Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

Sindrom Steven-Johnson

Pembimbing :

dr. Retna Ika S, Sp.KK

Disusun oleh :

dr. Cantik Maharendra Putri

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


ANGKATAN III SEPTEMBER
RSUD DR. HARJONO S PONOROGO JAWA TIMUR
TAHUN 2020

1
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. E

Umur : 42 tahun

Jenis Kelamin : Laki - laki

Agama : Islam

Status Menikah : Menikah

Pekerjaan : Supir

Suku Bangsa : Jawa

Alamat : Mangunharjo, Arjosari.

Tanggal MRS : 9/10/2020 pukul 15.19

II. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama

Kulit melepuh di seluruh tubuh.

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien rujukan dari RSUD Dr Darsono Pacitan, datang dengan keluhan


kulit melepuh di seluruh tubuh sejak ± 7hari SMRS disertai kulit terasa panas dan
gatal. Awalnya 7 hari yang lalu pasien merasakan demam dan tidak enak badan,
lalu muncul kemerahan diseluruh tubuh dan berangsur angsur menghitam dan
mengelupas. Pasien juga mengeluh bibir menghitam, melepuh, mengelupas,
sedikit berdarah dan nyeri. Pasien tidak mengeluh sesak napas namun merasa
kesulitan dalam menelan. Pasien sedikit kesulitan membuka mata dan mulut.
Demam (+), mual (-) muntah (-) lemas (+).

2
Satu bulan sebelumnya pasien mengeluh sering BAB cair dan sariawan
yang tidak kunjung sembuh, lalu pasien pergi ke Puskesmas untuk diperiksa, dari
hasil pemeriksaan, pasien terdiagnosis HIV. Lalu pasien dirujuk ke RSUD
Pacitan untuk memulai terapi HIV, dan pada tanggal 29/9/2020 pasien memulai
pengobatan ARV + Cotrimoxazole + Vit B6. Dua hari setelah meminum obat
pasien mengeluh demam dan tidak enak badan, dan berangsur angsur muncul
kemerahan di seluruh tubuh. Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi baik
terhadap makanan maupun obat sebelumnya. Lalu pasien rawat inap di RSUD Dr
Darsono Pacitan, dirawat selama ± 7hari, lalu pasien dirujuk ke RSUD Dr
Harjono dengan SJS + B20 std IV, dengan terapi sebelumnya : Inf Asering
20tpm, inj Paracetamol 2x1 gr, inj Ranitidin 2x50mg, inj Ondancetron 3x4 mg,
inj Ceftriaxon 2x1 gr, dan inj Omeprazole 2x40mg, Sucralfat syr 3XC1,
Cetirizine 2x1, ARV, vit B6 dan Betamethasone salep.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.

Riwayat IMS sebelumnya disangkal.

HIV AIDS (+), DM (-), HT (-), Asma (-)

4. Riwayat Pemakaian Obat

ARV + Cotrimoxazole + Vit B6

5. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang menderita sakit yang sama.

6. Riwayat Alergi

Tidak ada riwayat alergi obat atau alergi makanan sebelumnya.

3
7. Riwayat Pribadi dan Sosial

Pasien bekerja sebagai supir pick up. Pasien sering keluar kota
mengantarkan barang menggunakan pick up. Pasien memiliki riwayat
merokok (+), pernah minum-minuman alkohol (-). Riwayat bergonta ganti
pasangan disangkal. Riwayat memakai tatto sejak ± 5 tahun.

III. . PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis
 Keadaan Umum : Tampak sakit berat
 Kesadaran : Compos mentis.
 GCS : E4 V5 M6
 Status Gizi : Baik
 Tanda vital
- Tekanan Darah : 110/80 mmHg.
- Nadi : 122 x/menit.
- Suhu : 37,80C.
- Frekuensi Pernapasan : 20 x/menit.
- SpO2 : 99% dengan nasal canul
 Kepala : Normocephali, massa (-)
Mata : Konjungtiva Anemis - / -, Sklera Ikterik - / -

Hidung : Septum deviasi (-), massa (-)

Mulut : Mukosa krusta kehitaman (+)

 Leher : Tidak ada perbesaran kelenjar getah bening


 Thoraks : Cor : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Ves +/+ , Rhonki -/-,Wheezing -/-

 Abdomen : Flat, supel, BU (+) normal, Nyeri tekan (-)


 Ekstremitas : CTR< 2 detik, Akral hangat (+), Edema -/-
 Status Dermatologikus :

4
o A/r Generalisata: makula eritematosa disertai erosi dan
krusta
o Mata: Konjungtiva injeksi silier (+) mucus (+) kekuningan
o Mulut: Mucosa mulut krusta kehitaman (+), erosi (+)

Foto Klinis:

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

5
Hematologi (Tanggal 09-10-2020)
ITEM PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL SATUAN

HEMATOLOGI

Hematologi Lengkap

Hb 9,9 13,2-17,3 g/dL

Eritrosit 3,45 4,4-5,9 juta/uL

Leukosit 2,5 3.8-10,6 ribu/ uL

Trombosit 251 150-440 ribu/mm3

Hematokrit 29,5 40-52 %

Index Eritrosit

MCV 85,5 70-96 fL

MCH 28,7 26-34 pg

MCHC 33,6 30-36 %

Hitung Jenis Leukosit

Eosinofil 3,5 2-4 %

Basofil 1,3 0-1 %

Limfosit 38,6 %

Eosinofil 23,3 25-40 %

Monosit 31,3 2-8 %

Glukosa Darah
g/dL
Glukosa Darah Sewaktu 155

Serologi (21/9/2020) :

