Anda di halaman 1dari 10

IPTEK DAN SENI DALAM ISLAM

A. Pengertian Ilmu
Munculnya suatu ilmu tidak lepas dari suatu pengetahuan yang diperoleh
sebelumnya. Seseorang tidak mungkin mendapatkan suatu ilmu jika yang bersangkutan
belum mendapatkan suatu pengetahuan. Oleh karena itu suatu ilmu sering juga disebut
dengan pengetahuan, dan atau sering digabungkan menjadi ilmu pengetahuan.
Pengetahuan itu sendiri dapat diperoleh melalui indera dalam memahami fenomena yang
ada di sekitar lingkungannya (Empirisme). Pengetahuan manusia hanya dapat diperoleh
melalui pengalaman, dan tanpa pengalaman manusia tidak akan dapat memperoleh
pengetahuan. Pada sisi lain pengetahuan juga dapat diperoleh melalui ide-ide yang berada
dalam fikirannya (Rasionalisme). Pada aliran empirisme metode yang digunakan adalah
induktif (suatu metode ilmiah yang bergerak dari hal-hal yang bersifat khusus
(individual) menuju hal-hal yang bersifat umum), sedangkan pada aliran rasionalisme
metode penelaahannya adalah menggunakan metode deduktif (suatu metode yang
bergerak dari hal-hal yang bersifat umum/universal kemudian atas dasar itu ditetapkan
hal-hal yang bersifat khusus).
Pembahasan mengenai ilmu ini, al-Qur’an tidak secara tegas mengikuti aliran-
aliran tertentu, tetapi kalau menelusuri ayat demi demi ayat, maka kedua metode tersebut
digunakan oleh al-Qur’an. Ketika manusia diperintah Allah untuk memperhatikan,
menelaah dan meneliti fenomena alam semesta (lihat Q.S. 3 : 191), maka pada dasarnya
metode induktif itulah sedang ditawarkan al-Qur’an. Observasi dan eksperimentasi
didasarkan pada fakta-fakta yang dapat diuji kebenarannya. Kemudian ketika manusia
diperintah menyatakan bahwa Tuhan itu Esa, maka hakekatnya Allah telah mengenalkan
metode deduktif.
Melalui cara induktif atau deduktif itulah maka ilmu dinyatakan sebagai sistem dari
pelbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaaan
pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan metode-metode tertentu. Kemudian
ilmu juga dapat didefinisikan sebagai suatu sistem dari pelbagai pengetahuan, yang
masing-masing mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu, yang disusun sedemikian
rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi kesatuan (lihat Ensiklopedia Indonesia).
Ilmu sebagai hasil dari produk pemikiran manusia adalah berbeda dengan agama.
Oleh karena itu ilmu sebagai pengetahuan yang disusun secara sistematis dan
mempunyai metode tertentu, ketepatan dan kebenarannya dapat diuji secara empiris,
dapat diriset dan dapat dieksperimen. Hal ini membawa konsekuensi bahwa nilai
kebenaran ilmu bersifat relatif. Dalam pengertian lain ilmu sering dikatakan sebagai a
posteriori yakni kesimpulan-kesimpulannya ditarik setelah ada pengujian yang berulang-
ulang; dan untuk beberapa ilmu harus dilengkapi dengan percobaan dan pendalaman
untuk mendapatkan essensinya.
Islam sangat mendorong umat manusia untuk mencari ilmu pengetahuan. Sebab dengan
ilmu manusia dapat mengelola dan mengolah alam semesta dengan sebaik-baiknya.
Dengan ilmu fenomena alam dapat diamati secara teliti. Dengan ilmu, manusia menjadi
dekat dengan Penciptanya dan terangkat derajatnya. Bahkan dengan lmu manusia dapat
mengetahui keutuhan dirinya. Allah berfirman dalam surat Az-Zumar : 9 yang berbunyi :

‫ن ِإّنَمتتا َيَت تَذّكُر‬


َ ‫ن لَ َيْعَلُمتتو‬
َ ‫ن َواّلِذي‬
َ ‫ن َيْعَلُمو‬
َ ‫سَتِوي اّلِذي‬
ْ ‫ل َي‬ ْ ‫ل َه‬
ْ ‫ُق‬
. ‫ب‬
ِ ‫لْلَبا‬
َْ ‫ُأْوُلوا ا‬
Artinya : Katakanlah ! Apakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan
orang-orang yang tidak mengetahui (tidak berilmu)? Sesungguhnya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran.
Kemudian pada surat Al-Mujadalah : 11, ditegaskan :

