Anda di halaman 1dari 21

GAGAL JANTUNG

(diterjemahkan dari "Heart Failure" dalam Harrison's Principles of Internal Medicine


17 ed by Husnul Mubarak,S.Ked)

DEFINISI
Gagal Jantung (heart failure/HF) merupakan suatu syndrome klinis yang terjadi pada
pasien yang mengalami abnormalitas (baik akibat keturunan atau didapat) pada
struktur atau fungsi jantung sehingga menyebabkan terjadinya perkembangan
rangkaian gejala klinis (fatigue dan sesak) dan tanda klinis (edema dan rales) yang
mengakibatkan opname, kualitas hidup buruk, dan harapan hidup memendek.

EPIDEMIOLOGI
HF merupakan suatu permasalahan medis yang secara global semakin berkembang,
dengan lebih 20 juta orang menderita. Prevalensi keseluruhan HF pada populasi
dewasa di negara maju adalah 2%. Perkembangan prevalensi HF mengikuti pola
eksponensial, meningkat seiring umur, dan mengenai 6-10% individu berumur 65
tahun keatas. Walaupun insiden pada HF relatif lebih rendah pada wanita dibanding
pria, wanita paling tidak merupakan 50% dari populasi pasien HF karena harapan
hidup mereka yang lebih panjang. Di Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada)
dan Eropa, resiko terkena HF berkisar 1 dari 5 individu berumur 40 tahun keatas.
Prevalensi HF secara keseluruhan cenderung meningkat, dapat disebabkan karena
terapi terkini dari gangguan kardiak seperti infark myokard (IM), penyakit katup
(valvular heart disease), dan arrhitmia, yang menyebabkan pasien bertahan hidup
lebih lama. Sangat sedikit diketahui mengenai prevalensi atau resiko terkena HF pada
negara berkembang karena kurangnya penelitian berbasis populasi pada negara-
negara ini. Walaupun HF diperkirakan berkembang akibat fraksi ejeksi yang menurun
pada ventrikel kiri, penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa sekitar separuh
pasien yang terkena HF memiliki fraksi ejeksi (Ejection Fraction/EF) yang normal
(EF > 40-50%). Karena itu, pasien HF sekarang dikategorikan menjadi dua
kelompok : (1) HF dengan EF yang menurun (biasanya dianggap systolic failure) atau
(2) HF dengan EF normal (biasa disebut diastolic failure).

ETIOLOGY
Seperti ditampilkan pada tabel 1, setiap keadaan yang mengakibatkan perubahan pada
struktur atau fungsi ventrikel kiri (Left ventricular/LV) dapat menyebabkan pasien
terkena HF. Walaupun etiologi HF pada pasien dengan EF yang normal berbeda
dengan yang EF yang menurun, terdapat suatu etiologi yang dianggap overlap untuk
kedua keadaan ini. Pada negara industrialisasi, penyakit jantung koroner (PJK)
merupakan suatu penyebab dominant pada pria dan wanita dan terjadi pada 60-75%
kasus HF. Hipertensi berperan pada perkembangan HF pada 75% pasien, termasuk
pasien dengan PJK. Baik PJK dan hipertensi dapat bekerja sama untuk meningkatkan
resiko HF, begitu pula dengan diabetes mellitus.

Pada 20–30% kasus HF dengan EF yang menurun, dasar etiologi pasti belum
diketahui secara pasti. Pasien ini dikatakan memiliki kardiomyopati yang noniskemik,
dilatasi atau idiopatik jika sebabnya tidak diketahui. Infeksi virus sebelumnya atau
paparan toxin (mis. alcohol atau kemoterapi) dapat pula menyebabkan kardiomyopati
dilatasi. Terlebih lagi, sudah semakin jelas bahwa sekelompok besar kasus
kardiomyopati dilatasi merupakan akibat dari defek genetic tertentu, paling ditandai
pada sitoskeleton. Hampir semua jenis kardiomyopati dilatasi familial diturunkan
melalui suatu pola autosomal dominant. Mutasi gen yang mencetak protein
sitoskeletal (desmin, cardiac myosin, vinculin) dan protein membran inti (lamin) telah
diidentifikasi sejauh ini. Kardiomyopati dilatasi juga terkait dengan penyakit
Duchenne’s, Becker’s, dan distrofi muskuler tungkaiy. Keadaan yang mengakibatkan
kardiak output yang meningkat (mis. fistel arteriovenous, anemia) cenderung berperan
dalam perkembangan HF pada jantung yang normal. Tetapi, keberadaan gangguan
struktural pada jantung menyebabkan terjadinya HF.

PROGNOSIS
Walaupun banyak perkembangan terkini mengenai penatalaksanaan HF,
perkembangan HF masih memberikan prognosis yang buruk. Penelitian berbasis
komunitas mengindikasikan bahwa 30-40% pasien HF akan meninggal dalam 1 tahun
setelah diagnosis ditegakkan dan 60-70% dalam waktu 5 tahun, terutama dikarenakan
memburuknya HF atau sebagai kejadian mendadak(kemungkinan karena adanya
aritmia ventrikuler). Walaupun sulit untuk memprediksi prognosis pada seseorang,
pasien dengan gejala pada istirahat [New York Heart Associtaion (NYHA) class IV]
memiliki angka mortalitas sebanyak 30-70% pertahun, dimana pasien dengan gejala
pada aktivitas moderat (NYHA class II) memiliki angka mortalitas tahunan sebanyak
5-10%. Sehingga status fungsional merupakan suatu predictor penting untuk outcome
pasien (Lihat table 2).

PATOGENESIS
Gambar 1 memberikan suatu kerangka konseptual umum dalam pertimbangan
perkembangan dan progresi HF dengan EF yang menurun. Seperti terlihat, HF dapat
digambarkan sebagai suatu gangguan progressif yang dimulai setelah kejadian
penanda, baik kerusakan pada otot jantung, dengan rusaknya myosit kardiak
fungsional, maupun adanya gangguan terhadap kemampuan myokard untuk
menciptakan tekanan, sehingga mencegah terjadinya kontraksi normal. Kejadian
penanda ini dapat berupa onset yang mendadak, seperti pada kasus IM; dapat pula
berupa onset gradual atau perlahan, seperti pada kasus overload tekanan hemodinamik
atau volume overload; dan dapat pula herediter, seperti pada banyak kasus
kardiomyopati genetic. Tanpa mempertimbangkan sifat dari kejadian merusak ini,
gejala yang serupa dari setiap kejadian penanda adalah bahwa gejala ini, pada
beberapa cara, menghasilkan penurunan pada kapasitas pompa pada jantung. Pada
kebanyakan keadaan, pasien tidak mengalami gejala apapun atau dengan gejala
minimal setelah mengalami penurunan kapasitas pompa jantung, atau gejala
berkembang hanya setelah disfungsi ini berlangsung dalam jangka waktu yang
panjang. Sehingga, jika ditinjau dari kerangka konseptual ini, disfungsi ventrikel kiri
berperan penting, namun tidak cukup, untuk perkembangan kumpulan gejala pada
HF.
Gambar 1. Patogenesis gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun. Gagal
jantung bermula setelah kejadian penanda menghasilkan penurunan awal pada
kapasitas pompa jantung. Akibat terjadinya penurunan kapasitas ini, berbagai
mekanisme kompensasi terjadi, termasuk sistem saraf adrenergic, sistem renin-
angiotensin-aldosteron, dan sistem sitokin. Dalam jangka pendek, sistem ini dapat
mengembalikan fungsi kardiovaskuler ke derajat homeostatik yang normal dan
menyebabkan tidak adanya gejala pada pasien (asimptomatis). Namun, seiring
dengan waktu aktivasi sistem kompensasi yang berkepanjangan dapat menyebabkan
kerusakan organ dalam ventrikel, disertai dengan remodelling pada ventrikel kiri
yang memburuk, dan pada akhirnya dekompensasi kardiak.

