Anda di halaman 1dari 20

TUGAS

MATA KULIAH DIAGNOSIS DAN PATOLOGI IKAN

“PENYAKIT BAKTERIAL PADA BUDIDAYA KRUSTASEA SERTA CARA


PENANGANANNYA”

PROGRAM STUDI
BUDIDAYA PERAIRAN

Oleh :

DEWI LATIFATUS SOLEKAH


NIM. 202042120001

DOSEN PENGAMPU : Ir. Nurul Hayati, M.Kes

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS Dr. SOETOMO SURABAYA

2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang, Saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah

melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada Saya, sehingga Saya dapat

menyelesaikan makalah Penyakit Bakterial Pada Budidaya Krustasea Serta Cara

Penanganannya.

Makalah ini telah Saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan

dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.

Selanjutnya Saya menyampaikan ucapan terimakasih yang teramat besar kepada

pihak-pihak yang membantu membimbing, memberikan nasehat, petunjuk dan saran

yang senantiasa diberikan kepada Saya.

Saya menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kekurangan atau

kesalahan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati Saya mengharapkan

kritikan dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaannya. Akhirnya

Saya berharap semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Nganjuk, April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2. Maksud dan Tujuan........................................................................... 2

II. PEMBAHASAN
2.1 Penyebab Penyakit Pada Krustasea ................................................. 3
1. Vibrio spp ...................................................................................... 3
2. Aeromonas spp ............................................................................. 4
3. Salmonella spp .............................................................................. 5
4. Bakteri Patogen Lain ..................................................................... 5
2.2. Cara Penanggulangan Penyakit Bakterial Pada Budidaya Krustasea 6
2.2.1. Penanggulangan penyakit bakterial secara kimia .................. 6
2.2.2. Penanggulangan penyakit bakterial secara fisika................... 9
2.2.3. Penanggulangan penyakit bakterial secara biologis ............... 10

III. PENUTUP ............................................................................................... 14

IV. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Protein hewani terutama yang berasal dari laut sangat dibutuhkan oleh

masyarakat, hal ini sejalan dengan asumsi bahwa protein hewani yang berasal dari

laut dapat meningkatkan kecerdasan. Berkaitan dengan hal tersebut, sumber

protein hewani yang berasal dari laut saat ini semakin banyak dibudidayakan.

Kelompok besar biota laut yang banyak dibudidayakan selain ikan adalah dari

kelompok krustasea, diantaranya rajungan, kepiting dan udang windu. Ketiga biota

tersebut banyak dibudidayakan oleh masyarakat di daerah pantai.

Salah satu kendala dalam kegiatan marikultur atau budidaya ini adalah

penyakit pada biota budidaya. Timbulnya penyakit dapat disebabkan karena kondisi

perairan yang kurang baik, kualitas pakan yang kurang, maupun kualitas induk yang

kurang baik. Selain itu, penggunaan teknik budidaya yang kurang tepat dan

kontaminasi dari alat-alat budidaya maupun pekerjanya juga dapat menyebabkan

timbulnya penyakit. Menurut Idel & Wibowo (1996) penyebab timbulnya penyakit

pada ikan atau biota budidaya adalah padatnya pertumbuhan plankton dan

ganggang pirang, kotoran dan sisa pakan yang terlalu banyak, serta masuknya

bahan-bahan pencemar ke dalam lingkungan budidaya. Habitat perairan pantai

merupakan daerah yang mengandung populasi bakteri jauh lebih banyak daripada

perairan tawar, daerah lepas pantai dan laut dalam. Hal ini disebabkan karena

daerah perairan pantai banyak mendapat masukan nutrien dari darat.

Sebagian besar populasi bakteri tersebut adalah bakteri heterotrofik (Austin, 1992).

Penyakit pada krustasea dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, virus dan
2

berbagai jenis parasit yang selalu terdapat pada perairan. Menurut Puslitbangtan (1987)

beberapa penyakit udang antara lain disebabkan oleh bakteri patogen yaitu

Pseudomonas spp., Aeromonas spp., Vibrio spp., Leucothrix spp. dan

Mycobacterium. Penularan penyakit ini sangat mudah, karena dapat terbawa oleh

organisme yang berpindah- pindah dari satu kolam ke kolam yang lain (Suyanto

dalam Indaryanti 1999). Diantara ketiga jenis penyebab penyakit tersebut, bakteri

merupakan yang paling banyak ditemui. Penyakit ini biasa disebut sebagai "Bacterial

Diseases" dan bakteri penyebabnya disebut sebagai bakteri patogen ("Pathogenic

Bacte- ria1").

