Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jual beli merupakan kegiatan yang cukup penting dan tidak bisa terlepas dari kehidupan
manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Seiring berkembangnya zaman,
praktek jual beli mengalami banyak perkembangan bentuk transaksi karena kemajuan
teknologi yang semakin pesat. Penjualan barang dengan pembayaran tunai dan kredit adalah
salah satu contoh konkret perkembangan transaksi jual beli yang sudah banyak dilakukan.
Dikarenakan daya beli dan taraf ekonomi masyarakat yang berbeda-beda, maka praktek
jual beli ini dikatakan sebagai alternatif dan mulai diminati banyak kalangan, terutama
kalangan menengah ke bawah, yang mana terkadang mereka terdesak untuk membeli barang
tertentu yang tidak bisa ia beli secara kontan, maka kredit adalah pilihan yang mungkin tepat.
Tidak dipungkiri lagi bahwa praktek jual beli seperti ini terdapat unsur-unsur pertolongan
antara penjual dan pembeli. Tetapi secara obyektif keuntungan yang diperoleh keduanya
tidaklah sama, bisa berubah setiap waktu. Pada prakteknya, para pelaku usaha menjual
barang dengan opsi pembayaran dengan harga yang berbeda, yaitu secara tunai dengan harga
normal, atau secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga normal. Oleh karena itu,
pada makalah ini akan dipaparkan mengenai hukum penjualan barang diatas harga yang
sebenarnya karena kredit (jual beli dengan sistem kredit) yang saat ini marak dalam
kehidupan kita.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan penjualan dengan sistem kredit?
2. Apa hukum jual beli dengan sistem kredit?
3. Bagaimana fatwa para ulama seputar jual beli dengan sistem kredit?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian penjualan dengan sistem kredit
2. Untuk mengetahui hukum jual beli dengan sistem kredit
3. Untuk mengetahui fatwa ulama seputar jual beli dengan sistem kredit

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Penjualan Dengan Sistem Kredit


Jual beli kredit dalam istilah fiqih disebut ba’i taqsith. Secara bahasa, al-taqs ialah
membagi-bagi sesuatu dan memisahkannya menjadi beberapa bagian yang terpisah.
Sedangkan secara istilah, ba’i taqs adalah transaksi jual beli dengan sistem bayar kredit
(cicilan) dalam batas waktu tertentu dengan harga yang relatif lebih tinggi dibanding harga
dengan sistem tunai (cash). Lonjakan harga dalam sistem kredit tidak dikategorikan sebagai
riba.1
Dalam jual beli kredit, memang ada kemiripin antara riba dan tambahan harga. Namun,
adanya penambahan harga dalam jual beli kredit adalah sebagai ganti penundaan pembayaran
barang. Ada perbedaan yang mendasar antara jual beli kredit dan riba. Allah menghalalkan
jual beli termasuk jual beli kredit karena adanya kebutuhan. Sementara mengharamkan riba
karena adanya penambahan murni karena penundaan.2
Jual beli dengan sistem kredit adalah jual beli yang dilakukan tidak secara kontan dimana
pembeli sudah menerima barang sebagai objek jual beli, namun ia belum membayar harga,
baik keseluruhan maupun sebagian. Pembayaran dilakukan berangsur-angsur sesuai dengan
kesepakatan.
Jadi, inti jual beli kredit adalah bahwa jual beli kredit merupkan suatu pembelian barang,
yang pembayaran harga barang tersebut dilakukan secara berangsur-angsur sesuai dengan
tahapan pembayaran yang telah disepakati antara penjual dan pembeli. Contohnya, seorang
ibu rumah tangga membeli alat-alat rumah tangga kepada seorang pedagang keliling,
biasanya dilakukan atas dasar kepercayaan penuh antara kedua belah pihak, kadang-kadang
menggunakan uang muka dan terkadang tidak sama sekali, biasanya pembayarannya
dilakukan dengan angsuran satu kali dalam sebulan.

1
Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), hlm.16
2
Imam Musthofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), hlm.53