‫حوا‬
ُ‫س‬ َ ‫س َفاْف‬
ِ ‫جاِل‬ َ ‫حوا ِفي اْلَم‬ ُ‫س‬ ّ ‫ل َلُكْم َتَف‬
َ ‫ن آَمُنوا ِإَذا ِقي‬َ ‫َيا َأّيَها اّلِذي‬
‫ن آَمُنوا‬َ ‫ل اّلِذي‬ُّ ‫شُزوا َيْرَفِع ا‬ ُ ‫شُزوا َفان‬ ُ ‫ل ان‬َ ‫ل َلُكْم َوِإَذا ِقي‬
ُّ ‫ح ا‬ِ‫س‬ َ ْ‫َيف‬
. ‫ر‬
ٌ ‫خِبي‬
َ ‫ن‬ َ ‫ل ِبَما َتْعَمُلو‬
ُّ ‫ت َوا‬ٍ ‫جا‬ َ ‫ن ُأوُتوا اْلِعْلَم َدَر‬َ ‫ِمنُكْم َواّلِذي‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: Berlapang-
lapanglah dalam majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan: Berdirilah kamu !, maka berdirilah, niscaya Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang
dibneri ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.

Demikianlah betapa kuat dorongan al-Qur’an terhadap penguasaan ilmu


pengetahuan oleh umat manusia. Ilmu yang dikembangkan menurut al-Qur’an mestinya
ilmu yang membawa manfaat bagi kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Bukan
ilmu yang mengakibatkan kehidupan manusia berikut berbagai elemennya musnah.
Namun demikian Islam melihat kedudukan ilmu pengetahuan apapun sebagai sesuatu
yang netral, tergantung siapa yang mempergunakannya.

B. Syarat suatu Ilmu


Dari sisi filsafat, suatu pengetahuan dapat dikategorikan sebagai ilmu apabila memenuhi
tiga unsur pokok, yaitu:
1. Ontologi; yaitu suatu bidang studi memiliki obyek studi yang jelas. Artinya bahwa suatu
bidang studi harus dapat didefinisikan, dapat diberi batasan, dapat diuraikan, tentang
sifat-sifatnya yang essensial. Inti ontologi adalah membahas hakikat suatu ilmu dan
digunakan sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan.
2. Epistemologi; yaitu suatu bidang studi hendaklah memiliki metode kerja yang jelas.
Apakah perwujudannya melalui metode deduktif maupun induktif. Kedua meteode
tersebut sebagai metode ilmiah untuk memproses pengetahuan menjadi ilmu. Al-Qur’an
banyak memberikan isyarat penggunaan metode tersebut. Sebagaimana ketika manusia
diperimntahkan Allah untuk memperhatikan alam yang sangat luas, benda-benda langit,
makhluk biologis, laut yang terhampar, dsb. Hal ini dapat dicontohkan Firman Allah
dalam al-Qur’an surat Al-Ankabut : 41-43.
ِ‫ل اْلَعنَكُبتتوت‬ِ ‫ل ت َأْوِلَيتتاء َكَمَث ت‬
ِّ ‫ن ا‬ِ ‫خ تُذوا ِمتتن ُدو‬ َ ‫ن اّت‬َ ‫ل اّل تِذي‬ ُ ‫َمَث ت‬
‫ت َلتْو كَتتاُنوا‬
ِ ‫ت اْلَعنَكُبتتو‬ُ ‫ت َلَبْيت‬ ِ ‫ن اْلُبُيتتو‬
َ ‫ن َأْوَهت‬ّ ‫ت َبْيًتتتا َوِإ‬ْ ‫ختَذ‬َ ‫اّت‬
{41} ‫ن‬ َ ‫َيْعَلُمو‬
‫يٍء َوُهتَو اْلَعِزيتُز‬ ْ ‫شت‬
َ ‫ن ِمتتن ُدوِنتِه ِمتتن‬ َ ‫عو‬ُ ‫ل َيْعَلتُم َمتتا َيتْد‬ َّ ‫ن ا‬ّ ‫ِإ‬
{42} ‫اْلحَِكيُم‬
{43} ‫ن‬ َ ‫ل اْلَعاِلُمو‬ّ ‫س َوَما َيْعِقُلَها ِإ‬ِ ‫ضِرُبَها ِللّنا‬ْ ‫ل َن‬ ُ ‫لْمَثا‬ َْ ‫ك ا‬َ ‫َوِتْل‬
Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung- pelindung selain
Allah adalah seperti laba-Laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang
paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya Allah
mengetahui apa saja yang mereka seru selain Allah. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan
tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.
Aksiologi, yaitu bahwa suatu ilmu pengetahuan hendaklah memiliki nilai guna bagi
kehidupan manusia. Jika nilai guna tersebut tida terdapat dalam suatu bidang studi, maka
ilmu tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai ilmu, baru merupakan suatu pengetahuan.
Dalam Islam penerapan suatu ilmu hendaklah didasarkan pada etika (moral) Islam, agar
secara ilmiah tidak berat sebelah. Oleh karena itu pada dasarnya suatu ilmu memerlukan
basis iman, dan iman memerlukan landasan ilmu, kemudian keduanya akan bermuara
pada amal sholeh.

