Anda di halaman 1dari 13

Perubahan Pola Pendidikan Islam Di Sumatera Barat

(Minangkabau) Dari Surau Ke Lembaga Pondok


Pesantren Semenjak Awal Abad 20

Kharles1 & Ranti Nazmi2


1,2)
Staf Dosen Prodi Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Sumatera Barat
1
buyung.mantap@yahoo.co.id, 2kh_buyung@yahoo.co.id

ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan proses perubahan pola pendidikan Islam; Dari
Lembaga Surau ke Lembaga Pondok Pesantren di Sumatera Barat. Penekanan penelitian ini
merupakan tinjauan peristiwa sejarah terhadap aspek perubahan dalam pendidikan Islam di
Sumatera Barat, oleh sebab itu metode yang digunakan adalah metode sejarah. Adapun
metode sejarah memiliki empat tahapan penelitian, pertama heuristic yaitu pengumpulan
data-data sebagai sumber peristiwa yang diteliti. Sumbernya terdiri dari dua jenis sumber
yaitu, primer dan sekunder. Sumber primer diperoleh dari sumber tangan pertama kalau itu
ada, tetapi paling tidak dapat menggunakan sumber sekunder atau sumber tangan kedua
yang dasarnya tetap dari sumber tangan pertama. Artinya penelitian ini lebih banyak
mengunakan penelitian perpustakaan guna memperoleh data yang menjadi sumber
peristiwa. Selanjutnya melakukan kritik sumber dalam rangka seleksi dari kebenaran
sumber, mennganalisisnya dan berikutnya merangkainya menjadi tulisan tentang
berlangsungnya peristiwa (historiografi). Perkembangan Pola pendidikan Islam di Sumatera
Barat mengarah pada bentuk lembaga Pondok Pesantren sudah terlihat kecendrungannya
semenjak awal abad 20. Kondisi ini sudah menjadi fenomena baru di lingkungan pendidikan
Islam di Sumatera Barat, terbukti dengan pertumbuhan pondok pesantren yang saat ini
berjumlah 233 pondok di seluruh Propinsi Sumatera Barat. Gejala ini cukup menarik untuk
disimak, terkait dengan latarbelakang Sumatera Barat yang memiliki kultur Minangkabau
selama ini tidak mengenal sistem pendidikan dengan pola yang diterapkan dilingkungan
Pondok Pesantren. Surau merupakan lembaga pendidikan Islam yang erat kaitannya
dengan kultur masyarakat Sumatera Barat. Kalau pun ada perubahan, karena pengaruh
modernisasi pendidikan pada masa Kolonial di awal abad 20, itu hanya sekedar merubah
sistem halaqah pada sistem klasikal. Baru sekitar tahun 1970-an kecendrungan untuk
mengadopsi model pendidikan yang dikembangkan oleh lembaga Pondok Pesantren mulai
bermunculan. Adanya perubahan terhadap pola pendidikan Islam di Sumatera Barat
disebabkan oleh tidak berfungsingnya lembaga surau sebagai tempat pendidikan Islam,
semenjak pengaruh modernisasi melanda daerah ini.

Kata kunci: Pendidikan Islam, Surau dan Pondok Pesantren


Pendidikan Berkualiti ke arah Pembentukan Nilai dan 2350
Peningkatan Ekonomi untuk Kesejahteraan Masyarakat

LATAR BELAKANG

Sebelum modernisasi pendidikan diperkenalkan oleh Pemerintahan Kolonial


Belanda di Indonesia, Surau adalah sebagai institusi pendidikan Islam yang sangat
penting di Sumatera Barat (Minangkabau). Dari suraulah cikal bakal keutuhan dan
keutamaan masyarakat Minang (Sumatera Barat) beradat dan beragama secara
bersamaan dijalankan. Ukuran keberhasilannya dilihat dari kemampuan si anak
menguasai pengetahuan seperti pandai mengaji, berakhlak dan berbudi pekerti
luhur, serta menguasai tatakrama adat, seperti petatah petitih, dan seni bela diri
(pencak silat).
Peranan penting surau ini terlihat sangat dominan sebelum terjadinya
pembaharuan gelombang pertama Islam di Sumatera Barat (Minangkabau),
terutama semenjak akhir abad 18, karena dari sinilah lahirnya putra putri terbaik
dari Sumatera Barat (Minangkabau) pada awal abad 19 nantinya.Mereka dididik
dari surau menjadi ulama besar seperti, Tuanku ImamBonjol yang memperoleh
pendidikan agama pertama kali di Pasir Lawas Palupuah dan Suliki.1Selain Imam
Bonjol masih banyak anak-anak yang berhasil menjadi ulama besar berkat lembaga
surau ini, diantaranya Syeikh Bayang, Prof Dr. H. Mahmud Yunus, Syeikh
Muhammad Jamil Jaho dan lain-lain yang namanya terlalu banyak untuk disebutkan
satu persatu pada tulisan ini.
Lembaga pendidikan surau sebagai sebuah sistem pendidikan Islam yang
mengutamakan pendidikan Alquran, akidah, ahklak, fikih, adat dan fisik
(kemampuan bela diri), tetap bertahan sampai berlangsungnya perang paderi.
Setelah berakhirnya perang paderi, surau sebagai lembagai pendidikan Islam mulai
mengalami masa-masa surut. Situasi itu seiring dengan terjadinya perubahan yang
cukup besar terhadap seluruh aspek kehidupan dalam masyarakat Sumatera Barat
(Minangkabau), termasuk dibidang pendidikan. 2 Perubahan itu terutama
dipengaruhi oleh kebijakan pemerintahan Kolonial Belanda yang memberikan
kesempatan kepada masyarakat pribumi untuk memperoleh pendidikan. Itu
terbukti dengan didirikannya sebuah sekolah yang mendapat dukungan
pemerintah pada tahun 1824 di Sumatera Barat, tepatnya di Padang.3Sekolah ini
memang tidak bertahan lama, karena setelah 4 tahun sekolah ini kemudian
ditutup. Hal itu disebabkan adanya rasa curiga dari masyarakat terhadap misi
kritenisasi terhadap anak-anak mereka yang bersekolah disana.
Baru tahun 1848 dengan dukungan Raja Belanda dengan kebijakan
Nomor 95, memberikan wewenang kepada Gubernur Jendral untuk menyedia
biaya pendidikan bagi golongan bumi putra. Realisasi dari kebijakan itu pemerintah

