Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seorang wanita yang hamil dalam keadaan hamil dalam perkawinan yang sah
merupakan fenomena yang wajar baik secara hukum maupun dipandang secara
sosialnya. Karena pada hakikatnya sebuah pernikahan mempunyai tujuan yang salah
satunya adalah untuk mendapatkan keturunan. Bahkan segala ketentuannya telah ada
yang mendasarinya, baik dalam Al-Qur’an maupun hadits, peraturan perundang-
undang pun memandang wajar dalam hal ini.
Berbeda dengan seorang wanita yang hamil dari hasil hubungan di luar
pernikahan yang sah (zina), terdapat keragaman pendapat dikalangan para ulama fiqh.
Praktik perzinaan dapat membawa persoalan krusial dalam kehidupan sosial, oleh
karena itu wajarlah jika larangan untuk melakukannya dalam Al-Qur’an diiringi
dengan penegasan bahwa perbuatan itu adalah perbuatan keji dan jalan keliru.
Diantaranya persoalan yang diakibatkan oleh perbuatan keji itu terkait antara status
anak dan menikahi wanita sebagai salah satu pelakunya. Dalam hal ini untuk
menjelaskan persoalan tersebut, kami akan membahas mengenai pendapat para ulama
mengenai menikahi wanita hamil.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian zina ?
2. Apa hukum zina?
3. Bagaimana hukum menikahi wanita hamil?
4. Bagaimana kedudukan nasab anak yang dilahirkan ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan pengertian zina.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan hukum zina.
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan hukum menikahi wanita hamil.
4. Untuk mengetahui dan menjelaskan kedudukan nasab anak yang dilahirkan.

M E N I K A H I W A N I T A H A M I L │1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Zina
Zina menurut fiqh adalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan
tanpa ada ikatan perkawinan yang sah.1 Sedangkan, Imam Al-Jurzani dalam
kitabnya al-Ta’rifat, mendefinisikan zina sebagai berikut:
ُ ْ َ ُ ُْ َْ
‫ال َوطأ ِفى ق ُب ٍل خ ٍال َع ْن ِمل ٍك َو ش ْب َه ٍة‬

“Memasukkan penis (zakar) ke dalam vagina (faraj) yang bukan miliknya


(bukan istrinya) dan tidak ada unsur syubhat”.
Berdasarkan definisi diatas, suatu perbuatan dapat dikatakan zina jika
memenuhi 2 unsur. Pertama, adanya persetubuhan antara dua orang yang
berbeda kelamin dan bukan suami / istri. Kedua, tidak adanya keserupaan atau
kekeliruan (syubhat) dalam perbuatan seks.2
B. Hukum Zina
Hukum tentang keharaman perbuatan zina dan semua kondisi yang
dapat mengantarkan seseorang kepada perbuatan tersebut, terdapat dalam
firman Allah SWT Surah Al-Israa (17):32 :
ً ً َ َ َ َ ُ َّ َ ّ َُ َْ َ َ
‫ان ف ِاحشة َو َس َاء َس ِب ْيال‬ ‫ ِإنه ك‬-‫الزنا‬
ِ ‫وال تقربوا‬
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Israa (17): 32).3
Ada dua macam perbuatan zina, yaitu Ghairu Muhsan, hukuman bagi
pelakunya adalah didera sebanyak seratus kali, berdasarkan pada QS An-Nur
(24) : 2. Sedangkan Muhsan, hukumannya adalah rajam.4
C. Hukum Menikahi Wanita Hamil
Dari segi lain, bahwa seorang isteri yang hamil tidak bisa diceraikan
oleh suaminya (pasakh) atau jika ditinggal mati oleh suaminya, si wanita itu
tidak boleh nikah sebelum melahirkan. Sesudah melahirkan dan sesudah
menjalani nifas, baru diperbolehkan dia menikah. Lalu apakah sah pernikahan

1
Syamsul Huda. (2015). Zina Dalam Perspektif Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Jurnal
Studia Islamika, 377-397, hal 381.
2
Sapiudin Shidiq. 2016. Fikih Kontemporer. Jakarta: Kencana, hal 93-94.
3
Ibid., hal 94.
4
Syamsul Huda. Op.cit., hal 382-383.

