Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

Tetanus Generalisata

Pembimbing :

dr. Joko Setiyanto

Disusun oleh :

dr. Cantik Maharendra Putri

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


ANGKATAN III SEPTEMBER
RSUD DR. HARJONO S PONOROGO JAWA TIMUR
TAHUN 2020

1
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn D

Umur : 71 tahun

Jenis Kelamin : Laki - laki

Agama : Islam

Status Menikah : Menikah

Pekerjaan : Petani

Suku Bangsa : Jawa

Alamat : Dukuh Bendo

Tanggal MRS : 9/10/2020 pukul 23.30

II. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama

Kaku seluruh tubuh

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD dengan keluhan kaku seluruh tubuh sejak 1


minggu yang lalu, dan dirasakan memberat beberapa jam SMRS. Keluhan
ini dirasakan secara tiba-tiba dan dirasakan semakin memberat dalam 1
minggu terakhir. Awalnya kaku dirasakan di pada kedua tangan dan kaki,
yang membuat pasien sulit untuk berjalan. Pasien juga mengeluhkan sulit
membuka mulut, memberat sejak beberapa jam SMRS. Selain itu, pasien
juga mengeluhkan adanya riwayat demam yang dirasakan hilang timbul
sejak 1 minggu terakhir. Riwayat tertusuk paku pada daerah tangan ada 2
minggu sebelum masuk rumah sakit, dan mengaku bahwa pasien sudah

2
sempat berobat di klinik, dan luka tersebut sudah dibersihkan karena pada
saat itu luka masih kotor, namun pasien mengaku tidak mendapatkan
suntikan antitetanus dan dirasakan tidak membaik. Mual (-), muntah (-),
penurunan kesadaran (-), demam (-), batuk (-), pilek (-) diare (-). Riwayat
bepergian disangkal. Kontak (-)

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat keluhan yang sama (-). Riwayat kejang sebelumnya disangkal.

DM (-). HT (-).

4. Riwayat Pemakaian Obat

Pasien belum mengonsumsi obat.

5. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat kejang pada keluarga tidak ada


Riwayat keluhan yang sama pada keluarga tidak ada
Riwayat diabetes melitus pada keluarga tidak ada

6. Riwayat Alergi

Tidak ada riwayat alergi obat atau alergi makanan sebelumnya.

7. Riwayat Pribadi dan Sosial

Pasien bekerja sebagai petani dan tinggal bersama istri dan anak. Aktivitas sehari
– hari pasien di sawah.
Merokok (+)
Alkohol (-)
Kopi (+)
Penggunaan obat-obatan (-)

3
III. . PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis
 Keadaan Umum : tampak lemah
 Kesadaran : Compos mentis.
 GCS : E4 V5 M6
 Status Gizi : Baik
 Tanda vital
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg.
- Nadi : 80 x/menit.
- Suhu : 37,20C.
- Frekuensi Pernapasan : 20 x/menit.
- SpO2 : 99%
 Kepala : Normocephali, massa (-), trismus
(+)
Rhisus sardonikus (+)
Mata : Konjungtiva Anemis - / -, Sklera Ikterik - / -

Hidung : Septum deviasi (-), massa (-)

 Leher : Tidak ada perbesaran kelenjar getah bening


Kaku kuduk (-)
 Thoraks : Cor : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Ves +/+ , Rhonki -/-,Wheezing -/-

 Abdomen : Peristaltik (+), Nyeri tekan (-), defans muskular (+)


 Ekstremitas : CTR< 2 detik, Akral hangat (+), Edema -/-
 Corpus Vertebrae :
Inspeksi : Deformitas (+), Tanda radang (-), opistotonus (+)
Palpasi : Nyeri tekan (+)

4
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hematologi (Tanggal 09-10-2020)