1YulizarYunus, Beberapa Ulama di Sumatera Barat, (Padang: Pemerintahan Propinsi Sumatera Barat.
2008), hal. 3.
2Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau ; Dalam Perspektif Sejarah. (Jakarta: Balai Pustaka.

2005), hal. 96.


3Gusti Asnan, et.,al, Adabiah: Perintis Pendidikan Modern di Sumatera Barat. (Yogyakarta: Ombak.

2013), hal. 35.


2351 ASEAN Comparative Education Research Network Conference 2015
7-8 Oktober 2015, MALAYSIA

menyediakan dana untuk operasional sekolah sebesar f.25.000 setahun khusus


untuk daerah Pulau Jawa. 4 Sementara di Sumatera Barat tidak diberlakukan
kebijakan yang sama, oleh sebab itu pendirian sekolah-sekolah umum banyak
diprakarsai oleh nagari-nagari. 5 Jadi walaupun tidak didukung oleh dana
pemerintah, sekolah-sekolah bercorak sekuler tumbuh subur di daerah dataran
tinggi Sumatera Barat seperti, di Bukittinggi, Batusangkar, Payakumbuh dan Solok.
Daerah-daerah tersebut menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan di dataran
tinggi Sumatera Barat.
Sekolah-sekolah sekuler yang di dirikan oleh nagari-nagari mengalami
kemajuan yang cukup besar, itu tergambar dari laporan Gubernur Van Swieten
yang menyebutkan bahwa kebutuhan birokrasi untuk tenaga administrasi sejak
tahu 1847 telah dapat di isi oleh orang Sumatera Barat (Minangkabau) yang pandai
membaca dan menulis. Meskipun pengelolaan pendidikan dari tahun 1840-1860
pemerintah mempercayakan pengelolaannya pada nagari-nagari yang diinisiasi
oleh Tuanku Laras dan penghulu nagari.6
Apalagi semenjak tahun 1870, pemerintahan Kolonial Belanda melakukan
perubahan-perubahan terhadap sekolah-sekolah sekuler dengan memasukan
sistem administrasi modern. Oleh sebab itu dilakukan perbaikan kualitas sekolah
oleh pemerintahan Kolonial Belanda dalam rangka meningkatkan mutu lulusan
yang dibutuhkan untuk kepentingan tenaga pegawai pemerintahan Kolonial
Belanda itu sendiri. Atas pertimbangan itulah akhirnya pemerintahan Kolonial
Belanda memperbanyak sekolah dan meningkatkan jumlah penerimaan murid.7
Semenjak itu terjadi peningkatan jumlah sekolah yang cukup besar di Hindia
Belanda, tercatat dari 186 unit pada tahun 1864, menjadi 512 unit pada tahun
1882.8
Perkembangan pendidikan sekuler yang dikelola oleh pemerntahan
Kolonial Belanda dan nagari tumbuh dengan cepat. Realita seperti itu mendorong
kebutuhan akan tenaga guru juga semakin besar, sehingga pemerintahan Kolonial
Belanda di Sumatera Barat memutuskan untuk mendirikan sekolah guru yang
dikenal sebagai sekolah normal di Bukittinggi (Fort de Kock).9 Sekolah normal ini
oleh pemerintahan Kolonial Belanda disebut sebagai Kweekschool, di Bukittingi
lebih dikenal dengan istilah “Sekolah Raja”.
Semenjak sekolah sekuler ini diperkenalkan oleh pemerintahan Kolonial
Belanda dalam rangka memperoleh tenaga administrasi untuk kepentingan
pemerintahan, maka variasi peluang kerja juga semakin berkembang dan ini

4Elizabeth E Graves, Asal Usul Elite Minangkabau Modern Respons Terhadap Kolonial Belanda abad
XIX/XX, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2007), hal. 176.
5 Gusti Asnan, et,.al. Adab……..……, hal. 37
6Sumarsono Mestoko, et, al., Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman, (Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan-Balai Pustaka. 1986), hal 111.


