Anda di halaman 1dari 166

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 8 TAHUN 1981

TENTANG
HUKUM ACARA PIDANA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum


berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya;
b. bahwa demi pembangunan di bidang hukum sebagaimana
termaktub dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (Ketetapan
Majelis Permusyawaratan. Rakyat Republik Indonesia Nomor
IV/MPR/1978) perlu mengadakan usaha peningkatan dan
penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan mengadakan
pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum dalam rangkuman
pelaksanaan secara nyata dari Wawasan Nusantara;
c. bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di
bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati
hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap
para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan
wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban
serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945;
d. bahwa hukum acara pidana sebagai yang termuat dalam Het
Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44)
dihubungkan dengan dan Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun
1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 81) serta semua peraturan
pelaksanaannya dan ketentuan yang diatur dalam perundang-
undangan lainnya sepanjang hal itu mengenai hukum acara
pidana, perlu dicabut, karena sudah tidak sesuai dengan cita-cita
hukum nasional;
e. bahwa - oleh karena itu perlu mengadakan undang-undang
tentang hukum acara pidana untuk melaksanakan peradilan bagi
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah
Agung dengan mengatur hak serta kewajiban bagi mereka yang
ada dalam proses pidana, sehingga dengan demikian dasar utama
negara hukum dapat ditegakkan.

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

1
Nomor IV/MPR/1978;
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2951).

Dengan Persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN:

Dengan mencabut : 1. Het Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941


Nomor 44) dihubungkan dengan dan Undangundang
Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951
Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) beserta
semua peraturan pelaksanaannya;
2. Ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan lain; dengan ketentuan bahwa yang tersebut
dalam angka 1 dan angka 2, sepanjang hal itu mengenai
hukum acara pidana.

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG HUKUM ACARA PIDANA

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan:
1. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan;
2. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya;
3. Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang
karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur
dalam undang-undang ini;
4. Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang
oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan;
5. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini;
6. a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
7. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana
ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur

2
dalam undangundang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh
hakim di sidang pengadilan;
8. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk mengadili;
9. Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan
memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di
sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini;
10. Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan.
11. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini;
12. Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima
putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak
terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini;
13. Penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau
berdasar undang-undang untuk memberi bantuan hukum;
14. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana;
15. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang
pengadilan;
16. Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau
menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud
atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan
dan peradilan;
17. Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat
tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan
atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini;
18. Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan
badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang didup keras ada
pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita;
19. Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan
tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu
dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang
yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang
diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang
menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu
melakukan tindak pidana itu;
20. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara
waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna

3
kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini;
21. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh
penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini;
22. Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya
yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini;
23. Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat
penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut
ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang
diatur dalam undang- undang ini;
24. Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau
kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang
telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana;
25. Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang
berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum
seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya;
26. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri;
27. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu;
28. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan;
29. Keterangan anak adalah keterangan yang diberikan oleh seorang anak tentang hal
yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini;
30. Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai derajat tertentu
atau hubungan perkawinan dengan mereka yang terlibat dalam suatu proses pidana
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini;
31. Satu hari adalah dua puluh empat jam dan satu bulan adalah waktu tiga puluh
hari;
32. Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

BAB II
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG

Pasal 2
Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan
peradilan umum pada semua tingkat peradilan.

4
BAB III
DASAR PERADILAN

Pasal 3
Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

BAB IV
PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM

Bagian Kesatu
Penyelidik dan Penyidik

Pasal 4
Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.

Pasal 5
1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4:
a. karena kewajibannya mempunyai wewenang:
1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
2. mencari keterangan dan barang bukti;
3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri;
4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penahanan;
2. pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.

Pasal 6
1) Penyidik adalah:
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang.
2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur
lebih lanjut dalam
peraturan pemerintah.

Pasal 7
1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena
kewajibannya mempunyai
wewenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

5
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai
wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya
masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi
dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a;
3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),
penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

Pasal 8
1) Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam
undang-undang ini;
2) Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
3) Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan:
a. pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;
b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan
tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.

Pasal 9
Penyelidik dan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a
mempunyai wewenang melakukan tugas masing-masing pada umumnya di seluruh
wilayah Indonesia, khususnya di daerah hukum masing-masing di mana ia diangkat
sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Bagian Kedua
Penyidik Pembantu

Pasal 10
1) Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang
diangkat oleh Kepala Kepolisian negara Republik Indonesia berdasarkan syarat
kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini;
2) Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat (1) diatur dengan
peraturan pemerintah.

Pasal 11
Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1),
kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang
dari penyidik.

Pasal 12
Penyidik pembantu membuat berita acara dan, menyerahkan berkas perkara kepada
penyidik, kecuali perkara dengan acara pemeriksaan singkat yang dapat langsung
diserahkan kepada penuntut umum.

6
Bagian Ketiga
Penuntut Umum

Pasal 13
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Pasal 14
Penuntut umum mempunyai wewenang:
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik
pembantu;
b. mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi
petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan
lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan
oleh penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan
waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa
maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. melakukan penuntutan;
h. menutup perkara demi kepentingan hukum;
i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai
penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j. melaksanakan penetapan hakim.

Pasal 15
Penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah
hukumnya menurut ketentuan
undang-undang.

BAB V
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN, PEMASUKAN RUMAH,
PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT

Bagian Kesatu
Penangkapan

Pasal 16
1) Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang
melakukan penangkapan;
2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang
melakukan penangkapan.

Pasal 17
Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

7
Pasal 18
1) Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara
Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan
kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas
tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara
kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa;
2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah,
dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap
beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang
terdekat;
3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.

Pasal 19
1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk
paling lama satu hari;
2) Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali
dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi
panggilan itu tanpa alasan yang sah.

Bagian Kedua
Penahanan

Pasal 20
1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan
penahanan;
2) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan;
3) Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan
penetapannya berwenang melakukan penahanan.

Pasal 21
1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang
tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan
kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak
atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana;
2) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut
umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah
penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau
terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara
kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan;
3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan
hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada
keluarganya;
4) Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa
yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan
dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;

8
b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296,
Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal
378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan
Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26
Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai,
terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2
dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor
8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat
(7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976
Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).

Pasal 22
1) Jenis penahanan dapat berupa:
a. penahanan rumah tahanan negara;
b. penahanan rumah;
c. penahanan kota.
2) Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah
kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan
terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan
kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan;
3) Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman
tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa
melapor diri pada waktu yang ditentukan;
4) Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan;
5) Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya
waktu penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah
lamanya waktu penahanan.

Pasal 23
1) Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk mengalihkan
jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22;
2) Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengan surat
perintah dari penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang
tembusannya diberikan kepada tersangka atau terdakwa serta keluarganya
dan kepada instansi yang berkepentingan.

Pasal 24
1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari;
2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh
penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari;
3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup
kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir
waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi;
4) Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah
mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.

9
10
Pasal 25
1) Perintah penahanan yang diberikan oleh penuntut umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari;
2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua
pengadilan negeri yang berwenang untuk paling lama tiga puluh hari;
3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup
kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir
waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi;
4) Setelah waktu lima puluh hari tersebut, penuntut umum harus sudah
mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.

Pasal 26
1) Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 84, guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan
surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari;
2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua
pengadilan negeri yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari;
3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup
kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir
waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi;
4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum
diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

Pasal 27
1) Hakim pengadilan tinggi yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 87, guna kepentingan pemeriksaan banding berwenang
mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari;
2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua
pengadilan tinggi yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari;
3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup
kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir
waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi;
4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum
diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

Pasal 28
1) Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 88, guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang
mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama puluh hari;
2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua
Mahkamah Agung untuk paling lama enam puluh hari;
3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup
kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir
waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi;
4) Setelah waktu seratus sepuluh hari walaupun perkara tersebut belum
diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

11
Pasal 29
1) Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada
Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28, guna kepentingan
pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat
diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan
karena:
a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang
berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; atau
b. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan
tahun atau lebih.
2) Perpanjangan tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh
hari dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat
diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari;
3) Perpanjangan penahanan tersebut atas dasar permintaan dan laporan
pemeriksaan dalam tingkat:
a. penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri;
b. pemeriksaan di pengadilan negeri diberikan oleh ketua pengadilan tinggi;
c. pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung;
d. pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
4) Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut
pada ayat (3) dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggung jawab;
5) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir
waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi;
6) Setelah waktu enam puluh hari, walaupun perkara tersebut belum selesai
diperiksa atau belum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah
dikeluarkan dari tahanan demi hukum;
7) Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2) tersangka atau
terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat:
a. penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi;
b. pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua
Mahkamah Agung.

Pasal 30
Apabila tenggang waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal
25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 atau perpanjangan penahanan
sebagaimana tersebut pada Pasal 29 ternyata tidak sah, tersangka atau
terdakwa berhak minta ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang dimaksud
dalam Pasal 95 dan Pasal 96.

Pasal 31
1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum
atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan
penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan
orang, berdasarkan syarat yang ditentukan;
2) Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-
waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau
terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

12
Bagian Ketiga
Penggeledahan

Pasal 32
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan
rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata
cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.

Pasal 33
1) Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam
melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan yang diperlukan;
2) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas
kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah;
3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam
hal tersangka atau penghuni menyetujuinya;
4) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua
lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni
menolak atau tidak hadir;
5) Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau -menggeledah rumah,
harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada
pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.

Pasal 34
1) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus
segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih
dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat
melakukan penggeledahan:
a. pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan
yang ada di atasnya;
b. pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada;
c. di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya;
d. di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.
2) Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat
(1) penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan
tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak
pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak
pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk
melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan
kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Pasal 35
Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki:
a. ruang di mana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
b. tempat di mana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan;
c. ruang dimana sedang berlangsung sidang pengadilan.

Pasal 36
Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah
hukumnya, dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam Pasal 33, maka
penggeledahan tersebut harus diketahui oleh ketua pengadilan negeri dan

13
didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di mana penggeledahan itu
dilakukan.

Pasal 37
1) Pada waktu menangkap tersangka, penyelidik hanya berwenang
menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta, apabila
terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka
tersebut terdapat benda yang dapat disita;
2) Pada waktu menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang
menggeledah pakaian dan atau menggeledah badan tersangka.

Bagian Keempat
Penyitaan

Pasal 38
1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua
pengadilan negeri setempat;
2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus
segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih
dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan
penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan
kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Pasal 39
1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian
diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak
pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan
tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak
pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak
pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
yang dilakukan.
f. Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata' atau karena
pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan
mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).

Pasal 40
Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang
ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.

Pasal 41
Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atau surat
atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor
pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau
pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi

14
tersangka atau yang berasal daripadanya dan untuk itu kepada tersangka dan
atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan
komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat
tanda penerimaan.

Pasal 42
1) Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda
yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk
kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus
diberikan surat tanda penerimaan;
2) Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada
penyidik jika surat atau tulisan itu berasal dari tersangka atau terdakwa
atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya
atau jikalau benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak
pidana.

Pasal 43
Penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut
undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia
negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus
ketua pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain.

Pasal 44
1) Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara;
2) Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan
tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan
tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut di larang
untuk dipergunakan oleh siapapun juga.

Pasal 45
1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang
membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan
pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan
hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi
terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya
dapat diambil tindakan sebagai berikut:
a. apabila perkara masih ada di tangan penyidik atau penuntut umum,
benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik
atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya;
b. apabila perkara sudah ada di tangan pengadilan, maka benda tersebut
dapat diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum atas izin
hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa
atau kuasanya.
2) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai
sebagai barang bukti;
3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian dari
benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
(4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak
termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk
dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.

15
Pasal 46
1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada
mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka
yang paling berhak apabila:
a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau
ternyata tidak merupakan tindak pidana;
c. perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara
tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari
suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu
tindak pidana.
2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan
dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam
putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas
untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak
dapat dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan sebagai
barang bukti dalam perkara lain.

Bagian Kelima
Pemeriksaan Surat

Pasal 47
1) Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim
melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan
komunikasi atau pengangkutan jika benda tersebut dicurigai dengan alasan
yang kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang
diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua
pengadilan negeri;
2) Untuk kepentingan tersebut penyidik dapat meminta kepada kepala kantor
pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau
pengangkutan lain untuk menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan
untuk itu harus diberikan surat tanda penerimaan;
3) Hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini, dapat
dilakukan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan menurut
ketentuan yang diatur dalam ayat tersebut.

Pasal 48
1) Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada
hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut
dilampirkan pada berkas perkara;
2) Apabila sesudah diperiksa ternyata surat itu tidak ada hubungannya dengan
perkara tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan kembali
kepada kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan
komunikasi atau pengangkutan lain setelah dibubuhi cap yang berbunyi
"telah dibuka oleh penyidik" dengan dibubuhi tanggal, tanda tangan beserta
identitas penyidik;
3) Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan
sumpah jabatan isi surat yang dikembalikan itu.

16
Pasal 49
1) Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 dan Pasal 75;
2) Turunan berita acara tersebut oleh penyidik dikirimkan kepada kepala
kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi
atau pengangkutan yang bersangkutan.

BAB VI
TERSANGKA DAN TERDAKWA

Pasal 50
1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan
selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum;
2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut
umum;
3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.

Pasal 51
Untuk mempersiapkan pembelaan:
a. tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu
pemeriksaan dimulai;
b. terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya.

Pasal 52
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau
terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau
hakim.

Pasal 53
1) Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau
terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177;
2) Dalam hal tersangka atau terdakwa bisu dan atau tuli diberlakukan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178.

Pasal 54
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat
bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu
dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam
undang-undang ini.

Pasal 55
Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau
terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.

Pasal 56
1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima
belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam

17
dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat
hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan
dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka;
2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.

Pasal 57
1) Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi
penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini;
2) Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan
penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan
negaranya dalam menghadapi proses perkaranya.

Pasal 58
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan
menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik
yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak.

Pasal 59
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan
tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua
tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarganya atau orang
lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang
bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan
bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.

Pasal 60
Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari
pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka
atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan
ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum.

Pasal 61
Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan perantaraan
penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak
keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka
atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan
kekeluargaan.

Pasal 62
1) Tersangka atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat
hukumnya, dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak
keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu bagi
tersangka atau terdakwa disediakan alat tulis menulis;
2) Surat menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat
hukumnya atau sanak keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut
umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara kecuali jika terdapat
cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat itu disalahgunakan;
3) Dalam hal surat untuk tersangka atau terdakwa itu ditilik atau diperiksa
oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara,
hal itu diberitahukan kepada tersangka atau terdakwa dan surat tersebut

18
dikirim kembali kepada pengirimnya setelah dibubuhi cap yang berbunyi
"telah ditilik".
Pasal 63
Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari
rohaniwan.

Pasal 64
Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk
umum.

Pasal 65
Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi
dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan
keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.

Pasal 66
Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.

Pasal 67
Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan
pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala
tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan
hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.

Pasal 68
Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 95 dan selanjutnya.

BAB VII
BANTUAN HUKUM

Pasal 69
Penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau
ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan
dalam undang-undang ini.

Pasal 70
1) Penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 berhak
menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat
pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya;
2) Jika terdapat bukti bahwa penasihat hukum tersebut menyalahgunakan
haknya dalam pembicaraan dengan tersangka maka sesuai dengan tingkat
pemeriksaan, penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga
pemasyarakatan membeli peringatan kepada penasihat hukum;
3) Apabila peringatan tersebut tidak diindahkan, maka hubungan tersebut
diawasi oleh pejabat yang tersebut pada ayat (2);
4) Apabila setelah diawasi, haknya masih disalahgunakan, maka hubungan
tersebut disaksikan oleh pejabat tersebut pada ayat (2) dan apabila setelah
itu tetap dilanggar maka hubungan selanjutnya dilarang.

19
Pasal 71
1) Penasihat hukum, sesuai dengan tingkat pemeriksaan, dalam berhubungan
dengan tersangka diawasi oleh penyidik, penuntut umum atau petugas
lembaga pemasyarakatan tanpa mendengar isi pembicaraan;
2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara, pejabat tersebut pada ayat
(1) dapat mendengar isi pembicaraan.

Pasal 72
Atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya pejabat yang
bersangkutan memberikan turunan berita acara pemeriksaan untuk
kepentingan pembelaannya.

Pasal 73
Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka setiap
kali dikehendaki olehnya.

Pasal 74
Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka
sebagaimana tersebut pada Pasal 70 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 71
dilarang, setelah perkara dilimpahkan oleh penuntut umum kepada pengadilan
negeri untuk disidangkan, yang tembusan suratnya disampaikan kepada
tersangka atau penasihat hukumnya serta pihak lain dalam proses.

BAB VIII
BERITA ACARA

Pasal 75
1) Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang:
a. pemeriksaan tersangka;
b. penangkapan;
c. penahanan;
d. penggeledahan;
e. pemasukan rumah;
f. penyitaan benda;
g. pemeriksaan surat;
h. pemeriksaan saksi;
i. pemeriksaan di tempat kejadian;
j. pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan;
k. pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-
undang ini.
2) Berita acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan
tindakan tersebut pada ayat (1) dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan;
3) Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat tersebut pada ayat
(2) ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan
tersebut pada ayat (1).

BAB IX
SUMPAH ATAU JANJI

Pasal 76

20
1) Dalam hal yang berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini
diharuskan adanya pengambilan sumpah atau janji, maka untuk keperluan
tersebut dipakai peraturan perundang-undangan tentang sumpah atau janji
yang berlaku, baik mengenai isinya maupun mengenai tatacaranya;
(2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi,
maka sumpah atau janji tersebut batal menurut hukum.

BAB X
WEWENANG PENGADILAN UNTUK MENGADILI

Bagian Kesatu
Praperadilan

Pasal 77
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Pasal 78
1) Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77 adalah praperadilan;
2) Pra Peradilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua
pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.

Pasal 79
Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau
penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

Pasal 80
Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan
atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak
ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya.

Pasal 81
Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya
penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan
kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.

Pasal 82
1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut:
a. dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang
ditunjuk menetapkan hari sidang;
b. dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan
atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau

21
penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak
sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak
termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari
tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang;
c. pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya
tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya;
d. dalam hal suatu perkara sudah mulai. diperiksa oleh pengadilan negeri,
sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan
belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;
e. putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup
kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan, praperadilan lagi pada
tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan
permintaan baru.
2) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harus
memuat dengan jelas dasar dan alasannya;
3) Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
juga memuat hal sebagai berikut:
a. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau
penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada
tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan
tersangka;
b. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan
atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap
tersangka wajib dilanjutkan;
c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau
penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah
besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam
hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan
tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan
rehabilitasinya;
d. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak
termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa
benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari
siapa benda itu disita.
4) Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77 dan Pasal 95.

Pasal 83
1) Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding;
2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang
menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang
untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilantinggi dalam daerah
hukum yang bersangkutan.

Bagian Kedua
Pengadilan Negeri

Pasal 84

22
1) Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak
pidana yang dilakukan dalamdaerah hukumnya;
2) Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat
tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya
berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman
sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan
negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam
daerahnya tindak pidana itu dilakukan;
3) Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah
hukum pelbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri itu masing-
masing berwenang mengadili perkara pidana itu;
4) Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya
dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai pengadilan
negeri, diadili oleh masing-masing pengadilan negeri dengan ketentuan
dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut.

Pasal 85
Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk
mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala`
kejaksaan negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada
Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain
daripada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud.

Pasal 86
Apabila seorang melakukan tindak pidana di luar negeri yang dapat diadili
menurut hukum Republik Indonesia, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
yang berwenang mengadilinya.

Bagian Ketiga
Pengadilan Tinggi

Pasal 87
Pengadilan tinggi berwenang mengadili perkara yang diputus oleh pengadilan
negeri dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding.

Bagian Keempat
Mahkamah Agung

Pasal 88
Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara pidana yang dimintakan
kasasi.

BAB XI
KONEKSITAS

Pasal 89
1) Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk
lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika
menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan

23
Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer;
2) Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 dan polisi militer Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia dan oditur militer atau oditur militer tinggi sesuai dengan
wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk
penyidikan perkara pidana;
3) Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan
bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman.

Pasal 90
1) Untuk menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan militer
atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang akan mengadili
perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), diadakan
penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur
militer tinggi atas dasar hasil penyidikan tim tersebut pada Pasal 89 ayat (2);
2) Pendapat dari penelitian bersama tersebut dituangkan dalam berita acara
yang ditandatangani oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
3) Jika dalam penelitian bersama itu terdapat persesuaian pendapat tentang
pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut, maka hal itu
dilaporkan oleh jaksa atau jaksa tinggi kepada Jaksa Agung dan oleh oditur
militer atau oditur militer tinggi kepada Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia.

Pasal 91
1) Jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) titik
berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada
kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka perwira penyerah
perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang
diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi kepada penuntut
umum, untuk dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada
pengadilan negeri yang berwenang;
2) Apabila menurut pendapat itu titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh
tindak pidana tersebut terletakpada kepentingan militer sehingga perkara
pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer,
maka pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dijadikan
dasar bagi Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk
mengusulkan kepada Menteri Pertahanan dan Keamanan, agar dengan
persetujuan Menteri Kehakiman dikeluarkan keputusan Menteri Pertahanan
dan Keamanan yang menetapkan, bahwa perkara pidana tersebut diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer;
3) Surat keputusan tersebut pada ayat (2) dijadikan dasar bagi perwira
penyerah perkara dan jaksa atau jaksa tinggi untuk menyerahkan perkara
tersebut kepada mahkamah militer atau mahkamah militer tinggi.

Pasal 92
1) Apabila perkara diajukan kepada pengadilan negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 91 ayat (1), maka berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh tim
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) dibubuhi catatan oleh

24
penuntut umum yang mengajukan perkara, bahwa berita acara tersebut
telah diambil alih olehnya;
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi oditur
militer atau oditur militer tinggi apabila perkara tersebut akan diajukan
kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

25
Pasal 93
1) Apabila dalam penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1)
terdapat perbedaan pendapat antara penuntut umum dan oditur militer atau
oditur militer tinggi, mereka masing-masing melaporkan tentang perbedaan
pendapat itu secara tertulis, dengan disertai berkas perkara yang
bersangkutan melalui jaksa tinggi, kepada Jaksa Agung dan kepada Oditur
Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
2) Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
bermusyawarah untuk mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan
pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
3) Dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara Jaksa Agung dan Oditur
Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, pendapat Jaksa Agung
yang menentukan.

Pasal 94
1) Dalam hal perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1)
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau lingkungan
peradilan militer, yang mengadili perkara tersebut adalah majelis hakim yang
terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang hakim;
2) Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili
perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), majelis
hakim terdiri dari hakim ketua dari lingkungan peradilan umum dan hakim
anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan umum dan peradilan
militer secara berimbang;
3) Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang mengadili
perkara pidana tersebut pada Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari,
hakim ketua dari lingkungan peradilan militer dan hakim anggota secara
berimbang dari masing-masing lingkungan peradilan militer dan dari
peradilan umum yang diberi pangkat militer tituler;
4) Ketentuan tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pengadilan
tingkat banding;
5) Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan dan Keamanan secara timbal
balik mengusulkan pengangkatan hakim anggota sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) dan hakim perwira sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4).