- Anti HIV I (FOCUS) : Reactive


- Anti HIV II (SD) : Reactive
- Anti HIV III (VIKIA) : Reactive

Serologi (4/10/2020) :

- IgM Rapid Covid19 : Non Reactive


- IgG Rapid Tes Covid19 : Non Reactive

Kimia Klinik ( 7/10/2020 )

6
Nama Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
BUN 18
Ureum 37,9 mg/dl 16,6 – 48,5
Creatinin 0,64 mg/dl 0,67 – 1,17
SGOT 32 U/L 0 - 41
SGPT 94 U/L 0 - 40

Hasil Pemeriksaan EKG (09/10/2020):

Hasil Pemeriksaan Thorax AP (10/07/2020):

V. RESUME

7
Seorang laki – laki , 42 tahun datang dengan keluhan datang dengan
keluhan kulit melepuh di seluruh tubuh sejak ± 7hari SMRS disertai kulit terasa
panas dan gatal. Awalnya 7 hari yang lalu pasien merasakan demam dan tidak enak
badan, lalu muncul kemerahan diseluruh tubuh dan berangsur angsur menghitam dan
mengelupas. Pasien juga mengeluh bibir menghitam, melepuh, mengelupas, sedikit
berdarah dan nyeri. Pasien tidak mengeluh sesak napas namun merasa kesulitan
dalam menelan. Pasien sedikit kesulitan membuka mata dan mulut. Demam (+),
mual (-) muntah (-) lemas (+). Pasien telah terdiagnosis HIV (+) memulai
pengobatan ARV + Cotrimoxazole + Vit B6.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas normal,


status lokalis didapatkan makula eritematosa, erosi dan krusta et regio generalisata.

VI. DIAGNOSIS KERJA

Sindrom Steven-Johnson + B20 Stadium IV

VII. DIAGNOSA BANDING

TEN

VIII. PENATALAKSANAAN

Umum :

a. Menghentikan konsumsi obat yang


diduga kausa SSJ (ARV, Cotrimoxazole, vit B6)
b. Penggantian cairan tubuh yang hilang
c. Diet lunak TKTP
d. Rawat luka
Medikamentosa :

a. Sistemik
- Inf RL 16 tpm

- Inj Deksamethason 3 x 5 mg

8
- Inj Ranitidin 2 x 50 mg

- Inj Gentamisin 2 x 80 mg

Oral : Paracetamol 3 x 500 mg bila demam.

b. Terapi topikal
Untuk krusta di bibir diberikan kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif
diberikan Fuson cream 3 x sehari..

IX. PROGNOSIS

Quo Ad vitam : Dubia ad bonam


Quo Ad Functional : Dubia ad bonam
Quo Ad Sanationam : Dubia ad bonam

SOAP

TGL SUBJEKTIF OBJEKTIF Assesment PLANNING

9
10/10/ Kulit melepuh GCS TD HR RR S SSJ Planning Dx : -
2020 (+)
456 100/60 80 20 37,3 B20 Std IV
Demam (-) Planning tx :
Gatal (+)
- Inf NaCl 0,9% 16 tpm
Lemes (+)
- Inj Deksamethason 3 x 5mg

- Inj Ranitidin 2 x 50 mg

- Inj Gentamisin 2 x 80 mg

Oral : Paracetamol 3 x
500mg bila demam.

Topikal:
Kenalog in orabase
Fuson cream 3 x sehari

Diet TKTP
 Kepala : AICD -/-/-/- 
 Leher : pemb.KGB (-)
 Thorax:
parusimetris, retraksi -, ves/ves, Rh -/-, wh
-/-

Cor S1 S2 Tunggal, murmur (-) gallop (-)

 Abdomen : Flat, BU+N, soefl


 Eks : HKM, CRT <2, edema -/-
Effloresensi: makula eritematosa, erosi, krusta
et regio generalisata.
11/10/ Kulit melepuh GCS TD HR RR S SSJ Planning Dx :-
2020 (+)
456 110/70 88 20 37,1 B20 Std IV Planning tx :
Demam (-)
Gatal (+) - Inf NaCl 0,9% 16 tpm

Lemes (-) - Inj Deksamethason 3 x 5


mg

- Inj Ranitidin 2 x 50 mg

- Inj Gentamisin 2 x 80 mg

Oral : Paracetamol 3 x
500mg bila demam.

Topikal:
Kenalog in orabase
Fuson cream 3 x sehari

Diet TKTP

 Kepala : AICD -/-/-/-


 Leher : pemb.KGB (-)
 Thorax:
paru simetris, retraksi -, ves/ves, Rh -/-,
wh -/-

Cor S1 S2 Tunggal, murmur (-), gallop (-)

 Abdomen : Flat, BU+N, soefl

10
 Eks : HKM, CRT <2, edema -/-
Effloresensi: makula eritematosa, erosi, krusta
et regio generalisata.
12/10/ Kulit melepuh GCS TD HR RR S SSJ Planning Dx :-
2020 (+) mulai
mengering 456 100/60 76 20 36,5 B20 Std IV Planning tx :

Demam (-) PRO KRS:


Gatal (+)
- Metylprednisolone 1 x 16 mg
Lemes (-) - Cetitrizine 2 x 10 mg
- Topikal:
Desomex Cream 2 x sehari
Fuson Cream 3 x sehari
 Kepala : AICD -/-/-/-
 Leher : pemb.KGB (-)
 Thorax:
paru simetris, retraksi -, ves/ves, Rh -/-,
wh -/-

Cor S1 S2 Tunggal, murmur (-) gallop (-)

 Abdomen : Flat, BU+N, soefl


 Eks : HKM, CRT <2, edema -/-
Effloresensi: makula hiperpigmentasi disertai
krusta et regio generalisata.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sindrom Stevens Johnson (SSJ) merupakan salah satu keadaan gawat

darurat di Bagian Kesehatan Kulit dan Kelamin. SSJ pertama kali dilaporkan

oleh Stevens dan Johnson pada tahun 1922 sebagai ectodermosis erosiva

pluriorificialis. .Sindrom ini dinamakan juga dengan Ektodermosis erosif

pluriorifisialis, sindroma de Friesingger Rendu, sindroma mukokutanea-

okular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor,

dermatostomatitis, dan eritema bulosa maligna.1 SSJ merupakan sindrom

yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan

11
umum bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan pada kulit berupa eritema,

vesikel/bula, dapat disertai purpura.1

Penyebab tersering adalah alergi obat, misalnya golongan sulfa,

penisilin dan derivatnya, non steroid anti inflammation drugs (NSAID), serta

anti konvulsan. Penyebab lain yaitu infeksi virus, bakteri, parasit atau

mikoplasma, neoplasma, vaksinasi, kehamilan, radioterapi dan sebagian tidak

diketahui.2 Angka kejadian Sindroma Stevens-Johnson sebenarnya tidak

tinggi hanya sekitar 1-6 per 1 juta penduduk.3 Insiden SSJ dan nekrolisis

epidermal toksik diperkirakan 2-3% perjuta populasi setiap tahun di Eropa

dan Amerika Serikat, umumnya dewasa.1

Angka kematian SSJ dan NET cukup tinggi, dari data yang ada, angka

kematian pada kasus SSJ sekitar 1-5% dan pada kasus NET 25-35%. 4

Berkaitan dengan tingginya angka kematian kasus SSJ dan NET, dibutuhkan

penatalaksanaan yang komprehensif yakni diagnosis yang cepat, identifikasi

obat penyebab yang cepat, perawatan di ruang perawatan intensif, dan

evaluasi terhadap prognosis menggunakan severity of illness score for TEN

(SCORTEN).4 Karena menimbulkan gejala yang serius secara akut, Stevens

Johnson Syndrome seringkali dianggap sebagai suatu tindakan malpraktik

medis oleh dokter kepada pasiennya. Padahal sesungguhnya SJS merupakan

sindroma yang bisa terjadi kapan saja kepada pasien. Oleh karena itu, sangat

penting untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Stevens Johnson Syndrome

dan bagaimana penanganan yang tepat apabila sindroma ini terjadi pada

pasien.

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Steven-Johnson’s Syndrome (SJS) merupakan suatu penyakit akut yang

dapat mengancam jiwa yang ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis

yang dikenal dengan trias kelainan pada kulit vesikobulosa, mukosa orifisium dan

mata disertai gejala umum berat. Stevens dan Johnson pertama kali melaporkan

dua buah kasus erupsi. Baik SJS maupun TEN ditandai dengan kelainan pada

kulit dan mukosa. Makula eritem merupakan lesi yang sering terdapat pada lokasi

tubuh dan kaki bagian proksimal lalu berkembang secara progresif menjadi bula

flaccid yang menyebabkan pelepasan epidermal. Dikarenakan kesamaan antara

13
gejala klinis, penemuan histopatologis, penyebab, serta mekanismenya, kedua

kondisi ini hanya dapat bisa dibedakan dengan total body surface area. Dikatakan

TEN apabila total body surface area yang terkena 30%. Apabila total body surface

area yang terkena 10-30% disebut SJS-TEN overlap, keduanya juga dikenal

dengan istilah epidermal necrolysis. 5

2.2 Epidemiologi

Sindroma stevens-johnson merupakan suatu penyakit yang sangat jarang

terjadi, secara umum insidens SSJ adalah 1-6 kasus setiap satu juta penduduk

dalam setaiap tahunnya, angka kematian SSJ adalah 5%-12%. Penyakit ini dapat

terjadi pada setiap usia, terjadi peningkatan risiko pada usia di atas 40 tahun. Di

beberapa negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, dan

Hongkong penyebab paling sering untuk terjadinya Stevens-Johnson syndrome

adalah allopurinol7. Angka kematian SSJ dan NET cukup tinggi, dari data yang

ada, angka kematian pada kasus SSJ sekitar 1-5% dan pada kasus NET 25-35%. 4

Berkaitan dengan tingginya angka kematian kasus SSJ dan NET, dibutuhkan

penatalaksanaan yang komprehensif yakni diagnosis yang cepat, identifikasi obat

penyebab yang cepat, perawatan di ruang perawatan intesif, dan evaluasi terhadap

prognosis menggunakan severity of illness score for TEN (SCORTEN).4

2.3 Etiologi

Etiologi sindroma Stevens-Johnson sukar ditentukan dengan pasti, karena

penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan

respon imun terhadap obat . Penyebab SJS dibagi menjadi beberapa, yaitu :8

1. Obat

14
2. Non-obat :