C. Filsafat dan Agama


Kata Filsafat berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata Philosophia. Philo atau
philein berarti cinta (loving), sedangkan sophia berarti : pengetahuan, kebijaksanaan
(hikmah, wisdom). Dengan demikian Philosophia adalah cinta kebjaksanaan. Adapun
orang yang yang mendalam filsafat-nya disebut failosuf atau filosuf.
Dalam bahasa Arab kata filsafat biasanya dipergunakan kata falsafat. Kata falsafat
sendiri dlam bahasa Arab sering diidentikkan dengan kata hikmah yang berarti
kebijaksanaan. Namun apabila merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an, maka tidak semua kata
hikmah konteksnya bermakna falsafah.
Alat yang digunakan untuk memproses kegiatan filsafat adalah akal atau rasio.
Para cendekiawan sepakat bahwa akal manusia meskipun mempunyai daya jangkau dan
daya analisa yang luar biasa, namun tetap saja akal atau rasio itu bersifat nisbi atau
terbatas. Sebab akal tidak mampu menjangkau semua persoalan yang ada dihadapannya
secara tuntas. Oleh karena itu hasil olahan dari kegiatan filsafat ini adalah hanya
kebenaran relatif (nisbi). Suatu kebenaran yang tidak benar. Melihat prosesnya yang
demikian rumit dan sulit, karena pemikirannya sering bersifat abstrak, sulit diuji coba,
diteliti, maka pemikirannya sering disebut dengan pemikiran spekulatif, sehingga
kebenarannyapun adalah kebenaran yang bersifat spekulasi.
Meski demikian melalui proses kegiatan filsafat, orang dapat sampai pada
keyakinan atau sekurang-kurangnya pengetahuan tentang adanya Tuhan. Tetapi
sebaliknya dengan filsafat orang dapat terjerumus dalam kekafiran. Sehingga filsafat
sering diumpamakan bagai sebilah pisau tajam bermata dua, yang dapat dimanfaatkan
tetapi apabila salah mempergunakannya dapat membahayakan dirinya.

Bagaimana dengan agama ?


