Anda di halaman 1dari 20

Tour de Flores dan Reproduksi Kemiskinan

islambergerak.com/2016/05/1819/

May 21, 2016

“TOUR de FLORES”

Oh, Flores, land of flowers


Kelimutu, three color lakes
Bena village, unique house
Komodo, seven wonders

Wae Rebo, ritual home


Lamalera, whale hunters
Beautiful islands in Riung.
Land of Paradise is Flores

Nagekeo, store of handicrafts


Maumere, heaven of sea park
Larantuka Renya with Semana Santa
Sweet Solor and nice Adonara

Tour de Flores, moment of competition and fun


Tour de Flores, moment of friendship and peace
Tour de Flores, moment of joy and happiness

Welcome to Flores island


Welcome to fancy Flores
Welcome and welcome back
“Explore the Amazing Land”

Bersama bangsa-bangsa
Gemakan Nusa Bunga
Bring Flores to the world
Bring the world to Flores

Tour de Flores, moment of competition and fun


Tour de Flores, moment of friendship and peace
Tour de Flores, moment of joy and happiness

S’lamat datang di Flores


Welcome and welcome back
Mai, mai, mai…….
It is your Paradise Land

Explore the beautiful land


Explore the fantastic land
“Explore the Amazing Land”

1/20
Glory of great Flores

It is your Paradise Land


It is your Paradise Land

Lagu ini merupakan Theme Song Tour de Flores 2016 (TdF), gubahan dua musisi Flores,
Epi Embu Agapitus dan Robert Eppedando. Dalam lagu ini, TdF 2016 –dengan panjang
lintasan mendekati 700 kilomenter, yang akan diselenggarakan pada tanggal 16-26 Mei
2016– digambarkan seolah sebagai kegiatan promosi pariwisata yang tanpa cacat cela,
yang mampu mengangkat pesona keindahan alam dan budaya Flores. Karena itu, TdF
2016 dilihat sebagai “moment of competition and fun”, “moment of friendship and peace”,
dan “moment of joy.” Secara lugas lagu ini menegaskan bahwa TdF 2016 pasti akan
membawa “berkah” bagi masyarakat Flores tanpa syarat apa pun. Sebab, dengan
diselenggarakannya TdF 2016, baik turis domestik maupun manca negara yang berjumlah
sekitar 2,1 juta orang, dan diprediksikan pada tahun keempat penyelenggaraan TdF akan
membeludak hingga 4 juta orang, akan memberikan “rejeki” ekonomi bagi masyarakat
Flores (Investor Daily, 24/11/2015; Investor Daily, 29/1/2016). Hampir senada dengan
pesan Theme Song TdF 2016 ini, Primus Dorimulu, Chairman TdF 2016, menegaskan
dengan sangat percaya diri bahwa: “pariwisata bukan kegiatan exploitatif”[1] dan, karena
itu, TdF, sebagai kegiatan promosi pariwisata, akan membawa manfaat bagi masyarakat,
tetapi dengan syarat, yakni tergantung pada respon pemerintah daerah dan masyarakat
Flores (Dorimulu 2015).

Sepintas pesan Theme Song TdF 2016 dan disposisi Dorimulu (2015) ini seolah-olah
adalah sebuah ekspresi niatan yang jujur, tulus dan suci untuk memperjuangkan
kepentingan masyarakat Flores. Tetapi, sejatinya, seperti yang pernah saya singgung pada
tulisan terdahulu (Tolo, 2016), TdF 2016 sesungguhnya memuat agenda eksploitatif untuk
kepentingan elit politik, ekonomi dan birokrasi demi meraup keuntungan sebesar-
besarnya untuk diri dan golongan sendiri, baik untuk jangka pendek maupun untuk masa
yang akan datang. Pada titik ini, menjadi terang benderang bahwa baik Dorimulu (2015)
maupun penggubah Theme Song TdF 2016 sedang bermanipulasi dan berimajinasi di
ruang imaginer-utopis bahwa bahwa TdF 2016 akan memiliki implikasi ekonomi dan
politik seperti Tour de France yang sudah diselenggarakan sejak tahun 1903 sebanyak
101 kali hingga 2014, yang telah berhasil meningkatkan geliat bisnis pariwisata dan
ekonomi masyarakat Perancis. Karena itu, pelbagai jargon, kesimpulan dan premis yang
lahir dari imajinasi manipulatif-utopis model ini tentu saja harus disangsikan secara tegas,
baik dalam ruang diskursus ilmiah maupun dalam pentas politik lokal di Flores

Ekonomi Politik Pembangunan Pariwisata di Flores

Secara historis-kultural, masyarakat Flores terbagi ke dalam tiga kelas sosial berbeda,
yakni tuan (gae, mosalaki), orang biasa, commoners (gae kisa), dan hamba[2] (ho’o) (Muda
1986, Parreira 1988). Stratifikasi sosial ini sudah mengakar dan membatu sejak lama
dalam kehidupan sosial masyarakat Flores. Menurut Arndt (1958, 2003), hal ini
disebabkan oleh pengaruh kebudayaan Hiduisme yang disinyalir pernah menancapkan
kakinya di Flores. Menurut laporan, pada abad ke 14, Flores berada di bawah kekuasaan
kerajaan Majapahit[3] dan, waktu itu, Flores masih bernama Solot[4] (Metzener 1982).
Tuan (gae), pemegang kasta sosial tertinggi dalam masayarakat Flores merupakan “tuan
2/20
tanah dan pemilik kekayaan yang bisa dibagikan kepada kelas yang lebih rendah” (Muda
1986). Sementara itu, para hamba, sebagaimana ditulis Forth (2001), tidak memiliki ‘hak
independen atas tanah.’[5] Karena tidak memiliki hak atas tanah, pada masa lalu, parah
hamba nilainya setaraf barang komoditas yang bisa dijual dan dijadikan upeti.[6]
Perdagangan hamba dilarang oleh Belanda pada tahun 1838 (Gordon 1975), tetapi baru
benar-benar berakhir pada tahun 1907 (Metzener 1982).

Stratifikasi sosial tradisional dan ketimpangan agraria yang telah berurat akar di dalam
peradaban masyarakat Flores ini menjadi landasan strategis bagi ekspansi kapital
Belanda yang secara intensif mulai masuk Flores pada awal abad 20 (Gordon 1975). Untuk
mememuluskan proses akumulasi kapitalnya, Belanda pertama-tama mengubah struktur
pemerintahaan di Flores yang umumnya berbasiskan pada politik kampung (nua) menjadi
politik kerajaaan dengan cara memilih salah satu raja terkuat dan memiliki komitmen
untuk berpihak pada kepentingan kapital Belanda (Gordon 1975, Tule 2004, Tule 2006).
Pada tahun 1909-1929, terdapat delapan oderafdeeling yang dipimpin oleh seorang raja
pilihan Belanda, yakni Manggarai, Ngada, Riung, Nagekeo, Ende, Lio, Sikka, dan Larantuka
(Tule 2004).

Ketika unit politik kerajaan sudah terbentuk, Belanda mulai mengintervensi pemerintah
kerajaan untuk melakukan perubahan terhadap struktur agraria. Sebagai konsekuensi,
tanah didistribusikan, diolah dan apa yang harus ditanam ditentukan sepihak demi
kepentingan kapital Belanda. Di Manggarai, misalnya, setelah diangkat raja Alexander
Baruk dari Todo pada tahun 1930, Belanda secara perlahan mulai mengubah sistem
agraria tradisional lodok[7] dengan sistem terrace system. Belanda pun memperkenalkan
sistem pengelolaan sawah dan tanaman komoditi seperti kopi di Flores. Hampir semua
tata kelola pertanian yang dibuka oleh Belanda ini “tidak lagi membutuhkan keputusan
komunal tentang kapan saat penanaman atau sistem pembagian kerjanya” (Gordon 1975:
131). Di Sikka, pada tahun 1930, raja Sikka “membabtis” dirinya sebagai pemilik tanah
yang tidak ditempati dan digarap oleh masyarakat yang umumnya adalah tanah komunal
sebagai tanah milik pribadinya dan kemudian menjualnya kepada para pedagang dari
Bugis. Hal ini menyebabkan hampir hilangnya tanah komunal di Sikka bagian Tengah kala
itu (Metzner 1982: 225). Jepang yang menguasai Flores pada perang dunia kedua juga
menguasai tanah di Flores untuk memproduksi pangan beras demi mendukung
kepentingan perangnya (Sato & Tennien 1957 [1976]). Setelah kepergian Belanda dan
Jepang dari Flores, tanah-tanah yang dikuasai oleh penjajah ini dijual murah kepada
Gereja Katolik di Flores (Prior 2013). Karena pernah bersentuhan dengan kapitalisme
penjajah, para penjaga tanah (land guardian) di Flores pun mulai mengklaim diri sebagai
tuan tanah (land lord) yang menguasai puluhan hingga tanah ratusan hektar
sepeninggalan para penjajah. Padahal, Flores, sebagai bagian dari bangsa Astronesia,
tidak miliki konsep tuan tanah, kecuali penjaga tanah yang tidak dibenarkan menguasai
tanah puluhan bahkan ratusan hektar sebagai hak milik pribadinya (Tule 2013).