BAB XII
GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI

Bagian Kesatu
Ganti Kerugian

Pasal 95
1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena
ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan;
2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas
penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau
hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang

26
perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang
praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77;
3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan
oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan
yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan;
4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut
pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama
yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan;
5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4)
mengikuti acara praperadilan.

Pasal 96
1) Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan;
2) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan lengkap
semua hal yang dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut.

Bagian Kedua
Rehabilitasi

Pasal 97
1) Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus
bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah
mempunyai kekuatan hukum tetap;
2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan
pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai
orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95
ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh
hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.

BAB XIII
PENGGABUNGAN PERKARA GUGATAN GANTI KERUGIAN

Pasal 98
1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu
pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian
bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat
menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada
perkara pidana itu;
2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan
selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.
Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-
lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.

Pasal 99
1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada
perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan
negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan
tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman

27
penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan
tersebut;
2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili
gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan
tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan
hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang
dirugikan;
3) Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan
tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap.

Pasal 100
1) Apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana,
maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan
tingkat banding;
2) Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding,
maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak
diperkenankan.

Pasal 101
Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti
kerugian sepanjang dalam undangundang ini tidak diatur lain.

BAB XIV
PENYIDIKAN

Bagian Kesatu
Penyelidikan

Pasal 102
1) Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang
terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib
segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan;
2) Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik
wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka
penyelidikan sebagaimana tersebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf b;
3) Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada ayat (1) dan ayat (2)
penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik
sedaerah hukum.

Pasal 103
1) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani
oleh pelapor atau pengadu;
2) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh
penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik;
3) Dalam hal pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus
disebutkan sebagai catatan dalam laporan atau pengaduan tersebut.

Pasal 104
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik, wajib menunjukkan tanda
pengenalnya.

28
Pasal 105
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan
diberi petunjuk oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.

29
Bagian Kedua
Penyidikan

Pasal 106

Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang


terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib
segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan.

Pasal 107
1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf
a memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf
b dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan;
2) Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana
sedang dalam penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf
b dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada
penuntut umum, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b melaporkan
hal itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a;
3) Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada
Pasal 6 ayat (1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada
penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.

Pasal 108
1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi
korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan
laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan
maupun tertulis;
2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa
atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut
kepada penyelidik atau penyidik;
3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang
mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana
wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik;
4) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani
oleh pelapor atau pengadu;
5) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh
penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik;
6) Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus
memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang
bersangkutan.

Pasal 109
1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang
merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada
penuntut umum;
2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup
bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau
penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu
kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya;

30
3) Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan
mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.

Pasal 110
1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib
segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum;
2) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut
ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan
berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi;
3) Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk
dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai
dengan petunjuk dari penuntut umum;
4) Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari
penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila
sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal
itu dari penuntut umum kepada penyidik.

Pasal 111
1) Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang
yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan
keamanan umum wajib, menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau
tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik;
2) Setelah menerima penyerahan tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) penyelidik atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan
tindakan lain dalam rangka penyidikan;
3) Penyelidik dan penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang
ke tempat kejadian dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat
itu selama pemeriksaan di situ belum selesai;
4) Pelanggar larangan tersebut dapat dipaksa tinggal di tempat itu sampai
pemeriksaan dimaksud di atas selesai.

Pasal 112
1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan
pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang
dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan
memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan
dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut;
2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang,
penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk
membawa kepadanya.

Pasal 113
Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut
dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan
pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya.

Pasal 114
Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum
dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan
kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia

31
dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56.

Pasal 115
1) Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka,
penasihat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara
melihat serta mendengar pemeriksaan;
2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara penasihat hukum dapat
hadir dengan cara melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan
terhadap tersangka.

Pasal 116
1) Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup alasan
untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di
pengadilan;
2) Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang satu
dengan yang lain dan mereka wajib memberikan keterangan yang
sebenarnya;
3) Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya
saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu
dicatat dalam berita acara;
4) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil
dan memeriksa saksitersebut.

Pasal 117
1) Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa
tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun;
2) Dalam hal tersangka memberi keterangan tentang apa yang sebenarnya ia
telah lakukan sehubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan
kepadanya, penyidik mencatat dalam berita acara setelititelitinya sesuai
dengan kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri.

Pasal 118
1) Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang
ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang memberi keterangan itu setelah
mereka menyetujui isinya;
2) Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan tanda
tangannya, penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut
alasannya.

Pasal 119
Dalam hal tersangka dan atau saksi yang harus didengar keterangannya
berdiam atau bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang
menjalankan penyidikan, pemeriksaan terhadap tersangka dan atau saksi
dapatdibebankan kepada penyidik di tempat kediaman atau tempat tinggal
tersangka dan atau saksi tersebut.

Pasal 120
(1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli
atau orang yang memiliki keahlian khusus;

32
(2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka
penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang
sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat,
pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat
menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.

Pasal 121
Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera membuat berita acara yang
diberi tanggal dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan, dengan
menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan,
nama dan tempat tinggal dari tersangka dan atau saksi, keterangan mereka,
catatan mengenai. Akta dan atau benda serta segala sesuatu yang dianggap
perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.

Pasal 122
Dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah
penahanan itu dijalankan, ia harus mulai diperiksa oleh penyidik.

Pasal 123
(1) Tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan
atas penahanan atau jenis penahanan tersangka kepada penyidik yang
melakukan penahanan itu;
(2) Untuk itu penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan
mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan
atau tetap ada dalam jenis penahanan tertentu;
(3) Apabila dalam waktu tiga hari permintaan tersebut belum dikabulkan oleh
penyidik, tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal
itu kepada atasan penyidik;
(4) Untuk itu atasan penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan
mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan
atau tetap ada dalam jenis tahanan tertentu;
(5) Penyidik atau atasan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut
di atas dapat mengabulkanpermintaan dengan atau tanpa syarat.

Pasal 124
Dalam hal apakah sesuatu penahanan sah atau tidak sah menurut hukum,
tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada
pengadilan negeri setempat untuk diadakan praperadilan guna memperoleh
putusan apakah penahanan atas diri tersangka tersebut sah atau tidak sah
menurut undangundang ini.

Pasal 125
Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan rumah terlebih dahulu
menunjukkan tanda pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya,
selanjutnya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan
Pasal 34.

Pasal 126
(1) Penyidik membuat berita acara tentang jalannya dan hasil penggeledahan
rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5);

33
(2) Penyidik membacakan lebih dahulu berita acara tentang penggeledahan
rumah kepada yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan
ditandatangani oleh penyidik maupun tersangka atau keluarganya dan atau
kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi;
(3) Dalam hal tersangka atau keluarganya tidak mau membubuhkan tanda
tangannya, hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya.

Pasal 127
(1) Untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, penyidik dapat
mengadakan penjagaan atau penutupan tempat yang bersangkutan;
(2) Dalam hal ini penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap
perlu tidak meninggalkan tempat tersebut selama penggeledahan
berlangsung.
Pasal 128
Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia menunjukkan
tanda pengenalnya kepada orang dari mana benda itu disita.

Pasal 129
(1) Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dari mana
benda itu akan disita atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan
tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh kepala desa atau
ketua lingkungan dengan dua orang saksi;
(2) Penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu
kepada orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi
tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun orang atau keluarganya
dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi;
(3) Dalam hal orang dari mana benda itu disita atau keluarganya tidak mau
membubuhkan tanda tangannya hal itu dicatat dalam berita acara dengan
menyebut alasannya;
(4) Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasannya,
orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa.

Pasal 130
(1) Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan/atau jumlah menurut
jenis masing-masing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal
penyitaan, identitas orang dari mana benda itu disita dan lainlainnya yang
kemudian diberi lak dan cap jabatan dan ditandatangani oleh penyidik;
(2) Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik memberi
catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis di atas label
yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada benda tersebut.

Pasal 131
(1) Dalam hal sesuatu tindak pidana sedemikian rupa sifatnya sehingga ada
dugaan kuat dapat diperoleh keterangan dari berbagai surat, buku atau
kitab, daftar dan sebagainya, penyidik segera pergi ke tempat yang
dipersangkakan untuk menggeledah, memeriksa surat, buku atau kitab,
daftar dan sebagainya dan jika perlu menyitanya;
(2) Penyitaan tersebut dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana diatur
dalam Pasal 129 undangundang ini.

Pasal 132

34
(1) Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau
dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan
penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu
dari orang ahli;
(2) Dalam hal timbul dugaan kuat bahwa ada surat palsu atau yang
dipalsukan, penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat
dapat datang atau dapat minta kepada pejabat penyimpan umum yang
wajib dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat asli yang disimpannya itu
kepadanya untuk dipergunakan sebagai bahan perbandingan;
(3) Dalam hal suatu surat yang dipandang perlu untuk pemeriksaan, menjadi
bagian serta tidak dapat dipisahkan dari daftar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 131, penyidik dapat minta supaya daftar itu seluruhnya selama
waktu yang ditentukan dalam surat permintaan dikirimkan kepadanya
untuk diperiksa, dengan menyerahkan tanda penerimaan;
(4) Dalam hal surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menjadi bagian
dari suatu daftar, penyimpan membuat salinan sebagai penggantinya
sampai surat yang asli diterima kembali yang di bagian bawah dari salinan
itu penyimpan mencatat apa sebab salinan itu dibuat;
(5) Dalam hal surat atau daftar itu tidak dikirimkan dalam waktu yang
ditentukan dalam surat permintaan, tanpa alasan yang sah, penyidik
berwenang mengambilnya;
(6) Semua pengeluaran untuk penyelesaian hal tersebut dalam pasal ini
dibebankan pada dan sebagai biaya perkara.

Pasal 133
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa
yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau
ahli lainnya;
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas
untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan
bedah mayat;
(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada
rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan
terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat,
dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau
bagian lain badan mayat.

Pasal 134
(1) Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah
mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan
terlebih dahulu kepada keluarga korban;
(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-
jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan
tersebut;
(3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga
atau pihak yang perlu diberitahutidak diketemukan, penyidik segera
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133ayat (3)
undang-undang ini.

35
Pasal 135
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian
mayat, dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
133 ayat (2) dan Pasal 134 ayat (1) undang-undang ini.

Pasal 136
Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Bagian Kedua Bab XIV ditanggung oleh negara.

BAB XV
PENUNTUTAN

Pasal 137
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang
didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan'
melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.

Pasal 138
(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera
mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib
memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah
lengkap atau belum;
(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang
hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas
hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan
kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.

Pasal 139
Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan
yang lengkap dari penyidik, ia segera, menentukan apakah berkas perkara itu
sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke
pengadilan.

Pasal 140
(1) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat
dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat
dakwaan;
(2) a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan
penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut
ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi
hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan;
b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia
ditahan, wajib segera dibebaskan;
c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau
keluarga ataupenasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik
dan hakim;
d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat
melakukan penuntutan terhadap tersangka.

36
Pasal 141
Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya
dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir
bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal:
a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan
kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap
penggabungannya;
b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;
c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain,
akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam
hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.

Pasal 142
Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat
beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang
tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan
penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.

Pasal 143
1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan
permintaan agar. segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat
dakwaan;
2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan
ditandatangani serta berisi:
a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan.
3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum;
4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan
kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik,
pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara
tersebut ke pengadilan negeri.

Pasal 144
1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan
menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan
maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya;
2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali
selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai;
3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan
turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.

BAB XVI
PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN

Bagian Kesatu
Panggilan dan Dakwaan

37
Pasal 145
1) Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan secara sah,
apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat
tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui,
disampaikan di tempat kediaman terakhir;
2) Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat kediaman
terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah
hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir;
3) Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan
kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara;
4) Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri ataupun oleh orang lain
atau melalui orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan;
5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal,
surat panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung
pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya.

Pasal 146
1) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa yang
memuat tanggal, hari, serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil
yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambatlambatnya tiga
hari sebelum sidang dimulai;
2) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan kepada saksi yang memuat
tanggal, hari serta jamsidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus
sudah diterima oleh yang bersangkutan selambatlambatnya tiga hari
sebelum sidang dimulai.

Bagian Kedua
Memutus Sengketa mengenai Wewenang Mengadili

Pasal 147
Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut
umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan
yang dipimpinnya.

Pasal 148
1) Dalam hal ketua pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara pidana itu
tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya, tetapi termasuk
wewenang pengadilan negeri lain, ia menyerahkan surat pelimpahan
perkara tersebut kepada pengadilan negeri lain yang dianggap berwenang
mengadilinya dengan surat penetapan yang memuat alasannya;
2) Surat pelimpahan perkara tersebut diserahkan kembali kepada penuntut
umum selanjutnya kejaksaan negeri yang bersangkutan menyampaikannya
kepada kejaksaan negeri di tempat pengadilan negeri yang tercantum dalam
surat penetapan;
3) Turunan surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
disampaikan kepada terdakwa atau penasihat hukum dan penyidik.

Pasal 149
1) Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap surat penetapan
pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148, maka:

38
a. Ia mengajukan perlawanan kepada Pengadilan tinggi yang bersangkutan
dalam waktu tujuh hari setelah penetapan tersebut diterima;
b. tidak dipenuhinya tenggang waktu tersebut di atas mengakibatkan
batalnya perlawanan;
c. perlawanan tersebut disampaikan kepada ketua pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 dan hal itu dicatat dalam buku
daftar panitera;
d. dalam waktu tujuh hari pengadilan negeri wajib meneruskan perlawanan
tersebut kepadapengadilan tinggi yang bersangkutan.
2) Pengadilan tinggi dalam waktu paling lama empat belas hari setelah
menerima perlawanan tersebut dapat menguatkan atau menolak perlawanan
itu dengan surat penetapan;
3) Dalam hal pengadilan tinggi menguatkan perlawanan penuntut umum, maka
dengan surat penetapan diperintahkan kepada pengadilan negeri yang
bersangkutan untuk menyidangkan perkara tersebut;
4) Jika pengadilan tinggi menguatkan pendapat pengadilan negeri, pengadilan
tinggi mengirimkan berkas perkara pidana tersebut kepada pengadilan negeri
yang bersangkutan;
5) Tembusan surat penetapan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) dan ayat (4) disampaikan kepada penuntut umum.

Pasal 150
Sengketa tentang wewenang mengadili terjadi:
a. jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas
perkara yang sama;
b. jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang
mengadili perkara yang sama.

Pasal 151
1) Pengadilan tinggi memutus sengketa wewenang mengadili antara dua
pengadilan negeri atau lebih yang berkedudukan dalam daerah hukumnya;
2) Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua
sengketa tentang wewenang mengadili:
a. antara pengadilan dari satu lingkungan peradilan dengan pengadilan dari
lingkungan peradilan yang lain;
b. antara dua pengadilan negeri yang berkedudukan dalam daerah hukum
pengadilan tinggi yang berlainan;
c. antara dua pengadilan tinggi atau lebih.

Bagian Ketiga
Acara Pemeriksaan Biasa

Pasal 152
1) Dalam hal pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dan
berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, ketua pengadilan
menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang
ditunjuk itu menetapkan hari sidang;
2) Hakim dalam menetapkan hari sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan
saksi untuk datang di sidang pengadilan.

39
Pasal 153
1) Pada hari yang ditentukan menurut Pasal 152 pengadilan bersidang;
2) a. Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang
dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh
terdakwa dan saksi;
b. Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan
yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak
bebas.
3) Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan
menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai
kesusilaan atau terdakwanya anak-anak;
4) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan
batalnya putusan demi hukum;
5) Hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai
umur tujuh belas tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang.

Pasal 154
1) Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan
jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas;
2) Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir
pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah
terdakwa sudah dipanggil secara sah;
3) Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang menunda
persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir
pada hari sidang berikutnya;
4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di
sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat
dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa
dipanggil sekali lagi;
5) Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua
terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir
dapat dilangsungkan;
6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa
alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya,
dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya;
7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6) dan menyampaikannya
kepada hakim ketua sidang.

Pasal 155
1) Pada permulaan sidang, hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa
tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaannya serta mengingatkan
terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan
dilihatnya di sidang;
2) a. Sesudah itu hakim ketua sidang minta kepada penuntut umum untuk
membacakan surat dakwaan;
b. Selanjutnya hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia
sudah benarbenarmengerti, apabila terdakwa ternyata tidak mengerti,
penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi

40
penjelasan yang diperlukan.

Pasal 156
1) Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan
bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan
tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka
setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan
pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk
selanjutnya mengambil keputusan;
2) Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu
tidak diperiksa lebih lanjut, sebaiknya dalam hal tidak diterima atau
hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai
pemeriksaan, maka sidang dilakukan;
3) Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap keputusan tersebut,
maka ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui
pengadilan negeri yang bersangkutan;
4) Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat
hukumnya diterima olah pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat
belas hari, pengadilan tinggi dengan surat penetapannya membatalkan
putusan pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan negeri yang
berwenang untuk memeriksa perkara itu;
5) a. Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan permintaan
banding oleh terdakwa atau penasihat hukumnya kepada pengadilan
tinggi, maka dalam waktu empat belas hari sejak ia menerima perkara
dan membenarkan perlawanan terdakwa, pengadilan tinggi dengan
keputusan membatalkan keputusan pengadilan negeri yang
bersangkutan dan menunjuk pengadilan negeri yang berwenang;
b. Pengadilan tinggi menyampaikan salinan keputusan tersebut kepada
pengadilan negeri yang berwenang dan kepada pengadilan negeri yang
semula mengadili perkara yang bersangkutan dengan disertai berkas
perkara untuk diteruskan kepada kejaksaan negeri yang telah
melimpahkan perkara itu.
6) Apabila pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(5) berkedudukan di daerah hukum pengadilan tinggi lain maka
kejaksaan negeri mengirimkan perkara tersebut kepada kejaksaan negeri
dalam daerah hukum pengadilan negeri yang berwenang di tempat itu;
7) Hakim ketua sidang karena jabatannya walaupun tidak ada perlawanan,
setelah mendengar pendapat penuntut umum dan terdakwa dengan
surat penetapan yang memuat alasannya dapat menyatakan pengadilan
tidak berwenang.

Pasal 157
1) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari mengadili perkara tertentu
apabila ia terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga, hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai
dengan hakim ketua sidang, salah seorang hakim anggota, penuntut
umum atau panitera;
2) Hakim ketua sidang, hakim anggota, penuntut umum atau panitera
wajib mengundurkan diri dari menangani perkara apabila terikat
hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau

41
hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan terdakwa
atau dengan penasihat hukum;
3) Jika dipenuhi ketentuan ayat (1) dan ayat (2) mereka yang
mengundurkan diri harus diganti dan apabila tidak dipenuhi atau tidak
diganti sedangkan perkara telah diputus, maka perkara wajib segera
diadili ulang dengan susunan yang lain.

Pasal 158
Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan penyataan di sidang
tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.

42
Pasal 159
1) Hakim ketua sidang selanjutnya meneliti apakah semua saksi yang
dipanggil telah hadir dan memberi perintah untuk mencegah jangan
sampai saksi berhubungan satu dengan yang lain sebelum memberi
keterangan di sidang;
2) Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan
hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa
saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat
memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.

Pasal 160
1) a. Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut
urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah
mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum;
b. Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi
saksi;
c. Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang
memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara
dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut
umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan,
hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut.
2) Hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi keterangan tentang nama
lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan, selanjutnya apakah ia kenal terdakwa
sebelum terdakwa melakukan perbuatan yang menjadi dasar dakwaan serta
apakah ia berkeluarga sedarah atau semenda dan sampai derajat keberapa
dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau isteri terdakwa meskipun
sudah bercerai atau terikat hubungan kerja dengannya;
3) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji
menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan
keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya;
4) Jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah
atau berjanji sesudah saksi atau ahli itu selesai memberi keterangan.

Pasal 161
1) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah
atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4),
maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat
penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah
tahanan negara paling lama empat belas hari;
2) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi
atau ahli tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka
keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat
menguatkan keyakinan hakim.

Pasal 162
1) Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia
atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak
dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena
sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka keterangan
yang telah diberikannya itu dibacakan;

43
2) Jika keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka
keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah
sumpah yang diucapkan di sidang.

Pasal 163
Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat
dalam berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu
serta minta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita
acara pemeriksaan sidang.

Pasal 164
1) Setiap kali seorang saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua
sidang menanyakan kepada terdakwa bagaimana pendapatnya tentang
keterangan tersebut;
2) Penuntut umum atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua
sidang diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi dan
terdakwa;
3) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut
umum atau penasihat hukum kepada saksi atau terdakwa dengan
memberikan alasannya.

Pasal 165
1) Hakim ketua sidang dan hakim anggota dapat minta kepada saksi segala
keterangan yang dipandang perlu untuk mendapatkan kebenaran;
2) Penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum dengan perantaraan
hakim ketua sidang diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan
kepada saksi;
3) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut
umum, terdakwa atau penasihat hukum kepada saksi dengan memberikan
alasannya;
4) Hakim dan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan
perantaraan hakim ketua sidang, dapat saling menghadapkan saksi untuk
menguji kebenaran keterangan mereka masing-masing.

Pasal 166
Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa
maupun kepada saksi.

Pasal 167
1) Setelah saksi memberi keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali hakim ketua
sidang memberi izin untuk meninggalkannya;
2) Izin itu tidak diberikan jika penuntut umum atau terdakwa atau penasihat
hukum mengajukan permintaan supaya saksi itu tetap menghadiri sidang;
3) Para saksi selama sidang dilarang saling bercakap-cakap.

Pasal 168
Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar
keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
a. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa;

44
b. saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara
ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena
perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
c. suami atau isteri terdakwa maupun sudah bercerai atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa.

Pasal 169
1) Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 menghendakinya
dan penuntut umum serta terdakwa secara tegas menyetujuinya dapat memberi
keterangan di bawah sumpah;
2) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mereka
diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah.

Pasal 170
1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan
menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi
keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka;
2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.

Pasal 171
Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah:
a. anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya
baik kembali.

Pasal 172
1) Setelah saksi memberi keterangan maka terdakwa atau penasihat hukum
atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kepada hakim ketua
sidang, agar di antara saksi tersebut yang tidak mereka kehendaki
kehadirannya, dikeluarkan dari ruang sidang, supaya saksi lainnya di
panggil masuk oleh hakim ketua sidang untuk didengar keterangannya, baik
seorang demi seorang maupun bersama-sama tanpa hadirnya saksi yang
dikeluarkan tersebut;
2) Apabila dipandang perlu hakim karena jabatannya dapat minta supaya saksi
yang telah didengar keterangannya ke luar dari ruang sidang untuk
selanjutnya mendengar keterangan saksi yang lain.

Pasal 173
Hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi mengenai hal tertentu
tanpa hadirnya terdakwa, untuk itu ia minta terdakwa ke luar dari ruang
sidang akan tetapi sesudah itu pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan
sebelum kepada terdakwa diberitahukan semua hal pada waktu ia tidak hadir.

Pasal 174
1) Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang
memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan
keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang
dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu;
2) Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena
jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat

45
memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut
perkara dengan dakwaan sumpah palsu;
3) Dalam hal yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara
pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan
alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita
acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan
segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut
ketentuan undang-undang ini;
4) Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula
sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.

