembali
8. Buka handscoon dan cuci tangan
S. Fase Terminasi
5. Evaluasi keadaan pasien
2. Menyampaikan rencana tindak lanjut
3. Berpamitan
4. Lakukan pendokumentasian
T. Penampilan
1. Melakukan komunikasi terapeutik selama tindakan
yang dilakukan
2. Ketelitian selama tindakan
3. Menjaga keamanan pasien dan keamanan perawat
Total

LAPORAN PENDAHULUAN
TEKNIK TERAPI TITRASI DAN OBAT EMERGENSI DI ICU
1. ASPIRIN (ASAM SALISILAT)

Golongan obat : Analgesik


a. Pengertian
Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai aspirin adalah analgetik antipiretik
dan anti inflamasi yang sangat luas digunakan. Selain sebagai prototip, obat ini
merupakan standar dalam menilai efek obat sejenis.
b. Farmakokinetik
Pada pemberian oral, sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat dalam bentuk utuh
dilambung, tetapi sebagian besar di usus halus bagian atas.kadar tertinggi dicapai kira-
kira 2 jam setelah pemberian.kecepatan absorpsi nya tergantung dari kecepatan
disintegrasi, pH permukaan mukosa dan waktu pengosongan lambung. Setelah di
absorpsi akan segera menyebar keseluruh jaringan tubuh dan cairan transeluler
sehingga ditemukan dalam cairan synovial, cairan spinal. Obat ini mudah menembus
sawar darah otak dan sawar uri. Aspirin diserap dalam bentuk utuh, di hidrolisis
menjadi asam salisilat terutama dalam hati sehingga kira-kira hanya 30 menit terdapat
dalam plasma.
c. Farmakodinamik
Merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai analgetik, antipiretik, dan anti
inflamasi. Aspirin dosis terapi bekerja cepat dan efektif sebagai antipiretik.
d. Efek Terhadap Darah
Pada orang sehat aspirin menyebabkan perpanjangan masa perdarahan.hal ini bukan
karena hipoprotrombinaemia,tetapi karena asetilasi siklo-oksigenase trombosit
sehingga pembentukan TXA2 terhambat.
e. Efek Terhadap Keseimbangan Asam-Basa
Dalam dosis terapi tinggi salisilat menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen dan
produksi CO2 terutama di otot skelet karena perangsangan fosforilasi
oksidatif.karbondioksida yang diahasilkan selanjutnya mengakibatkan perangsangan
pernapasan sehingga karbondioksida dalam darah tidak meningkat.
f. Efek samping
Efek samping aspirin misalnya rasa tidak enak diperut, mual, dan perdarahan saluran
cerna biasanya dapat dihindari bila dosis perhari tidak lebih dari 325mg, penggunaan
bersama antacid dapat mengurangi efek tersebut. Obat ini dapat mengganggu
hemostasis pada tindakan operasi dan apabila diberikan bersama heparin dapat
meningkatkan resiko perdarahan.
g. Sediaan
Aspirin merupakan sediaan yang paling banyak digunakan. Aspirin tersedia dalam
bentuk tablet 100 mg untuk anak dan tablet 500 mg untuk dewasa.
h. Indikasi
Bermanfaat untuk mengobati nyeri yang tidak spesifik misalnya nyeri kepal,
neuralgia, mialgia. Aspirin juga digunakan untuk mencegah thrombus koroner dann
thrombus vena-dalam berdasarkan efek penghambatan agregasi thrombosis. Pada
infark miokard akut nampaknya aspirin bermanfaat untuk mencegah kambuhnya
miokard infark yang fatal. Pada penderita TIA penggunaan aspirin jangka panjang
juga bermanfaat untuk mengurangi kekambuhan TIA, stroke karena penyumbatan dan
kematian akibat gangguan pembuluh darah.

2. DOBUTAMIN (DOBUTAMINE HYDROCHLORIDE)

Golongan obat : Inotropik


a. Pengertian
Dobutamine adalah simpatomimetic sintetik yang secara struktur berhubungan dengan
dopamine dan tergolong selective. Dobutamine hidroklorida merupakan sebuk kristal
berwarna putih, agak larut dalam air dan alkohol. Dobutamine mempunyai pKa 9,4.
Dobutamine hidroklorida dalam perdagangan tersedia dalam bentuk larutan steril
dalam aqua pro injection.
b. Nama Dagang
1) Dobuject 4) Dobutamine HCl Abbott
2) Dobutamin Giulini 5) Dobutamine Lucas Djaja
3) Dobutamine Hameln 6) Cardijec
c. Farmakokinetik
Onset of action (waktu onset) : IV : 1-10 menit, Peak effect (efek puncak): 10-20
menit, Metabolisme : di jaringan dan hepar menjadi bentuk metabolit yang tidak
aktif , T½ eliminasi (half-life elimination) : 2 menit, Ekskresi : urin (sebagai
metabolit).
d. Farmakodinamik
Stimulasi reseptor beta1-adrenergic, menyebabkan peningkatan kontraktilitas dan
denyut jantung, dengan sedikit efek pada beta2 atau alpha-reseptor.
e. Efek Samping
Sakit kepala, sesak nafas, takikardia, hipertensi, kontraksi ventrikel, premature,
angina pectoris, mual, muntah, nyeri dan non angina.
f. Indikasi
Penatalaksanaan jangka pendek gagal jantung akibat depresi kontraktilitas karena
penyakit jantung organic atau prosedur pembedahan.
g. Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian
Infus intravena 2,5 sampai 10 mcg/kg/menit, disesuaikan dengan responnya.
h. Kontraindikasi
Kontraindikasi pada obat dobutamin adalah Hipersensivitas terhadap bisulfit
(mengandung bisulfit) stenoris subaortik hipertrofi idiopatik.
i. Peran Perawat
Monitoring tekanan darah, ECG, heart rate, CVP, RAP, MAP, output urin; jika kateter
arteri pulmonary dipasang, monitor CI, PCPW, and SVR; juga monitor serum kalium.