a. Infeksi

b. Genetik

1. Obat

Obat dipercaya sebagai penyebab utama SJS (50 hingga 80% kasus) ,

meskipun penyakit ini bisa juga dipicu oleh infeksi dan keganasan. Sementara

obat-obatan dan kanker lebih terkait dengan pasien dewasa, infeksi adalah

penyebab utama pada anak-anak: diperkirakan setengahnya pasien yang

didiagnosis dengan SJS memiliki infeksi saluran pernapasan bagian atas baru-baru

ini. 8

Obat-obatan berikut ini terdaftar sebagai yang utama terkait terjadinya

SJS dan TEN, berdasarkan RegisSCAR / EuroSCAR file. Dalam studi kasus-

kontrol multicenter internasional baru-baru ini, Euro SCAR (Reaksi Kutaneous

Eropa yang parah) percobaan, allopurinol adalah penyebab paling umum dari SJS

dan TEN, terutama bila diresepkan pada dosis yang sama atau lebih tinggi dari

200 mg per hari. Penting untuk dicatat bahwa pada tahun 2014, Food dan

Administrasi Obat (FDA) mewajibkan produsen acetaminophen (paracetamol)

untuk memasukkan peringatan risiko SJS. 8

15
Gambar 2.1 Golongan Obat berdasar Penggolongan Resiko

Obat yang berpotensi menyebabkan SJS dapat dinilai pada 6 parameter oleh

ALDEN (Algoritme kausalitas obat untuk nekrolisis epidermal):

a) Penundaan waktu dari pemberian obat ke onset reaksi

b) Probabilitas keberadaan obat di dalam tubuh

c) Pajanan sebelumnya pada obat yang sama tanpa menghiraukan reaksi pada

waktu itu

d) Adanya obat di luar fase perkembangan

e) Ketenaran obat sebagai penyebab SJS / TEN

f) Ada atau tidak ada etiologi lainnya. Gejala SJS / TEN tidak secara jelas

dikaitkan dengan obat dalam 20% hingga 25% kasus

2. Infeksi

Infeksi dapat memainkan peran utama dalam memicu SJS di anak-anak,

melebihi jumlah kasus yang diinduksi obat dalam beberapa penelitian.

Mycoplasma pneumonia terlibat sebagai faktor etiologi pada SJS, terutama pada

16
anak-anak yang datang dengan lesi mukosa dan keterlibatan kulit yang terbatas.

Pemicu lainnya termasuk hidup vaksinasi virus, dan vaksinasi DPT . Meskipun

Pada anak-anak, obat-obatan adalah presipitan paling umum SJS / TEN. 9 Virus

yang dilaporkan

penyakit termasuk virus herpes simplex (HSV), HIV, coxsackievirus, influenza,

hepatitis, limfogranuloma venereum, dan cacar. Agen bakteri termasuk

streptokokus beta-hemolitik grup A, bacilli difteri, brucellosis, demam tifoid dan

tularemia, mycobacteria dan mycoplasma. Penyebab jamur termasuk

paracoccidioidomycosis, dermatophytosis dan histoplasmosis. Protozoa parasit

malaria dan trichomonas juga terkait. Pada anak-anak, virus enterovirus dan

Epstein Barr adalah agen penyebab yang mungkin. Karsinoma dan limfoma juga

terkait. Terlepas dari perbedaan etiologi yang diketahui, SJS idiopatik pada 25

hingga 50% kasus.8

2.4 Patofisiologi

Sindrom stevens-johnson merupakan gangguan hipersensitivitas yang

diperantarai komplek imun dan menunjukkan gejala eritema multiforme yang

parah. Beberapa teori diajukan untuk memudahkan penanganan, akan tetapi tidak

ada yang dapat menjelaskan patofisiologi dan patogenesis sindrom ini secara

memuaskan.1,2,3,4

1. Teori hipersensitivitas III dan IV

Diduga sindrom ini diakibatkan adanya reaksi alergi tipe III dan IV. Reaksi

tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang membentuk

17
mikro-presipitasi sehingga terjadi aktivasi system komplemen. Akibatnya terjadi

akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan

kerusakan jaringan pada organ sasaran. Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T

yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian

limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.3

2. Teori apoptosis dari keratinosit

Apoptosis dari keratinosit adalah kejadian yang sangat jarang pada

epidermis normal, namun pada sindrom stevens-johnson kejadian ini sangat

meningkat. Patogenesis dari SJS belum dapat dijelaskan sepenuhnya, akan tetapi

hingga kini dipercaya penyakit ini merupakan penyakit akibat sistem imun, karena

terbukti paparan ulang individu tertentu dengan obat yang sama dapat

menginduksi rekurensi terjadinya SJS ataupun TEN.

Histopatologi dari lesi pada SJS menunjukkan bahwa terjadi proses

apoptosis yang diikuti oleh nekrosis pada bagian yang mengalami epidermolisis.

Penemuan klinis, histopatologis dan imunologi memperlihatkan suatu reaksi

hipersensitivitas terhadap obat spesifik dimana sel limfosit T sitotoksik

(CTL/cytotoxic T lymphocytes) memainkan peranan penting di fase inisiasi. Hal

ini dibuktikan dengan adanya sel limfosit T CD8+ di dalam cairan bula pada fase

awal SJS. Sel-sel ini mengekspresikan antigen leukosit kutaneus (CLA/cutaneus

leukocyte antigen) sehingga menyebabkan muncul gambaran lesi khas pada kulit.