Para filosuf sepakat bahwa agama merupakan ilmu Ilahiah. Jalur agama adalah
melalui keimanan, dan pembawanya (nabi) memperoleh pengetahuannya melalui wahyu,
sehingga tanpa memerlukan proses pemikiran atau pemaparan. Kebenaran agama
dipandang sebagai kebenaran mutlak, sedangkan pengetahuan selain yang berasal dari
agama dipandang sebagai kebenaran nisbi yang setiap saat dapat berubah dan keliru.
Oleh karena itu kebenaran yang demikian sering dijadikan sebagai landasan legitimasi
kaum agamawan dalam mengaplikasikan doktrin-doktrin keagamaan, meskipun doktrin
tersebut sebagai hasil interpretasi para ulama atau dirinya sendiri.
Ketika Al-Kindi menangkis pernyataan kaum agamawan yang menuduh para
filosuf itu kufr dan pembuat bid’ah, disebabkan pemberdayaan logika dalam upaya
mengetahui hakikat segala sesuatu, menyatakan bahwa : para agamawan mengeluarkan
pernyataan demi agama hanya didasarkan untuk memperoleh kekuasaan (Syarif,
1992:17).
Tuduhan kaum agamawan terhadap para filosuf tersebut menggambarkan bahwa
dalam sisi intelektualpun agama sering dijadikan alat legitimasi dalam upaya
mendominasi pengaruh, baik yang berimplikasi politik (kekuasaan), ekonomi maupun
yang lainnya. Agama yang bersifat universal seringkali tereduksi menjadi lokal. Hal ini
menyebabkan subyektifitas interpretasi lebih menonjol, dibandingkan dengan interpretasi
yang bersifat objektif.
Dengan demikian agama tetap harus ditempatkan sebagai sesuatu yang wajar.
Artinya didalamnya, pertama, ada ajaran yang sakral, suci, ukhrawi, tidak bisa dirubah
melalui rekayasa akal manusia, apa adanya, dan kedua, di dalamnya juga ada ajaran yang
bersifat profan, duniawi dan bahkan harus dicerna melalui akal. Manusia harus mampu
memilah mana ajaran yang bersifat sakral dan mana yang profan, sehingga manusia tidak
terjebak dalam arus doktrinisasi agama melalui hawa nafsunya.
Antara filsafat dengan agama sering identik, namun keduanya ada perbedaannya.
Rasjidi (1983) menjelaskan perbedaan itu yaitu :
Dalam filsafat mempunyai ciri-ciri :
1. Filsafat berarti memikir, jadi yang penting adalah berfikir.
2. Menurut William Temple, filsafat adalah menuntut pengetahuan untuk memahami
3. C.S. Lewis membedakan enjoyment dan contemplation, misalnya laki-laki mencintai
perempuan. Rasa cinta disebut enjoyment, sedangkan memikirkan rasa cintanya disebut
contemplation, yaitu fikiran pencinta tentang rasa cintanya itu.
4. Filsafat banyak berhubugan dengan fikiran yang dingin dan tenang.
5. Filsafat dapat diumpamakan seperti telaga yang tenang dan jernih dan dapat dilihat
dasarnya.
6. Seorang ahli filsafat jika berhadapan dengan penganut aliran/faham lain biasanya bersifat
lunak.
7. Filsafat, walaupun bersifat tenang dalam pekerjaannya , tetapi sering mengeruhkan
fikiran pemeluknya.
8. Ahli filsafat mencari kelemahan dalam tiap-tiap pendirian dan argumen walaupun
argumennya sendiri.

Kemudian dalam Agama mempunyai ciri-ciri :


1. Agama berari mengabdikan diri, jadi yang penting adalah hidup secara beragama sesuai
dengan aturan –aturan agama itu
2. Agama menuntut pengetahuanuntuk beribadah yang terutama hubungan manusia dengan
Tuhan.
3. Agama dapat dikiaskan dengan enjoyment atau rasa cinta seseorang, rasa pengabdian
(dedication) atau contenment.
4. Agama banyak berhubungan dengan hati.
5. Agama dapat diumpamakan sebagai air sungai yang terjun dari bendungan dengan
gemuruhnya.
6. Agama, bagi pemeluk-pemeluknya akan mempertahankan agamanya dengan habis-
habisan, sebab mereka telah terikat dan mengabdikan diri.
7. Agama, di samping memenuhi keinginan pemeluknya dengan semangat dan perasaan
pengabdian diri, tetapi juga mempunyai efek yang menenangkan jiwa bagi pemeluknya.
8. Filsafat penting dalam mempelajari agama.

