Refarat 1 Lidocain Opiod Free
Refarat 1 Lidocain Opiod Free
REFARAT 1
Oleh :
NIM 04102781923004
Pembimbing :
RSMH PALEMBANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN
Dosen Pembimbing,
ii
DAFTAR ISI
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Saat ini jumlah pasien yang menggunakan obat-obatan anti koagulan oral
dan anti platelet sebagai pencegahan primer ataupun sekunder kejadian trombosis
vena atau arteri semakin meningkat. Manajemen perioperatif pada pasien
pengguna obat-obatan jenis ini yang akan menjalani prosedur pembedahan elektif
1
adalah sangat penting, dan masih menjadi kontroversi. Manajemen perioperatif
pada pasien yang mendapat obat-obatan anti koagulan diharapkan untuk mencapai
keseimbangan antara resiko terjadinya tromboemboli arteri atau vena (seperti
strok iskemik, infark miokard, emboli pulmonal, atau trombosis vena dalam) bila
antikoagulan dihentikan, dan resiko perdarahan bila antikoagulan dilanjutkan. 2
Manajemen Antikoagulasi pada pasien yang akan menjalani pembedahan
sangat menantang karena penghentian obat-obatan anti koagulan sementara untuk
suatu prosedur akan meningkatkan resiko tromboembolisme. Pada saat yang
sama, pembedahan dan prosedur invasif diasosiasikan dengan resiko perdarahan
yang ditingkatkan oleh antikoagulan yang diberikan untuk pencegahan
tromboemboli. Bila pasien mengalami perdarahan yang disebabkan oleh prosedur
pembedahan, maka antikoagulan yang diberikan harus dihentikan untuk waktu
yang lama, menyebabkan meningkatnya resiko tromboemboli. Keseimbangan
antara mengurangi resiko tromboemboli dan mencegah terjadinya perdarahan
harus dicapai pada setiap pasien. 2
2
Manajemen pasien dengan yang akan menjalani operasi non kardiak
melibatkan penilaian jantung yang meliputi fungsi katup, sisa gejala patologi,
endokarditis infektif dan status fungsional, penilaian status antikoagulasi,
penilaian setiap risiko perdarahan, persiapan untuk reversal antikoagulan jika
diperlukan selama operasi; dan evaluasi neurologis untuk mendeteksi setiap
gangguan akibat tromboemboli misalnya stroke, serangan jantung dan lain-lain. 3,4
Jenis dan durasi terapi antikoagulan yang dibutuhkan tergantung dari jenis
operasi katup jantung, apakah berupa perbaikan, penggantian katup prostetik
mekanik atau bioprostetik. Pasien yang menjalani operasi perbaikan katup mitral
atau penggantian katup mitral dengan bioprostetik membutuhkan antikoagulan
selama 3 bulan kecuali bila terdapat indikasi lain misalnya adanya atrial fibrilasi.
