Tetanus Generalisata
Pembimbing :
Disusun oleh :
1
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn D
Umur : 71 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
2
sempat berobat di klinik, dan luka tersebut sudah dibersihkan karena pada
saat itu luka masih kotor, namun pasien mengaku tidak mendapatkan
suntikan antitetanus dan dirasakan tidak membaik. Mual (-), muntah (-),
penurunan kesadaran (-), demam (-), batuk (-), pilek (-) diare (-). Riwayat
bepergian disangkal. Kontak (-)
DM (-). HT (-).
6. Riwayat Alergi
Pasien bekerja sebagai petani dan tinggal bersama istri dan anak. Aktivitas sehari
– hari pasien di sawah.
Merokok (+)
Alkohol (-)
Kopi (+)
Penggunaan obat-obatan (-)
3
III. . PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan Umum : tampak lemah
Kesadaran : Compos mentis.
GCS : E4 V5 M6
Status Gizi : Baik
Tanda vital
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg.
- Nadi : 80 x/menit.
- Suhu : 37,20C.
- Frekuensi Pernapasan : 20 x/menit.
- SpO2 : 99%
Kepala : Normocephali, massa (-), trismus
(+)
Rhisus sardonikus (+)
Mata : Konjungtiva Anemis - / -, Sklera Ikterik - / -
4
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
HEMATOLOGI
Hematologi Lengkap
Index Eritrosit
Limfosit 17,0 %
Glukosa Darah
g/dL
Glukosa Darah Sewaktu 164
Serologi (9/10/2020) :
5
Hasil Pemeriksaan EKG (09/10/2020):
V. DIAGNOSIS KERJA
Tetanus Generalisata
General Seizure
6
VII. PENATALAKSANAAN
MRS
O2 nasal canul 4 lpm
IVFD RL 20 tts/menit
Konsul Sp.B
Inj Ceftriaxon 2 x 1 gr
Drip Metronidazole 3 x 500mg
Inj Ranitidin 2 x 1 amp
Inj Santagesik 3 x 1 amp
Drip Diazepam 3 amp dalam NaCl 0,9% 500 cc 20tpm
Tetagam (4 amp gluteus dextra, 4 amp gluteus sinistra)
Pasang NGT
Pasang DK
VIII. PROGNOSIS
7
TETANUS GENERALISATA
I. Pendahuluan
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik
yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang
diproduksi oleh Clostridium tetani yang berhasil diisolasi dari tanah anaerob yang
mengandung bakteri. 1
II. Epidemiologi
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu memengaruhi orang
yang belum diimunisasi; orang yang diimunisasi sebagian dan individu yang
diimunisasi lengkap yang gagal mempertahankan kekebalan yang memadai
dengan dosis vaksin pendorong juga dapat terpengaruh. Meskipun tetanus
sepenuhnya dapat dicegah dengan imunisasi, beban penyakit di seluruh dunia
sangat besar. Tetanus adalah penyakit yang dapat diberitahukan di banyak negara,
tetapi pelaporan diketahui tidak akurat dan tidak lengkap, terutama di negara-
negara berkembang. Terlepas dari niat WHO untuk memberantas tetanus pada
tahun 1995, penyakit tetap endemik pada sebagian besar negara berkembang di
8
dunia dan WHO memperkirakan sekitar 1.000.000 kematian dari tetanus di
seluruh dunia pada tahun 1992. Ini termasuk 580.000 kematian dari tetanus
neonatal, dengan 210.000 di Asia tenggara dan 152.000 kematian di Afrika. 2,3
Di Indonesia sendiri, data dari dinas kesehatan Jawa Barat tahun 2004
mencatat kejadian tetanus di Jawa Barat dilaporkan sebanyak 68 kasus dengan
angka kematian mencapai 45%. Data di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung
sendiri pada periode 1 Januari – 31 Desember 2005 mencatat adanya 68 orang
penderita tetanus yang di rawat di bangsal bagian saraf.1
III. Patofisiologi
Kontaminasi luka terhadap spora C. tetani mungkin menjadi penyebab
tersering terjadinya infeksi tetanus. Namun, germinasi dan produksi toksin hanya
bisa terjadi pada luka dengan potensi reduksi oksidasi yang rendah, seperti luka
yang disertai jaringan yang rusak, benda asing, atau infeksi aktif. Bakteri C. tetani
sendiri tidak menyebabkan terjadinya peradangan, dan pintu masuknya tetap
tampak tidak berbahaya kecuali jika terdapat koinfeksi dengan organisme lain.