Perbedaan-perbedaan itu dalam sejarah memunculkan ejekan antara satu dengan


yang lainnya. Penganut agama mengejek filsafat, demikian pula penganut filsafat juga
mengejek agama. Kata penganut agama, bahwa selama bertahun-tahun ia mencari
kebenaran, namun hasilnya hanya kebenaran semu. Setiap mengira telah mendapat
kebenaran, kemudian disangsikan, dikritik dan ditinggalkan. Lihat kami !, kata penganut
agama, Kami percaya, titik. Dengan demikian tidak membuang-buang waktu untuk
mencari kebenaran, yang setelah didapat kemudian ditinggalkan lagi, karena ternyata
tidak benar. Ketahuilah, bahwa akal budi itu nisbi, relatif, ia tidak mungkin mampu
menangkap kebenaran yang sesungguhnya. Hatilah yang mampu menangkap kebenaran
sejati. Argumen demikian filsafatpun kemudian menjawab dengan suatu ejekan lagi.
Kami ingin kebenaran dari hasil tenaga sendiri. Kami bukan anak kecil yang mudah
percaya terhadap apa yang dikatakan. Sebab sesungguhnya kegembiraan dan kebahagiaan
itu terletak bukan pada kebenaran itu sendiri, melainkan pada waktu mencarinya.
Pertentangan ini kemudian dapat dijawab dengan ajaran Islam, yakni ketika
menjawab persoalan tentang alam. Islam membagi alam dalam tiga kategori, yaitu alam
nyata, alam ghaib nisbi dan alam ghaib hakiki.
1. Alam nyata adalah alam yang dapat diamati, dilihat, diselidiki, diteliti, ditelaah,diuji
coba, dilakukan eksperimen, dan oleh karena itu adalah merupkan lapangan ilmu;
2. Alam ghaib nisbi adalah alam yang masuk pada pengalaman manusia, tetapi masih
belum berhasil diuji coba, diteliti, dieksperimen, sehingga masuk dalam wilayah filsafat.
Namun jika kenisbian ghaibnya mampu dikuak oleh suatu ilmu, maka ia masuk dalam
wilayah kajian ilmu.
3. Alam ghaib hakiki yakni alam yang tak mungkin diamati, diselidiki, diuji coba, dan atau
dieksperimen oleh manusia, sebagaimana peristiwa sesudah mati, alam akhirat, dzat
tuhan dsb. Maka kajian ini masuk dalam wilayah agama.

D. Seni dalam Islam


Eksistensi manusia yang dibekali dengan intelektual, emosional dan spiritual,
memunculkan makhluk tersebut menjadi makhluk yang kreatif. Bukan saja ilmu yang
mereka peroleh, tetapi juga nilai-nilai kehidupan, seperti keindahan, keteraturan,
kenikmatan, kelezatan dan kebahagiaan.
Seni adalah merupakan ekspresi ruhani dan budaya manusia yang mengandung
nila-nilai keindahan. Ia lahir dari dorongan sisi terdalam manusia yang menuju pada
keindahan.Dorongan tersebut merupakan naluri atau fitrah yang dianugerahkan Allah
SWT. Allah berfirman :
َ ‫ل َتْبتتِدي‬
‫ل‬ َ ‫عَلْيَها‬
َ ‫س‬
َ ‫طَر الّنا‬َ ‫ل اّلِتي َف‬
ِّ ‫طَرَة ا‬ ْ ‫حِنيًفا ِف‬َ ‫ن‬ِ ‫ك ِللّدي‬
َ ‫جَه‬ْ ‫َفأَِقْم َو‬
{30} ‫ن‬ َ ‫ل َيْعَلُمو‬
َ ِ‫ن َأْكَثَر الّناس‬
ّ ‫ن اْلَقّيُم َوَلِك‬
ُ ‫ك الّدي‬
َ ‫ل َذِل‬
ِّ ‫ق ا‬ِ ‫خْل‬
َ ‫ِل‬
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui (Q.S. Ar-Rum:30).

Menurut M.Quraisy Syihab (199:385), adalah merupakan satu hal yang mustahil,
bila Allah yang menganugerahkan manusia potensi untuk menikmati dan
mengekspresikan keindahan, kemudian Dia sendiri melarangnya. Bukankah Islam adalah
agama fitrah ? Segala yang bertentangan dengan fitrah ditolaknya, dan yang mendukung
kesuciannya senantiasa ditopangnya.
Persoalan sering muncul ketika manusia tidak mampu memilah mana yang fitrah
dan mana yang nafsu. Ketika manusia merefleksikan keinginan-keinginan yang pada
dasarnya merupakan nafsu, seringkali dikira sebagai ungkapan fitrah. Oleh karena itu
dalam persoalan ini manusia harus memandang seni secara integral, komprehensif dan
menyeluruh.
Lapangan seni adalah semua yang ada, semua wujud. Manusi diperbolehkan
untuk menampilkan, menggambarkan dan bahkan berimajinasi kenyataan hidup dalam
masyarakat di mana saja mereka berada. Namun jangan sampai seni yang ditampilkan
bertentangan dengan fitrahnya, atau dengan wujud itu sendiri. Sebagaimana pemaparan
manusia hanya terbatas pada sisi jasmaninya saja, tidak disertai dengan unsur ruh Illahi
yang menjadikannya sebagi manusia.
Suatu umpama penuturan al-Qur’an mengenai kisah Yusuf (QS. Yusuf : 23-24)
yang sarat dengan seni penampilan. Ia mengemukakan : “Dan wanita (Zulaikha) yang
Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya)
dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini." Yusuf berkata: "Aku
berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik."
Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung. Sesungguhnya wanita itu
telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud
(melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Tuhannya.
Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian.
Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.