3
Target international ratio (INR) pada pasien dengan katup prostetik mekanik
posisi aorta adalah 2,5 bila menggunakan bileaflet atau single leaflet tilting disk
tanpa adanya faktor risiko tromboemboli, sedangakan bila menggunakan katup
mekanik genereasi lama seperti caged ball atau memiliki faktor risiko
tromboemboli maka taget INR adalah 3.0. Pasien dengan katup mekanik di posisi
mitral memiliki taget INR 3.0. Warfarin dan oral antagonis vitamin K lainnya
adalah pilihan oral antikoagulan oral pada pasien dengan katup prostetik. 4,5
Pemberian antikoagulan dapat meningkatkan perdarahan pada pasien yang
akan menjalani operasi atau tindakan invasif lainnya, akan tetapi sisi lain
menghentikan antikoagulan untuk mengurangi perdarahan juga dapat
menimbulkan trombosis katup prostetik yang berakibat fatal. Pada pasien yang
akan menjalani operasi minor seperti ekstraksi gigi atau katarak, antikoagulan
oral sebaiknya tetap diberikan, akan tetapi pada operasi besar antikoagulan oral
sebaiknya dihentikan sementara dengan target INR kurang dari 1,5. Penghentian
sementara antikoagulan oral tanpa bridging therapy dapat dilakukan pada pasien
dengan katup prostetik mekanik di posisi aorta yang tidak memiliki faktor risiko
trombosis. Sedangkan pada kelompok pasien dengan katup prostetik posisi
lainnya dan memliki risiko trombosis harus dilakukan bridging therapy dengan
UFH intravena atau LMWH subkutan. 4,5
2.2. Antikoagulan
Antikoagulan seperti warfarin dan heparin merupakan agen
yang bekerja menginhibisi kaskade koagulasi. Obat-obatan jenis
ini telah biasa digunakan sebagai terapi pada pasien dengan
kejadian stroke iskemik. 7
4
Gambar 2. Skema sistem prokoagulan. Prokoagulan di sirkulasi ditunjukkan
dengan elips dan faktor pembekuan aktif ditunjukkan dengan segitiga.
Heparin mengkatalisir inhibisi antitrombin III dari semua faktor
prokoagulan yang ditunjukkan dengan segitiga kecuali faktor VIIa. Obat-
obatan vitamin K antagonis mengurangi aktifitas plasma dari faktor II
(protrombin), VII,IX, dan X. 6
Sumber: Low molecular weight heparin: Biochemistry, pharmacology, perioperative prophylaxis
regimen, and guidelines for regional anesthetic management, Horlocker and Heit, 1997
2.2.1 Warfarin
Mekanisme kerja
Warfarin bekerja melalui inhibisi vitamin K epoksida reduktase, suatu enzim
yang dibutuhkan untuk reduksi bentuk teroksidasi dari vitamin K. Vitamin K
tereduksi merupakan kofaktor gamma karboksilasi dari faktor pembekuan II, VII,
IX, dan X, satu langkah dimana faktor-faktor pembekuan ini diaktivasi. Efek dari
warfarin yaitu ketidakmampuan untuk mengaktivasi faktor-faktor pembekuan
diatas., tanpa efek pada faktor yang teraktivasi, yang akan semakin lama semakin
berkurang menurut waktu paruh masing-masing.7,8
Efek inisial pemberian warfarin muncul dalam 24 jam, namun puncak efek
antikoagulasi dapat bertahan 3-5 hari. Satu dosis tunggal bertahan antara 2-5 hari.
Protein C dan S merupakan prokoagulan alami, dan aktivasinya juga memerlukan
jalur dependen terhadap vitamin K tereduksi. Pada terapi inisiasi dengan warfarin,
efek prokoagulan yang paradoksikal dapat terlihat, karena deplesi protein C dan S
dan penundaan efek penuh antikoagulan.7
Warfarin adalah larut dalam air dan hampir sepenuhnya diserap setelah
pemberian secara oral; Warfarin secara kuat terikat protein, dan hanya fraksi tidak
terikat yang aktif secara biologis. Warfarin dimetabolisme dalam hati secara
primer oleh CYP2C9 dan diekskresikan di urin dan feses.Variasi genetik dari
CYP2C9 dan VKORC1 (yang berhubungan dengan epoksid vitamin K)
menentukan perbedaan dalam respon terhadap warfarin. Warfarin juga memiliki
interaksi multipel dengan berbagai obat dan produk makanan, pada beberapa
tingkatan farmakokinetik dan farmakodinamik.9
Tabel 1. Obat-obatan yang berinteraksi dengan warfarin7
5
Meningkatkan efek antikoagulan: Inhibisi efek antikoagulan:
Menurunkan absorbsi vitamin K: Augmentasi mikrosomal hepatik:
Laksatif Fenobarbital
Kolestiramin Fenitoin
Antibiotik spektrum luas Karbamazepin
- Menurunkan ikatan Rifampisin
protein: - Membantu sintesis faktor-
Sulfonamid faktor pembekuan:
NSAID Obat kontrasepsi oral
Gliklazid, tolbutamid
Amiodaron
- Inhibisi mikrosomal
hepatik:
Simetidin
Allopurinol
Antidepresan trisiklik
Metronidazol
Sulfonamid
Kecanduan alkohol
- Perubahan situs reseptor
hepatik yang menerima
warfarin:
Tiroksin
Kuinidin
Sumber: Anticoagulants and the perioperative period, Oranmore-Brown and Griffiths, 2006
Efek samping
Perdarahan merupakan efek samping yang paling sering dan problematik. Efek
prokoagulan merupakan pertimbangan penting saat dimulainya terapi, terutama
pada pasien dengan hiperkoagulabilitas karena defisiensi protein S dan C, dimana
pemberian inisiasi warfarin tanpa terapi bridging heparin dapat menyebabkan
komplikasi trombotik. Efek samping lain yang potensial dari warfarin termasuk
nekrosis kulit dan teratogenesis. Pengobatan overdosis warfarin tergantung pada
derajat antikoagulasi dan urgensi komplikasi klinis, yaitu vitamin K, fresh frozen
plasma, dan faktor IX atau VII yang teraktivasi.9
6
profilaksis tromboemboli arteri dan vena. Waktu paruh rata-rata aktifitas warfarin
kira-kira 40 jam, dimana efek antikoagulannya bertahan 4-5 hari. Untuk
kebanyakan pasien, target INR terapetik yang harus dicapai yaitu 2.0-3.0. Untuk
pasien dengan katup jantung mekanis, INR yang direkomendasikan berkisar 2.5-
3.5.4,10,11,12
Saat memperhitungkan cara manajemen pasien dengan terapi warfarin yang
akan menjalani pembedahan, adalah sangat membantu bila diperhitungkan resiko
perdarahan dibandingkan dengan resiko tromboemboli. Hal-hal yang perlu
diperhitungkan yaitu Indikasi pemberian antikoagulan, riwayat kejadian trombosit
dan jenis pembedahan dan resiko perdarahan dan tromboemboli yang terkait
dengan pembedahan tersebut, juga resiko terjadinya tromboemboli vena
postoperatif. 1,7
Tatalaksana perioperatif pasien yang menggunakan warfarin dapat kita lihat
dalam gambar 3 yang mempertimbangkan apakah pasien ini termasuk kelompok
risiko tinggi atau risio rendah untuk kejadian tromboemboli. Mengenai
pengelompokan risiko tromboemboli arteri dan vena dapat kita lihat pada Tabel 2
dibawah ini
7
Gambar 3. Tatalaksana perioperatif pasien yang menggunakan warfarin dan
proses brigding therapy sebelum dan sesudah operasi 1
8
Clinical indication for warfarin therapy
Thromboembolic Venous
Mechanical heart
risk category Atrial fibrillation thromboembolism
valves
Any
mechanical
mitral
valve
CHADS2
Older
score: 5 or 6
aortic Recent (< 3
Recent (< 3
mechanical months) VTE
months)
valve Severe
High stroke/TIA
(caged- thrombophilia
Rheumatic
ball, tilting *
valvular heart
disk)
disease
Recent (< 3
months)
stroke or
TIA
VTE within
past 3-12
months
Bileaflet aortic Non-severe
valve prosthesis thrombophilia
Moderate CHADS2 score: 3 or 4
with at least one ‡
risk factor† Recurrent
VTE
Active cancer
CHADS2 score: 0-2 Bileaflet aortic
VTE > 12 months
Low (without previous bileaflet without
ago
stroke or TIA) any risk factors†
Sumber: Douketis D, James, Perioperative management of patient who receving warfarin therapy:
an evidence-based and preactical approach. 2011
9
2.2.2 Unfractionated heparin (UFH)
Unfractionated heparin (UFH) merupakan atikoagulan parenteral yang
digunakan pada subgrup tertentu pasien dengan penyakit serebrovaskular dan
dalam pengobatan dan pencegahan tromboembolisme vena (VTE). UFH juga
digunakan selama prosedur endovaskular. UFH merupakan glikosaminoglikan,
dengan berat rata-rata 15.000 Da (Daltons) dan mengandung beberapa
pentasakarida acak.13
Mekanisme kerja
Heparin terikat pada antitrombin III, yang memperkuat aktifitas inhibisi
trombin dan faktor Xa. Kompleks ini aktif hanya terhadap trombin bebas dan
tidak bereaksi terhadap trombin yang terikat bekuan, yang dapat menstimulasi
pembentukannya sendiri dengan mengaktifkan faktor V,VIII, dan XI. Walaupun
pembentukan trombin berlanjut selama dan setelah terapi heparin efek
antikoagulan heparin adalah transien.13
Heparin injeksi intravena dengan infus kontinyu digunakan untuk mencapai
efek antikoagulan penuh, dan terapi ini di monitoring dengan aPTT. Pemberian
subkutan digunakan untuk profilaksis VTE, dan tidak memerlukan monitoring.