7Gusti Asnan, et, al., Adabiah ……….., hal 41.
8Imron, Modernisasi Pendidikan Islam: Pesantren dan Surau, (Makalah. 2010), hal. 13.
9Elizabeth E Graves, Asal Usul Elite Minangkabau Modern ……, hal 41.
Pendidikan Berkualiti ke arah Pembentukan Nilai dan 2352
Peningkatan Ekonomi untuk Kesejahteraan Masyarakat

semakin membuka mata orang Sumatera Barat atas harapan baru akan dunia kerja.
Buktinya tamatan Kweekschool (Sekolah Raja) tidak hanya menjadi guru, tetapi
mereka juga dipekerjakan sebagai pegawai sipil dan tenaga jaksa di Landraad
(Badan Peradilan), pengawas gudang, dan sebagainya.
Inilah yang mendorong orang Sumatera Barat (Minang), terutama
generasi muda untuk mengikuti trend sekolah sekuler tersebut. Sehingga surau
yang selama ini sebagai lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan anak tentang
Alquran, Akidah, Akhlak, Fiqh, adat dan bela diri (pencak silat), mulai merubah pola
mengajarnya yang selama ini dengan sistem halaqah pada sistem klasikal yang
diperkenalkan oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Perubahan itu diikuti pula
dengan perubahan kurikulum dan kelembagaan, dari surau menjadi “Madrasyah”.
Perubahan yang dilakukan kaum intelektual muda mengancam
keberadaan surau sebagai lembaga pendidikan. Guna menjaga eksistensinya,
ulama tradisional dan kaum intelektual muda sepakat untuk memodernisasikan
sistem pendidikan surau dengan mendirikan madrasah modern sebagai alternatif
pendidikan surau. 10 Apa yang dilakukan oleh Intelektual muda dan Ulama
Tradisional mengalami sukses besar, sehingga banyak surau yang ditransformasikan
menjadi madrasah. Akibatnya murid surau merosot hebat. Tahun 1933, surau
dilaporkan memiliki murid hanya sekitar 9.285 orang, sementara madrasah
mempunyai 25.292 pelajar. Dalam masa kemerdekaan, hanya beberapa surau saja
yang mampu bertahan, dan di masa akhir ini sebagian surau mulai menamakan diri
sebagai pesantren. Sedangkan surau sendiri lebih sekedar sebagai tempat belajar
membaca al-Qur’an atau arenasosialisasi anak-anak dan remaja.
Meskipun saat ini pemerintahan daerah Sumatera Barat mencoba
menghidupkan kembali fungsi surau sebagaimana fungsi surau dahulunya, tetapi
yang terjadi masyarakat Sumatera Barat lebih memilih untuk mengembangkan
lembaga Pesantren sebagai alternatif penganti surau sebagai lembaga pendidikan
Islam, itu terbukti dengan pertumbuhan jumlah pesantren saat ini sebayak 233
pesantren di seluruh Sumatera Barat. Semuanya itu tidak terlepas dari mulai
timbulnya perasaan tidak puas terhadap fungsi surau yang tidak mungkin lagi
mampu menjawab tantangan jaman yang sudah berubah. Inilah menariknya kajian
tentang perubahan Pola mengajar dalam lembaga pendidikan Islam, guna melihat
proses perubahan tersebut sebagai ajang pembelajaran bagi kita semua.

Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, kajian ini akan melihat mengapa dan
bagaimana proses perubahan itu terjadi. Manariknya adalah proses perubahan
dari akar budaya yang sudah mapan kepada hal baru merupakan proses yang dilalui
melalui pertentangan yang panjang antara kaum intelektual muda dengan ulama
tradisional.

10AzyumardiAzra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi menuju Millenium Baru, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999), hal. 122.
2353 ASEAN Comparative Education Research Network Conference 2015
7-8 Oktober 2015, MALAYSIA

Oleh sebab itu penelitian ini mencoba mengungkapkan proses


perubahan yang terjadi pada lembaga pendidikan surau kepada lembaga
pendidikan Islam yang dikenal dengan Pondok Pesantren. Hal ini dimulai
setelah Indonesia merdekasampai puncaknyadekade terakhir tahun ini.
Kondisi itu terlihat dari perkembangan lembaga pondok pesantren yang saat
ini sudah mencapai 233 pondok pesantren untuk seluruh wilayah propinsi
Sumatera Barat. Guna menjelaskan tentang bagaimana proses perubahan itu
terjadi, maka ada beberapa pertanyaan yang perlu dicari jawabannya antara
lain adalah :
1. Bagaimana proses perubahan lembaga Pendidikan Surau itu terjadi ?
2. Mengapa Lembaga Pendidikan Surau lebih memilih proses perubahan itu
kepada lembaga Pondok Pesantren yang tidak dikenal dalam akar budaya
Sumatera Barat (Minangkabau)?

1.1. Tujuan dan Manfaat


Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengukapkan proses perubahan yang terjadi pada lembaga
pendidikan surau di Sumatera Barat.
2. Untuk mendeskripsikan alasan-alasan pemilihan lembaga Pondok
Pesantren sebagai bentuk perubahan dari Lembaga Pendidikan Surau di
Sumatera Barat.

1.2. Kerangka Konseptual


Berbicara tentang perubahan pola pendidikan, tidak terlepas pula dengan
persoalan modernisasi. Oleh sebab itu dalam tulisan ini juga tidak terlepas dengan
konsep Modernisasi itu sendiri. Modernisasi yang dimaksud disini mengandung
pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham,adat istiadat, institusi
lama dan sebagainya, agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-
pendapat dan keadaan baru yang timbul oleh tujuan ilmu pengetahuan serta
teknologi modern. Modernisasi atau pembaruan juga berarti proses pergeseran
sikap dan mentalitas mental sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai
dengan tuntutan hidup masyarakat kini.46Modernisasi yang dimaksud berhubungan
dengan dorongan perubahan yang menjadi proses penyesuaian pedidikan Islam
dengan kemajuan zaman.
Terkait dengan konsep modernisasi disini punya korelasi dengan
perubahan terhadap pola pendidikan Islam, maka yang dimaksud dengan
modernisasi tersebut adalah modernisasi pendidikan Islam.Oleh sebab itu
modernisasi Islam itu dipahami sebagai perubahan paradigma pemikiran umat
Islam, bukan membangun definisi Islam yang baru. Dilihat dari alur pemikiran,
lahirnya paradigma ini disebabkan “ketidakrelaan” kelompok pemikir terhadap
ketertinggalan umat Islam dalam “merancah” dunia sosialnya, serta kepicikan
pemikiran umat Islam dalam mentransfer literasinya ke dalam dunia nyata.
Pendidikan Berkualiti ke arah Pembentukan Nilai dan 2354
Peningkatan Ekonomi untuk Kesejahteraan Masyarakat