Pasal 175
Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan
yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab
dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.

Pasal 176
1) Jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu
ketertiban sidang, hakim ketua sidang menegurnya dan jika teguran itu tidak
diindahkan ia memerintahkan supaya terdakwa dikeluarkan dari ruang
sidang, kemudian pemeriksaan perkara pada waktu itu dilanjutkan tanpa
hadirnya terdakwa;
2) Dalam hal terdakwa secara terus menerus bertingkah laku yang tidak patut
sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang mengusahakan
upaya sedemikian rupa sehingga putusan tetap dapat dijatuhkan dengan
hadirnya terdakwa.

Pasal 177
1) Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim ketua sidang
menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan
menerjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan;
2) Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara ia tidak
boleh pula menjadi juru bahasa dalam perkara itu.

Pasal 178
1) Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim
ketua sidang mengangkat sebagai penerjemah orang yang pandai bergaul
dengan terdakwa atau saksi itu;
2) Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi dapat menulis, hakim
ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya
secara tertulis dan kepada terdakwa atau saksi tersebut ndiperintahkan
untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta
jawaban harus dibacakan.

Pasal 179
1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman
atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi
keadilan;
2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka
yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka
mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-

46
baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang
keahliannya.

Pasal 180
1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul
di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan
dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan;
2) Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat
hukum terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hakim memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang;
3) Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian
ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2);
4) Penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan
oleh instansi semula dengan komposisi personil yang berbeda dan instansi
lain yang mempunyai wewenang untuk itu.

Pasal 181
1) Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti
dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 undang-
undang ini;
2) Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada
saksi;
3) Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan
atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi
dan selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu.

Pasal 182
1) a. Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan
tuntutan pidana;
b. Selanjutnya terdakwa dan atau penasihat hukum mengajukan
pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan
bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat giliran terakhir;
c. Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara
tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang
dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan.
2) Jika acara tersebut pada ayat (1) telah selesai, hakim ketua sidang
menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan
dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan hakim - ketua sidang
karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa
atau penasihat hukum dengan memberikan alasannya;
3) Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil
keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa,
saksi, penasihat hukum, penuntut umum dan hadirin meninggalkan
ruangan sidang;
4) Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan
dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang;
5) Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan
dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan
yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan
semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya;

47
6) Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil
permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-
sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. putusan diambil dengan suara terbanyak;
b. jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan yang
dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi
terdakwa.
7) Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6)
dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk
keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia;
8) Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu
juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada
penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum.

Bagian keempat
Pembuktian dan Putusan Dalam Acara Pemeriksaan Biasa

Pasal 183
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.

Pasal 184
1) Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Pasal 185
1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang
pengadilan;
2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya;
3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila
disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya;
4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah
apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain
sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau
keadaan tertentu;
5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja,
bukan merupakan keterangan ahli;
6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan
sungguh-sungguh memperhatikan:
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;

48
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keterangan yang tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan
yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai
dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai
tambahan alat bukti sah yang lain.

Pasal 186
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

Pasal 187
Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang
dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu;
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau
surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata
laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi
pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi dari padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari
alat pembuktian yang lain.

Pasal 188
1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana dan siapa pelakunya;
2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
a. keterangan saksi;
b. surat;
c. keterangan terdakwa.
3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap
keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia
mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan
berdasarkan hati nuraninya.

Pasal 189
1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;
2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk
membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung
oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan
kepadanya;

49
3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri;
4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan
harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Pasal 190
a. Selama pemeriksaan di sidang, jika terdakwa tidak ditahan, pengadilan
dapat memerintahkan dengan surat penetapannya untuk menahan terdakwa
apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu;
b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dapat memerintahkan dengan surat
penetapannya untuk membebaskan terdakwa, jika terdapat alasan cukup
untuk itu dengan mengingat ketentuan Pasal 30.

Pasal 191
1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas;
2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum;
3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang
ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga
kecuali karena ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan.

Pasal 192
1) Perintah untuk membebaskan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
191 ayat (segera dilaksanakan oleh jaksa sesudah putusan diucapkan;
2) Laporan tertulis mengenai pelaksanaan perintah tersebut yang dilampiri
surat penglepasan, disampaikan kepada ketua pengadilan yang
bersangkutan selambat-lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh empat
jam.

Pasal 193
1) Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana;
2) a. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan,
dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi
ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan, cukup untuk itu;
b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya,
dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau
membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu.

Pasal 194
1) Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan
kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya
tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-
undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau
dimusnahkan atau di rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi;
2) Kecuali apabila terdapat alasan yang sah, pengadilan menetapkan supaya
barang bukti diserahkan segera sesudah sidang selesai;

50
3) Perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai sesuatu syarat
apapun kecuali dalam hal putusan pengadilan belum mempunyai kekuatan
hukum tetap.

Pasal 195
Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.

Pasal 196
1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal
undang-undang ini menentukan lain;
2) Dalam hal terdapat lebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan
dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada;
3) Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa hakim ketua sidang
wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang menjadi
haknya, yaitu:
a. hak segera menerima atau segera menolak putusan;
b. hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak
putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang
ini;
c. hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu
yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi,
dalam hal ia menerima putusan;
d. hak. minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang
waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal ia menolak
putusan;
e. hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam
tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini.

Pasal 197
1) Surat putusan pemidanaan memuat:
a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: "DEMI KEADILAN
BERDASARIKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat-pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang
menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan
atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang
meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara
diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur
dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan
pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

51
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana
letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam'tahanan atau
dibebaskan;
l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang
memutus dan nama panitera;
2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan
I pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum;
3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-
undang ini.

Pasal 198
1) Dalam hal seorang hakim atau penuntut umum berhalangan, maka ketua
pengadilan atau pejabat kejaksaan yang berwenang wajib segera menunjuk
pengganti pejabat yang berhalangan tersebut;
2) Dalam hal penasihat hukum berhalangan, ia menunjuk penggantinya dan
apabila pengganti ternyata tidak ada atau juga berhalangan, maka sidang
berjalan terus.

Pasal 199
1) Surat putusan bukan pemidanaan memuat:
a. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) kecuali huruf
e, f dan h;
b. pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar putusan;
c. perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika ia ditahan.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (2) dan ayat (3)
berlaku juga bagi pasal ini.

Pasal 200
Surat putusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah
putusan itu diucapkan.

Pasal 201
1) Dalam hal terdapat surat palsu atau dipalsukan, maka panitera melekatkan
petikan putusan yang ditandatanganinya pada surat tersebut yang memuat
keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) huruf j dan
surat palsu atau yang dipalsukan tersebut diberi catatan dengan menunjuk
pada petikan putusan itu;
2) Tidak akan diberikan salinan pertama atau salinan dari surat asli palsu atau
yang dipalsukan kecuali panitera sudah membubuhi catatan pada catatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan salinan petikan
putusan.
Pasal 202
1) Panitera membuat berita acara sidang, dengan memperhatikan persyaratan
yang diperlukan dan memuat segala kejadian di sidang yang berhubungan
dengan pemeriksaan itu;
2) Berita acara sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat juga hal
yang penting dari keterangan saksi, terdakwa dan ahli kecuali jika hakim
ketua sidang menyatakan bahwa untuk ini cukup ditunjuk kepada

52
keterangan dalam berita acara pemeriksaan dengan menyebut perbedaan
yang terdapat antara yang satu dengan lainnya;
3) Atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, hakim
ketua sidang wajib memerintahkan kepada panitera supaya dibuat catatan
secara khusus tentang suatu keadaan atau keterangan;
4) Berita acara sidang ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan panitera
kecuali apabila salah seorang dari mereka berhalangan, maka hal itu
dinyatakan dalam berita acara tersebut.

53
Bagian Kelima
Acara Pemeriksaan Singkat

Pasal 203
1) Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan
atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang
menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah
dan sifatnya sederhana;
2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penuntut umum
menghadapkan terdakwa beserta saksi, ahli, juru bahasa dan barang bukti
yang diperlukan;
3) Dalam acara ini berlaku ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan
Bagian Ketiga Bab ini sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan
ketentuan di bawah ini:
a. 1. penuntut umum dengan segera setelah terdakwa di sidang menjawab
segala pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1)
memberitahukan dengan lisan dari catatannya kepada terdakwa tentang
tindak pidana yang didakwakan kepadanya dengan menerangkan waktu,
tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana itu dilakukan;
2.pemberitahuan ini dicatat dalam berita acara sidang dan merupakan
pengganti surat dakwaan;
b. dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan, supaya
diadakan pemeriksaan tambahan dalam waktu paling lama empat belas
hari dan bilamana dalam waktu tersebut penuntut umum belum juga
dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan, maka hakim
memerintahkan perkara itu diajukan ke sidang pengadilan dengan cara
biasa;
c. guna kepentingan pembelaan, maka atas permintaan terdakwa dan atau
penasihat hukum, hakim dapat menunda pemeriksaan paling lama
tujuh hari;
d. putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita acara
sidang;
e. hakim memberikan surat yang memuat amar putusan tersebut;
f. isi surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti
putusan pengadilan dalam acara biasa.

Pasal 204
Jika dari pemeriksaan di sidang sesuatu perkara yang diperiksa dengan acara
singkat ternyata sifatnya jelas dan ringan, yang seharusnya diperiksa dengan
acara cepat, maka hakim dengan persetujuan terdakwa dapat melanjutkan
pemeriksaan tersebut.

54
Bagian Keenam
Acara Pemeriksaan Cepat

Paragraf 1
Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan

Pasal 205
1) Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah
perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama
tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah
dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini;
2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyidik atas kuasa
penuntut umum, dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan
selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli dan
atau juru bahasa ke sidang pengadilan;
3) Dalam acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengadilan
mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali
dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat
minta banding.

Pasal 206
Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari untuk mengadili perkara
dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan.

Pasal 207
1) a. Penyidik memberitahukan secara tertulis kepada terdakwa tentang hari,
tanggal, jam dan tempat ia harus menghadap sidang pengadilan. dan hal
tersebut dicatat dengan baik oleh penyidik, selanjutnya catatan bersama
berkas dikirim ke pengadilan;
b. Perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan yang diterima
harus segera disidangkan pada hari sidang itu juga.
2) a. Hakim yang bersangkutan memerintahkan panitera mencatat dalam buku
register semua perkara yang diterimanya;
b. Dalam buku register dimuat nama lengkap, tempat lahir, umur atau
tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaan terdakwa serta apa yang didakwakan kepadanya.

Pasal 208
Saksi dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidak mengucapkan
sumpah atau janji kecuali hakim menganggap perlu.

Pasal 209
1) Putusan dicatat oleh hakim dalam daftar catatan perkara dan selanjutnya
oleh panitera dicatat dalam buku register serta ditandatangani oleh hakim
yang bersangkutan dan panitera;
2) Berita acara pemeriksaan sidang tidak dibuat kecuali jika dalam
pemeriksaan tersebut ternyata ada hal yang tidak sesuai dengan berita acara
pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik.

Pasal 210
Ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini tetap

55
berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Paragraf ini.

Paragraf 2
Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan

Pasal 211
Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan pada Paragraf ini ialah perkara
pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan.

Pasal 212
Untuk perkara pelanggaran lalu lintas jalan tidak diperlukan berita acara
pemeriksaan, oleh karena itu catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207
ayat (1) huruf a segera diserahkan kepada pengadilan selambatlambatnya pada
kesempatan hari sidang pertama berikutnya.

Pasal 213
Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang.

Pasal 214
1) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara
dilanjutkan;
2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar
putusan segera disampaikan kepada terpidana;
3) Bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan oleh penyidik kepada
terpidana, diserahkan kepada panitera untuk dicatat dalam buku register;
4) Dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan putusan itu
berupa pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan
perlawanan;
5) Dalam waktu tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada
terdakwa, ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang
menjatuhkan putusan itu;
6) Dengan perlawanan itu putusan di luar hadirnya terdakwa menjadi gugur;
7) Setelah panitera memberitahukan kepada penyidik tentang perlawanan itu
hakim menetapkan hari sidang untuk memeriksa kembali perkara itu;
8) Jika putusan setelah diajukannya perlawanan tetap berupa pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat
9) terhadap putusan tersebut terdakwa dapat mengajukan banding.

Pasal 215
Pengembalian benda sitaan dilakukan tanpa syarat kepada yang paling berhak,
segera setelah putusan dijatuhkan jika terpidana telah memenuhi isi amar
putusan.

Pasal 216
Ketentuan dalam Pasal 210 tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak
bertentangan dengan Paragraf ini.

Bagian Ketujuh
Pelbagai Ketentuan

Pasal 217

56
1) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib di
persidangan;
2) Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk
memelihara tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan
cermat.

Pasal 218
1) Dalam ruang sidang siapa pun wajib menunjukkan sikap hormat kepada
pengadilan;
2) Siapa pun yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat
pengadilan dan tidak menaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari
hakim ketua sidang, atas perintahnya yang bersangkutan dikeluarkan dari
ruang sidang;
3) Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
bersifat suatu tindak pidana, tidak mengurangi kemungkinan dilakukan
penuntutan terhadap pelakunya.

Pasal 219
1) Siapa pun dilarang membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak atau
alat maupun benda yang dapat membahayakan keamanan sidang dan siapa
yang membawanya wajib menitipkan di tempat yang khusus disediakan
untuk itu;
2) Tanpa surat perintah, petugas keamanan pengadilan karena tugas
jabatannya dapat mengadakan penggeledahan badan untuk menjamin
bahwa kehadiran seorang di ruang sidang tidak membawa senjata, bahan
atau alat maupun benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan apabila
terdapat maka petugas mempersilakan yang bersangkutan untuk
menitipkannya;
3) Apabila yang bersangkutan bermaksud meninggalkan ruang sidang maka
petugas wajib menyerahkan kembali benda titipannya;
4) Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi kemungkinan untuk
dilakukan penuntutan bila ternyata bahwa penguasaan atas benda tersebut
bersifat suatu tindak pidana.

Pasal 220
1) Tiada seorang hakim pun diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia
sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung;
2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim yang bersangkutan,
wajib mengundurkan diri baik atas kehendak sendiri maupun atas
permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukumnya;
3) Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), maka pejabat pengadilan yang berwenang yang
menetapkannya;
4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam makna ayat tersebut di atas
berlaku bagi penuntut umum.

Pasal 221
Bila dipandang perlu hakim di sidang atas kehendaknya sendiri maupun atas
permintaan terdakwa atau penasihat hukumnya dapat memberi penjelasan
tentang hukum yang berlaku.

57
Pasal 222
1) Siapa pun yang diputus pidana dibebani membayar biaya perkara dan dalam
hal putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara
dibebankan pada negara;
2) Dalam hal terdakwa sebelumnya telah mengajukan permohonan
pembebasan dari pembayaran biaya perkara berdasarkan syarat tertentu
dengan persetujuan pengadilan, biaya perkara dibebankan pada negara.

Pasal 223
1) Jika hakim memberi perintah kepada seorang untuk mengucapkan sumpah
atau janji di luar sidang, hakim dapat menunda pemeriksaan perkara
sampai pada hari sidang yang lain;
2) Dalam hal sumpah atau janji dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), hakim menunjuk panitera untuk menghadiri pengucapan sumpah atau
janji tersebut dan membuat berita acaranya.

Pasal 224
Semua surat putusan pengadilan disimpan dalam arsip pengadilan yang
mengadili perkara itu pada tingkat pertama tidak dibolehkan dipindahkan
kecuali undang-undang menentukan lain.

Pasal 225
1) Panitera menyelenggarakan buku daftar untuk semua perkara;
2) Dalam daftar itu dicatat nama dan identitas terdakwa, tindak pidana yang
didakwakan, tanggal penerimaan perkara, tanggal terdakwa mulai ditahan
apabila ia ada di dalam tahanan, tanggal dan isi putusan secara singkat,
tanggal penerimaan permintaan dan putusan banding atau kasasi, dan lain
hal yang erat hubungannya dengan proses perkara.

Pasal 226
1) Petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa atau penasihat
hukumnya segera setelah putusan diucapkan;
2) Salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada penuntut umum dan
penyidik, sedangkan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya diberikan
atas permintaan;
3) Salinan surat putusan pengadilan hanya boleh diberikan kepada orang lain
dengan seizin ketua pengadilan setelah mempertimbangkan kepentingan dari
permintaan tersebut.

Pasal 227
1) Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang
dalam semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli
disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang
ditentukan, di tempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka
terakhir;
2) Petugas yang melaksanakan panggilan tersebut harus bertemu sendiri dan
berbicara langsung dengan orang yang dipanggil dan membuat catatan
bahwa panggilan telah diterima oleh yang bersangkutan dengan
membubuhkan tanggal serta tanda tangan, baik oleh petugas maupun orang
yang dipanggil dan apabila yang dipanggil tidak menandatangani maka
petugas harus mencatat alasannya;

58
3) Dalam hal orang yang dipanggil tidak terdapat di salah satu tempat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), surat panggilan disampaikan melalui
kepala desa atau pejabat dan jika di luar negeri melalui perwakilan Republik
Indonesia di tempat di mana orang yang dipanggil biasa berdiam dan apabila
masih belum juga disampaikan, maka surat panggilan ditempelkan di
tempat pengumuman kantor pejabat yang mengeluarkan panggilan tersebut.

Pasal 228
Jangka atau tenggang waktu menurut undang-undang ini mulai diperhitungkan
pada hari berikutnya.

Pasal 229
1) Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka
memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat
penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2) Pejabat yang melakukan pemanggilan wajib memberitahukan kepada saksi
atau ahli tentang haknya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 230
1) Sidang pengadilan dilangsungkan di gedung pengadilan dalam ruang sidang;
2) Dalam ruang sidang, hakim, penuntut umum, penasihat hukum dan
panitera mengenakan pakaian sidang dan atribut masing-masing;
3) Ruang sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditata menurut
ketentuan sebagai berikut:
a. tempat meja dan kursi hakim terletak lebih tinggi dari empat penuntut
umum, terdakwa, penasihat hukum dan pengunjung;
b. tempat panitera terletak di belakang sisi kanan tempat hakim ketua
sidang;
c. tempat penuntut umum terletak di sisi kanan depan tempat hakim;
d. tempat terdakwa dan penasihat hukum terletak di sebelah kiri depan dari
tempat hakim dan tempat terdakwa di sebelah kanan tempat penasihat
hukum;
e. tempat kursi pemeriksaan terdakwa dan saksi terletak di depan tempat
hakim;
f. tempat saksi atau ahli yang telah didengar terletak di belakang kursi
pemeriksaan;
g. tempat pengunjung terletak di belakang tempat saksi yang telah didengar;
h. bendera Nasional ditempatkan di sebelah kanan meja hakim dan panji
Pengayoman ditempatkan di sebelah kiri meja hakim sedangkan lambang
Negara di tempatkan pada dinding bagian atas di belakang meja hakim;
i. tempat rohaniwan terletak di sebelah kiri tempat panitera;
j. tempat sebagaimana dimaksud huruf a sampai huruf i diberi tanda
pengenal;
k. tempat petugas keamanan di bagian dalam pintu masuk utama ruang
sidang dan di tempat lain yang dianggap perlu.
4) Apabila sidang pengadilan dilangsungkan di luar gedung pengadilan, maka
tata tempat sejauh mungkin disesuaikan dengan ketentuan ayat (3) tersebut
di atas;
5) Dalam hal ketentuan ayat (3) tidak mungkin dipenuhi maka sekurang-
kurangnya bendera Nasional harus ada.

59
Pasal 231
1) Jenis, bentuk dan warna pakaian sidang serta atribut dan hal yang
berhubungan dengan perangkat kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 230 ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah;
2) Pengaturan lebih lanjut tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 217 ditetapkan dengan keputusan Menteri Kehakiman.

Pasal 232
1) Sebelum sidang dimulai, panitera, penuntut umum, penasihat hukum dan
pengunjung yang sudah ada, duduk di tempatnya masing-masing dalam
ruang sidang;
2) Pada saat hakim memasuki dan meninggalkan ruang sidang semua yang
hadir berdiri untuk menghormat;
3) Selama sidang berlangsung setiap orang yang ke luar masuk ruang sidang
diwajibkan memberi hormat.

BAB XVII
UPAYA HUKUM BIASA

Bagian Kesatu
Pemeriksaan Tingkat Banding

Pasal 233
1) Permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan
ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu
atau penuntut umum;
2) Hanya pemintaan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 'boleh
diterima oleh panitera pengadilan negeri dalam waktu tujuh hari sesudah
putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa
yang tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2);
3) Tentang permintaan itu oleh panitera dibuat sebuah surat keterangan yang
ditandatangani olehnya dan juga oleh pemohon serta tembusannya diberikan
kepada pemohon yang bersangkutan;
4) Dalam hal pemohon tidak dapat menghadap, hal ini harus dicatat oleh
panitera dengan disertai alasannya dan catatan harus dilampirkan dalam
berkas perkara serta juga ditulis dalam daftar perkara pidana;
5) Dalam hal pengadilan negeri menerima permintaan banding, baik yang
diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa maupun yang diajukan oleh
penuntut umum dan terdakwa sekaligus, maka panitera wajib
memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.

Pasal 234
1) Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 ayat (2)
telah lewat tanpa diajukan permintaan banding oleh yang bersangkutan,
maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan;
2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka panitera mencatat
dan membuat akta mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada
berkas perkara.

Pasal 235

60
1) Selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan
banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut,
permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi;
2) Apabila perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus sedangkan
sementara itu pemohon mencabut permintaan bandingnya, maka pemohon
dibebani membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh pengadilan
tinggi hingga saat pencabutannya.

Pasal 236
1) Selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari sejak permintaan
banding diajukan, panitera mengirimkan salinan putusan pengadilan negeri
dan berkas perkara serta surat bukti kepada pengadilan tinggi;
2) Selama tujuh hari sebelum pengiriman berkas perkara kepada pengadilan
tinggi, pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas
perkara tersebut di pengadilan negeri;
3) Dalam hal pemohon banding yang dengan jelas menyatakan secara tertulis
bahwa ia akan mempelajari berkas tersebut di pengadilan tinggi, maka
kepadanya wajib diberi kesempatan untuk itu secepatnya tujuh hari setelah
berkas perkara diterima oleh pengadilan tinggi;
4) Kepada setiap pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk sewaktu-
waktu meneliti keaslian berkas perkaranya yang sudah ada di pengadilan
tinggi.

Pasal 237
Selama pengadilan tinggi belum mulai memeriksa suatu perkara dalam tingkat
banding, baik terdakwa atau kuasanya maupun penuntut umum dapat
menyerahkan memori banding atau kontra memori banding kepada pengadilan
tinggi.

Pasal 238
1) Pemeriksaan dalam tingkat banding dilakukan oleh pengadilan tinggi dengan
sekurang-kurangnya tiga orang hakim atas dasar berkas perkara yang
diterima dari pengadilan negeri yang terdiri dari berita acara pemeriksaan
dari penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang pengadilan negeri, beserta
semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu
dan putusan pengadilan negeri;
2) Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke pengadilan tinggi sejak
saat diajukannya permintaan banding;
3) Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas perkara banding dari
pengadilan negeri, pengadilan tinggi wajib mempelajarinya untuk
menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena
wewenang jabatannya maupun atas permintaan terdakwa;
4) Jika dipandang perlu pengadilan tinggi mendengar sendiri keterangan
terdakwa atau saksi atau penuntut umum dengan menjelaskan secara
singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin
diketahuinya.