Infiltrasi sel-sel imun termasuk CTL pada kulit pasien dengan SJS maupun NET

menuntun dilakukannya penelitian untuk mencari protein sitotoksik atau sitokin

yang berfungsi sebagai amplifier proses apoptosis keratinosit. Hingga saat ini,

hasil penelitian menunjukkan bukti adanya suatu molekul sitotoksik yang disebut

18
FasL yang bertanggung jawab atas terjadinya proses apoptosis keratinosit difus

pada SJS dan NET. Efek FasL sebagai molekul penginduksi terjadinya kematian

sel keratinosit ini diperkuat lebih jauh oleh interferon gamma, suatu sitokin yang

didapatkan pada kulit penderita SJS dan NET. Cara kerja FasL dalam

menyebabkan SJS masih belum dimengerti, akan tetapi jelas didapatkan bahwa

kadar FasL meningkat seiring dengan meningkatnya presentase epidermolisis

yang terjadi pada pasien SJS. Analisis genetik pada cairan bula juga

mengidentifikasi granulisin, suatu protein sitolitik kation yang disekresi oleh CTL

dan sel NK sebagai molekul kunci yang bertanggung jawab terhadap induksi

kematian pada keratinosit. Pada suatu penelitian didapatkan gambaran menyerupai

SJS dan NET pada tikus yang disuntik dengan rekombinan granulisin secara

intradermal. Tinggi rendahnya kadar granulisin ini juga menentukan seberapa luas

dan parahnya bula yang terbentuk, mengindikasikan pentingnya peran granulisin

dalam patofisiologi SJS dan NET.

Akan tetapi hingga saat ini masih tidak dapat dipahami sepenuhnya apa

yang menyebabkan meningkatnya regulasi FasL pada keratinosit, dan bagaimana

sistem imun termasuk sel T yang ditemukan di dalam cairan bula terlibat di dalam

proses regulasi penyakit ini. FasL dan granulisin hingga kini dipercaya merupakan

mediator utama yang menyebabkan terjadinya SJS dan NET, namun masih diteliti

bagaimana suatu obat spesifik dapat menyebabkan terjadinya regulasi kedua

molekul tersebut dan menyebabkan reaksi SJS maupun NET. 2

3. Teori cacat metabolisme terkait dengan genetik

19
Pasien dengan fungsi metabolisme lintas pertama yang tidak sempurna

akibat adanya defek genetik yang mendasari, mempunyai kinerja biotransformasi

metabolisme yang tidak sempurna sehingga mungkin menghasilkan metabolit

yang bersifat toksik. Ketidakmampuan tubuh untuk memetabolisme dan

mengekskresi bahan toksik dari obat juga menyebabkan terbentuknya hapten yang

menginduksi reaksi hipersensitivitas pada SJS. 4

2.5 Gejala Klinis

Stevens Johnson Syndrome memiliki fase perjalanan penyakit yang sangat

akut. Keadaan umum pasien SJS bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang

berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya

penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri

kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan.

Berikut tanda dan gejala dari sindroma stevens-johnson :10

a) Gejala prodormal yang non spesifik yaitu berupa meningkatnya suhu

tubuh, sakit kepala, batuk, batuk, sakit tenggorok, nyeri dada, myalgia

berlangsung selama 1-14 hari. Gejala awal tersebut dapat berkembang

menjadi gejala yang lebih berat, yang ditandai dengan peningkatan

kecepatan denyut nadi dan laju pernapasan, rasa lemah, serta penurunan

kesadaran.

20
Gambar 2.2 nikolsky sign

b) Gejala kulit, efloresensi pada kulit tampak berupa makula eritematosa

multiformis yang menyerupai morbilliform rash, timbul pada muka, leher,

dagu, tubuh dan ekstremitas. Lesi target dan bula kendur dengan nikolsky

sign positif sering didapatkan1.

Gambar 2.3 Lesi pada kulit


c) Lesi membran mukosa biasanya terdapat pada bibir, mukosa mulut

dirasakan sakit, disertai kelainan mukosa yang eritematus, sembab dan

disertai bula yang bisa pecah sehingga timbul erosi yang tertutup

21
pseudomembran. Kelainan pada kelamin juga sering didapat berupa bula

yang hemorrhagik dan erosi1.

Gambar 2.4 Lesi pada mukosa


d) Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia konjungtiva.

Kelopak mata dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka

dapat merobek epidermis. Erosi pseudomembran pada konjungtiva juga

dapat menyebabkan sinekia atau pelekatan antara konjungtiva dan kelopak

mata. Seringkali dapat pula terjadi peradangan atau keratitis pada kornea

mata2.

Gambar 2.5 Lesi pada mata

Berdasarkan tahapan terjadinya gejala, sindroma steven johnson dapat

dibagi menjadi 2 fase: 2

1. Fase Akut

22
Gejala inisial dari SJS maupun NET umumnya tidak spesifik dan dapat

meliputi gejala prodromal seperti demam, mata nyeri, dan rasa tidak

nyaman saat menelan. Gejala-gejala ini muncul beberapa hari sebelum

gejala pada kulit muncul. Gejala di kulit muncul pertama kali pada regio

presternal dan wajah, dilanjutkan pada telapak tangan dan kaki.

Munculnya eritema dan erosi pada regio buccal, genital, dan okular terjadi

pada lebih dari 90% pasien, dan pada beberapa kasus juga melibatkan

traktus respiratorius dan gastrointestinal.