ITEM PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL SATUAN

HEMATOLOGI

Hematologi Lengkap

Hb 14,4 11,7-15,5 g/dL

Eritrosit 4,64 3,8-5,2 juta/uL

Leukosit 9,1 3.6-11 ribu/ uL

Trombosit 299 150-440 ribu/mm3

Hematokrit 43,2 35-47 %

Index Eritrosit

MCV 85,5 70-96 fL

MCH 28,7 26-34 pg

MCHC 33,6 30-36 %

Hitung Jenis Leukosit

Eosinofil 3,9 2-4 %

Basofil 0,4 0-1 %

Limfosit 17,0 %

Neutrofil 26,2 25-40 %

Monosit 6,2 2-8 %

Glukosa Darah
g/dL
Glukosa Darah Sewaktu 164

Serologi (9/10/2020) :

- IgM Rapid Covid19 : Non Reactive


- IgG Rapid Tes Covid19 : Non Reactive

5
Hasil Pemeriksaan EKG (09/10/2020):

Hasil Pemeriksaan Thorax AP (07/10/2020):

V. DIAGNOSIS KERJA

Tetanus Generalisata

VI. DIAGNOSA BANDING

General Seizure

6
VII. PENATALAKSANAAN

MRS
O2 nasal canul 4 lpm
IVFD RL 20 tts/menit
Konsul Sp.B
Inj Ceftriaxon 2 x 1 gr
Drip Metronidazole 3 x 500mg
Inj Ranitidin 2 x 1 amp
Inj Santagesik 3 x 1 amp
Drip Diazepam 3 amp dalam NaCl 0,9% 500 cc 20tpm
Tetagam (4 amp gluteus dextra, 4 amp gluteus sinistra)
Pasang NGT
Pasang DK

VIII. PROGNOSIS

Quo Ad vitam : Dubia ad bonam


Quo Ad Functional : Dubia ad bonam
Quo Ad Sanationam : Dubia ad bonam

7
TETANUS GENERALISATA

I. Pendahuluan
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik
yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang
diproduksi oleh Clostridium tetani yang berhasil diisolasi dari tanah anaerob yang
mengandung bakteri. 1

Spora Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka


pada kulit oleh karena terpotong, tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi
tali pusat (Tetanus Neonatorum). Penyakit ini ditandai oleh adanya trismus,
disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering progresif
menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan respirasi
dan ketidakstabilan kardiovaskular. Penyakit ini diduga bertanggung jawab atas
800.000-1.000.000 kematian setiap tahunnya di seluruh dunia yang diduga
disebabkan oleh komplikasi kardiovaskular akibat adanya instabilitas otonom dan
juga kegagalan nafas yang dapat muncul pada pasien dengan infeksi tetanus yang
berat. 1,2

II. Epidemiologi
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu memengaruhi orang
yang belum diimunisasi; orang yang diimunisasi sebagian dan individu yang
diimunisasi lengkap yang gagal mempertahankan kekebalan yang memadai
dengan dosis vaksin pendorong juga dapat terpengaruh. Meskipun tetanus
sepenuhnya dapat dicegah dengan imunisasi, beban penyakit di seluruh dunia
sangat besar. Tetanus adalah penyakit yang dapat diberitahukan di banyak negara,
tetapi pelaporan diketahui tidak akurat dan tidak lengkap, terutama di negara-
negara berkembang. Terlepas dari niat WHO untuk memberantas tetanus pada
tahun 1995, penyakit tetap endemik pada sebagian besar negara berkembang di

8
dunia dan WHO memperkirakan sekitar 1.000.000 kematian dari tetanus di
seluruh dunia pada tahun 1992. Ini termasuk 580.000 kematian dari tetanus
neonatal, dengan 210.000 di Asia tenggara dan 152.000 kematian di Afrika. 2,3

Di Indonesia sendiri, data dari dinas kesehatan Jawa Barat tahun 2004
mencatat kejadian tetanus di Jawa Barat dilaporkan sebanyak 68 kasus dengan
angka kematian mencapai 45%. Data di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung
sendiri pada periode 1 Januari – 31 Desember 2005 mencatat adanya 68 orang
penderita tetanus yang di rawat di bangsal bagian saraf.1