1.2. Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dari penyusunan makalah ini yaitu agar mahasiswa

mengetahui dan memahami tipe bakteri patogen pada golongan krustasea, sebaran

geografis dan inang target, gejala krustasea yang terinfeksi bakteri patogen,

prosedur diagnosa penyakit dan penanganannya terhadap infeksi bakteri patogen.

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah mahasiswa dapat menjelaskan

karakteristik dari penyakit bakterial pada golongan krustasea, sebaran geografis dan

inang target, gejala krustasea yang terinfeksi bakteri patogen, prosedur diagnosa

penyakit dan penanganannya terhadap infeksi bakteri patogen serta untuk memehi

tugas mata kuliah Diagnosis dan Patologi Ikan.


3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Penyebab Penyakit Pada Krustasea

Berikut ini akan dipaparkan gambaran tentang bakteri yang umum ditemukan

sebagai penyebab penyakit pada krustasea, antara lain Vibrio spp., Aeromonas spp.,

Salmonella spp. dan bakteri lainnya.

1. Vibrio spp.

Salah satu spesies dalam kelompok ini yang paling banyak menyebabkan

penyakit dan kematian pada budidaya krustasea adalah Vibrio harveyi. Bakteri ini

merupakan penyebab penyakit kunang-kunang atau penyakit berpendar, karena

krustasea yang terinfeksi akan terlihat terang dalam keadaan gelap (malam hari).

Pada dasarnya bakteri ini bersifat oportunistik dan akan menjadi patogen jika pada

media pemeliharaannya terjadi goncangan secara drastik, seperti perubahan suhu,

pH, salinitas dan faktor lainnya, Menurut ROZA & ZAFRAN (1998) batas aman

keberadaan populasi bakteri di dalam bak pemeliharaan adalah 8,35 x 104

koloni/ml. Bakteri ini merupakan penyebab utama terhadap tingginya tingkat

kematian pada larva krustasea.

Jenis-jenis bakteri selain Vibrio harveyi yang dapat menyebabkan penyakit pada

krustasea, adalah V. carcharial, V. alginolyticus dan V. parahaemolyticus

(PANRENRENGI et al, 1993). Patogenesitas ketiga bakteri tersebut terhadap larva

krustasea pada stadium zoea msoh lebih rendah dibandingkan V. harveyi. Selain

ketiga bakteri Vibrio di atas, Vibrio anguillarum juga dapat menyebabkan timbulnya

penyakit yang menyebabkan kerusakan lapisan khitin pada kulit, sehingga terjadi

luka-luka di pinggiran kulit pada ruas perut I-III dan uropoda disertai dengan
4

timbulnya bercak-bercak hitam pada luka, karena terjadinya akumulasi pigmen

hitam. Kasus ini hampir selalu dijumpai pada stok induk udang yang disimpan dalam

bak.

Selain menimbulkan penyakit pada biota budidaya, bakteri dapat pula

mengkontaminasi biota budidaya, sehingga ketika biota tersebut dikonsumsi akan

menimbulkan penyakit/ keracunan pada konsumen. MOLITORIS et al, dalam

INDARYANTI (1999) berhasil mengisolasi 2 jenis Vibrio, yaitu V alginolyticus dan V.

parahaemolyticus dari Teluk Jakarta dari berbagai makanan laut, antara lain ikan

mack- erel, udang dan cumi-cumi. Selanjutnya disimpulkan bahwa kedua jenis Vibrio

ini merupakan jenis bakteri laut setempat (autoch- thonous). Vibrio parahaemolyticus

dikenal sebagai penyebab gastroenteritis di hampir seluruh dunia dan dapat diisolasi

dari makanan laut serta tempat-tempat perairan estuaria, neritik dan teluk.

Vibrio alginolyticus dan V. parahaemolyticus merupakan agen penyebab

septikemia pada udang saat periode larva dan post larva. Penyakit ini timbul sebagai

akibat penyebab lain yaitu defisiensi vitamin C, toksin, luka dan karena stres berat

(LIGHTNER dalam DARMONO, 1995). Vibrio parahaemolyticus mampu

menyebabkan lisis pada sel-sel darah tubuh inang. Sebagai organisme aquatik,

Vibrio spp mempunyai kelimpahan yang tinggi pada lingkungan perairan dan

biasanya berhubungan erat dengan organisme laut. Umumnya bakteri ini

merupakan patogen oportunistik untuk hewan poikiloterm dan homoioterm di

perairan (PARKINS, 1990).