Walaupun alasan yang tepat mengapa pasien dengan disfungsi LV dapat tetap
asimptomatis belum dipastikan, salah satu penjelasannya kemungkinan karena
beberapa mekanisme kompensasi menjadi aktif dengan keberadaan jejas pada jantung
dan/atau disfungsi LV, dan sepertinya hal ini dapat dipertahankan dan mengatur
fungsi LV selama beberapa bulan atau tahun. Daftar mekanisme kompensasi yang
telah dijelaskan diatas termasuk (1) aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron
(RAA) dan sistem saraf adrenergic, dimana berperan dalam menjaga kardiak output
dengan meningkatkan retensi garam dan ait (Gambar 2), dan (2) meningkatkan
kontraktilitas myokard. Disertai dengan aktivasi dari molekul yang menghambat
vasodilatasi, termasuk peptida natriuretik otak dan atrial (ANP dan BNP),
prostaglandin (PGE2 dan PGI2), dan nitric oxide (NO), yang menimbulkan
vasokonstriksi vaskuler perifer yang berlebihan. Latar belakang genetis, jenis
kelamin, umur, dan lingkungan dapa mempengaruhi mekanisme kompensasi tersebut,
dimana dapat memodulasi fungsi LV dalam suatu homeostatik yang fisiologis, pada
keadaan demikian, kapasitas fungsional dari pasien dapat dijaga atau hanya sedikit
menurun. Sehingga, pasien dapat menjadi tetap asimpomatis atau dengan gejala
minimum untuk jangka waktu beberapa bulan bahkan tahun. Namun, pada suatu
poin ,pasien akan mendapatkan gejala yang jelas, disertai dengan peningkatan
mortalitas dan morbiditas. Walaupun mekanisme pasti yang berperan dalam transisi
ini tidak diketahui, seperti yang dijelaskan dibawah, transisi antara HF asimptomatik
menjadi simptomatik diikuti oleh adanya peningkatan aktivasi sistem neurohormonal,
adrenergik, dan sitokin yang mengakibatkan beebrapa perubahan adaptif dalam
myokard yang secara keseluruhan disebut LV remodelling.
Gambar 2. Aktivasi sistem neurohormonal pada gagal ginjal. Penurunan cardiac
output pada pasien HF menghasilkan “pengehentian” dari baroreseptor tekanan
tinggi pada ventrikel kiri (lingkaran) pada ventrikel kiri, sinus karotis, dan arcus
aorta. Efek ini menghasilkan pembentukan sinyal aferen terhadap sistem saraf pusat
(CNS) yang menstimulasi pusat cardioregulator pada otak yang menstimulasi
pelepasan arginine vasopression (AVP) dari hipotalamus posterior. AVP
[antidiuretic hormone (ADH)] merupakan vasokonstriktor kuat yang meningkatkan
permeabilitas dari duktus koligens renal, menyebabkan reabsorbsi air. Sinyal aferen
ini juga mengaktivasi sistem simpatetik eferen yang menginervasi jantung, ginjal,
pembuluh darah perifer, dan otot skeletal.
Stimulasi simpatetik pada ginjal mengakibatkan pelepasan renin, dengan
peningkatan resultan pada kadar angotensin II dan aldosteron yang bersirkulasi,
Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron memicu retensi air dan garam dan
mengakibatkan vasokonstriksi dari pembuluh darah perifer, hipertrophy myosit,
kematian sel myosit, dan fibrosis myokard. Sementara mekanisme neurohormonal ini
memfasilitasi adaptasi jangka pendek untuk menjaga tekanan darah, dan perfusi
kepada organ vital, mekanisme ini juga dipercaya menyebabkan perubahan tahap
akhir pada jantung dan sirkulasi dan retensi air dan garam berlebih pada HF berat.

Berbeda dengan pengetahuan kita mengenai patogenesis HF dengan penurunan EF,


pemahaman mengenai mekanisme yang berperan dalam perkembangan HF dengan
EF yang normal masih diteliti. Walaupun disfungsi diastolic (lihat penjelasan
dibawah) diketahui merupakan mekanisme tunggal yang berperan dalam
perkembangan HF dengan EF normal, penelitian berbasis komunitas menyatakan
bahwa mekanisme tambahan lainnya, seperti peningkatan kekakuan vaskuler dan
ventrikuler, dapat berperan penting pula.

Mekanisme dasar Gagal Jantung


LV remodeling terjadi akibat adanya kejadian kompleks yang terjadi pada level
molekuler dan seluler. Perubahan ini termasuk : (1) hipertrofi myosit; (2) perubahan
pada kemampuan kontraktilitas myosit; (3) kematian myosit progressif melalui
nekrosis, apoptosis, dan aotophagic; (4) desensitasi β-adrenergic; (5) tingkat
metabolisme dan energi abnormal pada jantung; dan (6) reorganisasi dari matriks
ekstraseluler dengan kerusakan dari struktur kolagen yang mengelilingi myosit dan
digantikan dengan matriks kolagen interstitial yang tidak memberikan dukungan
structural terhadap myosit. Stimulus biologis untuk perubahan ini termasuk regangan
mekanis pada myosit, sirkulasi neurohormonal (misal, norepinephrin, angiotensin II),
sitokin inflamasi [misal. tumor necrosis fator (TNF)], peptide dan faktor pertumbuhan
lainnya (mis. endothelin) dan jenis oksigen reaktif (mis. superoxide, NO). Walaupun
molekul ini secara kolektif dianggap neurohormon, terminology neurohormon selama
ini hanya mengarah kepada neurohormon klasik seperti norepinephrin dan angiotensin
II, yang dapat disintesis langsung di dalam myokard dan kemudian bekerja dalam
mekanisme autokrin dan parakrin.Akan tetapi, konsep paling penting adalah adanya
ekspresi yang berlebihan dari molekul yang secara biologis aktif berperan dalam
menimbulkan efek yang merusak pada jantung dan sirkulasi sehingga menimbulkan
progresi HF. Sehingga kemudian, pandangan ini membentuk rasionalisasi klinis untuk
pemakaian agen farmakologis yang melawan sistem ini [mis. angiotensin-converting
enzyme (ACE) inhibitor dan beta blocker] dalam menangani pasien HF.

Disfungsi Sistolik

Untuk memahami bagaimana perubahan yang terjadi dalam kerusakan myosit kardiak
berperan terhadap penurunan fungsi sistolik yang menurun dari LV pada HF, penting
untuk mempelajari kembali histologi dari sel otot jantung. Aktivasi neurohormonal
berkepanjangan mengakibatkan perubahan transkripsi dan paska-transkipsi pada gen
dan protein yang mengatur eksitasi-kontraksi dan interaksi cross-bridge. Secara
bersamaan, perubahan ini mengganggu kemampuan myosit untuk berkontraksi dan
kemudian berperan terhadap penurunan fungsi sistolik LV yang menurun yang
diamati pada pasien HF.

Disfungsi Diastolik

Relaksasi myokard merupakan proses yang bergantung pada ATP yang diregulasi
oleh uptake kalsium sitoplasmik didalam sarcoplasmic reticulum oleh sarcoplasmic
reticulum Ca2 adenosin triphosphatase (SERCA2A) dan pengeluaran ion calcium
oleh pompa sarcolemma Sehingga yang terjadi kemudian adalah penurunan
konsentrasi ATP, seperti yang terjadi pada iskemia, dapat mempengaruhi proses ini
dan mengakibatkan perlambatan relaksasi myokard. Kemungkinan lainnya, jika
pengisian LV tertunda karena komplians LV menurunan (mis. akibat hypertrophy
atau fibrosis), tekanan pengisian LV akan tetap meningkat pada akhir diastole
Peningkatan heart rate akan menyebabkan pemendekan waktu pengisian diastolic,
dimana akan mengakibatkan peningkatan tekanan pengisian pada LV, terutama pada
ventrikel noncomplians. Peningkatan tekanan pengisian pada akhir diastolic LV
mengakibatkan peningkatan tekanan kapiler pulmoner, dimana berperan terhadap
terjadinya dyspnea yang dialami oleh pasien dengan disfungsi diastolic. Lebih penting
lagi, disfungsi diastolic dapat terjadi sendiri atau berkombinasi dengan disfungsi
sistolik pada pasien HF.

Remodeling Ventrikel Kiri (LV Remodelling)


Remodeling ventrikuler berarti adanya perubahan pada massa ventrikel kiri, volume,
bentuk, dan komposisi dari jantung yang terjadi setelah jejas kardiak dan/atau
hemodinamika abnormal. LV remodeling dapat berperan secara independent terhadap
progresi HF dengan memberikan beban mekanis yang jelas yang membuat perubahan
pada geometri dari ventrikel kiri. Sebagai contoh, perubahan bentuk LV dari bentuk
ellipsoid menjadi bentuk yang lebih spheris selama LV remodeling mengakibatkan
tekanan dinding meridian pada LV meningkat, sehingga menimbulkan beban mekanis
baru pada jantung yang sudah lemah. Sebagai tambahan terhadap peningkatan volume
end-diastolic ventrikel kiri, penipisan dinding ventrikel kiri juga terjadi seiring dilatasi
ventrikel. Penipisan dinding bersamaan dengan peningkatan afterload yang
ditimbulkan oleh dilatasi ventrikel kiri menyebabkan afterload mismatch
(ketidakserasian afterload) fungsional yang berkontribusi lebih lanjut terhadap
penurunan stroke volume. Ditambah lagi dengan tingginya tekanan dinding pada
akhir diastolic yang secara logis dapat mengakibatkan (1) hipoperfusi pada
subendokardium, sehingga fungsi ventrikel kiri semakin memburuk; (2) peningkatan
stress oksidatif, yang kemudian mengaktivasi gen yang sensitive terhadap
pembentukan radikal bebas (mis. TNF dan interleukin 1β); dan (3) ekspresi
berkelanjutan dari gen yang diaktivasi oleh regangan (angiotensin II, endothelin, dan
TNF) dan/atau aktivasi regangan dari jalur sinyal hypertrophy. Masalah terpenting
kedua yang terjadi akibat peningkatan spherisitas dari ventrikel adalah otot papillary
tertarik mengakibatkan inkompetensi pada katup mitral dan menyebabkan regurgitasi
mitral fungsional. Ditambah dengan berkurangnya aliran darah, regurgitasi mitral
akan memperburuk keadaan dengan menyebabkan overloading pada hemodinamika
ventrikel. Secara bersamaan, beban mekanis yang bertambah pada LV remodelling
diperkirakan mengakibatkan penurunan kardiak output, peningkatan dilatasi LV
(regangan), dan peningkatan overloading hemodinamika, yang kesemuanya cukup
untuk menyebabkan progresi gagal jantung.