Heparin dibersihkan melalui dua fase: fase cepat tersaturasi dengan mengikatkan
diri pada reseptor sel endotel dan makrofag, dan fase lambat non saturasi yang
didominasi oleh bersihan ginjal. Heparin juga dapat berinteraksi dengan
trombosit.13
10
Efek samping
Efek samping utama yaitu perdarahan. Bila ini terjadi, infus harus segera
dihentikan, dan reversal antikoagulasi dapat dicapai dengan protamin sulfat
intravena. Efek samping yang lain yaitu heparin-induced thrombocytopenia
(HIT), osteoporosis, dan meningkatnya level serum transaminase.7, 13
Mekanisme kerja
LMWH hanya memiliki satu pentasakarida yang berinteraksi dengan
antitrombin, mengaktivasinya, sebuah mekanisme yang memberikan efek anti
koagulan. LMWH tidak mempromosi inhibisi trombin namun menyebabkan
inaktifasi faktor Xa oleh antitrombin. Bila dibandingkan dengan UFH, LMWH
memiliki hubungan respon terhadap dosis yang lebih mudah diprediksi, waktu
paruh yang lebih lama, interaksi yang lebih minimal dengan trombosit yang
11
artinya lebih kurang dikaitkan dengan HIT. LMWH diberikan secara subkutan
dan digunakan untuk mencapai antikoagulasi penuh atau efek profilaktik untuk
VTE, tergantung pada dosis dan interval pemberian. 9 LMWH dibersihkan di ginjal
dengan pemanjangan waktu paruh pada gagal ginjal. LMWH biasanya diberikan
dengan dosis tetap berdasarkan berat badan, dan monitoring laboratorium tidak
diperlukan. Adapun, suatu pemeriksaan anti faktor Xa dapat digunakan, terutama
pada terapi pada wanita hamil, pasien obese, atau pasien dengan pengurangan
klirens kreatinin.6
Efek samping
Efek samping utama yaitu perdarahan. Walaupun protamin dapat menetralisir
efek LMWH secara parsial, efeknya tidak menyeluruh dan tidak menentu. Tidak
ada metode yang terbukti dapat mereversal LMWH.6
12
harian. Untuk UFH, direkomendasikan infus dihentikan 4-6 jam sebelum prosedur
pembedahan.9
Ada tiga jenis sarkoma tulang primer yang umum. Osteosarcoma, sarkoma
tulang yang paling umum, memiliki insiden 4,6 per 1 juta orang. Mayoritas dari
ini tumor terjadi pada pasien berusia antara 10 dan 19 tahun, tetapi ada juga
hubungan dengan penyakit Paget di orang dewasa yang lebih tua dari 40. Lima
puluh persen dari osteosarcomas timbul di sekitar lutut, dan juga di lengan atas.