Keterlibatan mata dapat berupa konjungtivitis, edema palpebra, eritema,

okular discharge, dan erosi kornea maupun terbentuknya pseudomembran

pada konjungtiva. Akan tetapi tingkat keparahan lesi pada mata ini tidak

menentukan prognosis dan komplikasi akhir dari SJS.

Lesi kulit yang muncul pada fase pertama berupa eritema dan makula.

Pada fase kedua akan terjadi epidermal detachment yang menyebabkan

tampak gambaran kulit terkelupas. Apabila gambaran epidermal

detachment ini luas (>30%) maka diagnosisnya menjadi NET. Nikolsky

sign dapat positif baik pada SJS maupun NET, tapi merupakan tes yang

tidak spesifik untuk diagnosis. Luasnya lesi pada kulit ini merupakan

penentu prognosis dari penyakit ini.

2. Fase Akhir dan Sekuele

Sekuele merupakan tanda dari fase akhir SJS maupun NET. Berdasarkan

studi yang dilakukan oleh Magina et al, gejala sekuele meliputi hiper atau

hipopigmentasi kulit (62.5%), distrofi kuku (37.5%), dan komplikasi

23
okular antara lain mata kering, trichiasis, symblefaron, hingga kehilangan

penglihatan permanen.

2.6 Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis dari sindroma stevens-johnson perlu dilakukan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang teliti

A) Anamnesis yang cermat untuk mengetahui penyebab SSJ terutama obat yang

diduga sebagai penyebabnya dan juga kronologis perjalanan penyakit. Jangan

lupa pertimbangkan penyebab lain selain karena alergi obat, misal infeksi.

B) Pemeriksaan klinis, berupa pemeriksaan gejala prodormal, bentuk efloresensi

dari kulit, mukosa dan kelainan pada mata1.

C) Pemeriksaan penunjang:

Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas, jika terdapat leukositosis

penyebabnya kemungkinan karena infeksi bakterial. Apabila terdapat

eosinofilia kemungkinan karena alergi. Jika disangka penyebabnya karena

infeksi dapat dilakukan kultur darah. Adanya leukositosis tinggi dapat

menunjukkan sepsis pada penderita sehingga diperlukan intervensi antibiotik

yang tepat dan radikal.

Pada pemeriksaan histopatologik, didapatkan gambaran bervariasi dari

perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh.

Kelainan berupa: 1

4. Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis superfisial.

5. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar.

24
6. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel

subepidermal.

7. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.

8. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis.

Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3,

dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik

maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang

dari 24 jam4.

Pemeriksaan histopatologis lain dari kulit yang juga dapat ditemukan antara

lain:

a. Apoptosis keratinosit

b. CD4 + T limfosit mendominasi dalam dermis, CD8 + T limfosit

mendominasi diepidermis ; persimpangan dermoepidermal dan

epidermis sebagian besardisusupi oleh CD8 + T limfosit10.

Pemeriksaan mata dapat menunjukkan sebagai berikut:

a. Biopsi konjungtiva dari pasien dengan penyakit mata aktif

menunjukkan sel-sel plasma dan infiltrasi limfosit subepitel, limfosit

juga hadir di sekitar dinding pembuluh, sedangkan limfosit infiltrasi

dominan adalah sel T Helper.

b. Immunohistology konjungtiva mengungkapkan banyak sel HLA-DR-

positif dalam substantia propria, dinding pembuluh, dan epitel10.

2.7 Diagnosis Banding

Beberapa penyakit yang merupakan diagnosa banding SJS:

25
1. Eritema multiformis (EM)

Bagian tubuh yang terkena EM ialah kulit dan kadang-kadang selaput lendir.

Penyebabnya belum diketahui secara pasti. Eritema multiformis dapat

menjadi salah satu diagnosis banding dari SJS, akan tetapi epidermolisis pada

EM hanya terjadi kurang dari 1%, tidak ada keterlibatan mukosa, tempat

predileksinya pada akral, dan kondisi umum pasien baik.

Gambar 2.6 Diagnosis Banding EM

2. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)

Penyakit ini sangat mirip dengan Sindrom Stevens- Johnson. Pada NET

terdapat Epidemolisis (Epidermis terlepas dari dasarnya) yang menyeluruh

dan keadaan umum penderita biasanya lebih buruk/berat.

26
Gambar 2.7 Perbedaan EM, SJS, dan TEN

27
3. Staphylococcal scalded skin syndrome , SSSS dibedakan secara klinis dari

SJS terutama oleh epidemiologi karena lebih sering pada anak anak. Dulu

penyakit ini dimasukkan ke dalam NET (Nekrolisis Epidermal Toksik) karena

gambaran bula dan epidermolisis yang mirip, akan tetapi setelah diketahui

penyebabnya adalah Staphylococcus dan sindrom ini tidak menyerang mukosa,

SSSS dikeluarkan dari klasifikasi NET. Penyakit ini umumnya menyerang anak usia

kurang dari 5 tahun karena belum matangnya fungsi ekskresi ginjal untuk

mengeluarkan eksotosin dari Staphylococcus. Diagnosis didukung oleh

pemeriksaan histologis, yang mengungkapkan peluruhan hanya lapisan atas

epidermis, pemriksaan gram dan kultur ditemukan bakteri.