MANIFESTASI KLINIS

Gejala

Gejala kardinal dari HF adalah kelemahan dan sesak napas. Walaupun mudah lelah
dahulunya dianggap akibat kardiak output yang rendah pada HF, sepertinya
abnormalitas otot skeletal dan komorbiditas non-kardiak lainnya (mis. anemia) juga
berkontribusi terhadap gejala ini. Pada tahap HF yang dini, sesak napas dialami pada
saat beraktivitas berat (dyspneu d’effort);namun semakin penyakit ini berkembang,
sesak napas juga dialami pada aktivitas ringan, dan pada akhirnya bahkan pada saat
beristirahat. Banyak faktor yang menyebabkan sesak napas pada HF. Mekanisme
paling penting adalah kongesti pulmoner dengan adanya akumulasi dari cairan
interstitial atau intraalveolar, yang mengaktivasi reseptor juxtacapillary J, yang akan
menstimulasi pernapasan cepat dan dangkal yang khas untuk sesak napas kausa
penyakit jantung. Faktor lain yang berperan terhadap terjadinya sesak napas pada saat
beraktivitas berat adalah menurunnya komplians pulmoner, peningkatan resistensi
saluran napas, kelemahan otot napas atau/dan diaphragma, dan anemia. Sesak napas
dapat menjadi lebih jarang dengan adanya onset kegagalan ventrikuler kanan dan
regurgitasi tricuspid.
Orthopnea

Orthopnea, yang didefinisikan sebagai sesak napas yang terjadi pada posisi berbaring,
biasanya merupakan manifestasi lanjut dari HF dibandingkan dyspneu d’effort. Hal
ini terjadi akibat redistribusi dari cairan dari sirkulasi splanchnik dan ektremitas
bawah kedalam sirkulasi pusat selama berbaring, disertai dengan peningkatan tekanan
kapiler pulmoner. Batuk nocturnal (batuk yang dialami pada malam hari) merupakan
gejala yang sering terjadi pada proses ini dan seringkali menyamarkan gejala HF yang
lain. Orthopneu umumnya meringan setelah duduk tegak atau berbaring dengan lebih
dari 1 bantal. Walaupun orthopneu biasanya merupakan gejala yang relative spesifik
pada HF, ini dapat pula juga terjadi pada pasien dengan obesitas abdominal atau asites
dan pasien dengan penyakit pulmoner dimana mekanisme pernapasan membutuhkan
posisi tegak.

Paroxysmal Nocturnal Dyspenea (PND)

Istilah ini berarti adanya episode akut dari sesak napas yang berat dan batuk yang
biasanya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidur, biasanya 1-3
jam setelah pasien tidur. PND dapat bermanifestasi sebagai batuk-batuk atau
wheezing, kemungkinan karena peningkatan tekanan pada arteri bronchial
menyebabkan kompresi saluran udara, disertai dengan edema pulmoner interstitial
yang meyebabkan peningkatan resistensi saluran udara. Diketahui bahwa orthopnea
dapat meringan setelah duduk tegak, sedangkan pasien PND seringkali mengalami
batuk dan wheezing yang persisten walaupun mereka mengaku telah duduk tegak.
Cardiac asthma sepertinya berhubungan dekat dengan PND, ditandai dengan adanya
wheezing akibat bronchospasme, dan harus dapat dibedakan dengan asma primer dan
penyebab pulmoner lainnya yang menimbulkan wheezing. tom of HF, it may occur in
patients with abdominal obesity or ascites and in patients with pulmonary disease
whose lung mechanics favor an upright posture.

Pernapasan Cheyne-Stokes

Juga disebut sebagai pernapasan periodic atau pernapasan siklik, pernapasan Cheyne-
Stokes umum terjadi pada HF berat dan biasanya berkaitan dengan rendahnya kardiak
ouput. Pernapasan Cheyne-Stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitivitas pada
pusat respirasi terhadap tekanan PCO2. Terdapat fase apneu, dimana terjadi pada saat
penurunan PO2 arterial dan PCO2 arterial meningkat. Hal ini merubah komposisi gas
darah arterial dan memicu depresi pusat pernapasan, mengakibatkan hiperventilasi
dan hipokapnia, diikuti rekurensi fase apnea. Pernapasan Cheyne-Stokes dapat
dipersepsi oleh keluarga pasien sebagai sesak napas parah (berat) atau napas berhenti
sementara.

Edema Pulmoner Akut

Edema Pulmoner akut biasanya timbul dengan onset sesak napas pada istirahat,
tachynepa, tachycardia, dan hypoxemia berat. Rales dan wheezing akibat kompresi
saluran udara dari perbronchial cuffing dapat terdengar. Hipertensi biasanya terjadi
akibat pelepasan cathecolamine endogenous.
Kadang kala sulit untuk membedakan penyebab noncardiac atau cardiac pada edema
paru akut. Echocardiography dapat mengidentifikasi disfungsi ventrikel sistolik dan
diastolik dan lesi katup. Edema pulmoner terkait dengan ST elevasi dan Q wave yang
berubah yang biasanya diagnostic untuk infark myokard dan sebaiknya dilakukan
protocol infark myokard dengan segera dan terapi reperfusi arteri koroner. Kadar
brain natriuretic peptide, jika meningkat secara bermakna, mendukung gagal jantung
sebagai etiologu sesak napas akut dengan edema pulmoner .

Gejala Lainnya
Pasien dengan HF dapat pula datang dengan keluhan gastrointestinal. Anorexia,
nausea, dan perasaan penuh yang berkaitan dengan nyeri abdominal merupakan gejala
yang sering dikeluhkan dan dapat berkaitan dengan edema pada dinding usus dan/atau
kongesti hepar dan regangan kapsulnya yang dapat mengakibatkan nyeri pada
kuadran kanan atas. Gejala serebral, seperti disorientasi, gangguan tidur dan mood,
dapat pula diamati pada pasien dengan HF berat, terutama pasien lanjut usia dengan
arteriosclerosis serebral dan perfusi serebral yang menurun. Nocturia umum terjadi
pada HF dan dapat berperan dalam insomnia.

PEMERIKSAAN FISIS

Pemeriksaan fisis yang teliti selalu penting dalam mengevaluasi pasien dengan HF.
Tujuan pemeriksaan adalah untuk membantu menentukan penyebab daei HF, begitu
pula untuk menilai keparahan dari sindrom yang menyertai. Memperoleh informasi
tambahan mengenai keadaan hemodinamika dan respon terhadap terapi serta
menentukan prognosis merupakan tujuan tambahan lainnya pada pemeriksaan fisis.

Keadaan Umum dan Tanda Vital

Pada gagal jantung ringan dan moderat, pasien sepertinya tidak mengalami gangguan
pada waktu istirahat, kecuali perasaan tidak nyaman jika berbaring pada permukaan
yang datar dalam beberapa menit. Pada HF yang lebih berat, pasien harus duduk
dengan tegak, dapat mengalami sesak napas, dan kemungkinan tidak dapat
mengucapkan satu kalimat lengkap karena sesak yang dirasakan. Tekanan darah
sistolik dapat normal atau tinggi pada HF ringan, namun biasanya berkurang pada HF
berat, karena adanya disfungsi LV berat. Tekanan nadi dapat berkurang atau
menghilang, menandakan adanya penurunan stroke volume. Sinus takikardi
merupakan tanda nonspesifik disebabkan oleh peningkatan aktivitas adrenergik.
Vasokonstriksi perifer menyebabkan dinginnya ekstremitas bagian perifer dan
sianosis pada bibir dan kuku juga disebabkan oleh aktivitas adrenergik berlebih.