13
Sarkoma Ewing pada dasarnya adalah penyakit usia remaja, dengan insiden
puncak sekitar tiga kasus per 1 juta dalam kelompok usia 15 sampai 19 tahun.
Meski jarang, Sarkoma Ewing adalah sarkoma tulang paling umum kedua
mempengaruhi anak-anak dan remaja terutama laki-laki, ras Kaukasia dan sering
terjadi di tulang belakang, panggul, lengan, atau tungkai. Chondrosarcoma adalah
keganasan yang tulang paling umum pada orang dewasa, terutama mempengaruhi
pasien yang berusia lebih dari 50 tahun. Insidensinya 8 per juta orang-orang.
Chondrosarcomas muncul paling sering dari panggul, tulang paha atas.
Prognosisnya chondrosarcoma bervariasi tergantung pada primer lokasi dan luas
penyebaran. 15
Spindle cell carcinoma adalah tumor dengan ragam tipikal tertentu dengan
karakteristik ditandai dengan seringnya terjadi kekambuhan lokal dan metastasis
jauh yang tidak biasa Karsinoma sel spindel terutama terdiri dari sel spindel, sel
lemak matang berisi tumor dengan konsistensi sel spindel, terdapat pada matriks
sex mucus dan bundle serat kolagen kasar. Sel spindel kecil, dengan inti tunggal,
dengan inti bipolar, pewarnaan CD34 positif. Sering ditemukan bersama kolagen
bundel, atau dalam sel lemak. Biasanya, kedua jenis sel ini kira-kira sama,
bercampur atau semua di satu tempat. Mengandung banyak sel mast pada jaringan
tumor tersebut titik unik tumor, atau pada pembuluh darah tumor pembuluh
darah.16
Spindle cell carcinoma adalah sejenis kanker jaringan ikat di mana sel-selnya
berbentuk gelendong jika diperiksa di bawah mikroskop. Tumor umumnya
dimulai pada lapisan jaringan ikat seperti di bawah kulit, di antara otot, dan organ
sekitarnya, dan umumnya akan mulai sebagai benjolan kecil dengan peradangan
yang tumbuh perlahan. Mula-mula benjolan akan berdiri sendiri karena tumor
berada dalam keadaan stadium satu, dan belum tentu berkembang melampaui
bentuk yang dienkapsulasi. Namun, dapat berkembang menjadi proses kanker
yang hanya dapat dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis.16
Amputasi ekstremitas bawah (AEB) dikaitkan dengan risiko tinggi kematian
pasca operasi. Pengaruh jenis anestesi pada mortalitas pasca operasi telah
dipelajari di berbagai operasi. Namun, data untuk memandu pemilihan anestesi
14
yang optimal untuk operasi ini masih terbatas. AEB adalah prosedur yang biasa
dilakukan pada pasien yang gagal terapi revaskularisasi, komorbiditas atau faktor
anatomi yang menghambat upaya revaskularisasi, luasnya jaringan yang terkena
dan adanya infeksi. 16
Pasien yang menjalani AEB biasanya mempunyai komorbid, termasuk
hipertensi, gagal jantung, dan penyakit ginjal stadium akhir, dan cenderung terjadi
pada kelompok usia lanjut. Selanjutnya, pasien juga mempunyai penyakit
aterosklerotik sistemik yang melibatkan tidak hanya tungkai perifer tetapi juga
koroner, serebral, dan sirkulasi ginjal. Insiden penyakit arteri koroner pada pasien
dengan penyakit arteri perifer yang membutuhkan AEB diperkirakan setinggi
80%, dan mungkin mendapat pengobatan intervensi sebelum operasi dan duao
terapi antiplatelet. Pasien-pasien ini dikelompokkan risiko tinggi perioperatif, jadi
ahli anestesi perlu memilih metode anestesi yang tepat dengan hati-hati.16,17
Secara teori, anestesi regional menawarkan beberapa keunggulan dibandingkan
anestesi umum. Studi sebelumnya telah menunjukkan keuntungan anestesi
regional dalam prosedur yang melibatkan ekstremitas bawah, termasuk
komplikasi paru yang lebih sedikit, penurunan risiko trombosis arteri dan vena,
menghindari ventilasi mekanis, dan mengurangi kebutuhan untuk transfusi darah.
