Anda di halaman 1dari 12

Abstrak

Indonesia adalah salah satu Negara yang memiliki tidak kurang dari
13.000 - lebih dari 17.508 pulau baik besar maupun kecil, dan dengan panjang
garis pantai lebih dari 81.000 km, serta memiliki luas laut sekitar 3,1 Juta km.
Sehingga tidaklah salah jika dikatakan bahwa Indonesia merupakan Negara
Kepulauan terbesar di dunia.
Negara Kepulauan adalah suatu Negara yang terdiri dari gugusan pulau-
pulau dan wujud ilmiah lainnya, dimana antara pulau yang satu dan pulau yang
lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan memiliki
jarak-jarak yang wajar.
Indonesia sebagai Negara Kepulauan memiliki posisi yang sangat
strategis bagi pelayaran internasional dan memiliki wilayah perbatasan sebagai
daerah terdepan dari wilayah Negara yang juga memiliki letak yang strategis ,
sehingga Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kepulauan memiliki
kedaulatan atas wilayahnya serta memiliki hak-hak berdaulat di luar wilayah
kedaulatannya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan bangsa Indonesia.
Oleh sebab itulah, untuk memperkokoh konsepsi Negara Kepulauan,
selain dengan cara membentuk dan menetapkan Undang-Undang, juga tidak
terlepas dari perlu dibentuknya kesepakatan atau perjanjian antara Indonesia
dengan Negara lain, khususnya Negara-negara yang berbatasan langsung
dengan wilayah kedaulatan Negara Indonesia. Seperti India, Malaysia,
Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Australia, dll.

Penyusun

1
BAB 1.
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Suatu uraian tentang perkembangan hukum laut internasional sesudah


Perang Dunia ke II tidak akan lengkap tanpa menguraikan usaha dan tindakan-
tindakan indonesia di bidang ini.
Langkah-langkah yang telah diambil oleh indonesia di bidang ini
merupakan suatu konsekuensi yang wajar daripada proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan merupakan suatu
tindakan pelengkap daripadanya di bidang hukum laut.
Jalan yang telah di tempuh Indonesia di bidang hukum laut ini dengan
tegas dan jelas menunjukkan bahwa Republik Indonesia yang dilahirkan pada
saat proklamasi kemerdekaan itu, bukan sekedar negara lanjutan pewaris
Hindia-Belanda dan bukan pula negara produk pemerintah pendudukan militer
Jepang.
Usaha dan tindakan kita di bidang hukum laut menunjukkan bahwa
bangsa Indonesia mempunyai keinginan dan pikiran sendiri, sebagai
pernyataan ( manifestasi ) daripada aspirasi suatu bangsa yang nasib dan
kebesarannya tidak bisa dipisahkan dari laut.

a.      Tujuan
Dalam paper ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan tentang
perkembangan Hukum Laut Internasional di Indonesia.

b.      Rumusan Masalah :

1. Bagaimana awal mula dari perkembangan Hukum Laut Internasional di


Indonesia?
2. Bagaimana tentang penerapan peraturan pelaksanaan tentang hal lalu
lintas damai kendaraan air asing?

2
BAB 2.
PEMBAHASAN

Konsep Nusantara

Lahirnya konsepsi Nusantara : Deklarasi 13 Desember 1957. Pada


tanggal 13 Desember 1957 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan suatu
pernyataan (Deklarasi) mengenai wilayah perairan Indonesia yang berbunyi
sebagai berikut : “ Bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang
menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan
negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah
bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan negara Republik Indonesia
dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang
berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia.
Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin
selama  dan jika tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan negara
Indonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari
garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau
Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-undang”.1

Pertimbangan-pertimbangan yang mendorong pemerintah Republik


Indonesia mengeluarkan peryataan mengenai wilayah perairan Indonesia
adalah :

1. Bahwa bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara


kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan
corak tersendiri yang memerlukan pengaturan tersendiri ;

1
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, cet 2, Binacipta, Bandung,
1983,hal.187

3
2. Bahwa bagi kesatuan wilayah (teritorial) Negara Republik Indonesia
semua kepulauan serta laut yang terletak diantaranya harus dianggap
sebagai satu kesatuan yang bulat ;
3. Bahwa penetapan batas-batas laut teritorial yang diwarisi dari
pemerintah kollonial sebagaimana termaktub dalam “Teritoriale Zee en
Maritime Kringen Ordonnantie 1939” pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi
dengan kepentingan keselamatan dan keamanan negara Republik
Indonesia ;
4. Bahwa setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk
mengambil tindakan-tindakan yang dipandangnya perlu untuk
melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya.
5. Perlu dikemukakan bahwa pada waktu pernyataan pemerintah
mengenai wilayah Perairan Indonesia ini dikeluarkan negara kita
sedang menghadapi bahaya dari luar maupun dari dalam. Dari luar
karena sengketa dengan belanda mengenai Irian Jaya (Irian Barat pada
waktu itu) sedang memuncak setelah dialami kegagalan untuk
menyelesaikannya dengan jalan damai ;dari dalam karena negara
diancam oleh gerakan-gerakan separatis didaerah-daerah yang
kemudian menjelma menjadi pemberontakan.