Vena Jugularis

Pemeriksaan vena jugularis memberikan informasi mengenai tekanan atrium kanan.


Tekanan vena jugularis paling baik dinilai jika pasien berbaring dengan kepala
membentuk sudut 45o. Tekanan vena jugularis dinilai dalam satuan cm H2O
(normalnya < 8 cm) dengan memperkirakan jarak vena jugularis dari bidang diatas
sudut sternal. Pada HF stadium dini, tekanan vena jugularis dapat normal pada waktu
istirahat namun dapat meningkat secara abnormal seiring dengan peningkatan tekanan
abdomen (abdominojugular reflux positif). Gelombang v besar mengindikasikan
keberadaan regurgitasi trikuspid.

Pemeriksaan pulmoner

Ronchi pulmoner (rales atau krepitasi) merupakan akibat dari transudasi cairan dari
ruang intravaskuler kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema pulmoner, rales dapat
terdengar jelas pada kedua lapangan paru dan dapat pula diikuti dengan wheezing
pada ekspirasi (cardiac asthma). Jika ditemukan pada pasien yang tidak memiliki
penyakit paru sebelumnya, rales tersebut spesifik untuk HF. Perlu diketahui bahwa
rales seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan HF kronis, bahkan dengan
tekanan pengisian LV yang meningkat, hal ini disebabkan adanya peningkatan
drainase limfatik dari cairan alveolar. Efusi pleura terjadi karena adanya peningkatan
tekanan kapiler pleura dan mengakibatkan transudasi cairan kedalam rongga pleura.
Karena vena pleura mengalir ke vena sistemik dan pulmoner, efusi pleura paling
sering terjadi dengan kegagalan biventrikuler. Walaupun pada HF efusi pleura
seringkali bilateral, namun pada efusi pleura unilateral yang sering terkena adalah
rongga pleura kanan

Pemeriksaan Jantung

Pemeriksaan pada jantung, walaupun esensial, seringkali tidak memberikan informasi


yang berguna mengenai tingkat keparahan HF. Jika kardiomegali ditemukan, maka
apex cordis biasanya berubah lokasi dibawah ICS V (interkostal V) dan/atau sebelah
lateral dari midclavicular line, dan denyut dapat dipalpasi hingga 2 interkosta dari
apex. Pada beberapa pasien suara jantung ketiga (S3) dapat terdengar dan dipalpasi
pada apex. Pasien dengan pembesaran atau hypertrophy ventrikel kanan dapat
memiliki denyut oarasternal yang berkepanjangan meluas hingga systole. S3 (atau
prodiastolic gallop) paling sering ditemukan pada pasien dengan volume overload
yang juga mengalami takikardi dan takipneu, dan seringkali menandakan gangguan
hemodinamika. Suara jantung keempat (S4) bukan indicator spesifik untuk HF namun
biasa ditemukan pada pasien dengan disfungsi diastolic. Bising pada regurgitasi mitral
dan tricuspid biasa ditemukan pada pasien dengan HF tahap lanjut.

Abdomen dan Ekstremitas

Hepatomegaly merupakan tanda penting pada pasien HF. Jika ditemukan, pembesaran
hati biasanya nyeri pada perabaan dan dapat berdenyut selama systole jika regurgitasi
trikuspida terjadi. Ascites sebagai tanda lajut, terhadi sebagai konsekuensi
peningkatan tekanan pada vena hepatica dan drainase vena pada peritoneum.
Jaundice, juga merupakan tanda lanjut pada HF, diakibatkan dari gangguan fungsi
hepatic akibat kongesti hepatic dan hypoxia hepatoseluler, dan terkait dengan
peningkatan bilirubin direct dan indirect.

Edema perifer merupakan manifestasi cardinal pada HF, namun namun tidak spesifik
dan biasanya tidak ditemukan pada pasien yang diterapi dengan diuretic. Edema
perifer biasanya sistemik dan dependen pada HF dan terjadi terutama pada daerah
Achilles dan pretibial pada pasien yang mampu berjalan. Pada pasien yang melakukan
tirah baring, edema dapat ditemukan pada daerah sacral (edema presacral) dan
skrotum. Edema berkepanjangan dapat menyebabkan indurasi dan pigmentasi ada
kulit.

Cardiac Cachexia
Pada kasus HF kronis yang berat, dapat ditandai dengan penurunan berat badan dan
cachexia yang bermakna. Walaupun mekanisme dari cachexia pada HF tidak
diketahui, sepertinya melibatkan banyak faktor dan termasuk peningkatan resting
metabolic rate; anorexia, nausea, dan muntah akibat hepatomegali kongestif dan
perasaan penuh pada perut; peningkatan konsentrasi sitokin yang bersirkulasi seperti
TNF, dan gangguan absorbsi intestinal akibat kongesti pada vena di usus. Jika
ditemukan, cachexia menandakan prognosis keseluruhan yang buruk.

Diagnosis

Diagnosis HF relatif tidak sulit jika pasien datang dengan gejala dan tanda klasik
untuk HF; akan tetapi, gejala dan tanda HF kebanyakan tidak spesifik dan tidak
sensitive. Karena hal tersebut, kunci untuk mendiagnosis adalah mempunyai tingkat
kecurigaan tinggi terutama pada pasien beresiko. Ketika pasien datang dengan gejala
dan tanda HF, pemeriksaan laboratorium penunjang sebaiknya dilakukan.

Pemeriksaan Laboratorium Rutin

Pasien dengan onset HF yang baru atau dengan HF kronis dan dekompensasi akut
sebaiknya melakukan pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urean
nitrogen (BUN), kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Pasien tertentu
sebaiknya memiliki pemeriksaan tertentu seperti pada Diabetes Mellitus (gula darah
puasa atau tes toleransi glukosa), dislipidemi (profil lipid), dan abnormaltas thyroid
( kadar TSH).

Elektrokardiogram (EKG)

Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah untuk
menilai ritme, menentukan keberadaan hypertrophy pada LV atau riwayat MI (ada
atau tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan
adanya disfungsi diastolic pada LV.

Radiology

Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan


bentuknya, begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi
penyebab nonkardiak pada gejala pasien. Walaupun pasien dengan HF akut memiliki
bukti adanya hipertensi pulmoner, edema interstitial, dan/atau edema puloner,
kebanyakan pasien dengan HF tidak ditemukan bukti-bukti tersebut. Absennya
penemuan klinis ini pada pasien HF kronis mengindikasikan adanya peningkatan
kapasitas limfatik untuk membuang cairan interstitial dan/atau cairan pulmoner
Penilaian fungsi LV

Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi, dan


menangani HF. Pemeriksaan paling berguna adalah echocardiogram 2D/ Doppler,
dimana dapat memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi LV
begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada katup dan/atau
pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan dilatasi
atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas pada pengisian
diastolic pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai HF
dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-D/Doppler juga bernilai untuk menilai
ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana sangat penting dalam evaluasi
dan penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga memberikan analisis komprehensif
terhadap anatomi jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa
dan volume LV.

Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF (stroke volume dibagi
dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah diukur dengan pemeriksaan
noninvasive dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan ini diterima secara luas oleh para
ahli. Sayangnya, EF memiliki beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas,
karena EF dipengaruhi oleh perubahan pada afterload dan/atau preload. Sebagai
contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral sebagai akibat ejeksi darah ke
dalam atrium kiri yang bertekanan rendah. Walaupun demikan, dengan pengecualian
jika EF normal (> 50%), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan jika EF berkurang
secara bermakna (<30-40%),>

Biomarker

Kadar peptide natriuretik yang bersirkulasi berguna sebagai alat tambahan dalam
diagnosis HF. Baik B-type natriuretic peptide dan N-terminal pro-BNP, yang
dikeluarkan dari jantung yang mengalami kerusakan, merupakan marker yang relative
sensitif untuk menentukan keberadaan HF dengan EF yang rendah; peptide ini juga
meningkat pada pasien HF dengan EF yang normal, walaupun dengan kadar yang
lebih sedikit. Namun demikian, penting untuk diketahui bahwa kadar peptide
natriuretik juga meningkat seiring umur dan dengan gangguan ginjal, lebih meningkat
pula pada wanita, dan dapat meningkat pada HF kanan dari penyebab apapun. Kadar
ini dapat terlihat lebih rendah pada pasien obesitas dan kadarnya dapat normal pada
beberapa pasien setelah pengobatan yang tepat dijalani. Konsentrasi peptide
natriuretik yang normal pada pasien yang tidak ditangani sangat bermanfaat untuk
menyingkirkan diagnosis HF. Biomarker lainnya seperti troponon T dan I, C-reactive
protein, reseptor TNF, dan asam urat, dapat meningkat pada HF dan memberikan
informasi penting mengenai prognosis. Pemeriksaan berkala dari salah satu (atau
lebih) biomarker tersebut sangat membantu untuk mengarahkan terapi pada HF,
namun tidak dianjurkan untuk tujuan ini.