2
2.2 Hukum Jual Beli Dengan Sistem Kredit
Ulama telah membahas persoalan ini, sehingga terdapat perbedaan pendapat yakni ada
yang membolehkan dan ada yang melarang.
1. Hukum yang membolehkan.
Ulama dari empat madzhab; Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah, Hambaliyah, Zaid bin
Ali dan mayoritas ulama membolehkan jual beli dengan sistem ini, baik harga barang
yang menjadi obyek transaksi sama dengan harga cash maupun lebih tinggi. Namun
demikian mereka mensyaratkan kejelasan akad, yaitu adanya kesepahaman antara penjual
dan pembeli bahwa jual beli itu memang dengan sistem kredit. Dalam kasus ini biasanya
penjual meyebutkan dua harga, yaitu harga cash dan harga kredit. Si pembeli harus jelas
mau membeli cash atau kredit.3
Allah SWT berfirman :
ۡ ‫َف‬
ُۚ‫ٱك ُتبُوه‬ َ ‫ٰ َٓيأ َ ُّي َها ٱلَّذ‬
‫ِين َءا َم ُن ٓو ْا إِ َذا َتدَا َين ُتم ِب ۡدَي ٍن إِ َل ٰ ٓى أَ َج ٖل م َُّس ٗ ّمى‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan praktek hutang piutang.
Sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman ayat ini
menjadi dasar diperbolehkannya pengkreditan.
Hadits riwayat ‘Aisyah ra: “Rasulullah saw membeli sebagian bahan makanan dari orang
Yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisau beliau
kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hadits ini,rasulullah saw membeli bahan makanan dengan pembayaran
dihutang, dan sebagai jaminannya beliau menngadaikan perisainya. Dengan demikian
hadits ini menjadi dasar dibolehknnya jual beli dengan pembayaran dihutang, dan
pengkreditan adalah salah satu bentuk jual beli pembayaran dihutang.
Membayar harga secara kredit diperbolehkan, asalkan tempo atau waktu
ditentukan dan jumlah pembayaran telah ditentukan sesuai kesepakatan. Namun para
ulama ketika membolehkan jual-beli secara kredit yaitu, dengan ketentuan selama pihak
penjual dan pembeli mengikuti kaidah dan syarat-syarat keabsahannya sebagai berikut :
3
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Metro: STAIN Jurai Siwo, 2014), hlm.41

3
a) Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan pembeli.
b) Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi
sehingga terhindar dari parktik bisnis penipuan.
c) Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran
pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba.
d) Hindari penundaan serah terima barang
e) Penjual memiliki barang yang hendak ia jual
f) Penjual harus menjadikan barang yang akan dijual sudah masuk diawah pertanggung
jawabannya. Artinya, jika terjadi sesuatu atas barang tersebut maka penjuallah yang
bertanggung jawab mengganti atau memperbaikinya.
g) Jika barang sudah berada di tangan pembeli dan kesepakatan harga sudah disetujui,
maka barang resmi menjadi milik pembeli. Dengan demikian, penjual tidak berhak
menyita atau menarik kembali barang dagangannya meskipun uang cicilan kredit
belum selesai.

2. Hukum yang tidak membolehkan


Kalangan ulama yang melarang jual beli dengan sistem kredit antara lain Zainal
Abidin bin Ali bin Husen, Nashir, Manshur, Imam Yahya, dan Abu Bakar al-Jashash dari
kalangan Hanafiyah serta sekelompok ulama kontemporer.4 Firman Allah :
‫َوأَ َح َّل ٱهَّلل ُ ۡٱل َب ۡي َع َو َحرَّ َم ٱلرِّ َب ٰو ۚ ْا‬
Artinya : “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Q.S
Al- Baqarah : 275)
Rasulullah Saw bersabda :
Artinya : “Dari Abu Hurairah dia berkata, telah melarang Rasulullah Saw melakukan
dua transaksi jual beli dalam satu transaksi jual beli.” (HR. Turmuzi)
Mereka menafsirkan hadits ini seperti ucapan “barang ini kalau tunai harganya segini,
sedangkan kalau kredit harganya segitu.”
Sebagian fuqoha (Ahli Fiqih) juga tidak memperbolehkan jual beli secara kredit,
mereka beralasan bahwa penambahan harga itu berkaitan dengan masalah waktu, dan hal
itu tidak ada bedanya dengan riba. Pendapat lain juga mengatakan bahwa menaikkan

4
Ibid, hlm. 49

4
harga diatas yang sebenarnya adalah mendekati dengan riba nasi’ah yaitu harga
tambahan, maka itu jelas dilarang Allah.5 Mereka berpendapat bahwa setiap pinjaman
yang diembel-embeli dengan tambahan, maka ia adalah riba.

2.3 Fatwa Para Ulama Seputar Jual Beli Kredit


1. Fiqh Hanafiyah
Harga bisa dinaikkan karena penundaan waktu. Penjualan kontan tidak bisa
disamakan. Karena yang ada pada saat ini lebih bernilai dari pada yang belum ada.
Pembayaran kontan lebih baik daripada pembayaran berjangka.
Dalam Hasyiyah Ibnu Abidin “Bisa saja harga ditambahkan karena penundaan
pembayaran”.
2. Fiqh Malikiysh
Berkata Imam Asy-Syathibi: Penundaan adalah salah satu alat tukar yang bisa
menyebabkan pertambahan harga.
Imam Az-Zarqoni menegaskan: Karena perputaran waktu memang memiliki bagian nilai,
sedikit atau banyak, tentu berbeda pula nilainya.
3. Fiqh Syafi’iyah
Imam Asy-Syirozi berkata: Kalau seseorang membeli sesuatu dengan pembayaran
tertunda, tidak perlu diberitahu harga kontannya, karena penundaan pembayaran memang
memiliki nilai sendiri.
4. Fiqh Hambali:
Perputaran waktu memang memiliki jatah harga.

