A. Pengertian Ilmu
Munculnya suatu ilmu tidak lepas dari suatu pengetahuan yang diperoleh
sebelumnya. Seseorang tidak mungkin mendapatkan suatu ilmu jika yang bersangkutan
belum mendapatkan suatu pengetahuan. Oleh karena itu suatu ilmu sering juga disebut
dengan pengetahuan, dan atau sering digabungkan menjadi ilmu pengetahuan.
Pengetahuan itu sendiri dapat diperoleh melalui indera dalam memahami fenomena yang
ada di sekitar lingkungannya (Empirisme). Pengetahuan manusia hanya dapat diperoleh
melalui pengalaman, dan tanpa pengalaman manusia tidak akan dapat memperoleh
pengetahuan. Pada sisi lain pengetahuan juga dapat diperoleh melalui ide-ide yang berada
dalam fikirannya (Rasionalisme). Pada aliran empirisme metode yang digunakan adalah
induktif (suatu metode ilmiah yang bergerak dari hal-hal yang bersifat khusus
(individual) menuju hal-hal yang bersifat umum), sedangkan pada aliran rasionalisme
metode penelaahannya adalah menggunakan metode deduktif (suatu metode yang
bergerak dari hal-hal yang bersifat umum/universal kemudian atas dasar itu ditetapkan
hal-hal yang bersifat khusus).
Pembahasan mengenai ilmu ini, al-Qur’an tidak secara tegas mengikuti aliran-
aliran tertentu, tetapi kalau menelusuri ayat demi demi ayat, maka kedua metode tersebut
digunakan oleh al-Qur’an. Ketika manusia diperintah Allah untuk memperhatikan,
menelaah dan meneliti fenomena alam semesta (lihat Q.S. 3 : 191), maka pada dasarnya
metode induktif itulah sedang ditawarkan al-Qur’an. Observasi dan eksperimentasi
didasarkan pada fakta-fakta yang dapat diuji kebenarannya. Kemudian ketika manusia
diperintah menyatakan bahwa Tuhan itu Esa, maka hakekatnya Allah telah mengenalkan
metode deduktif.
Melalui cara induktif atau deduktif itulah maka ilmu dinyatakan sebagai sistem dari
pelbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaaan
pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan metode-metode tertentu. Kemudian
ilmu juga dapat didefinisikan sebagai suatu sistem dari pelbagai pengetahuan, yang
masing-masing mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu, yang disusun sedemikian
rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi kesatuan (lihat Ensiklopedia Indonesia).
Ilmu sebagai hasil dari produk pemikiran manusia adalah berbeda dengan agama.
Oleh karena itu ilmu sebagai pengetahuan yang disusun secara sistematis dan
mempunyai metode tertentu, ketepatan dan kebenarannya dapat diuji secara empiris,
dapat diriset dan dapat dieksperimen. Hal ini membawa konsekuensi bahwa nilai
kebenaran ilmu bersifat relatif. Dalam pengertian lain ilmu sering dikatakan sebagai a
posteriori yakni kesimpulan-kesimpulannya ditarik setelah ada pengujian yang berulang-
ulang; dan untuk beberapa ilmu harus dilengkapi dengan percobaan dan pendalaman
untuk mendapatkan essensinya.
Islam sangat mendorong umat manusia untuk mencari ilmu pengetahuan. Sebab dengan
ilmu manusia dapat mengelola dan mengolah alam semesta dengan sebaik-baiknya.
Dengan ilmu fenomena alam dapat diamati secara teliti. Dengan ilmu, manusia menjadi
dekat dengan Penciptanya dan terangkat derajatnya. Bahkan dengan lmu manusia dapat
mengetahui keutuhan dirinya. Allah berfirman dalam surat Az-Zumar : 9 yang berbunyi :
حوا
ُس َ س َفاْف
ِ جاِل َ حوا ِفي اْلَم ُس ّ ل َلُكْم َتَف
َ ن آَمُنوا ِإَذا ِقيَ َيا َأّيَها اّلِذي
ن آَمُنواَ ل اّلِذيُّ شُزوا َيْرَفِع ا ُ شُزوا َفان ُ ل انَ ل َلُكْم َوِإَذا ِقي
ُّ ح اِس َ َْيف
. ر
ٌ خِبي
َ ن َ ل ِبَما َتْعَمُلو
ُّ ت َواٍ جا َ ن ُأوُتوا اْلِعْلَم َدَرَ ِمنُكْم َواّلِذي
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: Berlapang-
lapanglah dalam majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan: Berdirilah kamu !, maka berdirilah, niscaya Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang
dibneri ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.
Menurut M.Quraisy Syihab (199:385), adalah merupakan satu hal yang mustahil,
bila Allah yang menganugerahkan manusia potensi untuk menikmati dan
mengekspresikan keindahan, kemudian Dia sendiri melarangnya. Bukankah Islam adalah
agama fitrah ? Segala yang bertentangan dengan fitrah ditolaknya, dan yang mendukung
kesuciannya senantiasa ditopangnya.