Pasal 239
1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 157 dan Pasal 220 ayat (l), ayat
(2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pemeriksaan perkara dalam tingkat
banding;

61
2) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1)
berlaku juga antara hakim dan atau panitera tingkat banding, dengan hakim
atau panitera tingkat pertama yang telah mengadili perkara yang sama;
3) Jika seorang hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama kemudian
telah menjadi hakim pada pengadilan tinggi, maka hakim tersebut dilarang
memeriksa perkara yang sama dalam tingkat banding.

62
Pasal 240
1) Jika pengadilan tinggi berpendapat bahwa dalam pemeriksaan tingkat
pertama ternyata ada kelalaian dalam penerapan hukum acara atau
kekeliruan atau ada yang kurang lengkap, maka pengadilan tinggi dengan
suatu keputusan dapat memerintahkan pengadilan negeri untuk
memperbaiki hal itu atau pengadilan tinggi melakukannya sendiri;
2) Jika perlu pengadilan tinggi dengan keputusan dapat membatalkan
penetapan dari pengadilan negeri sebelum putusan pengadilan tinggi
dijatuhkan.

Pasal 241
1) Setelah semua hal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut di atas
dipertimbangkan dan dilaksanakan, pengadilan tinggi memutuskan,
menguatkan atau mengubah atau dalam hal membatalkan putusan
pengadilan negeri, pengadilan tinggi mengadakan putusan sendiri;
2) Dalam hal pembatalan tersebut terjadi atas putusan pengadilan negeri
karena ia tidak berwenang memeriksa perkara itu, maka berlaku ketentuan
tersebut pada Pasal 148.

Pasal 242
Jika dalam pemeriksaan tingkat banding terdakwa yang dipidana itu ada dalam
tahanan, maka pengadilan tinggi dalam putusannya memerintahkan supaya
terdakwa perlu tetap ditahan atau dibebaskan.

Pasal 243
1) Salinan surat putusan pengadilan tinggi beserta berkas perkara dalam
waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada
pengadilan negeri yang memutus pada tingkat pertama;
2) Isi surat putusan setelah dicatat dalam buku register segera diberitahukan
kepada terdakwa dan penuntut umum oleh panitera pengadilan negeri dan
selanjutnya pemberitahuan tersebut dicatat dalam salinan surat putusan
pengadilan tinggi;
3) Ketentuan mengenai putusan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud
Pasal 226 berlaku juga bagi putusan pengadilan tinggi;
4) Dalam hal terdakwa bertempat tinggal di luar daerah hukum pengadilan
negeri tersebut panitera minta bantuan kepada panitera pengadilan negeri
yang dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal untuk
memberitahukan isi surat putusan itu kepadanya;
5) Dalam hal terdakwa tidak diketahui tempat tinggalnya atau bertempat
tinggal di luar negeri, maka isi surat putusan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) disampaikan melalui kepala desa atau pejabat atau melalui
perwakilan Republik Indonesia, di mana terdakwa biasa berdiam dan apabila
masih belum juga berhasil disampaikan, terdakwa dipanggil dua kali
berturut-turut melalui dua buah surat kabar yang terbit dalam daerah
hukum pengadilan negeri itu sendiri atau daerah yang berdekatan dengan
daerah itu.

Bagian Kedua
Pemeriksaan Untuk Kasasi

Pasal 244

63
Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut
umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah
Agung kecuali terhadap putusan bebas.

Pasal 245
1) Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan
yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu empat
belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu
diberitahukan kepada terdakwa;
2) Permintaan tersebut oleh panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan
yang ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar
yang dilampirkan pada berkas perkara;
3) Dalam hal pengadilan negeri menerima permohonan kasasi, baik yang
diajukan oleh penuntut umum, atau terdakwa maupun yang diajukan oleh
penuntut umum dan terdakwa sekaligus, maka panitera wajib
memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.

Pasal 246
1) Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1)
telah lewat tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan,
maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan;
2) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
pemohon terlambat mengajukan permohonan kasasi maka hak untuk itu
gugur;
3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2), maka
panitera, mencatat dan membuat akta mengenai hal itu serta melekatkan
akta tersebut pada berkas perkara.

Pasal 247
1) Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung,
permohonan kasasi dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah
dicabut, permohonan kasasi dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi;
2) Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah
Agung, berkas tersebut tidak jadi dikirimkan;
3) Apabila perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus, sedangkan
sementara itu pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon
dibebani membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah
Agung hingga saat pencabutannya;
4) Permohonan kasasi hanya dapat dilakukan satu kali.

Pasal 248
1) Pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan
permohonan kasasinya dan dalam waktu empat belas hari setelah
mengajukan permohonan tersebut, harus sudah menyerahkannya kepada
panitera yang untuk itu ia memberikan surat tanda terima;
2) Dalam hal pemohon kasasi adalah terdakwa yang kurang memahami
hukum, panitera pada waktu menerima permohonan kasasi wajib
menanyakan apakah alasan ia mengajukan permohonan tersebut dan untuk
itu panitera membuatkan memori kasasinya;

64
3) Alasan yang tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) adalah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 253 ayat (l) undang-undang ini;
4) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
pemohon terlambat menyerahkan memori kasasi maka hak untuk
mengajukan permohonan kasasi gugur;
5) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 246 ayat (3) berlaku juga untuk
ayat (4) pasal ini;
6) Tembusan memori kasasi yang diajukan oleh salah satu pihak, oleh panitera
disampaikan kepada pihak lainnya dan pihak lain itu berhak mengajukan
kontra memori kasasi;
7) Dalam tenggang waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1), panitera
menyampaikan tembusan kontra memori kasasi kepada pihak yang semula
mengajukan memori kasasi.
Pasal 249
1) Dalam hal salah satu pihak berpendapat masih ada sesuatu yang perlu
ditambahkan dalam memori kasasi atau kontra memori kasasi, kepadanya
diberikan kesempatan untuk mengajukan tambahan itu dalam tenggang
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1);
2) Tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas diserahkan ke pada
panitera pengadilan;
3) Selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari setelah tenggang waktu
tersebut dalam ayat (1), permohonan kasasi tersebut selengkapnya oleh
panitera pengadilan segera disampaikan kepada Mahkamah Agung.

Pasal 250
1) Setelah panitera, pengadilan negeri menerima memori dan atau kontra
memori sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) dan ayat (4), ia
wajib segera mengirim berkas perkara kepada MahkamahAgung;
2) Setelah panitera Mahkamah Agung menerima berkas perkara tersebut ia
seketika mencatatnya dalam buku agenda surat, buku register perkara dan
pada kartu penunjuk;
3) Buku register perkara tersebut pada ayat (2) wajib dikerjakan, ditutup dan
ditandatangani oleh panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui
ditandatangani juga karena jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung;
4) Dalam hal Ketua Mahkamah Agung berhalangan, maka penandatanganan
dilakukan oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung dan jika keduanya
berhalangan maka dengan surat keputusan Ketua Mahkamah Agung
ditunjuk hakim anggota yang tertua dalam jabatan;
5) Selanjutnya panitera Mahkamah Agung mengeluarkan surat bukti
penerimaan yang aslinya dikirimkankepada panitera pengadilan negeri yang
bersangkutan, sedangkan kepada para pihak dikirimkan tembusannya.

Pasal 251
1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 157 berlaku juga bagi
pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi;
2) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1)
berlaku juga antara hakim dan atau panitera tingkat kasasi dengan hakim
dan atau panitera tingkat banding serta tingkat pertama, yang telah
mengadili perkara yang sama;
3) Jika seorang hakim yang mengadili perkara dalam tingkat pertama atau
tingkat banding, kemudian telah menjadi hakim atau panitera pada

65
Mahkamah Agung, mereka dilarang bertindak sebagai hakim atau panitera
untuk perkara yang sama dalam tingkat kasasi.

Pasal 252
1) Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 220 ayat (1) dan ayat (21)
berlaku juga bagi pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi;
2) Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana
tersebut pada ayat (1), maka dalam tingkat kasasi:
a. Ketua Mahkamah Agung karena jabatannya bertindak sebagai pejabat
yang berwenang menetapkan;
b. dalam hal menyangkut Ketua Mahkamah Agung sendiri, yang berwenang
menetapkannya adalah suatu panitia yang terdiri dari tiga orang yang
dipilih oleh dan antar hakim anggota yang seorang diantaranya harus
hakim anggota yang tertua dalam jabatan.

Pasal 253
1) Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas
permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal
249 guna menentukan:
a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan
tidak sebagaimana mestinya;
b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan
undang-undang;
c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
2) Pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dilakukan dengan
sekurang-kurangnya tiga orang hakim atas dasar berkas perkara yang
diterima dari pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung, yang terdiri dari
berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang,
semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu
beserta putusan pengadilan tingkat pertama dan atau tingkat terakhir;
3) Jika dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana tersebut
pada ayat (1), Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri keterangan
terdakwa atau saksi atau penuntut umum, dengan menjelaskan secara
singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin
diketahuinya atau Mahkamah Agung dapat pula memerintahkan pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk mendengar keterangan mereka,
dengan cara pemanggilan yang sama;
4) Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke Mahkamah Agung
sejak diajukan permohonan kasasi;
5) a. Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas perkara kasasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) Mahkamah Agung wajib mempelajarinya untuk
menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena
wewenang jabatannya maupun atas permintaan terdakwa;
b. Dalam hal terdakwa tetap ditahan, maka dalam waktu empat belas hari,
sejak penetapan penahanan Mahkamah Agung wajib memeriksa perkara
tersebut.
Pasal 254
Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi karena telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal245, Pasal 246, dan
Pasal 247. mengenai hukumnya Mahkamah Agung dapat memutus menolak
atau mengabulkan permohonan kasasi.

66
67
Pasal 255
1) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena peraturan hukum tidak
diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, Mahkamah Agung
mengadili sendiri perkara tersebut;
2) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena cara mengadili tidak
dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, Mahkamah Agung
menetapkan disertai petunjuk agar pengadilan yang memutus perkara yang
bersangkutan memeriksanya lagi mengenai bagian yang dibatalkan, atau
berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat menetapkan perkara
tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain;
3) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena pengadilan atau hakim yang
bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah
Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain mengadili perkara ersebut.

Pasal 256
Jika Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 254, Mahkamah Agung membatalkan putusan
pengadilan yang dimintakan kasasi dan dalam hal itu berlaku ketentuan Pasal
255.

Pasal 257
Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 226 dan Pasal 243 berlaku juga
bagi putusan kasasi Mahkamah'Agung, kecuali tenggang waktu tentang
pengiriman salinan putusan beserta berkas perkaranya kepada pengadilan yang
memutus pada tingkat pertama dalam waktu tujuh hari.

Pasal 258
Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 244 sampai dengan Pasal 257
berlaku bagi acara permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer.

BAB XVIII
UPAYA HUKUM LUAR BIASA

Bagian Kesatu
Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum

Pasal 259
1) Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah
Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung;
2) Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang
berkepentingan.

Pasal 260
1) Permohonan kasasi demi kepentingan hukum disampaikan secara tertulis
oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera pengadilan
yang telah memutus perkara dalam tingkat pertama, disertai risalah yang
memuat alasan permintaan itu;
2) Salinan risalah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh panitera segera
disampaikan kepada pihak yang berkepentingan;

68
3) Ketua pengadilan yang bersangkutan segera meneruskan permintaan itu
kepada Mahkamah Agung.

Pasal 261
1) Salinan putusan kasasi demi kepentingan hukum oleh Mahkamah Agung
disampaikan kepada Jaksa Agung dan kepada pengadilan yang
bersangkutan dengan disertai berkas perkara;
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2) dan ayat (4)
berlaku juga dalam hal ini.

Pasal 262
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259, Pasal 260 dan Pasal 261
berlaku bagi acara permohonan kasasi demi kepentingan hukum terhadap
putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

Bagian Kedua
Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh
Kekuatan Hukum Tetap

Pasal 263
1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, kecuali putusan bebas ataulepas dari segala tuntutan hukum,
terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan.
kembali kepada Mahkamah Agung;
2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa
jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,
hasilnya akan berupa putusan bebas atauputusan lepas dari segala
tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima
atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih
ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu
telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan
putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan
satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan
hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap
suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu
suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi
tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.

Pasal 264
1) Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus
perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas
alasannya;
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) berlaku juga
bagi permintaan peninjauan kembali;
3) Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu;

69
4) Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang
memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan
kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan
tersebut dan untuk itu panitera membuatkan surat permintaan peninjauan
kembali;
5) Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali
beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung, disertai suatu catatan
penjelasan.

Pasal 265
1) Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang
tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan kembali itu
untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut
memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2);
2) Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa
ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya;
3) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang
ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan
berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh
hakim dan panitera;
4) Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan kembali yang
dilampiri berkas perkaram semula, berita acara pemeriksaan dan berita
acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan surat
pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa;
5) Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah
putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut
harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara
pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang bersangkutan.

Pasal 266
1) Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana tersebut pada Pasal 263 ayat (2), Mahkamah Agung
menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima
dengan disertai dasar alasannya;
2) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan
kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon,
Mahkamah Agung menolakpermintaan peninjauan kembali dengan
menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu
tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya;
b. apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah
Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu
dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa:
1. putusan bebas;
2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
3. putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
4. putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
3) Pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh
melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.

70
Pasal 267
1) Salinan putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta
berkas perkaranya dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut
dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan yang melanjutkan permintaan
peninjauan kembali;
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2), ayat (3), ayat (4)
dan ayat (5) berlaku juga bagi putusan Mahkamah Agung mengenai
peninjauan kembali.

Pasal 268
1) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan
maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut;
2) Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh
Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai
diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada
kehendak ahli warisnya;
3) Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan
satu kali saja.

Pasal 269
Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 sampai dengan Pasal 268
berlaku bagi acara permintaan peninjauan kembali terhadap putusan
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

BAB XIX
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN

Pasal 270
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat
putusan kepadanya.

Pasal 271
Dalam hal pidana mati pelaksanaannya dilakukan tidak di muka umum dan
menurut ketentuan undang-undang.

Pasal 272
Jika terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana
yang sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka
pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan
lebih dahulu.

Pasal 273
1) Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana
diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali
dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi;
2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut pada
ayat (1) dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan;
3) Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti dirampas
untuk negara, selain pengecualian sebagaimana tersebut pada Pasal 46,
jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam

71
waktu tiga bulan untuk dijual lelang, yang hasilnya dimasukkan ke kas
negara untuk dan atas nama jaksa;
4) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (3) dapat diperpanjang untuk
paling lama satu bulan.

Pasal 274
Dalam hal pengadilan menjatuhkan juga putusan ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 99, maka pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara
putusan perdata.

Pasal 275
Apabila lebih dari satu orang dipidana dalam satu perkara, maka biaya perkara
dan atau ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 dibebankan
kepada mereka bersama-sama secara berimbang.

Pasal 276
Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, maka pelaksanaannya
dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan
menurut ketentuan undang-undang.

BAB XX
PENGAWASAN DAN PENGAMATAN PELAKSANAAN
PUTUSAN PENGADILAN

Pasal 277
1) Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk
membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap
putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan;
2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakim pengawas
dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk paling lama dua
tahun.
Pasal 278
Jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan
yang ditandatangani olehnya, kepala lembaga pemasyarakatan dan terpidana
kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan panitera
mencatatnya dalam register pengawasan dan pengamatan.

Pasal 279
Register pengawasan dan pengamatan sebagaimana tersebut pada Pasal278
wajib dikerjakan, ditutup dan ditandatangani oleh panitera pada setiap hari
kerja dan untuk diketahui ditandatangani juga oleh hakim sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 277.

Pasal 280
1) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh
kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya;
2) Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan
penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh
dari perilaku narapidana atau pembinaan lembaga pemasyarakatan serta
pengaruh timbal balik terhadap nara pidana selama menjalani pidananya;

72
3) Pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tetap dilaksanakan
setelah terpidana selesai menjalani pidananya;
4) Pengawas dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 berlaku
pula bagi pemidanaan bersyarat.

Pasal 281
Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, kepala lembaga
pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu
tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan hakim
tersebut.

Pasal 282
Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim pengawas dan
pengamat dapat membicarakan dengan kepala lembaga pemasyarakatan
tentang cara pembinaan narapidana tertentu.

Pasal 283
Hasil pengawasan dan pengamatan dilaporkan oleh hakim pengawas dan
pengamat kepada ketua pengadilan secara berkala.

BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 284
1) Terhadap perkara yang ada sebelum undang-undang ini diundangkan,
sejauh mungkin diberlakukan ketentuan undang-undang ini;
2) Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka
terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini,
dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara
pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada
perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.

BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 285
Undang-undang ini disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Pasal 286
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 31 Desember 1981
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SOEHARTO

Diundangkan Di Jakarta,

73
Pada Tanggal 31 Desember 1981
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

SUDHARMONO, SH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1981 NOMOR 76

74
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 12 TAHUN 1995

TENTANG
PEMASYARAKATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan


dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dan
manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu;
b. bahwa perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan
sistem kepenjaraan tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan;
c. bahwa sistem pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b,
merupakan rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar Warga
Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan
tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung
jawab;
d. bahwa sistem kepenjaraan yang diatur dalam Ordonnantie op de
Voorwaardelijke Invrijheidstelling (Stb. 1917-749, 27 Desember 1917 jo.
Stb. 1926-488) sepanjang yang berkaitan dengan pemasyarakatan,
Gestichten Reglement (Stb. 1917-708, 10 Desember 1917),
Dwangopvoeding Regeling (Stb. 1917-741, 24 Desember 1917) dan
Uitvoeringsordonnantie op de Voorwaardelijke Veroordeeling (Stb.
1926-487, 6 November 1926) sepanjang yang berkaitan dengan
pemasyarakatan, tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, c, dan d
perlu membentuk Undang-Undang tentang Pemasyarakatan;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
(Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9) jo. Undang-Undang Nomor
73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana
Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor
127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660) yang telah beberapa kali
diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Bertalian Dengan Perluasan Berlakunya
Ketentuan PerUndang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan
Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (Lembaran Negara
75
Tahun 1976 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3080);

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMASYARAKATAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga
Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara
pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam
tata peradilan pidana.
2. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas
serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan
Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina,
dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung
jawab.
3. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat
untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan.
4. Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut BAPAS adalah pranata
untuk melaksanakan bimbingan Klien Pemasyarakatan.
5. Warga Binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik
Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan.
6. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
7. Narapidana adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan
di LAPAS.
8. Anak Didik Pemasyarakatan adalah :
a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan
menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18
(delapan belas) tahun;
b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan
diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak
paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya
memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling
lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
9. Klien Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Klien adalah seseorang
yang berada dalam bimbingan BAPAS.
76
10. Menteri adalah Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
meliputi bidang pemasyarakatan.

Pasal 2
Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga
Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari
kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab.

Pasal 3
Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan
agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat
berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung
jawab.

Pasal 4
(1) LAPAS dan BAPAS didirikan di setiap ibukota kabupaten atau kotamadya.
(2) Dalam hal dianggap perlu, di tingkat kecamatan atau kota administratif
dapat didirikan Cabang LAPAS dan Cabang BAPAS.

BAB II
PEMBINAAN

Pasal 5
Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas :
a. pengayoman;
b. persamaan perlakuan dan pelayanan;
c. pendidikan;
d. pembimbingan;
e. penghormatan harkat dan martabat manusia;
f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan
g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan
orang-orang tertentu.

Pasal 6
(1) Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan di LAPAS dan
pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan oleh BAPAS.
(2) Pembinaan di LAPAS dilakukan terhadap Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan sebagaimana diatur lebih lanjut dalam BAB III.
(3) Pembimbingan oleh BAPAS dilakukan terhadap:
a. Terpidana bersyarat;
b. Narapidana, Anak Pidana dan Anak Negara yang mendapat pembebasan
bersyarat atau cuti menjelang bebas;
c. Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya
diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial;
d. Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di
lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk,
bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial; dan
e. Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya
dikembalikan kepada orang tua atau walinya.
77
78
Pasal 7
(1) Pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh petugas
pemasyarakatan.
(2) Ketentuan mengenai pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di LAPAS
dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan oleh BAPAS diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 8
(1) Petugas Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
merupakan Pejabat Fungsional Penegak Hukum yang melaksanakan tugas di
bidang pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan.
(2) Pejabat Fungsional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di angkat dan
diberhentikan oleh Menteri sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan
yang berlaku.

Pasal 9
(1) Dalam rangka penyelenggaraan pembinaan dan pembimbingan Warga
Binaan Pemasyarakatan, Menteri dapat mengadakan kerjasama dengan
instansi pemerintah terkait, badan-badan kemasyarakatan lainnya, atau
perorangan yang kegiatannya seiring dengan penyelenggaraan sistem
pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
(2) Ketentuan mengenai kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III
WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

Bagian Pertama
Narapidana

Pasal 10
(1) Terpidana yang diterima di LAPAS wajib didaftar.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengubah status
Terpidana menjadi Narapidana.
(3) Kepala LAPAS bertanggung jawab atas penerimaan Terpidana dan
pembebasan Narapidana di LAPAS.

Pasal 11
Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) meliputi :
a. pencatatan :
1. putusan pengadilan;
2. jati diri; dan
3. barang dan uang yang dibawa;
b. pemeriksaan kesehatan;
c. pembuatan pasfoto;
d. pengambilan sidik jari; dan
e. pembuatan berita acara serah terima Terpidana.

79
Pasal 12
(1) Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS dilakukan
penggolongan atas dasar :
a. umur;
b. jenis kelamin;
c. lama pidana yang dijatuhkan;
d. jenis kejahatan; dan
e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan
pembinaan.
(2) Pembinaan Narapidana Wanita di LAPAS dilaksanakan di LAPAS Wanita.

Pasal 13
Ketentuan mengenai pendaftaran serta penggolongan Narapidana diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 14
(1) Narapidana berhak :
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu
lainnya;
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perUndang-
Undangan yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak
Narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 15
(1) Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan
tertentu.
(2) Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 16
(1) Narapidana dapat dipindahkan dari satu LAPAS ke LAPAS lain untuk
kepentingan :
a. pembinaan;
b. keamanan dan ketertiban;
c. proses peradilan; dan
d. lainnya yang dianggap perlu.

80
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pemindahan Narapidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 17
(1) Penyidikan terhadap Narapidana yang terlibat perkara lain baik sebagai
tersangka, terdakwa, atau sebagai saksi yang dilakukan di LAPAS tempat
Narapidana yang bersangkutan menjalani pidana, dilaksanakan setelah
penyidik menunjukkan surat perintah penyidikan dari pejabat instansi yang
berwenang dan menyerahkan tembusannya kepada Kepala LAPAS.
(2) Kepala LAPAS dalam keadaan tertentu dapat menolak pelaksanaan
penyidikan di LAPAS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan di
luar LAPAS setelah mendapat izin Kepala LAPAS.
(4) Narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibawa ke luar
LAPAS untuk kepentingan :
a. penyerahan berkas perkara;
b. rekonstruksi; atau
c. pemeriksaan di sidang pengadilan.
(5) Dalam hal terdapat keperluan lain di luar keperluan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) Narapidana hanya dapat dibawa ke luar LAPAS setelah
mendapat izin tertulis dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
(6) Jangka waktu Narapidana dapat dibawa ke luar LAPAS sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5) setiap kali paling lama 1 (satu) hari.
(7) Apabila proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap Narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus dilakukan di luar wilayah hukum pengadilan negeri yang menjatuhkan
putusan pidana yang sedang dijalani, Narapidana yang bersangkutan dapat
dipindahkan ke LAPAS tempat dilakukan pemeriksaan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.