Penuturan al-Qur’an tersebut tidak larut dalam melukiskan suatu kejadian, dan
juga tidak berhenti sampai dalam gambaran itu. Karena hal tersebut baru sebatas aspek
jasad, debu (tanah). Kisahnya dilanjutkan dengan kesadaran para pelaku, sehingga pada
akhirnya bertemu antara jasad dan ruh Illahi pada sosok kedua hamba Allah itu.
Dengan demikian sebenarnya ketika Al-Qur’an menampilkan ajarannya melalui
kisah-kisah sejarah, Allah ingin menyentuh manusia secara total. Intelektual, hati, rasa,
spiritual, ingin digugah untuk mengekspresikannya dalam bentuk nyata. Jika totalitas
manusia muncul dalam bentuk seni, seni apapun (suara, pahat, patung, lukis, tulis, dsb)
dapat dipastikan bahwa seni yang muncul itu tidak akan bertentangan dengan ajaran
Islam.

E. Agama Sebagai Kebenaran


Sumber nilai utama bagi suatu agama, baik dari segi normatif ataupun idealita
adalah Tuhan. Dia sebagai titik tolak yang awal dan sekaligus yang akhir dari setiap
langkah pola pikir atau dalam rangka mencuatkan segala potensi. Dia sebagai acuan dan
sumber motivasi dalam memacu inspirasi dan kreativitas. Dia pula yang telah
mengadakan dari tiada kemudian menjadi segala yang ada itu akan kembali kepada-Nya.
Tuhan dijadikan sebagai sumber dari segalanya oleh manusia, disebabkan
manusia telah mengakui (beriman) dan meyakini dengan sesungguhnya bahwa Dialah
Penguasa Tunggal yang mempunyai sifat dari segala yang maha. Pengakuan ini secara
mendasar karena Tuhan telah dijadikan sumber kebenaran.
Bertrand Russel menerangkan bahwa kebenaran adalah suatu sifat dari
kepercayaan yang diturunkan dari kalimat yang menyatakan kepercayaan itu. Kebenaran
suatu hubungan tertentu antara suatu kepercayaan dengan suatu fakta atau lebih di luar
kepercayaan. Bila hubungan ini tidak ada, maka kepercayaan itu adalah salah (Bertran
Russel, Ilmu dalam Perspektif, 19-85). Dengan demikian “sesuatu” dapat disebut benar
ataupun salah meskipun tak seorangpun mempercayainya adalah tergantung pada
hubungan unsur-unsur fakta dengan rasa kepercayaan.
Al Qur’an mengungkapkan dari kebenaran dengan menggunakan dua istilah
yaitu : as sidqu dan al haq. As sidqu adalah suatu kebenaran, ketulusan atau kejujuran
yang diperuntukkan bagi aspek subjektif. Sedang al Haq kebenaran yang mengarah pada
realita yang diperuntukkan bagi aspek objektif. Oleh karena itu, jika segala aspek terjang
manusia didasarkan pada kebenaran, maksudnya tidak lain adalah al haq. Dialah sebagai
cahaya tuntunan etis fundamental bagi pencarian hakikat kebenaran. Al Haq berarti
Tuhan. Al Haq berarti Allah. Sebagaimana kitab yang terakhir menuturkan sebagai
berikut :
a. Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-
orang yang ragu (2:147)
b. (Zat yang demikian) itulah Allah, Tuhan kamu sebenarnya, maka tidak ada sesudah
kebenaran itu, melainkan kesesatan. Bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)
(10:32)
c. Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq dan sesungguhnya
Dialah yang menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu (22:6)
d. Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq dan sesungguhnya apa saja
yang mereka seru selain dari Allah itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah Dialah
yang Maha Tinggi lagi Maha Besar (31:30).
Penuturan Al Qur’an tentang kebenaran kepada manusia adalah ada satu, yakni
yang bersumber dari Allah, dan Allah sendiri sebagai satu-satunya kebenaran mutlak
yang tidak ada lainnya.
Kebenaran mutlak (Allah) hanya akan diperoleh pengertiannya melalui agama.
Karena konsep tentang Tuhan sendiri ada dalam agama, sedangkan suatu kebenaran yang
diperoleh dari hasil pemikiran manusia adalah kebenaran yang bersifat nisbi (relatif),
sehingga hakekatnya kebenaran ini pun tidak benar, maka konsekuensinya kebenaran
hanya ada satu, Allah sebagai konsep ketuhanan yang diperkenalkan melalui agama
(Islam).

