Anda di halaman 1dari 4

Pengadaan Perumahan di Yogyakarta

terkait dengan program KOTAKU


Oleh : YE. Suharno (Prodi Arsitektur FST-UWM)

Pengertian perumahan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Pemukiman, pasal 1 menyebutkan bahwa perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian
dari pemukiman, baik perkotaan maupun pedesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana,
dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah layak huni. Pengadaan perumahan di
Yogyakarta, tidak terlepas dari dinamika yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat serta
tidak dapat dipandang sebagai permasalahan fungsional dan fisik semata. Tetapi lebih kompleks
lagi sebagai permasalahan yang berkaitan dengan dimensi kehidupan bermasyarakat yang
meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya, teknologi, ekologi. Kondisi tersebut dapat dilihat dari
masalah lingkungan pada kawasan perumahan, yang umumnya muncul sebagai akibat dari
tingkat urbanisasi, serta dampak pemanfaatan sumber daya dan teknologi yang kurang
terkendali. Lingkungan perumahan yang sehat sendiri harus diikuti dengan pembangunan
lingkungan perumahan melalui penyediaan prasarana dan sarana dasar yang memadai seperti air
minum, sanitasi lingkungan, jalan, listrik, fasilitas umum dan sosial yang bertujuan untuk
mewujudkan keharmonisan ekologi, baik ekologi lingkungan maupun manusia.

Pada dasarnya ada dua sistem pengadaan perumahan yaitu pertama secara formal yang dibangun
oleh pemerintah atau developer swasta (Perumnas, real estate). Sistem yang kedua yaitu secara
non formal merupakan pengadaan perumahan yang bertumpu pada masyarakat seperti
perumahan kampong, perumahan desa kota dan perumahan marjinal. Pada umumnya perumahan
yang formal tidak banyak permasalahan, akan tetapi perumahan yang bertumpu pada masyarakat
masih memiliki berbagai permasalah khususnya perumahan marjinal.

Perumahan marjinal ini menempati lahan yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk perumahan
seperti yang berada di pinggiran sungai (sungai Code, Winingo), menempati lahan PJKA, lahan
milik Kraton. Pengadaan perumahan marjinal ini berada di pusat kota dengan status sewa dan
dimanfaatkan oleh penduduk kota tidak tetap, baik bertujuan akan menetap atau tidak. Pada
dasarnya mereka melihat rumahnya sekedar sebagai tempat tinggal untuk mencari penghasilan,
sehingga mengandung prinsip mudah dan irit. Pengertian mudah dan irit ini dilihat dari berbagai
segi mulai dari mudah mendapatkan dan irit perawatan kalau perlu tidak mengeluarkan beaya
sama sekali untuk perolehannya. Juga pembuatannya tidak memerlukan beaya yang berarti,
seperti memakai bahan bekas.

Dalam kaitannya dengan perumahan layak huni , pemerintah telah menerbitkan peraturan
pemerintah (PP) dan Kementrian PUPR (Permen). Di dalam peraturan pemerintah disebutkan
bahwa perumahan perlu dilengkapi dengan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai hasil
upaya pemenuhan rumah yang layak huni (PP. No.14/2016 ps.1:6). Perumahan dan kawasan
permukiman adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pembinaan, penyelenggaraan
perumahan, pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap
perumahan kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran
masyarakat. Yang dimaksud dengan prasarana adalah kelengkapan dasar fisik Lingkungan
Hunian yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan bertempat tinggal yang layak, sehat,
aman, dan nyaman. Sarana adalah fasilitas dalam Lingkungan Hunian yang berfungsi untuk
mendukung penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi.
Utilitas Umum adalah kelengkapan penunjang untuk pelayanan Lingkungan Hunian.
Pembangunan perumahan tersebut dilaksanakan melalui upaya penataan pola dan struktur ruang
pembangunan rumah beserta prasarana, sarana dan utilitas umum yang terpadu dengan penataan
lingkungan sekitar yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas perumahan tersebut. Dalam
Permen PUPR No. 15 Th. 2015 disebutkan bahwa penyelenggaraan Perumahan di perkotaan
juga terkait dengan pengembangan kawasan permukiman di perkotaan yaitu dengan strategi Kota
Tanpa Kumuh (KOTAKU), dimana Kota Yogyakarta menjadi salah satu dari 30 kota di
Indonesia yang menjadi prioritas penyelenggaraan perumahan tanpa kumuh. Konsep KOTAKU
tersebut tertuang dalam strategi penanganan pemenuhan standar pelayanan perkotaan menuju
kota layak huni yang di dalamnya termasuk penyelenggaraan perumahan (RPJMN 2015-2025).
Ruang lingkup dalam pemenuhan sesuai rencana pembangunan jangka menengah tersebut yaitu
pelayanan air bersih perpipaan, pengolahan air kotor, drainage dan pengendalian banjir,
pemadam kebakaran, ruang terbuka hijau, pengelolaan sampah dan penanggulangan bencana.
Pengelolaan perumahannya diharapkan dilakukan oleh masyarakat secara swadaya bekerjasama
dengan pemerintah daerah melalui kegiatan menjaga kondisi melakukan pemeliharaan dan
perbaikan bangunan gedung serta prasarana, sarana dan utilitas umum secara terpadu dan
terintegrasi melalui perawatan rutin dan pemeriksaan secara berkala agar dapat berfungsi secara
memadai.