3. DOPAMIN (DOPAMINE HYDROCHLORIDE)

Golongan obat : Inotropik


a. Nama IUPAC
4-(2-aminoetil)benzena-1,2-diol
Nama lain :
2-(3,4-dihidroksifenil)etilamina;
3,4-dihidroksifenetilamina;
3-hidroksitiramina; DA; Intropin; Revivan; Oksitiramina
b. Nama Dagang
1) Dopac
2) Dopamin Giulini          
3) Dopamin HCl 
4) Dopamin Hydrochloride
Injection
5) Dopamine 
c. Pengertian
Dopamin adalah suatu katekolamin endogen, merupakan prekursor adrenalin.
d. Farmakokinetik
Anak-anak: dopamin menunjukkan kinetika non linear pada anak-anak;
dengan  merubah jumlah  obat mungkin tidak akan mempengaruhi  waktu
steady state. Onset kerja : dewasa : 5 menit.
Durasi: dewasa: < 10 menit. Metabolisme: ginjal, hati, plasma; 75% menjadi
bentuk metabolit inaktif oleh  monoamine oksidase dan 25 % menjadi
norepinefrin. T½ eliminasi: 2 menit. Ekskresi: urin (sebagai
metabolit). Klien pada neonatus: bervariasi  dan  tergantung pada umur; kliren
akan menjadi panjang jika  terdapat  gangguan hepatik atau ginjal.
e. Farmakodinamik
Menstimulasi reseptor adrenergik dan dopaminergik; dosis yang lebih rendah
terutama menstimulsi dopaminergik dan menghasilkan vasodilatasi renal dan
mesenterik; dosis yang lebih tinggi menstimulasi dopaminergic dan beta1-
adrenergik dan menyebabkan stimulasi jantung dan vasodilatasi renal; dosis
besar menstimulasi reseptor alfa-adrenergik.
f. Efek Samping
Sering: denyut ektopik, takikardia, sakit karena angina, palpitasi, hipotensi,
vasokonstriksi, sakit kepala, mual, muntah, dispnea.
Jarang: bradikardia, aritmia ventrikular (dosis tinggi), gangrene, hipertensi,
ansietas, piloereksi, peningkatan serum glukosa, nekrosis jaringan (karena
ekstravasasi dopamin), peningkatan tekanan intraokular, dilatasi pupil,
azotemia, polyuria.
g. Indikasi
Syok kardiogenik pada infark miokard atau bedah jantung.
h. Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian
1) Infus I.V : (pemberiannya memerlukan pompa infus) :
2) Bayi : 1-20 mcg/kg/menit, infus kontinyu , titrasi sampai respon yang
diharapkan.
3) Anak-anak : 1-20 mcg/kg/menit, maksimum 50 mcg/kg/menit, titrasi
sampai respon yang diharapkan.
4) Dewasa : 1-5 mcg/kg/menit sampai 20 mcg/kg/menit, titrasi sampai respon
yang diharapkan. Infus boleh ditingkatkan 4 mcg/kg/menit pada interval
10-30 menit sampai respon optimal tercapai.
5) Jika dosis > 20-30 mcg/kg/menit diperlukan, dapat menggunakan presor
kerja langsung (seperti epinefrin dan norepinefrin).
Dosis berlebih menimbulkan efek adrenergik yang berlebihan. Selama infus
dopamin dapat terjadi mual, muntah, takikardia, aritmia, nyeri dada, nyeri
kepala, hipertensi, dan tekanan diastolik. Dosis dopamin juga harus
disesuaikan pada pasien yang mendapat antidepresi trisiklik.
i. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap sulfit (sediaan yang mengandung natrium bisulfit),
takiaritmia, phaeochromocytoma, fibrilasi ventrikular.
j. Peran Perawat
Monitoring penggunaan obat: tekanan darah, ECG, heart rate, CVP, RAP,
MAP, output urin, jika dipasang kateter artery pulmonary monitor CI, PCWP,
SVR dan PVR.

4. EPINEPRIN

Golongan Obat : Vasopressor
a. Farmakokinetik
1) Absorpsi
Pada pemberian oral, epineprin tidak mencapai dosis terapi karena sebagian
besar dirusak oleh enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat pada
dinding usus dan hati. Pada penyuntikan SK, absorpsi yang lambat terjadi
karena vasokontriksi lokal, dapat dipercepat dengan memijat tempat
suntikan.Absorpsi yang lebih cepat terjadi dengan penyuntikan IM. Pada
pemberian lokal secara inhalasi, efeknya terbatas terutama saluran napas,
tetapi efek sistemik dapat terjadi terutama bila digunakan dosis besar.
2) Biotransformasi dan Ekskresi
Epineprin stabil dalam darah. Degradasi Epi terutama terjadi dalam hati
yang banyak mengandung kedua enzim COMT dan MAO, tetapi jaringan
lain juga dapat merusak zat ini. Sebagian besar Epi mengalami
biotransformasi, mula-mula oleh COMT dan MAO, kemudian terjadi
oksidasi, reduksi dan/atau konjugasi, menjadi metanefrin, asam 3-metoksi-
4-hidroksimandelat, 3-metoksi-4-hidroksifeniletilenglikol, dan bentuk
konjugasi glukuronat dan sulfat. Metabolik ini bersama Epi yang tidak
dapat diubah dikeluarkan dalam urin. Pada orang normal, jumlah Epi yang
utuh dalam dalam urin hanya sedikit. Pada penderita feokromositoma, urin
mengandung Epi dan NE utuh dalam jumlah besar bersama metabolitnya.
b. Farmakodinamik
Efek yang paling menonjol adalah efek terhadap jantung, otot polos pembuluh
darah dan otot polos lain.
c. Kardiovaskuler
1) Pembuluh Darah
Efek vaskular Epi terutama pada arteriol kecil dan sfingter prekapiler, tetapi
vena dan arteri besar juga dipengaruhi. Pembuluh darah kulit, mukosa dan
ginjal mengalami konstriksi akibat aktivitas reseptor  oleh Epi. Pembuluh
darah otot rangka mengalami dilatasi oleh Epi dosis rendah, akibat aktivitas
reseptor 2 yang mempunyai afinitas lebih besar pada Epi dibandingkan
dengan reseptor . Epi dosis tinggi bereaksi dengan kedua jenis reseptor.
Pada manusia, pemberian Epi dalam dosis terapi yang menimbulkan
kenaikan tekanan darah tidak menyebabkan konstriksi arteriol otak, tetapi
minumbulkan peningkatan aliran darah otak. Tekanan darah arteri maupun
vena paru meningkat oleh Epi. Meskipun terjadi konstriksi pembuluh darah
paru, redistribusi darah yang berasal dari sirkulasi sistemik akibat konstriksi
vena-vena besar. Dosis Epi yang berlebih dapat menimbulkan kematian
karena udem paru.
2) Arteri Koroner
Epi meningkatkan aliran darah koroner, disatu pihak Epi cenderung
menurunkan aliran darah koroner karena kompresi akibat peningkatan
kontraksi otot jantung, dan karena vasokontriksi pembuluh darah koroner
akibat efek reseptor .
3) Jantung
Epi mengaktivasi reseptor 1 diotot jantung, sel pacu jantung dan jaringan
konduksi. Ini merupakan dasar efek inotropik dan kronotropik positif Epi
pada jantung. Akibatnya, curah jantung bertambah tetapi, kerja janung dan
pemakaian oksigen sangan bertambah, sehingga efisiensi jantung (kerja
dibandingkan dengan pemakaian oksigen) berkurang.
4) Tekanan Darah
Pemberian Epi IV dengan cepat (pada hewan) menimbulkan kenaikan
tekanan darah yang cepat dan berbanding langsung dengan besarnya dosis.
Pemberian Epi pada manusia secara SK atau IV dengan lambat
menyebabkan kenaikan tekanan sistolik yang sedang dan penurunan
tekanan sistolik.
5) Pernapasan
Epi pada asma, menghambat penglepasan mediator inflamasi dari sel-sel
mast melalui reseptor 2, serta mengurangi sekresi bronkus dan kongesti
mukosa melalui reseptor 1.
6) Susunan Saraf Pusat
Pada banyak orang Epi dapat menimbulkan kegelisahan, rasa kuatir, nyeri
kepala dan tremor; sebagian karena efeknya pada sistem kardiovaskuler.
7) Proses Metabolik
Epi menstimulasi glikogenolisis disel hati dan otot rangka melalui
reseptor 2; glikogen diubah menjadi glukosa-1-fosfat dan kemudian
glukosa-6-fosfat. Hati memiliki glukosa-6-fosfat sehingga hati melepas
glukosa sedangkan, otot rangka melepas asam laktat.
d. Efek Samping
Pemberian Epi dapat menimbulkan gejala seperti perasaan takut, khawatir,
gelisah, tegang, nyteri kepala berdenyut, tremor, rasa lemah, pusing, pucat,
sukar bernapasdan palpitasi. Pada penderita psikoneurotik, Epi memperberat
gejala-gejalanya. Epi dapat menimbulkan aritmia ventrikel. Fibrilasi ventrikel
bila terjadi, biasanya bersifat fatal; ini terutama terjadi bila Epi diberikan
sewaktu anestesia dengan hodrokarbon berhalogen, atau pada penderita
jantung organik. Pada penderita syok, Epi dapat memperberat penyebab dari
syok. Pada penderita angina pektoris, Epi mudah menimbulkan serangan
karena obat ini meningkatkan kerja jantung sehingga memerberat kekurangan
oksigen.
e. Kontraindikasi
Epi dikontraindikasikan pada penderita yang mendapat -bloker nonslektif,
karena kerjanya yang tidak terimbang pada reseptor  pembuluh darah
menyebabkan hipertensi yang berat dan perdarahan otak.
f. Indikasi
Indikasi: pada asystole, fibrilasi ventrikel, PEA (Pulseless Electrical Activity)
dan EMD (Electro Mechanical Dissociation).
g. Peran Perawat
Kaji penggunaan obat lain yang diminum pasien terhadap kemungkinan
interaksi atau mempengaruhi efektivitasnya. Pantau tanda-tanda vital dan
berikan informasi tentang penggunaan obat, efek samping yang mungkin
timbul dan cara mengatasinya.