Dibandingkan dengan anestesi umum, anestesi neuraksial, khususnya, telah
dikaitkan dengan mortalitas 30 hari yang lebih rendah dan penurunan morbiditas,
lebih sedikit kehilangan darah, rendahnya risiko infeksi tempat operasi, dan
penurunan perawatan ruang intensif setelah operasi Total Knee Artroplasty dan
Total Hip Artroplasty elektif. 16
15
diketahui. Dalam literatur insidennya diperkirakan kurang dari 1 dalam 150.000
tindakan epidural dan kurang dari 1 dalam 220.000 tindakan anestesi spinal.
Suatu tinjauan dalam literatur antara tahun 1906 dan 1994 melaporkan 61 kasus
hematoma spinal yang diasosiasikan dengan anestesi spinal atau epidural. Suatu
studi epidemiologi terbaru mendapatkan bahwa frekuensi kejadian hematoma
spinal pada blok neuraksial semakin meningkat yaitu 1 kejadian dalam 3000
populasi pasien. Secara umum, resiko perdarahan yang signifikan meningkat
seiring dengan umur, adanya abnormalitas dari medula spinalis atau kolumna
vertebra, adanya koagulopati, kesulitan saat penusukan jarum, dan adanya retensi
kateter neuraksial saat pemberian terapi antikoagulan yang paling sering terjadi
yaitu pada terapi heparin standar dan LMWH 14.
16
Pada pasien yang menerima profilaksis UFH subkutan 5000 Unit dua kali
sehari, tidak ada kontraindikasi untuk dilakukan teknik neuraksial. Resiko
perdarahan setelah teknik neuraksial dapat dikurangi dengan menunda injeksi
heparin setelah tindakan dilakukan. Keamanan dilakukannya teknik neuraksial
pada pasien yang menerima dosis UFH 10.000 unit per hari belum dapat
dipastikan.14
Heparin induced thrombocytopenia dapat terjadi selama penggunaan heparin,
maka disarankan pada pasien yang mendapat terapi heparin lebih dari 4 hari untuk
dilakukan pemeriksaan trombosit sebelum dilakukan blok neuraksial dan
pelepasan kateter neuraksial.14
Kombinasi teknik neuraksial dengan penggunaan heparin intraoperatif sebagai
antikoagulan pada pembedahan vaskular dapat dilakukan dengan rekomendasi
berikut ini:14
Hindari teknik ini pada pasien dengan resiko koagulopati lainnya
Tunda pemberian heparin selama 1 jam setelah penempatan jarum neuraksial,
Pencabutan kateter neuraksial dilakukan 2-4 jam setelah dosis terakhir
heparin dan cek ulang status koagulasi pasien; heparin baru dapat diberikan
lagi 1 jam setelah pencabutan kateter
Monitoring pasien postoperatif untuk melihat tanda-tanda blokade motorik,
dan pertimbangkan penggunaan obat anestesi lokal dengan konsentrasi
minimal untuk mempermudah deteksi awal adanya hematoma spinal.