Upaya untuk melawan feodalisme dan tuan tanah yang sewenang-wenang ini di Flores
sempat dilakukan, tetapi gagal total pasca tragedi pembantaian 1965 di Flores yang
menyasar pertama-pertama orang yang pernah melawan feodalisme dan para tuan tanah
(Klinken 2015a, Klinken 2015b), dan Gereja Katolik di Flores kala itu membiarkan peristiwa
pembantaian yang tidak berperikemanusiaan dan bertentangan dengan ajaran Gereja
3/20
Katolik ini terjadi tanpa mengambil sikap menolak yang tegas, kecuali setelah peristiwa
pembantaian yang keji ini sudah selesai dilakukan (Prior 2011, Madung & Prior 2015).
Karena itu, hingga kini, koefisien kepemilikan tanah terus meningkat dan sebagian bersar
tanah masih terkonsentrasi pada para tuan tanah. Lagi pula ekspansi pertambangan dan
pariwisata kini menyebabkan banyak tanah strategis di Flores jatuh pada pengusaha
pariwisata (Dale 2013) dan investor tambang (Regus 2011).

Dengan ketimpangan agraria seperti ini, yang mampu melakukan reproduksi sosial-
ekonomi dan mobilisasi kelas dalam kehidupan masyarakat Flores hanyalah golongan
kelas yang berkuasa atas tanah sejak lama. Penelitian Jalong (2011) di Manggarai
menunjukkan bahwa kelas penguasa tanah, dengan kekuatan ekonomi dan politik, telah
berhasil menduduki jabatan strategis di lembaga politik, birokrasi dan Gereja Katolik hari
ini. Apalagi sejak awal Gereja Katolik memperkenalkan pendidikan modern di Flores,
anak-anak golongan penguasa tanah dari kalangan elit-elit adat mendapat privilese dari
para imam Katolik untuk mengakses pendidikan Katolik bermutu di Flores.

Sejak awal misinya di Flores, Gereja Katolik merasa bahwa misi meng-Katolik-an Flores
lebih mudah dilakukan dengan melakukan aliansi dengan para pemimpin adat dan “tuan
tanah” melalui pemberian pendidikan bermutu kepada anak-anak mereka dan menjadikan
mereka orang Katolik yang baik, yang akan menjadi pendukung setia dan fanatik Gereja
Katolik di masa mendatang (Molnar 1997). Dengan demikian, hingga kini, yang menduduki
posisi penting dalam institusi birokrasi, politik dan Gereja Katolik adalah golongan yang
sama seperti pada beberapa abad yang lalu, yang pernah mengenyam pendidikan bermutu
rintisan Gereja Katolik di Flores. Kelas menengah atas di Flores yang menduduki posisi
penting ini tak jarang mereproduksi kebijakan ekonomi dan politik yang cenderung
berpihak pada kepentingan ekonomi politik golongannya sendiri, termasuk dalam
kebijakan promosi dan pembangunan pariwisata hari ini di Flores.

Karena kini tanah tidak lagi menjadi satu-satunya sumber ekonomi dan politik seperti di
masa lalu, maka para golongan kelas sosial yang berkuasa di Flores hari ini melihat
institusi politik dan birokrasi, bahkan institusi Gereja Katolik (Erb 2006), sebagai “sumber
ekonomi dan politik baru” agar bisa terus mereproduksi kekuasaannya (Lele 2012). Sejak
awal tahun 1980an, salah satu sumber ekonomi dan politik yang dapat direngkuh adalah
dalam bidang promosi dan pembangunan pariwisata yang kini mulai bertumbuh dan
berkembang[8] di Flores (Erb 2000). Pada tahun 1980, Taman Nasional Komodo (TNK)
mulai dibuka dan pada tahun 1982-1983 pembangunan akomodasi berupa bungalows
didirikan di pulau Komodo. Sejak tahun 1986, pulau Komodo menjadi World Heritage Site,
dan sejak tahun 1995 The Nature Conservancy sudah hadir di TNK dan mulai
memperkenalkan ekoturisme bagi masyarakat Flores yang mendapat dampak buruk dari
ekspansi kapitalisme pariwisata di Flores. Pada tahun 1983, kawasan Kelimutu ditetapkan
oleh pemerintah sebagai Taman Nasional. Pada akhir tahun 1980an, banyak turis mulai
mengunjungi rumah-rumah adat tradisional di Ngada yang kuno nan eksotik dengan
budaya megalitik yang menggemaskan serentak mengesankan (Erb 2005a). Sekitar tahun
1986, bersamaan dengan jatuhnya harga minyak di pasar dunia, pariwisata di Flores mulai
berkembang lebih gesit seiring dengan ambisi pemerintah pusat meningkatkan devisa
negara dari sektor pariwisata yang pada tahun 1970an sampai awal tahun 1980an
ditopang oleh sektor perminyakan. Pada tahun 1996, dengan keberadaan Veranus
4/20
Komodensis, Labuan Bajo ditetapkan oleh pemerintah NTT sebagai destinasi pariwisata
nomor satu di NTT dan menjadi pintu gerbang masuk bagi wisatawan yang akan
mengunjungi Flores. Sejak itu mulailah dibangun masterplan untuk pembangunan
pariwisata di Labuan Bajo dan beberapa destinasi wisata di tempat lain di Flores sehingga,
pada awal tahun 1990, Flores mengalami tourism boom, walau pernah meredup pada
tahun 1998, lalu kembali menggeliat hingga kini (Erb 2000). Pada tahun 2002, I. Gede
Ardika, Menteri Pariwisata kala itu, mengunjungi Flores dan menegaskan bahwa dia ingin
menjadikan Flores sebagai bagian dari “golden triangle” atraksi turis di Indonesia: Bali,
Sulawesi (Tanah Toraja) dan Flores (Erb 2005a). Memasuki awal milenium ke tiga, turis
yang mengunjungi TNK terus meningkat (Allerton 2003), dan menjadi semakin dikenal
dunia ketika Komodo masuk ke dalam tujuh keajaiban dunia pada tahun 2012 (Dale 2013).

Dengan semakin dikenalnya Flores sebagai salah satu destinasi wisata di Indonesia,
promosi dan pembangunan pariwisata kerap kali diselenggarakan, tetapi sialnya menjadi
“ladang” untuk mendapatkan kekuasaan ekonomi dan politik bagi para pemangku dan
penyelenggara pembangunan pariwisata. Tak jarang birokrat, politisi dan pengusaha
pariwisata bermain mata untuk tujuan ekonomi dan politik kelompoknya yang bisa
“dirampok” dari dana-dana APDB atau dana-dana strategis lainnya dari pemerintah pusat
yang dialokasikan untuk promosi dan pembangunan pariwisata. Penelitian Erb (2009)
membuktikan bahwa paket promosi pariwisata di Labuan Bajo pada tahun 2000, 2004 dan
2006 diselenggarakan sebagai “proyek” untuk mendapatkan dana dari Jakarta untuk
kepentingan para pihak penyelenggara. Erb (2009: 178) menulis bahwa “‘promosi
pariwisata’ di Labuan Bajo sering tidak berkaitan dengan kepariwisataan, tetapi untuk
menciptakan ‘proyek’ agar memperoleh uang dari pemerintah pusat. Dinas Pariwisata akan
membuat proposal untuk mengadakan festival guna mendapat dana dari Jakarta, yang
dapat mereka tilep dengan berbagai cara. Festival-festival promosi pariwisata, sejatinya,
tidak menghasilkan uang sama sekali untuk pembangunan ekonomi…” Paket promosi
pariwisata sebagai sebuah “proyek” seperti ini tentu tidak dirancang secara serius dan
profesional dan, karena itu, tidak memiliki implikasi positif dalam mendongkrak
kedatangan wisatawan yang berdampak dampak siginifikan bagi peningkatan ekonomi
masyarakat di Flores.

Pengelolaan TNK sejak 1990-2012 menjadi contoh yang jelas “perampokan” APDB untuk
kepentingan reproduksi kekuasaan kelas menengah sosial atas, sebab pengeluaran
anggaran yang besar dari APBD tidak setara dengan penghasilan yang diperoleh dari
pembangunan pariwisata bagi kesejahteraan masyarakat Flores. Pada tahun 1990-1991
dan 1994-1995, pemerintah daerah menggelontorkan biaya sebesar US$218.000, tetapi
pendapatan daerah dari biaya masuk yang sangat murah saat itu, yakni US$0,87, hanya
mencapai US$15.060. Artinya, pendapatan dari sektor pariwisata TNK hanya menyumbang
6,9% dari total pengeluaran operasional yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah (Walpole
et.al 2001). Hal sama juga masih terus menjadi persoalan hingga dekade pertama awal
abad 21, yakni pendapatan daerah dari TNK hanya mencapai Rp. 1,6 miliar pada tahun
2011 dan Rp. 1,8 miliar pada tahun 2012. Padahal, pengeluaran untuk biaya operasional
TNK pada tahunan mencapai Rp. 3,5 miliar (Dale 2013).

5/20
Selain itu, dalam konteks pembangunan TNK, pada tahun 1995-1996, para wisatawan TNK
membelanjakan uangnya sekitar US$1,1 juta. Sekitar US$465.000 dolar digunakan untuk
transportasi, akomodasi, guide, makanan dan cinderamata yang umumnya dikelola dan
dikuasai oleh kelas menengah atas dan orang-orang kaya lokal ([pensiunan] birokrat dan
politisi) dan yang berasal dari Jakarta dan manca negara (Erb 2005a, Walpole et.al 2001).
Karena itu, dengan watak pembangunan pariwisata yang seperti ini, kemiskinan menjadi
kian melanggeng hingga hari ini di Flores, yang mana menurut data BPS (2010), dari 1,8
juta jiwa penduduk Flores, terdapat 330.380 (17,33%) penduduk miskin, jauh lebih tinggi
dari rata-rata nasional yakni 13,33% (Tolo 2012).