Pernyataan pemerintah mengenai wilayah Perairan Indonesia ini


merupakan suatu peristiwa yang penting dan menentukan dalam usaha
pemerintah untuk meninjau kembali dan merobah cara penetapan batas laut
teritorial yang telah diusahakannya sejak pertengahan tahun 1956 dengan
membentuk suatu panitia Interde parlemental untuk meninjau kembali
masalah laut teritorial dan lingkungan maritim. 2 Walaupun pernyataan
pemerintah tentang wilayah perairan Indonesia bukan merupakan hasil kerja
panitia tersebut di atas. Setelah dinyatakan maka konsepsi dan materi isi
pernyataan ini diserahkan kepada panitia untuk dijadikan dasar pekerja
selanjutnya. Panitia sendiri sesungguhnya telah menyiapkan suatu rencana
undang-undang perairan wilayah untuk menggantikan batas lebar 3 mil yang
lama dengan merubah batas lebar 3 mil menjadi 12 mil terhitung dari garis
pasang surut. Dengan diterima dan dinyatakannya deklarasi tanggal 13

2
Ibid.,h 188

4
Desember 1957 oleh pemerintah maka dengan sendirinya konsepsi panitia
yang resmi itu ditinggalkan.
Dari teks pernyataan Pemerintah tanggal 13 Desember 1957 maupun
pertimbangan yang menjadi dasar tindakan tersebut jelas kiranya bahwa segi
keamanan dan pertahanan merupakan aspek yang penting sekali bahkan dapat
dikatakan merupakan salah satu sendi pokok daripada kebijaksanaan
Pemerintah mengenai perairan Indonesia ini. Di samping itu sendi pokok
lainnya yaitu menjamin integritas teritorial daripada wilayah negara Indonesia
sebagai satu kesatuan yang bulat yang meliputi unsur tanah (darat) dan air
(laut) menggambarkan segi politik yang tidak kurang pentingnya.
Di dalam menghadapi situasi yang diancam disintegrasi politik karena
gerakan-gerakan separatisme dan pemberontakan, pemerintah pada waktu itu
membutuhkan suatu konsepsi yang dapat secara jelas, nyata dan mungkin
dijadikan simbol daripada kesatuan dan persatuan bangsa dan negara
Indonesia. Konsepsi nusantara sebagaimana dirumuskan dalam pernyataan
pemerintah 13 Desember 1957 memenuhi kebutuhan ini.
Setelah menjelaskan arti konsepsi nusantara dan pertimbangan-
pertimbangan yang mendorong pemerintah mengeluarkan Deklarasi 13
Desember 1957, yang kemudian dikenal juga dengan Deklarasi Djuanda,
baiklah dijelaskan akibat konsepsi nusantara ini dalam arti kewilayahan serta
akibat-akibatnya. Deklarasi ini yang menjadikan “ segala perairan diantara dan
di sekitar pulau-pulau “ bagian dari wilayah nasional mempunyai akibat hukum
yang penting bagi pelayaran internasional karena bagian laut lepas (high seas)
yang tadinya bebas (free) dengan tindakan pemerintah Indonesia ini (hendak)
dijadikan bagian wilayah nasional. Mengingat bahwa kita tidak bisa begitu saja
meniadakan kebebasan berlayar di perairan-perairan demikian yang telah ada
sejak zaman dahulu, maka Deklarasi 13 Desember 1957 dengan tegas
menyatakan bahwa”.....lalu lintas kapal-kapal asing melalui perairan Indonesia
dijamin selama tidak merugikan keamanan dan keselamatan negara Indonesia”.
Dengan demikian jelas kiranya bahwa hak lintas damai (The Right of
Innocent Passage) kapal-kapal asing merupakan bagian yang tak terpisahkan
(integral part) dari konsepsi nusantara. Hal ini sengaja dibuat demikian untuk
mengurangi tantangan terhadap konsepsi nusantara ini terutama dari negara-
negara mqaritim. Dengan adanya jaminan hak lintas damai melauli perairan