2. Aeromonas spp.

Aeromonas spp, terutama dari jenis Aeromonas hydrophila, merupakan bakteri

yang dapat ditemukan secara luas dalam lingkungan perairan dan telah lama

diketahui sebagai bakteri patogen bagi biota air tawar maupun air laut, karena
5

bakteri Aeromonas spp ini bersifat saprofitik dan parasit obligat (POST, 1983). Hal ini

telah dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis, yaitu dari 10 sampel

yang berasal dari berbagai lingkungan media pemeliharaan kepiting, hanya satu

sampel yang tidak mengandung bakteri Aeromonas spp.

Selain itu RUYITNO & HATMANTI (2001) dalam penelitiannya di perairan Kuala

Tungkal Jambi, telah menemukan bakteri Aeromonas spp. dan Proteus spp. pada

12 contoh air. Bakteri ini mampu hidup optimal pada kisaran suhu 25 - 30° C.

Kondisi ini memungkinkan Aeromonas spp berpotensi menyebabkan penyakit ikan di

Indonesia. Menurut RYANDINI dkk. (1998) keberadaan bakteri Aeromonas spp dan

Vibrio spp merupakan indikasi munculnya wabah penyakit biota laut khususnya

pada udang.

3. Salmonella spp

Penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini disebut sebagai Salmonellosis. Pada

krustasea maupun biota lain yang dikonsumsi oleh manusia, tidak diperbolehkan

terdapat bakteri ini, karena dapat mengakibatkan demam enterik, septikemia dan

gastroenteritis (WORLD HEALTH ORGANIZATION, 1977). Berkaitan dengan hal

tersebut, maka pada lingkungan perairan budidaya biota laut dan kehidupan biota

laut harus diupayakan bebas dari bakteri Salmonella spp. (MENKLH, 1988). Jika

suatu perairan telah terkontaminasi oleh Salmonella spp, menunjukkan adanya

penurunan kualitas air.

4. Bakteri patogen lain.

Bakteri patogen lain yang sering ditemukan pada lingkungan tempat hidup

krustasea, terutama rajungan/kepiting dan udang windu adalah Shigella spp.,

Pseudomonas spp., Citrobacter spp., Yersinia spp. dan Proteus spp., Shigella spp.

dan Pseudomonas spp. merupakan bakteri patogen bagi biota, sedangkan


6

Citrobacter spp., Yersinia spp. dan Proteus spp. pada awalnya bukan merupakan

patogen, namun pada suatu saat apabila kondisi lingkungannya memungkinkan

dapat pula menyebabkan penyakit (bersifat oportunis).

Selain bakteri tersebut di atas, pada budidaya udang di tambak ditemukan pula

jenis bakteri yang berbentuk benang, yaitu Leucothrix sp. Bakteri tersebut sering

terdapat pada insang, permukaan badan dan kaki-kaki renang udang. Sel-sel

benang dari bakteri Leucotrix sp. tersebut membentuk anyaman, menempel pada

permukaan insang dan bagian- bagian badan lain. Bakteri tersebut tidak merusak

jaringan tubuh, tetapi merupakan tempat menempelnya lumut-lumut di air. Insang

yang ditumbuhi bakteri Leucothrix sp. warnanya menjadi coklat pucat atau

kehijauan, dan semakin penuh dengan kotoran dan jasad penempel, sehingga

mengganggu proses pernafasan. Bakteri ini sering tumbuh dari sisa- sisa makanan,

membentuk lapisan putih di atas endapan partikel organik di dasar bak hatch- ery.

Pada infeksi berat mengakibatkan kematian udang terutama terjadi saat berganti kulit

atau segera setelah berganti kulit (BALAI PERTANIAN CIAWI, 1990).