Toksin yang dilepaskan di luka akan berikatan dengan terminal neuron motor
perifer, memasuki akson, dan diangkut ke badan sel saraf di batang otak dan
sumsum tulang belakang dengan transportasi intraneuronal retrograde. Toksin
tersebut kemudian bermigrasi melintasi sinaps ke terminal presinaptik, di mana ia
memblokir pelepasan neurotransmitter inhibitorik berupa glisin dan asam γ-
aminobutirat (GABA) dari vesikel. 2,3
9
diambil oleh ujung saraf neuron inhibitorik GABAergik dan / atau glikinergik
yang mengontrol aktivitas lower motor neuron. Begitu masuk ke dalam terminal
saraf inhibitorik, toksin tetanus mempengaruhi VAMP, sehingga menghambat
pelepasan GABA dan glisin. Hasilnya adalah denervasi lower motor neuron
parsial, fungsional, yang mengarah ke hiperaktifitas dan peningkatan aktivitas otot
dalam bentuk kekakuan dan kejang. Tetanus generalisata terjadi ketika toksin
yang dilepaskan dalam luka memasuki saluran limfatik dan aliran darah dan
menyebar luas ke terminal saraf yang jauh; sawar darah-otak menghalangi toksin
tersebut untuk dapat masuk secara langsung menuju ke sistem saraf pusat. Jika
diasumsikan bahwa waktu transpor intraneuronal sama untuk semua saraf, saraf
pendek akan cenderung lebih dipengaruhi dibandingkan dengan pada saraf yang
panjang: fakta ini menjelaskan keterlibatan berurutan saraf kepala, batang tubuh,
dan ekstremitas dalam tetanus generalisata. 2,3,4
10
Tetanus Sefalik biasanya terjadi setelah adanya luka pada kepala
atau wajah. Periode inkubasi biasanya pendek, hanya sekitar 1-2 hari
terjadi kelemahan dan paralisis otot-otot wajah. Pada periode spasme
otot wajah biasanya berkontraksi. Spasme dapat melibatkan lidah
dan tenggorokan sehingga terjadi disartria, disfonia, dan disfagia.
Sering kali tetanus sefalik berkembang menjadi tetanus
generalisata.3,5
V. Klasifikasi dan Grading Tetanus
Sistem pengklasifikasian yang paling lazim digunakan di dunia berupa klasifikasi
yang diutarakan dan dipublikasikan oleh Ablett.
Klasifikasi lainnya yang dijelaskan dalam panduan praktik klinis neurologi tahun
2015, yaitu berupa klasifikasi kriteria Pattel Joag
a) Kriteria 1: rahang kaku, spasme terbatas ,disfagia dan kekakuan otot tulang
belakang.
11
c) Kriteria 3: Masa inkubasi ≤ 7hari.
e) Kriteria 5: Peningkatan temperatur; rektal 100oF ( > 400 C), atau aksila 99oF
( 37,6 oC ).
Grading
a) Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu kriteria, biasanya Kriteria 1 atau 2 (tidak
ada kematian).
c) Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 kriteria, biasanya masa inkubasi kurang dari
7 hari atau onset kurang dari 48 jam (kematian 32%).
VI. Diagnosis
Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat
penyakit dan temuan saat pemeriksaan. Pada pemeriksaan fisik dapat
dilakukan uji spatula, dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring
menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif jika
terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif
berupa refleks muntah. Laporan singkat The American Journal of Tropical
Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifisitas
tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien
terinfeksi menunjukkan hasil positif).1,3
12
Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal biasanya normal. Temuan
lab yang bisa ditemukan dapat berupa leukositosis. Kultur C. tetani dari luka
sangat sulit (hanya 30% positif ), dan hasil kultur positif mendukung
diagnosis, bukan konfirmasi. Pemeriksaan EMG dapat digunakan untuk
melihat adanya rangsangan elektrik kontinyus dari unit motorik dan
terjadinya pemendekan bahkan hilangnya fase relaksasi dari otot setelah
terjadinya potensial aksi. Pemeriksaan serum antitoxin dapat ditemukan
meningkat >0,1 IU/mL yang diukur dengan menggunakan metode ELISA.
Beberapa keadaan yang dapat disingkirkan dengan pemeriksaan cermat
adalah meningitis, perdarahan subarachnoid, infeksi orofacial serta
arthralgia temporomandibular yang menyebabkan trismus, keracunan
strychnine, tetani hipokalsemia, histeri, encefalitis, terapi phenotiazine,
serum sickness, epilepsi dan rabies.3,6
13
disease,
VIII. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Nonfarmakologis
b. Penatalaksanaan Farmakologis
1. Antibiotika
14
hari. Sebagian klinisi juga menyarankan dilakukan pemberian
metronidazol (500 mg/6 jam atau 1 gr/12 jam/hari) karena memiliki
aktivitas antimikrobial yang cukup memadai dan tidak adanya efek
antagonis GABA pada penggunaan penisilin. Pada pasien-pasien yang
sensitif terhadap penisilin, klindamisin dan eritromisin menjadi pilihan
alternatif yang dapat digunakan. 1,3,4
2. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin
(HTIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara
IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung
"anti complementary aggregates of globulin ", yang dapat mencetuskan
reaksi allergi yang serius. 3,4
3. Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan
bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda
dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M.
15
Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap
tetanus selesai.
4. Antikonvulsan
16
terhadap obat atau pada kasus kejang yang mengancam ventilasi. Namun,
kelumpuhan yang berkepanjangan setelah penghentian terapi juga dapat
pula ditemui dan menjadi komplikasi pengobatan yang cukup ditakuti.
Agen antikonvulsan lain yang dapat menjadi alternatif termasuk propofol,
yang mahal; dantrolene dan baclofen intratekal, yang memungkinkan
pemendekan durasi kelumpuhan terapeutik; suksinilkolin, yang telah
dikaitkan dengan hiperkalemia; dan magnesium sulfat. 3,4
5. Perawatan Respiratorik
6. Disfungsi Otonom
17
IX. Komplikasi
a. Saluran pernapasan
b. Kardiovaskuler
X. Prognosis
Tetanus dapat menimbulkan kematian dan gangguan fungsi tubuh, namun
apabila diobati dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh dengan baik. Tetanus
biasanya tidak terjadi berulang, kecuali terinfeksi kembali oleh C.tetani. 7
18
REFERENSI
19