III. Patofisiologi
Kontaminasi luka terhadap spora C. tetani mungkin menjadi penyebab
tersering terjadinya infeksi tetanus. Namun, germinasi dan produksi toksin hanya
bisa terjadi pada luka dengan potensi reduksi oksidasi yang rendah, seperti luka
yang disertai jaringan yang rusak, benda asing, atau infeksi aktif. Bakteri C. tetani
sendiri tidak menyebabkan terjadinya peradangan, dan pintu masuknya tetap
tampak tidak berbahaya kecuali jika terdapat koinfeksi dengan organisme lain.
Toksin yang dilepaskan di luka akan berikatan dengan terminal neuron motor
perifer, memasuki akson, dan diangkut ke badan sel saraf di batang otak dan
sumsum tulang belakang dengan transportasi intraneuronal retrograde. Toksin
tersebut kemudian bermigrasi melintasi sinaps ke terminal presinaptik, di mana ia
memblokir pelepasan neurotransmitter inhibitorik berupa glisin dan asam γ-
aminobutirat (GABA) dari vesikel. 2,3

Toksin tetanus adalah metalloproteinase yang bergantung pada mineral zinc


yang menargetkan protein (synaptobrevin / protein membran yang berhubungan
dengan vesikel — VAMP) yang diperlukan untuk proses pelepasan
neurotransmitter dari ujung saraf melalui fusi vesikel sinaptik dengan membran
plasma neuron. Gejala awal infeksi tetanus lokal adalah manifestasi neurologis
berupa paralisis flaccid, disebabkan oleh gangguan dengan pelepasan asetilkolin
di neuromuscular junction, seperti yang terjadi dengan toksin botulinum. Namun,
tidak seperti toksin botulinum, toksin tetanus mengalami transpor retrograde yang
luas pada akson neuron motorik bawah dan dengan demikian mencapai sumsum
tulang belakang atau batang otak. Di sini, toksin diangkut melintasi sinaps dan

9
diambil oleh ujung saraf neuron inhibitorik GABAergik dan / atau glikinergik
yang mengontrol aktivitas lower motor neuron. Begitu masuk ke dalam terminal
saraf inhibitorik, toksin tetanus mempengaruhi VAMP, sehingga menghambat
pelepasan GABA dan glisin. Hasilnya adalah denervasi lower motor neuron
parsial, fungsional, yang mengarah ke hiperaktifitas dan peningkatan aktivitas otot
dalam bentuk kekakuan dan kejang. Tetanus generalisata terjadi ketika toksin
yang dilepaskan dalam luka memasuki saluran limfatik dan aliran darah dan
menyebar luas ke terminal saraf yang jauh; sawar darah-otak menghalangi toksin
tersebut untuk dapat masuk secara langsung menuju ke sistem saraf pusat. Jika
diasumsikan bahwa waktu transpor intraneuronal sama untuk semua saraf, saraf
pendek akan cenderung lebih dipengaruhi dibandingkan dengan pada saraf yang
panjang: fakta ini menjelaskan keterlibatan berurutan saraf kepala, batang tubuh,
dan ekstremitas dalam tetanus generalisata. 2,3,4

IV. Gejala Klinis


Berdasarkan manifestasi klinis, tetanus dapat diklasifikasikan menjadi
tetanus generalisata, local, dan atau sefalik.
1. Tetanus Generalisata
Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling sering dijumpai.
Awalnya berupa tetanus local yang berkembang luas setelah
beberapa hari. gejala yang sering muncul: Hipertonus otot, spasme,
trismus, kaku di leher, bahu serta ekstremitas (biasanya terekstensi,
abdomen papan (abdomen tersa keras dan rata), risusr sardonikus
(kontraksi pada otot wajah), opistotnus, spasme pada otot
pernapasan.3,5
2. Tetanus Lokal
Tetanus Lokal merupakan yang paling ringan dibandingkan tetanus
lainnya, biasanya gejala yang muncul berupa rasa kaku, kencang,
dan nyeri pada otot disekitar luka. Sering kali terjadi spasme dan
twitching dari otot yang terkena, tipe ini pada umumnya memiliki
prognosis yang cukup baik.3,5
3. Tetanus Sefalik

10
Tetanus Sefalik biasanya terjadi setelah adanya luka pada kepala
atau wajah. Periode inkubasi biasanya pendek, hanya sekitar 1-2 hari
terjadi kelemahan dan paralisis otot-otot wajah. Pada periode spasme
otot wajah biasanya berkontraksi. Spasme dapat melibatkan lidah
dan tenggorokan sehingga terjadi disartria, disfonia, dan disfagia.
Sering kali tetanus sefalik berkembang menjadi tetanus
generalisata.3,5
V. Klasifikasi dan Grading Tetanus
Sistem pengklasifikasian yang paling lazim digunakan di dunia berupa klasifikasi
yang diutarakan dan dipublikasikan oleh Ablett.

