166 Kharles
166 Kharles
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan proses perubahan pola pendidikan Islam; Dari
Lembaga Surau ke Lembaga Pondok Pesantren di Sumatera Barat. Penekanan penelitian ini
merupakan tinjauan peristiwa sejarah terhadap aspek perubahan dalam pendidikan Islam di
Sumatera Barat, oleh sebab itu metode yang digunakan adalah metode sejarah. Adapun
metode sejarah memiliki empat tahapan penelitian, pertama heuristic yaitu pengumpulan
data-data sebagai sumber peristiwa yang diteliti. Sumbernya terdiri dari dua jenis sumber
yaitu, primer dan sekunder. Sumber primer diperoleh dari sumber tangan pertama kalau itu
ada, tetapi paling tidak dapat menggunakan sumber sekunder atau sumber tangan kedua
yang dasarnya tetap dari sumber tangan pertama. Artinya penelitian ini lebih banyak
mengunakan penelitian perpustakaan guna memperoleh data yang menjadi sumber
peristiwa. Selanjutnya melakukan kritik sumber dalam rangka seleksi dari kebenaran
sumber, mennganalisisnya dan berikutnya merangkainya menjadi tulisan tentang
berlangsungnya peristiwa (historiografi). Perkembangan Pola pendidikan Islam di Sumatera
Barat mengarah pada bentuk lembaga Pondok Pesantren sudah terlihat kecendrungannya
semenjak awal abad 20. Kondisi ini sudah menjadi fenomena baru di lingkungan pendidikan
Islam di Sumatera Barat, terbukti dengan pertumbuhan pondok pesantren yang saat ini
berjumlah 233 pondok di seluruh Propinsi Sumatera Barat. Gejala ini cukup menarik untuk
disimak, terkait dengan latarbelakang Sumatera Barat yang memiliki kultur Minangkabau
selama ini tidak mengenal sistem pendidikan dengan pola yang diterapkan dilingkungan
Pondok Pesantren. Surau merupakan lembaga pendidikan Islam yang erat kaitannya
dengan kultur masyarakat Sumatera Barat. Kalau pun ada perubahan, karena pengaruh
modernisasi pendidikan pada masa Kolonial di awal abad 20, itu hanya sekedar merubah
sistem halaqah pada sistem klasikal. Baru sekitar tahun 1970-an kecendrungan untuk
mengadopsi model pendidikan yang dikembangkan oleh lembaga Pondok Pesantren mulai
bermunculan. Adanya perubahan terhadap pola pendidikan Islam di Sumatera Barat
disebabkan oleh tidak berfungsingnya lembaga surau sebagai tempat pendidikan Islam,
semenjak pengaruh modernisasi melanda daerah ini.
LATAR BELAKANG
1YulizarYunus, Beberapa Ulama di Sumatera Barat, (Padang: Pemerintahan Propinsi Sumatera Barat.
2008), hal. 3.
2Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau ; Dalam Perspektif Sejarah. (Jakarta: Balai Pustaka.
4Elizabeth E Graves, Asal Usul Elite Minangkabau Modern Respons Terhadap Kolonial Belanda abad
XIX/XX, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2007), hal. 176.
5 Gusti Asnan, et,.al. Adab……..……, hal. 37
6Sumarsono Mestoko, et, al., Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman, (Jakarta: Departemen
semakin membuka mata orang Sumatera Barat atas harapan baru akan dunia kerja.
Buktinya tamatan Kweekschool (Sekolah Raja) tidak hanya menjadi guru, tetapi
mereka juga dipekerjakan sebagai pegawai sipil dan tenaga jaksa di Landraad
(Badan Peradilan), pengawas gudang, dan sebagainya.
Inilah yang mendorong orang Sumatera Barat (Minang), terutama
generasi muda untuk mengikuti trend sekolah sekuler tersebut. Sehingga surau
yang selama ini sebagai lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan anak tentang
Alquran, Akidah, Akhlak, Fiqh, adat dan bela diri (pencak silat), mulai merubah pola
mengajarnya yang selama ini dengan sistem halaqah pada sistem klasikal yang
diperkenalkan oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Perubahan itu diikuti pula
dengan perubahan kurikulum dan kelembagaan, dari surau menjadi “Madrasyah”.