Di Minangkabau, paradigma pemikiran modernisasi Islam ini sebenarnya


sudah muncul semenjak lahirnya puritanisasi sebagai pendobrak pemurnian
pemahaman Islam orang Minangkabau yang sinkretisme. Meskipun demikian,
modernisasi Islam lebih berkembang ketika awal abad ke-19 seiring dengan
bergeraknya kaum agama membangun sekolah-sekolah agama modern, mengubah
sistem surau yang tradisional dengan sistem pendidikan modern yang klasikal,
berijazah dan memiliki kurikulum. Di Padang Panjang misalnya, surau Jembatan
Besi dengan duet tenaga pengajar yakni Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul
menjadi cikal bakal sekolah Thawalib. Sekolah ini nantinya sangat berpengaruh di
Minangkabau.11

1.3. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian tentang pola perubahan pendidikan Islam
yang berjudul “Perubahan Pola Pendidikan Islam di Sumatera Barat ; Dari Surau ke
Pondok Pesantren Semenjak Awal Abad 20”, penulis akan menggunakan metode
sejarah antara lain menurut Gilbert J. Garraghan dalam bukunya A Guide to
Historical Method menjelaskan bahwa metode sejarah adalah seperangkat azas
atau kaidah-kaidah yang sistematis yang digubah untuk membantu mengumpulkan
sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis, dan menyajikan suatu sintesis
hasil yang dicapai, pada umumnya dalam bentuk tertulis.12 Louis Gottschalk, dalam
Mengerti Sejarah menjelaskan bahwametode sejarah adalah proses menguji dan
menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau,13dimulai dari
pengumpulan data hingga penulisan.
Mengingat konteks waktu penelitian ini relative cukup panjang, sehingga
penulis akan banyak menemukan kesulitan dalam mendapatkan data primer. Oleh
sebab itu penulis memutuskan hanya menggunakan sumber sekunder yang juga
berangkat dari sumber primer. Karena penelitian ini hanya menggunakan sumber
sekunder, maka untuk pengumpulan sumber hanya dengan cara studi perpustakaan.
Terkait hal itu, maka penulisan ini hanya memanfaatkan jasa Pustaka Daerah,
Pustaka STKIP PGRI Sumatera Barat dan Pustaka Nasional.
Fakta sejarah yang telah diperoleh baik dari lisan maupun tertulis
diberi arti dan makna, kemudian dirangkaikan satu sama lainnya
(direkonstruksi), sehingga menjadi suatu jalinan cerita yang sistematis yang
mudah dipahami.

11Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1990). hal.63
12 Gilbert J. Graghan, A. Guide to Historical Method, (New York: Fordham University Press. 1984), hlm.

54-57. Lihat juga Ibrahim Alfian, Tentang Metodologi Sejarah Dalam Buku T. Ibrahim Alfian, et al., ed.,
Dari babad Dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis:Kumpulan Karangan dipersembahkan kepada Prof. Dr.
Sartono Kartodirdjo, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1992), hal. 409-419.
13 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah. Penterjemah Nugroho Notosusanto, (Jakarta: Universitas

Indonesia Press. 1985), hal. 32.


2355 ASEAN Comparative Education Research Network Conference 2015
7-8 Oktober 2015, MALAYSIA

I. KONDISI PENDIDIKAN ISLAM DI SUMATERA BARAT SEBELUM MASUKNYA


PENGARUH MODERNISASI

Perkembangan istilah surau setelah masuknya Islam mengacu kepada “masjid


kecil” yang biasanya tidak digunakan untuk shalat jum’at. Perbedaan penggunaan
surau dan masjid cukup kabur, contoh Malasyia khsususnya klantan surau adalah
pusat ritual keagamaan di pedesaan dan pusat kegiatan keagamaan lainnya
termasuk pendidikan agama. Di Malasyia ada dua istilah Surau kecil umumnya
tempat pengajian al-Qur’an dan pendidikan agama dasar dan surau besar sama
fungsinya di Indonesia seperti masjid dan tempat pendidikan agama dalam arti
yang sebenarnya.
Fungsi surau sama dengan langgar di jawa begitu pula dengan kedudukan
Surau pada daerah Minangkabau sama dengan Pesantren di Jawa atau pondok di
Malasyia. Jadi surau dalam pengertian sebenarnya adalah pusat pengajaran Islam
bagi anak-anak untuk memperoleh ilmu agama. 14 Surau di Sumatera Barat
(Minangkabau) setelahkedatangan Islam mengalami perubahan struktur, secara
umum dapat dibagi dalamdua kategori, yaitu surau gadangketek (kecil). Surau
gadang adadapat menampung 80 sampai dengan 100 murid,atau lebih. Surau
gadang sengaja didirikan sebagaitempat pendidikan agama dalam pengertian
luas.15
Kurikulum pengajaran pendidikan Islam pada surau di Sumatera Barat
pencapaiannya untuk mewujudkan kesalehan ilahiyahhubungan baik dengan
Tuhannya (minalllah) dan kesalehan sosial yangdiimplementasikan dalam
hubungan baik sesama manusia (hablum minan-naas) dan lingkungannya. Hanya
sajadalam perkembangan, surau mengalamibenturan-benturan yang sangat
berpengaruhterhadap otoritas perannya sebagai lembagapendidikan Islam
tradisional. Benturan-benturan yang terjadi dalam otoritas surau itu disebabkan
adanya perbedaan prinsip dalam pengembangan surau sebagai lembaga
pendidikan Islam. Pemicu perbedaan itu terjadi akibat perbedaan pandangan
antara Intelektual muda Islam dengan Ulama tua yang cendrung mempertahankan
tradisi yang sudah melekat pada surau. Mengenai pertentangan antara kaum tua
dan muda tersebut menjurus pada munculnya gejolak sosial di di Sumatera Barat
(Minangkabau).
Pada awal abad ke-19, ketegangan antara tarekat Syatariyyah dan
tarekat Naqsybandiyyah memang tak terhindarkan. Bahkan, pertentangan antara
dua kelompok tarekat tersebut pada gilirannya menjadi bagian dari faktor
penyebab munculnya konflik sosial di Sumatra Barat, di samping juga faktor lainnya
seperti konflik antara ulama tua dan ulama muda. Berkaitan dengan konflik antara

