PROGRAM STUDI
BUDIDAYA PERAIRAN
Oleh :
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS Dr. SOETOMO SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada Saya, sehingga Saya dapat
Penanganannya.
Makalah ini telah Saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
Saya menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kekurangan atau
kesalahan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati Saya mengharapkan
Saya berharap semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2. Maksud dan Tujuan........................................................................... 2
II. PEMBAHASAN
2.1 Penyebab Penyakit Pada Krustasea ................................................. 3
1. Vibrio spp ...................................................................................... 3
2. Aeromonas spp ............................................................................. 4
3. Salmonella spp .............................................................................. 5
4. Bakteri Patogen Lain ..................................................................... 5
2.2. Cara Penanggulangan Penyakit Bakterial Pada Budidaya Krustasea 6
2.2.1. Penanggulangan penyakit bakterial secara kimia .................. 6
2.2.2. Penanggulangan penyakit bakterial secara fisika................... 9
2.2.3. Penanggulangan penyakit bakterial secara biologis ............... 10
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Protein hewani terutama yang berasal dari laut sangat dibutuhkan oleh
masyarakat, hal ini sejalan dengan asumsi bahwa protein hewani yang berasal dari
protein hewani yang berasal dari laut saat ini semakin banyak dibudidayakan.
Kelompok besar biota laut yang banyak dibudidayakan selain ikan adalah dari
kelompok krustasea, diantaranya rajungan, kepiting dan udang windu. Ketiga biota
Salah satu kendala dalam kegiatan marikultur atau budidaya ini adalah
penyakit pada biota budidaya. Timbulnya penyakit dapat disebabkan karena kondisi
perairan yang kurang baik, kualitas pakan yang kurang, maupun kualitas induk yang
kurang baik. Selain itu, penggunaan teknik budidaya yang kurang tepat dan
timbulnya penyakit. Menurut Idel & Wibowo (1996) penyebab timbulnya penyakit
pada ikan atau biota budidaya adalah padatnya pertumbuhan plankton dan
ganggang pirang, kotoran dan sisa pakan yang terlalu banyak, serta masuknya
merupakan daerah yang mengandung populasi bakteri jauh lebih banyak daripada
perairan tawar, daerah lepas pantai dan laut dalam. Hal ini disebabkan karena
Sebagian besar populasi bakteri tersebut adalah bakteri heterotrofik (Austin, 1992).
Penyakit pada krustasea dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, virus dan
2
berbagai jenis parasit yang selalu terdapat pada perairan. Menurut Puslitbangtan (1987)
beberapa penyakit udang antara lain disebabkan oleh bakteri patogen yaitu
Mycobacterium. Penularan penyakit ini sangat mudah, karena dapat terbawa oleh
organisme yang berpindah- pindah dari satu kolam ke kolam yang lain (Suyanto
dalam Indaryanti 1999). Diantara ketiga jenis penyebab penyakit tersebut, bakteri
merupakan yang paling banyak ditemui. Penyakit ini biasa disebut sebagai "Bacterial
Bacte- ria1").
mengetahui dan memahami tipe bakteri patogen pada golongan krustasea, sebaran
geografis dan inang target, gejala krustasea yang terinfeksi bakteri patogen,
karakteristik dari penyakit bakterial pada golongan krustasea, sebaran geografis dan
inang target, gejala krustasea yang terinfeksi bakteri patogen, prosedur diagnosa
penyakit dan penanganannya terhadap infeksi bakteri patogen serta untuk memehi
BAB II
PEMBAHASAN
Berikut ini akan dipaparkan gambaran tentang bakteri yang umum ditemukan
sebagai penyebab penyakit pada krustasea, antara lain Vibrio spp., Aeromonas spp.,
1. Vibrio spp.
Salah satu spesies dalam kelompok ini yang paling banyak menyebabkan
penyakit dan kematian pada budidaya krustasea adalah Vibrio harveyi. Bakteri ini
krustasea yang terinfeksi akan terlihat terang dalam keadaan gelap (malam hari).