Perubahan yang dilakukan kaum intelektual muda mengancam
keberadaan surau sebagai lembaga pendidikan. Guna menjaga eksistensinya,
ulama tradisional dan kaum intelektual muda sepakat untuk memodernisasikan
sistem pendidikan surau dengan mendirikan madrasah modern sebagai alternatif
pendidikan surau. 10 Apa yang dilakukan oleh Intelektual muda dan Ulama
Tradisional mengalami sukses besar, sehingga banyak surau yang ditransformasikan
menjadi madrasah. Akibatnya murid surau merosot hebat. Tahun 1933, surau
dilaporkan memiliki murid hanya sekitar 9.285 orang, sementara madrasah
mempunyai 25.292 pelajar. Dalam masa kemerdekaan, hanya beberapa surau saja
yang mampu bertahan, dan di masa akhir ini sebagian surau mulai menamakan diri
sebagai pesantren. Sedangkan surau sendiri lebih sekedar sebagai tempat belajar
membaca al-Qur’an atau arenasosialisasi anak-anak dan remaja.
Meskipun saat ini pemerintahan daerah Sumatera Barat mencoba
menghidupkan kembali fungsi surau sebagaimana fungsi surau dahulunya, tetapi
yang terjadi masyarakat Sumatera Barat lebih memilih untuk mengembangkan
lembaga Pesantren sebagai alternatif penganti surau sebagai lembaga pendidikan
Islam, itu terbukti dengan pertumbuhan jumlah pesantren saat ini sebayak 233
pesantren di seluruh Sumatera Barat. Semuanya itu tidak terlepas dari mulai
timbulnya perasaan tidak puas terhadap fungsi surau yang tidak mungkin lagi
mampu menjawab tantangan jaman yang sudah berubah. Inilah menariknya kajian
tentang perubahan Pola mengajar dalam lembaga pendidikan Islam, guna melihat
proses perubahan tersebut sebagai ajang pembelajaran bagi kita semua.
Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, kajian ini akan melihat mengapa dan
bagaimana proses perubahan itu terjadi. Manariknya adalah proses perubahan
dari akar budaya yang sudah mapan kepada hal baru merupakan proses yang dilalui
melalui pertentangan yang panjang antara kaum intelektual muda dengan ulama
tradisional.
10AzyumardiAzra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi menuju Millenium Baru, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999), hal. 122.
2353 ASEAN Comparative Education Research Network Conference 2015
7-8 Oktober 2015, MALAYSIA
1.3. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian tentang pola perubahan pendidikan Islam
yang berjudul “Perubahan Pola Pendidikan Islam di Sumatera Barat ; Dari Surau ke
Pondok Pesantren Semenjak Awal Abad 20”, penulis akan menggunakan metode
sejarah antara lain menurut Gilbert J. Garraghan dalam bukunya A Guide to
Historical Method menjelaskan bahwa metode sejarah adalah seperangkat azas
atau kaidah-kaidah yang sistematis yang digubah untuk membantu mengumpulkan
sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis, dan menyajikan suatu sintesis
hasil yang dicapai, pada umumnya dalam bentuk tertulis.12 Louis Gottschalk, dalam
Mengerti Sejarah menjelaskan bahwametode sejarah adalah proses menguji dan
menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau,13dimulai dari
pengumpulan data hingga penulisan.
Mengingat konteks waktu penelitian ini relative cukup panjang, sehingga
penulis akan banyak menemukan kesulitan dalam mendapatkan data primer. Oleh
sebab itu penulis memutuskan hanya menggunakan sumber sekunder yang juga
berangkat dari sumber primer. Karena penelitian ini hanya menggunakan sumber
sekunder, maka untuk pengumpulan sumber hanya dengan cara studi perpustakaan.
Terkait hal itu, maka penulisan ini hanya memanfaatkan jasa Pustaka Daerah,
Pustaka STKIP PGRI Sumatera Barat dan Pustaka Nasional.
Fakta sejarah yang telah diperoleh baik dari lisan maupun tertulis
diberi arti dan makna, kemudian dirangkaikan satu sama lainnya
(direkonstruksi), sehingga menjadi suatu jalinan cerita yang sistematis yang
mudah dipahami.
11Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1990). hal.63
12 Gilbert J. Graghan, A. Guide to Historical Method, (New York: Fordham University Press. 1984), hlm.
54-57. Lihat juga Ibrahim Alfian, Tentang Metodologi Sejarah Dalam Buku T. Ibrahim Alfian, et al., ed.,
Dari babad Dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis:Kumpulan Karangan dipersembahkan kepada Prof. Dr.
Sartono Kartodirdjo, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1992), hal. 409-419.
13 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah. Penterjemah Nugroho Notosusanto, (Jakarta: Universitas
16ChristineDobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi Minangkabau 1784
1847, (Jakarta: Komunitas Bambu. 2008), hal. 197.