Pemeriksaan latihan
Treadmill atau latihan bersepeda tidak rutin dianjurkan pada pasien HF, namun
bermanfaat untuk menilai perlunya transplantasi kardiak pada pasien dengan HF
berat. peak oxygen uptake (VO2) <14>O2 <14>

Differensial Diagnosis
HF menyerupai namun harus dapat dibedakan dengan (1) keadaan dimana kongesti
sirkulasi disebabkan oleh retensi air dan garam yang abnormal tetapi tidak terdapat
kelainan pada struktur atau fungsi jantung (mis. pada gagal ginjal) dan (2) penyebab
nonkardiak terhadap kejadian edema pulmoner (mis. syndrome distress pernapasan
akut . Pada kebanyak pasien yang datang dengan tanda dan gejala khas untuk HF,
diagnosis relative tidak sulit. Namun, bahkan ahli berpengalaman memiliki kesulitan
untuk membedakan antara sesak napas akibat jantung atau pulmoner. Untuk hal ini,
pencitraan jantung noninvasif, biomarker, fungsi pulmoner, dan pemeriksaan
radiology dapat berguna. Kadar BNP atau N terminal pro-BNP yang sangat rendah
membantu menyingkirkan penyebab jantung pada sesak napas. Edema engkel dapat
timbul akibat varises vena, obesitas, penyakit ginjal, dan efek gravitasi. Ketika HF
terjadi pada pasien dengan EF yang normal, sulit untuk menentukan apakah sesak
napas akibat kontribusi HF atau akibat penyakit paru kronis dan/atau obesitas.

Penatalaksanaan Gagal Jantung

HF sebaiknya dipandang sebagai suatu seri yang terdiri dari 4 stadium yang saling
berkaitan. Stadium A termasuk pasien dengan resiko tinggi terkena HF namun tanpa
gangguan structural jantung atau gejala HF (pasien diabetes mellitus atau hipertensi).
Stadium B termasuk pasien yang memiliki gangguan structural pada jantung namun
tanpa gejala HF (misal. pasien dengan riwayat MI dan disfungsi LV asimptomatis).
Stadium C termasuk pasien yang memiliki gangguan structural pada jantung dan
memiliki gejala HF yang berkembang (misal. pasien dengan riwayat MI dengan sesak
napas dan kelemahan ). Stadium D termasuk pasien dengan HF refrakter yang
membutuhkan intervensi khusus (pasien dengan HF refrakter yang membutuhkan
transplantasi jantung). Pada seri ini, setiap usaha sebaiknya dilakukan untuk
mencegah HF, tidak hanya dengan menangani penyebab HF yang dapat dicegah
(hipertensi) namun dengan mengatasi pasien pada stadium B dan stadium C dengan
obat yang mencegah progresi penyakit ini (mis. ACE inhibitor dan beta blocker) dan
dengan penanganan simptomatik pasien pada stadium D.

Menentukan Strategi Terapi yang Tepat untuk HF Kronis.

Setelah pasien mengalami perkembangan kerusakan structural jantung, terapi


berganrung terhadap klasifikasi fungsional NYHA (Tabel 2). Walaupun sistem
klasifikasi ini diketahui bersifat subjektif dan memiliki variabilitas yang besar antar
pengamat, klasifikasi ini sudah lama digunakan dan berlanjut diterima secara luas
untuk aplikasi pada pasien HF. Untuk pasien dengan disfungsi sistolik LV namun
tetap bertahan asimptomatis (class I), tujuan terapi sebaiknya untuk memperlambat
progresi penyakit dengan memblokir sistem neurohormon yang menyebabkan
remodeling jantung. Untuk pasien dengan gejala yang telah berkembang (class II-IV),
tujuan terapi utama adalah untuk meringankan retensi cairan, mengurangi disabilitas,
dan menurunkan resiko dari progresi penyakit dan kematian. Tujuan ini biasanya
membutuhkan strategi yang mengkombinasikan diuretic (untuk mngendalikan retensi
air dan garam) disertai dengan intervensi neurohormonal (untuk meminimalisir
remodeling jantung).
Tabel 2. Klasifikasi New York Heart Association
Kapasitas Fungsional Penilaian Objektif
Class I Pasien dengan penyakit jantung namun tanpa keterbatasan
pada aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan
keletihan, palpitasi, sesak, atau nyeri anginal
Class II Pasien dengan penyakit jantung yang menyebabkan
keterbatasan aktivitas fisik ringan. Pasien merasa nyaman
pada waktu istirahat. Aktivitas fisik biasa mengakibatkan
kelemahan, palpitasi, sesak, atau nyeri anginal.
Class III Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan
keterbatasan bermakna pada aktivitas fisik. Pasien merasa
nyaman pada waktu istirahat. Aktivitas fisik yang lebih
ringan dari biasanya menyebabkan keletihan, palpitasi,
sesak, dan nyeri anginal..
Class IV Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk menjalani aktivitas fisik apapun
tanpa rasa tidak nyaman. Gejala gagal jantung atau sindroma
angina dapat dialami bahkan pada saat istirahat. Jika
aktivitas fisik dilakukan, maka rasa tidak nyaman semakin
meningkat.
Sumber: Adaptasi dari New York Heart Association, Inc., Diseases of the Heart and Blood Vessels:
Nomenclature and Criteria for Diagnosis, 6th ed. Boston, Little Brown, 1964, p. 114.

Penatalaksanaan HF dengan Fraksi Ejeksi Menurun (<40%)>

Pemeriksaan Umum

Klinisi, dalam pemeriksaan, sebaiknya bertujuan untuk mengskrining dan menangani


komorbiditas tertentu seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus,
anemia, dan gangguan pernapasan pada saat tidur, dimana keadaan ini cenderung
mengawali eksaserbasi HF. Pasien HF sebaiknya dianjurkan untuk berhenti atau
mengurangi merokok dan konsumsi alcohol. Temperatur ekstrim dan aktivitas fisik
berlebih sebaiknya dihidari. Obat tertentu yang dapat memperburuk HF (Tabel 3)
sebaiknya dihindari. Sebagai contoh, nonsteroidal anti inflammatory drugs (NSAID),
termasuk cyclooxygenase 2 inhibitor tidak dianjurkan pada pasien dengan HF kronis
karena resiko gagal ginjal dan retensi cairan dapat meningkat secara bermakna dalam
keadaan fungsi renal yang terganggu atau dalam terapi ACE inhibitor. Pasien
sebaiknya diberikan imunisasi influenza atau pneumococcus untuk mencegah infeksi
respirasi. Penting pula memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai
HF, pentingnya pola makan yang tepat, dan pentingnya pemberian regimen obat yang
teratur. Pengawasan pasien rawat jalan oleh perawat atau asisten dokter dan/atau pada
klinik khusus HF terbukti bermanfaat, terutama pada pasien dengan penyakit yang
berat.

Tabel 3. Faktor yang Dapat Memicu Dekompensasi Akut Pada Pasien dengan
Gagal Jantung Kronis
Pola diet yang tidak dianjurkan
Iskemia Myokard/ Infark Myokard
Arrhythmia (tachycardia atau bradycardia)
Penghentian terapi HF
Infeksi
Anemia
Pemberian obat yang memperburuk HF

- Calcium antagonists (verapamil, diltiazem)

- Beta blockers

- Nonsteroidal anti-inflammatory drugs

- Antiarrhythmic agents [semua agen kelas 1, sotalol (kelas III)]

- Anti-TNF antibodies
Konsumsi Alkohol
Kehamilan
Hipertensi yang memburuk
Insufisiensi valvular akut

Aktivitas

Walaupun aktivitas fisik berat tidak dianjurkan pada HF, suatu latihan rutin ringan
terbukti bermanfaat pada pasien HF dengan NYHA kelas I-III. Pasien euvolemik
sebaiknya didorong untuk melakukan latihan rutin isotonic seperti jalan atau
mengayuh sepeda ergometer statis, yang dapat ditoleransi. Beberapa penelitian
mengenai latihan fisik memberikan hasil yang positif dengan berkurangnya gejala,
meningkatkan kapasitas latihan, dan memperbaiki kualitas dan durasi kehidupan.
Manfaat pengurangan berat badan dengan restriksi intake kalori belum diketahui
secara jelas

Diet

Diet rendah garam (2-3 g per hari) dianjurkan pada semua pasien HF (baik dengan
penurunan EF maupun EF yang normal). Restriksi lebih lanjut (<2g
name="2902141"> simtomatik karena kurangnya bukti manfaat dan berpotensi untuk
interaksi negative dengan terapi HF.