Pada dasarnya bakteri ini bersifat oportunistik dan akan menjadi patogen jika pada
pH, salinitas dan faktor lainnya, Menurut ROZA & ZAFRAN (1998) batas aman
Jenis-jenis bakteri selain Vibrio harveyi yang dapat menyebabkan penyakit pada
krustasea pada stadium zoea msoh lebih rendah dibandingkan V. harveyi. Selain
ketiga bakteri Vibrio di atas, Vibrio anguillarum juga dapat menyebabkan timbulnya
penyakit yang menyebabkan kerusakan lapisan khitin pada kulit, sehingga terjadi
luka-luka di pinggiran kulit pada ruas perut I-III dan uropoda disertai dengan
4
hitam. Kasus ini hampir selalu dijumpai pada stok induk udang yang disimpan dalam
bak.
parahaemolyticus dari Teluk Jakarta dari berbagai makanan laut, antara lain ikan
mack- erel, udang dan cumi-cumi. Selanjutnya disimpulkan bahwa kedua jenis Vibrio
ini merupakan jenis bakteri laut setempat (autoch- thonous). Vibrio parahaemolyticus
dikenal sebagai penyebab gastroenteritis di hampir seluruh dunia dan dapat diisolasi
dari makanan laut serta tempat-tempat perairan estuaria, neritik dan teluk.
septikemia pada udang saat periode larva dan post larva. Penyakit ini timbul sebagai
akibat penyebab lain yaitu defisiensi vitamin C, toksin, luka dan karena stres berat
menyebabkan lisis pada sel-sel darah tubuh inang. Sebagai organisme aquatik,
Vibrio spp mempunyai kelimpahan yang tinggi pada lingkungan perairan dan
2. Aeromonas spp.
yang dapat ditemukan secara luas dalam lingkungan perairan dan telah lama
diketahui sebagai bakteri patogen bagi biota air tawar maupun air laut, karena
5
bakteri Aeromonas spp ini bersifat saprofitik dan parasit obligat (POST, 1983). Hal ini
telah dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis, yaitu dari 10 sampel
yang berasal dari berbagai lingkungan media pemeliharaan kepiting, hanya satu
Selain itu RUYITNO & HATMANTI (2001) dalam penelitiannya di perairan Kuala
Tungkal Jambi, telah menemukan bakteri Aeromonas spp. dan Proteus spp. pada
12 contoh air. Bakteri ini mampu hidup optimal pada kisaran suhu 25 - 30° C.
Indonesia. Menurut RYANDINI dkk. (1998) keberadaan bakteri Aeromonas spp dan
Vibrio spp merupakan indikasi munculnya wabah penyakit biota laut khususnya
pada udang.
3. Salmonella spp
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini disebut sebagai Salmonellosis. Pada
krustasea maupun biota lain yang dikonsumsi oleh manusia, tidak diperbolehkan
terdapat bakteri ini, karena dapat mengakibatkan demam enterik, septikemia dan
tersebut, maka pada lingkungan perairan budidaya biota laut dan kehidupan biota
laut harus diupayakan bebas dari bakteri Salmonella spp. (MENKLH, 1988). Jika
Bakteri patogen lain yang sering ditemukan pada lingkungan tempat hidup
Pseudomonas spp., Citrobacter spp., Yersinia spp. dan Proteus spp., Shigella spp.
Citrobacter spp., Yersinia spp. dan Proteus spp. pada awalnya bukan merupakan
Selain bakteri tersebut di atas, pada budidaya udang di tambak ditemukan pula
jenis bakteri yang berbentuk benang, yaitu Leucothrix sp. Bakteri tersebut sering
terdapat pada insang, permukaan badan dan kaki-kaki renang udang. Sel-sel
benang dari bakteri Leucotrix sp. tersebut membentuk anyaman, menempel pada
permukaan insang dan bagian- bagian badan lain. Bakteri tersebut tidak merusak
yang ditumbuhi bakteri Leucothrix sp. warnanya menjadi coklat pucat atau
kehijauan, dan semakin penuh dengan kotoran dan jasad penempel, sehingga
mengganggu proses pernafasan. Bakteri ini sering tumbuh dari sisa- sisa makanan,
membentuk lapisan putih di atas endapan partikel organik di dasar bak hatch- ery.