5
nusantara ini, maka diusahakan adanya keseimbangan antara kepentingan
nasional Indonesia yang berwujud perluasan wilayah dengan dijadikannya
perairan nusantara (antar pulau) itu perairan nasional, dan kepentingan
pelayaran internasional yang berkepentingan agar lalu lintas  kapal melelui
perairan tadi untuk maksud-maksud damai dapat berlangsung terus tanpa
gangguan.
Tidak lama setelah Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 dikeluarkan
beberapa negara menyatakan tidak mengakui klaim Indonesia atas perairan di
sekitar dan di antara pulau-pulaunya. Di antara negara-nagara yang
menyatakan tidak setuju antara lain terdapat Amerika Serikat, Australia,
Inggris, Nederland, dan New Zealand sedangkan yang menyatakan menyokong
hanya USSR dan RRC. Mengingat reaksi yang negatif daripada banyak negara
demikian pemerintah menganggap bijaksana untuk menangguhkan
pengundangan wilayah perairan Indonesia menurut konsepsi nusantara. Sebab
lain daripada penangguhan pengundangan adalah akan diadakannya Konferensi
Hukum Laut di Jenewa mulai Februari 1958. Dirasakan baik untuk melihat
lebih dulu reaksi dunia umum di forum tersebut sebelum menuangkan konsepsi
nusantara itu dalam bentuk undang-undang.
Usaha untuk memperoleh pengakuan bagi pengaturan laut wilayah yang
didasarkan atas konsepsi archipelago melalui forum internasional yaitu
Konferensi Hukum Laut di Jenewa di tahun 1958 tidak membawa hasil yang
diharapkan karena negara peserta yang langsung berkepentingan dan menaruh
perhatian terhadap masalah ini terlalu kecil jumlahnya. Usul-usul Filipina dan
Yugoslavia mengenai pasal yang mengatur “archipelago” terpaksa ditarik
kembali. Konferensi berpendapat bahwa masih terlalu sedikit diketahui tentang
soal archipelago ini dan bahwa masalahnya masih perlu dipelajari lebih lanjut.
Walaupun demikian usaha tersebut di atas cukup penting untuk dicatat dalam
sejarah perkembangan hukum internasional, karena merupakan kejadian
pertama diajukannya konsepsi negara kepulauan di suatu konferensi hukum
internasional secara resmi. Hingga saat itu konsepsi negara kepulauan baru
merupakan suatu konsepsi akademis belaka.
Selain sebagai  suatu forum untuk memperoleh pengakuan internasional
bagi konsepsi negara kepulauan, Konferensi Hukum Laut Jenewa juga telah
digunakan oleh Indonesia untuk Memperkenalkan konsepsi nasionalnya

6
tentang negara kepulauan dengan jalan mengedarkan teks bahasa inggris
Undang-undang No. 4/Prp tahun 1960 pada Konferensi tahun 1960 yang
kemudian dimuat dalam dokumen Sekretariat konferensi.
Kemungkinan berlangsungnya perkembangan konsepsi archipelago dalam
hukum internasional diamankan oleh Delegasi Indonesia bersama-sama dengan
delegasi Canada dengan menggagalkan usaha peserta konferensi lain untuk
mengadakan pembatasan terhadap panjangnya garis pangkal.
Dengan tidak adanya keputusan mengenai soal archipelago di Konferensi
Hukum Laut Jenewa tahun 1958, Pemerintah Indonesia dihadapkan pada
pilihan :

1. Meneruskan pelaksanaan Deklarasi 13 Desember 1957 tentang Wilayah


Perairan Indonesia yang memandang seluruh kepulauan Indonesia
sebagai satu kesatuan dengan mengundangkannya dalam bentuk
Undang-undang.
2. Meninggalkan kebijaksanaan (policy) tentang Perairan Wilayah
Indonesia yang telah digariskan dalam Deklarasi 13 Desember 1957
yang berarti kembali dalam konsepsi dan cara pengukuran laut wilayah
yang lama.

Menurut konsepsi lama ini setiap pulau mempunyai laut wilayahnya


sendiri-sendiri. Pemerintah memutuskan untuk tetap pada kebijaksanaan yang
digariskan dalam Deklarasi 13 Desember 1957 dengan memperhitungkan
situasi dan kondisi dalam menetapkan saat mengindangkan konsepsi nusantara
berupa undang-undang. Masih tetap berlangsungnya keadaan yang mula-mula
mendorong Pemerintah mengeluarkan Deklarasi 13 Desember 1957 yakni
usaha-usaha separatisme daerah dan tidak adanya perubahan sikap Belanda
dalam sengketa mengenai Irian Barat mengakibatkan bahwa pertimbangan dan
faktor-faktor penyebab dan pendorong masih tetap berlaku. Memuncaknya
gerakan separatisme menjadi pemberontakan terbuka PRRI-Permesta dan
tambah memburuknya hubungan Indonesia-Belanda bahkan memperkuat
alasan untuk tidak meninggalkan kebijaksanaan di atas.
Pada saat itu pengalaman dan keterangan yang diperoleh selama
konferensi hukum laut jenewa menampilkan suatu segi lain daripada konsepsi
perairan nusantara yang hingga saat itu kurang mendapat perhatian yakni segi