Diuretik

Kebanyakan dari manifestasi klinik HF sedang hingga berat diakibatkan oleh retensi
cairan yang menyebabkan ekspansi volume dan gejala kongestif. Diuretik (Tabel 4)
adalah satu-satunya agen farmakologik yang dapat mengendalikan retensi cairan pada
HF berat, dan sebaiknya digunakan untuk mengembalikan dan menjaga status volume
pada pasien dengan gejala kongestif (sesak napas, orthopnea, dan edema) atau tanda
peningkatan tekanan pengisian (rales, distensi vena jugularis, edema perifer).
Furosemide, torsemide, dan bumetanide bekerja pada loop of Henle (loop diuretics)
dengan menginhibisi reabsorbsi Na+, K+,dan Cl – pada bagian asendens pada loop of
henle; thiazide dan metolazone mengurangi reabsorbsi Na+ dan Cl- pada bagian awal
tubulus kontortus distal, dan diuretic hemat kalium seperti spironolakton bekerja pada
tingkat duktus koligens.
Walaupun semua diuretic meningkatkan eksresi sodium dan volume urin, diuretic
memiliki potensi dan famakologik yang beragam. Loop diuretic meningkatkan eksresi
fraksional sodium hingga 20-25%, sedangkan thiazide hanya 5-10% dan cenderung
berkurang efektivitasnya pada pasien dengan insufisiensi renal moderat atau berat
(creatinin ?2. mg/dl). Sehingga, loop diuretic biasanya dibutuhkan untuk
mengembalikan status volume pasien HF. Diuretik sebaiknya dimulai dengan dosis
rendah (Tabel 4) dan kemudian ditingkatkan secara perlahan lahan untuk
meringankan tanda dan gejala overload cairan. Hal ini biasanya membutuhkan
penyesuaian dosis berulang selama beberapa hari pada pasien dengan overload cairan
berat. Pemberian intravena dapat penting untuk meringankan kongesti akut dan aman
digunakan pada keadaan rawat jalan. Setelah gejala kongesti diringankan, pemberian
diuretic sebaiknya tetap dilanjutkan untuk menghindari rekurensi dari retensi air dan
garam

Diuretik memiliki potensi untuk menyebabkan berkurangnya volume dan elektrolit,


begitu pula dengan memperburuk azotemia. Sebagai tambahan, diuretik dapat
memperburuk aktivasi neurohormonal dan progresi penyakit. Satu efek samping
diuretik yang paling penting adalah perubahan homeostatis potassium (hipokalemia
atau hyperkalmei), yang akan meningkatkan resiko arrhythmia. Pada umumnya, baik
loop diuretik maupun thiazid dapat menyebabkan hypokalemia, sedangkan
spironolacton, eplerenone, dan triamterene menyebabkan hyperkalemia.

ACE Inhibitor (ACEI)

Terdapat banyak bukti yang menyatakan bahwa ACE inhibitor sebaiknya digunakan
pada pasien simptomatis dan asimptomatis dengan EF menurun. ACE inhibitor
mempengaruhi sistem rennin-angiotensin dengan menginhibisi enzyme yang berperan
terhadap konversi angiotensin menjadi angiotensin II. Tidak hanya itu, karena ACE
inhibitor (ACEI) juga dapat menghambat kininase II, sehingga dapat mengakibatkan
peningkatan bradykinin, yang akan meningkatkan efek bermanfaat dari supresi
angiotensin. ACEI menstabilkan LV remodeling, meringankan gejala, mengurangi
kemungkinan opname, dan memperpanjang harapan hidup. Karena retensi cairan
dapat menurunkan efek ACEI, dianjurkan untuk diberikan diuretic sebelum memulai
terapi ACEI. Akan tetapi, penting untuk mengurangi dosis diuretic selama awal
pemberian ACEI dengan tujuan mengurangi kemungkinan hipotensi simptomatik.
ACEI sebaiknya dimulai dengan dosis rendah, diikuti dengan peningkatan dosis
secara bertahap jika dosis rendah dapat ditoleransi.
Gambar 3. Algoritme penatalaksanaan Gagal Jantung Kronispada pasien dengan
penurunan fraksi ejeksi. Setelah diagnosis klinis HF ditegakkan, penting untuk
menangani retensi cairan sebelum memulai terapi ACEI (atau ARB jika pasien
intoleran terhadap ACEI). Βeta-blocker sebaiknya dilakukan jika retensi cairan telah
ditangani dan/atau dosis ACEI telah ditingkatkan. Jika pasien masih bergejala, ARB,
antagonis aldosteron, atau digoxin dapat diberikan sebagai “triple therapy”. Terapi
alat sebaiknya dipertimbangkan dengan pemberian farmakologik yang tepat pada
pasien. ACEI, angiotensin-converting enzyme inhibitor; ARB, angiotensin receptor
blocker; NYHA, New York Heart Association; CRT, cardiac resynchronization
therapy; ICD, implantable cardiac defibrillator.

Efek samping yang kebanyakan terjadi berkaitan dengan supresi sistem renin
angiotensin. Penurunan tekanan darah dan azotemia ringan dapat terjadi selama
pemberian terapi dan biasanya ditoleransi dengan baik sehingga dosis tidak perlu
diturunkan. Akan tetapi, jika hipotensi diikuti dengan rasa pusing atau disfungsi renal
menjadi lebih berat, maka penting untuk menurunkan dosisnya. Pada retensi
potassium yang tidak berespon dengan diuretic, dosis ACE juga perlu diturunkan.

Angiotensin Receptor Blocker (ARB)

Obat ini ditoleransi dengan baik pada pasien yang tidak dapat diberikan ACE karena
batuk, rash kulit, dan angioedema. Walaupun ACEI dan ARB menghambat sistem
rennin-angiotensin, kedua golongan obat ini bekerja dalam mekanisme yang berbeda.
ACEI memblokir enzim yang berperan dalam mengkonversi angiotensin I menjadi
angiotensin II, ARB memblokir efek angiotensin II pada reseptor angiotensin tipe I.
Beberapa penelitian klinik menunjukkan manfaat terapeutik dari penambahan ARB
pada terapi ACEI pada pasien HF kronis.

Baik ACE inhibitor maupun ARBs memiliki efek serupa terhadap tekanan darah,
fungsi ginjal, dan potassium. Sehingga efek samping kedua obat tersebut serupa pula.

β-Adrenergic Receptor Blockers

Terapi Beta blocker menunjukkan kemajuan utama dalam penanganan pasien dengan
penurunan EF. Obat ini mempengaruhi efek berbahaya dari aktivasi sistem adrenergic
yang berkepanjangan dengan secara kompetitif memblokir satu atau lebih reseptor
adrenergik (α1, β1, and β2). Walaupun terdapat manfaat potensial dalam memblokir
tiga reseptor ini, kebanyakan efek penurunan aktivasi adrenergic dimediasi oleh
reseptor β1. Jika diberikan bersamaan dengan ACEI, beta blocker menghambat proses
LV remodeling, meringankan gejala pasien, mencegah opname, dan memperpanjang
harapan hidup. Maka dari itu beta blocker diindikasikan pada pasien HF simptomatik
atau asimptomatik dengan EF menurun (<40%)>

Seperti dengan pemakaian ACEI, beta blocker juga sebaiknya dimulai dalam dosis
rendah, diikuti dengan peningkatan dosis secara gradual jika dosis rendah telah dapat
ditoleransi. Dosis beta blocker sebaiknya ditingkatkan hingga dosis yang terbukti
efektif pada suatu penelitian klinis (Tabel 4). Namun, tidak seperti ACEI, dimana
dapat ditingkatkan secara cepat, penyesuaian dosis beta blocker sebaiknya tidak lebih
cepat dari interval 2 minggu, karena dosis inisiasi dan/atau peningkatan dosis agen ini
dapat memperburuk retensi cairan akibat berkurangnya dukungan adrenergic pada
jantung dan sirkulasi. Maka dari itu, penting untuk mengoptimalkan dosis diuretic
sebelum memulai terapi beta blocker. Peningkatan retensi cairan biasanya dapat
diatasi dengan penambahan dosis diuretic. Pada beberapa pasien, dosis beta blocker
perlu diturunkan.

Efek samping dari beta bloker biasanya terkait dengan komplikasi yang timbul dari
penurunan sistem saraf adrenergic. Reaksi ini umumnya terjadi beberapa hari setelah
permulaan terapi dan biasanya responsive setelah dosis dikurangi. Terapi betabloker
dapat menyebabkan bradykardia dan/atau eksaserbasi heart block. Maka dari itu, dosis
beta blocker sebaiknya diturunkan jika heart rate menurun hingga <50>1 receptor
yang dapat mengakibatkan efek vasodilatasi.