2.2. Cara Penanggulangan Penyakit Bakterial Pada Budidaya Krustasea

Beberapa cara penanggulangan/penanganan penyakit bakterial pada

budidaya krustasea antara lain adalah secara kimia, fisika, dan biologis, yang akan

digambarkan pada tulisan di bawah ini:

2.2.1. Penanggulangan Penyakit Bakterial secara Kimia

Bahan-bahan kimia yang sering digunakan untuk penanggulangan penyakit

bakterial adalah antibiotik, yaitu melalui pengrusakan membran sel, sehingga sel

menjadi lisis. Penggunaan antibiotik ini dapat dilakukan pada stadium larva maupun

dewasa. Namun hasil yang diperoleh kurang memuaskan dan menimbulkan efek
7

samping yang merugikan lingkungan, diantaranya terjadinya keracunan bahkan

dapat menimbulkan kematian terhadap biota lain yang menguntungkan (RUKYANI &

TAUHID, 1984). Sedangkan biota target dapat mengalami resistensi terhadap bahan

kimia tersebut.

Penggunaan antibiotik secara rutin yang banyak diterapkan oleh panti benih

komersial di Indonesia, dapat menyebabkan munculnya strain Vibrio yang resisten

terhadap antibiotik. Hal ini dibuktikan oleh ZAFRAN dkk. (1997b), pada penelitian

tentang resistensi isolat Vibrio dari beberapa panti benih Udang Windu (Peneaus

monodon) terhadap antibiotik. Uji antibiotik yang digunakan adalah Kloramfenikol (CP),

Oksitetracyclin (OTC), dan Furazolidon (FZ) terhadap 7 jenis bakteri Vibrio yang

diperoleh dari panti benih penelitian dan panti benih komersial di Bali dan Jawa

Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat bakteri Vibrio yang disolasi dari

panti benih komersial ternyata lebih resisten terhadap 3 jenis antibiotik daripada

Vibrio yang diisolasi dari panti benih penelitian, yaitu masing-masing 1,9 ppm; 9,8

ppm dan 15 ppm. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik

secara terus menerus akan menimbulkan resistensi bakteri patogen.

Penggunaan antibiotik ini dapat dilakukan pada larva maupun pada induk

krustasea. Pengendalian V. harveyi pada larva kepiting bakau (Scylla serrata, Forskal)

melalui desinfeksi induk selama pengeraman telur telah dilakukan oleh ROZA &

JOHNNY (1999). Percobaan ini menggunakan 3 jenis antibiotik, yaitu Oksitetracyclin,

Prefuran dan Furazolidon dengan konsentrasi terendah masing-masing 31,2 mg/L;

7,8 mg/L dan 31,2 mg/L yang diaplikasikan pada induk yang sedang mengerami

telur yang diinfeksikan dengan V. harveyi pada kepadatan 103 koloni/ml.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan antibiotik pada konsentrasi


8

efektif terendah mampu mengurangi jumlah V. harveyi dan dapat meningkatkan daya

tetas telur dan kinerja larva kepiting bakau. RUSDI & ZAFRAN (1998) menggunakan

antibiotik yang sama untuk menekan mortalitas larva kepiting bakau akibat serangan

V. harveyi. Selanjutnya disebutkan bahwa penambahan ketiga jenis antibiotik ini

pada konsentrasi tertentu dapat menghambat pertumbuhan V. harveyi dan

menurunkan mortalitas larva akibat serangan V. harveyi. Konsentrasi terendah

antibiotik yang mampu menekan V. harveyi dan menurunkan mortalitas larva kepiting

bakau masing-masing adalah Oksitetrasiklin 6,25 mg/L; Prefuran 12,50 mg/L dan

Furazolidon 12,50 mg/L. CORLIS dalam BALAI PERTANIAN CIAWI (1990) berhasil

menekan pertumbuhan V. alginolyticus dengan menggunakan antibiotik yang

langsung dilarutkan dalam air atau dicampur dalam makanan. Dosis efektif yang

digunakan adalah Terramycin 360-387 mg/kg berat badan per hari selama 14 hari.

Selain itu, untuk menekan pertumbuhan V. anguillarum digunakan campuran

Malachit Green dan Formalin dengan dosis 0,05 - 0,1 mg/ L atau Terramycin yang

dicampurkan ke dalam makanan dengan dosis 20 gr untuk 45 kg makanan. Dosis

tersebut efektif dengan pemberian makanan 10 % berat badan per hari selama 14

hari berturut-turut. Jumlah bakteri Leucothrix sp dapat diturunkan menggunakan

Kalium Permanganat pada dosis 5 - 1 0 mg/L selama 1 jam perendaman. Selain

menggunakan antibiotik, terdapat pula cara lain yang lebih efektif, yaitu

menggunakan bahan-bahan kimia yang merupakan ekstrak aktif biota alami laut.