Menjadikan kegiatan promosi dan pembangunan pariwisata sebagai “proyek” untuk


kepentingan kelas menengah atas mereproduksi kekuasaan ekonomi dan politiknya
seperti yang terjadi di Flores hari ini, selain menyebabkan terjadinya praktek korupsi (Erb
2009), tetapi juga menimbulkan beberapa persoalan yang kontra produktif dengan janji
cita-cita pembangunan (Erb 2005b, Erb 2005a). Promosi dan pembangunan pariwisata
selama ini diarahkan untuk membangun pariwisata di Flores seperti yang terjadi di tempat
lain seperti di Bali, atau bahkan tempat wisata lain di Eropa (Erb 2005b), seperti di
Perancis misalnya dengan Tour de France yang akan ditiru di Flores dengan Tour de Flores
2016 (Tolo 2016). Akibatnya, dalam imajinasi para pemangku dan pengembang pariwisata
di Flores, Bali selalu menjadi rujukan untuk pembangunan pariwisata. Karena itu, Dinas
Pariwisata daerah sering melakukan “comparaive studies” terhadap promosi dan
pembangunan pariwisata di Bali. Dengan demikian, tujuan promosi pariwisata pertama-
tama untuk menyasar turis elit, seperti yang terjadi di Bali, dan mengabaikan turis
backpackers. Padahal, secara faktual, menurut penelitian Erb (2005a), turis backpackers
berkontribusi lebih signifikan terhadap nadi ekonomi masyarakat lokal karena mereka
umumnya lebih lama tinggal di Flores sekitar 5-7 hari –dibandingkan dengan turis elit
yang hanya tinggal di Flores sekitar 2-3 hari dan jarang berinteraksi dengan aktivitas
ekonomi masyarakat lokal– dan bersentuhan langsung dengan aktivitas ekonomi
masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan mereka selama di Flores. Untuk menarik
wisatawan elit ini, dengan meniru cara promosi pariwisata di Bali, para pelaku pariwisata
yang berasal dari kelas menengah atas di Flores biasa mengadakan pertunjukan dan
festival budaya dengan tiket masuk, tetapi tidak disajikan dengan profesional, dan
cenderung memperlakukan kebudayaan sebagai komoditi, obyek artefak yang mati, dan
terlepas dari hidup manusia Flores. Misalnya, pelaksanaan pesta Penti Manggarai 2001
yang gagal total menarik minat wisatawan. Dengan dana yang besar, pesta Penti ini
dikoordinir oleh orang-orang kaya Manggarai di Jakarta yang sudah lama meninggalkan
kampung halamannya dan cenderung melupakan tata adat budaya Manggarai yang benar,
sehingga memperlakukan budaya sebagai komoditi untuk dipertontonkan, terlepas dari
nilai kehidupan masyarakat lokal, karena itu, tidak menarik sebagai sebuah atraksi budaya
bagi wisatawan (Erb 2005b, Erb 2005a). Selain itu, pada masa pemerintahaan bupati
Gaspar Perang Ehok, rumah adat di Wae Rebo direhabilitasi sebagai upaya untuk menjaga
otentisitas budaya untuk menarik wisatawan, tetapi, dalam waktu bersamaan,
mengabaikan otentisitas yang lebih jauh mendalam dari rumah adat sebagai institusi yang
tersusun atas relasi sosial yang kompleks. Sebab, bagi masyarakat Manggarai, rumah
adat tidak dilihat sebagai artefak budaya yang mati, tetapi sebagai sebuah institusi yang

6/20
hidup yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakatnya
seperti yang dipahami oleh Levi Straus. Karena itu, upaya rehabilitasi rumah adat yang
menelan biaya yang mahal ini tidak menarik bagi para wisatawan (Allerton 2003).

Persoalan lain adalah bahwa merujuk Bali sebagai jalan yang mesti diekori dalam
pembangunan pariwisata di Flores memiliki dua implikasi sebagai berikut: pertama,
pembangunan pariwisata di Bali, dalam banyak kasus, telah terbukti menyingkirkan
masyarakat lokal dari tanah airnya sendiri. Tidak sedikit tanah masyarakat yang
dikorbankan untuk kepentingan pengembangan pariwisata yang hanya menguntungkan
pengusaha pariwisata manca negara dan orang-orang kaya dari Jakarta (Erb 2005a),
seperti dalam kasus mutakhir soal rencana proyek reklamasi di teluk Benoa Bali (MAP
Corner 2016). Mengikuti pola promosi dan pembangunan pariwisata seperti ini berarti
secara tau dan mau ingin mereplikasi kegetiran hidup orang Bali akibat eskpansi
kapitalisme pariwisata hari ini untuk masyarakat Flores di masa depan. Kedua, menjadikan
Bali sebagai prototipe pembangunan pariwisata di Flores tidak menjawabi permintaan dan
kebutuhan turis baik manca negara maupun domestik dan, apalagi, dalam banyak hal,
pengembang, pemangku dan pelaku pariwisata di Flores mengabaikan turis domestik,
yang berdasarkan data nasional, pada tahun 2003, terdapat sekitar 110 juta turis domestik
dibandingkan dengan 5,5 juta turis manca negara, dan, pada tahun 2005, turis domestik
meningkat menjadi 112 juta orang dibadingkan dengan turis manca negara yang menurun
menjadi 5 juta orang (Erb 2009). Lagi pula, banyak turis, baik domestik maupun manca
negara, ingin menghindari hiruk pikuk pariwisata Bali yang semua sisi kehidupannya
sudah terkomodifikasi dan ingin mencari ketenangan dan keotentikan budaya, alam dan
masyarakat yang masih terjaga di Flores. Tetapi, ironisnya, pemerintah daerah di Flores
justru ingin membangun Flores seperti Bali yang justru kini mulai dihindari oleh para
wisatawan. Terkait dengan menjadikan Bali sebagai rujukan promosi dan pembangunan
pariwisata di Flores, Erb (2005a: 173) memberikan catatan demikian:

Ketidaksesuaian fundamental antara turis yang datang ke Labuan Bajo dan turis yang
diingini Dinas Pariwisata untuk datang ke Labuan Bajo dapat dilihat dari “diskursus” yang
sama sekali berbeda terkait dengan konsep tentang “Bali”. Dalam imajinasi Dinas
Pariwisata, dan dalam rencana-rencana mereka, mereka ingin menjadikan Flores seperti
Bali, itulah yang ingin mereka rencanakan untuk Labuan Bajo. […] Bali merupakan ideal
bagi Dinas Pariwisata untuk mengembangkan pariwisata di Flores, yang mana ingin
dihindari oleh para turis yang mengunjungi Flores. Ketika ditanya apa yang mereka suka
dari Flores, atau mengapa mereka datang ke Flores, banyak dari turis mengutarakan
kepadaku bahwa mereka ingin menghindari Bali, yang terlalu padat dengan para pedagang
dan turis yang agresif. […] Karena itu, kita dapat melihat ironi dari “miskomunikasi” antara
turis yang datang ke Flores dan para pelaku dan pemangku pariwisata yang bertanggung
jawab membentuk watak pembangunan pariwisata di Flores.

Intisarinya adalah bahwa promosi dan pembangunan pariwisata di Flores digelar dan
dilaksanakan tidak pertama-tama untuk meningkatkan kepentingan masyarakat Flores,
tetapi sebagai upaya untuk meraup keuntungan ekonomi dan politik bagi segelintir kelas
menengah atas, baik di institusi birokrasi, politik maupun bisnis pariwisata. Hal ini terjadi
karena sumber ekonomi politik di Flores tidak lagi semata bersumber pada tanah seperti
pada masa lalu, tetapi juga bersumber pada lembaga birokrasi dan politik hari ini.
7/20
Memang kepemilikan tanah menjadi kunci bagi kelas menengah ke atas di Flores untuk
menempati posisi penting dalam ranah birokrasi dan politik hari ini, tetapi, ketika sudah
menempati posisi strategis ini, mereka tetap berupaya untuk “merampok” sumberdaya
ekonomi di lembaga birokrasi dan politik yang sejatinya digunakan untuk pembangunan di
Flores, termasuk pembangunan pariwisata di Flores. Tetapi, sumber daya ekonomi itu
tidak saja berada pada institusi birokrasi dan politik, tetapi juga pada para wisatawan yang
mengunjungi Flores. Karena itu, orientasi promosi pariwisata dan pembangunan
pariwisata di Flores menyasar turis-turis elit –bukan para backpackers yang dianggap
tidak memiliki uang– yang mampu membayar tiket pertunjukan atau “nginap” di hotel-
hotel mewah yang umumnya dimiliki oleh para (pensiunan) birokrat dan politisi lokal,
pengusaha kaya manca negara dan Jakarta (Erb 2005). Dengan ini menjadi jelas bahwa
agenda promosi dan pembangunan pariwisata di Flores sejauh ini sejatinya dirancang
untuk memenuhi keinginan dan kepentingan kelas menengah ke atas, bukan untuk
kepentingan masyarakat miskin di Flores.