Program KOTAKU bertujuan meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di
permukiman kumuh perkotaan untuk mendukung perwujudan permukiman perkotaan yang layak
huni, produktif, dan berkelanjutan. Penjabaran atas tujuan Program Kotaku adalah memperbaiki
akses masyarakat terhadap infrastruktur permukiman sesuai dengan 7 + 1 indikator kumuh,
penguatan kapasitas pemerintah daerah untuk mengembangkan kolaborasi dengan pemangku
kepentingan (stakeholder), dan memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat melalui
pengembangan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood)

Indikator tersebut adalah:

1. Bangunan Gedung yang perlu diidentifikasi yaitu ketidakteraturan dalam hal dimensi,
orientasi, dan bentuk; kepadatan tinggi tidak sesuai dengan ketentuan dalam rencana tata
ruang; ketidaksesuaian dengan persyaratan teknis sistem struktur, pengamanan petir,
penghawaan, pencahayaan, sanitasi, dan bahan bangunan.
2. Jalan Lingkungan yang perlu diidentifikasi yaitu kondisi permukaan jalan yang tidak
dapat dilalui kendaraan dengan aman dan nyaman; lebar jalan yang tidak memadai;
kelengkapan jalan yang tidak memadai.
3. Penyediaan Air Minum yang perlu diidentifikasi yaitu ketidaktersediaan akses air minum;
tidak terpenuhinya kebutuhan air minum setiap individu; tidak terpenuhinya kualitas air
minum sesuai standar kesehatan.
4. Drainase Lingkungan yang perlu diidentifikasi yaitu ketidakmampuan mengalirkan
limpasan air hujan; menimbulkan bau; tidak terhubung dengan sistem drainase perkotaan.
5. Pengelolaan Air Limbah yang diidentifikasi yaitu ketidaktersediaan sistem pengelolaan
air limbah; ketidaktersediaan kualitas buangan sesuai standar yang berlaku; tercemarnya
lingkungan sekitar.
6. Pengelolaan Persampahan yang diidentifikasi yaitu ketidaktersediaan sistem pengelolaan
persampahan; ketidaktersediaan sarana dan prasarana pengelolaan persampahan;
tercemarnya lingkungan sekitar oleh sampah.
7. Pengamanan Kebakaran yang diidentifikasi yaitu ketidaktersediaan sistem pengamanan
secara aktif dan pasif; ketidaktersediaan pasokan air untuk pemadaman yang memadai;
ketidaktersediaan akses untuk mobil pemadam kebakaran.
8. Ruang Terbuka Publik yang diidentifikasi yaitu ketidaktersediaan lahan untuk ruang
terbuka hijau (RTH); ketidaktersediaan lahan untuk ruang terbuka non-hijau/ruang
terbuka publik (RTP).
Diskusi : Bagaimana implementasi program KOTAKU tersebut di Yogyakarta, mari dicermati
bersama. Semoga berhasil….!

Anda mungkin juga menyukai