Dewasa ini mulai dikembangkan penelitian mengenai kemungkinan penggunaan

bioaktif untuk menekan perkembangan bakteri patogen.

Penelitian mengenai penggunaan ekstrak spons Auletta sp. untuk

menanggulangi pertumbuhan Vibrio spp. pada udang windu (Peneaus monodon)


9

telah dilakukan oleh MULIANI dkk. (1998a). Ekstrak spons tersebut digunakan untuk

merendam larva yang telah terinfeksi oleh Vibrio spp. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa ketiga jenis spons tersebut mampu menekan perkembangan populasi dan

menekan patogenitas Vibrio spp sehingga meningkatkan sintasan udang windu

(Peneaus monodon). Dosis yang efektif untuk digunakan berkisar antara 200 dan

300 ppm. EFFENDI & SUHARDI (1998) juga telah meneliti kemungkinan

tumbuhan mangrove digunakan sebagai antibakteri pada penyakit udang yaitu

Vibrio parahaemolyticus dan V. harveyi. Pada penelitian ini telah digunakan

empat jenis tumbuhan yaitu Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, Avicennia

alba dan Nypa fruticans.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa V. parahaemolyticus dapat dihambat oleh

keempat jenis tumbuhan uji, sedangkan Vibrio harveyi dapat ditekan oleh R.

apiculata, B. gymnorrhiza dan N. fruticans. Berdasarkan tingkat daya hambat zat

antibakteri yang ditunjukkan oleh terbentuknya zona hambat (inhibition zone) dari

keempat jenis tumbuhan uji, diperoleh bahwa N. fruticans (nipah) membentuk zona

hambat yang paling luas yang berarti mempunyai daya hambat yang paling

baik. Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa zat antibakteri

yang dikandung mangrove cukup tinggi, sehingga mempunyai potensi untuk

dikembangkan dalam penanganan penyakit udang di tambak maupun jenis

krustasea.

2.2.2. Penanggulangan Penyakit Bakteri secara Fisika

Teknik secara fisika merupakan cara lain di samping penggunaan teknik secara

kimia. Secara garis besar, teknik ini ialah dengan pengaturan kondisi lingkungan

pemeliharaan krustasea, di antaranya meliputi pengaturan suhu, salinitas, pH,


10

maupun teknis pemberian pakan. Menurut JUWANA (1997) keberadaan bakteri

patogen Aeromonas spp. dan Pseudomonas spp. dapat ditanggulangi dengan

mengatur salinitas air laut yang digunakan sebagai media pemeliharaan pada

kisaran 28 ‰, suhu 30°C dan penggunaan diet semi murni AMZV1L1T, selain

nauplii Artemia untuk pemeliharaan larva rajungan. Sebagai antisipasi terdapatnya

bakteri patogen pada air pemeliharaan, dilakukan pola penyaringan secara

terus menerus atau resirkulasi (HEASMAN & FIELDER, 1983).

2.2.3. Penanggulangan Penyakit Bakteri secara Biologis

Alternatif teknik yang paling efektif untuk mencegah dan menanggulangi

terjadinya kontaminasi pada budidaya krustasea adalah secara biologis. Cara ini

dilakukan dengan pemberian vaksinasi, baik melalui oral maupun penyuntikan,

penggunaan musuh alami atau kompetitor bagi bakteri patogen. Penggunaan cara

vaksinasi untuk menekan pertumbuhan V. harveyi pada budidaya krustasea telah

dilakukan oleh ZAFRAN dkk. (1997a), yaitu dengan menggunakan penambahan

bakteri ke dalam pakan mikro. Bakteri yang digunakan dalam penelitian tersebut

adalah bakteri V. harveyi yang dimatikan (vaksin). Bakteri tersebut kemudian

dimasukkan dalam pakan mikro larva udang windu (Peneaus monodon). Pakan mikro

diberikan terlebih dahulu selama satu hari kemudian dilakukan uji tantang terhadap

V. harveyi hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian V. harveyi mati

sebagai vaksin ke dalam pakan mikro, dapat meningkatkan ketahanan larva udang

windu (Peneaus monodon) terhadap infeksi V. harveyi, sehingga sintasannya dapat

lebih tinggi.

Teknik lain secara biologis adalah menggunakan musuh alami atau kompetitor

bakteri patogen. Teknik ini menggunakan bakteri maupun organisme lain yang dapat

berperan sebagai musuh alami maupun kompetitor bagi bakteri patogen.