Tour de Flores2016, Relasi Sosial Produksi dan Reproduksi Kemiskinan

Para pihak penyelenggara TdF 2016, yang menguasai media cetak nasional, mencoba
meyakinkan publik Flores bahwa TdF 2016 sebagai investasi jangka pendek dan panjang
yang dapat mendatangkan keuntungan ekonomi senilai Rp. 20,4 triliun (Investor Daily
20/1/2016). Dengan janji keuntungan yang besar ini, kecuali pemerintah daerah Ngada
yang dipimpin oleh Bupati Marianus Sae (Sergap NTT, 15/4/2016, Tolo 2016), beberapa
pemerintah derah di Flores –termasuk pemerintah daerah Flores Timur yang sedang
berutang Rp. 9,5 miliar– dan pemerintah provinsi bersedia menyediakan dana senilai 16,5
miliar (Sergap NTT, 30/3/2016). Dana ini “dirampok” dan dianggarkan dari APBD 2016
yang sejatinya sudah ditetapkan tidak memiliki item pengeluaran untuk TdF 2016, yang
mana setiap kabupaten yang terlibat dan perintah provinsi harus menyediakan dana
masing-masing Rp. 1,5 miliar dan Rp. 3 miliar. Dari jumlah dana Rp. 16,5 miliar ini,
nantinya, Rp. 7-8 miliar akan dialokasikan untuk para pemenang TdF 2016 dan sisanya
digunakan untuk membiayai panitia penyelenggara yang umumnya beranggotakan orang-
orang kaya di Jakarta.

Namun, proyeksi dan predikis spekulatif keuntungan Rp. 20,4 triliun dari penyelenggara
TdF 2016 bukanlah angka pasti yang bisa diraup oleh pemerintah dan masyarakat daerah.
Jika melihat ekonomi politik pembangunan pariwisata selama ini di Flores, keuntungan
dari penyelenggara TdF 2016 tidak akan dinikmati oleh pemerintah daerah dan
masyarakat Flores. Begitu juga jika melihat pengalaman tour serupa di Indonesia, seperti
Tour de Singkarak misalnya, agak susah untuk diyakinkan bahwa TdF 2016 akan
membawa keuntungan bagi masyarakat Flores. Jonimar Boer, anggota Komisi II Bidang
Pembangungan DPRD Sumatra Barat, secara pribadi menolak Tour de Singkarak yang
telah dilaksanakan sejak tahun 2009, karena begitu besar dana yang dikeluarkan oleh
pemerintah provinsi Sumbar untuk Tour de Singkarak, tetapi tidak berdampak positif bagi
ekonomi masyarakat. Boer berkesimpulan bahwa dalam penyelenggaraan Tour de
Singkarak “[k]euntungan terbesar justru diraih pihak-pihak dari pusat , terutama panitia
penyelenggara. Sementara rakyat Sumbar lebih berada pada posisi penonton di daerah
sendiri (Republika 20/3/2012).” Seorang warga Padang juga memiliki kesan yang sama
bahwa “acara tahunan ini membuat dampak yang negatif juga terhadap masyarakat,
8/20
terutama bagi kita yang berdomosili di Kota Padang, di mana kita mengalami kemacetan
yang sangat panjang sehingga mengganggu dan merugikan masyarakat (Gosumbar
4/10/2015). Seorang sopir angkot jurusan Siteba-Pasar Raya di Padang mengeluhkan
dampak negatif Tour de Singkarak demikian: “[m]au bagaimana lagi, terpaksa hari ini
pulang tanpa gaji, pasalnya macet akibat Tour de Singkarak ini sangat panjang dan lama
sekali. Jangankan untuk gaji, untuk minyak serta setoran angkot saja entah bagaimana
nanti sore” (Pos Metro Padang 4/10/2015).[9] Tetapi, untuk menantang dan menghadang
keraguan dan fakta negatif seperti ini dalam penyelenggaraan TdF 2016, Dorimulu (2015),
Chairman TdF 2016, menjawab agak panjang lebar demikian:

Ketika Tour de Flores (TdF) menggema, ada pihak yang bertanya, “Apa dampak pariwisata
bagi rakyat Flores dan NTT? Jangan-jangan, pariwisata membuat orang Flores dan NTT
makin melarat.” “Oh, dampak positif, TdF dan pariwisata Flores tergantung pada respons
pemda dan rakyat setempat,” jawab saya. Masyarakat lokal akan mendapatkan dampak
positif dari kegiatan pariwisata jika bahan makanan dan makanan jadi yang dibeli hotel,
restoran, dan wisatawan berasal dari daerah setempat. …[S]ouvenir yang dibeli pelancong
berasal dari masyarakat setempat. …[T]ransportasi lokal disediakan oleh pengusaha lokal.
…[R]estoran dimiliki oleh masyarakat setempat. …[M]asyarakat lokal pemilik tanah ikut
memiliki saham hotel dan restoran yang dibangun. Tanah penduduk tidak dilepas habis,
melainkan disewakan kepada pemodal besar. …[P]ara pekerja di hotel, restoran, toko, biro
perjalanan berasal dari daerah setempat. …[A]da budaya lokal yang dikemas menjadi seni
pertunjukan rutin. Nyanyian dan tarian adat bisa dikelola dengan baik menjadi uang jika
pemda membantu menyediakan acara malam kesenian di gedung atau lokasi kesenian. …
[P]enduduk setempat ikut memiliki home stay.

Pernyataan Dorimulu (2015) ini tidak memiliki dasar argumentatif yang kokoh untuk
mempertanggungjawabkan jargon, premis dan hipotesis imaginernya ini. Seperti apa yang
ditegaskan oleh Erb (2000) ketika menilai kegiatan Penti Manggarai 2001 bahwa orang-
orang kaya Flores, yang lama tinggal di Jakarta, yang menginisiasi kegiatan kultural untuk
tujuan menggenjot pembangunan pariwisata, sudah tidak lagi mengenal realitas sosial,
budaya, ekonomi dan politik masyarakat Flores. Kekurangan referensi pengetahuan
tentang hal ini berimplikasi pada jalan keluar yang ditawarkan terhadap suatu persoalan
cenderung kontra produktif. Dalam konteks pernyataan yang dikutip panjang lebar di atas,
Dorimulu (2015) sepertinya abai terhadap realitas ketimpangan relasi sosial produksi
dalam masyarakat Flores hari ini, seperti yang telah dijelaskan pada bagian kedua dari
tulisan ini. Bagaimana masyarakat Flores bisa terlibat aktif dalam TdF 2016 seperti yang
disarankan oleh Dorimulu (2015), jika kondisi obyektif-material hari ini, mayoritas
masyarakat masih harus berhadapan dengan rintangan struktural yang sudah membantu
sejak lama di Flores. Seruan-seruan “profetis-spekulatif” seorang Dorimulu (2015)
menjadi tak bermakna jika menengok formasi kelas sosial dan konstelasi politik dalam
ranah birokrasi, politik, dan Gereja Katolik di Flores hari ini. Bagaimana masyarakat Flores
bisa turut serta dalam menikmati “kue pembangunan” yang akan dibawa oleh TdF 2016
jika sumber-sumber ekonomi, baik di sektor agraria maupun di sektor institusi pemerintah,
politik dan Gereja Katolik hari ini di Flores hanya bersirkulasi di antara kelas sosial atas di
Flores yang menduduki posisi strategis di lembaga birokrasi, politik dan Gereja Katolik
(Erb 2005, Prior 2013). Apalagi hampir sekitar 97 persen APDB di Flores adalah kucuran
dari pemerintah pusat, yang berpotensi menjadi “lahan basah” perebutan sumber ekonomi
9/20
dan politik bagi kelas sosial menengah atas di Flores (Obon 2007, Kompas 2011). Dengan
demikian, jurus-jurus pembangunan yang ditawarkan oleh Dorimulu (2015) di atas
memang tidak sinkron dengan kondisi obyektif-material masyarakat Flores hari ini. Karena
itu, janji-janji bahwa TdF 2016 akan menyejahterahkan seluruh lapisan masyarakat Flores
yang dilontarkan oleh Dorimulu (2015) hanyalah sebuah “retorika imaginer-utopis”
seorang pemimpi, tanpa diakhiri huruf n (a dreamer). Pertanggungjawaban seorang
Dorimulu (2015) atas retorika imaginer-utopisnya ini menjadi semakin sulit dipertahankan
dan dipercaya ketika data dan fakta mutakhir membenarkan upaya pemerasan dana dari
pihak ketiga untuk kepentingan ekonomi dan politik pihak penyelenggara. Sebab, belum
lama ini, panitia TdF 2016 meminta “uang siluman” ratusan juta rupiah dari pihak ketiga
yang telah berniat sungguh-sungguh menggunakan dana pribadinya sendiri sekitar Rp.
400 juta hanya untuk menggelar fashion show memperkenalkan kepada dunia
internasional pakaian tradisional NTT pada acara puncak TdF 2016 di Labuan Bajo nanti
(Romualdus 2016). Memang sejauh ini belum ada temuan mengenai mark up anggaran
dan penyelewengan penggunaan dana TdF 2016, tetapi bukti mengenai permintaan “uang
siluman” ini sudah memberikan sinyalemen kuat bahwa ada ketidakberesan dalam tata
kelola keuangan TdF 2016 yang perlu diteliti dan ditelisik lebih jauh. Fakta dan data ini
mengkonfirmasikan temuan Erb (2009) bahwa, selama ini, promosi pariwisata di Flores
hanyalah sebuah “proyek” bagi pihak penyelenggara untuk meraup keuntungan ekonomi
dan politik bagi diri mereka sendiri.

