Anda di halaman 1dari 19

REFLEKSI KASUS September 2017

MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN FRAKTUR FEMUR


DENGAN TINDAKAN OPEN REDUCTION INTERNAL
FIXATION DI RSUD UNDATA

Disusun Oleh :
Nama : SITI MARWA, S.Ked
No. Stambuk : N 111 17 016
Pembimbing : dr. SALSIAH HASAN, Sp.An

BAGIAN ANESTESI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai


tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Adapun definisi
ilmu anestesi dan reanimasi saat ini adalah cabang ilmu kedokteran yang
mempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa, baik rasa nyeri, takut dan rasa
tidak nyaman serta ilmu yang mempelajari tatalaksana untuk menjaga dan
mempertahankan hidup dan kehidupan pasien selama mengalami kematian akibat
obat anestesi. Anestesi pada semua pasien yang dilakukan operasi bertujuan untuk
memudahkan operator dalam melakukan operasi dan hasil akhirnya diharapkan
tujuan operasi tercapai.
Balanced anesthesia dalam konteks ini meliputi yaitu obat diberikan sebelum
induksi anestesi (Premedikasi), obat diberikan selama induksi anestesi dan obat
diberikan selama maintenance anestesi. Anestesi merupakan tahapan yang paling
penting dalam tindakan pembedahan, karena tindakan pembedahan belum dapat
dilakukan bila anestesi belum diberikan. Anestesi memiliki resiko yang jauh lebih
besar dari prosedur tindakan pembedahan karena nyawa pasien yang dianestesi
dapat terancam. Untuk pemilihan anestesi yang ideal dibutuhkan dalam
menghasilkan sifat analgesi, sedasi, relaksasi, Unconsciousness (hilang
kesadaran), keamanan dan kenyamanan untuk sistem vital, ekonomis, dan mudah
dalam aplikasi baik di lapangan ataupun di ruang operasi. Namun, sampai saat ini
anestesi yang memenuhi kriteria yang ideal belum ada.
Anestesi umumnya digolongkan berdasarkan cara penggunaan obatnya dan
berdasarkan luas pengaruh obat. Berdasarkan cara penggunaan obat anestesi
dibagi menjadi empat meliputi anestesi inhalasi yaitu obat anestesi berupa gas/uap
diaplikasikan melalui respirasi dengan kombinasi oksigen, anestesi injeksi yaitu
obat anestesi (diberikan dengan cara injeksi/suntikan, bisa melalui intravena,

2
intramuskuler atau subkutan), oral atau rektal yaitu obat yang diberikan melalui
saluran pencernaan (gastrointestinal) dan anestesi topikal yaitu anestesi yang
diberikan melalui kutaneus atau membran mukosa untuk tujuan anestesi lokal.
Tindakan pembedahan, terutama yang memerlukan anestesi umum diperlukan
teknik intubasi, baik intubasi endotrakeal maupun nasotrakeal. Intubasi adalah
suatu teknik memasukkan suatu alat berupa pipa kedalam saluran pernapasan
bagian atas. Tujuan dilakukannya intubasi untuk mempertahankan jalan napas
agar tetap bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi, mencegah terjadinya
aspirasi lambung pada keadaan tidak sadar, tidak ada refleks batuk ataupun
kondisi lambung penuh, sarana gas anestesi menuju langsung ke trakea,
membersihkan saluran trakeobronkial.
Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang femur.
Fraktur femur dapat disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak
langsung. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang
paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang
disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh
darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma langsung
pada paha.
Pada laporan ini akan membahas mengenai manajemen anestesi pada pasien
fraktur femur dengan tindakan Open Reduction Internal Fixation.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : An. MK
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 12 tahun
Berat Badan : 39 kg
Tinggi Badan : 149 cm
Alamat : Dusun II Kerogokan
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Hindu
Diagnosa Pra Anestesi : Malunion fraktur femur sinistra
Jenis Pembedahan : ORIF Femur
Tanggal Operasi : 07 September 2017
Jenis Anestesi : General Anestesi
Teknik Anestesi : Intubasi ETT

3.2. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Sakit pada paha kiri.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien masuk RS dengan keluhan sakit pada paha sebelah kiri, pasien
mengeluhkan susah berjalan ± 7 bulan. Keluhan dirasakan sejak pasien
mengalami kecelakan jatuh dari pohon rambutan. Pasien mengaku
patah tulang paha kiri dan belum pernah berobat ke dokter, pasien
hanya berobat ke dukun kampung.
c. Riwayat Penyakit Sebelumnya
- Riwayat alergi (-)
- Riwayat asthma (-)
- Riwayat penyakit jantung (-)