17
Pada pasien yang mendapat dosis LMWH 2 jam preoperatif dianjurkan untuk
tidak dilakukan teknik blok neuraksial karena insersi jarum akan terjadi pada
waktu puncak kerja antikoagulan. Pada periode postoperatif dengan teknik
neuraksial injeksi tunggal dan kateter kontinyu, LMWH trombofilaksis dapat
dilanjutkan dengan aman. Manajemennya berdasarkan pada dosis total harian,
waktu pemberian dosis postoperatif pertama, dan jadwal pemberian:14
Dosis dua kali sehari. Rejimen dosis ini diasosiasikan dengan peningkatan
resiko hematoma spinal. Dosis pertama LMWH harus diberikan >24 jam
postoperatif, pada jenis anestesi apapun, dan hanya saat telah terjadi
hemostasis yang adekuat. Kateter neuroaksial harus dikeluarkan sebelum
inisiasi trombofilaksis LMWH. Bila dipilih teknik kontinyu, kateter epidural
dapat dibiarkan semalaman, namun harus dicabut sebelum dosis pertama
LMWH. Pemberian LMWH harus ditunda dua jam setelah pencabutan kateter.
Dosis tunggal sekali sehari. Dosis postoperatif LMWH yang pertama harus
diberikan 6-8 jam postoperatif. Dosis postoperatif kedua harus diberikan >24
jam postoperatif. Kateter neuraxial dapat dengan aman dipertahankan.
Adapun, kateter neuraksial harus dicabut minimal 10-12 jam setelah
pemberian dosis terakhir LMWH. Dosis LMWH yang berikutnya harus
diberikan minimal 2 jam setelah pencabutan kateter.
18
German Society for NSAID: tidak ada Penusukan Penusukan Teknik neuraksial
kontraindikasi; jarum jarum dilakukan 10-12 jam
Anaesthesiology and
neuraksial 4 dan/atau setelah pemberian
Intensive Tunda LMWH,
jam setelah pencabutan LMWH; dosis
fondaparinux 36-42
Care Medicine heparin; kateter 4 berikutnya 4 jam
jam.
heparin jam setelah setelah penempatan
Tinopiridin dan GP dilanjutkan lagi heparin jarum atau kateter
IIb/IIIa 1 jam setelah dihentikan, neuraksial.
dikontraindikasikan penusukan heparin
Tunda blokade
jarum atau dilanjutkan
neuraksial 24 jam
pencabutan 1 jam
setelah dosis terapi
kateter setelah
neuraksial teknik
neuraksial
Belgian Association for NSAID: tidak ada Tidak Berikan Teknik neuraksial
kontraindikasi. didiskusikan heparin 1 dapat dilakukan 10-
Regional Anesthesia
jam setelah 12 jam setelah
Hentikan tiklopidin 14
teknik LMWH; dosis
hari,clopidogrel 7
neuraksial. selanjutnya 4 jam
hari,inhibitor GP
setelah penempatan
IIb/IIIa 7-48 jam Cabut
jarum atau kateter
sebelum pembedahan kateter
neuraksial.
neuraksial
setelah nilai Tunda blokade
aPTT neuraksial 24 jam
normal; setelah dosis terapi
heparin
dapat
dilanjutkan
lagi 1 jam
kemudian
American Society of NSAID: tidak ada Tidak ada Berikan Dosis dua kali sehari:
kontraindikasi. kontraindikasi heparin 1 LMWH 24 jam
Regional
dengan dosis jam setelah setelah pembedahan,
Hentikan Tiklopidin
Anesthesia and harian dua kali blokade tanpa
14 hari sebelum
sehari dan dosis neuraksial mempertimbangkan
Pain Management pembedahan,
total harian dilakukan, teknik; cabut kateter
Clopidogrel 7
<10.000 U, cabut kateter neuraksial 2 jam
hari,Inhbibitor IIa/IIIb
pertimbangkan neuraksial 2- sebelum pemberian
8-48 jam sebelum blok
untuk menunda 4 jam dosis LMWH
neuraksial
pemberian setelah dosis
heparin heparin
hingga setelah terakhir;
blok dilakukan tidak perlu
bila ada dilakukan
kesulitan penundaan
teknis. blokade bila
Keamanan blok ada
neuraksial pada kesulitan
pasien yang teknis
menerima dosis
> 10.000 U
/hari atau lebih
dari dua kali
dosis harian
UFH sampai
saat ini belum
diketahui
19
American College of NSAID: tidak ada Penusukan Penusukan Penusukan jarum 7-
kontraindikasi jarum 8-12 jam jarum 12 jam
Chest Physicians
setelah ditunda setelahpemberian
Hentikan Clopidogrel
pemberian hingga efek dosis ; dosis
7 hari sebelum blok
dosis; dosis antikoagulan selanjutnya 2 jam
neuraksial
selanjutnya 2 minimal setelah blokade atau
jam setelah pencabutan kateter.