5. FUROSEMID (DIURETIK KUAT)

Golongan Obat : Diuretik


a. Pengertian
Diuretik kuat mencakup sekelompok diuretic yang efeknya sangat kuat
dibanding diuretic lain. Tempat kerja utamanya dibagian epitel tebal ansa
henle bagian asenden, karena itu kelompok ini disebut juga sebagai loop
diuretics.
b. Farmakokinetik
Furosemid mudah diserap melalui saluran cerna, dengan derajat yang agak
berbeda-beda. Furosemid terikat pada protein plasma secara ekstensif,
sehingga tidak di filtrasi di glomerulus tetapi cepat sekali disekresi melalui
sistes transport asam organic ditubuli proksimal. Dengan cara ini obat
terakumulasi di caiaran tubuli dan mungkin sekali ditempat kerja di daerah
yang lebih distal lagi.probenesid dapat menghambat sekresi furosemid,dan
interaksi keduanya ini hanya terbatas pada tingkat sekresi tubuli,dan tidak
pada tempat kerja diuretik.
c. Farmakodinamik
Bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi elektrolit di ansa henle asenden
dibagian epitel tebal: tempat kerjanya di permukaan sel epitel bagian lumial
(yang menghadap ke lumen tubuli). Pada pemberian secara IV obat ini
cenderung meningkatkan aliran darah ginjal tanpa disertai peningngkatan
filtrasi glomerulus. Perubahan hemodinamik ginjal ini mengakibatkan
menurnunya reabsorpsi cairan dan elektrolit ditubuli proksimal serta
meningkatnya efek awal diuresis. Peningkatan aliran darah ginjal ini relative
hanya berlangsung sebentar. Dengan berkurangnya cairan ekstrasel akibat
diuresis maka aliran aliran darah ginjal menurun dan hal ini akan
mengakibatkan meningkatnya reabsorpsi cairan dan elektrolit di tubuli
proksimal.
d. Efek samping
Efek samping yang dapat terjadi karena diuresis yang berlebih adalah
hipotensi, dehidrasi dan hipokalemia.
e. Sediaan
Dosis 20 – 40 mg intra vena.Selain itu tersedia dalam bentuk tablet 20,40,80
mg dan preparat suntikan. Umumnya pasien membutuhkan kurang dari 600
mg/hari. Dosis anak 2 mg/kgBB, bila perlu dapat ditingkatkan menjadi 6
mg/kgBB.
f. Indikasi
Digunakan untuk mengurangi edema paru dan edema otak.