4
- Riwayat operasi sebelumnya (-)

3.3. Pemeriksaan Fisik Pre Operasi


a. B1 ( Breath)
Airway paten, nafas spontan, reguler, simetris, RR 20x/m, pernapasan
cuping hidung (-), snoring (-), stridor (-), buka mulut lebih 3 jari,
Mallampati score class I. Auskultasi : Suara napas bronchovesiculer,
rhonki (-/-), wheezing (-/-).
b. B2 (Blood)
Akral hangat, nadi reguler kuat angkat 78 x/m, CRT 2 detik , ictus
cordis teraba di SIC 5, S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-).
c. B3 ( Brain)
Kesadaran compos mentis, GCS 15 (E4V5M6), refleks cahaya +/+, pupil
isokor 3mm/3mm.
d. B4 (Bladder)
BAK lancar, produksi kesan normal, warna kuning jernih, frekuensi 5-6
kali sehari, masalah pada sistem renal/endokrin (-).
e. B5 (Bowel)
Keluhan mual (-), muntah (-). Abdomen : inspeksi tampak cekung,
kesan normal. Auskultasi peristaltik (+), kesan normal. Palpasi nyeri
takan (-), massa (-). Perkusi tympani (+) pada seluruh lapang abdomen.
f. B6 (Bone)
Nyeri tekan pada paha kiri (+), krepitasi (-), ekstremitas deformitas (+),
edema (-).

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Darah Rutin
WBC : 7,1 x 106/mm3
RBC : 5,41 x 106/mm3 (H)
Hb :14,0 g/dL
PLT : 278 x 103/mm3

5
HCT : 42,3 %
LED : 6 mm/jam
Clotting time : 7 menit 30 detik
Bleeding time : 3 menit 30 detik
HbsAg : Non reaktif

3.5. PERSIAPAN PRE OPERATIF


1. Di Ruangan
- Surat persetujuan operasi (+), surat persetujuan tindakan anestesi (+)

- Puasa: (+) 10 jam preoperasi

- Persiapan Whoole blood (+) 2 bag , Packed Red Cell (+) 1 bag

- IVFD RL 16 tpm

2. Di Kamar Operasi

- Assistant yang terlatih


- STATICS:
Scope → stetoskop, laringoskop
Tubes → ETT (cuffed) size 6,0 mm
Airway → orotracheal airway
Tape → plester untuk fiksasi
Introducer → untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan
Connector → penyambung antara pipa dan ventilator
Suction → memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction
- Peralatan monitor : tekanan darah, nadi, oksimetri berdenyut
- Peralatan resusitasi dan obat-obatan emergensi : atropin sulfat,
lidokain, adrenalin, dan efedrin.

3.6 Durante Operatif


Laporan Anestesi Durante Operatif
- Jenis anestesi : Anestesi umum

6
- Teknik anestesi : Intubasi Endotrakeal
- Obat : Isofluran
- E.T.T No. : 6.0
- Lama anestesi : 10.40- 12.25 ( 1 jam 45 menit)
- Lama operasi : 10.55 – 12.15 ( 1 jam 20 menit)
- Anestesiologi : dr. Ferry Lumintang, Sp.An
- Ahli Bedah : dr. Haris Tata, Sp.OT
- Posisi : Supinasi
- Infus : 1 line di tangan kiri
- Jumlah medikasi :9
o Midazolam 3 mg
o Fentanyl 60 mcg
o Propofol 60 mg
o Atracurium 4 mg
o Ondansetron 4 mg
o Dexametason 5 mg
o Isoflurane maintenance 0,5-2,5 Vol %
o Ketorolac 10 mg
o Petidine 20 mg
- Jumlah cairan :
o Input : 1550 cc
o Output : 600 cc

3.7. Post Operatif


Skor Pemulihan Pasca Anestesi (15 menit di Recovery Room)
Aldrette Score
Sirkulasi : TD ± 20 mmHg dari normal 2
Kesadaran : sadar penuh 2

7
Oksigenasi : SpO2 >92% (dengan udara bebas) 2
Pernapasan : bisamenarik napas dan batuk bebas 2
Aktivitas : menggerakkan 4 ekstremitas 2
Total 10

Steward Score
Pergerakan : Gerak bertujuan 2
Pernapasan : Batuk, menangis 2
Kesadaran : Menangis 2
Total 6

Setelah kondisi pasien baik, pasien di pindahkan ke ruangan


teratai.