1. Grade I (ringan): Trismus ringan sampai sedang, spastisitas umum, tidak


ada gangguan pernapasan, tidak ada sapsme, tidak ada /sedikit ada
disfagia1,2
2. Grade II (moderat) : Trismus sedang, rigiditas terlihat jelas, spasme rinagn
sampai sedang namun singkat, gangguan respirasi rinban dengan
tachypnea1,2
3. Grade III (berat): trismus berat, spastisitas menyeluruh, reflex spasme dan
seringkali spasme spontan yang memanjang, gangguan napas dengan
sesak dan terenagh-engah (apnoeic spells), disfagia berat, bradikardia,
penigkatan aktivitas saraf autonom sedang.1,2
4. Grade IV (sangat berat): seperti grade III ditambah gangguan autonomic
hebat yang sering menyebabkan apa yang disebut sebagai badai
autonom.1,2

Klasifikasi lainnya yang dijelaskan dalam panduan praktik klinis neurologi tahun
2015, yaitu berupa klasifikasi kriteria Pattel Joag

a) Kriteria 1: rahang kaku, spasme terbatas ,disfagia dan kekakuan otot tulang
belakang.

b) Kriteria 2: Spasme, tanpa mempertimbangkan frekuensi maupun derajat


keparahan.

11
c) Kriteria 3: Masa inkubasi ≤ 7hari.

d) Kriteria 4: waktu onset ≤48 jam.

e) Kriteria 5: Peningkatan temperatur; rektal 100oF ( > 400 C), atau aksila 99oF
( 37,6 oC ).

Grading

a) Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu kriteria, biasanya Kriteria 1 atau 2 (tidak
ada kematian).

b) Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, biasanya Kriteria 1 dan 2.


Biasanya masa inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari 48 jam (kematian
10%).

c) Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 kriteria, biasanya masa inkubasi kurang dari
7 hari atau onset kurang dari 48 jam (kematian 32%).

d) Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat minimal 4 Kriteria (kematian 60%).

e) Derajat 5, bila terdapat 5 Kriteria termasuk puerpurium dan tetanus neonatorum


(kematian 84%).7

VI. Diagnosis
Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat
penyakit dan temuan saat pemeriksaan. Pada pemeriksaan fisik dapat
dilakukan uji spatula, dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring
menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif jika
terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif
berupa refleks muntah. Laporan singkat The American Journal of Tropical
Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifisitas
tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien
terinfeksi menunjukkan hasil positif).1,3

12
Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal biasanya normal. Temuan
lab yang bisa ditemukan dapat berupa leukositosis. Kultur C. tetani dari luka
sangat sulit (hanya 30% positif ), dan hasil kultur positif mendukung
diagnosis, bukan konfirmasi. Pemeriksaan EMG dapat digunakan untuk
melihat adanya rangsangan elektrik kontinyus dari unit motorik dan
terjadinya pemendekan bahkan hilangnya fase relaksasi dari otot setelah
terjadinya potensial aksi. Pemeriksaan serum antitoxin dapat ditemukan
meningkat >0,1 IU/mL yang diukur dengan menggunakan metode ELISA.
Beberapa keadaan yang dapat disingkirkan dengan pemeriksaan cermat
adalah meningitis, perdarahan subarachnoid, infeksi orofacial serta
arthralgia temporomandibular yang menyebabkan trismus, keracunan
strychnine, tetani hipokalsemia, histeri, encefalitis, terapi phenotiazine,
serum sickness, epilepsi dan rabies.3,6