7
sumber kekayaan alam (resources aspect). Segi ini meliputi 2 sumber
kekayaan laut (marine resources) yaitu :

1. Kekayaan mineral ( mineral atau non-living resources )


2. Kekayaan hayati ( living resources )

Pergantian pimpinan Angkatan Laut menjelang tahun 1960 merupakan


faktor lain yang membantu tambah baiknya iklim bagi pengundangan prinsip
nusantara. Walaupun menyadari kekurangan kekuatan Angkatan Laut untuk
mempertahankan perluasan wilayah perairan Indonesia jika perlu, pimpinan
yang baru tidak menarik kesimpulan dan mengambil siakp yang negatif
karenanya terhadap konsepsi nusantara.
Jadi, dapat diambil intisari tentang azas-azas pokok dari konsepsi nusantara
sebagaimana yang telah diundangkan dalam Undang-Undang No. 4/Prp tahun
1960 tentang Perairan Indonesia :

1. Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayah dan kesatuan ekonominya


ditarik garis-garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar
dari pulau-pulau terluar ;
2. Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak dalam garis-garis
pangkal lurus ini termasuk dasar laut dan tanah dibawahnya maupun
ruang udara diatasnya, dengan segala kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya.
3. Jalur laut wilayah (laut teritorial) selebar 12 mil diukur terhitung dari
garis-garis pangkal lurus ini;
4. Hak lintas damai kendaraan air (kapal) asing melalui perairan nusantara
dijamin selama tidak merugikan kepentingan negara pantai dan
mengganggu keamanan dan ketertibannya.

Bentuk dan susunan Undang-undang No. 4/Prp tahun 1960 sangat


sederhana dan hanya terdiri dari 4 buah pasal. Undang-undang ini pada
hakekatnya merobah cara penetapan laut wilayah Indonesia dari suatu cara
penetapan laut wilayah selebar 3 mil diukur dari garis pasang surut atau garis
air rendah (low water line) menjadi laut wilayah selebar 12 mil diukur dari
garis pangkal lurus yang ditarik dari ujung ke ujung. Seluruhnya ada 200 titik

8
pangkal yang dihubungkan oleh 196 buah garis pangkal lurus (straight
baselines) dengan jumlah panjang seluruhnya sebesar 8069,8 mil laut.

C.     Peraturan pelaksanaan undang-undang No. 4/Prp tahun 1960


Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1962 tentang hal lalu lintas damai
kendaraan air asing
Beberapa tahun setelah diundangkan Undang-undang No. 4/Prp tahun
1960 tentang Perairan Indonesia dirasakan keperluannya, terutama oleh
petugas-petugas di lapangan (di laut) akan ketegasan daripada ketentuan hak
lintas damai bagi kapal asing dalam perairan nusantara yang pada pokoknya
dijamin oleh UU No. 4/Prp tahun 1960 diatas.
Karena itu pada tanggal 28 Juli1962 Pemerintah menetapkanPeraturan
Pemerintah No. 8 tahun 1962 tentang lalu lintas damai kendaraan asing dalam
perairan Indonesia. Dalam pasal 1 ditentukan bahwa : “lalu lintas damai
kendaraan air asing di perairan pedalaman Indonesia yang sebelum berlakunya
Undang-undang No. 4 tahun 1960 merupakan laut bebas atas laut wilayah
Indonesia dijamin”. Yang dimaksud dengan lalu lintas laut damai adalah
“Pelayaran untuk maksud damai yang melintas laut wilayah dan perairan
pedalaman Indonesia dari laut bebas ke suatu pelabuhan Indonesia dan
sebaliknya, dan dari laut bebas ke laut bebas” (pasal 2).
Lalu lintas kapal asing dianggap damai selama tidak bertentangan dengan
keamanan, ketertiban umum, kepentingan dan/ atau tidak mengganggu
perdamaian Negara Republik Indonesia (pasal 3).
Lalu lintas damai kapal asing dianjurkan untuk melalui alur-alur yang
dicantumkan dalam buku-buku kepanduan bahari yang berlaku dalam dunia
pelayaran. Berhenti, membuang sauh dan atau mondar-mandir tanpa alasan
yang sah di perairan Indonesia tidak termasuk pengertian lalu lintas damai
menurut peraturan pemerintah ini.
Presiden Republik Indonesia dapat melarang untuk sementara waktu lalu
lintas damai kendaraan air asing di bagian-bagian tertentu dari perairan
Indonesia apabila hal demikian dianggap perlu untuk menjamin kedaulatan dan
keselamatan negara. Di samping ketentuan tentang lintas damai kendaraan air
asing yang bersifat umum di atas Pengumuman Pemerintah No. 8 tahun 1962