2357 ASEAN Comparative Education Research Network Conference 2015
7-8 Oktober 2015, MALAYSIA
salah satu penghambat terbesar atas tujuan yang hendak dicapai oleh
pemerintahan Kolonial Belanda.
Sebaliknya umat Islam mempunyai kesadaran bahwa pemerintah kolonial
merupakan “Pemerintahan kafir” yang menjajah agama dan bangsa mereka.
Pemikiran seperti itu semakin mendalam tertanam dibenak umat Islam.
Surausebagai lembaga pendidikan Islam pada waktu itu mengambil sikap anti
Belanda. Sikap itu yang menjadi jurang pemisah antara umat Islam dengan
pemerintahan Kolonial Belanda. Begitu pula dengan pendidikan, meskipun umat
Islam menadopsi beberapa kurikulum pendidikan Barat seperti pendidikan umum,
tetapi tetap saja mempertahan dengan baik kurikulum pendidikan Islam yang
mengutamakan aqidah Islam.
Oleh sebab itu lembaga pendidikan Surau di Sumatera Barat dapat
berkembang dengan cepat mengikuti perkembangan pendidikan yang dikelola
oleh pemerintahan Kolonial Belanda maupun oleh kaum sekuler. Perkembagan
surau tidak lagi sebagai lembaga pendidika Islam, tetapi berobah menjadi sekolah
agama Islam seperti madrasah, tsanawiyah. Pendidikan Islam berbentuk madrasah
dan tsanawiyah berkembang dikota-kota besar seperti Bukittingi, Padang dan
Padang Panjang.
Melihat perkembangan dan kemajuan lembaga-lembaga pendidikan
Islam ini, maka pada tahun 1882 pemerintah Belanda membentuk suatu badan
khusus yang bertugas untuk mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam
yang mereka sebut Priesterraden. Pembentukan badan itu muncul, karena adanya
rasa kuatir dari pemerintahan Kolonial Belanda melihat perkembangan lembaga
pendidikan Islam yang selalu sebagai pusat-pusat perlawanan terhadap
pemerintahan Kolonial Belanda.
Atas nasihat badan inilah pada tahun 1905 pemerintah Belanda
mengeluarkan peraturan baru yang isinya bahwa orang yang memberikan
pengajaran atau pengajian agama Islam harus terlebih dulu meminta izin kepada
pemerintah Belanda. Setelah peraturan pertama keluar disusul kemudianpada
tahun 1925 keluarperaturan yang lebih ketat terhadap pendidikan Islam, yaitu
bahwa tidak semua Ulama boleh memberikan pelajaran mengaji kecuali mendapat
semacam rekomondasi atas persetujuan pemerintah Belanda.Kemudian pada
tahun 1932 keluar lagi peraturan yang isinya beberapa kewenangan untuk
memberantas dan menutup madrasah /sekolah yang tidak ada izinya atau
memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah Belanda yang
disebut Ordonasies Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie).17
Tujuan pemerintah Kolonial Belandamengeluarkan berbagai aturan itu
untuk membatasi ruang bagi lembaga pendidikan Islam, ternyata tidak berhasil.
Semuanya itu tidak terlepas dari anggapan pemerintahan Kolonial Belanda sendiri
yang menganggap bahwa dengan adanya pembatasan itu lembaga pendidikan
Islam bisa dihambat. Ternyata yang terjadi pendidikan Islam semakin kuat. Seperti
17Elizabeth E Graves, Asal Usul Elite Minangkabau Modern ……………, hal. 41-42
Pendidikan Berkualiti ke arah Pembentukan Nilai dan 2358
Peningkatan Ekonomi untuk Kesejahteraan Masyarakat
19AzyumardiAzra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 2003)
Pendidikan Berkualiti ke arah Pembentukan Nilai dan 2360
Peningkatan Ekonomi untuk Kesejahteraan Masyarakat
Sementara itu disisi lain, semenjak fungsi surau tidak lagi punya peran
penting, termasuk dengan mulai mundurnya peran madrasah sebagai lembaga
pendidikan Islam. Memberikan dampak yang cukup penting terhadap generasi
muda sekarang. Dampak yang paling penting adalah, generasi muda sekarang
kehilangan tempat untuk menerima pembelajaran yang berkaitan dengan adat
istiadat (regenerasi budaya). Sehingga generasi sekarang banyak yang sudah jauh
dari praktek kehidupan budaya Minangkabau yang diatur berdasarkan filosofi adat.