14AzyurmadiAzra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi, hal. 118


15MohammadNasir, Peranan Surau Sebagai Lembaga Pendidikan Islam Tradisional di Padang Pariaman
Sumatera Barat (Surau Syeikh Burhanuddin), UNP, dalam, Jurnal Pedagogi Volume XII no. 2 November
2012
Pendidikan Berkualiti ke arah Pembentukan Nilai dan 2356
Peningkatan Ekonomi untuk Kesejahteraan Masyarakat

tarekat Syatariyyah dengan tarekat Naqsybandiyyah ini, berlangsung sudah cukup


lama, dalam sebuah laporan mencatat semenjak abad ke 18, bahkan pernah terjadi
pertentangan sengit yang menyebabkan permusuhan terbuka antara pusat
Syatariyyah di Ulakan dengan Taram dan Talawi yang berorientasi pada tarekat
Naqsybandiyyah.16
Pertentangan antara dua golongan tarikat tersebut berlanjut menjadi
pertentangan sosial, bahkan munculnya pertentangan antarakaum tua yang
bersifat konservatif dan kaum muda yang cendrung menerima perubahan,
merupakan keberlanjutan dari pertentangan dua tarekat tersebut. Menariknya
pertentangan antara kaum tua dan muda tersebut bukan sekedar pertentangan
dua aliran tarekat antara Naqsybandiyyah dan Syatariyyah, tetapi perubahan yang
mengikuti arah modernisasi yang diperkenalkan oleh Belanda melalui pendidikan
sekulernya. Kaum muda menginginkan surau sebagai lembaga pendidikan Islam di
Sumatera Barat (Minangkabau), mengikuti arus perubahan. Oleh sebab itu
dikemudian hari banyak dari kalangan kaum muda mendirikan berbagai madrasyah
yang memadukan model pendidikan Barat dengan Pendidikan Islam.
Pengaruh pendidikan Barat itu dimulai semenjak pelaksanaan kebijakan
Pemerintahan Belanda untuk memberikan kesempatan kepada kaum pribumi
untuk memperoleh pendidikan. Pada sistem sekolah baru sekuler yang didirikan
oleh pemerintah Hindia Belanda ini, bahasa Melayu dijadikan sebagai alat
pengantar pengajaran. Mata pelajaran agama dilarang, murid-muridnya berpakaian
Eropa. Di pihak lain mereka dididik menjadi calon birokrat pemerintahan kolonial di
nagari-nagari. Gambaran ini terus berlangsung hingga munculnya sekolah
administrasi untuk mencetak tenaga sipil perkebunan kopi.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka wajarlah para tokoh-tokoh
pembaharu yang datang dari Makkah dan didukung oleh para ulama Sumatera
Barat (di Minangkabau) sendiri didorong untuk mengubah kondisi (proses
modernisasi) yang menyangkut tentang ketertinggalan surau tersebut. Nampak
gerakan pembaharuan muncul sebagai gerakan reaksi terhadap situasi
keterbelakangan surau pada waktu itu. Bagaimana berlangsungnya modernisasi
dan pengaruhnya terhadap perubahan pola pendidikan akan dibahas pada bab
berikut.

III. PENGARUH MODERNISASI TERHADAP PENDIDIKAN ISLAMDI SUMATERA


BARAT DI ABAD ke-20
Mempertahankan daerah jajahan adalah salah satu tujuan utama yang hendak
dicapai oleh pemerintahan Kolonial Belanda, oleh sebab itu kebijakan yang
dikeluarkan, terutama dalam bidang pendidikan menempatkan Islam sebagai
saingan yang harus dihadapi. Pendidikan Barat diformulasikan sebagai faktor yang
akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia. Karena Islam danggap sebagai

16ChristineDobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi Minangkabau 1784
1847, (Jakarta: Komunitas Bambu. 2008), hal. 197.
2357 ASEAN Comparative Education Research Network Conference 2015
7-8 Oktober 2015, MALAYSIA

salah satu penghambat terbesar atas tujuan yang hendak dicapai oleh
pemerintahan Kolonial Belanda.
Sebaliknya umat Islam mempunyai kesadaran bahwa pemerintah kolonial
merupakan “Pemerintahan kafir” yang menjajah agama dan bangsa mereka.
Pemikiran seperti itu semakin mendalam tertanam dibenak umat Islam.
Surausebagai lembaga pendidikan Islam pada waktu itu mengambil sikap anti
Belanda. Sikap itu yang menjadi jurang pemisah antara umat Islam dengan
pemerintahan Kolonial Belanda. Begitu pula dengan pendidikan, meskipun umat
Islam menadopsi beberapa kurikulum pendidikan Barat seperti pendidikan umum,
tetapi tetap saja mempertahan dengan baik kurikulum pendidikan Islam yang
mengutamakan aqidah Islam.
Oleh sebab itu lembaga pendidikan Surau di Sumatera Barat dapat
berkembang dengan cepat mengikuti perkembangan pendidikan yang dikelola
oleh pemerintahan Kolonial Belanda maupun oleh kaum sekuler. Perkembagan
surau tidak lagi sebagai lembaga pendidika Islam, tetapi berobah menjadi sekolah
agama Islam seperti madrasah, tsanawiyah. Pendidikan Islam berbentuk madrasah
dan tsanawiyah berkembang dikota-kota besar seperti Bukittingi, Padang dan
Padang Panjang.
Melihat perkembangan dan kemajuan lembaga-lembaga pendidikan
Islam ini, maka pada tahun 1882 pemerintah Belanda membentuk suatu badan
khusus yang bertugas untuk mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam
yang mereka sebut Priesterraden. Pembentukan badan itu muncul, karena adanya
rasa kuatir dari pemerintahan Kolonial Belanda melihat perkembangan lembaga
pendidikan Islam yang selalu sebagai pusat-pusat perlawanan terhadap
pemerintahan Kolonial Belanda.
Atas nasihat badan inilah pada tahun 1905 pemerintah Belanda
mengeluarkan peraturan baru yang isinya bahwa orang yang memberikan
pengajaran atau pengajian agama Islam harus terlebih dulu meminta izin kepada
pemerintah Belanda. Setelah peraturan pertama keluar disusul kemudianpada
tahun 1925 keluarperaturan yang lebih ketat terhadap pendidikan Islam, yaitu
bahwa tidak semua Ulama boleh memberikan pelajaran mengaji kecuali mendapat
semacam rekomondasi atas persetujuan pemerintah Belanda.Kemudian pada
tahun 1932 keluar lagi peraturan yang isinya beberapa kewenangan untuk
memberantas dan menutup madrasah /sekolah yang tidak ada izinya atau
memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah Belanda yang
disebut Ordonasies Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie).17
Tujuan pemerintah Kolonial Belandamengeluarkan berbagai aturan itu
untuk membatasi ruang bagi lembaga pendidikan Islam, ternyata tidak berhasil.
Semuanya itu tidak terlepas dari anggapan pemerintahan Kolonial Belanda sendiri
yang menganggap bahwa dengan adanya pembatasan itu lembaga pendidikan
Islam bisa dihambat. Ternyata yang terjadi pendidikan Islam semakin kuat. Seperti

17Elizabeth E Graves, Asal Usul Elite Minangkabau Modern ……………, hal. 41-42
Pendidikan Berkualiti ke arah Pembentukan Nilai dan 2358
Peningkatan Ekonomi untuk Kesejahteraan Masyarakat

sudah dijelaskan sebelumnya, madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam


semakin berkembang.Semuanya itu tidak terlepas dariperkiraan pemerintah
Kolonial Belanda yang salah memperhitungkan faktor kemampuanIslam untuk
mempertahankan diri di negeri ini, juga belum memperhitungkanfaktor
kesanggupan Islam menyerap kekuatan dari luar untuk meningkatkan diri, sehingga
mampu beradaptasi dalam semua situasi.
Melihat kondisi seperti itu, pemerintahan Kolonial Belanda kemudian
menerima saran Snouck Hurgronje dan merubah taktiknya dalam mengahadapi
Islam. Saran itu adalah:
1) Menyarankan kepada pemerintah colonial Belanda agar netral terhadap agama
yakni tidak ikut campur tangan dan tidak memihak kepada salah satu agama
yang ada, menurutnya fanatisme dalam Islam itu akan luntur sedikit demi
sedikit melalui proses pendidikan secara evolusi.
2) Pemerintah Belanda diharapkan dapat membendung masuk Pan
Islamisme yang sedang berkembang di Timur Tenggah, dengan jalan
menghalangi masuknya buku-buku atau brosur lain dari luar ke wilayah
Indonesia, mengawasi kontak langsung dan tidak langsung tokoh-tokoh Islam
dengan tokoh luar, serta membatasi dan mengawasi orang-orang yang pergi
ke Mekkah, dan bahkan kalau memungkinkan melarangnya. Karena
dikhawatirkan pengalaman yang didapatkan di luar akan dibawa ke Indonesia
dan mempengaruhi kelanggengan kekuasaan kolonial.18