4. Generalized bullous fixed drug eruption, bula secara histopatologi terletak

pada epidermal maupun sub epidermal, pada anamnesis terdapat riwayat

alergi obat, biasanya gejala segera timbul pada 30 menit – 8 jam, diawali

gejala sistemik kemudian timbul erupsi dengan bentuk multiformis di kepala,

leher, bibir, tungkai, kelamin.

Gambar 2.8 Staphylococcal Scalded Skin Syndrome dan Generalized bullous

fixed drug eruption

28
2.7 Tata Laksana

SSJ adalah penyakit yang mengancam nyawa yang membutuhkan

tatalaksana yang optimal berupa : deteksi dini dan penghentian segera obat

tersangka, serta perawatan suportif di rumah sakit. Sangat disarankan untuk

merawat pasien SSJ di ruang perawatan khusus11

Penatalaksanaan sindrom Stevens-Johnson didasarkan atas tingkat

keparahan penyakit yang secara umum meliputi: 1

1. Rawat inap

Rawat inap bertujuan agar dokter dapat memantau dan mengontrol setiap

hari keadaan penderita.

2. Preparat Kortikosteroid

Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan tindakan life saving.

Kortikosteroid yang biasa digunakan berupa deksametason secara

intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5mg sehari. Masa kritis biasanya

dapat segera diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan umum membaik

dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi,

maka dosis segera diturunkan 5mg secara cepat setiap hari. Setelah dosis

mencapai 5mg sehari kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid,

misalnya prednisone, yang diberikan dengan dosis 20 mg sehari,

kemudian diturunkan menjadi 10mg pada hari berikutnya selanjutnya

pemberian obat dihentikan. Lama pengobatan preparat kortikosteroid

kira-kira berlangsung selama 10 hari.

29
3. Antibiotik

Penggunaan preparat kortikosteroid dengan dosis tinggi menyebabkan

imunitas penderita menurun, maka antibiotic harus diberikan untuk

mencegah terjadinya infeksi sekunder, misalnya broncopneneumonia

yang dapat menyebabkan kematian. Antibiotik yang diberikan hendaknya

yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal,

dan tidak nefrotoksik. Antibiotik yang memenuhi syarat tersebut antara

lain siprofloksasin dengan dosis 2 x 400mg intravena, klindamisin

dengan dosis 2 x 600mg intravena dan gentamisin dengan dosis 2 x 80

mg.

4. Infuse dan Transfusi Darah

Hal yang perlu diperhatikan kepada penderita adalah mengatur

keseimbangan cairan atau elektrolit tubuh, karena penderita sukar atau

tidak dapat menelan makanan atau minuman akibat adanya lesi oral dan

tenggorokan serta kesadaran penderita yang menurun. Infuse yang

diberikan berupa glukosa 5% dan larutan Darrow. Apabila terapi yang

telah diberikan dan penderita belum menampakkan perbaikan dalam

waktu 2-3 hari, maka penderita dapat diberikan transfuse darah sebanyak

300 cc selama 2 hari berturut-turut, khususnya pada kasus yang disertai

purpura yang luas dan leucopenia

5. KCl

Penderita yang menggunakan kortikosteroid umumnya mengalami

penurunan kalium atau hipokalemia, maka diberikan KCl dengan dosis 3

x 500 mg sehari peroral

30
6. Adenocorticotropichormon (ACTH)

Penderita perlu diberikan ACTH untuk menghindari terjadinya supresi

korteks adrenal akibat pemberian kortikosteroid. ACTH yang diberikan

berupa ACTH sintetik dengan dosis 1 mg

7. Agen Hemostatik

Agen hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai purpura yang

luas. Agen hemostatik yang sering digunakan adalah vitamin K.

8. Diet

Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan

kepada penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam

jangka waktu lama, penderita mengalami retensi natrium dan kehilangan

protein, dengan diet rendah garam dan tinggi protein diharapkan

konsentrasi garam dan protein penderita dapat kembali normal. Penderita

selain menjalani diet rendah garam dan tinggi protein, dapat juga diberikan

makanan yang lunak atau cair, terutama pada penderita yang sukar

menelan.

9. Vitamin

Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C.

Vitamin B kompleks diduga dapat memperpendek durasi penyakit.

Vitamin C diberikan dengan dosis 500 mg atau 1000 mg sehari dan

ditujukan terutama pada penderita dengan kasus purpura yang luas

sehingga pemberian vitamin dapat membantu mengurangi permeabilitas

kapiler.

10. Perawatan pada Kulit

31
Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan spesifik, kebanyakan penderita

merasa lebih nyaman jika lesi kulit diolesi dengan ointment berupa

vaselin, polisporin, basitrasin. Rasa nyeri seringkali timbul pada lesi kulit

dikarenakan lesi seringkali melekat pada tempat tidur. Lesi kulit yang

erosive dapat diatasi dengan memberikan sofratulle atau krim sulfadiazine

perak, larutan salin 0,9% atau burow. Kompres dengan asam salisilat 0,1%

dapat diberikan untuk perawatan lesi pada kulit. Kerjasama antara dokter

gigi dan dokter spesialis ilmu penyakit kulit dan kelamin sangat

diperlukan.

11. Perawatan pada Mata

Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik,kompres

dengan larutan salin serta lubrikasi mata dengan air mata artificial dan

ointment. Pada kasus yang kronis,suplemen air mata seringkali digunakan

untuk mencegah terjadinya corneal epithelial breakdown. Antibiotik

topikal dapat digunakan untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder.