Pada infeksi berat mengakibatkan kematian udang terutama terjadi saat berganti kulit
budidaya krustasea antara lain adalah secara kimia, fisika, dan biologis, yang akan
bakterial adalah antibiotik, yaitu melalui pengrusakan membran sel, sehingga sel
menjadi lisis. Penggunaan antibiotik ini dapat dilakukan pada stadium larva maupun
dewasa. Namun hasil yang diperoleh kurang memuaskan dan menimbulkan efek
7
dapat menimbulkan kematian terhadap biota lain yang menguntungkan (RUKYANI &
TAUHID, 1984). Sedangkan biota target dapat mengalami resistensi terhadap bahan
kimia tersebut.
Penggunaan antibiotik secara rutin yang banyak diterapkan oleh panti benih
terhadap antibiotik. Hal ini dibuktikan oleh ZAFRAN dkk. (1997b), pada penelitian
tentang resistensi isolat Vibrio dari beberapa panti benih Udang Windu (Peneaus
monodon) terhadap antibiotik. Uji antibiotik yang digunakan adalah Kloramfenikol (CP),
Oksitetracyclin (OTC), dan Furazolidon (FZ) terhadap 7 jenis bakteri Vibrio yang
diperoleh dari panti benih penelitian dan panti benih komersial di Bali dan Jawa
Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat bakteri Vibrio yang disolasi dari
panti benih komersial ternyata lebih resisten terhadap 3 jenis antibiotik daripada
Vibrio yang diisolasi dari panti benih penelitian, yaitu masing-masing 1,9 ppm; 9,8
Penggunaan antibiotik ini dapat dilakukan pada larva maupun pada induk
krustasea. Pengendalian V. harveyi pada larva kepiting bakau (Scylla serrata, Forskal)
melalui desinfeksi induk selama pengeraman telur telah dilakukan oleh ROZA &
7,8 mg/L dan 31,2 mg/L yang diaplikasikan pada induk yang sedang mengerami
efektif terendah mampu mengurangi jumlah V. harveyi dan dapat meningkatkan daya
tetas telur dan kinerja larva kepiting bakau. RUSDI & ZAFRAN (1998) menggunakan
antibiotik yang sama untuk menekan mortalitas larva kepiting bakau akibat serangan
antibiotik yang mampu menekan V. harveyi dan menurunkan mortalitas larva kepiting
bakau masing-masing adalah Oksitetrasiklin 6,25 mg/L; Prefuran 12,50 mg/L dan
Furazolidon 12,50 mg/L. CORLIS dalam BALAI PERTANIAN CIAWI (1990) berhasil
langsung dilarutkan dalam air atau dicampur dalam makanan. Dosis efektif yang
digunakan adalah Terramycin 360-387 mg/kg berat badan per hari selama 14 hari.
Malachit Green dan Formalin dengan dosis 0,05 - 0,1 mg/ L atau Terramycin yang
tersebut efektif dengan pemberian makanan 10 % berat badan per hari selama 14
menggunakan antibiotik, terdapat pula cara lain yang lebih efektif, yaitu
menggunakan bahan-bahan kimia yang merupakan ekstrak aktif biota alami laut.
telah dilakukan oleh MULIANI dkk. (1998a). Ekstrak spons tersebut digunakan untuk
merendam larva yang telah terinfeksi oleh Vibrio spp. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ketiga jenis spons tersebut mampu menekan perkembangan populasi dan
(Peneaus monodon). Dosis yang efektif untuk digunakan berkisar antara 200 dan
300 ppm. EFFENDI & SUHARDI (1998) juga telah meneliti kemungkinan
keempat jenis tumbuhan uji, sedangkan Vibrio harveyi dapat ditekan oleh R.
antibakteri yang ditunjukkan oleh terbentuknya zona hambat (inhibition zone) dari
keempat jenis tumbuhan uji, diperoleh bahwa N. fruticans (nipah) membentuk zona
hambat yang paling luas yang berarti mempunyai daya hambat yang paling
krustasea.