F. Islam dan Teknologi


Islam adalah merupakan agama terakhir yang diturunkan Allah SWT. Sesuai
dengan sifatnya yang terakhir, maka Allah telah menyempurnakannya. Islam mempunyai
nilai-nilai yang mampu hidup dalam segala zaman maupun tempat. Perkembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dukungannya.
Sebab melalui perkembangan iptek, umat manusia (khususnya umat Islam) banyak yang
dipermudah langkah-langkah kehidupannya.
Umpama, jika dahulu orang akan menunaikan ibadah shalat harus melihat
kedudukan /posisi matahari secara langsung, kini mereka cukup melihat jam. Jika orang
dahulu ketika akan menunaikan ibadah haji, harus menempuh perjalanan membutuhkan
waktu sekian lama (umpama dengan kapal laut), bahkan bila ditempuh dengan jalan kaki,
mungkin bisa berbulan-bulan. Tetapi berkat perkembangan iptek, maka jarak antara
Indonesia dengan Makkah hanya ditempuh kurang lebih 9 jam (kurang dari satu hari).
Dengan demikian penunaian ibadah kepada Allah menjadi lebih ringan dan mudah
terjangkau bagi yang akan melaksanaknnya.
Demikian pula perkembangan teknologi komunikasi. Jika orang dahulu akan
menyampaikan kabar, harus berjalan jauh agar berita itu didengar oleh orang yang dituju,
sekarang tidak perlu lagi harus menempuh jalan yang jauh itu, tetapi cukup dengan
mengangkat telpon, maka kabar itu sudah sampai. Jika telpon masih mempergunakan alat
bantu kabel, yaitu untuk menghubungkan gelombang suara, tetapi kini menggunakan
satelit, telpon sudah tidak membutuhkan kabel lagi (handpon). Demikian pula melalui
alat komunikasi internet, selain orang dapat memberi berita atau kabar, tetapi juga dapat
dijadikan sebagai alat untuk berdiskusi, meskipun orangnya ada di berbagai tempat
(negara).
Sarana dan prasarana yang dihasilkan iptek tersebut mempermudah dalam
mekanisme pengelolaan berbagai bidang. Pengelolaan sistem perekonomian (termasuk
perbankan) melalui penggunaan komputer menjadi sangat cepat dan lancar. Pelaksanaan
kegiatan bidang pendidikan juga menjadi mudah. Kegiatan bidang sosial maupun politik
menjadi fleksibel dan cepat disebarluaskan.
Kemajuan yang demikian bukan lagi searah dengan perkembangan akal fikir
manusia, tetapi juga berbanding lurus dengan motivasi ajaran agama. Islam sebagai
agama memberikan motivasi kuat dalam mencerdaskan akal budinya. Sebagaimana surat
pertama dalam al-Qur’an yang turun yakni surat al’Alaq, sarat dengan motivasi tersebut.
Hanya kemajuan dan pengembangan akal manusia tetap searah pula dengan apa yang
dimotivasi al-Qur’an itu sendiri.
Demikian pula kemajuan dalam bidang informasi, hampir semua informasi dapat
kita peroleh. Apakah informasi yang sifatnya keharusan, laik dan benar, ataukah yang
sifatnya mubah, bahkan mungkin terlarang. Hasil ilmu dan teknologi perkembangan
sarana dan prasarana komunikasi luar biasa pesatnya. Dalam hal ini ajaran Islam juga
mempunyai kepedulian yang sangat besar. Islam melihat ada suatu informasi yang harus
diterima, yaitu informasi yang benar, seperti informasi saksi adil yang telah disumpah di
depan pengadilan, atau suatu informasi yang harus diteliti dengan sungguh-sungguh,
yaitu terutama yang datang dari kaum munafik, fasiq dan kaum kafir. Kehati-hatian
dalam menerima informasi tetap diperlukan bagi setiap orang (teliti Q.S. 49 : 6).
G. Hubungan antara Iman, Ilmu dan Amal

Kajian ilmu di atas berakhir dengan aplikasi (aksiologi). Pandangan Islam, antara
aghama, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni terdapat hubungan yang harmonis dan
dinamis yang terintegrasi ke dalam sauatu sistem yang disebut dengan dienul Islam. Di
dalamnya terkandung tiga unsur pokok yaitu aqidah, syari’ah dan akhlaq dan atau dengan
kata lain iman, ilmu dan amal.
Al-Qur’an mencontohkan hubungan ketiga unsur tersebut melalui suatu ayat :

Artinya: ”Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan


kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang)
ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya.
Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu
ingat. (QS. Ibrahim : 24-25).