Bagian Kedua
Anak Didik Pemasyarakatan

Paragraf 1
Anak Pidana

Pasal 18
(1) Anak Pidana ditempatkan di LAPAS Anak.
(2) Anak Pidana yang ditempatkan di LAPAS Anak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib didaftar.

Pasal 19
Pendaftaran sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (2) meliputi :
a. pencatatan :
1. putusan pengadilan;
2. jati diri; dan
3. barang dan uang yang dibawa;
b. pemeriksaan kesehatan;
c. pembuatan pasfoto;
d. pengambilan sidik jari; dan

81
e. pembuatan berita acara serah terima Anak Pidana.

82
Pasal 20
Dalam rangka pembinaan terhadap Anak Pidana di LAPAS Anak dilakukan
penggolongan atas dasar :
a. umur;
b. jenis kelamin;
c. lama pidana yang dijatuhkan;
d. jenis kejahatan; dan
e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

Pasal 21
Ketentuan mengenai pendaftaran serta penggolongan Anak Pidana diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 22
(1) Anak Pidana memperoleh hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
kecuali huruf g.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Anak
Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 23
(1) Anak Pidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan
tertentu.
(2) Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 24
(1) Anak Pidana dapat dipindahkan dari satu LAPAS Anak ke LAPAS Anak lain
untuk kepentingan :
a. pembinaan;
b. keamanan dan ketertiban;
c. pendidikan;
d. proses peradilan; dan
e. lainnya yang dianggap perlu.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pemindahan Anak Pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Paragraf 2
Anak Negara

Pasal 25
(1) Anak Negara ditempatkan di LAPAS Anak.
(2) Anak Negara yang ditempatkan di LAPAS Anak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib didaftar.

Pasal 26
Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) meliputi :
a. pencatatan :
1. putusan pengadilan;
2. jati diri; dan

83
3. barang dan uang yang dibawa;
b. pemeriksaan kesehatan;
c. pembuatan pasfoto;
d. pengambilan sidik jari; dan
e. pembuatan berita acara serah terima Anak Negara.

Pasal 27
Dalam rangka pembinaan terhadap Anak Negara di LAPAS Anak dilakukan
penggolongan atas dasar :
a. umur;
b. jenis kelamin;
c. lamanya pembinaan; dan
d. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan
pembinaan.

Pasal 28
Ketentuan mengenai pendaftaran dan penggolongan Anak Negara diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 29
(1) Anak Negara memperoleh hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14,
kecuali huruf g dan i.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Anak
Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 30
(1) Anak Negara wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan
tertentu.
(2) Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 31
(1) Anak Negara dapat dipindahkan dari satu LAPAS Anak ke LAPAS Anak lain
untuk kepentingan :
a. pembinaan;
b. keamanan dan ketertiban;
c. pendidikan; dan
d. lainnya yang dianggap perlu.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pemindahan Anak Negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Paragraf 3
Anak Sipil

Pasal 32
(1) Anak Sipil ditempatkan di LAPAS Anak.
(2) Anak Sipil yang ditempatkan di LAPAS Anak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib didaftar.
(3) Penempatan Anak Sipil di LAPAS Anak paling lama 6 (enam) bulan bagi

84
mereka yang belum berumur 14 (empat belas) tahun, dan paling lama 1
(satu) tahun bagi mereka yang pada saat penetapan pengadilan berumur 14
(empat belas) tahun dan setiap kali dapat diperpanjang 1 (satu) tahun
dengan ketentuan paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

Pasal 33
Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) meliputi :
a. pencatatan :
1. penetapan pengadilan;
2. jati diri; dan
3. barang dan uang yang dibawa;
b. pemeriksaan kesehatan;
c. pembuatan pasfoto;
d. pengambilan sidik jari; dan
e. pembuatan berita acara serah terima Anak Sipil.

Pasal 34
Dalam rangka pembinaan terhadap Anak Sipil di LAPAS Anak dilakukan
penggolongan atas dasar :
a. umur;
b. jenis kelamin;
c. lamanya pembinaan; dan
d. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

Pasal 35
Ketentuan mengenai pendaftaran dan penggolongan Anak Sipil diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 36
(1) Anak Sipil memperoleh hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14,
kecuali huruf g, i, k, dan huruf l.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak Anak
Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 37
(1) Anak Sipil wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan
tertentu.
(2) Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 38
(1) Anak Sipil dapat dipindahkan dari satu LAPAS Anak ke LAPAS Anak lain
untuk kepentingan :
a. pembinaan;
b. keamanan dan ketertiban;
c. pendidikan; dan
d. lainnya yang dianggap perlu.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pemindahan Anak Sipil
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

85
Bagian Ketiga
Klien

Pasal 39
(1) Setiap Klien wajib mengikuti secara tertib program bimbingan yang diadakan
oleh BAPAS.
(2) Setiap Klien yang dibimbing oleh BAPAS sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) wajib didaftar.

Pasal 40
Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) meliputi :
a. pencatatan :
1. putusan atau penetapan pengadilan, atau Keputusan Menteri;
2. jati diri;
b. pembuatan pasfoto;
c. pengambilan sidik jari; dan
d. pembuatan berita acara serah terima Klien.

Pasal 41
Ketentuan mengenai pendaftaran Klien diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri.

Pasal 42
(1) Klien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 terdiri dari :
a. Terpidana bersyarat;
b. Narapidana, Anak Pidana, dan Anak Negara yang mendapatkan
pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas;
c. Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya
diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial;
d. Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di
lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk,
bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial; dan
e. Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya
dikembalikan kepada orang tua atau walinya.
(2) Dalam hal bimbingan Anak Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf c dilakukan oleh orang tua asuh atau badan sosial, maka orang tua
asuh atau badan sosial tersebut wajib mengikuti secara tertib pedoman
pembimbingan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(3) Dalam hal bimbingan Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e
dilakukan oleh orang tua atau walinya, maka orang tua atau walinya
tersebut wajib mengikuti secara tertib pedoman pembimbingan yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 43
Dalam hal bimbingan Anak Negara diserahkan kepada orang tua asuh atau
badan sosial dan Anak yang diserahkan kepada orang tua atau walinya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) huruf c, d, dan e, maka BAPAS
melaksanakan :
a. pengawasan terhadap orang tua asuh atau badan sosial dan orang tua atau
wali agar kewajiban sebagai pengasuh dapat dipenuhi;
b. pemantapan terhadap perkembangan Anak Negara dan Anak Sipil yang

86
diasuh.

Pasal 44
Ketentuan mengenai program bimbingan Klien diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB IV
BALAI PERTIMBANGAN PEMASYARAKATAN
DAN TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN

Pasal 45
(1) Menteri membentuk Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat
Pemasyarakatan.
(2) Balai Pertimbangan Pemasyarakatan bertugas memberi saran dan atau
pertimbangan kepada Menteri.
(3) Balai Pertimbangan Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
terdiri dari para ahli di bidang pemasyarakatan yang merupakan wakil
instansi pemerintah terkait, badan non pemerintah dan perorangan lainnya.
(4) Tim Pengamat Pemasyarakatan yang terdiri dari pejabat-pejabat LAPAS,
BAPAS atau pejabat terkait lainnya bertugas :
a. memberi saran mengenai bentuk dan program pembinaan dan
pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan;
b. membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan dan
pembimbingan; atau
c. menerima keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan.
(5) Pembentukan, susunan, dan tata kerja Balai Pertimbangan Pemasyarakatan
dan Tim Pengamat Pemasyarakatan ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

BAB V
KEAMANAN DAN KETERTIBAN

Pasal 46
Kepala LAPAS bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di LAPAS yang
dipimpinnya.

Pasal 47
(1) Kepala LAPAS berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan
hukuman disiplin terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang melanggar
peraturan keamanan dan ketertiban di lingkungan LAPAS yang dipimpinnya.
(2) Jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. tutupan sunyi paling lama 6 (enam) hari bagi Narapidana atau Anak
Pidana; dan atau
b. menunda atau meniadakan hak tertentu untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Petugas pemasyarakatan dalam memberikan tindakan disiplin atau
menjatuhkan hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib:
a. memperlakukan Warga Binaan Pemasyarakatan secara adil dan tidak
bertindak sewenang-wenang; dan
b. mendasarkan tindakannya pada peraturan tata tertib LAPAS.
(4) Bagi Narapidana atau Anak Pidana yang pernah dijatuhi hukuman tutupan
sunyi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, apabila mengulangi

87
pelanggaran atau berusaha melarikan diri dapat dijatuhi lagi hukuman
tutupan sunyi paling lama 2 (dua) kali 6 (enam) hari.

Pasal 48
Pada saat menjalankan tugasnya, petugas LAPAS diperlengkapi dengan senjata
api dan sarana keamanan yang lain.

Pasal 49
Pegawai Pemasyarakatan diperlengkapi dengan sarana dan prasarana lain
sesuai dengan kebutuhan dan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

Pasal 50
Ketentuan mengenai keamanan dan ketertiban LAPAS diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Menteri.

BAB VI
KETENTUAN LAIN

Pasal 51
(1) Wewenang, tugas, dan tanggung jawab perawatan tahanan ada pada Menteri.
(2) Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan wewenang,
tugas, dan tanggung jawab perawatan tahanan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 52
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan pelaksanaan
yang berkaitan dengan pemasyarakatan tetap berlaku, sepanjang tidak
bertentangan atau belum dikeluarkan peraturan pelaksanaan baru berdasarkan
Undang-Undang ini.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 53
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini:
1. Ordonnantie op de Voorwaardelijke Invrijheidstelling (Stb. 1917-749, 27
Desember 1917 jo. Stb. 1926-488) sepanjang yang berkaitan dengan
pemasyarakatan;
2. Gestichtenreglement (Stb. 1917-708, 10 Desember 1917);
3. Dwangopvoedingsregeling (Stb. 1917-741, 24 Desember 1917); dan
4. Uitvoeringsordonnantie op de Voorwaardelijke Veroordeeling (Stb. 1926-487,
6 November 1926) sepanjang yang berkaitan dengan pemasyarakatan;
dinyatakan tidak berlaku.

88
Pasal 54
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 1995

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TTD
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 1995

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA


REPUBLIK INDONESIA,

TTD
MOERDIONO

89
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 1995

TENTANG
PEMASYARAKATAN

UMUM
Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru
mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan
suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan telah
melahirkan suatu sistem pembinaan yang sejak lebih dari tiga puluh tahun yang lalu
dikenal dan dinamakan sistem pemasyarakatan.
Walaupun telah diadakan berbagai perbaikan mengenai tatanan (stelsel) pemidanaan
seperti pranata pidana bersyarat (Pasal 14a KUHP), pelepasan bersyarat (Pasal 15 KUHP),
dan pranata khusus penuntutan serta penghukuman terhadap anak (Pasal 45, 46, dan 47
KUHP), namun pada dasarnya sifat pemidanaan masih bertolak dari asas dan sistem
pemenjaraan, sistem pemenjaraan sangat menekankan pada unsur balas dendam dan
penjeraan, sehingga institusi yang dipergunakan sebagai tempat pembinaan adalah rumah
penjara bagi Narapidana dan rumah pendidikan negara bagi anak yang bersalah.
Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan
penjeraan yang disertai dengan lembaga "rumah penjara" secara berangsur-angsur
dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi
dan reintegrasi sosial, agar Narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak
untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung
jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka sejak tahun 1964 sistem pembinaan bagi
Narapidana dan Anak Pidana telah berubah secara mendasar, yaitu dari sistem
kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Begitu pula institusinya yang semula disebut
rumah penjara dan rumah pendidikan negara berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan
berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G.8/506
tanggal 17 Juni 1964.
Sistem Pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum
pidana, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan
konsepsi umum mengenai pemidanaan.
Narapidana bukan saja obyek melainkan juga subyek yang tidak berbeda dari manusia
lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat
dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas. Yang harus diberantas adalah
faktor-faktor yang dapat menyebabkan Narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan
dengan hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat
dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan Narapidana atau Anak
Pidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat
yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan,
sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai.
Anak yang bersalah pembinaannya ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak.
Penempatan anak yang bersalah ke dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak,
dipisah-pisahkan sesuai dengan status mereka masing-masing yaitu Anak Pidana, Anak
Negara, dan Anak Sipil. Perbedaan status anak tersebut menjadi dasar pembedaan
pembinaan yang dilakukan terhadap mereka.
90
Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman
merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut di atas melalui pendidikan,
rehabilitasi, dan reintegrasi. Sejalan dengan peran Lembaga Pemasyarakatan tersebut,
maka tepatlah apabila Petugas Pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan dan
pengamanan Warga Binaan Pemasyarakatan dalam Undang-Undang ini ditetapkan sebagai
Pejabat Fungsional Penegak Hukum.
Sistem Pemasyarakatan disamping bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan
Pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat
terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan,
serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.
Dalam sistem pemasyarakatan, Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, atau Klien
Pemasyarakatan berhak mendapat pembinaan rohani dan jasmani serta dijamin hak-hak
mereka untuk menjalankan ibadahnya, berhubungan dengan pihak luar baik keluarga
maupun pihak lain, memperoleh informasi baik melalui media cetak maupun elektronik,
memperoleh pendidikan yang layak dan lain sebagainya.
Untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga keikutsertaan
masyarakat, baik dengan mengadakan kerja sama dalam pembinaan maupun dengan sikap
bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah selesai menjalani
pidananya.
Selanjutnya untuk menjamin terselenggaranya hak-hak tersebut, selain diadakan Unit
Pelaksana Teknis Pemasyarakatan yang secara langsung melaksanakan pembinaan,
diadakan pula Balai Pertimbangan Pemasyarakatan yang memberi saran dan pertimbangan
kepada Menteri mengenai pelaksanaan sistem pemasyarakatan dan Tim Pengamat
Pemasyarakatan yang memberi saran mengenai program pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan di setiap Unit Pelaksana Teknis dan berbagai sarana penunjang lainnya.
Untuk menggantikan ketentuan-ketentuan lama dan peraturan perUndang-Undangan
yang masih mendasarkan pada sistem kepenjaraan dan untuk mengatur hal-hal baru yang
dinilai lebih sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka dibentuklah
Undang-Undang tentang Pemasyarakatan ini.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Yang dimaksud dengan "agar menjadi manusia seutuhnya" adalah upaya untuk
memulihkan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kepada fitrahnya dalam
hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan pribadinya, manusia dengan
sesamanya, dan manusia dengan lingkungannya.

Pasal 3
Yang dimaksud dengan "berintegrasi secara sehat" adalah pemulihan kesatuan hubungan
Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat.

Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "dalam hal dianggap perlu" adalah apabila berdasarkan
91
pertimbangan perlu mendirikan Cabang LAPAS atau Cabang BAPAS guna
memberikan peningkatan pelayanan hukum dan pemerataan memperoleh keadilan
kepada Warga Binaan Pemasyarakatan beserta keluarganya. Pertimbangan tersebut
dengan memperhatikan perkembangan wilayah atau luas wilayah, pertambahan
penduduk dan peningkatan jumlah tindak pidana yang terjadi di wilayah kecamatan
atau kota administratif yang bersangkutan.

Pasal 5
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pengayoman" adalah perlakuan terhadap Warga Binaan
Pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan
diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, juga memberikan
bekal hidup kepada Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang
berguna di dalam masyarakat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "persamaan perlakuan dan pelayanan" adalah pemberian
perlakuan dan pelayanan yang sama kepada Warga Binaan Pemasyarakatan tanpa
membeda-bedakan orang.
Huruf c dan Huruf d
Yang dimaksud dengan "pendidikan dan pembimbingan" adalah bahwa
penyelenggaraan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila,
antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian,
dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "penghormatan harkat dan martabat manusia" adalah
bahwa sebagai orang yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan harus tetap
diperlakukan sebagai manusia.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya
penderitaan" adalah Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS
untuk jangka waktu tertentu, sehingga negara mempunyai kesempatan penuh
untuk memperbaikinya.
Selama di LAPAS, Warga Binaan Pemasyarakatan tetap memperoleh hak-haknya
yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya tetap
dilindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian,
tempat tidur, latihan keterampilan, olah raga, atau rekreasi.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga
dan orang-orang tertentu" adalah bahwa walaupun Warga Binaan Pemasyarakatan
berada di LAPAS, tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat
dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan
masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke dalam LAPAS dari anggota
masyarakat yang bebas, dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga
seperti program cuti mengunjungi keluarga.

Pasal 6
Ayat (1)
Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di LAPAS dilaksanakan secara
intramural (di dalam LAPAS) dan secara ekstramural (di luar LAPAS).
Pembinaan secara ekstramural yang dilakukan di LAPAS disebut asimilasi, yaitu
proses pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan
92
tertentu dengan membaurkan mereka ke dalam kehidupan masyarakat.
Pembinaan secara ekstramural juga dilakukan oleh BAPAS yang disebut
integrasi, yaitu proses pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah
memenuhi persyaratan tertentu untuk hidup dan berada kembali di tengah-tengah
masyarakat dengan bimbingan dan pengawasan BAPAS.

Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pembimbingan oleh BAPAS terhadap Anak Negara yang berdasarkan putusan
pengadilan, pembibingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan
sosial, karena biaya pembimbingannya masih merupakan tanggung jawab
Pemerintah.
Huruf d
Terhadap Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di
lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya
diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial, pembimbingannya tetap
dilakukan oleh BAPAS karena anak tersebut masih berstatus Anak Negara.
Huruf e
Pembimbingan oleh BAPAS terhadap Anak yang berdasarkan penetapan
pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya
dilakukan sepanjang ada permintaan dari orang tua atau walinya kepada BAPAS.

Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "petugas pemasyarakatan" adalah pegawai
pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan, pengamanan, dan
pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
Ayat (2)
Pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan meliputi program
pembinaan dan bimbingan yang berupa kegiatan pembinaan kepribadian dan
kegiatan pembinaan kemandirian.

Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar


Warga Binaan Pemasyarakatan menjadi manusia seutuhnya, bertaqwa, dan
bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga, dan masyarakat.
Sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat dan
keterampilan agar Warga Binaan Pemasyarakatan dapat kembali berperan sebagai
anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.

Pasal 8
Ayat (1)
Pemasyarakatan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam
tata peradilan pidana adalah bagian integral dari tata peradilan terpadu (integrated
criminal justice system). Dengan demikian, pemasyarakatan baik ditinjau dari sistem,
kelembagaan, cara pembinaan, dan petugas pemasyarakatan, merupakan bagian
93
yang tak terpisahkan dari satu rangkaian proses penegakan hukum.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "Pejabat Fungsional" adalah petugas pemasyarakatan
yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri dan telah memenuhi persyaratan,
antara lain:
1. mempunyai latar belakang pendidikan teknis di bidang pemasyarakatan;
2. melakukan tugas yang bersifat khusus di lingkungan Unit Pelaksana Teknis
Pemasyarakatan;
3. memenuhi persyaratan lain bagi jabatan fungsional sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "instansi pemerintah terkait" adalah Departemen Agama,
Departemen Pertanian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen
Sosial, Departemen Kesehatan, Departemen Tenaga Kerja, Departemen
Perindustrian, Pemerintah Daerah, BP7, dan lain-lain.

Yang dimaksud dengan "badan-badan kemasyarakatan lain-nya" misalnya


yayasan, koperasi, lembaga swadaya masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan
perorangan adalah dokter, psikolog, pengusaha, dan lain-lainnya.
Ayat (2)
Kerjasama dilakukan dalam rangka meningkatkan kemampuan Warga Binaan
Pemasyarakatan, antara lain di bidang:
a. bakat dan keterampilan;
b. kesadaran beragama;
c. kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
d. kesadaran hukum;
e. kemampuan meningkatkan ilmu dan pengetahuan; dan
f. keintegrasian diri dengan masyarakat.

Pasal 10
Ayat (1)
Penempatan Terpidana di LAPAS dilakukan sesuai dengan Pasal 270 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan pendaftarannya dilaksanakan pada saat
Terpidana diterima di LAPAS.
Begitu juga pembebasannya dilaksanakan pada saat Narapidana telah selesai
menjalani masa pidananya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pembebasan" termasuk juga pelepasan atau
pengeluaran Narapidana dari LAPAS.

Pasal 11
Perubahan status Terpidana menjadi Narapidana setelah sekurang-kurangnya
dilakukan pencatatan putusan pengadilan, jati diri, dan barang dan uang yang dibawa
serta pembuatan berita acara serah terima Terpidana.

Pasal 12
Cukup jelas
94
Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a sampai dengan d
Hak ini dilaksanakan dengan memperhatikan status yang bersangkutan
sebagai Narapidana, dengan demikian pelaksanaannya dalam batas-batas yang
diizinkan.

Huruf e
Yang dimaksud dengan "menyampaikan keluhan" adalah apabila terhadap
Narapidana yang bersangkutan terjadi pelanggaran hak asasi dan hak-hak
lainnya yang timbul sehubungan dengan proses pembinaan, yang dilakukan oleh
aparat LAPAS atau sesama penghuni LAPAS, yang bersangkutan dapat
menyampaikan keluhannya kepada Kepala LAPAS.
Huruf f, g, dan h
Cukup jelas
Huruf i dan j
Diberikan hak tersebut setelah Narapidana yang bersangkutan memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perUndang-Undangan.
Huruf k
Yang dimaksud dengan "pembebasan bersyarat" adalah bebasnya Narapidana
setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan
ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.
Huruf l
Yang dimaksud dengan "cuti menjelang bebas" adalah cuti yang diberikan
setelah Narapidana menjalani lebih dari 2/3 (dua pertiga) masa pidananya
dengan ketentuan harus berkelakuan baik dan jangka waktu cuti sama dengan
remisi terakhir paling lama 6 (enam) bulan.
Huruf m
Yang dimaksud dengan "hak-hak lain" adalah hak politik, hak memilih, dan
hak keperdataan lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" misalnya Narapidana yang
bersangkutan dalam keadaan sakit, alasan keamanan.
Ayat (3)
Cukup jelas
95
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan "1 (satu) hari" adalah 1 (satu) hari kerja dan atau tidak
menginap.
Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Ayat (1)
Anak Pidana tidak dipekerjakan baik di dalam maupun di luar LAPAS Anak,
tetapi Anak Pidana tersebut dapat melakukan latihan kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas

Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Ayat (1)
Tidak diberikannya hak kepada Anak Negara untuk mendapatkan upah atau
premi karena anak tersebut tidak dipekerjakan baik di dalam maupun di luar

96
LAPAS.
Tidak diberikannya hak kepada Anak Negara mendapatkan pengurangan pidana
(remisi) karena Anak Negara tidak dijatuhi pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Cukup jelas

Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas

Pasal 34
Cukup jelas

Pasal 35
Cukup jelas

Pasal 36
Cukup jelas

Pasal 37
Cukup jelas

Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39
Cukup jelas

Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal orang tua asuh atau badan sosial tidak mengikuti secara tertib
pedoman pembimbingan yang ditetapkan oleh Menteri, maka Anak Negara tersebut
ditarik dari pembimbingnya dan ditempatkan kembali di LAPAS Anak.
Ayat (3)
Cukup jelas

97
Pasal 43
Cukup jelas

Pasal 44
Cukup jelas

Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Balai Pertimbangan Pemasyarakatan" adalah suatu
badan penasehat Menteri yang bersifat non struktural.
Ayat (2)
Saran atau pertimbangan kepada Menteri antara lain berdasarkan keluhan atau
pengaduan Warga Binaan Pemasyarakatan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "badan non pemerintah dan perorangan lainnya"
misalnya dari kalangan organisasi advokat/ pengacara, dan lembaga swadaya
masyarakat.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 46
Cukup jelas

Pasal 47
Cukup jelas

Pasal 48
Tata cara penggunaan senjata api dilakukan berdasarkan peraturan perUndang-
Undangan yang berlaku.