Monitoring Anestesi
160
140
120 Sistol
Diastol
100 Nadi
80 Mulai
anestesi
Nadi

60 Mulai
Operasi
40 Selesai
20 Operasi
0
5 0 5 0 5 0 5 0 5 0 5 0 5 0 5 0 5 0 5 0 5 0 5
.3 .4 .4 .5 .5 .0 .0 .1 .1 .2 .2 .3 .3 .4 .4 .5 .5 .0 .0 .1 .1 .2 .2
1 0 10 10 1 0 1 0 11 11 1 1 11 11 1 1 11 11 1 1 1 1 11 1 1 1 2 12 12 1 2 1 2 12

Tekanan Darah

8
BAB III

PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan operasi, pasien diperiksa terlebih dahulu, meliputi


anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang untuk menentukan status
fisik (ASA), serta ditentukan rencana jenis anestesi yang akan dilakukan. Yaitu
general anestesi dengan intubasi endotrakeal.

Berdasarkan hasil pra operatif tersebut, maka dapat disimpulkan status


fisik pasien pra anestesi. American Society of Anesthesiologist (ASA) membuat
klasifikasi status fisik pra anestesia menjadi 5 kelas, yaitu :

ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik

ASA 2 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang.

ASA 3 : pasien penyakit bedah disertai dnegan penyakit sistemik berat yang
disebabkan oleh berbagai penyebab tetapi tidak mengancam jiwa.

ASA 4 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang
secara langsung mengancam kehidupnnya.

ASA 5 : pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat yang
sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperassi ataupun tidak selama 24
jam passien akan meninggal.

Pada kasus ini, pasien anak laki-laki usia 12 tahun dengan diagnosis
malunion fraktur femur dengan rencana tindakan open reduction internal fixation.

9
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta dari
pertimbangan usia disimpulkan keadaan umum pasien tergolong dalam status fisik
ASA II.

Pada pasien ini, pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis general
anastesi. Adapun indikasi dilakukan general anastesi adalah karena waktu operasi
yang lama. Selain itu juga untuk mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas
serta mempertahankan kelancaran pernafasan, mempermudah pemberian
anestesia, mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan
tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk) dan pemakaian ventilasi
mekanis yang lama, serta mengatasi obstruksi laring akut. Teknik anestesinya
semi closed inhalation dengan pemasangan endotrakeal tube. Posisi pasien untuk
tindakan intubasi adalah leher dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala
dalam keadaan ekstensi. Ini di sebut sebagai sniffing position.

Secara umum indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal antara lain :


a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen
arteri) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui
masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
c. Sebagai proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien
dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
d. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena
pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask
tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah.
e. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan
tidak ada ketegangan.
f. Operasi intra-torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan
mudah, memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan
tekanan intra pulmonal.
g. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.

10
h. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.

Selain itu, terdapat juga indikasi intubasi nasal antara lain :


a. Bila oral tube menghalangi pekerjaan dokter bedah, misalnya tonsilektomi,
pencabutan gigi, operasi pada lidah.
b. Pemakaian laringoskop sulit karena keadaan anatomi pasien.
c. Bila direct vision pada intubasi gagal.
d. Pasien-pasien yang tidak sadar untuk memperbaiki jalan nafas.

Beberapa kontraindikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal antara


lain:
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan
untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah
cricothyrotomy pada beberapa kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

Pada pasien ini, sebelumnya telah dilakukan informed consent terkait


tindakan yang akan diberikan beserta konsekuensinya. Kemudian pemeriksaan
fisik. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan hematologi
untuk mengetahui ada tidaknya gangguan perdarahan. Pada pasien ini,
pemeriksaan fisik ataupun laboraturium tidak menunjukkan adanya gangguan
yang dapat menjadi kontraindikasi dilakukannya tindakan.

Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 10 jam. Tujuan


puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau
muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat-
obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama
anestesia.