Antagonis Aldosteron

Walaupun dikategorikan sebagai diuretic hemat kalium, obat yang memblokir efek
aldosteron (spironolakton atau eplerenon) memiliki efek bermanfaat yang independent
dari efek keseimbangan sodium. Walaupun ACEI dapat menurunkan sekresi
aldosteron secara transient, dengan terapi jangka panjang, kadar aldosteron akan
kembali seperti sebelum terapi ACEI dilakukan. Maka dari itu, pemberian antagonis
aldosteron dianjurkan pada pasien dengan NYHA kelas III atau kelas IV yang
memiliki EF yang menurun (<35%)>

Permasalahan utama pemberian antagonis aldosteron adalah peningkatan resiko


hyperkalemia, dimana lebih cenderung terjadi pada pasien yang menerima terapi
suplemen potassium atau mengalami insufisiensi renal sebelumnya. Antagonis
aldosteron tidak direkomendasikan jika kreatinin serum >2.5 mg/dL (atau klirens
kreatinin <30>5.0 mmol/L.

Terapi Antikoagulan dan Antiplatelet

Pasien HF memiliki peningkatan resiko terjadinya kejadian thromboembolik. Pada


penilitan klinis, angka kejadian stroke mulai dari 1,3 hingga 2,4% per tahun.
Penurunan fungsi LV dipercaya mengakibatkan relative statisnya darah pada ruang
kardiak yang berdilatasi dengan peningkatan resiko pembentukan thrombus.
Penatalaksanaan dengan warfarin dianjurkan pada pasien dengan HF, fibrilasi atrial
paroxysmal, atau dengan riwayat emboli sistemik atau pulmoner, termasuk stroke atau
transient ischemic attack (TIA). Pasien dengan iskemik kardiomyopati simptomatik
atau asimptomatik dan memiliki riwayat MI dengan adanya thrombus LV sebaiknya
diatasi dengan warfarin dengan permulaan 3 bulan setelah MI, kecuali terdapat
kontraindikasi terhadap pemakaiannya.

Aspirin direkomendasikan pada pasien HF dengan penyakit jantung iskemik untuk


menghindari terjadinya MI dan kematian. Namun, dosis rendah aspirin (75 atau 81
mg) dapat dipilih karena kemungkinan memburuknya HF pada dosis lebih tinggi.

Penatalaksanaan HF dengan Fraksi Ejeksi Normal (>40%)

Walaupun banyaknya informasi yang berkaitan dengan evaluasi dan pentalaksanaan


HF dengan EF yang menurun, tidak ditemukan agen farmakologis atau terapi alat
untuk penatalaksanaan pasien dengan HF dengan EF yang normal. Sehingga,
dianjurkan untuk memulai usaha penatalaksanaan pada proses penyakit penyebab
(mis. iskemia myokard, hipertensi) yang berkaitan dengan HF dengan EF yang
normal. Faktor pemicu seperti takikardi atau atrial fibrilasi, sebaiknya ditangani
sesegera mungkin melalui pengendalian dan restorasi ritme sinus. Sesak napas dapat
ditangani dengan mengurangi volume darah total (diet rendah garam dan diuretic),
mengurangi volume darah sentral (nitrat), atau mengurangi aktivasi neurohormonal
dengan ACEI, ARB, dan/atau beta blocker. Penanganan dengan diuretic dan nitrat
sebaiknya dimulai dengan dosis rendah untuk menghindari hipotensi. s tachycardia or
atrial fibrillation, should be treated as quickly as possible through rate control and
restoration of sinus rhythm when appropriate. Dyspnea may be treated by reducing
total blood volume (dietary sodium restriction and diuretics), decreasing central blood
volume (nitrates), or blunting neurohormal activation with ACE inhibitors, ARBs,
and/or beta blockers. Treatment with diuretics and nitrates should be initiated at low
doses to avoid hypotension and fatigue.

Menentukan Strategi Penatalaksanaan untuk HF Akut

Tujuan terapeutik dari penatalaksanaan HF akut adalah untuk (1) memperbaiki


stabilisasi hemodinamika yang terganggu yang menyebabkan munculnya gejala (2)
mengidentifikasi dan menangani faktor reversible yang mempresipitasi
dekompensasi , dan (3) menentukan regimen farmakologis efektif untuk pasien rawat
jalan yang akan mencegah perkembangan penyakit dan relaps. Pada beberapa
keadaan, HF akut membutuhkan opname, dan seringkali dengan setting ICU. Setiap
usaha sebaiknya diambil untuk mengidentifikasi penyebab pemicu, seperti infeksi,
arrhymia, tidak disiplinnya diet, emboli pulmoner, endocarditis infektif,
iskemia/infark myokard samar, dan stress lingkungan dan emosional (Tabel 3), karena
menangani kejadian pemicu ini sangat penting dalam penatalaksanaan

Terdapat 2 petanda hemodinamika primer terhadap HF akut yaitu peningkatan


tekanan pengisian LV dan penurunan kardiak output. Seringkali, penurunan cardiac
output diikuti oleh peningkatan systemic vascular resisteance (SVR) sebagai akibat
adanya aktivasi neurohormonal berlebihan. Karen kerusakan hemodinamika ini dapat
terjadi sendiri atau bersamaan, pasien dengan HF akut biasanya datang dengan satu
dari empat dasar profil hemodinamika : tekanan pengisian LV normal (Profil A),
peningkatan tekanan pengisian LV dengan perfusi normal (Profil B), Peningkatan
tekanan pengisian LV dengan penurunan perfusi (Profil C) dan tekanan pengisian LV
normal atau rendah dengan penurunan perfusi (Profil D)

Maka dari itu, pendekatan terapeutik pada pasien dengan HF akut sebaiknya
disesuaikan dengan keadaan hemodinamika pasien. Tujuannya sebaiknya, jika
memungkinkan, merestorasi profil hemodinamika pasien (Profil A). Pada beberapa
keadaan, kondisi hemodinamika pasien dapat diperkirakan melalui pemeriksaan
klinis. Sebagai contoh, pasien dengan tekanan pengisian LV yang meningkat dapat
memberikan gejala retensi cairan (ronchi, elevasi vena jugular, dan edema perifer)
dan dikatakan sebagai “basah” sedangkan pasien dengan cardiac output yang menurun
dan dengan peningkatan SVR biasanya memiliki perfusi jaringan yang buruk dan
bermanifestasikan dinginnya ekstremitas distal sehingga dikatakan sebagai “dingin”.
Namun, perlu ditekankan bahwa pasien dengan gagal jantung kronis mungkin saja
tidak ditemukan ronchi atau adanya edema perifer pada kunjungan pertama dengan
dekompensasi akut, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan pengisian tidak
terdeteksi. Pada pasien seperti ini, lebih tepat untuk dilakukan pemeriksaan
hemodinamika secara invasive.

Pasien yang tidak mengalami kongesti dan mempunyai perfusi jaringan yang normal
dikatakan sebagai “kering” dan “hangat”. Jika pasien HF akut masuk RS dengan
profil A, maka gejalanya seringkali akibat keadaan diluar penyebab HF (mis. penyakit
pulmoner atau hati, atau transient myocardial ischemia). Akan tetapi, pasien HF akut
lebih sering datang dengan gejala kongestif yang “hangat dan basah” (Profil B),
dimana penatalaksanaan tekanan pengisian dengan diuretic dan vasodilator diperlukan
untuk menurunkan tekanan pengisian LV. Profil B termasuk kebanyakan pasien
dengan edema pulmoner akut.
Pasien dapat pula datang dengan gejala kongesti dan dengan pengingkatan SVR yang
bersifat “dingin dan basah” (Profil C). Pada pasien ini, cardiac output dapat
meningkat dan tekanan pengisian LV diturunkan dengan menggunakan vasodilator
intravena. Agen inotropik intravena dengan kerja vasodilatasi (dobuthamin, dopamine
dosis rendah, milrinone ) memperbaiki cardiac output dengan menstimulasi
kontraktilitas myokard sehingga meringankan fungsi jantung.

Pasien yang datang dengan profil L (“dingin dn kering”) sebaiknya dievaluasi secara
teliti dengan menggunakan katerisasi jantung-kanan untuk melihat keberadaan dari
peningkatan tekanan pengisian LV yang samar. Jika tekanan pengisian LV rendah
(Pulmonary capillary wedge pressure [PCWP] <12>Tujuan terapi berikutnya
bergantung dari kondisi klinis. Terapi yang mencapai target yang telah dikatakan
sebelumnya mungkin tidak dapat lakukan pada beberapa pasien, terutama bila mereka
memiliki disfungsi RV atau mengalami sindrom cardiorenal, dimana fungsi ginjal
menurun selama diuresis agresif. Memburuknya fungsi ginjal terjadi pada sekitar 25%
pasien yang diopname dengan HF dan berkaitan dengan opname yang lebih lama dan
peningkatan mortalitas setelah pemulangan.