Kebijakan pemerintahan Kolonial Belanda yang mulai kompromis terhadap Islam,


semakin mempercepat proses pembaharuan di lingkungan pendidikan Islam.
Perubahan terhadap pendidikam Islam tidak lagi bisa dibendung, bahkan
pertentangan antara kaum tua dan kaum muda lebur dalam semangat perubahan
tersebut. Pada saat ini surau sebagai lembaga pendidikan secara berangsur mulai
ditinggalkan dan beralih pada lembaga pendidikan Islam yang
disebutmadrasah (dari bahasa Arab yang berarti : tempat mendalami ilmu
pengetahuan). Bahkan, beberapa kalangan modernis Islam di Sumatera Barat
menggunakan istilah yang terlihat lebih “akomodatif” dengan istilah sistem
pendidikan yang diperkenalkan oleh Belanda, seperti Madras School, Diniyah
School, Normal Islam, Islam College dan sebagainya. Setidaknya ada dua aspek yang
terlihat dari perubahan istilah ini, pertama : perubahan metode pengajaran dari
metode halaqah ke metode klassikal, kedua : mulai diajarkan mata-mata pelajaran
umum seperti Sejarah, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Jiwa, Bahasa
Ingris, Bahasa Belanda dan lain-lain (Mardjani Martamin, 1997: 84-100,256-258).
Sekolah-sekolah seperti yang disebutkan belakangan, umumnya terdapat di
daerah-daerah perkotaan, sedangkan di wilayah pedesaan lazimnya tetap
menggunakan istilah madrasah.

18E.Gobeen dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C Snouck Horgronye Semasa Kepegawaiannya Kepada


Pemerintah Hindia Belanda, Jakarta: Seri Khusus INIS VIII,1993.
2359 ASEAN Comparative Education Research Network Conference 2015
7-8 Oktober 2015, MALAYSIA

Akhirnya surau yang pada awalnya menjadi pusat gerakan modernis


Islam yang dipelopori oleh ulama modernis cenderung menyelenggarakan
pendidikan formal Islam melalui madrasah tersebut. Tokoh-tokoh yang punya andil
dalam melakukan modernisasi pendidikan Islam tersebut antara lain adalah Inyiak
Rasul dan Dr. Abdullah Ahmad, keduanya dipengaruhi pemikiran Jamaluddin al-
Afghani. Beberapa contoh surau yang melakukan memodernisasi adalah surau
Jembatan Besi, dan yang berbentuk pendidikan model Barat seperti Adabiah yang
didirikan oleh Dr. Abdullah Ahmad. Model pendidikan seperti Adabiah adalah
dalam bentuk yang menghilangkan dikotomi pengajaran umum dan agama sebagai
acuan model baru persekolahan Islam.
Menurut Azyumardi sejak itu bukan saja “jumlah surau , menjadi
kurang”, tetapi juga citra surau semakin lemah bahkan membentuk imej (citra)
bahwa surau itu merupakan simbol dariketerbelakangan. Bahkan Inyiak Rasul
(Abdul Karim Amrullah) membandingkan antara lembaga pendidikan surau dengan
volck shoolen sebagai sebuah simbol dari alam kemajuan (modern). Murid dan
gurunya gagah pakai dasi dan sepatu. Surau pakai tengkelek dan sarungan dan
sebagainya. Sementara keadaan material orang sukses yang di jalani kelompok
modern, semakin meninggi. Akibatnya hubungan orang Minang dengan Surau
“terputus”.19Artinya sejak muncul era sekolah modern Islam kaum muda era volck
schoolen, putus hubungan dengan surau dan masyarakat sendiri sudah ikut dalam
arus perubahan tersebut, sehingga kurang membantu lagi dalam pengembangan
surau sebagai lembaga pendidikan Islam. Oleh sebab itu surau di Sumatera Barat
(Minangkabau) tidak lagi berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi hanya
sebatas tempat pelaksanaan ibadah seperti pelaksanaan sholat dan mengaji
(membaca Alquran).
Sementara itu posisi madrasah sebagai lembaga pendidikan,
masajayanyadi Sumatera Baratbertahan hingga tahun 1970, meski proses
penurunannya sudah terlihat sejak satu dasa warsa sebelum itu. Penurunan masa
jaya madrasah ini seiring dengan wafatnya ulama-ulama yang menjadi figure-figur
sentral (tokoh-tokoh) madrasah itu sendiri. Keadaan ini justru berbanding terbalik
dengan perkembangan pesantrensebagai sistem pendidikan tradisional di Jawa
yang pada periode tahun 1970-antersebut memperlihatkan kemajuan yang cukup
signifikan.
Pada watu yang sama, banyak madrasah di Minangkabau (Sumatera
Barat) mulai secara berangsur-angsur mengalami mati suri, kecuali beberapa yang
mencoba bertahan dengan sisa-sisa “kekuatan kharisma” tokoh-tokoh masa
lalunya, namun secara umum kekuatan kharisma kelembagaannya tetap
mengalami kemunduran. Hal ini lebih diperparah lagi dengan mulai beralihnya
kecendrungan mayoritas masyarakat untuk belajar ke pesantren-pesantren di
Jawa.

19AzyumardiAzra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 2003)
Pendidikan Berkualiti ke arah Pembentukan Nilai dan 2360
Peningkatan Ekonomi untuk Kesejahteraan Masyarakat