6. HEPARIN

Golongan Obat : Antitrombolitik


a. Farmakokinetik
Heparin tidak diabsorpsi secara oral, karena itu diberkansecara IV atau SK.
Pemberian secara SK memberikan masa kerja yang lebih lama tetapi efeknya
tidak dapat diramalkan. Suntikan IM dapat menyebabkan terjadinya hematom
yang besar pada tempat suntikan dan absorpsinya tidak teratur serta tidak tidak
dapat diramalkan. Efek antikoagulan segera timbul pada pemberian suntikan
bolus IV dengan dosis terapi, dan terjadi kira-kira 20-30 menit setelah suntkan
SK. Heparin cepat dibmetabolisme terutama di hati. Masa paruhnya
tergantung dari dosis yang digunakan, suntikan IV 100, 400 atau 800
unit/kgBB memperlihatkan masa paruh masing-masing kira-kira 1, 2 ½ dan 5
jam. Masa paruh mungkin memendek pada pasien emboli paru dan
memanjang pada pasien serosis hepatis atau penyakit ginjal berat. Metabolit
inaktif diekskresi melalui urin. Heparin diekskresi dalam bentuk utuh melalui
urin hanya bila digunakan dosis besar IV.
Penderita emboli paru memerlukan dosis heparin yang lebih tinggi karena
bersihan yang lebih cepat. Terdapat variasi individual dalam efek antikoagulan
yang ditimbulkan maupun dalam kecepatan bersihan obat. Heparin tidak
melalui plasenta dan tidak terdapat dalam air susu ibu.
b. Farmakodinamik
1) Mekanisme Kerja
Heparin meningkat antitrombin III membentuk kompleks yang berafinitas
lebih besar dari antitrombin III sendiri, terhadap beberapa faktor
pembekuan darah aktif, terutama trombin dan faktor Xa. Oleh karena itu
heparin mempercepat inaktivasi faktor pembekuan darah. Sediaan heparin
dengan berat molekul rendah (  6000) beraktivitas anti-Xa kuat dan sifat
antitrombin sedang; sedangkan sediaan heparin dengan berat molekul yang
tinggi (  berakivitas antitrombin kuat dan aktivitas anti-Xa yang sedang.
Dosis kecil heparin dengan AT-III menginaktivasi faktor Xa dan mencegah
pembekuan dengan mencegah perubahan prototrombin menjadi trombin.
Heparin dengan jumlah yang lebih besar bersama AT-III menghambat
pembekuan dengan menginaktivasi trombin dan faktor-faktor pembekuan
sebelumnya, sehingga mencegah perubahan fibrinogen menjadi fibrin.
Heparin juga menginaktivasi faktor XIIIa dan mencegah terbentuknya
bekuan fibrin yang stabil.
Terhadap lemak darah, heparin bersifat lipotropik yaitu memperlancar
transfer lemak darah kedalam depot lemak. Aksi penjernihan ini terjadi
karena heparin membebaskan enzim-enzim yang menghidrolisis lemak
(lipase lipoprotein) ke dalam sirkulasi serta menstabilkan aktivitasnya. Efek
lipotropik dapat dihambat oleh protamin.
2) Pengaruh Heparin Terhadap Hasil Pemeriksaan Darah
Bila ditambahkan pada darah, heparin tidak mengubah hasil pemeriksaan
rutin darah, tetapi heparin mengubah bentuk eritrosit dan leukosit. Sampel
darah yang diambil melalui kanula IV, yang sebelumnya secara intermiten
dilalui larutan garam berheparin, mengandung kadar asam lemak bebas
yang meningkat. Hal ini akan menghambat ikatan protein plasma dari obat-
obat lipofilik misalanya propanolol, kuinidin, fenitoin dan digoksin
sehingga mempengaruhi kadar obat tersebut.
c. Efek Samping
Bahaya utama pemberian heparin secara IV atau SK ialah perdarahan, tetapi
pemberian secara IV atau SK jarang menimbulkan efek samping. Terjadinya
perdarahan dapat dikurangi dengan :
1) Mengawasi atau mengatur dosis obat
2) Menghindari penggunaan bersamaan dengan obat yang mengandung aspirin
3) Seleksi pasien
4) Meperhatikan kontraindikasi pemberian heparin.
5) Ekimosis dan hematom pada tempat suntikan dapat terjadi baik setelah pemberian
heparin SK maupun IM.
d. Indikasi
Heparin merupakan satu-satunya antikoagulan yang diberikan secara
parenteral dan merupakan obat terpilih bila diperukan efek yang cepat,
misalnya untuk emboli paru-paru dan thrombosis vena dalam, oklusi arteri
akut atau infark miokard akut. Obat ini juga digunakan untuk profilaksis
tromboemboli vena selama operasi dan untuk mempertahankan sirkulasi
ekstrakorporal selama operasi jantung terbuka. Heparin juga aman untuk
wanita hamil.
e. Kontraindikasi
1) Heparin dikontraindikasikan pada pasien yang sedang mengalami
perdarahan misalnya: pasien hemofilia, permeabilitas kapiler yang
meningkat, endokarditis bakterial subkut, perdarahan intrakranial, lesi
ulseratif, anestesia lumbal atau regional, hipertensi berat, syok.
2) Heparin tidak boleh diberikan selama atau setelah operasi mata, otak atau
medula spinal, dan pasien yang mengalami pungsi lumbal atau anestesi
lokal.
3) Heparin juga dikontraindikasikan pada pasien yang mendapat dosis besar
etanol, peminum alkohol dan pasien hipersensitif terhadap heparin.

7. HIDRALAZIN

Golongan obat : Antihipertensi


a. Farmakokinetik
Absorpsi dari saluran cerna cepat dan hampir sempurna, tetapi mengalami
metabolisme lintas pertama di hati, yang besarnya ditentukan oleh fenotip
asetilasi. Pada asetilator lambat dicapai kadar plasma yang lebih tinggi,
insidens hipotensi  berlebihan dan toksisitas lainnya juga tinggi, sehingga
perlu dosis yang lebih kecil.
b. Farmakodinamik
Hidralazin merelaksasikan secara langsung otot polos arteriol dengan
mekanisme yang belum dapat dipastikan. Salah satu kemungkinan mekanisme
kerja adalah melepaskan nitogen oksida yang mengaktifkan guanilat siklase
dengan hasil akhir defosforlisasi berbagai protein. Termasuk protein
kontraktil, dalam otot polos. Vasodilator yang terjadi menimbulkan reaksi
kompensasi yang kuat berupa peningkatan denyut dan kontraktilisasi jantung,
peningkatan renin plasma, dan retensi cairan yang semuanya akan melawan
efek hipotensif obat. Hidralazin  menurunkan TD diastolik lebih banyak
daripada TD sistolik dengan menurunkan resistensi perifer. Oleh karena
hidralazin lebih selektif mendilatasi arteriol dari pada vena, maka hipotensi
postural jarang terjadi.
c. Efek Samping
Vasodilator pada umumnya menyebabkan retensi natrium dan air apabila tidak
diberikan bersama dengan diuretik. Sakit kepala dan takikardi sering terjadi
bila diberikan sendiri dan dapat dikurangi apabila dimulai dengan dosisi yang
kecil, takikardi dapat dicegah dengan memberikan ᵝ-bloker.
Hidralazin dapat menyebabkan iskemia miokard pada penderita PJK; hal ini
tidak terjadi apabila di gunakan bersama dengan diuretik dan ᵝ-bloker. Obat ini
meningkatkan kecepatan ejeksi ventrikel kiri, maka kontraindikasi pada
penderita dengan anuerisma aorta dissecting. Gangguan saluran cerna, muka
merah dan rash juga dapat terjadi. Menyebabkan lupus dengan uji antibodi
antinuklear (ANA) positif, demam, mialgi, atralgia, splenomegali, udema dan
sel-sel LE dalam darah perifer.
d. Indikasi
Hidralazin oral biasanya ditambahkan sebagai obat ke-3 kepada diuretik dan ᵝ-
bloker. Retensi cairan dapat dihambat dengan diuretik sedangkan refleks
takikardi terhadap vasodilatasi dapat dihambat oleh ᵝ-bloker. Karena tidak
menimbulkan sedasi atau hipotensi ortostatik, hidralazin dapat ditambahkan
sebagai obat ke-2 kepada diuretik untuk penderita usia lanjut yang tidak dapat
mentoleransi efek samping penghambatan adrenergik. Pada mereka ini, reflek
bororeseptor sering kali kurang sensitif sehingga biasanya tidak terjadi
takikardi dengan hidralazin tanpa ᵝ-bloker. Hidralazin oral kini jarang
digunakan karena AH yang baru sekarang ini umunya sangat efektif dan aman.
Hidralazin IV digunakan untuk hipertensi darurat, terutama glomerulonefritis
akut atau eklamsia.
e. Dosis
1) IV: 100 mg dalam normal salin 1000ml dengan pompa infuse yang ditritrasi
pada 6-12 mg/jam untuk menjaga tekanan darah pada nilai tertentu. IV
yang didorong : 5-10 mgIV perlahan-lahan, dosis tambahan 5-10 mg setiap
20 menit prn, dosis tunggal tidak boleh melebihi 20 mg.
2) IM : 5-10 mg.
3) Peroral : 100 mg/haridalam dosis terbagi 4.