Penatalaksanaan Farmakologik untuk HF Akut

Vasodilator

Selain diuretic, vasodilator intravena adalah pengobatan paling berguna untuk HF


akut. Dengan menstimulasi guanylyl cyclase dalam sel otot halus; nitroglycerin,
nitroprusside, dan nesiritida menghasilkan efek dilatasi pada resistensi arterial dan
venous capacity pada pembuluh darah, sehingga menurunkan tekanan pengisian LV,
penurunan mitral regurgitasi, dan memperbaiki cardiac output, tanpa meningkatkan
heart rate atau menyebabkan arrhythmia.

Nitroglycerin intravena biasanya dimulai pada dosis 20 µg/menit dan ditingkatkan


hingga 20 µg sampai gejala pasien meringan atau PCWP menurun hingga 16 mmHg
tanpa menurunkan tekanan darah sistolik dibawah 80 mmHg. Efek samping yang
paling sering terjadi dari nitrat oral dan intravena adalah sakit kepala, dimana, jika
ringan, dapat diatasi dengan analgesik dan sering berkurang seiring dengan
perlangsungan terapi.

Nitroprusside biasanya dimulai dengan dosis 10 µg/menit dan ditingkatkan 10-20 µg


tiap 10–20 menit jika ditoleransi, dengan tujuan hemodinamika yang sama dengan
yang telah dijelaskan diatas. Kecepatan dari onset dan offset, dengan paruh waktu
kira-kira sekitar 2 menit, memfasilitasi kadar optimal vasodilatasi pada pasien di ICU.
Keterbatasan utama dari nitroprusside adalah efek samping dari sianida, yang
bermanifestasi umumnya pada gastrointestinal dan sistem saraf. Sianida sepertinya
paling sering beakumulasi pada perfusi hepar yang berat dan penurunan fungsi
hepatik akibat cardiac output rendah, dan sepertinya sering terjadi pada pasien yang
mendapatkan >250 µg/menit selama 48 jam. Toksisitas sianida dapat diatasi dengan
penurunan atau penghentian infus nitroprusside. Pemakaian jangka panjang (> 48
jam) terkait dengan toleransi hemodinamik.

Nesiritide, vasodilator terbaru, merupakan rekombinan dari brain type natriuretic


peptide (BNP), yang merupakan peptide endogenous yang disekresi utamanya pada
LV sebagai respon peningkatan tekanan dinding. Nesiritide diberikan sebagai bolus (2
µg/kg) diikuti dengan infus dosis tetap (0.01–0.03 µg/kg per menit). Nesiritide efektif
menurunkan tekanan pengisian LV dan meringankan gejala selama pengobatan HF
akut. Sakit kepala lebih jarang terjadi pada nesiritide dibandingkan nitroglycerin.
Walaupun disebut sebagai natriuretic peptide, nesiritide tidak pernah menyebabkan
diuresis jika digunakan sendiri pada suatu penelitian klinik. Akan tetapi, sepertinya
memiliki efek positif terhadap kerja pengobatan diuretik jika diberikan bersamaan,
sehingga jumlah dosis diuretik yang dibutuhkan dapat diturunkan

Hipotensi merupakan efek samping yang paling sering terjadi pada ketiga agen
vasodilatasi tersebut, walaupun nesiritide dianggap yang paling kurang efeknya.
Hipotensi biasanya terkait dengan bradykardia, terutama dengan penggunaan
nitroglycerin. Ketiga obat tersebut dapat menyebabkan vasodilatasi arteri pulmoner,
dimana dapat memperburuk hypoxia pada pasien dengan abnormalitas ventilasi-
perfusi.

Agen Inotropic

Agen inotropik positif menghasilkan manfaat hemodinamika langsung dengan


menstimulasi kontraktilitas kardiak, dan secara bersamaan menyebabkan vasodilatasi
perifer. Efek hemodinamika ini secara bersamaan menghasilkan perbaikan pada
cardiac output dan penurunan tekanan pengisian pada LV.

Dobutamine, merupakan agen inotropik yang paling sering digunakan pada


penatalaksanaan HF akut, efek kerjanya dengan menstimulasi reseptor β1 and β2
dengan sedikit efek pada reseptor α1. Dobutamine diberikan sebagai infuse
berkelanjutan, dengan dosis infuse permulaan sebesar 1–2 µg/kg permenit. Dosis
lebih tinggi (>5 µg/kg per menit) biasanya diperlukan pada hipoperfusi berat; akan
tetapi, terdapat sedikit penambahan manfaat jika dosis ditingkatkan diatas 10 µg/kg
per menit. Pasien yang diinfus selama lebih dari 72 jam biasanya mengalami
tachyphylaxis dan biasanya dosis perlu ditingkatkan.

Milrinone merupakan suatu inhibitor phosphodiesterase III yang menyebabkan


peningkatan cAMP dengan meninhibisi katabolismenya. Milrinone dapat bekerja
secara sinergis dengan β-adrenergic agonists untuk mendapatkan peningkatan cardiac
output lebih tinggi dibandingkan jika pemakaian agen tersebut diberikan tersendiri,
dan kemungkinan lebih efektif dibandingkan dengan dobutamin dalam meningkatkan
cardiac output dengan keberadaan beta blocker. Milrinone dapat diberikan dengan
cara bolus 0.5 µg/kg per menit, diikuti dengan dosis infuse sebesar 0.1–0.75 µg/kg per
menit. Karena milrinone merupakan vasodilator yang lebih efektif dibandingkan
dobutamin, obat ini lebih menurunkan tekanan pengisian LV walaupun dengan resiko
hipotensi yang lebih besar.

Walaupun penggunaan jangka pendek inotrop memberikan manfaat hemodinamika,


agen ini lebih cenderung mengakibatkan tachyarrhythmia dan kejadian iskemik
dibandingkan vasodilator. Sehingga inotrop lebih tepat digunakan pada keadaan klinis
dimana vasodilator dan diuretic tidak membantu, seperti pasien dengan perfusi
sistemik yang buruk dan/atau shock cardiogenic, pada pasien yang membutuhkan
dukungan hemodinamika jangka pendek pada infark myokard atau operasi, dan pada
pasien persiapan transplantasi jantung atau sebagai perawatan paliatif pada pasien HF
berat. Jika pasien membutuhkan penggunaan inotrop yang berkesinambungan, sangat
dipertimbangkan untuk diberikan dalam keadaan ICU karena efek proarrhytmia pada
agen tersebut.

Vasokonstriktor

Vasokontstriktor digunakan untuk mendukung tekanan darah sistemik pada pasien


dengan HF. Dari ketiga agen yang biasanya sering digunakan (Tabel 5), dopamine
merupakan pilihan pertama untuk terapi pada situasi dimana inotropy dan dukungan
pressor dibutuhkan. Dopamin merupakan cathecolamine endogen yang menstimulasi
reseptor β1, α1, dan reseptor dopaminergik (DA1 dan DA2) pada jantung dan
sirkulasi. Efek dopamine bergantung pada dosisnya. Dosis dopamine rendah (<2>1
dan DA2 dan menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh splanchnic dan renal. Dosis
Moderat (2–4 µg/kg per menit) menstimulasi reseptor β1 dan meningkatkan cardiac
output dengan sedikit perubahan pada heart rate atau SVR. Pada dosis yang lebih
tinggi (< 5 µg/kg per menit) efek dopamine pada reseptor α1 menyaingi reseptor
dopaminergik dan vasokonstriksi terjadi, menyebabkan peningkatan SVR, tenakan
pengisian LV, dan heart rate.

Dopamine juga menyebabkan pelepasan norepinephrin dari terminal saraf, dimana


akan menstimulasi reseptor α1 andβ 1 sehingga, meningkatkan tekanan darah.
Dopamine merupakan terapi paling berguna pada pasien HF dengan cardiac output
yang rendah dengan perfusi jaringan yang buruk (Profil C). Tambahan signifikan
inotropic dan dukungan tekanan darah dapat diberikan dengan epinephrine,
phenylepinephrin, dan vasopressin (Tabel 5); akan tetapi pemakaian berkepanjangan
dapat menyebabkan kegagalan hati dan ginjal dan dapat menyebabkan gangrene pada
ekstremitas. Sehingga, agen ini tidak diberikan kecuali pada keadaan darurat.

Intervensi Mekanik dan Operasi

Jika intervensi farmakologik gagal menstabilkan pasien dengan HF refrakter maka


intervensi mekanis dan invasive dapat memberikan dukungan sirkulasi yang lebih
efektif. Terapi ini termasuk intraaortic balloon counter pulsation, alat bantuan LV, dan
transplantasi jantung.

Anda mungkin juga menyukai