Beberapa hal yang berkaitan dengan jual beli kredit yaitu jual beli kredit harus
dengan barang dan harga yang jelas serta waktu pembayaran yang jelas. Kalau tidak ada
kejelasan dalam sistem kredit, maka transaksi menjadi haram karena ada unsur jahalah
(ketidakjelasan dalam sebuah transaksi). Jual beli kredit ini menurut jumhur ulama boleh
karena atas dasar sukarela, walaupun pembayarannya lebih besar daripada membeli
secara tunai. Sesuai dengan firman Allah:

5
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan (Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada, 2003), h.172

5
‫اض مِّن ُك ۡۚم َواَل َت ۡق ُتلُ ٓو ْا أَنفُ َس ُك ۡۚم‬ َ ‫ِين َءا َم ُنو ْا اَل َت ۡأ ُكلُ ٓو ْا أَ ۡم ٰ َولَ ُكم َب ۡي َن ُكم ِب ۡٱل ٰ َبطِ ِل إِٓاَّل أَن َت ُك‬
ٖ ‫ون ت ٰ َِج َر ًة َعن َت َر‬ َ ‫ٰ َٓيأ َ ُّي َها ٱلَّذ‬
‫ان ِب ُكمۡ َرح ِٗيما‬ َ ‫إِنَّ ٱهَّلل َ َك‬

Artinya: : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (Q.S An-Nisa : 29)6

Contoh pelaksanaan jual beli kredit:

1. Ahmad menawarkan sepeda motor pada Budi dengan harga Rp.12 juta. Karena Budi
tidak punya uang tunai sebesar Rp.12 juta, maka dia minta pembayaran dicicil
(kredit). Untuk itu, Ahmad meminta harganya menjadi Rp.18 juta yang harus dilunasi
dalam waktu tiga tahun. Harga Rp.18 juta tidak berdasarkan bunga yang ditetapkan
sekian persen, tetapi merupakan kesepakatan harga sejak awal. Transaksi seperti ini
dibolehkan dalam Islam.
2. Ali menawarkan sepeda motor kepada Iwan dengan harga Rp.12 juta. Iwan
membayar cicilan dengan ketentuan bahwa setiap bulan ia terkena 2% dari Rp.12 juta
atau dari sisa uang yang belum dibayarkan. Transaksi seperti ini adalah riba, karena
kedua belah pihak tidak menyepakati harga dengan pasti, tetapi harganya tergantung
dengan besar bunga dan masa cicilan. Yang seperti ini haram.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

6
Sulaiman Rasyit, Fikih Islam (Jakarta: Attahiriyah, 2005), hlm.270

6
Jual beli kredit merupkan suatu pembelian barang, yang pembayaran harga barang
tersebut dilakukan secara berangsur-angsur sesuai dengan tahapan pembayaran yang telah
disepakati antara penjual dan pembeli.

Ulama dari empat madzhab; Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah, Hambaliyah, Zaid bin Ali
dan mayoritas ulama membolehkan jual beli dengan sistem ini, baik harga barang yang menjadi
obyek transaksi sama dengan harga cash maupun lebih tinggi. Namun demikian mereka
mensyaratkan kejelasan akad, yaitu adanya kesepahaman antara penjual dan pembeli bahwa jual
beli itu memang dengan sistem kredit.

Beberapa hal yang berkaitan dengan jual beli kredit yaitu jual beli kredit harus dengan
barang dan harga yang jelas serta waktu pembayaran yang jelas. Kalau tidak ada kejelasan dalam
sistem kredit, maka transaksi menjadi haram karena ada unsur jahalah (ketidakjelasan dalam
sebuah transaksi).

DAFTAR PUSTAKA

Hasan, M. Ali. 2003. Masail Fiqhiyah, Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada
Musthofa, Imam. 2016. Fiqih Muamalah Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada

7
Mustofa, Imam. 2014. Fiqih Mu’amalah Kontemporer. Metro: STAIN Jurai Siwo
Pelangi Laskar. 2013. Metodologi Fiqih Muamalah. Kediri: Lirboyo Press
Sulaiman Rasyit. 2005. Fikih Islam. Jakarta: Attahiriyah

Anda mungkin juga menyukai