Segaris dengan pemikiran Dorimulu (2015), beberapa pihak menilai bahwa TdF 2016 akan
mengingkatkan taraf ekonomi semua lapisan masyarakat dan membawa keberhasilan
pembangunan pariwisata di Flores, sebab Perancis, dengan Tour de France-nya, telah
membuktikan hal itu. Tentang hal ini, Eppedando (2016), salah satu anggota tim
penyelenggara TdF 2016, menulis demikian:

Tour de France berawal pada 1903 telah mencatat banyak pencapaian dan efek ekonomis
luar biasa bagi Eropa dan dunia. […] Dalam perkembangan, Tour de France bukan saja
melewati kota-kota di Perancis melainkan juga kota-kota di Eropa atas permintaan
beberapa organisasi publik dan pemerintah setempat. Mereka menilai bahwa Tour de
France bakal membawa dampak sosial dan ekonomi luar biasa. […] Tour de France akan
memasuki penyelenggaraan edisi ke-103 di [tahun] 2016. Sejarah, reputasi,
penyelenggaraan, selebrasi, dan kesuksesannya menjadi inspirasi dan model bagi Tour de
Flores dengan target bertahap yakni membawa dunia ke Flores dan menghadirkan Flores
di pentas dunia.
Pendapat Eppedando (2016) ini terlalu simplisitis dan menyerderhanakan persoalan.
Pertanyaan yang harus diajukan di sini adalah: mengapa Perancis berhasil dengan Tour de
France-nya? Kondisi obyektif-material macam apakah yang membuat Tour de France
berhasil mendongkrak ekonomi masyarakat Perancis? Pertama-tama harus diakui bahwa
Perancis, termasuk banyak negara di Eropa, telah berhasil melewati transisi agraria dan,
karena itu, ekonominya pada umumnya ditopang oleh sektor jasa. Ekonomi Perancis
sendiri ditopang oleh sektor jasa sebesar 78,49 persen dari total GDP, yang
mempekerjakan sekitar 74,09 persen dari total populasi. Sektor agraria hanya menopang
sekitar 1,69 persen yang mempekerjakan sekitar 2,90 persen dari total populasi dan
sektor manufaktur dan industri menyumbangkan 19,82 persen dari GDP yang
mempekerjakan 21,78 persen dari total populasi. Oleh Bank Dunia Perancis dikategorikan
10/20
sebagai “politeically stable” dengan koefisien gini sekitar 0,33 pada tahun 2012, yang
kurang lebih sama dengan koefisien gini pada tahun 1995. Pada tahun 2012, sekitar 58
persen penduduknya mampu mengakses pendidikan tinggi (World Bank 2015). Jika ingin
menilai Tour de France yang diselenggarakan sejak 1903 mungkin diperlukan data
mengenai koefien gini sejak saat itu. Perancis tidak seperti negara Eropa yang lain,
koefisien gini pada abad 18 dan 19, juga pada awal abad 20, tidak tersedia. Tetapi, dengan
penelitian Morrisson & Snyder (2000), dapat dibuktikan bahwa distribusi kekayaan di
Perancis pada sejak pecah Revolusi Perancis (1790-1815) menjadi semakin adil dan
merata. Morrisson & Snyder (2000: 71) memberikan beberapa alasan di dibalik
keberhasilan Perancis menurunkan kesenjangan ekonomi pasca Revolusi Perancis
sebagai berikut:

Setelah Revolusi kelas bawah mendapat manfaat dari penghapusan dime, pajak yang telah
merugikan mereka sebelumnya. Penghapusan hak-hak feodal bangsawan juga
meningkatkan pendapatan masyarakat kelas bawah, yakni para petani yang tidak lagi
tunduk untuk bekerja corvees dan kewajiban lain untuk seigneurs mereka. Mungkin aspek
yang paling penting lainnya adalah penyitaan properti gereja dan para bangsawan.
Barang-barang yang disita itu dilelang sebagai biens nationaux. Kelompok terbesar
pembeli adalah petani dan kaum borjuis yang sudah memiliki tanah dan memiliki sarana
untuk memperoleh lebih banyak, ada banyak dari jajaran yang lebih rendah dari hirarki
pertani yang juga dapat memperoleh beberapa bidang tanah yang dilelang oleh
pemerintah. Akibatnya, struktur agraria berubah secara dramatis. Di departemen baru
Nord, pangsa lahan yang dimiliki oleh para biarawan/biarawati dan kaum bangsawan
menurun dari 42 persen pada 1788 menjadi 12 persen pada tahun 1802, dan saham yang
dimiliki oleh paysans meningkat dari 30 persen menjadi 42 persen. Sebelum Revolusi,
petani di desa-desa di bagian Tenggara Perancis yang dianggap ‘tergantung’ karena
mereka tidak menguasai cukup lahan dan sumber daya lain untuk menghidupi keluarga
mereka, jika tidak mencari pekerjaan di luar sektor agraria, atau bergantung pada amal
kasih dari mereka yang secara ekonomi ‘independen’. Tapi setelah Revolusi, persentase
petani dengan kategori ‘tergantung’ menurun dari 46 persen menjadi 38 persen,
sedangkan persentase petani ‘independen’ meningkat dari 20 persen menjadi 32 persen.
Indikasi terkait lain yang diterima golongan pekerja dari golongan kelas yang lebih tinggi
adalah bahwa gaji pekerja perkotaan meningkat 62 persen pada tahun 1797-1803, jika
dibandingkan gaji pada tahun 1785-89, sedangkan harga gandum (indikator tunggal
terbaik untuk biaya hidup) hanya meningkat 28 persen selama periode yang sama.

Penyelenggaraan TdF 2016 dilaksanakan dalam struktur relasi sosial produksi yang
kurang lebih sama dengan Perancis sebelum terjadinya Revolusi di mana tanah dan
kekayaan masih terkonsentrasi pada golongan bangsawan, tuan tanah (mosalaki),
birokrat, politisi, pengusaha Tionghoa, pengusaha pariwisata, investor tambang, dan
Gereja Katolik di tengah 60% masyarakat Flores yang hanya mengenyam pendidik Sekolah
Dasar (Tolo 2013a). Di Manggarai Barat, tanah-tanah persawahan Lembor sudah jatuh
satu-satu ke tangan pengusaha Tionghoa. Di Manggarai, sudah sejak tahun 1970an
banyak tanah-tanah strategis bersertifikat milik masyarakat jatuh dalam genggaman para
birokrat dan orang kaya baru. Menurut Gordon (1975: 145-146) di Manggarai: Tanah-tanah
bersertifikat[10] dengan mudah diperjualbelikan, dan dalam dekade terakhir kelas baru

11/20
pengusaha kaya telah muncul di Manggarai yang mampu membeli tanah. …Mereka dapat
membeli jip, membangun rumah, dan membeli tanah. Biasanya mereka melakukan
ketiganya. Tetapi pembelian tanah selalu menjadi pilihan pertama mereka.

Karena keberadaan Taman Nasional Komodo sebagai destinasi pariwisata, tanah-tanah