8. METHYLDOPA
Golongan : Antihipertensi

a. Farmakokinetik
Methil Dopa dan Prazosin diabsorbsi melalui saluran cerna, tetapi sebagian
besarPrazosin akan hilang selama metabolism hati pertama. Waktu paruh
kedua obat ini singkat sehingga sering diberikan 2x sehari. Prozosin adalah
sangat mudah berikatan dengan protein, dan jika diberikan kepada obat lain
yang juga sangat mudah berikatan dengan protein, klien harus diperiksa
terhadap timbulnya reaksi yang merugikan.

b. Farmakodinamik
Methil Dopa merangsang pusat reseptor adrenergic-alfa, menyebabkan
penurunan keluaran simpatis. Ini menyebabkan berkurangnya tahanan vaskuler
perifer sehingga tekanan darah menurun. Obat ini menembus sawar plasenta,
dan sebagian kecil memasuki air susu pada ibu yang menyusui. Penghambat
adrenargik-alfa selektif mendilatasi arteriola dan venula dan menurunkan
tahanan perifer serta tekanan darah. Mula kerja dari Methil Dopa dan Prazosin
terjadi antara 30 menit sampai 2 jam. Masa kerja Methil Dopa 2x lebih lama
daripada Prazosin. Methyl Dopa dapat diberikan secara intravena dan masa
kerjanya serupa dengan Prazosin oral.
c. Efek Samping
Rasa kantuk, mulut kering, pusing, dan denyut jantung lambat (brakikardia).
d. Indikasi
Methil dopa digunakan untuk hipertensi sedang sampai berat.
e. Kontraindikasi
Methil Dopa tidak diberikan pada klien dengan penyakit hati dan penyakit
ginjal.
9. NITRROGLISERIN

Golongan obat : Anti Angina

a. Farmakokinetik
Nitrat organik mengalami denitrasi oleh enzim glutation-nitrat organik
reduktase dalam hati. Metabolit yang terjadi bersifat lebih larut dalam air dan
efek vasodilatasinya lebih lemah atau hilang. Karena kelarutan dalam lemak
yang baik dan metabolisme yang cepat, maka bioavailabilitas dan lama kerja
nitrat organik terutama ditentukan oleh biotransformasinya. Eritritil tetranitrat
mengalami degradasi 3 kali lebih cepat daripada nitrogliserin, sedangkan
isosorbid dinitrat dan pentaeritritol tetranitrat mengalami denitrasi 1/6 dan
1/10 kali nitrogliserin. Kadar pucak nitrogliserin terjadi dalam 4 menit setelah
pemberian sublingual dengan waktu paruh 1-3 menit. Metabolitnya berefek
vasodilatasi 10 kali lebih lemah, tetapi waktu paruhnya lebih panjang, kira-
kira 40 menit.
b. Farmakodinamik
1) Mekanisme Kerja
Nitrat organik melalui pembentukan radikal bebas nitrogen oksida (NO)
menstimulasi guanilat siklase sehingga kadar siklik-GMP menyebabkan sel
otot polos meningkat. Selanjutnya siklik-GMP menyebabkan defosforilasi
miosin sehingga terjadi relaksasi otot polos.
2) Efek Kardiovaskular
Nitrat organik menimbulkan relaksasi otot polos, termasuk arteri dan
vena. Pada dosis rendah nitrogliserin terutama menimbulkan dilatasi vena
sedangkan arteriol hanya sedikit dipengaruhi. Venodilatasi ini
menyebabkan turunya tekanan diastolik akhir ventrikel kiri dan kanan.
Resistensi vaskular sistemik biasanya tidak berubah, frekuensi denyut
jantung tidak berubah atau meninngkat sedikit karena refleks, resistensi
vaskular paru dan curah jantung menurun. Pembuluh darah arteriol diwajah
melebar (flushing) dan timbul sakit kepala berdenyut karena dilatasi arteri
meningeal. Pada dosis tinggi dan pemeberian cepat, nitrat organik
menimbulkan venodilatasi dan dilatasi arteriol perifer sehingga tekanan
sistolik maupun diastolik menurun, curah jantung berkurang, dan frekuensi
jantung meningkat (refleks takikardi). Efek hipotensi nitrat organik ini
terutama terjadi pada penderita dalam posisi berdiri, karena dalam posisi
berdiri darah semakin banyak terkumpul dalam vena sehingga curah
jantung semakin menurun. Hipotensi juga terjadi bila obat diberikan
berulang dengan interval pendek.
c. Efek Samping
Sakit kepala umum ditemukan ini akan berkurang bila obat dilanjutkan atau
dosis dikurangi. Efek samping lain: pusing, rasa lemah dan sinkop yang
berhubungan dengan hipotensi postural: takikardi dan palpitasi. Efek ini
diperkuat oleh alkohol. Sesekali dapat timbul rash. Bila terjadi takikardi berat,
maka perfusi jantung menurun disamping meningkatkan kerja jantung
sehingga dapat memperburuk angina. Karena itu dosis nitrogliserin harus
dititrasi demikian rupa sehingga cukup untuk menghilangkan angina, tetapi
tidak sampai menimbulkan hipotensi atau takikardia.

d. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap nitrat organik; hipersensitif terhadap isosorbide,
nitrogliserin, atau komponen lain dalam sediaan, penggunaan bersama
penghambat phosphodiesterase-5 (PDE-5) seperti sildenafil, tadalafil, atau
vardenafil; angle-closure glaucoma  (terjadi peningkatan tekanan intraokuler);
trauma kepala atau perdarahan serebral (meningkatkan tekanan intrakranial);
anemia berat.
Kontraindikasi IV: Hipotensi; hipovolemia yang tidak terkoreksi; gangguan
sirkulasi serebral; constrictive pericarditis; perikardial tamponade karena obat
mengurangi aliran darah balik, mengurangi preload dan mengurangi output
jantung sehingga memperparah kondisi ini.
Nitrogliserin jangan diberikan pada pasien hipovolemia yang tidak terkoreksi
(atau dehidrasi) karena risiko menginduksi hipotensi,gangguan sirkulasi
serebral, perikarditis konstriktif, pericardial tamponade. Nitrogliserin harus
digunakan hati-hati pada pasien hipotensi atau hipotensi ortostatik karena obat
ini dapat memperparah hipotensi, menyebabkan bradikardi paradoksikal, atau
memperberat angina. Terapi nitrat dapat memperberat angina karena
kardiomiopati hipertropik.
e. Indikasi
1) Angina Pektoris
Karena nitrat organik menurunkan kebutuhan dan meningkatkan suplai
oksigen miokard, maka obat ini efektif untuk angina yang disebabkan oleh
aterosklerosis coroner maupun vasospasme koroner.
2) Gagal Jantung Kongestif
3) Infark Jantung
Kegunaan vasodilator dalam penggunaan infark jantung adalah untuk
mengurangi luas infark dan untuk mempertahankan jaringan miokard yang
masih hidup dengan cara mengurangi kebutuhan otot jantung.
f. Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian
Untuk mengendalikan tekanan darah selama anestesi; pemberian IV untuk
pengobatan gagal jantung akut atau edema paru, angina pektoris akut atau
angina tidak stabil, infark miokard akut, hipertensi paru akut; pengobatan
hipertensi berat, hipertensi postoperasi, hipertensi perioperative (mis.selama
pembedahan jantung), atau emergensi hipertensi: dosis intravenous:
Dewasa: Awal, 5 mcg/menit infus IV.,tingkatkan sebanyak 5 mcg/menit IV
setiap 3-5 menit  sampai 20 mcg/menit sampai didapat respon klinis; jika tidak
ada respon pada 20 mcg/menit,tingkatkan dosis sebesar 10 mcg/menit setiap 3-
5 menit sampai 200 mcg/menit. Usila:  Pemberian dosis awal serendah
mungkin dan tingkatkan hingga efek klinik tercapai. Usila lebih sensitif
terhadap efek hipotensi dan bradikardi dari nitrogliserin. Anak-anak: Awal,
0.25-0.5 mcg/kg/menit melalui infus IV, titrasi 1 mcg/kg/ menit pada interval
20-60 menit untuk mendapat efek yang diinginkan. Dosis umum adalah 1-3
mcg/kg/menit, maksimum 5 mcg/kg/menit.
g. Peran Perawat
1) Informasikan ke pasien: Preparat IV mengandung alkohol dan /atau
propilen glikol. Diperlukan periode bebas nitrat (10-12 jam/hari) untuk
menghindari toleransi. Toleransi dapat diatasi dengan asetilsistein, secara
bertahap turunkan dosis nitrogliserin pada pasien yang akan menerima
pengobatan jangka panjang untuk menghindari gejala putus obat.
2) Monitoring penggunaan obat: Kaji potensial interaksi dengan obat-obat lain
yang diminum pasien (mis, heparin, alkaloid ergot, sildenafil, tadalafil, atau
vardenafil). Evaluasi efektivitas terapi (status kardiak) dan efek yang tidak
diharapkan (mis, hipotensi, aritmia, perubahan SSP, gangguan GI).
Informasikan pada pasien tentang penggunaan obat, kemungkinan efek
samping/intervensi (mis, periode bebas obat) dan pelaporan efek yang tidak
diharapkan.