Pasal 49
Yang dimaksud dengan "sarana dan prasarana lain" antara lain penyediaan pakaian
dinas, dan perumahan dinas.

Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Asas praduga tak bersalah tetap berlaku bagi tahanan.
Apabila karena keadaan tertentu ada tahanan di LAPAS, tahanan tersebut tetap
memperoleh berbagai hak sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 kecuali huruf g, i, j,
k, dan l.
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas

CATATAN
98
Kutipan: LEMBAR LEPAS SEKNEG TAHUN 1995

99
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 22 TAHUN 2002

TENTANG
GRASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk mendapatkan pengampunan berupa perubahan,


peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana
yang telah dijatuhkan kepada terpidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana
dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden;
b. bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan
Grasi yang dibentuk berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia
Serikat, dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan
ketatanegaraan dan kebutuhan hukum masyarakat;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Grasi;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3879);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG GRASI.

100
101
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan :
1. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau
penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.
2. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.

BAB II
RUANG LINGKUP PERMOHONAN DAN PEMBERIAN GRASI

Pasal 2
(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
(2) Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
(3) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu)
kali, kecuali dalam hal :
a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua)
tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut; atau
b. terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara
seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan
pemberian grasi diterima.

Pasal 3
Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana,
kecuali dalam hal putusan pidana mati.

Pasal 4
(1) Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan
terpidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setelah mendapat pertimbangan dari
Mahkamah Agung.
(2) Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa :
a. peringanan atau perubahan jenis pidana;
b. pengurangan jumlah pidana; atau
c. penghapusan pelaksanaan pidana.

BAB III
TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN
PERMOHONAN GRASI

Bagian Kesatu
Pengajuan Permohonan Grasi

Pasal 5
(1) Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua
sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama.

102
(2) Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, hak terpidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari
pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama.

Pasal 6
(1) Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya diajukan kepada Presiden.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh keluarga
terpidana, dengan persetujuan terpidana.
(3) Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh
keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana.

Pasal 7
(1) Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(2) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibatasi oleh tenggang
waktu tertentu.

Pasal 8
(1) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 diajukan secara
tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden.
(2) Salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada
Mahkamah Agung.
(3) Permohonan grasi dan salinannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dapat disampaikan oleh terpidana melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan tempat
terpidana menjalani pidana.
(4) Dalam hal permohonan grasi dan salinannya diajukan melalui Kepala Lembaga
Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Lembaga
Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada Presiden dan
salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama
paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan
salinannya.

Bagian Kedua
Penyelesaian Permohonan Grasi

Pasal 9
Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan
salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pengadilan tingkat
pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada
Mahkamah Agung.

Pasal 10
Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya
salinan permohonan dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,
Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden.

Pasal 11
(1) Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung.
(2) Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi.
103
(3) Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah
Agung.

Pasal 12
(1) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) disampaikan
kepada terpidana dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung
sejak ditetapkannya Keputusan Presiden.
(2) Salinan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada :
a. Mahkamah Agung;
b. Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama;
c. Kejaksaan negeri yang menuntut perkara terpidana; dan
d. Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.

Pasal 13
Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan
grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang
penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.

BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 14
(1) Dalam hal permohonan grasi diajukan dalam waktu bersamaan dengan permohonan
peninjauan kembali atau jangka waktu antara kedua permohonan tersebut tidak terlalu
lama, maka permohonan peninjauan kembali diputus lebih dahulu.
(2) Keputusan permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam
jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak salinan putusan peninjauan
kembali diterima Presiden.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penyelesaian permohonan grasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 15
Permohonan grasi yang belum mendapat penyelesaian yang diajukan sebelum berlakunya
Undang-Undang ini diselesaikan dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini mulai berlaku.
 

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 16
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950
tentang Permohonan Grasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat Tahun 1950
Nomor 40) dinyatakan tidak berlaku.

104
Pasal 17
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 Oktober 2002

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TTD
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Oktober 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK
INDONESIA,

TTD
BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 108

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan II,

TTD
EDY SUDIBYO

105
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 23 TAHUN 2002

TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan


tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak
anak yang merupakan hak asasi manusia;
b. bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa,
yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya;
c. bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-
cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri
dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa
dan negara pada masa depan;
d. bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab
tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya
untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental
maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya
perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan
memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya
perlakuan tanpa diskriminasi;
e. bahwa untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak
diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perUndang-
Undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya;
f. bahwa berbagai undang-undang hanya mengatur hal-hal tertentu
mengenai anak dan secara khusus belum mengatur keseluruhan
aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, c, d, e,
dan f perlu ditetapkan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak;

Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), dan Pasal
34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
(Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3143);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The
Elimination of all Forms of Discrimination Against Women)
(Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3277);
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3668);

106
5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 9, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3670);
6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO
Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to
Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk
Diperbolehkan Bekerja) (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 56,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3835);
7. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3886);
8. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO
Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate
Action for The Elimination of The Worst Forms of Child Labour
(Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak)
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3941);

Dengan persetujuan :

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


 
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan.
2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
3. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami
istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga
sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.
4. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah
dan/atau ibu angkat.
5. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh
sebagai orang tua terhadap anak.
6. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik,
mental, spiritual, maupun sosial.
7. Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau
mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.

107
8. Anak yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa,
atau memiliki potensi dan/atau bakat istimewa.
9. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga
orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
10. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan
bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya
atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara
wajar.
11. Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara,
membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang
dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.
12. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan
dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
13. Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan organisasi sosial dan/atau
organisasi kemasyarakatan.
14. Pendamping adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional dalam
bidangnya.
15. Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi
darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan
terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang
diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan,
perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang
menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
16. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
17. Pemerintah adalah Pemerintah yang meliputi Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2
Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi
Hak-Hak Anak meliputi :
a. non diskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.
 
Pasal 3
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,
demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
 

108
109
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN ANAK

Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
 
Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.

Pasal 6
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.

Pasal 7
(1)  Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh
orang tuanya sendiri.
(2)  Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang
anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau
diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan
kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Pasal 9
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang
menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi
anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.

Pasal 10
Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan
memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan
dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Pasal 11
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan
anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan
tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

110
Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan
dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
e. pelibatan dalam peperangan.

Pasal 16
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan,
atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila
sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Pasal 17
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari
orang dewasa;
b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap
tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan
tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan
hukum dan bantuan lainnya.

Pasal 19
Setiap anak berkewajiban untuk :
a. menghormati orang tua, wali, dan guru;
b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
111
c. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
 
 
BAB IV
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB
 
Bagian Kesatu
Umum
 
Pasal 20
Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung
jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
 
Bagian Kedua
Kewajiban dan Tanggung Jawab
Negara dan Pemerintah
 
Pasal 21
Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin
hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik,
budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik
dan/atau mental.

Pasal 22
Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan
sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Pasal 23
(1)  Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak
dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara
hukum bertanggung jawab terhadap anak.
(2)  Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.

Pasal 24
Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam
menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.
 
Bagian Ketiga
Kewajiban dan Tanggung Jawab Masyarakat

Pasal 25
Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan
melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

112
Bagian Keempat
Kewajiban dan Tanggung Jawab
Keluarga dan Orang Tua

Pasal 26
(1)  Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
dan
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu
sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban
dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada
keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan
yang berlaku.

BAB V
KEDUDUKAN ANAK
 
Bagian Kesatu
Identitas Anak
 
Pasal 27
(1)  Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya.
(2)  Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.
(3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang
menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.
(4)  Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak
diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan
pada keterangan orang yang menemukannya.
 
Pasal 28
(1) Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam
pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.
(2) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan
paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan.
(3) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dikenai biaya.
(4) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat pembuatan akta kelahiran
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan peraturan perUndang-Undangan.
  
Bagian Kedua
Anak yang Dilahirkan dari
Perkawinan Campuran
 
Pasal 29
(1)  Jika terjadi perkawinan campuran antara warga negara Republik Indonesia dan warga
negara asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh
kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan
perUndang-Undangan yang berlaku.

113
(2)  Dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
anak berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam
pengasuhan salah satu dari kedua orang tuanya.
(3)  Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sedangkan anak
belum mampu menentukan pilihan dan ibunya berkewarganegaraan Republik
Indonesia, demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah
berkewajiban mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak
tersebut.

BAB VI
KUASA ASUH

Pasal 30
(1)  Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya,
terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat
dicabut.
(2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.  

Pasal 31
(1)  Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga, dapat
mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan
tentang pencabutan kuasa asuh orang tua atau melakukan tindakan pengawasan
apabila terdapat alasan yang kuat untuk itu.
(2)  Apabila salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai dengan derajat
ketiga, tidak dapat melaksanakan fungsinya, maka pencabutan kuasa asuh orang tua
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh pejabat yang
berwenang atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu.  
(3) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menunjuk orang
perseorangan atau lembaga pemerintah/masyarakat untuk menjadi wali bagi yang
bersangkutan.  
(4) Perseorangan yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) harus seagama dengan agama yang dianut anak yang akan diasuhnya.
 
Pasal 32  
Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) sekurang-kurangnya
memuat ketentuan :  
a. tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya;  
b. tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup anaknya; dan  
c. batas waktu pencabutan.  
 

BAB VII  
PERWALIAN  

Pasal 33  
(1)  Dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak
diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang
memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan.

114
(2)  Untuk menjadi wali anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui
penetapan pengadilan.  
(3)  Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) agamanya harus sama
dengan agama yang dianut anak.  
(4)  Untuk kepentingan anak, wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib mengelola
harta milik anak yang bersangkutan.  
(5)  Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penunjukan wali sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.  
 
Pasal 34
Wali yang ditunjuk berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33, dapat mewakili anak untuk melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun di
luar pengadilan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak.  

Pasal 35
(1)  Dalam hal anak belum mendapat penetapan pengadilan mengenai wali, maka harta
kekayaan anak tersebut dapat diurus oleh Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain
yang mempunyai kewenangan untuk itu.
(2) Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bertindak sebagai wali pengawas untuk mewakili kepentingan anak.  
(3)  Pengurusan harta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus mendapat
penetapan. 

Pasal 36  
(1) Dalam hal wali yang ditunjuk ternyata di kemudian hari tidak cakap melakukan
perbuatan hukum atau menyalahgunakan kekuasaannya sebagai wali, maka status
perwaliannya dicabut dan ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan
pengadilan.  
(2) Dalam hal wali meninggal dunia, ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan
pengadilan.  
  

BAB VIII  
PENGASUHAN DAN PENGANGKATAN ANAK  
 
Bagian Kesatu  
Pengasuhan Anak  

Pasal 37  
(1)  Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat menjamin
tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.  
(2)  Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh lembaga yang
mempunyai kewenangan untuk itu.  
(3)  Dalam hal lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlandaskan agama, anak
yang diasuh harus yang seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga yang
bersangkutan.  
(4)  Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan agama,
maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang dianut anak
yang bersangkutan.  
(5)  Pengasuhan anak oleh lembaga dapat dilakukan di dalam atau di luar Panti Sosial.  

115
(6)  Perseorangan yang ingin berpartisipasi dapat melalui lembaga-lembaga sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).  

Pasal 38  
(1)  Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, dilaksanakan tanpa
membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa,
status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.  
(2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui
kegiatan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, dan pendidikan secara
berkesinambungan, serta dengan memberikan bantuan biaya dan/atau fasilitas lain,
untuk menjamin tumbuh kembang anak secara optimal, baik fisik, mental, spiritual
maupun sosial, tanpa mempengaruhi agama yang dianut anak.  
 
Bagian Kedua
Pengangkatan Anak  

Pasal 39  
(1)  Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak
dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan
perUndang-Undangan yang berlaku.  
(2)  Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan
hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.  
(3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak
angkat.  
(4)  Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya
terakhir.  
(5)  Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan
agama mayoritas penduduk setempat.  

Pasal 40
(1)  Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal
usulnya dan orang tua kandungnya.  
(2)  Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.
 
Pasal 41  
(1)  Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan pengangkatan anak.  
(2)  Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.  

BAB IX  
PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN
 
Bagian Kesatu  
Agama  

Pasal 42  
(1)  Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.  

116
(2)  Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti
agama orang tuanya.  

117
Pasal 43  
(1)  Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial
menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya.
(2)  Perlindungan anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.  
 
Bagian Kedua  
Kesehatan
 
Pasal 44
(1)  Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang
komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal
sejak dalam kandungan.
(2)  Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan secara komprehensif
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didukung oleh peran serta masyarakat.  
(3)  Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan
dasar maupun rujukan.  
(4)  Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselenggarakan secara cuma-cuma bagi keluarga yang tidak mampu.  
(5)  Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) disesuaikan dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.  

Pasal 45
(1)  Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak
sejak dalam kandungan.  
(2)  Dalam hal orang tua dan keluarga yang tidak mampu melaksanakan tanggung jawab
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pemerintah wajib memenuhinya.  
(3)  Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pelaksanaannya dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

Pasal 46  
Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir
terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan
kecacatan.

Pasal 47  
(1)  Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari upaya
transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain.
(2)  Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari perbuatan :  
a. pengambilan organ tubuh anak dan/atau jaringan tubuh anak tanpa
memperhatikan kesehatan anak;  
b. jual beli organ dan/atau jaringan tubuh anak; dan  
c. penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin
orang tua dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak.
 

118
Bagian Ketiga  
Pendidikan
 
Pasal 48
Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk
semua anak.  

Pasal 49  
Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-
luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.  

Pasal 50  
Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diarahkan pada :
a. pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental
dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal;
b. pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi;  
c. pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-
nilainya sendiri, nilai-nilai nasional di mana anak bertempat tinggal, dari mana anak
berasal, dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri;  
d. persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan  
e. pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.  

Pasal 51  
Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan
aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
 
Pasal 52  
Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh
pendidikan khusus.  

Pasal 53
(1)  Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan
cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak
terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.  
(2)  Pertanggungjawaban pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk pula
mendorong masyarakat untuk berperan aktif.  

Pasal 54  
Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang
bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.  
Bagian Keempat  
Sosial  

Pasal 55
(1)  Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik
dalam lembaga maupun di luar lembaga.
(2)  Penyelenggaraan pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan
oleh lembaga masyarakat.  

119
(3)  Untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, lembaga
pemerintah dan lembaga masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat
mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak yang terkait.  
(4)  Dalam hal penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3), pengawasannya dilakukan oleh Menteri Sosial.

Pasal 56  
(1)  Pemerintah dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan wajib
mengupayakan dan membantu anak, agar anak dapat :  
a. berpartisipasi;  
b. bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya;
c. bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan
perkembangan anak;  
d. bebas berserikat dan berkumpul;  
e. bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan berkarya seni budaya; dan  
f. memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.  
(2)  Upaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikembangkan dan disesuaikan
dengan usia, tingkat kemampuan anak, dan lingkungannya agar tidak menghambat
dan mengganggu perkembangan anak.

Pasal 57  
Dalam hal anak terlantar karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya,
maka lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, keluarga, atau pejabat yang
berwenang dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menetapkan anak sebagai
anak terlantar.  

Pasal 58  
(1)  Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sekaligus menetapkan
tempat penampungan, pemeliharaan, dan perawatan anak terlantar yang
bersangkutan.
(2)  Pemerintah atau lembaga yang diberi wewenang wajib menyediakan tempat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).  

Bagian Kelima
Perlindungan Khusus
 
Pasal 59  
Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang
berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak
tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang
menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
(napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik
fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah
dan penelantaran.  

Pasal 60
Anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 terdiri atas :  
a. anak yang menjadi pengungsi;  
b. anak korban kerusuhan;  
120
c. anak korban bencana alam; dan  
d. anak dalam situasi konflik bersenjata.  

Pasal 61 
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi pengungsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60 huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum humaniter.  

Pasal 62  
Perlindungan khusus bagi anak korban kerusuhan, korban bencana, dan anak dalam
situasi konflik bersenjata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b, huruf c, dan
huruf d, dilaksanakan melalui : 
a. pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang, pemukiman,
pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan
perlakuan; dan
b. pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak yang
mengalami gangguan psikososial.  

Pasal 63
Setiap orang dilarang merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan/atau
lainnya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa.  

Pasal 64  
(1)  Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak
korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan
masyarakat.  
(2)  Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :  
a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;  
c. penyediaan sarana dan prasarana khusus;  
d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;  
e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang
berhadapan dengan hukum;  
f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau
keluarga; dan  
g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi.  
(3)  Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
a. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;  
b. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi;  
c. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental,
maupun sosial; dan  
d. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan
perkara.  

Pasal 65
(1) Perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk
121
dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya
sendiri, dan menggunakan bahasanya sendiri.

(2) Setiap orang dilarang menghalang-halangi anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
untuk menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya,
dan menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengabaikan akses pembangunan
masyarakat dan budaya.

Pasal 66  
(1)  Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat.
(2)  Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan melalui :
a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perUndang-Undangan
yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual;  
b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan  
c. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga
swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap
anak secara ekonomi dan/atau seksual.  
(3)  Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).  

Pasal 67  
(1)  Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya
pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan
masyarakat.  
(2)  Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan,
menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi napza
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).  

Pasal 68  
(1)  Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan,
perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan
masyarakat.  
(2)  Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).  

Pasal 69  
(1)  Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya :  
a. penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang
melindungi anak korban tindak kekerasan; dan
b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.  

122
(2)  Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan,
atau turut serta melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).  

123
Pasal 70  
(1)  Perlindungan khusus bagi anak yang menyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 dilakukan melalui upaya :  
a. perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak;  
b. pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus; dan  
c. memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi
sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu.
(2)  Setiap orang dilarang memperlakukan anak dengan mengabaikan pandangan mereka
secara diskriminatif, termasuk labelisasi dan penyetaraan dalam pendidikan bagi anak-
anak yang menyandang cacat.  

Pasal 71  
(1)  Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui pengawasan, pencegahan,
perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.  
(2)  Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan
anak dalam situasi perlakuan salah, dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).  

BAB X  
PERAN MASYARAKAT  

Pasal 72  
(1) Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam
perlindungan anak.  
(2)  Peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh orang
perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga
swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha, dan
media massa.

Pasal 73  
Peran masyarakat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan
yang berlaku.  

 
BAB XI  
KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA  

Pasal 74  
Dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, dengan
Undang-Undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat
independen.  

Pasal 75 
(1)  Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terdiri dari 1 (satu) orang ketua, 2
(dua) orang wakil ketua, 1 (satu) orang sekretaris, dan 5 (lima) orang anggota.  
(2)  Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari unsur
pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi
kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan
kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.  
124
(3)  Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun, dan dapat diangkat kembali
untuk 1 (satu) kali masa jabatan.  
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan organisasi, mekanisme kerja, dan
pembiayaan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.  

Pasal 76  
Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas :  
a. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang
berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima
pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak;
b. memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam
rangka perlindungan anak.  

BAB XII  
KETENTUAN PIDANA
 
Pasal 77  
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :  
a. diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik
materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau
b. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau
penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,  
c. dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).  

Pasal 78
Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari
kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban
perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59,
padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 79
Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).  

Pasal 80  
(1)  Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau
penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh
dua juta rupiah). 
125
(2)  Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).  
(3)  Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).  
(4)  Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

Pasal 81
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang
yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.  

Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).  

Pasal 83
Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau
untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).  

Pasal 84
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau
jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).  

Pasal 85
(1) Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh
dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian
kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua
atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).  

126
Pasal 86
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan,
atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung
jawab sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
 
Pasal 87  
Setiap orang yang secara melawan hukum merekrut atau memperalat anak untuk
kepentingan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 atau penyalahgunaan dalam
kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata atau pelibatan dalam kerusuhan
sosial atau pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan atau pelibatan
dalam peperangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).  

Pasal 88  
Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).  

Pasal 89  
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh
melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi narkotika dan/atau
psikotropika dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan
paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).  
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh
melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi, atau distribusi alkohol dan zat
adiktif lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
paling singkat 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan denda paling sedikit Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).  

Pasal 90
(1)  Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79,
Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88,
dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada
pengurus dan/atau korporasinya.  
(2)  Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan
pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).  
 

127
BAB XIII  
KETENTUAN PERALIHAN
 
Pasal 91  
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, semua peraturan perUndang-Undangan yang
berkaitan dengan perlindungan anak yang sudah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.  
 

BAB XIV  
KETENTUAN PENUTUP  

Pasal 92
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, paling lama 1 (satu) tahun, Komisi Perlindungan
Anak Indonesia sudah terbentuk.  

Pasal 93
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.  
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Diundangkan di Jakarta  
pada tanggal 22 Oktober 2002

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

TTD
BAMBANG KESOWO
 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 109  

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II

TTD
EDY SUDIBYO

128
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 5 TAHUN 2010

TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk mendapatkan pengampunan yang berupa perubahan,


peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana
yang telah dijatuhkan kepada terpidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat
diajukan grasi kepada Presiden;
b. bahwa grasi dapat diberikan oleh Presiden untuk mendapatkan
pengampunan dan/atau untuk menegakkan keadilan hakiki dan
penegakan hak asasi manusia terhadap putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. bahwa grasi yang diberikan kepada terpidana sebagaimana
dimaksud dalam huruf a harus mencerminkan keadilan,
perlindungan hak asasi manusia, dan kepastian hukum
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
d. bahwa permohonan grasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi belum dapat diselesaikan
dalam batas waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, sehingga
terdapat kekosongan hukum untuk penyelesaian permohonan
tersebut;
e. bahwa pemberian grasi harus dilakukan secara tepat dalam waktu
tertentu dan sesegera mungkin untuk tercapainya kepastian
hukum, keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk
Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2002 tentang Grasi;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 14, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 108, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4234);
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316)

129
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG- UNDANG


NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 108, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4234) diubah sebagai berikut :

1. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai
berikut :

Pasal 2
(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
(2) Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling rendah 2 (dua) tahun.
(3) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diajukan 1 (satu) kali.

2. Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 6A, yang berbunyi
sebagai berikut :

Pasal 6A
(1) Demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan, menteri yang membidangi urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat meminta para pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 untuk mengajukan permohonan grasi.
(2) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang meneliti dan
melaksanakan proses pengajuan Grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dan Pasal 6A ayat (1) dan menyampaikan permohonan dimaksud kepada Presiden.

3. Ketentuan Pasal 7 ayat (2) diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :

Pasal 7
(1) Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap.
(2) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum
130
tetap.

4. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 10
Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya
salinan permohonan dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,
Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden.

5. Di antara Pasal 15 dan Bab VI disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 15A yang berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 15A
(1) Permohonan grasi yang belum diselesaikan berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi diselesaikan paling lambat tanggal 22
Oktober 2012.
(2) Terhadap terpidana mati yang belum mengajukan permohonan grasi berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, jangka waktu 1 (satu) tahun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dihitung sejak Undang-Undang ini
mulai berlaku.