strategis di Labuan Bajo juga jatuh satu-satu ke tangan pengusaha pariwisata, entah itu
melalui jual beli dengan masyarakat atau tender dengan pemerintah. Misalkan, menurut
laporan Tempo (6/3/2015), ketua DPR RI kala itu, Setya Novanto memenangi tender tanah
seluas 4 hektar di pantai Pede untuk mendirikan hotel senilai 120 miliar rupiah selama 25
tahun, dengan nilai sewa 1,3 miliar rupiah. Di Maumere, Tule (2013) juga mengakui bahwa
kongregasi religius Katolik SVD memiliki 200an hektar tanah pertanian dalam bentuk Hak
Guna Usaha (HGU) dengan kontrak berdurasi 50-70 tahun. Di Manggarai Barat, Dale
(2013) mengungkapkan salah satu konggregasi religius Katolik memiliki tanah sekitar
70an hektar. Di Ngada, sebuah paroki Gereja Katolik memiliki sekitar 6 hektar tanah
ladang dan sawah. Sementara itu, seminari-seminari di Flores, seperti seminari Mataloko,
seminari Kisol dan Seminari Hokeng, juga seminari Tinggi Ledalero, masing-masing
memiliki perkebunan yang luas (Tolo 2013). Banyak tanah yang dikuasai oleh Gereja
Katolik di Flores dewasa ini awalnya adalah tanah milik perusahaan dan perkebunan
Belanda yang pada mulanya dirampas baik secara koersif maupun konsensus dari
masyarakat Flores. Tanah-tanah ini akhirnya dijual murah kepada Gereja Katolik sebagai
bagian dari tindakan akumulasi melalui perampasan, seperti yang disinggung oleh Harvey
(2003), ketika Belanda harus meninggalkan Flores setelah Indonesia merdeka (Prior
2013). Dari sektor pertambangan, menurut laporan tulisan Hasiman (2013), banyak areal
tambang di NTT yang merupakan tanah ulayat masyarakat adat sudah dikuasai oleh
korporasi tambang baik nasional maupun multinasional. Di Manggarai, Regus (2011)
melaporkan banyak tanah ulayat (lingko) jatuh pada tangan investor tambang. Bahkan
beberapa wilayah hutan lindung menjadi wilayah konsesi tambang (Tolo 2013b, Regus
2011). Dalam kaitan dengan ini, pemerintah daerah selalu berpihak kepada korporasi
tambang dengan memberikan fasilitas dan kebijakan yang mengguntungkan koporasi dan
merugikan masyarakat. Pemerintah daerah di Flores cenderung melihat penyelesaain
terhadap persoalan pengangguran dan sumber daya manusia yang rendah adalah dengan
mendatangkan investor (Erb 2010). Karena itu, Regus (2011: 8) menulis demikian:
“[k]orporasi dan negara melakukan proses marginalisasi terhadap MLT.”[11] Dengan kondisi
struktur agraria seperti ini, pada tahun 2013, data menunjukkan bahwa 34 keluarga petani
kaya di Flores menguasai sekitar 476 hektar, sedangkan 78 petani gurem di Flores cuma
menguasai 27 hektar. Dengan kata lain, rata-rata keluarga petani kaya di Flores menguasai
17 kali lebih luas dari tanah keluarga petani gurem (Tolo 2013a, Tolo 2014). Dengan
struktur agraria yang demikian timpang, maka, walaupun pertumbuhan ekonomi positif,
tetapi tidak bermanfaat bagi peningkatan ekonomi masyarakat Flores. Data menunjukkan
bahwa, dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2010-2014), pemerintah provinsi NTT,
termasuk Flores, tampak riang dengan profil pertumbuhan ekonomi dan pendapatan
perkapita yang terus merangkak naik.[12] Namun, jika menengok fakta kemiskinan pada
tahun 2014, maka performa positif ini menjadi tidak bermakna. Sebab, dari total total 4,8
juta penduduk masih terdapat lebih dari 1 juta penduduk NTT dikategorikan sebagai orang
miskin. Koefisien gini NTT pada tahun 2014 juga masih tinggi, yakni 0,38.[13] Ini berarti
bahwa kinclongnya performa ekonomi NTT selama ini, termasuk pembangunan dalam
bidang sektor pariwisata, ternyata hanya dinikmati oleh segelintir elit politik, elit birokrasi,
12/20
elit ekonomi dan korporasi, tetapi menjadi beban bagi sekitar 1,32 juta petani dan sekitar
1,8 juta pekerja informal dari total 2,25 juta angkatan kerja.

Dengan demikian, penyelenggaraan TdF 2016 dalam struktur relasi sosial produksi seperti
yang terjadi di Flores hari ini memang tidak akan membawa kesejahteraan bagi
masyarakat Flores, bahkan justru akan mereproduksi kemiskinan di Flores. Pembelajaran
dari Tour de France untuk meningkatkan ekonomi masyarakat Flores bukan pertama-tama
terhadap bagaimana Perancis menyelenggarakan Tour de France melainkan kondisi
obyektif-material macam apakah yang memungkinkan Perancis mampu mendongkrak
kemajuan ekonomi semua lapisan masyarakatnya. Hal ini bisa terjadi karena Perancis
meletakan dasar kondisi obyektif-material yang relatif adil melalui sebuah Revolusi
Perancis, yang memungkinkan terjadinya distribusi kekayaan di antara masyarakat
Perancis sebelum diselenggarakannya Tour de France. Dalam kondisi demikian, Tour de
France memang mampu membuka peluang bisnis ekonomi pariwisata yang
memungkinkan semua lapisan sosial bisa terlibat dan mengalami Tour de France sebagai
moment of competition and fun , moment of friendship and peace dan moment of joy and
happiness, seperti pesan dari Theme Song TdF 2016 yang dikutip pada awal tulisan ini.
Tetapi, menurut penulis, “keajaiban” yang terjadi di Perancis ini tidak mungkin terealisir di
Flores dengan TdF 2016, sebab kondisi obyektif-material relasi sosial produksi di Flores
hari ini tidak memungkinkan semua lapisan sosial untuk terjun dalam detak nadi
pembangunan ekonomi pariwisata yang akan dibuka oleh TdF 2016. Alih-alih
mendongkrak pembangunan ekonomi seluruh lapisan sosial masyarakat Flores, TdF 2016
malah menjadi pembawa keberuntungan bagi kelas sosial atas semata, yang sedang
menguasai Flores hari ini dan juga rombongan orang kaya dari Jakarta dan manca negara
yang siap-siap merebut momentum ini.

Penutup

TdF 2016, secara ekonomi politik, merupakan agenda kelas menengah atas, baik di Flores
maupun di Jakarta ataupun manca negara, untuk memuluskan agenda akumulasi
kapitalnya. Tak ubahnya dengan paket promosi pariwisata di Flores selama ini, yang
hanya dijadikan sebagai “proyek” untuk mendapatkan dana dari pemerintah pusat untuk
kepentingan kelas menengah atas –birokrat, politisi, dan pengusaha pariwisata– di Flores
seperti yang ditulis oleh (Erb 2009), TdF juga akan mengulangi strategi dan intrik yang
kurang lebih sama. Perbedaannya hanyalah pada struktur aliansi yang sebelumnya hanya
beranggotakan kelas menengah atas di Flores, tetapi kali ini melibatkan aliansi tambun
dari banyak aktor, yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pelaku usaha bisnis
pariwisata. Aliansi tambun ini bersama-sama “merampok” Rp. 16,5 miliar dana APBD
untuk menyelenggarakan TdF 2016 yang sejatinya ditujukan untuk kepentingan kelas
menengah atas semata yang memiliki kekuasaan dan modal. Namun, pandangan sumir
terhadap TdF 2016 ini bukan saja karena wataknya yang bersifat “proyek,” tetapi juga
karena argumentasi yang mendasari TdF 2016 –sebagai upaya untuk menyejahterahkan
masyarakat Flores seperti yang terjadi dengan Tour de France untuk masyarakat
Perancis– tidak dapat dipertanggungjawabkan ketika dibenturkan dengan kondisi
obyektif-material masyarakaf Flores hari ini. Ketimpangan relasi sosial produksi
masyarakat Flores hari ini tidak menjadi dasar yang logis bagi terselengaranya TdF 2016
yang digadang-gadang akan membawa dampak positif bagi pembangunan pariwisata
13/20
untuk seluruh masyarakat Flores. Bisa jadi TdF 2016 akan membawa peningkatan
pertumbuhan ekonomi, tetapi bukan pembangunan ekonomi. Sebab, pertumbuhan
ekonomi tidak serta merta berarti pembangungan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi
merupakan perluasan ekonomi yang diukur oleh GNP. Akan tetapi, pembangunan ekonomi
tidak sekedar perluasan ekonomi saja, melainkan pertumbuhan ekonomi yang mandiri. Ini
berarti bahwa terdapat perbedaan kualitatif antara pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan ekonomi (Budiman 1987: 208).

Dengan demikian, jika TdF bisa menggenjot kedatangan pariwisata ke Flores hingga 4 juta
jiwa, seperti yang pernah ditegaskan oleh Primus Dorimulu, Chairman TdF 2016 (Investor
Daily, 24/11/2015), maka pertumbuhan ekonomi Flores tentunya akan naik, tetapi, dengan
relasi sosial produksi hari ini, maka perluasan ekonomi ini tidak serta merta meningkatkan
pembangunan di Flores. Hal ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi ini nantinya hanya
mengalir ke “kantong-kantong” kehidupan segelintir kelas menengah atas di Flores yang
hari ini sedang berkuasa dan juga para orang kaya dari Jakarta dan manca negara yang
akan menginvasi Flores dengan kapital dan kekuasaan yang mereka miliki. Karena itu,
kemiskinan akan terus bereproduksi di Flores melalui TdF 2016 dan TdF di masa-masa
yang akan datang. Jika masyarakat Flores berhasrat sungguh-sungguh untuk belajar dari
Perancis dengan Tour de France-nya, maka keinginan untuk menggelar Tour de Flores
mensyaratkan terjadinya Revolusi Flores terlebih dahulu.

REFERENSI

ALLERTON, C. (2003), Authentic Housing, Authentic Culture? Transforming A Village Into


a ‘Tourist Site’ in Manggarai, Eastern Indonesia, Indonesia and the Malay World 31, 89:
119-128.

ARNDT, P. (1958) Hinduismus der Ngadha. In Folklore Studies, Vol XVIII, Tokyo.

ARNDT, P. (1951). Nama, Paulus Sabon (Penerj. 2003). Agama Asli di Pulau Alor.
Maumere: Candraditya.

ARNDT, P. Nama, Paulus Sabon (penerj. 2002). Hubungan Kemasyarakatan di Wilayah


Sikka (Flores Tengah Bagian Timur). Maumere: Candraditya.

BEKKUM, WILHEMUS VAN (1946); M. AGUS (Penerj, 1974). Sejarah Manggarai (Warloka-
Todo-Pongkor), Unpublished manuscript.

BUDIMAN, ARIEF. (1987). Jalan Demokratis ke Sosialisme: Pengalaman Chili di Bawah


Allende. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

DALE,C.J.P (2013) Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan Sistemik. Kupang: Sunspirit


Books.

DORIMULU PRIMUS (2015). Dampak Positif Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal, Nagekeo
Bersatu, 24 November. Lihat juga di koepang.com, ditayang 2 Februari 2016 di
http://koepang.com/dampak-positif-pariwisata-bagi-masyarakat-lokal/.