10. PAVULON

Golongan obat : Relaksan


a. Indikasi
Relaksasi otot rangka.
b. Efek Samping
1) Kardiovaskuler: takikardia, hipertensi.
2) Pulmoner: hipoventilasi, apne, bronkospasme.
3) GI: salvias
4) Alergik: kemerahan, anafilaktoid
5) Musculoskeletal: blok yang tidak adekuat, blok yang perpanjang.
c. Dosis
1) Intubasi : IV 0,04-0,1 mg/kg
2) Pemeliharaan : IV 0,01-0,05 mg/kg (10%-50% dari dosis . intubasi)
3) Infuse : 1-5 µg/kg/menit.
4) Prapengobatan/priming : IV 10% dari dosis intubasi diberikan 3-5 meit
sebelum dosis relaksasan depolarisasi/nendepolarisasi.
d. Farmakokinetik
Awitan aksi: 1-3 menit
Efek puncak: 3-5 menit
Lama aksi: 40-65 menit
e. Peringatan
1) Pantau espon dengan stimulator saraf tepi untuk memperkecil resiko
kelebihan dosis.
2) Efek reverse dengan antikolinesterase seperti neostigmin, edrofonium, atau
piridostigmin bromide bersama dengan atropine atau glikopirolat.
3) Dosis prapengobatan dapat menimbulkan suatu tingkat blockad
neuromuskuler yang pada beberapa pasien cukup untuk menyebabkan
hipoventilasi.

11. PHENOBARBITAL / LUMINAL

Golongan obat : Relaksan


a. Indikasi
Relaksasi otot rangka.
b. Efek samping
1) Kardiovaskuler: takikardia, hipertensi.
2) Pulmoner: hipoventilasi, apne, bronkospasme.
3) GI: salvias
4) Alergik: kemerahan, anafilaktoid
5) Musculoskeletal: blok yang tidak adekuat, blok yang perpanjang.
c. Dosis
1) Intubasi : IV 0,04-0,1 mg/kg
2) Pemeliharaan : IV 0,01-0,05 mg/kg (10%-50% dari dosis . intubasi)
3) Infuse : 1-5 µg/kg/menit.
4) Prapengobatan/priming : IV 10% dari dosis intubasi diberikan 3-5 meit
sebelum dosis relaksasan depolarisasi/nendepolarisasi
d. Kemasan
Suntikan 1 mg/ml, 2 mg/ml.
e. Farmakologi
Steroid biskuartener sintetik ini merupakan obat penyekat neuromuskuler
nondepolarisasi beraksi panjang. Obat ini bertindak dengan berkompetisi
untuk reseptor kolinergik pada lempeng akhiran motorik. Pankuronium
berkaitan dengan peningkatan nadi dapat timbul sebagai akibat aksi vagolitik
pada jantung. Peningkatan tekanan arteri rerata dan curah jantung dapat terjadi
melalui aktivasi susunan saraf simpatik dan inhibisi dari ambilan balik
katekolamin. Dengan infuse yang kontinu (16 jam), pemulihan dapat
diperpanjang karena akumulasi dari metabolit aktif. Jarang terjadi pelepasan
histamine.
f. Farmakokinetik
Awitan aksi: 1-3 menit
Efek puncak: 3-5 menit
Lama aksi: 40-65 menit
g. Peringatan
1) Pantau espon dengan stimulator saraf tepi untuk memperkecil resiko
kelebihan dosis.
2) Efek reverse dengan antikolinesterase seperti neostigmin, edrofonium, atau
piridostigmin bromide bersama dengan atropine atau glikopirolat.
3) Dosis prapengobatan dapat menimbulkan suatu tingkat blockad
neuromuskuler yang pada beberapa pasien cukup untuk menyebabkan
hipoventilasi.
12. TEOFILIN

Golongan obat : Antiasma


a. Pengertian
Golongan bronkodilator kedua yang dipakai untuk asma adalah derivate
metilsantin (xantin) yang mencakup teofilin, aminofilin dan kafein. Teofilin
merelaksasikan otot polos bronkus, bronkiolus dan pembuluh darah pulmoner
dengan cara menghambat enzim fosfodiesterase, menyebabkan peningkatan
siklik AMP yang menyebabkan bronkodilatasi.
b. Farmakokinetik
Teofilin biasanya diabsorpsi dengan baik setelah diberikan secara oral, tetapi
absorpsi dapat bervariasi sesuai dengan bentuk dosis. Teofilin juga diabsorpsi
dengan baik dalam bentuk cairan yang diminum dan tablet polos yang tidak
disalut gula. Bentuk dosis yang dilepas perlahan-lahan akan diabsorpsi dengan
lambat. Makanan dan antasida dapat menurunkan tingkat absorpsi, tetapi
bukan jumlahnya, cairan dalam jumlah besar dan makanan protein tinggi dapat
meningkatkan absorpsi. Tingkat absorpsi juga dapat dipengaruhi oleh ukuran
dosis, dosis besar diabsorpsi lebih lambat. Teofilin dapat diberikan secara
intravena dalam cairan IV.
c. Farmakodinamik
Teofilin meningkatkan kadar siklik AMP, menyebabkan terjadi bronkodilatasi.
Waktu rata-rata yang diperlukan sampai terjadi onset kerja untuk untuk oral
adalah 30 menit, untuk kapsul yang pelepasannya dihambat adalah 1 sampai 2
jam.
d. Efek Samping
Efek samping teofilin meliputi mual dan muntah, nyeri lambung karena
peningkatan sekresi asam lambung, perdarahan usus, disritmia jantung,
palpitasi (berdebar), hipotensi berat, hiperrefleks, dan kejang. Keracunan
teofilin kemungkinan besar akan terjadi apabila kadarnya dalam serum
melampaui 20u/mL. Teofilin dapat menyebabkan hiperglikemia, menurunkan
waktu pembekuan darah, dan meningkatkan jumlah sel darah putih
(lekositosis).
e. Dosis
Dosis oral teofilin 900 mg/hari dibagi dalam beberapa dosis. Teofilin ada yang
berbentuk lepas-berkala diminum 2 kali sehari (tidak boleh dibagi!).
f. Indikasi
Untuk mengatasi bronkospasme. Turunan xantin (teofilin) juga dipakai untuk
mengobati emfisema pulmoner, gagal jantung kongestif, asma bronkial atau
kardial, status asmatikus, pola napas Cheyne-stroke dan bronkitis.