Pasal II

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 20 Agustus 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TTD
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Agustus 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

TTD
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 100

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
TTD
WISNU SETIAWAN
131
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 16 TAHUN 2011

TENTANG
BANTUAN HUKUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk


mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana
perlindungan hak asasi manusia;
b. bahwa negara bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum
bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan;
c. bahwa pengaturan mengenai bantuan hukum yang diselenggarakan oleh
negara harus berorientasi pada terwujudnya perubahan sosial yang
berkeadilan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Bantuan Hukum;

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2),
Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5), dan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA


dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :  UNDANG-UNDANG TENTANG BANTUAN HUKUM.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum
secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.
2. Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin.
3. Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi
kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang
ini.
132
4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan hak asasi manusia.
5. Standar Bantuan Hukum adalah pedoman pelaksanaan pemberian Bantuan Hukum
yang ditetapkan oleh Menteri.
6. Kode Etik Advokat adalah kode etik yang ditetapkan oleh organisasi profesi advokat
yang berlaku bagi Advokat.

Pasal 2
Bantuan Hukum dilaksanakan berdasarkan asas :
a. keadilan;
b. persamaan kedudukan di dalam hukum;
c. keterbukaan;
d. efisiensi;
e. efektivitas; dan
f. akuntabilitas.

Pasal 3
Penyelenggaraan Bantuan Hukum bertujuan untuk :
a. menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan
akses keadilan;
b. mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan
kedudukan di dalam hukum;
c. menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan
d. mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.

BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 4
(1) Bantuan Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum yang menghadapi
masalah hukum.
(2) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi masalah hukum
keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi.
(3) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi menjalankan kuasa,
mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk
kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum.

Pasal 5
(1) Penerima Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) meliputi
setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara
layak dan mandiri.
(2) Hak dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak atas pangan, sandang,
layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau
perumahan.

133
BAB III
PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM

Pasal 6
(1) Bantuan Hukum diselenggarakan untuk membantu penyelesaian permasalahan hukum
yang dihadapi Penerima Bantuan Hukum.
(2) Pemberian Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum diselenggarakan oleh
Menteri dan dilaksanakan oleh Pemberi Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang
ini.
(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas :
a. menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan Bantuan Hukum;
b. menyusun dan menetapkan Standar Bantuan Hukum berdasarkan asas-asas
pemberian Bantuan Hukum;
c. menyusun rencana anggaran Bantuan Hukum;
d. mengelola anggaran Bantuan Hukum secara efektif, efisien, transparan, dan
akuntabel; dan
e. menyusun dan menyampaikan laporan penyelenggaraan Bantuan Hukum kepada
Dewan Perwakilan Rakyat pada setiap akhir tahun anggaran.
Pasal 7
(1) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), Menteri
berwenang :
a. mengawasi dan memastikan penyelenggaraan Bantuan Hukum dan pemberian
Bantuan Hukum dijalankan sesuai asas dan tujuan yang ditetapkan dalam Undang-
Undang ini; dan
b. melakukan verifikasi dan akreditasi terhadap lembaga bantuan hukum atau
organisasi kemasyarakatan untuk memenuhi kelayakan sebagai Pemberi Bantuan
Hukum berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Untuk melakukan verifikasi dan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, Menteri membentuk panitia yang unsurnya terdiri atas :
a. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan
hak asasi manusia;
b. akademisi;
c. tokoh masyarakat; dan
d. lembaga atau organisasi yang memberi layanan Bantuan Hukum.
(3) Verifikasi dan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setiap
3 (tiga) tahun.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara verifikasi dan akreditasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB IV
PEMBERI BANTUAN HUKUM

Pasal 8
(1) Pelaksanaan Bantuan Hukum dilakukan oleh Pemberi Bantuan Hukum yang telah
memenuhi syarat berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Syarat-syarat Pemberi Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. berbadan hukum;
b. terakreditasi berdasarkan Undang-Undang ini;
c. memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
d. memiliki pengurus; dan
134
e. memiliki program Bantuan Hukum.

Pasal 9
Pemberi Bantuan Hukum berhak :
a. melakukan rekrutmen terhadap advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas
hukum;
b. melakukan pelayanan Bantuan Hukum;
c. menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program kegiatan lain
yang berkaitan dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum;
d. menerima anggaran dari negara untuk melaksanakan Bantuan Hukum berdasarkan
Undang-Undang ini;
e. mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi
tanggungjawabnya di dalam sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan
perUndang-Undangan;
f. mendapatkan informasi dan data lain dari pemerintah ataupun instansi lain, untuk
kepentingan pembelaan perkara; dan
g. mendapatkan jaminan perlindungan hukum, keamanan, dan keselamatan selama
menjalankan pemberian Bantuan Hukum.

Pasal 10
Pemberi Bantuan Hukum berkewajiban untuk :
a. melaporkan kepada Menteri tentang program Bantuan Hukum;
b. melaporkan setiap penggunaan anggaran negara yang digunakan untuk pemberian
Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini;
c. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan Bantuan Hukum bagi advokat, paralegal,
dosen, mahasiswa fakultas hukum yang direkrut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf a;
d. menjaga kerahasiaan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperoleh dari
Penerima Bantuan Hukum berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani, kecuali
ditentukan lain oleh Undang-Undang; dan
e. memberikan Bantuan Hukum kepada Penerima Bantuan Hukum berdasarkan syarat
dan tata cara yang ditentukan dalam Undang-Undang ini sampai perkaranya selesai,
kecuali ada alasan yang sah secara hukum.

Pasal 11
Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam
memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan
iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum
berdasarkan peraturan perUndang-Undangan dan/atau Kode Etik Advokat.

BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN PENERIMA BANTUAN HUKUM

Pasal 12
Penerima Bantuan Hukum berhak :
a. mendapatkan Bantuan Hukum hingga masalah hukumnya selesai dan/atau
perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, selama Penerima Bantuan
Hukum yang bersangkutan tidak mencabut surat kuasa;
b. mendapatkan Bantuan Hukum sesuai dengan Standar Bantuan Hukum dan/atau Kode
Etik Advokat; dan
135
c. mendapatkan informasi dan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan pemberian
Bantuan Hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan.

Pasal 13
Penerima Bantuan Hukum wajib :
a. menyampaikan bukti, informasi, dan/atau keterangan perkara secara benar kepada
Pemberi Bantuan Hukum;
b. membantu kelancaran pemberian Bantuan Hukum.

BAB VI
SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN BANTUAN HUKUM

Pasal 14
(1) Untuk memperoleh Bantuan Hukum, pemohon Bantuan Hukum harus memenuhi
syarat-syarat :
a. mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi sekurang-kurangnya identitas
pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan Bantuan
Hukum;
b. menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan
c. melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang
setingkat di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum.
(2) Dalam hal pemohon Bantuan Hukum tidak mampu menyusun permohonan secara
tertulis, permohonan dapat diajukan secara lisan.

Pasal 15
(1) Pemohon Bantuan Hukum mengajukan permohonan Bantuan Hukum kepada Pemberi
Bantuan Hukum.
(2) Pemberi Bantuan Hukum dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah
permohonan Bantuan Hukum dinyatakan lengkap harus memberikan jawaban
menerima atau menolak permohonan Bantuan Hukum.
(3) Dalam hal permohonan Bantuan Hukum diterima, Pemberi Bantuan Hukum
memberikan Bantuan Hukum berdasarkan surat kuasa khusus dari Penerima Bantuan
Hukum.
(4) Dalam hal permohonan Bantuan Hukum ditolak, Pemberi Bantuan Hukum
mencantumkan alasan penolakan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian Bantuan Hukum
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII
PENDANAAN

Pasal 16
(1) Pendanaan Bantuan Hukum yang diperlukan dan digunakan untuk penyelenggaraan
Bantuan Hukum sesuai dengan Undang-Undang ini dibebankan kepada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Selain pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sumber pendanaan Bantuan
Hukum dapat berasal dari :
a. hibah atau sumbangan; dan/atau
b. sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat.
136
Pasal 17
(1) Pemerintah wajib mengalokasikan dana penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Pendanaan penyelenggaraan Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dialokasikan pada anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyaluran dana Bantuan Hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) kepada Pemberi Bantuan Hukum diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 19
(1) Daerah dapat mengalokasikan anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Bantuan Hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah.

BAB VIII
LARANGAN

Pasal 20
Pemberi Bantuan Hukum dilarang menerima atau meminta pembayaran dari Penerima
Bantuan Hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani
Pemberi Bantuan Hukum.

BAB IX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 21
Pemberi Bantuan Hukum yang terbukti menerima atau meminta pembayaran dari
Penerima Bantuan Hukum dan/atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang
ditangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 22
Penyelenggaraan dan anggaran Bantuan Hukum yang diselenggarakan oleh dan berada di
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan
Republik Indonesia, dan instansi lainnya pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
tetap dilaksanakan sampai berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.

Pasal 23
(1) Pemberian Bantuan Hukum yang sedang diproses sebelum Undang-Undang ini mulai
berlaku tetap dilaksanakan sampai dengan berakhirnya tahun anggaran yang
bersangkutan.
137
(2) Dalam hal pemberian Bantuan Hukum belum selesai pada akhir tahun anggaran yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberian Bantuan Hukum
selanjutnya dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 24
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perUndang-Undangan yang
mengatur mengenai Bantuan Hukum dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 25
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 November 2011

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TTD
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 November 2011

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

TTD
AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 104

138
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 11 TAHUN 2012

TENTANG
SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha
Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya;
b. bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak
mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum
dalam sistem peradilan;
c. bahwa Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak
Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip
perlindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk
memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan
hukum masyarakat karena belum secara komprehensif
memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan
hukum sehingga perlu diganti dengan undang- undang baru;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-
Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Mengingat 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28G, dan Pasal
28I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);
4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4635);
5. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5248).

Dengan Persetujuan Bersama

139
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak
yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap
pembimbingan setelah menjalani pidana.
2. Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum,
anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
3. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak
yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
4. Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban
adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak
pidana.
5. Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah
anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya
sendiri.
6. Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan
pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-
sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada
keadaan semula, dan bukan pembalasan.
7. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke
proses di luar peradilan pidana.
8. Penyidik adalah penyidik Anak.
9. Penuntut Umum adalah penuntut umum Anak.
10. Hakim adalah hakim Anak.
11. Hakim Banding adalah hakim banding Anak.
12. Hakim Kasasi adalah hakim kasasi Anak.
13. Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang
melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan
pendampingan terhadap Anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana.
14. Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga
pemerintah maupun swasta, yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial
serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan,
dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas pelayanan
dan penanganan masalah sosial Anak.
140
15. Tenaga Kesejahteraan Sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara
profesional untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial
dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang
ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial Anak.
16. Keluarga adalah orang tua yang terdiri atas ayah, ibu, dan/atau anggota keluarga lain
yang dipercaya oleh Anak.
17. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan
asuh sebagai orang tua terhadap anak.
18. Pendamping adalah orang yang dipercaya oleh Anak untuk mendampinginya selama
proses peradilan pidana berlangsung.
19. Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya adalah orang yang berprofesi memberi
jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang memenuhi persyaratan
berdasarkan ketentuan peraturan perUndang-Undangan.
20. Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang selanjutnya disingkat LPKA adalah lembaga
atau tempat Anak menjalani masa pidananya.
21. Lembaga Penempatan Anak Sementara yang selanjutnya disingkat LPAS adalah
tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung.
22. Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disingkat LPKS
adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial bagi Anak.
23. Klien Anak adalah Anak yang berada di dalam pelayanan, pembimbingan, pengawasan,
dan pendampingan Pembimbing Kemasyarakatan.
24. Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Bapas adalah unit pelaksana teknis
pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan,
pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan.

Pasal 2
Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas :
a. pelindungan;
b. keadilan;
c. nondiskriminasi;
d. kepentingan terbaik bagi Anak;
e. penghargaan terhadap pendapat Anak;
f. kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
g. pembinaan dan pembimbingan Anak;
h. proporsional;
i. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan
j. penghindaran pembalasan.

Pasal 3
Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak :
a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan
umurnya;
b. dipisahkan dari orang dewasa;
c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. melakukan kegiatan rekreasional;
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak
manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam
waktu yang paling singkat;
141
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak,dan
dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i. tidak dipublikasikan identitasnya;
j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak;
k. memperoleh advokasi sosial;
l. memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n. memperoleh pendidikan;
o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 4
(1) Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak :
a. mendapat pengurangan masa pidana;
b. memperoleh asimilasi;
c. memperoleh cuti mengunjungi keluarga;
d. memperoleh pembebasan bersyarat;
e. memperoleh cuti menjelang bebas;
f. memperoleh cuti bersyarat; dan
g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Anak yang memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 5
(1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.
(2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perUndang-Undangan, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini;
b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum;
dan
c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses
pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
(3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dan huruf b wajib diupayakan Diversi.

BAB II
DIVERSI

Pasal 6
Diversi bertujuan:
a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Pasal 7
(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan
142
negeri wajib diupayakan Diversi.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana
yang dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Pasal 8
(1) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang
tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan,
dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.
(2) Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat.
(3) Proses Diversi wajib memperhatikan:
a. kepentingan korban;
b. kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;
c. penghindaran stigma negatif;
d. penghindaran pembalasan;
e. keharmonisan masyarakat; dan
f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Pasal 9
(1) Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus
mempertimbangkan:
a. kategori tindak pidana;
b. umur Anak;
c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan
d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
(2) Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak
Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk:
a. tindak pidana yang berupa pelanggaran;
b. tindak pidana ringan;
c. tindak pidana tanpa korban; atau
d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.

Pasal 10
(1) Kesepakatan Diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran,
tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak
lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (2) dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya,
Pembimbing Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat.
(2) Kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penyidik
atas rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan dapat berbentuk :
a. pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
b. rehabilitasi medis dan psikososial;
c. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
d. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau
LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
e. pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.

Pasal 11
Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain:
143
a. perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
b. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
c. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau
LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
d. pelayanan masyarakat.

Pasal 12
(1) Hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dituangkan dalam bentuk
kesepakatan Diversi.
(2) Hasil kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke
pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga)
hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan.
(3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam waktu paling lama
3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan Diversi.
(4) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Pembimbing
Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama 3
(tiga) hari sejak ditetapkan.
(5) Setelah menerima penetapan sebagaimana dimaksud padaayat (4), Penyidik
menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau Penuntut Umum menerbitkan
penetapan penghentian penuntutan.

Pasal 13
Proses peradilan pidana Anak dilanjutkan dalam hal :
a. proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan; atau
b. kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan.

Pasal 14
(1) Pengawasan atas proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan
berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat
pemeriksaan.
(2) Selama proses Diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan Diversi
dilaksanakan, Pembimbing Kemasyarakatan wajib melakukan pendampingan,
pembimbingan, dan pengawasan.
(3) Dalam hal kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan,
Pembimbing Kemasyarakatan segera melaporkannya kepada pejabat yang
bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pejabat yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
menindaklanjuti laporan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari.

Pasal 15
Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan proses Diversi, tata cara, dan koordinasi
pelaksanaan Diversi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

144
BAB III
ACARA PERADILAN PIDANA ANAK

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 16
Ketentuan beracara dalam Hukum Acara Pidana berlaku juga dalam acara peradilan
pidana anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 17
(1) Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim wajib memberikan pelindungan khusus bagi
Anak yang diperiksa karena tindak pidana yang dilakukannya dalam situasi darurat.
(2) Pelindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui
penjatuhan sanksi tanpa pemberatan.

Pasal 18
Dalam menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi, Pembimbing
Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik,
Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib
memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan
tetap terpelihara.

Pasal 19
(1) Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam
pemberitaan di media cetak ataupun elektronik.
(2) Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama Anak, nama Anak
Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat
mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi.

Pasal 20
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas)
tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui
batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak.

Pasal 21
(1) Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga
melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial
Profesional mengambil keputusan untuk :
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan
di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang
kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam)
bulan.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan ke pengadilan untuk
ditetapkan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
(3) Bapas wajib melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program pendidikan,
pembinaan, dan pembimbingan kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b.
(4) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Anak dinilai masih
145
memerlukan pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan lanjutan, masa pendidikan,
pembinaan, dan pembimbingan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.
(5) Instansi pemerintah dan LPKS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
wajib menyampaikan laporan perkembangan anak kepada Bapas secara berkala setiap
bulan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengambilan keputusan serta
program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 22
Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan, Advokat atau pemberi
bantuan hukum lainnya, dan petugas lain dalam memeriksa perkara Anak, Anak Korban,
dan/atau Anak Saksi tidak memakai toga atau atribut kedinasan.

Pasal 23
(1) Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum dan
didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan.
(2) Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Korban atau Anak Saksi wajib didampingi
oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi,
atau Pekerja Sosial.
(3) Dalam hal orang tua sebagai tersangka atau terdakwa perkara yang sedang diperiksa,
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi orang tua.

Pasal 24
Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa atau anggota
Tentara Nasional Indonesia diajukan ke pengadilan Anak, sedangkan orang dewasa atau
anggota Tentara Nasional Indonesia diajukan ke pengadilan yang berwenang.

Pasal 25
(1) Register perkara Anak dan Anak Korban wajib dibuat secara khusus oleh lembaga yang
menangani perkara Anak.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman register perkara anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Penyidikan

Pasal 26
(1) Penyidikan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan
berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain
yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2) Pemeriksaan terhadap Anak Korban atau Anak Saksi dilakukan oleh Penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi :
a. telah berpengalaman sebagai penyidik;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan
c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.
(4) Dalam hal belum terdapat Penyidik yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), tugas penyidikan dilaksanakan oleh penyidik yang melakukan
146
tugas penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.

Pasal 27
(1) Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara Anak, Penyidik wajib meminta
pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana
dilaporkan atau diadukan.
(2) Dalam hal dianggap perlu, Penyidik dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli
pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga
Kesejahteraan Sosial, dan tenaga ahli lainnya.
(3) Dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap Anak Korban dan Anak Saksi,
Penyidik wajib meminta laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga
Kesejahteraan Sosial setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan.

Pasal 28
Hasil Penelitian Kemasyarakatan wajib diserahkan oleh Bapas kepada Penyidik dalam
waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam setelah permintaan penyidik
diterima.

Pasal 29
(1) Penyidik wajib mengupayakan Diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah
penyidikan dimulai.
(2) Proses Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga
puluh) hari setelah dimulainya Diversi.
(3) Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penyidik menyampaikan
berita acara Diversi beserta Kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk
dibuat penetapan.
(4) Dalam hal Diversi gagal, Penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan
perkara ke Penuntut Umum dengan melampirkan berita acara Diversi dan laporan
penelitian kemasyarakatan.

Bagian Ketiga
Penangkapan dan Penahanan

Pasal 30
(1) Penangkapan terhadap Anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24
(dua puluh empat) jam.
(2) Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus Anak.
(3) Dalam hal ruang pelayanan khusus Anak belum ada di wilayah yang bersangkutan,
Anak dititipkan di LPKS.
(4) Penangkapan terhadap Anak wajib dilakukan secara manusiawi dengan
memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya.
(5) Biaya bagi setiap Anak yang ditempatkan di LPKS dibebankan pada anggaran
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

Pasal 31
(1) Dalam melaksanakan penyidikan, Penyidik berkoordinasi dengan Penuntut Umum.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam waktu paling lama
1 X 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak dimulai penyidikan.

Pasal 32
(1) Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan
147
dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak
akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi
tindak pidana.
(2) Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut :
a. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan
b. diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh)
tahun atau lebih.
(3) Syarat penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dinyatakan secara tegas
dalam surat perintah penahanan.
(4) Selama Anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial Anak harus tetap
dipenuhi.
(5) Untuk melindungi keamanan Anak, dapat dilakukan penempatan Anak di LPKS.

Pasal 33
(1) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 untuk kepentingan penyidikan
dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari.
(2) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas
permintaan Penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum paling lama 8
(delapan) hari.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir, Anak
wajib dikeluarkan demi hukum.
(4) Penahanan terhadap Anak dilaksanakan di LPAS.
(5) Dalam hal tidak terdapat LPAS, penahanan dapat dilakukan di LPKS setempat.

Pasal 34
(1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan penuntutan, Penuntut Umum
dapat melakukan penahanan paling lama 5 (lima) hari.
(2) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan
Penuntut Umum dapat diperpanjang oleh Hakim pengadilan negeri paling lama 5 (lima)
hari.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir, Anak
wajib dikeluarkan demi hukum.

Pasal 35
(1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan, Hakim dapat melakukan penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Hakim dapat
diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri paling lama 15 (lima belas) hari.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah berakhir dan
Hakim belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi hukum.

Pasal 36

Penetapan pengadilan mengenai penyitaan barang bukti dalam perkara Anak harus
ditetapkan paling lama 2 (dua) hari.

Pasal 37
(1) Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat banding,
Hakim Banding dapat melakukan penahanan paling lama 10 (sepuluh) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Hakim Banding
dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi paling lama 15 (lima belas) hari.
148
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah
berakhir dan Hakim Banding belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan
demi hukum.

Pasal 38
(1) Dalam hal penahanan terpaksa dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat
kasasi, Hakim Kasasi dapat melakukan penahanan paling lama 15 (lima belas) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas permintaan Hakim Kasasi
dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 20 (dua puluh) hari.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah
berakhir dan Hakim Kasasi belum memberikan putusan, Anak wajib dikeluarkan demi
hukum.

Pasal 39
Dalam hal jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3),
Pasal 34 ayat (3), Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3) telah berakhir,
petugas tempat Anak ditahan harus segera mengeluarkan Anak demi hukum.

Pasal 40
(1) Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan
kepada Anak dan orang tua/Wali mengenai hak memperoleh bantuan hukum.
(2) Dalam hal pejabat tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), penangkapan atau penahanan terhadap Anak batal demi hukum.

Bagian Keempat
Penuntutan

Pasal 41
(1) Penuntutan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Penuntut Umum yang ditetapkan
berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa
Agung.
(2) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi :
a. telah berpengalaman sebagai penuntut umum;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan
c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.
(3) Dalam hal belum terdapat Penuntut Umum yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), tugas penuntutan dilaksanakan oleh penuntut umum yang
melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.

Pasal 42
(1) Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah
menerima berkas perkara dari Penyidik.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30
(tiga puluh) hari.
(3) Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penuntut Umum
menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada ketua
pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.
(4) Dalam hal Diversi gagal, Penuntut Umum wajib menyampaikan berita acara Diversi
dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian
kemasyarakatan.
149
150
Bagian Kelima
Hakim Pengadilan Anak

Paragraf 1
Hakim Tingkat Pertama

Pasal 43
(1) Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Hakim yang
ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan negeri yang
bersangkutan melalui ketua pengadilan tinggi.
(2) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi :
a. telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan umum;
b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan
c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.
(3) Dalam hal belum terdapat Hakim yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), tugas pemeriksaan di sidang Anak dilaksanakan oleh hakim
yang melakukan tugas pemeriksaan bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang
dewasa.

Pasal 44
(1) Hakim memeriksa dan memutus perkara Anak dalam tingkat pertama dengan hakim
tunggal.
(2) Ketua pengadilan negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara Anak dengan hakim
majelis dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun
atau lebih atau sulit pembuktiannya.
(3) Dalam setiap persidangan Hakim dibantu oleh seorang panitera atau panitera
pengganti.