M E N I K A H I W A N I T A H A M I L │2
wanita hamil di luar nikah menurut hukum islam? Apakah boleh menggauli si
wanita itu setelah akad nikah?
Berikut adalah pendapat-pendapat para ulama:
1. Ulama mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) berpendapat
bahwa pernikahan keduanya sah dan boleh bercampur sebagai suami
isteri dengan ketentuan, bila si pria itu yang menghamilinya.
2. Ibnu Hazm (zhahiri) berpendapat, bahwa keduanya sah dikawinkan
dan boleh pula bercampur, dengan ketentuan, bila telah bertaubat dan
menjalani hukuman dera (cambuk), karena keduanya telah berzina.
Pendapat ini berdasarkan hukum yang telah diterapkan oleh sahabat
Nabi antaranya:
a. Ketika Jabir bin Abdillah ditanya tentang kebolehan
mengawinkan orang yang telah berzina, maka beliau berkata:
“Boleh, asal keduanya telah bertaubat dan memperbaiki sifat-
sifatnya”.
b. Seorang laki-laki tua mengatakan keberadaannya kepada
Khalifah Abu Bakar, dan berkata : “Ya Amirul Mukminin,
putriku telah dicampuri oleh tamuku, dan aku inginkan agar
keduanya dikawinkan”. Ketika itu khalifah memerintahkan
kepada sahabat lain, untuk melakukan hukuman dera (cambuk)
kepada keduanya, kemudian dikawinkannya.5

Selanjutnya mengenai pria yang kawin dengan wanita yang dihamili


oleh orang lain, terjadi perbedaan pendapat dari para ulama:

1. Imam Abu Yusuf mengatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan.


Sebab, bila dikawinkan perkawinannya itu batal (fasid). Pendapat
beliau itu berdasarkan firman Allah SWT:
َ َّ ْ َ ُ َّ َ ً َ ْ ُ ْ َ ً َ َ َّ ُ ْ َ َ َّ
‫الزا ِن َية ال َين ِك ُح َها ِإال ز ٍان‬ ‫الزا ِنى الين ِكح ِإال زا ِنية أومش ِركة و‬
َ ْ ُ ‫َ مْل‬ َ ْ َ
) 3 : ‫أ ْو ُمش ِر ٌك َو ُح ِّر َم ذ ِل َك َعلى ا ؤ ِم ِن ْين (سورة النور‬

5
Ali Hasan. 1996. Masail fiqhiyah al-haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. hal 86-88.

M E N I K A H I W A N I T A H A M I L │3
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang
berzina, atau perempuan musyrik, dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik,
dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin (An-Nur:
3)”.
Maksud ayat tersebut ialah, tidak pantas seorang pria yang
beriman kawin dengan seorang wanita yang berzina, demikian juga
sebaliknya. Ayat tersebut diperkuat oleh hadits Nabi:
َ َ َ َ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ َّ َ َ ً َ َ ْ َ َّ َ َ ً ُ َ َّ َ
‫اح ْبلى ف َر َج َع ذ ِل َك ِإلى‬ ‫أن رجال تزوج امرأة فلما أصابها وجده‬
َ َّ َ َ َ َ َّ َ َّ َّ َ ّ َّ
‫الص َداق‬ ‫صلى ال ُله َعل ْي ِه َو َسل َم فف َّرق َب ْي َن ُه َما َو َج َع َل ل َها‬ ‫الن ِب ِي‬
ًَ َّ
‫َو َجل َد َها ِمائة‬
“Sesungguhnya seorang laki-laki mengawini seorang wanita, ketika ia
mencampurinya, ia mendapatkannya dalam keadaan hamil. Lalu dia
laporkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian Nabi
menceraikan keduanya dan memberikan kepada wanita itu maskawin,
kemudian di dera sebanyak 100 kali”.
Ibnu Qudamah sejalan pendapatnya dengan pendapat Imam
Abu Yusuf dan menambahkan, bahwa seorang pria tidak boleh
mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang
lain, kecuali dengan 2 syarat:
1) Wanita tersebut telah melahirkan, bila dia hamil. Jadi dalam
keadaan hamil tidak boleh kawin.
2) Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera, baik dia hamil
ataupun tidak.
2. Imam Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani mengatakan, bahwa
perkawinannya itu sah, tetapi haram baginya bercampur, selama bayi
yang dikandungan belum lahir. Pendapat ini berdasarkan hadits :
َ ‫َال َت ْو َط ْأ َحام ًال َح َّتى َت‬
‫ض َع‬ ِ
“Janganlah engkau campuri wanita yang hamil, sehingga lahir
(kandungannya)”.