Teknik secara fisika merupakan cara lain di samping penggunaan teknik secara
kimia. Secara garis besar, teknik ini ialah dengan pengaturan kondisi lingkungan
mengatur salinitas air laut yang digunakan sebagai media pemeliharaan pada
kisaran 28 ‰, suhu 30°C dan penggunaan diet semi murni AMZV1L1T, selain
terjadinya kontaminasi pada budidaya krustasea adalah secara biologis. Cara ini
penggunaan musuh alami atau kompetitor bagi bakteri patogen. Penggunaan cara
bakteri ke dalam pakan mikro. Bakteri yang digunakan dalam penelitian tersebut
dimasukkan dalam pakan mikro larva udang windu (Peneaus monodon). Pakan mikro
diberikan terlebih dahulu selama satu hari kemudian dilakukan uji tantang terhadap
sebagai vaksin ke dalam pakan mikro, dapat meningkatkan ketahanan larva udang
lebih tinggi.
Teknik lain secara biologis adalah menggunakan musuh alami atau kompetitor
bakteri patogen. Teknik ini menggunakan bakteri maupun organisme lain yang dapat
pada pemeliharaan kepiting bakau, telah dilakukan oleh TAUFIQ & ZAFRAN (1997).
Penelitian ini dimulai dengan mencari isolat bakteri yang mempunyai daya hambat
yang baik terhadap bakteri patogen dimaksud. Pada penelitian TAUFIQ & ZAFRAN
(1997) diperoleh 3 jenis bakteri yang merupakan bakteri dari genus Vibrio. Ketiga
bakteri tersebut setelah ditambahkan pada air pemeliharaan selama 24 jam dan
Selain menggunakan bakteri lain, musuh alami atau kompetitor dapat berupa
pada budidaya udang windu telah dilakukan oleh TAUFIQ dkk (1996). Penelitian ini
tetrathele dan Thalassiosira spp. pada media pemeliharaan udang windu yang
pemberian jenis fitoplankton yang berbeda terhadap sintasan larva kepiting bakau (Scylla
serata). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis fitoplankton yang sesuai
untuk pemeliharaan larva kepiting bakau pada masa stadia awal. Jenisfitoplankton yang
spp. mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan Tetraselmis spp., yaitu
masing-masing 17,67 %, 16,00 % dan 4,00 %. Oleh karena itu Chaetoceros spp. dan
12
Selain itu, penggunaan kerang- kerangan sebagai biofilter terhadap kelimpahan dan
komposisi jenis bakteri pada budidaya udang windu (Peneaus monodon) dengan
sistem resirkulasi air telah dilakukan oleh MULIANI dkk. (1998b). Penelitian tersebut
komposisi jenis dan kelimpahan bakteri pada pemeliharaan udang windu (Peneaus
monodon) dengan sistem resirkulasi air. Udang windu yang digunakan adalah
ukuran pascalarva sebanyak 100 individu / bak, sebagai hewan uji. Kerang yang
digunakan adalah kerang hijau (Perna viridis), tiram (Crassostrea iredalei) dan
kerang bakau (Geloina coaxan), masing-masing sebanyak 250 gram bobot daging
sebagai biofilter.
jumlah bakteri dalam wadah pemeliharaan terendah adalah pada perlakuan yang
menggunakan tiram sebagai biofilter, kemudian kerang bakau, dan yang terakhir adalah
kerang hijau dan kontrol (U2 < U3 < U1 < Uk). Kualitas mikrobiologis air laut yang
diresirkulasi sama dengan air laut baru yang tidak diresirkulasi. Hasil identifikasi terhadap
komposisi jenis bakteri pada semua perlakuan relatif sama yaitu Acinetobacter spp.,
Micrococcus spp., Pseudomonas spp., Staphylococcus spp. dan Vibrio spp. Secara
sederhana, teknik penanggulangan penyakit bakterial di Indonesia dapat dilihat pada bagan
berikut ini:
13
bakterial yang tepat dapat meningkatkan hasil. Oleh karena itu diperlukan
BAB III
PENUTUP
Bakteri yang dapat menyebabkan penyakit pada budidaya krustasea terdiri dari
Vibrio spp., Aeromonas spp., Salmonella spp., dan bakteri lainnya, seperti Shigella
spp., Pseudomonas spp., Citrobacter spp., Yersinia spp. dan Proteus spp., termasuk
DAFTAR PUSTAKA
Austin, B. 1992. Marine Microbiology, Sec- Ond Editions. Cambridge University Press,
Cambridge: 222 Pp.