Sementara itu disisi lain, semenjak fungsi surau tidak lagi punya peran
penting, termasuk dengan mulai mundurnya peran madrasah sebagai lembaga
pendidikan Islam. Memberikan dampak yang cukup penting terhadap generasi
muda sekarang. Dampak yang paling penting adalah, generasi muda sekarang
kehilangan tempat untuk menerima pembelajaran yang berkaitan dengan adat
istiadat (regenerasi budaya). Sehingga generasi sekarang banyak yang sudah jauh
dari praktek kehidupan budaya Minangkabau yang diatur berdasarkan filosofi adat.
Kondisi ini dirasakan oleh Pemerintahan Daerah Propinsi Sumatera Barat, sehingga
dibuat program yang dikenal dengan istilah kembali ke Surau. Program ini sudah
disosialisasikan, realitanya program ini tentap saja tidak mencapai tataran ideal,
bahkan dapat dikatakan tidak jalan sebagaimana yang diharapkan
Kemunculan pondok Pesantren sekitar tahun 1990-an, memberikan
harapan baru bagi masyarakat Sumatera Barat. Pada waktu ini para
pengelola madrasah (bukan berarti ulama) di Sumatera Barat ramai-ramai
merobah sistem pengajarannya dengan sistem pengajaran pesantren seperti di
Jawa, bahkan tidak sedikit juga yang hanya merobah nama
dari madrasah menjadipondok pesantren untuk sekedar menumpang
popularitas pesantren Jawa. Ada perbedaan yang menonjol antara sistem
pendidikan madrasah dengan pesantren yang terdapat di daerah Jawa. Di
Sumatera Barat (Minangkabau),madrasah-madrasah yang ada, baik yang dikelola
oleh pondok pesantren, termasuk wadah pendidikan modern seperti Diniyah
School, Madras School dan lain-lainnya, tidak menerapkan sistem belajar sepenuh
hari sebagaimana yang terdapat di Jawa. Jam pelajaran telah diatur sedemikian
rupa sebagaimana yang juga berlaku pada sistem pendidikan kolonial.
Kehadiran Pondok pesantren bagi sebagian besar masyarakat Sumatera
Barat, memberikan harapan baru, karena pondok pesantren dilihat sebagai
alternative pengganti peran surau. Oleh sebab itu perkembangan pondok
pesantren di Sumatera Barat tumbuh dengan sangat cepat, hampir semua daerah,
mulai dari daerah pesisir sampai ke daerah pedalaman Sumatera Barat
bermunculan berbagai macam pondok pesantren yang mengelola semua tingkatan
pendidikan. Berdasarkan data BPS propinsi Sumatera Barat saat ini ada sekitar 233
lembaga pondok pesantren tersebar di seluruh wilayah propinsi Sumatera Barat. Ini
adalah sebuah fenomena baru di wilayah ini, karena sebagai daerah yang punya
kultur berbeda dengan daerah asal pondok pesantren yaitu dari kultur Jawa, dapat
berkembang dengan cepat di daerah ini.

IV. SIMPULAN
Perubahan yang terjadi terhadap pola pendidikan yang dikelola oleh Surau di
Sumatera Barat, menjadi sebuah ironi dari hilangnya identitas kultural sistem
pendidikan Minangkabau sebagai akibat dari madegnya proses regenerasi ulama
kharismatis yang dimiliki oleh Sumatera Barat (Minangkabau) pada masa yang lalu.
Hal itu dimulai dari ditinggalkannya peran surau sebagai lembaga yang
bertanggungjawab guna membentuk generasi dengan basis kultur Minangkabau.
2361 ASEAN Comparative Education Research Network Conference 2015
7-8 Oktober 2015, MALAYSIA

Pengaruh modernisasi terhadap pendidikan di Sumatera Barat


merupakan faktor pendorong beralihnya lembaga surau menjadi madrasah-
madrasah. Hanya saja madrash ini juga tidak bertahan lama, karena setelah
menjadi madrasah, tidak ada lagi tokoh panutan (public figure) di lingkungan
madrasah, yang ada hanya sebagai pimpinan-pimpinan lembaga pendidikan yang
tidak memiliki kekuatan kharisma, kecuali (mungkin) hanya mewarisi kharisma
pendahulunya berdasarkan hubungan genealogis semata. Karena itu, untuk tetap
survive, tidak ada yang dapat dilakukan, kecuali hanya mengadopsi popularitas
pihak lain, meski itu hanya nama. Oleh sebab itu, akhirnya pesantren yang menjadi
penganti lembaga pendidikan Islam baru di lingkungan masyarakat Sumatera Barat
(Minangkabau) dan lembaga ini tumbuh dengan subur di wilayah ini.

RUJUKAN

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi menuju Millenium Baru, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999
_____________, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003
Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990
Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi Minangkabau
1784 1847, Jakarta: Komunitas Bambu. 2008
Elizabeth E Graves, Asal Usul Elite Minangkabau Modern Respons Terhadap Kolonial
Belanda abad XIX/XX, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2007
E.Gobeen dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C Snouck Horgronye Semasa Kepegawaiannya
Kepada Pemerintah Hindia Belanda, Jakarta: Seri Khusus INIS VIII,1993.
Gilbert J. Graghan, A. Guide to Historical Method, New York: Fordham University Press.
1984
Gusti Asnan, et.,al, Adabiah: Perintis Pendidikan Modern di Sumatera Barat. Yogyakarta:
Ombak. 2013
Imron, Modernisasi Pendidikan Islam: Pesantren dan Surau, (Makalah. 2010).
MohammadNasir, Peranan Surau Sebagai Lembaga Pendidikan Islam Tradisional di Padang
Pariaman Sumatera Barat (Surau Syeikh Burhanuddin), UNP, dalam, Jurnal Pedagogi
Volume XII no. 2 November 2012
Sumarsono Mestoko, et, al., Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman, Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-Balai Pustaka. 1986
T. Ibrahim Alfian, et al., ed., Dari babad Dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis:Kumpulan
Karangan dipersembahkan kepada Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. 1992
Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau ; Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Balai
Pustaka. 2005
Yulizar Yunus, Beberapa Ulama di Sumatera Barat, Padang: Pemerintahan Propinsi
Sumatera Barat. 2008

Anda mungkin juga menyukai