Ayat tersebut menggambarkan keutuhan antara iman, ilmu dan amal atau aqidah, syari’ah
dan akhlaq. Jika seseorang imannya kuat (akar menghunjam ke bumi), syari’ahnya bagus
(batangnya menjulang tinggi serta cabang dan dahannya rindang), maka akhlaqnya akan
baik (buahnya amat lebat).
Iman diidentikkan dengan akar yang kuat, ilmu bagaikan batang pohon yang
mengeluarkan dahan-dahan dan cabang-cabang ilmu pengetahuan, dan amal bagaikan
buah pohon yang lebat. Perumpamaan yang dituturkan al-Qur’an tersebut demikian
santun. Hal ini memberi isyarat bahwa manusia diperintahkan agar mempergunakan
akalnya dengan maksimal. Ia diperintahkan agar merenung apa yang terhampar
dihadapannya.

H. Tanggung Jawab Ilmuwan terhadap Alam


Ilmu adalah sebagai sarana untuk menciptakan kesejahteraan hidup manusia. Pemiliknya
akan mempergunakannya bukan saja untuk kemanfaatan dirinya, tetapi juga untuk
kesejahteraan lingkungannya. Namun sering terjadi bahwa kerusakan alam disebabkan
oleh ulah manusia. Hal ini seperti yang disampaikan Allah dalam firmanNya:
َ ‫س ِلُيِذيَقُهم َبْع‬
‫ض‬ ِ ‫ت أَْيِدي الّنا‬
ْ ‫سَب‬
َ ‫حِر ِبَما َك‬ْ ‫ساُد ِفي اْلَبّر َواْلَب‬ َ ‫ظَهَر اْلَف‬
َ
َ ‫جُعو‬
‫ن‬ ِ ‫عِمُلوا َلَعّلُهْم َيْر‬
َ ‫اّلِذي‬
Artinya: ” Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Q.S. ar-Rum 41).

Allah menciptakan manusia berfungsi sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi.
Tugas kekhalifahan adalah menjangkau pada seluruh aspek kehidupan. Menata,
mengeksplorasi, menggali, memanfaatkan, menyuburkan, adalah bagian dari tugas
kekhalifahan. Ini berarti manusia bertanggung jawab atas kelestarian seluruh isi alam.
Manusia diberi kebebasan untuk mengeksplorasi dan menggali sumber-sumber daya serta
memanfaatkannya demi kemakmuran bersama. Karena alam diciptakan adalah untuk
kehidupan umat manusia itu sendiri. Untuk menggali potensi alam dan memanfaatkannya
diperlukan ilmu pengetahuan yang memadai. Hanya orang-orang yang memiliki ilmu
pengetahuan atau para ilmuwan yang mampu mengeksplorasi sumber alam ini.
Namun demikian para ilmuwan harus sadar bahwa potensi alam ini akan habis untuk
memenuhi kebutuhan manusia apabila tidak dijaga keseimbangannya. Oleh karena itu
tanggung jawab kekhalifahan bertumpu di atas para ilmuwan dibandingkan dengan
manusia awam pada umumnya.

DAFTAR PUSKATA

Anshari, Endang Saefudin, 1986, Wawasan Islam, Mizan, Bandung


Depag RI., 1983, Al-Qur’an dan terjemah, Lajnah Penetrjemah Depag RI, Jakarta.
Hamdan Mansur, Drs., dkk., Materi Instruksional Pendidikan Agama islam Di Perguruan Tinggi
Umum, Direktorat Perguruan Ytinggi Agama Islam, Depag RI., Jakarta.
Saefudin., A.M., 1987, Desekularisasi Pemikiran, Landasan Islamisasi, Mizan, Bandung
Shihab, Quraish M., 1999, Wawasan Qur’an, Mizan, Bandung

Anda mungkin juga menyukai