Balai Pertanian Ciawi. 1990. Penyakit Dan Parasit Pada Udang Di Tambak. Buletin
Informasi Pertanian Ciawi 01 (02):7-10.
Heasman, M.P. And D.R. Fielder. 1983. Laboratory Spawning Massrearing At The
Mangrove Crab, Scylla Serrata (Forskal) For 1st Zoea To 1st Crab Stag.
Aquaculture 2 (34) : 303 - 316.
Idel, A. Dan S. Wibowo. 1996. Budidaya Bandeng Modern. Penerbit Gita Media
Press, Surabaya. 45 Hal.
Indaryanti, W. 1999. Kelulushidupan Dan Daya Tahan Tubuh Benih Ikan Lele Dumbo
Yang Diberi Vaksin Hidrovet Pada Infeksi Beberapa Strain Bakteri
Aeromonas Hydrophyla. Skripsi. Fakultas Biologi Unsoed, Purwokerto :
50 Hal. (Tidak Diterbitkan).
Panrenrengi, A., Zafran, D.R. Boer Dan Rusdi. 1993. Identifikasi Dan Patogenisitas
Beberapa Bakteri Vibrio Pada Larva Kepiting Bakau, Scylla Serrata.
Jurnal Penelitian Budidaya Pantai 9 (3): 125-130.
Parkins, F.O. 1990. Pathology In Marine Sciences. Academic Press, Inc. New York.
146 Pp.
Post, G.W. 1983. Textbook Of Fish Health. Publication Inc., Hongkong. 430 Pp.
Roza, D. Dan F. Johnny. 1999. Pengendalian Vibrio Harveyi Pada Larva Kepiting Bakau
(Scylla Serrata, Forskal) Melalui Desinfeksi Induk Selama Pengeraman
Telur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 5 (2): 28 - 34.
Roza, D. Dan I. Zafran, 1998. Pengendalian Vibrio Harveyi Secara Biologis Pada Larva
Udang Windu (Peneaus Monodon) : Aplikasi Bakteri Penghambat.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 4 (2): 24 - 30.
Rukyani, A. Dan Taukhid. 1984. Ketahanan Benih Ikan Lele Dumbo (Clarias
Gariepinus) Terhadap Serangan Parasit Ichthyophtirius Multifilis
Dengan Memberikan Vaksin Tetrahy- Mena Pyriformis. Buletin Penelitian
Perikanan Darat 11 (2): 28 - 34.
Rusdi, I. Dan Zafran. 1998. Percobaan Pengendalian Vibrio Harveyi Yang Berasal
Dari Larva Kepiting Bakau Secara In Vitro Dengan Berbagai Jenis
Antibiotik. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 4 (2): 86-90.
Taufiq, I. Dan Zafran. 1997. Uji Daya Hambat Berbagai Jenis Bakteri Terhadap
Perkembangan Vibrio Harveyi Pada Pemeliharaan Larva Kepiting
Bakau. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 3 (L): 36-43.
17
Taufiq, I., Zafran, I. Koesharyani Dan D. Roza Boer. 1996. Pemanfaatan Fitoplankton
Untuk Menekan Perkembangan Vibrio Harveyi. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia 2 (2): 37-41.
World Health Organization, 1977. Guidelines For Health Related Moni- Toring Of
Coastal Water Quality, Who. Regional Office For Europe. Copenhagen:
165 Pp.
Yunus, D. Roza Dan K. Sugama. 1998. Pengaruh Pemberian Jenis Fitoplankton Yang
Berbeda Terhadap Sintasan Larva Kepiting Bakau (Scylla Serrata). Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia 4 (3): 84-89.
Zafran, D. Rosa Dan K. Suwirya. 1997a. Peningkatan Sintasan Dan Ketahanan Larva
Udang Windu (Peneaus Monodon) Menggunakan Penambahan Vibrio
Harveyi Ke Dalam Pakan Mikro. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 3
(4): 51-56.
Zafran, D. Roza Dan 1. Koesharyani. 1997b. Resistensi Isolat Dari Beberapa Panti
Benih Udang Windu (Peneaus monodon) terhadap Antibiotik. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia 3(1): 11-15.