11

Penggunaan berbagai jenis bakteri untuk menghambat perkembangan V. harveyi

pada pemeliharaan kepiting bakau, telah dilakukan oleh TAUFIQ & ZAFRAN (1997).

Penelitian ini dimulai dengan mencari isolat bakteri yang mempunyai daya hambat

yang baik terhadap bakteri patogen dimaksud. Pada penelitian TAUFIQ & ZAFRAN

(1997) diperoleh 3 jenis bakteri yang merupakan bakteri dari genus Vibrio. Ketiga

bakteri tersebut setelah ditambahkan pada air pemeliharaan selama 24 jam dan

diujikan, ternyata mempunyai kemampuan menekan perkembangan V. harveyi dan

menurunkan patogenitasnya terhadap larva kepiting bakau.

Selain menggunakan bakteri lain, musuh alami atau kompetitor dapat berupa

fitoplankton. Pemanfaatan fitoplankton untuk menekan perkembangan V. harveyi

pada budidaya udang windu telah dilakukan oleh TAUFIQ dkk (1996). Penelitian ini

berupa penambahan 3 jenis fitoplankton yaitu Chaetoceros ceratospora, Tetraselmis

tetrathele dan Thalassiosira spp. pada media pemeliharaan udang windu yang

diinfeksi dengan kultur murni V. harveyi.

Hasil menunjukkan bahwa setelah inkubasi selama 24 jam pemanfaatan

fitoplankton ini dapat meningkatkan perkembangan larva. Chaetoceros ceratospora

memperlihatkan kemampuan yang lebih unggul dibandingkan 2 jenis fitoplankton

lainnya. YUNUS dkk. (1998) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh

pemberian jenis fitoplankton yang berbeda terhadap sintasan larva kepiting bakau (Scylla

serata). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis fitoplankton yang sesuai

untuk pemeliharaan larva kepiting bakau pada masa stadia awal. Jenisfitoplankton yang

digunakan adalah Nannochloropsis spp., Tetraselmis spp. dan Chaetoceros spp.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Chaetoceros spp. dan Nannochloropsis

spp. mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan Tetraselmis spp., yaitu

masing-masing 17,67 %, 16,00 % dan 4,00 %. Oleh karena itu Chaetoceros spp. dan
12

Nannochloropsis spp. merupakan jenis fitoplankton yang sesuai untuk pemeliharaan

larva kepiting bakau pada stadia awal.

Selain itu, penggunaan kerang- kerangan sebagai biofilter terhadap kelimpahan dan

komposisi jenis bakteri pada budidaya udang windu (Peneaus monodon) dengan

sistem resirkulasi air telah dilakukan oleh MULIANI dkk. (1998b). Penelitian tersebut

dimaksudkan untuk melihat pengaruh penggunaan kerang-kerangan terhadap

komposisi jenis dan kelimpahan bakteri pada pemeliharaan udang windu (Peneaus

monodon) dengan sistem resirkulasi air. Udang windu yang digunakan adalah

ukuran pascalarva sebanyak 100 individu / bak, sebagai hewan uji. Kerang yang

digunakan adalah kerang hijau (Perna viridis), tiram (Crassostrea iredalei) dan

kerang bakau (Geloina coaxan), masing-masing sebanyak 250 gram bobot daging

sebagai biofilter.

Dari hasil penelitian yang dilakukan memberi gambaran bahwa kandungan

jumlah bakteri dalam wadah pemeliharaan terendah adalah pada perlakuan yang

menggunakan tiram sebagai biofilter, kemudian kerang bakau, dan yang terakhir adalah

kerang hijau dan kontrol (U2 < U3 < U1 < Uk). Kualitas mikrobiologis air laut yang

diresirkulasi sama dengan air laut baru yang tidak diresirkulasi. Hasil identifikasi terhadap

komposisi jenis bakteri pada semua perlakuan relatif sama yaitu Acinetobacter spp.,