VII. Diagnosis Banding


KONDISI YANG MIRIP DENGAN MANIFESTASI KLINIS TETANUS
Gejala Klinis Diagnosis Banding
Trismus Acute tonsillar abscess,
temporomandibular

joint disease, extrapyramidal reaction


to

drugs, dental pathology


Kekakuan Leher Cervical spine disease; extrapyramidal

reaction to drugs such as


antipsychotics,

meningitis; subarachnoid hemorrhage


Rigiditas Abdomen Acute abdomen
Disfagia Myasthenia gravis, Rabies
Spasme Otot Seizures, spasticity due to spinal cord

13
disease,

VIII. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Nonfarmakologis

Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan


peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan
sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sbb :

1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:

Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan


nekrotik),membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan
H202 ,dalam hal ini penata laksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1
-2 jam setelah ATS dan pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.

2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan


membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan
personde atau parenteral.

3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan


terhadap penderita

4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.


5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit. 1,2,3

b. Penatalaksanaan Farmakologis
1. Antibiotika

Meskipun belum terbukti dapat mengeradikasi kuman C. tetani,


pada pasien dengan tetanus tetap direkomendasikan untuk diberikan
obat parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari secara
intramuskular. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline
dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan selama 7-10

14
hari. Sebagian klinisi juga menyarankan dilakukan pemberian
metronidazol (500 mg/6 jam atau 1 gr/12 jam/hari) karena memiliki
aktivitas antimikrobial yang cukup memadai dan tidak adanya efek
antagonis GABA pada penggunaan penisilin. Pada pasien-pasien yang
sensitif terhadap penisilin, klindamisin dan eritromisin menjadi pilihan
alternatif yang dapat digunakan. 1,3,4

Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif

dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai

adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat


2,3
dilakukan.

2. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin
(HTIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara
IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung
"anti complementary aggregates of globulin ", yang dapat mencetuskan
reaksi allergi yang serius. 3,4

Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus

antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan

cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan

kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena,

pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit.

Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada


1,3
daerah pada sebelah luar.

3. Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan
bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda
dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M.

15
Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap
tetanus selesai.

Riwayat Imunisasi Luka Bersih, Kecil Luka Lainnya


TT Antitoksin TT Antitoksin
(dosis)
Tidak diketahui atau <3 Ya Tidak Ya Ya
3 atau lebih Tidak** Tidak Tidak** tidak
Ket: * : kecuali luka > 24 jam

** : kecuali bila imunisasi terakhir > 5 tahun 1,3

4. Antikonvulsan

Banyak agen, yang digunakan sebagai monoterapi dan kombinasi,


telah digunakan untuk mengobati kejang otot pada tetanus, yang
menyakitkan dan dapat mengancam ventilasi dengan menyebabkan
spasme laring atau kontraksi otot ventilasi yang berkelanjutan. Di
beberapa negara berkembang, biaya, ketersediaan, dan kemampuan untuk
memberikan dukungan ventilasi adalah faktor penting dalam pemilihan
terapi. Regimen terapi yang ideal adalah obat-obat yang dapat
menghilangkan aktivitas spasmodik tanpa menyebabkan oversedasi dan
hipoventilasi. Diazepam, benzodiazepine dan agonis GABA, menjadi
pilihan dan saat ini digunakan secara luas. Dosis diazepam pada saat
dimulai pengobatan (setelah kejang terkontrol) adalah 20 mg/kgBB/hari,
dibagi dalam 8 kali pemberian (pemberian dilakukan tiap 3 jam ).
Kemudian dilakukan evaluasi terhadap kejang, bila kejang masih terus
berlangsung dosis diazepam dapat dinaikkan secara bertahap sampai
kejang dapat teratasi. Dosis maksimum adalah 40 mg/kgBB/hari (dosis
maintenance). Lorazepam, dengan durasi aksi yang lebih lama, dan
midazolam, dengan waktu paruh yang pendek, adalah pilihan lain. 1,3,4

Barbiturat dan klorpromazin dianggap sebagai agen antikonvulsan


lini kedua yang dapat digunakan. Paralisis yang bersifat terapeutik dengan
menggunakan zat penghambat kontraksi neuromuskuler nondepolarisasi
dan ventilasi mekanis dapat digunakan untuk kejang yang tidak responsif