M E N I K A H I W A N I T A H A M I L │4
3. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat, bahwa perkawinan
itu dipandang sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain
(tidak ada masa ‘iddah). Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak
mungkin nasab (keturunan) bayi yang dikandungan itu ternodai oleh
sperma suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan keturunan orang
yang mengawini ibunya itu (anak di luar nikah).6
Terjadinya wanita hamil di luar nikah (yang hal ini sangat dilarang oleh
agama, norma, etika dan perundang-undangan negara) selain karena adanya
pergaulan bebas, juga karena lemah (rapuhnya) iman pada masing-masing
pihak. Oleh karena itu, pendidikan agama yang mendalam dan kesadaran
hukum semakin diperlukan.
D. Kedudukan Nasab Anak Yang Dilahirkan
Bayi yang lahir dari wanita yang dihamili tanpa dikawini lebih dahulu,
disebut oleh ahli hukum islam sebagai istilah :
َ َ ُ ‫ُ مْل‬
(anak dari orang yang terlaknat) ‫ة‬-ِ ‫ن‬- ‫ ِإ ْبن ا ال َع‬atau
َ ُ
َّ ‫ إ ْبن‬.
(anak zina ) -‫الزنا‬ ِ
jadi istilah tersebut bukan nama bayi yang lahir itu, tetapi istilah yang
dinisbatkan kepada kedua orang tuanya yang telah berbuat zina, atau
melakukan perbuatan yang terlaknat. Sedangkan bayi yang dilahirkan suci dari
dosa dan tidak mewarisi perbuatan yang telah dilakukan oleh orang tuanya.7
Dengan penjelasan yang telah dibahas sebelumnya. Maka status anak di
luar nikah adalah anak zina, bila pria yang mengawini ibunya itu, bukan pria
yang menghamilinya. Namun bila pria yang mengawini ibunya itu, pria yang
menghamilinya, maka terjadi perbedaan pendapat:
1) Bayi itu termasuk anak zina, bila ibunya dikawini setelah usia
kandungannya berumur empat bulan ke atas. Bila kurang dari empat
bulan, maka bayi tersebut anak suaminya yang sah.
2) Bayi itu termasuk anak zina, karena anak itu adalah anak di luar nikah,
walaupun dilihat dari segi bahasa, bahwa anak itu adalah anaknya,
karena hasil dari sperma dan ovum bapak dan ibunya itu.8

6
Abdul Rahman Ghozali. 2003. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana. hal 125-127.
7
Mahjuddin. 2003. Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini. Jakarta: Penerbit
Kalam Mulia. hal 37.
8
Ali Hasan. 1996. Masail fiqhiyah al-haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. hal 88.

M E N I K A H I W A N I T A H A M I L │5
Jika seseorang anak sudah jelas statusnya sebagai anak zina maka masalah
yang ditimbulkan dari anak zina itu membawa konsekuensi hukum
selanjutnya, yaitu:

1. Tidak ada hubungan nasab dengan laki-laki yang mencampuri ibunya


secara sah.
2. Tidak ada saling mewarisi dengan laki-laki itu dan hanya waris mewarisi
dengan ibunya saja.
3. Tidak dapat menjadi wali dalam nikah, jika anak yang lahir itu anak
perempuan karena ia lahir dari hubungan yang tidak sah, maka walinya
adalah wali hakim.9
Dalam persoalan menikahi wanita hamil, bahwa pendapat manapun yang
kita anut, status anak itu tetap berstatus anak zina (anak di luar nikah yang
sah). Namun, dari segi psikologis tetap mengganggu jiwa si anak, walaupun
dalam pandangan hukum islam, dia tidak menanggung dosa (fitrah) dan hanya
bapak (yang tidak sah menurut hukum) dan ibunya yang menanggung dosa.
Apalagi dikaitkan dengan perwalian dalam pernikahan (bila anak itu wanita)
dan warisan, mau tidak mau akan tetap terbongkar masalahnya atau ‘aib yang
pernah menimpa ibu bapaknya.
Hendaknya diingat dan renungkan, bahwa:
1) Perbuatan melakukan hubungan seks sebelum nikah adalah
haram hukumnya (haram) walaupun ada niat melangsungkan
pernikahan.
2) Anak yang lahir dari hubungan seks itu, adalah anak tidak
sah menurut hukum.
3) Orang tua kedua belah pihak lebih hati-hati dalam menolak
(tidak merestui) keinginan anak yang telah sepakat membina
rumah tangga. Antara rasa tidak senang dan ‘aib serta
pelanggaran agama, sepantasnya orang tua mengorbankan
perasaan dari pada terjadi pelanggaran agama.10

BAB III
9
Sapiudin Shidiq. 2016. Fikih Kontemporer. Jakarta: Kencana, hal 105-106.
10
Ali Hasan, op.cit., hal 89-92.

M E N I K A H I W A N I T A H A M I L │6
PENUTUP
Kesimpulan
1. Pengertian adalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan tanpa ada
ikatan perkawinan yang sah dan tidak ada unsur syubhat (keserupaan atau
kekeliruan).
2. Hukum tentang keharaman perbuatan zina dan semua kondisi yang dapat
mengantarkan seseorang kepada perbuatan tersebut, terdapat dalam firman
Allah SWT Surah Al-Israa (17):32 :
ً ً َ َ َ َ ُ َّ َ ّ َُ َْ َ َ
‫ان ف ِاحشة َو َس َاء َس ِب ْيال‬ ‫ ِإنه ك‬-‫الزنا‬
ِ ‫وال تقربوا‬
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Israa (17): 32).
3. Hukum menikahi wanita hamil, jika yang menikahi wanita hamil itu adalah
pria yang menghamilinya maka ada 2 pendapat: Ulama mazhab (Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hambali) berpendapat bahwa pernikahan keduanya sah.
Ibnu Hazm (zhahiri) berpendapat, bahwa keduanya sah dengan ketentuan,
bila telah bertaubat dan menjalani hukuman dera (cambuk), karena keduanya
telah berzina.
4. Kedudukan nasab anak yang dilahirkan adalah anak zina, bila pria yang
mengawini ibunya itu, bukan pria yang menghamilinya. Dalam persoalan
menikahi wanita hamil, bahwa pendapat manapun yang kita anut, status anak
itu tetap berstatus anak zina (anak di luar nikah yang sah). Namun, dari segi
psikologis tetap mengganggu jiwa si anak, walaupun dalam pandangan
hukum islam, dia tidak menanggung dosa (fitrah) dan hanya bapak (yang
tidak sah menurut hukum) dan ibunya yang menanggung dosa. Apalagi
dikaitkan dengan perwalian dalam pernikahan (bila anak itu wanita) dan
warisan, mau tidak mau akan tetap terbongkar masalahnya atau ‘aib yang
pernah menimpa ibu bapaknya.

DAFTAR PUSTAKA

M E N I K A H I W A N I T A H A M I L │7
Ghozali, Abdul Rahman;. (2003). Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana.

Hasan, A. (1996). Masail Fiqhiyah al-haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum


Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Huda, S. (2015). Zina Dalam Perspektif Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana . Jurnal Studia Islamika, 377-397.

Mahjuddin. (2003). Masailul Fiqhiyah Berbagi Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa
Kini. Jakarta: Penerbit Kalam Mulia.

Shidiq, S. (2016). Fikih Kontemporer. Jakarta: Kencana.

M E N I K A H I W A N I T A H A M I L │8

Anda mungkin juga menyukai