9
ini memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur lintas damai kapal-kapal jenis
khusus yakni :

1. Kapal penelitian.
2. Kapal nelayan.
3. Kapal-kapal perang dan kapal pemerintah bukan kapal niaga.

Penelitian Ilmiah oleh kapal asing di perairan Indonesia memerlukan izin


dari Presiden Republik Indonesia. Kapal-kapal perang asing yang hendak
melekukan lalu lintas damai melalui perairan Indonesia harus terlebih dahulu
memberitahukannya kepada Menteri/KSAL. Kapal selam dalam lintas damai
harus berlayar di permukaan laut.
Yang menarik perhatian adalah ketentuan mengenai alur-alur pelayaran.
Apabila Kepala Staf Angkatan Laut telah menetapkan alur-alur pelayaran
demikian maka kapal perang (dan kapal pemerintah bukan kapal niaga) dan
kapal-kapal nelayan harus melalui alur-alur tersebut.
Kapal-kapal perang asing yang melalui alur-alur pelayaran demikian
tidak perlu memenuhi syarat pemberitahuan (notification) yang berlaku bagi
lintas damai di perairan nusantara. Hingga sekarang alur-alur pelayaran yang
dimaksud di atas belum pernah ditetapkan. 3 Melihat kenyataan praktek hingga
sekarang dapat dikatakan bahwa pada umumnya pelaksanaan ketentuan tentang
hak lintas damai kapal asing ini cukup di patuhi. Khususnya mengenai kapal
perang asing dapat dikatakan bahwa ketentuan “notification” (pemberitahuan)
ini pada umumnya dipenuhi. Hal ini disebabkan selain berdasarkan
pertimbangan politis, yaitu untuk tetap memelihara hubungan baik dengan
menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang tidak bersahabat, disebabkan pula
oleh sangat luwesnya syarat pemberitahuan (notification) kita. Dengan tidak
adanya syarat-syarat yang kaku yang harus dipenuhi. Maka keberatan untuk
memberikan “notification” itu menjadi jauh lebih berkurang.
Kesulitan sering terjadi mengena kapal-kapal nelayan asing yang sering
ditangkap karena melanggar ketentuan-ketentuan PP No. 8 tahun 1962.
Walaupun dapat merupakan sumber sengketa dengan negara lain, namun
tindakan demikian perlu diteruskan karena merupakan pelaksaan dari
kedaulatan kita atas perairan nusantara.
3
Kep. MenHankam, No. KSP/17/IV/1975 tanggal 22-01-1975

10
Yang perlu diatur adalah prosedur penyelesaian perkara setelah
penangkapan kapal nelayan terjadi, agar supaya tidakterjadi hal-hal yang bisa
menjadi sumber sengketa internasional, atau sebaliknya merendahkan martabat
(prestige) kita sebagai negara. Karena itu tindakan –tindakan pemaksaan
(enforcement) ketentuan-ketentuan PPNo. 8 tahun 1962 terhadap kapal-kapal
nelayan asing ini perlu mendapat perhatian yang lebih besar lagi dari
pemerintah.

PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan perkembangan Hukum Laut Internasional di Indonesia,yang
dituangkan dalam Deklarasi 13 Desember 1957 bahwa :
Segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau
bagian pulau-pulau yang termasuk NKRI, dengan tidak memandang luas dan
lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada perairan nasional yang
berada dibawah kedaulatan mutlak Negara NKRI.
Lalu lintas damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin
selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan
Negara Indonesia. Penentuan batas laut teritorial 12 mil yang diukur dari garis-
garis yang menghubungkan titik yang terluar pada pulau-pulau NKRI akan
ditentukan dengan UU.

11
DAFTAR PUSTAKA

 Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, 1983, Hukum Laut Internasional,


Binacipta,
Bandung.
 Ramlan., SH, MH, 2006, Hukum Laut Internasional,jambi.
 UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia.
 Kep. MenHankam, No. KSP/17/IV/1975 tnggal 22-01-1975.

12

Anda mungkin juga menyukai