Persoalan sering muncul ketika manusia tidak mampu memilah mana yang fitrah
dan mana yang nafsu. Ketika manusia merefleksikan keinginan-keinginan yang pada
dasarnya merupakan nafsu, seringkali dikira sebagai ungkapan fitrah. Oleh karena itu
dalam persoalan ini manusia harus memandang seni secara integral, komprehensif dan
menyeluruh.
Lapangan seni adalah semua yang ada, semua wujud. Manusi diperbolehkan
untuk menampilkan, menggambarkan dan bahkan berimajinasi kenyataan hidup dalam
masyarakat di mana saja mereka berada. Namun jangan sampai seni yang ditampilkan
bertentangan dengan fitrahnya, atau dengan wujud itu sendiri. Sebagaimana pemaparan
manusia hanya terbatas pada sisi jasmaninya saja, tidak disertai dengan unsur ruh Illahi
yang menjadikannya sebagi manusia.
Suatu umpama penuturan al-Qur’an mengenai kisah Yusuf (QS. Yusuf : 23-24)
yang sarat dengan seni penampilan. Ia mengemukakan : “Dan wanita (Zulaikha) yang
Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya)
dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini." Yusuf berkata: "Aku
berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik."
Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung. Sesungguhnya wanita itu
telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud
(melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Tuhannya.
Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian.
Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.
Penuturan al-Qur’an tersebut tidak larut dalam melukiskan suatu kejadian, dan
juga tidak berhenti sampai dalam gambaran itu. Karena hal tersebut baru sebatas aspek
jasad, debu (tanah). Kisahnya dilanjutkan dengan kesadaran para pelaku, sehingga pada
akhirnya bertemu antara jasad dan ruh Illahi pada sosok kedua hamba Allah itu.
Dengan demikian sebenarnya ketika Al-Qur’an menampilkan ajarannya melalui
kisah-kisah sejarah, Allah ingin menyentuh manusia secara total. Intelektual, hati, rasa,
spiritual, ingin digugah untuk mengekspresikannya dalam bentuk nyata. Jika totalitas
manusia muncul dalam bentuk seni, seni apapun (suara, pahat, patung, lukis, tulis, dsb)
dapat dipastikan bahwa seni yang muncul itu tidak akan bertentangan dengan ajaran
Islam.
Kajian ilmu di atas berakhir dengan aplikasi (aksiologi). Pandangan Islam, antara
aghama, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni terdapat hubungan yang harmonis dan
dinamis yang terintegrasi ke dalam sauatu sistem yang disebut dengan dienul Islam. Di
dalamnya terkandung tiga unsur pokok yaitu aqidah, syari’ah dan akhlaq dan atau dengan
kata lain iman, ilmu dan amal.
Al-Qur’an mencontohkan hubungan ketiga unsur tersebut melalui suatu ayat :
Ayat tersebut menggambarkan keutuhan antara iman, ilmu dan amal atau aqidah, syari’ah
dan akhlaq. Jika seseorang imannya kuat (akar menghunjam ke bumi), syari’ahnya bagus
(batangnya menjulang tinggi serta cabang dan dahannya rindang), maka akhlaqnya akan
baik (buahnya amat lebat).
Iman diidentikkan dengan akar yang kuat, ilmu bagaikan batang pohon yang
mengeluarkan dahan-dahan dan cabang-cabang ilmu pengetahuan, dan amal bagaikan
buah pohon yang lebat. Perumpamaan yang dituturkan al-Qur’an tersebut demikian
santun. Hal ini memberi isyarat bahwa manusia diperintahkan agar mempergunakan
akalnya dengan maksimal. Ia diperintahkan agar merenung apa yang terhampar
dihadapannya.
Allah menciptakan manusia berfungsi sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi.
Tugas kekhalifahan adalah menjangkau pada seluruh aspek kehidupan. Menata,
mengeksplorasi, menggali, memanfaatkan, menyuburkan, adalah bagian dari tugas
kekhalifahan. Ini berarti manusia bertanggung jawab atas kelestarian seluruh isi alam.
Manusia diberi kebebasan untuk mengeksplorasi dan menggali sumber-sumber daya serta
memanfaatkannya demi kemakmuran bersama. Karena alam diciptakan adalah untuk
kehidupan umat manusia itu sendiri. Untuk menggali potensi alam dan memanfaatkannya
diperlukan ilmu pengetahuan yang memadai. Hanya orang-orang yang memiliki ilmu
pengetahuan atau para ilmuwan yang mampu mengeksplorasi sumber alam ini.
Namun demikian para ilmuwan harus sadar bahwa potensi alam ini akan habis untuk
memenuhi kebutuhan manusia apabila tidak dijaga keseimbangannya. Oleh karena itu
tanggung jawab kekhalifahan bertumpu di atas para ilmuwan dibandingkan dengan
manusia awam pada umumnya.
DAFTAR PUSKATA