CAIRAN YANG DIGUNAKAN DI RUANGAN ICU

1. Cairan Kristaloid
a. Normal Saline
Komposisi (mmol/l) : Na = 154, Cl = 154.
Kemasan : 100, 250, 500, 1000 ml.
b. Indikasi :
1) Resusitasi
2) Diare
3) Luka Bakar
4) Gagal Ginjal Akut
c. Kontraindikasi
Hipertonik uterus, hiponatremia, retensi cairan. Digunakan dengan
pengawasan ketat pada CHF, insufisiensi renal, hipertensi, edema perifer dan
edema paru.

2. Ringer Laktat (RL)


a. Komposisi (mmol/100ml) : Na = 130-140, K = 4-5, Ca = 2-3, Cl = 109-110,
Basa = 28-30 mEq/l.
b. Kemasan : 500, 1000 ml.
c. Cara Kerja Obat 
Keunggulan terpenting dari larutan Ringer Laktat adalah komposisi elektrolit
dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang dikandung cairan
ekstraseluler. Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan
menentukan tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di plasma
darah. Kalium merupakan kation terpenting di intraseluler dan berfungsi untuk
konduksi saraf dan otot. Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk
menggantikan kehilangan cairan pada dehidrasi dan syok hipovolemik
termasuk syok perdarahan.
d. Indikasi
Mengembalikan keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan syok
hipovolemik. Ringer laktat menjadi kurang disukai karena menyebabkan
hiperkloremia dan asidosis metabolik, karena akan menyebabkan penumpukan
asam laktat yang tinggi akibat metabolisme anaerob.
e. Kontraindikasi
Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis laktat.
f. Adverse Reaction
Edema jaringan pada penggunaan volume yang besar, biasanya paru-paru.
g. Peringatan dan Perhatian
”Not for use in the treatment of lactic acidosis”. Hati-hati pemberian pada
penderita edema perifer pulmoner, heart failure/impaired renal function & pre-
eklamsia.

3. Dekstrosa
a. Komposisi : glukosa = 50 gr/l (5%), 100 gr/l (10%), 200 gr/l (20%).
b. Kemasan : 100, 250, 500 ml.
c. Indikasi : Sebagai cairan resusitasi pada terapi intravena serta untuk keperluan
hidrasi selama dan sesudah operasi. Diberikan pada keadaan oliguria ringan
sampai sedang (kadar kreatinin kurang dari 25 mg/100ml).
d. Kontraindikasi : Hiperglikemia.
e. Adverse Reaction : Injeksi glukosa hipertonik dengan pH rendah dapat
menyebabkan iritasi pada pembuluh darah dan tromboflebitis.

4. Ringer Asetat (RA)


Larutan ini merupakan salah satu cairan kristaloid yang cukup banyak diteliti.
Larutan RA berbeda dari RL (Ringer Laktat) dimana laktat terutama
dimetabolisme di hati, sementara asetat dimetabolisme terutama di otot. Sebagai
cairan kristaloid isotonik yang memiliki komposisi elektrolit mirip dengan
plasma, RA dan RL efektif sebagai terapi resusitasi pasien dengan dehidrasi berat
dan syok, terlebih pada kondisi yang disertai asidosis. Metabolisme asetat juga
didapatkan lebih cepat 3-4 kali dibanding laktat. Dengan profil seperti ini, RA
memiliki manfaat-manfaat tambahan pada dehidrasi dengan kehilangan
bikarbonat masif yang terjadi pada diare.
a. Indikasi : Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi sudah
seharusnya diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti
sirosis hati dan asidosis laktat. Hal ini dikarenakan adanya laktat dalam larutan
Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati
menjadi bikarbonat.
b. Ringer Asetat telah tersedia luas di berbagai negara. Cairan ini terutama
diindikasikan sebagai pengganti kehilangan cairan akut (resusitasi), misalnya
pada diare, DBD, luka bakar/syok hemoragik; pengganti cairan selama
prosedur operasi; loading cairan saat induksi anestesi regional; priming
solution pada tindakan pintas kardiopulmonal; dan juga diindikasikan pada
stroke akut dengan komplikasi dehidrasi.
c. Manfaat pemberian loading cairan pada saat induksi anastesi, misalnya
ditunjukkan oleh studi Ewaldsson dan Hahn (2001) yang menganalisis efek
pemberian 350 ml RA secara cepat (dalam waktu 2 menit) setelah induksi
anestesi umum dan spinal terhadap parameter-parameter volume kinetik. Studi
ini memperlihatkan pemberian RA dapat mencegah hipotensi arteri yang
disebabkan hipovolemia sentral, yang umum terjadi setelah anestesi
umum/spinal.
d. Dehidrasi dan gangguan hemodinamik dapat terjadi pada stroke
iskemik/hemoragik akut, sehingga umumnya para dokter spesialis saraf
menghindari penggunaan cairan hipotonik karena kekhawatiran terhadap
edema otak. Namun, Hahn dan Drobin (2003) memperlihatkan pemberian RA
tidak mendorong terjadinya pembengkakan sel, karena itu dapat diberikan
pada stroke akut, terutama bila ada dugaan terjadinya edema otak.

5. Cairan Koloid
a. Albumin
Komposisi : Albumin yang tersedia untuk keperluan klinis adalah protein 69-
kDa yang dimurnikan dari plasma manusia (cotoh: albumin 5%).

Albumin merupakan koloid alami dan lebih menguntungkan karena : volume


yang dibutuhkan lebih kecil, efek koagulopati lebih rendah, resiko akumulasi
di dalam jaringan pada penggunaan jangka lama yang lebih kecil
dibandingkan starches dan resiko terjadinya anafilaksis lebih kecil.

b. Indikasi :
1) Pengganti volume plasma atau protein pada keadaan syok hipovolemia,
hipoalbuminemia, atau hipoproteinemia, operasi, trauma, cardiopulmonary
bypass, hiperbilirubinemia, gagal ginjal akut, pancretitis, mediasinitis,
selulitis luas dan luka bakar.
2) Pengganti volume plasma pada ARDS (Acute Respiratory Distress
Syndrome). Pasien dengan hipoproteinemia dan ARDS diterapi dengan
albumin dan furosemid yang dapat memberikan efek diuresis yang
signifikan serta penurunan berat badan secara bersamaan.
3) Hipoalbuminemia yang merupakan manifestasi dari keadaan malnutrisi,
kebakaran, operasi besar, infeksi (sepsis syok), berbagai macam kondisi
inflamasi, dan ekskresi renal berlebih.
c. Kontraindikasi : gagal jantung, anemia berat.
Produk : Plasbumin 20, Plasbumin 25.