Aeromonas spp., Bacillus spp., Enterobacteriaceae, Flavobacterium spp.,

Micrococcus spp., Pseudomonas spp., Staphylococcus spp. dan Vibrio spp. Secara

sederhana, teknik penanggulangan penyakit bakterial di Indonesia dapat dilihat pada bagan

berikut ini:
13

Gambar 1. Bagan Teknik Penanggulangan Penyakit Bakterial pada Budidaya Krustasea

Bagan tersebut merupakan hasil ringkasan teknik penanggulangan penyakit

bakterial pada budidaya krustasea di Indonesia. Pemilihan teknik penanggulangan

penyakit tersebut disesuaikan dengan kondisi lingkungan, teknik pemeliharaan,

dan kemampuan finansial yang ada. Pemilihan teknik penanggulangan penyakit

bakterial yang tepat dapat meningkatkan hasil. Oleh karena itu diperlukan

pengetahuan mengenai teknik penanggulangan penyakit bakterial. Tulisan ini

diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai alternatif-alternatif

penanggulangan penyakit bakterial sekaligus dapat memberikan inspirasi bagi

terciptanya teknik-teknik penanggulangan penyakit pada biota budidaya lain.


14

BAB III
PENUTUP

Bakteri yang dapat menyebabkan penyakit pada budidaya krustasea terdiri dari

Vibrio spp., Aeromonas spp., Salmonella spp., dan bakteri lainnya, seperti Shigella

spp., Pseudomonas spp., Citrobacter spp., Yersinia spp. dan Proteus spp., termasuk

Leucothrix sp. Penyakit bakterial pada budidaya krustasea dapat dikendalikan/

ditanggulangi menggunakan cara kimia, fisika dan biologis. Pemilihan teknik

penanggulangan penyakit tersebut disesuaikan dengan kondisi lingkungan, teknik

pemeliharaan dan kemampuan finansial yang ada.


15

DAFTAR PUSTAKA

Austin, B. 1992. Marine Microbiology, Sec- Ond Editions. Cambridge University Press,
Cambridge: 222 Pp.

Balai Pertanian Ciawi. 1990. Penyakit Dan Parasit Pada Udang Di Tambak. Buletin
Informasi Pertanian Ciawi 01 (02):7-10.

Darmono, 1995. Budidaya Udang Peneaus. Penerbit Kanisius, Yogyakarta: 30 Hal.

Effendi, I. Dan Suhardi. 1998. Studi

Pendahuluan Tumbuhan Mangrove Sebagai Zat Antibakteri Terhadap Bakteri


Penyakit Udang, Vibrio Parahaemolyticus Dan V. Harveyi. Prosiding
Seminar Vi Ekosistem Man- Grove Pekanbaru: 278 - 287.

Heasman, M.P. And D.R. Fielder. 1983. Laboratory Spawning Massrearing At The
Mangrove Crab, Scylla Serrata (Forskal) For 1st Zoea To 1st Crab Stag.
Aquaculture 2 (34) : 303 - 316.

Idel, A. Dan S. Wibowo. 1996. Budidaya Bandeng Modern. Penerbit Gita Media
Press, Surabaya. 45 Hal.

Indaryanti, W. 1999. Kelulushidupan Dan Daya Tahan Tubuh Benih Ikan Lele Dumbo
Yang Diberi Vaksin Hidrovet Pada Infeksi Beberapa Strain Bakteri
Aeromonas Hydrophyla. Skripsi. Fakultas Biologi Unsoed, Purwokerto :
50 Hal. (Tidak Diterbitkan).

Juwana, S. 1997. Produksi Massal Benih Rajungan (Purtunus Pelagicus) Di Pusat


Penelitian Dan Pengambangan Oseanologi Lipi, Jakarta. Ii Sumber
Induk, Pengelolaan Salinitas Dan Ransum Makanan. Dalam
Inventarisasi Dan Evaluasi Potensi Laut - Pesisir Ii, Geologi, Kimia,
Biologi, Dan Ekologi. (D.P. Praseno, W.S. Atmaja, I. Supangat, Ruyitno, B.S.
Sudibyo. Eds.). Puslitbang Oseanologi Lipi, Jakarta: 112 -122.

Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan Hidup. 1998. Kep-Men


Kependudukan Dan Lingkungan Hidup Nomor : Kep - 02/Menklh/I/
1988. Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan, Jakarta. 57
Hal.

Muliani, E. Suryati Dan T. Ahmad. 1998a. Penggunaan Ekstrak Spons Untuk


Penanggulangan Vibrio Spp Pada Udang Windu (Peneaus Monodon).
Jurnal Penelitian Perikanan Indone- Sia 4 (1): 109-115.

Muliani, M. Atmomarsono Dan M.I. Madeali. 1998b. Pengaruh Penggunaan


Kekerangan Sebagai Biofilter Terhadap Kelimpahan Dan Komposisi
16

Jenis Bakteri Pada Budidaya Udang Windu (Peneaus Monodon) Dengan


Sistem Resirkulasi Air. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 4 (4): 54 -
61.