Kondisi ini dirasakan oleh Pemerintahan Daerah Propinsi Sumatera Barat, sehingga
dibuat program yang dikenal dengan istilah kembali ke Surau. Program ini sudah
disosialisasikan, realitanya program ini tentap saja tidak mencapai tataran ideal,
bahkan dapat dikatakan tidak jalan sebagaimana yang diharapkan
Kemunculan pondok Pesantren sekitar tahun 1990-an, memberikan
harapan baru bagi masyarakat Sumatera Barat. Pada waktu ini para
pengelola madrasah (bukan berarti ulama) di Sumatera Barat ramai-ramai
merobah sistem pengajarannya dengan sistem pengajaran pesantren seperti di
Jawa, bahkan tidak sedikit juga yang hanya merobah nama
dari madrasah menjadipondok pesantren untuk sekedar menumpang
popularitas pesantren Jawa. Ada perbedaan yang menonjol antara sistem
pendidikan madrasah dengan pesantren yang terdapat di daerah Jawa. Di
Sumatera Barat (Minangkabau),madrasah-madrasah yang ada, baik yang dikelola
oleh pondok pesantren, termasuk wadah pendidikan modern seperti Diniyah
School, Madras School dan lain-lainnya, tidak menerapkan sistem belajar sepenuh
hari sebagaimana yang terdapat di Jawa. Jam pelajaran telah diatur sedemikian
rupa sebagaimana yang juga berlaku pada sistem pendidikan kolonial.
Kehadiran Pondok pesantren bagi sebagian besar masyarakat Sumatera
Barat, memberikan harapan baru, karena pondok pesantren dilihat sebagai
alternative pengganti peran surau. Oleh sebab itu perkembangan pondok
pesantren di Sumatera Barat tumbuh dengan sangat cepat, hampir semua daerah,
mulai dari daerah pesisir sampai ke daerah pedalaman Sumatera Barat
bermunculan berbagai macam pondok pesantren yang mengelola semua tingkatan
pendidikan. Berdasarkan data BPS propinsi Sumatera Barat saat ini ada sekitar 233
lembaga pondok pesantren tersebar di seluruh wilayah propinsi Sumatera Barat. Ini
adalah sebuah fenomena baru di wilayah ini, karena sebagai daerah yang punya
kultur berbeda dengan daerah asal pondok pesantren yaitu dari kultur Jawa, dapat
berkembang dengan cepat di daerah ini.
IV. SIMPULAN
Perubahan yang terjadi terhadap pola pendidikan yang dikelola oleh Surau di
Sumatera Barat, menjadi sebuah ironi dari hilangnya identitas kultural sistem
pendidikan Minangkabau sebagai akibat dari madegnya proses regenerasi ulama
kharismatis yang dimiliki oleh Sumatera Barat (Minangkabau) pada masa yang lalu.
Hal itu dimulai dari ditinggalkannya peran surau sebagai lembaga yang
bertanggungjawab guna membentuk generasi dengan basis kultur Minangkabau.
2361 ASEAN Comparative Education Research Network Conference 2015
7-8 Oktober 2015, MALAYSIA
RUJUKAN
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi menuju Millenium Baru, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999
_____________, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003
Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990
Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi Minangkabau
1784 1847, Jakarta: Komunitas Bambu. 2008
Elizabeth E Graves, Asal Usul Elite Minangkabau Modern Respons Terhadap Kolonial
Belanda abad XIX/XX, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2007
E.Gobeen dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C Snouck Horgronye Semasa Kepegawaiannya
Kepada Pemerintah Hindia Belanda, Jakarta: Seri Khusus INIS VIII,1993.
Gilbert J. Graghan, A. Guide to Historical Method, New York: Fordham University Press.
1984
Gusti Asnan, et.,al, Adabiah: Perintis Pendidikan Modern di Sumatera Barat. Yogyakarta:
Ombak. 2013
Imron, Modernisasi Pendidikan Islam: Pesantren dan Surau, (Makalah. 2010).
MohammadNasir, Peranan Surau Sebagai Lembaga Pendidikan Islam Tradisional di Padang
Pariaman Sumatera Barat (Surau Syeikh Burhanuddin), UNP, dalam, Jurnal Pedagogi
Volume XII no. 2 November 2012
Sumarsono Mestoko, et, al., Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman, Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-Balai Pustaka. 1986
T. Ibrahim Alfian, et al., ed., Dari babad Dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis:Kumpulan
Karangan dipersembahkan kepada Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. 1992
Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau ; Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Balai
Pustaka. 2005
Yulizar Yunus, Beberapa Ulama di Sumatera Barat, Padang: Pemerintahan Propinsi
Sumatera Barat. 2008