Paragraf 2
Hakim Banding

Pasal 45
Hakim Banding ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul
ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan.

Pasal 46
Untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Banding, berlaku syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 ayat (2).

Pasal 47
(1) Hakim Banding memeriksa dan memutus perkara Anak dalam tingkat banding
dengan hakim tunggal.
(2) Ketua pengadilan tinggi dapat menetapkan pemeriksaan perkara Anak dengan hakim
majelis dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara (tujuh) tahun
atau lebih atau sulit pembuktiannya.
(3) Dalam menjalankan tugasnya, Hakim Banding dibantu oleh seorang panitera atau
seorang panitera pengganti.

151
Paragraf 3
Hakim Kasasi

Pasal 48
Hakim Kasasi ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 49
Untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Kasasi, berlaku syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 ayat (2).

Pasal 50
(1) Hakim Kasasi memeriksa dan memutus perkara Anak dalam tingkat kasasi dengan
hakim tunggal.
(2) Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan pemeriksaan perkara Anak dengan hakim
majelis dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun
atau lebih atau sulit pembuktiannya.
(3) Dalam menjalankan tugasnya, Hakim Kasasi dibantu oleh seorang panitera atau
seorang panitera pengganti.

Paragraf 4
Peninjauan Kembali

Pasal 51
Terhadap putusan pengadilan mengenai perkara Anak yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, dapat dimohonkan peninjauan kembali oleh Anak, orang tua/Wali,
dan/atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya kepada Ketua Mahkamah Agung
sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan.

Bagian Keenam
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

Pasal 52
(1) Ketua pengadilan wajib menetapkan Hakim atau majelis hakim untuk
menangani perkara Anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara
dari Penuntut Umum.
(2) Hakim wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan
oleh ketua pengadilan negeri sebagai Hakim.
(3) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama 30 (tiga
puluh) hari.
(4) Proses Diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi pengadilan negeri.
(5) Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Hakim menyampaikan berita
acara Diversi beserta kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk
dibuat penetapan.
(6) Dalam hal Diversi tidak berhasil dilaksanakan, perkara dilanjutkan ke tahap
persidangan.

Pasal 53
(1) Anak disidangkan dalam ruang sidang khusus Anak.
(2) Ruang tunggu sidang Anak dipisahkan dari ruang tunggu sidang orang dewasa.
(3) Waktu sidang Anak didahulukan dari waktu sidang orang dewasa.

152
Pasal 54
Hakim memeriksa perkara Anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum,
kecuali pembacaan putusan.

Pasal 55
(1) Dalam sidang Anak, Hakim wajib memerintahkan orang tua/Wali atau pendamping,
Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan
untuk mendampingi Anak.
(2) Dalam hal orang tua/Wali dan/atau pendamping tidak hadir, sidang tetap
dilanjutkan dengan didampingi Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya
dan/atau Pembimbing Kemasyarakatan.
(3) Dalam hal Hakim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), sidang Anak batal demi hukum.

Pasal 56
Setelah Hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, Anak
dipanggil masuk beserta orang tua/Wali, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya,
dan Pembimbing Kemasyarakatan.

Pasal 57
(1) Setelah surat dakwaan dibacakan, Hakim memerintahkan Pembimbing
Kemasyarakatan membacakan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai
Anak yang bersangkutan tanpa kehadiran Anak, kecuali Hakim berpendapat lain.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi :
a. data pribadi Anak, keluarga, pendidikan,dan kehidupan sosial;
b. latar belakang dilakukannya tindak pidana;
c. keadaan korban dalam hal ada korban dalam tindak pidana terhadap tubuh
atau nyawa;
d. hal lain yang dianggap perlu;
e. berita acara Diversi; dan
f. kesimpulan dan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan.

Pasal 58
(1) Pada saat memeriksa Anak Korban dan/atau Anak Saksi, Hakim dapat memerintahkan
agar Anak dibawa keluar ruang sidang.
(2) Pada saat pemeriksaan Anak Korban dan/atau Anak Saksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), orang tua/Wali, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan
Pembimbing Kemasyarakatan tetap hadir.
(3) Dalam hal Anak Korban dan/atau Anak Saksi tidak dapat hadir untuk memberikan
keterangan di depan sidang pengadilan, Hakim dapat memerintahkan Anak Korban
dan/atau Anak Saksi didengar keterangannya :
a. di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh
Pembimbing Kemasyarakatan di daerah hukum setempat dengan dihadiri oleh
Penyidik atau Penuntut Umum dan Advokat atau pemberi bantuan hukum
lainnya; atau
b. melalui pemeriksaan langsung jarak jauh dengan alat komunikasi audiovisual
dengan didampingi oleh orang tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan atau
pendamping lainnya.

Pasal 59
Sidang Anak dilanjutkan setelah Anak diberitahukan mengenai keterangan yang telah
153
diberikan oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi pada saat Anak berada di luar ruang
sidang pengadilan.

Pasal 60
(1) Sebelum menjatuhkan putusan, Hakim memberikan kesempatan kepada orang
tua/Wali dan/atau pendamping untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi
Anak.
(2) Dalam hal tertentu Anak Korban diberi kesempatan oleh Hakim untuk menyampaikan
pendapat tentang perkara yang bersangkutan.
(3) Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing
Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara.
(4) Dalam hal laporan penelitian kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak dipertimbangkan dalam putusan Hakim, putusan batal demi hukum.

Pasal 61
(1) Pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum
dan dapat tidak dihadiri oleh Anak.
(2) Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi tetap harus dirahasiakan oleh
media massa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dengan hanya menggunakan
inisial tanpa gambar.

Pasal 62
(1) Pengadilan wajib memberikan petikan putusan pada hari putusan diucapkan kepada
Anak atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Penuntut Umum.
(2) Pengadilan wajib memberikan salinan putusan paling lama 5 (lima) hari sejak putusan
diucapkan kepada Anak atau Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Penuntut Umum.

BAB IV
PETUGAS KEMASYARAKATAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 63
Petugas kemasyarakatan terdiri atas :
a. Pembimbing Kemasyarakatan;
b. Pekerja Sosial Profesional; dan
c. Tenaga Kesejahteraan Sosial.

Bagian Kedua
Pembimbing Kemasyarakatan

Pasal 64
(1) Penelitian kemasyarakatan, pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap
Anak dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.
(2) Syarat untuk dapat diangkat sebagai Pembimbing Kemasyarakatan sebagai berikut:
a. berijazah paling rendah diploma tiga (D-3) bidang ilmu sosial atau yang setara atau
telah berpengalaman bekerja sebagai pembantu Pembimbing Kemasyarakatan bagi
154
lulusan :
1) sekolah menengah kejuruan bidang pekerjaan sosial berpengalaman paling
singkat 1 (satu) tahun; atau
2) sekolah menengah atas dan berpengalaman di bidang pekerjaan sosial paling
singkat 3 (tiga) tahun.
b. sehat jasmani dan rohani;
c. pangkat/golongan ruang paling rendah Pengatur Muda Tingkat I/ II/b;
d. mempunyai minat, perhatian, dan dedikasi di bidang pelayanan dan
pembimbingan pemasyarakatan serta pelindungan anak; dan
e. telah mengikuti pelatihan teknis Pembimbing Kemasyarakatan dan memiliki
sertifikat.
(3) Dalam hal belum terdapat Pembimbing Kemasyarakatan yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tugas dan fungsi Pembimbing Kemasyarakatan
dilaksanakan oleh petugas LPKA atau LPAS atau belum terbentuknya LPKA atau
LPAS dilaksanakan oleh petugas rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan.

Pasal 65
Pembimbing Kemasyarakatan bertugas :
a. membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan Diversi, melakukan
pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak selama proses Diversi
dan pelaksanaan kesepakatan, termasuk melaporkannya kepada pengadilan apabila
Diversi tidak dilaksanakan;
b. membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan persidangan dalam perkara Anak, baik di dalam maupun di luar
sidang, termasuk di dalam LPAS dan LPKA;
c. menentukan program perawatan Anak di LPAS dan pembinaan Anak di LPKA
bersama dengan petugas pemasyarakatan lainnya;
d. melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang
berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan; dan
e. melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang
memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti
bersyarat.

Bagian Ketiga
Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial

Pasal 66
Syarat untuk dapat diangkat sebagai Pekerja Sosial Profesional sebagai berikut :
a. berijazah paling rendah strata satu (S-1) atau diploma empat (D-4) dibidang
pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial;
b. berpengalaman kerja paling singkat 2 (dua) tahun di bidang praktik pekerjaan sosial
dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
c. mempunyai keahlian atau keterampilan khusus dalam bidang pekerjaan sosial dan
minat untuk membina, membimbing, dan membantu Anak demi kelangsungan hidup,
perkembangan fisik, mental, sosial, dan pelindungan terhadap Anak; dan
d. lulus uji kompetensi sertifikasi Pekerja Sosial Profesional oleh organisasi profesi
di bidang kesejahteraan sosial.

Pasal 67
Syarat untuk dapat diangkat sebagai Tenaga Kesejahteraan Sosial sebagai berikut :
a. berijazah paling rendah sekolah menengah atas pekerjaan sosial atau kesejahteraan
155
sosial atau sarjana nonpekerja sosial atau kesejahteraan sosial;
b. mendapatkan pelatihan bidang pekerjaan sosial;
c. berpengalaman kerja paling singkat 3 (tiga) tahun di bidang praktik pekerjaan sosial
dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial; dan
d. mempunyai keahlian atau keterampilan khusus dalam bidang pekerjaan sosial dan
minat untuk membina, membimbing, dan membantu Anak demi kelangsungan hidup,
perkembangan fisik, mental, sosial, dan pelindungan terhadap Anak.

Pasal 68
(1) Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial bertugas :
a. membimbing, membantu, melindungi, dan mendampingi Anak dengan
melakukan konsultasi sosial dan mengembalikan kepercayaan diri Anak;
b. memberikan pendampingan dan advokasi sosial;
c. menjadi sahabat Anak dengan mendengarkan pendapat Anak dan menciptakan
suasana kondusif;
d. membantu proses pemulihan dan perubahan perilaku Anak;
e. membuat dan menyampaikan laporan kepada Pembimbing Kemasyarakat
f. membuat bimbingan, bantuan, dan pembinaan terhadap Anak yang berdasarkan
putusan pengadilan dijatuhi pidana atau tindakan;
g. memberikan pertimbangan kepada aparat penegak hukum untuk penanganan
rehabilitasi sosial Anak;
h. mendampingi penyerahan Anak kepada orang tua, lembaga pemerintah, atau
lembaga masyarakat; dan
i. melakukan pendekatan kepada masyarakat agar bersedia menerima kembali Anak
di lingkungan sosialnya.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pekerja Sosial
Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial mengadakan koordinasi dengan
Pembimbing Kemasyarakatan.

BAB V
PIDANA DAN TINDAKAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 69
(1) Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan
dalam Undang- Undang ini.
(2) Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan.

Pasal 70
Ringannya perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan
perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim
untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan
segi keadilan dan kemanusiaan.

156
Bagian Kedua
Pidana

Pasal 71
(1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas :
a. pidana peringatan;
b. pidana dengan syarat:
1) pembinaan di luar lembaga;
2) pelayanan masyarakat; atau
3) pengawasan.
c. pelatihan kerja;
d. pembinaan dalam lembaga; dan
e. penjara.
(2) Pidana tambahan terdiri atas :
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
b. pemenuhan kewajiban adat.
(3) Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan
denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.
(4) Pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat Anak.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah

Pasal 72
Pidana peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan
kebebasan anak.

Pasal 73
(1) Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan oleh Hakim dalam hal pidana penjara yang
dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Dalam putusan pengadilan mengenai pidana dengan syarat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditentukan syarat umum dan syarat khusus.
(3) Syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Anak tidak akan
melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana dengan syarat.
(4) Syarat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah untuk melakukan atau
tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim
dengan tetap memperhatikan kebebasan Anak.
(5) Masa pidana dengan syarat khusus lebih lama daripada masa pidana dengan syarat
umum.
(6) Jangkawaktu masa pidana dengansyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling lama 3 (tiga) tahun.
(7) Selama menjalani masa pidana dengan syarat, Penuntut Umum melakukan
pengawasan dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pembimbingan agar Anak
menempati persyaratan yang telah ditetapkan.
(8) Selama Anak menjalani pidana dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat
(7), Anak harus mengikuti wajib belajar 9 (sembilan) tahun.

Pasal 74

Dalam hal Hakim memutuskan bahwa Anak dibina di luar lembaga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 ayat (1) huruf b angka 1, lembaga tempat pendidikan dan pembinaan
157
ditentukan dalam putusannya.

Pasal 75
(1) Pidana pembinaan di luar lembaga dapat berupa keharusan :
a. mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat
pembina;
b. mengikuti terapi di rumah sakit jiwa; atau
c. mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya.
(2) Jika selama pembinaan anak melanggar syarat khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 73 ayat (4), pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk
memperpanjang masa pembinaan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua)
kali masa pembinaan yang belum dilaksanakan.

Pasal 76
(1) Pidana pelayanan masyarakat merupakan pidana yang dimaksudkan untuk mendidik
Anak dengan meningkatkan kepeduliannya pada kegiatan kemasyarakatan yang
positif.
(2) Jika Anak tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban dalam menjalankan
pidana pelayanan masyarakat tanpa alasan yang sah, pejabat pembina dapat
mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memerintahkan Anak tersebut
mengulangi seluruh atau sebagian pidana pelayanan masyarakat yang dikenakan
terhadapnya.
(3) Pidana pelayanan masyarakat untuk Anak dijatuhkan paling singkat 7 (tujuh) jam dan
paling lama 120 (seratus dua puluh) jam.

Pasal 77
(1) Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada Anak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 ayat (1) huruf b angka 3 paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2
(dua) tahun.
(2) Dalam hal Anak dijatuhi pidana pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Anak ditempatkan di bawah pengawasan Penuntut Umum dan dibimbing
oleh Pembimbing Kemasyarakatan.

Pasal 78
(1) Pidana pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf c
dilaksanakan di lembaga yang melaksanakan pelatihan kerja yang sesuai dengan
usia Anak.
(2) Pidana pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan paling singkat
3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 79
(1) Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan dalam hal Anak melakukan tindak
pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan kekerasan.
(2) Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap Anak paling lama 1/2
(satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang
dewasa.
(3) Minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap Anak.
(4) Ketentuan mengenai pidana penjara dalam KUHP berlaku juga terhadap Anak
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
158
159
Pasal 80
(1) Pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan di tempat pelatihan kerja atau
lembaga pembinaan yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah maupun swasta.
(2) Pidana pembinaan di dalam lembaga dijatuhkan apabila keadaan dan perbuatan Anak
tidak membahayakan masyarakat.
(3) Pembinaan dalam lembaga dilaksanakan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama
24 (dua puluh empat) bulan.
(4) Anak yang telah menjalani 1/2 (satu perdua) dari lamanya pembinaan di dalam
lembaga dan tidak kurang dari 3 (tiga) bulan berkelakuan baik berhak mendapatkan
pembebasan bersyarat.

Pasal 81
(1) Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila keadaan dan perbuatan Anak akan
membahayakan masyarakat.
(2) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama ½ (satu perdua)
dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
(3) Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai Anak berumur 18 (delapan belas) tahun.
(4) Anak yang telah menjalani 1/2 (satu perdua) dari lamanya pembinaan di LPKA
dan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
(5) Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir.
(6) Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan
adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Bagian Ketiga
Tindakan

Pasal 82
(1) Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak meliputi :
a. pengembalian kepada orang tua/Wali;
b. penyerahan kepada seseorang;
c. perawatan di rumah sakit jiwa;
d. perawatan di LPKS;
e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh
pemerintah atau badan swasta;
f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
g. perbaikan akibat tindak pidana.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f
dikenakan paling lama 1 (satu) tahun.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Penuntut Umum
dalam tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling
singkat 7 (tujuh) tahun.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 83
(1) Tindakan penyerahan Anak kepada seseorang dilakukan untuk kepentingan Anak
yang bersangkutan.
(2) Tindakan perawatan terhadap Anak dimaksudkan untuk membantu orang tua/Wali
dalam mendidik dan memberikan pembimbingan kepada Anak yang bersangkutan.

160
BAB VI
PELAYANAN, PERAWATAN, PENDIDIKAN,
PEMBINAAN ANAK, DAN PEMBIMBINGAN KLIEN ANAK

Pasal 84
(1) Anak yang ditahan ditempatkan di LPAS.
(2) Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak memperoleh pelayanan,
perawatan, pendidikan dan pelatihan, pembimbingan dan pendampingan, serta hak
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) LPAS wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan, dan pemenuhan
hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pembimbing Kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan untuk
menentukan penyelenggaraan program pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3).
(5) Bapas wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program sebagaimana
dimaksud pada ayat (4).

Pasal 85
(1) Anak yang dijatuhi pidana penjara ditempatkan di LPKA.
(2) Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak memperoleh pembinaan,
pembimbingan, pengawasan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan, serta hak lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(3) LPKA wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan, pembinaan, dan
pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(4) Pembimbing Kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan untuk
menentukan penyelenggaraan program pendidikan dan pembinaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(5) Bapas wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program sebagaimana
dimaksud pada ayat (4).

Pasal 86
(1) Anak yang belum selesai menjalani pidana di LPKA dan telah mencapai umur 18
(delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda.
(2) Dalam hal Anak telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetapi belum selesai
menjalani pidana, Anak dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan dewasa dengan
memperhatikan kesinambungan pembinaan Anak.
(3) Dalam hal tidak terdapat lembaga pemasyarakatan pemuda, Kepala LPKA dapat
memindahkan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ke lembaga
pemasyarakatan dewasa berdasarkan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan.

Pasal 87
(1) Anak yang berstatus Klien Anak menjadi tanggung jawab Bapas.
(2) Klien Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak mendapatkan
pembimbingan, pengawasan dan pendampingan, serta pemenuhan hak lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Bapas wajib menyelenggarakan pembimbingan, pengawasan dan pendampingan,
serta pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(4) Bapas wajib melakukan evaluasi pelaksanaan pembimbingan, pengawasan dan
pendampingan, serta pemenuhan hak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

161
Pasal 88
Pelaksanaan tugas dan fungsi Bapas, LPAS, dan LPKA dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perUndang-Undangan.

BAB VII
ANAK KORBAN DAN ANAK SAKSI

Pasal 89
Anak Korban dan/atau Anak Saksi berhak atas semua pelindungan dan hak yang diatur
dalam ketentuan peraturan perUndang-Undangan.

Pasal 90
(1) Selain hak yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Anak Korban dan Anak Saksi berhak atas:
a. upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun
di luar lembaga;
b. jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial; dan
c. kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan hak Anak Korban dan Anak Saksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 91
(1) Berdasarkan pertimbangan atau saran Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial
Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial atau Penyidik dapat merujuk Anak,
Anak Korban, atau Anak Saksi ke instansi atau lembaga yang menangani
pelindungan anak atau lembaga kesejahteraan sosial anak.
(2) Dalam hal Anak Korban memerlukan tindakan pertolongan segera, Penyidik, tanpa
laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional, dapat langsung merujuk Anak Korban
ke rumah sakit atau lembaga yang menangani pelindungan anak sesuai dengan
kondisi Anak Korban.
(3) Berdasarkan hasil Penelitian Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan dan
laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, Anak,
Anak Korban, dan/atau Anak Saksi berhak memperoleh rehabilitasi medis, rehabilitasi
sosial, dan reintegrasi sosial dari lembaga atau instansi yang menangani pelindungan
anak.
(4) Anak Korban dan/atau Anak Saksi yang memerlukan pelindungan dapat memperoleh
pelindungan dari lembaga yang menangani pelindungan saksi dan korban atau
rumah perlindungan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan.

BAB VIII
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

Pasal 92
(1) Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi penegak hukum
dan pihak terkait secara terpadu.
(2) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling
singkat 120 (seratus dua puluh) jam.
(3) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
162
bidang hukum.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB IX
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 93
Masyarakat dapat berperan serta dalam pelindungan Anak mulai dari pencegahan sampai
dengan reintegrasi sosial Anak dengan cara :
a. menyampaikan laporan terjadinya pelanggaran hak Anak kepada pihak yang
berwenang;
b. mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang
berkaitan dengan Anak;
c. melakukan penelitian dan pendidikan mengenai Anak;
d. berpartisipasi dalam penyelesaian perkara Anak melalui Diversi dan pendekatan
Keadilan Restoratif;
e. berkontribusi dalam rehabilitasi dan reintegrasi sosial Anak, Anak Korban dan/atau
Anak Saksi melalui organisasi kemasyarakatan;
f. melakukan pemantauan terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam
penanganan perkara Anak; atau
g. melakukan sosialisasi mengenai hak Anak serta peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan Anak.

BAB X
KOORDINASI, PEMANTAUAN, DAN EVALUASI

Pasal 94
(1) Kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang perlindungan anak
melakukan koordinasi lintas sektoral dengan lembaga terkait.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka
sinkronisasi perumusan kebijakan mengenai langkah pencegahan, penyelesaian
administrasi perkara, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial.
(3) Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak
dilakukan oleh kementerian dan komisi yang menyelenggarakan urusan di bidang
perlindungan anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan koordinasi, pemantauan,
evaluasi, dan pelaporan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XI
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 95
Pejabat atau petugas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 21 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan ayat
(3), Pasal 29 ayat (1), Pasal 39, Pasal 42 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 55 ayat (1), serta Pasal
62 dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

163
BAB XII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 96
Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).

Pasal 97
Setiap orang yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 98
Penyidik yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.

Pasal 99
Penuntut Umum yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun.

Pasal 100
Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun.

Pasal 101
Pejabat pengadilan yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 62 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 102
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, perkara anak yang :
a. masih dalam proses penyidikan dan penuntutan atau yang sudah dilimpahkan ke
pengadilan negeri, tetapi belum disidang harus dilaksanakan berdasarkan hukum
acara Undang-Undang ini; dan
b. sedang dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan berdasarkan
hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pengadilan Anak.

Pasal 103
(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, anak negara dan/atau anak sipil yang
masih berada di lembaga pemasyarakatan anak diserahkan kepada :
a. orang tua/Wali;
b. LPKS/keagamaan; atau
c. kementerian atau dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
sosial.
164
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

Pasal 104
Setiap lembaga pemasyarakatan anak harus melakukan perubahan sistem menjadi LPKA
sesuai dengan Undang-Undang ini paling lama 3 (tiga) tahun.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 105
(1) Dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah diberlakukannya Undang-Undang
ini :
a. setiap kantor kepolisian wajib memiliki Penyidik;
b. setiap kejaksaan wajib memiliki Penuntut Umum;
c. setiap pengadilan wajib memiliki Hakim;
d. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
wajib membangun Bapas di kabupaten/kota;
e. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
wajib membangun LPKA dan LPAS di provinsi; dan
f. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial
wajib membangun LPKS.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan kantor Bapas dan LPKS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d dan huruf f dikecualikan dalam hal letak provinsi dan
kabupaten/kota berdekatan.
(3) Dalam hal kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum tidak memiliki lahan untuk membangun kantor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d dan huruf e, pemerintah daerah setempat menyiapkan lahan yang
dibutuhkan.

Pasal 106
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.

Pasal 107
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun
sejak Undang- Undang ini diberlakukan.

165
Pasal 108
Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal
diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juli 2012

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TTD

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juli 2012

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

TTD

AMIR SYAMSUDIN

166

Anda mungkin juga menyukai