Panrenrengi, A., Zafran, D.R. Boer Dan Rusdi. 1993. Identifikasi Dan Patogenisitas
Beberapa Bakteri Vibrio Pada Larva Kepiting Bakau, Scylla Serrata.
Jurnal Penelitian Budidaya Pantai 9 (3): 125-130.

Parkins, F.O. 1990. Pathology In Marine Sciences. Academic Press, Inc. New York.
146 Pp.

Post, G.W. 1983. Textbook Of Fish Health. Publication Inc., Hongkong. 430 Pp.

Puslitbangtan. 1987. Petunjuk Teknis Bagi Pengoperasian Unit Usaha Pembesaran


Udang Windu. Balitbang Pertanian, Jakarta. 60 Hal.

Roza, D. Dan F. Johnny. 1999. Pengendalian Vibrio Harveyi Pada Larva Kepiting Bakau
(Scylla Serrata, Forskal) Melalui Desinfeksi Induk Selama Pengeraman
Telur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 5 (2): 28 - 34.

Roza, D. Dan I. Zafran, 1998. Pengendalian Vibrio Harveyi Secara Biologis Pada Larva
Udang Windu (Peneaus Monodon) : Aplikasi Bakteri Penghambat.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 4 (2): 24 - 30.

Rukyani, A. Dan Taukhid. 1984. Ketahanan Benih Ikan Lele Dumbo (Clarias
Gariepinus) Terhadap Serangan Parasit Ichthyophtirius Multifilis
Dengan Memberikan Vaksin Tetrahy- Mena Pyriformis. Buletin Penelitian
Perikanan Darat 11 (2): 28 - 34.

Rusdi, I. Dan Zafran. 1998. Percobaan Pengendalian Vibrio Harveyi Yang Berasal
Dari Larva Kepiting Bakau Secara In Vitro Dengan Berbagai Jenis
Antibiotik. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 4 (2): 86-90.

Ruyitno Dan A. Hatmanti, 2001. Kondisi Mikrobiologis Perairan Kuala Tungkal


Jambi Sebagai Habitat Budidaya Kerang Darah. Dalam : Inventarisasi
Dan Evaluasi Laut Dan Pesisir Vii Tahun 2001- P3o Lipi (A.S.
Genisha, H. Hutagalung Dan Ruyitno N. Eds.). Halaman:183-192.

Ryandini, D., Sukanto Dan A. Irianto, 1998. Eksistensi Bakteri Patogen


Pada Udang (Aeromonas Spp Dan Vibrio Spp) Pada Tambak Udang Di
Wilayah Pantai Utara Jawa Tengah. Laporan Penelitian. Fakultas Biologi
Unsoed, Purwokerto. 43 Hal. (Tidak Diterbitkan).

Taufiq, I. Dan Zafran. 1997. Uji Daya Hambat Berbagai Jenis Bakteri Terhadap
Perkembangan Vibrio Harveyi Pada Pemeliharaan Larva Kepiting
Bakau. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 3 (L): 36-43.
17

Taufiq, I., Zafran, I. Koesharyani Dan D. Roza Boer. 1996. Pemanfaatan Fitoplankton
Untuk Menekan Perkembangan Vibrio Harveyi. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia 2 (2): 37-41.

World Health Organization, 1977. Guidelines For Health Related Moni- Toring Of
Coastal Water Quality, Who. Regional Office For Europe. Copenhagen:
165 Pp.

Yunus, D. Roza Dan K. Sugama. 1998. Pengaruh Pemberian Jenis Fitoplankton Yang
Berbeda Terhadap Sintasan Larva Kepiting Bakau (Scylla Serrata). Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia 4 (3): 84-89.
Zafran, D. Rosa Dan K. Suwirya. 1997a. Peningkatan Sintasan Dan Ketahanan Larva
Udang Windu (Peneaus Monodon) Menggunakan Penambahan Vibrio
Harveyi Ke Dalam Pakan Mikro. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 3
(4): 51-56.

Zafran, D. Roza Dan 1. Koesharyani. 1997b. Resistensi Isolat Dari Beberapa Panti
Benih Udang Windu (Peneaus monodon) terhadap Antibiotik. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia 3(1): 11-15.

Anda mungkin juga menyukai