Pasien diberikan premedikasi berupa midazolam termasuk golongan


benzodiazepine. Telah diketahui bahwa tujuan pemberian premedikasi ialah untuk

11
mengurangi respon terhadap stress hormone endogen, mengurangi obat induksi
maupun rumatan. Penggunaan midazolam untuk premedikasi pada anak-anak
maupun orang usia lanjut memberikan hasil yang baik. Premedikasi mengurangi
stres hormone terutama pada anak-anak. Dosis yang aman untuk premedikasi iv
0,1-0,2 mg/kgBB. Pada pasien kali ini diberi midazolam dengan dosis 4 mg.
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya
stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan
anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah
induksi.Induksi pada pasien ini dilakukan dengan anastesi intravena yaitu
Propofol 60 mg I.V (dosis induksi 2-2,5mg/kgBB) karena memiliki efek induksi
yang cepat, dengan distribusi dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol
dapat menghambat transmisi neuron yang hancur oleh GABA. Obat anestesi ini
mempunyai efek kerjanya yang cepat dan dapat dicapai dalam waktu 30 detik.
Pemberian fentanyl yang merupakan obat opioid yang bersifat analgesic dan bisa
bersifat induksi. Penggunaan premedikasi pada pasien ini betujuan untuk
menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan pemberian analgesia dan
mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa khawatir. Injeksi fentanyl 60
mcg pada awalnya sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin.
Lamanya efek depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Fentanil
merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan termasuk dalam
opioid potensi tinggi dengan dosis 2-150 mcg/kgBB. Opioid dosis tinggi yang
deberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx,
dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut.
Pemberian Injeksi atracurium 4 mg sebagai pelemas otot untuk
mempermudah pemasangan Endotracheal Tube. Merupakan obat pelumpuh otot
non depolarisasi yang mempunyai struktur benzilisoquinolin. Pada umumnya
mulai kerja atracurium pada dosis 0,1-0,5 mg/Kg iv 2-3 menit untuk intubasi,
sedang lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit.
Setelah pelumpuh otot bekerja barulah dilakukan intubasi dengan
laringoskop blade lengkung yang disesuaikan dengan anatomis leher pasien
dengan metode chin-lift dan jaw-trust yang berfungsi untuk meluruskan jalan

12
nafas antara mulut dengan trakea. Setelah jalan nafas dalam keadaan lurus
barulah dimasukkan pipa endotrakeal. Pada pasien ini digunakan ETT dengan cuff
nomor 6.0. Pemasangan ETT pada pasien ini 1 kali dilakukan dalam keadaan
pasien tidak sadar atau dalam kondisi teranestesi.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube, maka
dialirkan isoflurane 0,5-2,5 vol%, oksigen sekitar 3 L/menit sebagai anestesi
rumatan. Isoflurane suatu obat anestesi volatile yang induksinya cepat dan
pemulihannya cepat, tidak iritasi dan tidak menimbulkan sekresi. Seperti halnya
halotan dan enfluran, Isoflurane berefek bronkhodilator, tidak menimbulkan mual-
muntah. Isoflurance 1,15 % dalam oksigen murni, dosis isofluran untuk anak usia
11-15 tahun dalam konsentrasi oksigen 100 % adalah 1,16 %. Isoflurane
memiliki bau yang sedikit menyengat maka bila digunakan sebagai induksi
sebaiknya dimulai dengan konsentrasi 0,5%.
Dalam terapi cairan, jumlah cairan yang masuk adalah 1550 cc dari
preoperatif (RL 300 cc) dan durante operatif (RL 900 + WB 350 cc) dan jumlah
cairan keluar adalah 600 cc berupa perdarahan yaitu dari kasa 4x4 10 buah (15 x
10 = 150 cc), kasa lipat 1 buah (1 x 150 = 150 cc) dan tabung suction + 300 cc.
Cairan keluar berupa urin ± 400 cc. Estimated Blood Volume (EBV) dengan BB
pasien 39 kg : 75 cc/kg BB x 39 kg = 2.925cc, sehingga di didapatkan
%perdarahan : 600/2.925 x 100% = 20,5 %.
Perhitungan Cairan
a. Input yang diperlukan selama operasi
1. Cairan Maintanance (M) : (4x10) + (2x10) + (1x19) = 79 ml/jam
2. Cairan defisit pengganti puasa (P) : lama puasa x maintenance = Lama
puasa x maintenance = 10 jamx = 790 ml
Cairan yang masuk saat puasa :
jumlah tetesan(tpm) x lama puasa(m)
Jumlah cairan( ml)=⌊ ⌋
( 20 )
16 x 600
Jumlah cairan( ml)=⌊ ⌋ = 480 mL
( 20 )
(cairan yang masuk saat puasa) = 480 ml

13
Cairan defisit puasa 790-480 = 310 ml

3. Stress operasi (operasi sedang) : 6 cc x BB = 6 x 39 = 234 ml/jam


4. Defisit darah selama 1 jam 20 menit = 600 ml
Jika diganti dengan cairan kolid atau darah 1:1
Jika diganti dengan cairan kristaloid 3:1

Total kebutuhan cairan selama 1 jam 20 menit operasi :

Cairan maintenance + Cairan defisit puasa + Stres operasi + perdarahan =


79 + 310 + 234 + 600 = 1.223 ml

b. Keseimbangan kebutuhan:
Cairan masuk – cairan dibutuhkan = 1550 ml – 1223 ml = 327 ml