12. Perawatan pada genital

Larutan salin dan petroleum berbentuk gel sering digunakan pada area

genital penderita. Penderita sindrom Stevens-Johnson yang seringkali

mengalami gangguan buang air kecil akibat uretritis, balanitis, atau

vulvovaginitis, maka kateterisasi sangat diperlukan untuk memperlancar

buang air kecil.

13. Perawatan pada Oral

Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dengan pemberian

anastetik topical dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung

32
lidokain 2%. Campuran 50% air dan hydrogen peroksida dapat digunakan

untuk menyembuhkan jaringan nekrosis pada mukosa pipi. Antijamur dan

antibiotik dapat digunakan untuk mencegah superinfeksi. Lesi pada

mukosa bibir yang parah dapat diberikan perawatan berupa kompres asam

borat 3%. Lesi oral pada bibir diobati dengan boraks-gliserin atau

penggunaan triamsinolon asetonid. Triamsinolon asetonid merupakan

preparat kortikosteroid topical.

2.8 Komplikasi

Komplikasi yang tersering adalah bronkopneumonia. Komplikasi

yang lain adalah kehilangan cairan/darah, gangguan keseimbangan

elektrolit, dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan. Bila terjadi infeksi

dapat menyebabkan sepsis. 1

2.9 Prognosis

Bila ditangani secara cepat dan tepat prognosis cukup memuaskan.

Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia penyakit

ini dapat menyebabkan kematian.1

Dapat digunakan nilai SCORTEN untuk menggambarkan prognosa

sindrom ini sehingga dapat diperkirakan besarnya resiko kematian. Pada

kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam

waktu 2-3 minggu1

33
Gambar 2.9 Prognosis SCORTEN
BAB III

KESIMPULAN

Sindrom Stevens Johnson (SSJ) merupakan salah satu keadaan gawat

darurat di Bagian Kesehatan Kulit dan Kelamin . SSJ diawali dengan gejala

prodromal berupa demam, nyeri kepala. Beberapa faktor yang dapat dianggap

sebagai penyebab, yaitu meliputi alergi obat ( misalnya, allopurinol, penisilin,

analgetik, anti peuritik ), Infeksi mikroorganisme ( bakteri, virus, jamur, parasit ).

Pada syndrom ini terlihat adanya trias kelainan, berupa : kelainan pada

kulit terdiri atas eritema, purpura, papul, urtika, plak, vesikel, dan bula. lesi khas

berbentuk seperti lesi target (target lessions), yaitu bagian tengah lesi yang

berwarna keunguan dapat disertai vesikel ditengahnya dan dikelilingi makula

eritema. Vesikel dan bula kemudian pecah, sehingga terjadi erosi luas yang sangat

rentan mengalami infeksi sekunder. Kemudian kelaian pada mukosa dan pada

mata.

Tata laksana syndrom ini meliputi : a. perawatan ditempat khusus untuk

mencegah infeksi, b. Mengidentifikasi dan menghentikan pemakaian obat

penyebab, c. Perbaikan terhadap keseimbangan cairan, elektrolit dan protein, d.

Pemberian glukokortikoid f. Penggunaan Human Intravenous Immunoglobulin

(IVIG), g. Pemberian antibiotik untuk infeksi, h. Hematokrit, blood gases,

34
keseimbangan cairan dan elektrolit selalu dimonitor, i. Pemberian makanan TKTP

(tinggi kalori tinggi protein), j. Perawatan dan pengobatan kelainan mata, kulit,

genital, oral. Prognosis SJS bergantung pada keadaan dan penatalaksanaan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hamzah M, Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson dalam: Djuanda A, Hamzah


M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2007: p.163-5.
2. Harr, French. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson Syndrome.
Orphanet Journal of Rare Disease 2010. 5:39.
3. Ghislain PD, Roujeau JC. Treatment of Severe Drug Reaction : Stevens-Johnson
Syndrome and Toxic Epidermal Necrosis. Dermatol Online J 8 (1), 2002.
4. Ramon PF, Maldonado R. Erythema Multiforme, Stevens-Johnson Syndrome,
and Toxic Epidermal Necrolysis. In : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen
F, Goldsmith LA, Katz S (Editor). Fitzpatrick's Dermatology In General
Medicine 6th edition. New York: McGraw- Hill Professional Pub; 2003.
5. Steven J Parrillo SJ. Stevens-Johnson Syndrome in Emergency Medicine.
Aviable on http://emedicine.medscape.com/article/1197450-overview
6. Harsono, A. 2006. Sindroma Steven Johnson: Diagnosis dan Penatalaksanaan.
Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSU dr. Soetomo
Surabaya.
7. Lehloenya, R. 2007. Management of Steven-Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis. Current Alergy and Clinical Immunology. Vol. 20(3):
p.124-128.
8. Dunant, et al. 2002. Correlations Between Clinical Patterns and Causes of
Erythema Multiforme Majus, Stevens-Johnson Syndrome, and Toxic Epidermal
Necrolysis. Arch Dermatol 138 : 1019-1024.
9. Labreze, et al. 2000. Diagnosis, Classification, and Management of Erythema
Multiforme and Stevens-Johnson Syndrome. Arch Dis Child 83 : 347-352.
10. Lagayan, M. M. C. 2005. Stevens-Johnson Syndrome. Available at:
http://www.ehealth.ph/index.php/latest-ehealth-news/28.

35

Anda mungkin juga menyukai