16
terhadap obat atau pada kasus kejang yang mengancam ventilasi. Namun,
kelumpuhan yang berkepanjangan setelah penghentian terapi juga dapat
pula ditemui dan menjadi komplikasi pengobatan yang cukup ditakuti.
Agen antikonvulsan lain yang dapat menjadi alternatif termasuk propofol,
yang mahal; dantrolene dan baclofen intratekal, yang memungkinkan
pemendekan durasi kelumpuhan terapeutik; suksinilkolin, yang telah
dikaitkan dengan hiperkalemia; dan magnesium sulfat. 3,4

5. Perawatan Respiratorik

Intubasi atau trakeostomi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik,


mungkin diperlukan untuk hipoventilasi yang diakibatkan oleh oversedasi
atau laringospasme atau untuk menghindari aspirasi oleh pasien dengan
trismus, gangguan menelan, atau disfagia. Kebutuhan akan prosedur ini
harus diantisipasi, dan harus dilakukan secara elektif dan dini. 3

6. Disfungsi Otonom

Terapi optimal untuk aktivitas overaktif simpatis belum dapat


ditentukan secara pasti. Agen yang telah dipertimbangkan termasuk
diantaranya adalah labetalol (agen penghambat α dan β-adrenergik yang
direkomendasikan oleh beberapa ahli tetapi dilaporkan telah menyebabkan
kematian mendadak), esmolol diberikan dengan infus kontinyu
(penghambat beta yang waktu paruhnya pendek yang mungkin
menguntungkan dalam kejadian hipertensi berat dari aktivitas α-adrenergik
yang tidak terhambat), clonidine (obat antiadrenergik sentralisasi),
verapamil, dan morfin sulfat. Magnesium sulfat parenteral dan anestesi
spinal atau epidural kontinyus telah digunakan tetapi mungkin lebih sulit
untuk diberikan dan dipantau. Kemanjuran relatif dari modalitas ini belum
ditentukan. Hipotensi atau bradikardia mungkin memerlukan cairan
ekspansi, penggunaan vasopresor atau agen kronotropik, atau pemasangan
alat pacu jantung. 3,4

17
IX. Komplikasi
a. Saluran pernapasan

Dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia, atelektasis akibat


obstruksi oleh sekret, pneumotoraks dan mediastinal emfisema
biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi. 7

b. Kardiovaskuler

Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara


lain berupa takiardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan
miokardium. 7

c. Tulang dan otot

Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi


perdarahan dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura kolumna
vertebralis akibat kejang yang terus-menerus terutama pada anak dan
orang dewasa. Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis
ossifikans sirkumskripta. 7

d. Komplikasi yang lain

Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus karena penderita


berbaring dalam satu posisi saja, panas yang tinggi karena infeksi
sekunder atau toksin yang menyebar luas dan mengganggu pusat
pengatur suhu.7

X. Prognosis
Tetanus dapat menimbulkan kematian dan gangguan fungsi tubuh, namun
apabila diobati dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh dengan baik. Tetanus
biasanya tidak terjadi berulang, kecuali terinfeksi kembali oleh C.tetani. 7

18
REFERENSI

1. Tetanus [Internet]. Fakultas Kedokteran USU. 2004. Available from:


http://library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-kiking2.pdf.
2. Cook TM, Protheroe RT, Handel JM. 2001. Tetanus : a review of the
literature. British Journal of Anaesthesia 87 (3) : 477-487.
3. Kasper DL, Fauci AS. 2010. Harrison’s Infectious Disease. McGraw-Hill
Companies (1) : 431 – 435.
4. Hassel B. 2013. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility
of Using Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms.
Norwegia. Toxins 2013, 5, 73-83
5. Tanto Chris, et.al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius. Jakarta
6. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor’s Principles of Neurology.
2005.Mc Graw Hill Company (8) :p1030-1031.

7. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2016. Acuan Panduan


Praktik Klinis Neurologi. Tetanus : 202 - 205

19

Anda mungkin juga menyukai