Menjelang operasi hampir selesai, diberikan medikasi berupa ondansetron


4 mg yang berfungsi untuk mencegah mual-muntah pasca operasi, dexamethason
5 mg sebagai kortikosteroid untuk mencegah terjadinya proses inflamasi dan
reaksi alergi yang mungkin dapat terjadi, dan penambahan ketorolac 10 mg
sebagai analgetik. Ketorolac 30 mg mempunyai efek analgetik yang setara dengan
50 mg pethidin atau 12 mg morphin, tetapi memiliki durasi kerja yang lebih lama
serta lebih aman daripada analgetik opioid karena tidak ada evidence depresi
nafas. Serta diberi medikasi tambahan berupa petidine 20 mg sebagai analgesik
opioid dan juga dapat menghambat batuk. obat angesik dapat digunakan
bersamaan (ketorolac dan petidine) yang mungkin diperlukan untuk mendapatkan
efek anlgesik optimal pada periode pasca bedah awal bila nyeri bertambah berat.
Setelah operasi selesai, dilakukan ekstubasi pada pasien. Ekstubasi dapat
dilakukan pada stadium anestesi yang dalam dan pernapasan. Pada pasien ini,
ekstubasi dilakukan pada stadium anestesi. Sebelum ekstubasi dilakukan terlebih
dahulu membersihkan rongga mulut, efek obat pelemas otot sudah tidak ada, dan
ventilasi sudah adequate. Melakukan pembersihan mulut sebaiknya dengan kateter
yang steril. Walaupun diperlukan untuk membersihkan trachea atau faring dari
sekret sebelum ekstubasi, hendaknya tidak dilakukan secara terus menerus bila

14
terjadi batuk dan sianosis. Sebelum dan sesudah melakukan pengisapan,
sebaiknya diberikan oksigen. Apabila plester dilepas, balon sudah dikempiskan,
lalu dilakukan ekstubasi dan selanjutnya diberikan oksigen dengan sungkup muka.
Pipa endotrakheal jangan dicabut apabila sedang melakukan pengisapan karena
kateter pengisap bisa menimbulkan lecet pita suara, perdarahan, atau spasme
laring. Sesudah dilakukan ektubasi, pasien kembali diberikan oksigen dengan
sungkup muka dan kembali dilakukan pembersihan rongga mulut dengan
menggunakan suction.
Beberapa saat setelah pasien dikeluarkan dari ruang operasi, didapatkan
pada pemeriksaan fisik tekanan darah 120/ 72 mmHG, nadi 96 x/menit, dan laju
respirasi 20 x/menit. Pembedahan dilakukan selama 1 jam 20 menit dengan
perdarahan ± 600 cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery
Room). Aldrete score 10 dan Steward Score 6 maka dapat dipindah ke ruangan
teratai.

15
BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan laporan kasus yang telah dibahas, sehingga dapat disimpulkan :

1. Pada kasus dilakukan operasi Pro ORIF pada anak laki-laki usia 12 Tahun,
dan setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka ditentukan
status fisik ASA II dan dilakukan jenis anestesi dengan General Anestesi
dengan teknik Intubasi endotrakeal.
2. Pada pasien ini menjemen anestesi dimulai dari pre operatif, intra operatif
serta post operatif.
3. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti
baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Setelah menjalani
operasi dilakukan perawatan di Ruang ICU karena aldrete score7.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis


Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI.

2. Dobson, M. Penuntun Klinis Praktis Anastesi .EGC:Jakarta; 2015.

3. Orebaugh SL. 2007. Atlas Of Airway Management Techniques and Tools.


Philadelphia: LippincoETT, Williams, and Wilkins.

4. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange


Medical Book. 2006.

5. Catharina, W. 2011, Pemasangan Endotracheal Tube, Pendidikan Profesi


Dokter Universitas jenderal Soedirman, Purwokerto Jawa Tengah.

6. Mansjoer A, Suprohaita, dkk. Ilmu Anestesi.dalam: Kapita Selekta


Kedokteran FKUI. Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius. 2002.

7. Desai AM, General Anesthesia. Accessed on April 5 2017. Available at


http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview#showall.

8. General Anesthesia. Accessed on April 4 2017. Available at


http://www.mayoclinic.com/health/anesthesia/MY00100

9. Handoko, Tony. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi


kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2002.

10. Farmakologi FKUI. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2012.

17
11. Muhardi, M, dkk. Anestesiologi. Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,
FKUI. Jakarta: CV Infomedia. 1989.

18
19

Anda mungkin juga menyukai