14/20
EPPEDANDO, ROBERT (2016). Tour de Flores: Belajar dari Tour de France, Kompasiana, 29
Februari. Tulisan ini dapat diakses di http://www.kompasiana.com/roberteppedando/tour-
de-flores-belajar-dari-tour-de-france_56d3e9aec823bd9f14de90c6.

ERB, MARIBETH (2010). Kebangkitan Adat di Flores Barat: Budaya, Agama dan Tanah,
dalam Davidson, James S., et al., Adat dalam Politik Indonesia . Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.

______. (2009) Tourism as glitter Re-examining domestic tourismin Indonesia, dalam


Winter, Tim & Teo, Peggy, Chang, T.C. (Eds.), Asia on Tour : Exploring the Rise of Asian
Tourism, New York: Routledge.

_______. (2006). Between Empowerment and Power: The Rise of the Self-Supporting
Church in Western Flores, Eastern Indonesia 1, Journal of Social issues in Southeast Asia
21, 2: 204-229.

______. (2005a). Shaping a ‘New Manggarai’: Struggles over culture and tradition in an
Eastern Indonesian regency1. Asia Pacific Viewpoint, 46(3), 323-334.

______. (2005b). Limiting tourism and the limits of tourism: The production and
consumption of tourist attractions in western Flores. Indigenous tourism: The
commodification and management of culture, 157-181.

_______. (2000). Understanding tourists: interpretations from Indonesia. Annals of Tourism


Research, 27(3), 709-736.

FORTH, G (2001). Dualism and Hierarchy: Processes of Binary Combination in Keo Society ;
Oxford Studies in Social and Cultural Anthropology. England:Oxford University Press.

GORDON, JOHN LAMBERT (1975). The Manggarai: Economic and Social Transformation
in an Eastern Indonesia Society, PhD Thesis at Harvard University Cambridge,
Massachusetts.

HARVEY, D. (2003). The New Imperialism. New York: Oxford University Press.

HASIMAN, F. (2014) Monster Tambang. Jakarta: JICP OFM.

MACCANNELL, DEAN (1992). Empty Meeting Grounds: The Tourist Papers . London and
New York: Routledge.

MADUNG, O.G. & PRIOR J.M. (eds.) (2015). Berani Berhenti Berbohong: 50 Tahun
Pascapristiwa 1965-1966. Maumere: Ledalero, Litbang STFK Ledalero.

MAP CORNER (2016). “Ekonomi Politik Reklamasi Pantai”, Diskusi Mingguan 19 April.

METZNER, J.K. (1982). Agriculture and Population Pressure in Sikka, Isle of Flores: A
contribution to the study of the stability of agricultural systems in the wet and dry tropics,
Development Studies Centre Monograph No. 28, Australian National University.

MOLNAR, A. K. (1997) Christianity and Traditional Religion among the Hoga Sara of West-
Central Flores, Anthropos 92.

15/20
MORRISSON, CHRISTIAN & SNYDER, WAYNE (2000). The income inequality of France in
historical perspective, European Review of Economic History 4, 59-83.

MUDA, H (1986). The Supreme Being of the Ngadha People in Flores (Indonesia): Its
Transcendence and Immanence, Doctoral thesis, Pontifica Universita Gregoriana, Rome.

JALONG, FRANSISKUS (2011). Kairos dan Developmentalism: Politik Wacana Patronase di


Manggarai, Tesis Master, Universitas Gadjah Mada.

KLINKEN, van Gerry (2015a). The Making of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota
Kupang, 1930an-1980an. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta.

_______. (2015b). Pembunuhan di Maumere, Jurnal Ledalero 14: 1, 9-33.

KOMPAS. 2011. Ekspedisi Jejak Peradaban NTT: Laporan Jurnalistik Kompas . Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.

LELE, G. (2012), Flores dan Kemiskinan, wawancara di Yogyakarta, Univesitas Gadjah


Mada, 5 September.

OBON, FRANS (2007). “Mencari Rakyat dalam APBD”, Laporan Jurnalistik “Diskusi
Tematik Fakultas Ekonomi Universitas Flores, Fenomena Pengelolaan APBD Yang
Berpihak Pada Rakyat”, Ende, 22 Februari. Tulisan ini bisa diakses di
http://fransobon.blogspot.co.id/2007/07/mencari-rakyat-dalam-apbd.html.

ORINBAO, SARENG (1969). Nusa Nipa, Nama Pribumi Nusa Flores. Ende: Nusa Indah.

_______. (1992). Tata Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku-Bangsa Lio.
Maumere: SeminariTinggi St. Paulus Ledalero.

PARREIRA, M MONDALANGI (1988). Adat-Istiadat Sikka Krowe di Kabupaten Sikka .


Maumere, Flores.

PICARD, M (1997). Cultural Tourism, Nation-Building and Regional Culture: The Making of
a Balinese Identity, dalam M. Picard & R. E. Wood (Eds.).Tourism, Ethnicity and the State
in Asian and Pacific Societies. Honolulu: University of Hawaii Press.

PRIOR, J.M. (2013). “Land Disputes and the Church,” dalam Lucas, Anton & Warren, Carol,
Land For the People: The State and Agrarian Conflict in Indonesia, United States of
America: Center for International Studies.

_______. (2011). The Silent Scream of a Silenced History, Exchange 40:117-43, 311-12

REGUS, M. (2011). Tambang dan Perlawanan Rakyat: Studi Kasus Tambang di Manggarai,
NTT, Jurnal Sosiologi Masyarakat 16, 1: 1-28.

ROMUALDUS, SANDY (2016), ”Tour de Flores dan Uang Siluman”, wawancara via
Facebook, 8 Mei.

SATO, KAPTEN TASUKU & TENNIEN, P MARK (1957). Wignyanta, Thom (penerj, 1976).
Aku Terkenang Flores (I Remember Flores) . Ende: Nusa Indah.

16/20
TOLO, EYS (2012). Land Grabbing dan Kemiskinan di Flores, [ Opini], Flores Pos, 9 Oktober

_______. (2013a). Laporan Penelitian Tentang ‘Tradisi, Hakatas Tanah, dan Penciptaan
Kesejahteraan Masyarakat Lokal di Flores dan Maluku,’ Novevember 2013- February
2014.

_______. (2013b). Public Participation in the Implementation of Forestry Decentralization in


Indonesia, Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Universitas
Indonesia, 20 (2): 113-120.

_______. (2014). Land Grabbing dan ReformaAgraria Indonesia, Basis, No.01-02, Year 63,
Yogyakarta.

_______. (2016). ‘Tour de Flores, Perampokan APBD, dan Gugatan Marianus Sae’,
Indoprogress, 5 Mei. Tulisan ini bisa dilihat di sini http://indoprogress.com/2016/05/tour-
de-flores-perampokan-apbd-dan-gugatan-marianus-sae/.

TULE, P. (2004) Longing for the House of God, Dwelling in the House of Ancestors: Local
Belief, Christianity, and Islam among the Keo of Central Flores. Freiberg, Switzerland: Studia
Instituti Anthropos 50, Academic Press.

_______. (2006). “We are Children of the Land: A Keo Perspective,” dalam Reuter, Thomas
(Ed.), Sharing the Earth, Dividing the Land: Land and Territory in the Austronesian World.
Australia: ANU Press.

_______. (2013). “Comunal Land Tenure in Flores”, Paper dipresentasikan kepada


mahasiswa University of Agder Norwegia di Maumere, Ledalero.

WEBB, RAFP (1986). Adat and Christianity in Nusa Tenggara Timur: Reaction and
Counteraction, Philippine Quarterly of Culture and Society , 14: 339-365.

WALPOLE, M.J, et. al (2001). Pricing Policy for Tourism in Protected Areas: Lessons from
Komodo National Park, Indonesia, Conservation Biology15, 1: 218-227.

[1] Pertanyataan Dorimulu (2015) bahwa “pariwisata bukan kegiatan eksploitatif” tentunya
bersifat apriori dan spekulatif, tanpa dasar penelitian ilmiah yang bisa
dipertanggungjawabkan. Pernyataan seperti ini menunjukkan dan menegaskan
keterbatasan pengetahuan dan informasi seorang Dorimulu (2015) karena belum pernah
membaca dan merefleksikan soal dampak perkembangan pariwisata di dunia, atau pun
belum sama sekali membaca tulisan-tulisan tentang tema seperti ini yang membahas
perkembangan pariwisata di Indonesia, misalnya di Bali, yang ditulis oleh Picard (1997),
Warren (1998), Aditjondro (1995), dan Suasta & Connor (1999). Para penulis dengan latar
belakang akademis dan pengalaman penelitian internasional yang panjang ini menarik
kesimpulan yang jauh berbeda dari Dorimulu (2015): bahwa perkembangan pariwisata
memiliki dampak-dampak eksploitatif, apalagi jika terdapat struktur relasi produksi yang
timpang di mana pembangunan pariwisata itu dilaksanakan. Dorimulu (2015) mungkin
juga tidak tahu, seperti apa yang ditulis oleh Dean MacCannel 1992: 1), bahwa: “pariwisata
tidak semata sebuah agregasi dari aktivitas-aktivitas komersial semata; ia juga merupakan

17/20
sebuah pembentukan ideologi sejarah, alam dan tradisi; sebuah pembentukan yang
memiliki kekuasaan untuk membentuk kembali budaya dan alam agar sesuai dengan
keinginan-keinginannya sendiri.”