6. HES (Hydroxyetyl Starches)


a. Komposisi : Starches tersusun atas 2 tipe polimer glukosa, yaitu amilosa dan
amilopektin.
b. Indikasi : Penggunaan HES pada resusitasi post trauma dapat menurunkan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga dapat menurunkan resiko kebocoran
kapiler.
c. Kontraindikasi : Cardiopulmonary bypass, dapat meningkatkan resiko
perdarahan setelah operasi, hal ini terjadi karena HES berefek antikoagulan
pada dosis moderat (>20 ml/kg). Sepsis, karena dapat meningkatkan resiko
acute renal failure (ARF). Penggunaan HES pada sepsis masih terdapat
perdebatan.

Muncul spekulasi tentang penggunaan HES pada kasus sepsis, dimana suatu
penelitian menyatakan bahwa HES dapat digunakan pada pasien sepsis karena :
a. Tingkat efikasi koloid lebih tinggi dibandingkan kristaloid, disamping itu HES
tetap bisa digunakan untuk menambah volume plasma meskipun terjadi
kenaikan permeabilitas.
b. Pada syok hipovolemia diperoleh innvestigasi bahwa HES dan albumin
menunjukkan manifestasi edema paru yang lebih kecil dibandingkan
kristaloid.
c. Dengan menjaga COP, dapat mencegah komplikasi lebih lanjut seperti
asidosis refraktori.
d. HES juga mempunyai kemampuan farmakologi yang sangat menguntungkan
pada kondisi sepsis yaitu menekan laju sirkulasi dengan menghambat adesi
molekuler.
Sementara itu pada penelitian yang lain, disimpulkan HES tidak boleh digunakan
pada sepsis karena :
a. Edema paru tetap terjadi baik setelah penggunaan kristaloid maupun koloid
(HES), yang manifestasinya menyebabkan kerusakan alveoli.
b. HES tidak dapat meningkatkan sirkulasi splanchnic dibandingkan dengan
gelatin pada pasien sepsis dengan hipovolemia.
c. HES mempunyai resiko lebih tinggi menimbulkan gangguan koagulasi, ARF,
pruritus, dan liver failure. Hal ini terutama terjadi pada pasien dengan kondisi
iskemik reperfusi (contoh: transplantasi ginjal).
d. Resiko nefrotoksik pada HES dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan
gelatin pada pasien dengan sepsis.
e. Efek samping : HES dapat terakumulasi pada jaringan retikulo endotelial jika
digunakan dalam jangka waktu yang lama, sehingga dapat menimbulkan
pruritus.
Contoh : HAES steril, Expafusin.

7. Dextran
a. Komposisi : Dextran tersusun dari polimer glukosa hasil sintesis dari bakteri
Leuconostoc mesenteroides, yang ditumbuhkan pada media sukrosa.
b. Indikasi
1) Penambah volume plasma pada kondisi trauma, syok sepsis, iskemia
miokard, iskemia cerebral, dan penyakit vaskuler perifer.
2) Mempunyai efek anti trombus, mekanismenya adalah dengan menurunkan
viskositas darah, dan menghambat agregasi platelet. Pada suatu penelitian
dikemukakan bahwa dextran-40 mempunyai efek anti trombus paling poten
jika dibandingkan dengan gelatin dan HES.
c. Kontraidikasi : pasien dengan tanda-tanda kerusakan hemostatik
(trombositopenia, hipofibrinogenemia), tanda-tanda gagal jantung, gangguan
ginjal dengan oliguria atau anuria yang parah.
d. Efek samping : Dextran dapat menyebabkan syok anafilaksis, dextran juga
sering dilaporkan dapat menyebabkan gagal ginjal akibat akumulasi molekul-
molekul dextran pada tubulus renal. Pada dosis tinggi, dextran menimbulkan
efek pendarahan yang signifikan. Contoh : hibiron, isotic tearin, tears naturale
II, plasmafusin.
8. Gelatin
a. Komposisi : Gelatin diambil dari hidrolisis kolagen bovine.
b. Indikasi : Penambah volume plasma dan mempunyai efek antikoagulan. Pada
sebuah penelitian invitro dengan tromboelastropgraphy diketahui bahwa
gelatin memiliki efek antikoagulan, namun lebih kecil dibandingkan HES.
c. Kontraindikasi : haemacel tersusun atas sejumlah besar kalsium, sehingga
harus dihindari pada keadaan hiperkalsemia.
d. Efek samping : dapat menyebabkan reaksi anafilaksis. Pada penelitian dengan
20.000 pasien, dilaporkan bahwa gelatin mempunyai resiko anafilaksis yang
tinggi bila dibandingkan dengan starches.
Contoh : haemacel, gelofusine.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kesehatan. 2013. Apa yang dimaksud dengan Obat. Diakses


dihttp://dinkes.
go.id/index.php/artikel-kesehatan/111-apa-yang-dimaksud-dengan-obat-pada
senin, 4Mei 2015
Hadiani, Miftakhul Arfah. 2011. Klasifikasi Obat Gawat Darurat Menggunakan
Analisa ABC-VED di Instalasi Farmasi RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Jurnal Teknik WAKTU. Volume 09 Nomor 02 – Juli 2011 – ISSN : 1412 –
1867
Hadiani, Miftakhul H. 2011. Klasifikasi Obat Gawat Darurat Menggunakan
Analisis Abcved Di Instalasi Farmasi Rsud Dr Moewardi Surakarta. Journal
teknik.Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
Martindale, 34th edition halaman 1120-1121 2. MIMS 2007 halaman 99 3. AHFS,
Drug Information 2005 halaman 1276-1281 4. Drug Information Handbook
17th ed halaman 550-551.
Stillwell, Susan B. 2011. Pedoman Keperaawatan Kritis. Edisi 3. Jakarta: EGC
TOOL PENILAIAN OBAT EMERGENCY & CAIRAN YG DIGUNAKAN DI
ICU

N Aspek yang dinilai Bobot Ya Tida


O k
A. Fase Orientasi
1 Memberikan salam atau menyapa pasien
2 Memperkenalkan diri
3 Menjelaskan maksud dan tujuan
4 Menjelaskan prosedur kerja
5 Menanyakan kesiapan pasien dan kontrak waktu
B Fase kerja
1. Mencuci tangan
2. Menyiapkan alat
3. Pasang handscoon
4. Jaga privasi pasien
5. Atur posisi pasien
6 Sesuai dengan prosedur yang ada didalam LP
7. Setelah semua prosedur selesai, bereskan alat dan rapikan pasien
kembali
8. Buka handscoon dan cuci tangan
Fase Terminasi
6. Evaluasi keadaan pasien
2. Menyampaikan rencana tindak lanjut
3. Berpamitan
4. Lakukan pendokumentasian
Penampilan
1. Melakukan komunikasi terapeutik selama tindakan yg dilakukan
2. Ketelitian selama tindakan
3. Menjaga keamanan pasien dan keamanan perawat
Total

Anda mungkin juga menyukai