[2] Menurut Arndt (2002), pada jaman dahulu kala, di Sikka ada beberapa fakta tentang
stratifikasi sosial terendah dalam masyarakat, yakni hamba. Pertama, hamba bisa
diperjualbelikan, pada penculikan manusia untuk dijadikan hamba, hamba juga berasal
dari tawanan perang, dan orang orang yang tidak bisa membayar utang bisa menjadi
hamba. Kedua, hamba digunakan seperti benda sebagai milik pribadi. Ketiga, di masa lalu,
khususnya anak-anak, agar bisa dijadikan hamba, orang kaya biasanya meletakan barang
berharga dan istimewa dipinggir jalan yang menggiurkan anak-anak. Ketika anak-anak
mengambilnya dia akan ditangkap dan dijadikan hamba. Keempat, orang tua yang tidak
bisa membayar utang menjual anak mereka sebagai hamba. Kelima, anak-anak nakal akan
dijual oleh orang tua mereka sebagai hamba. Keenam, hamba muda yang sehat dapat
dijual seharga 80 gulden, dan harganya lebih rendah jika tuannya membutuhkan uang.
Ketujuh, hamba bisa dibebaskan, jika seseorang atau keluarganya menebusnya dengan
membayar sejumlah uang. Kedelapan, jika hamba merasa tidak diperlakukan baik oleh
tuannya, dia bisa komplain pada rajanya. Karena itu, di Sikka, tuan yang membunuh
hambanya mendapat hukuman dari rajanya. Kemungkinan ada pengaruh Kristianitas
dalam hal ini. Kesembilan, seorang tuan dapat menjadikan hamba perempuannya sebagai
istri kedua, tetapi anak-anak yang lahir dari istri hamba derajatnya lebih rendah dari ibu
pertama yang bukan hamba. Kesepuluh, hamba biasanya tinggal di pondok di kebun. Jika
ada pesta di kampung, mereka datang hadir dan tidak diijinkan masuk dalam rumah
kecuali di koridor rumah.

[3] Setelah kerajaan Majapahit runtuh, dua kerajaan kecil yakni Goa dan Ternate menjajah
Flores. Pada abad 15 dan 16, Goa menguasai Flores di bagian Barat dan Tengah, dan
Flores bagian Timur diduduki oleh kerajaan Ternate (Orinbao 1969). Tetapi, kekuasaan
kedua kerajaan kecil ini tidak berlangsung lama karena kedatangan bangsa Eropa, yakni
Portugis dan Belanda pada abad 16. Flores bagian Barat, yakni Manggarai, dengan
bantuan Belanda, akhirnya jatuh dalam kekuasaan kesultanan Bima pada abad ke 18
(Gordon 1975). Namun, menurut laporan lain, Manggarai sudah jatuh ke tangan Bima
sejak tahun 1667 akibat perjanjian Bongaya (Erb 2010). Perjanjian Bongaya (Bongaaisch
Tractaat) adalah perjanjian antara Belanda dan Makassar yang mana pihak Makasar yang
berhasil ditaklukan Belanda harus membayar 1.000 hamba kepada Belanda. Pada saat itu
harga untuk seorang hamba adalah senilai 75 guilders (Gordon 1975).

[4] Menurut catatan Orinbao (1969), nama pulau Flores yang sebenarnya adalah Nusa
Nipa, sebab nama ini lebih mewakili keadaan flora dan fauna di pulau Flores. Menurut
catatan sejarah, nama pulau Flores berganti-ganti. Sejak tahun 1287, pulau Flores
bernama Solot. Namun, ketika Portugis datang, mereka tidak menemui nama pribumi
pulau Flores, karena itu, mereka menamai pulau ini Cabo de Flores, yang berarti Tanjung
Bunga. Pada tahun 1636, nama Flores di pakai secara resmi oleh Gubernur Jendral Hindia
Belanda Hendrik Brouwer. Nama inilah yang kemudian dipakai hingga saat ini.

[5]Selain itu, para hamba dan keturunan hamba tidak bisa menikah dengan keturunan
tuan, terutama wanita dari keturunan tuan tidak bisa menikah dengan pria dari keturunan
hamba. Dewasa ini, latar belakang mengenai stratifikasi sosial masih menjadi
18/20
pertimbangan orang Flores ketika mencari jodoh, walaupun tidak dibicarakan secara
terang-terangan. Pada jaman dahulu, jika terjadi perkawinan antara keturunan hamba dan
keturunan tuan, maka keturunan hamba akan dibunuh secara kejam. Misalnya, di Ngada,
Muda (1986: 47) menulis demikian: ‘the offender is hung up on the top of the bamboo far
away from the village and then pierced with arrows or lances by the people’.

[6]Menurut laporan Bekkum (1974), di jaman dulu, di Flores, seorang hamba dihargai
dengan dua ekor kerbau di pantai selatan Flores (Aimere), tetapi di daerah pedalaman
Ngada lebih mahal, yakni seorang hamba dihargai enam ekor kerbau. Masyarakat
Manggarai yang membutuhkan hamba sering membeli hamba di Aimere dan Ngada untuk
diserahkan sebagai upeti kepada kesultanan Bima yang menguasai Manggarai sejak abad
18 (Gordon 1975), bahkan menurut laporan lain sejak tahun 1667 akibat perjanjian
Bongaya (Erb 2010). Tentang pembayaran hamba kepada Bima ini, menurut J.P Freijss
sebagaimana dikutip oleh Bekkum (1974) ‘empat Dalu (Lamba Leda, Cibal, Todo and Bajo)
masing-masing membayar 10 orang hamba setiap tahun; sedangkan ke-8 Dalu yang lain 5
orang hamba. Apalagi ada beberapa Dalu seperti Pongkor tidak mau membayar upeti
kepada kesultanan Bima. Sebelum tahun 1815, Bima lebih berkuasa dari pada kemudian;
pada waktu itu mungkin sampai 2000 orang hamba setahun diekspor. Menurut Bima,
bahwa Ia berhak menerima 3-4000 hamba setiap tahun’.

[7] Sistem lodok memastikan pembagian tanah yang mana setiap keluarga dalam mbaru
gendang mendapatkan beberapa keping tanah dari beberapa lingko yang berbeda yang
digarap setiap tahun berdasarkan sistem budidaya kampung (Erb 2010).

[8] Menurut penelitian Maribeth Erb (2000), turis pertama yang mengunjungi Flores,
khususnya Manggarai, adalah pasutri Kuhn yang berasal dari Jerman pada tahun 1967.
Pasangan Kuhn ini tiba di Flores dengan kapal laut di Labuan Bajo. Ketika itu, tidak
terdapat satu pun akomodasi untuk wisatawan di Labuan Bajo. Karena itu, pasangan ini
menginap di rumah bapak camat di Labuan Bajo dan melanjutkan perjalanan ke Ruteng
dengan menunggang kuda. Sejak kedatangan pasutri Jerman ini, Flores mulai dikunjungi
wisatawan. Namun hingga pertengahan tahun1980an geliat pariwisata Flores masih tak
terurus dan terabaikan baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.

[9] Berdasarkan penelitian penulis, pada umumnya suara-suara sumir berkaitan dengan
penyelenggaraan Tour de Singkarak ini digemakan oleh media-media lokal, sementara itu
media-media besar nasional yang dikuasi oleh para pemilik modal yang berkepentingan
dengan pelaksanaan Tour de Singkarak, juga nanti Tour de Flores 2016, memilih bungkam
dan memberi dukungan penuh tanpa melihat keadaan riil dampak negatif di masyarakat.

[10] Kepemilikan tanah bersertifikat di Indonesia memang berkontribusi meningkatkan


transaksi penjualan dan pembelian tanah. Misalnya, di tahun 2011-2013 saja terdapat
sekitar 2,3 juta transaksi penjualan dan pembelian tanah bersertifikat di Indonesia (BPN
2013).

[11]Yang dimaksudkan dengan MLT adalah masyarakat lokal.

[12] Pertumbuhan ekonomi di NTT beberapa tahun terakhir selalu positif, yakni 5,63%
(2010-2012), 6,0% (2013) dan 6,25% (2014). Sementara itu, pendapatan perkapita juga
terus naik, yaitu 4,5 juta rupiah (2008), 5,7 juta rupiah (2010) dan 6,1 juta rupiah (2011)
19/20
dan 7,8 juta rupiah (2014).

[13] Koefisien Gini adalah cara pengukuran yang ditemukan oleh statitikus Italia, Corrado
Gini, yang dipublikasikan oleh pada tahun 1012 dalam karyanya Variabilità e mutabilità,
yang digunakan untuk mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan, termasuk
kekayaan dalam kepemilikan tanah. Di Indonesia, pada tahun 2014, koefisien gininya
mencapai 0,38, yang mengandung arti bahwa hanya 1% penduduk menguasai 38% dari
total sumber daya ekonomi di NTT, salah satunya sumber daya ekonomi adalah dalam
bentuk tanah. Dalam konteks corak ekonomi seperti ini, peningkatan pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan perkapita NTT memang hanya mengalir ke kantong segelintir
orang yang menguasai tanah sebagai faktor produksi yang paling penting di NTT. Karena
itu, pertumbuhan dalam sektor pertanian –sebagai sektor yang menyumbang
pertumbuhan tertinggi sebesar 1,05% pada tahun 2014- hanya dinikmati oleh segelintir elit
dan korporasi tertentu saja.

20/20

Anda mungkin juga menyukai