blokade Adanya kateter yang
neuraksial atau tingal aman dengan
pencabutan dosisdua kali sehari
kateter
Dosis terapi: Tunda
blokade>18 jam
20
ASRA (American Society of Regional Anesthesia) merekomendasikan untuk
menghentikan semua pengobatan yang dapat mempengaruhi mekanisme
pembekuan dan meningkatkan resiko komplikasi perdarahan pada pasien yang
mendapat antikoagulan oral, tanpa mempengaruhi INR. Obat-obatan ini yaitu
aspirin, NSAID, tiklopidin, clopidogrel, UFH, dan LMWH.14
Pada pasien yang mendapat dosis inisial warfarin sebelum pembedahan,
dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan INR sebelum blok neuraksial, bila dosis
pertama warfarin telah diberikan 24 jam sebelumnya atau bila dosis kedua telah
diberikan. 14
Bila pasien diberikan dosis rendah warfarin selama analgesia epidural,
dianjurkan untuk dilakukan monitoring nilai INR harian. Penilaian neurologis
fungsi sensorik dan motorik harus dilakukan secara rutin pada pasien dengan
analgesia epidural yang mendapat terapi warfarin. Untuk memfasilitasi evaluasi
neurologis, disarankan dilakukan pengaturan dosis dan konsentrasi obat untuk
meminimalkan derajat blokade sensorik dan motorik14
Bila trombofilaksis dengan warfarin telah diberikan, direkomendasikan kateter
neuraksial dapat dicabut saat nilai INR <1,5. Disarankan penilaian neurologis
dilanjutkan sekurang-kurangnya hingga 24 jam setelah pencabutan kateter pada
pasien-pasien ini. 14
Pada pasien dengan INR 1,5 - 3, direkomendasikan pencabutan kateter harus
dilakukan dengan hati-hati, dengan melihat adanya riwayat pemberian obat-obatan
lain yang dapat mempengaruhi hemostasis namun tidak mempengaruhi INR
(NSAID, aspirin, clopidogrel, tiklopidin, UFH, LMWH). Status neurologis harus
dinilai sebelum pencabutan kateter dan dilanjutkan hingga INR telah stabil pada
level profilaksis yang diinginkan. Pada pasien dengan INR >3, direkomendasikan
dosis warfarin dihentikan sementara atau dikurangi pada pasien yang terpasang
kateter neuraksial. 14
21
Tabel 6. Rekomendasi waktu manipulasi kateter neuraksial pada
penggunaan agen antikoagulan sediaan oral4
Antikoagulan Waktu insersi jarum Manipulasi Waktu pencabutan Waktu
spinal atau kateter kateter bersamaan kateter neuraksial minimum
(Sediaan oral) epidural pada pasien dengan adanya antara insersi
yang diberikan antikoagulan (Bila antikoagulan atau
antikoagulan tidak dapat pencabutan
dihindari saat kateter
kateter terpasang) neuraksial
dengan
pemberian
antikoagulan
Warfarin Hentikan pemberian Jangan berikan Bila kateter Terapi
warfarin 5 hari dosis lanjutan neuraksial dipasang warfarin dapat
sebelum pelaksanaan warfarin sampai setelah diberikan dimulai kapan
teknik neuraksial. kateter neuraksial warfarin, kateter saja setelah
Periksa nilai INR dicabut harus dilepas sebelum kateter
pada hari pelaksanaan INR ≥ 1,5. Periksa dicabut.
teknik neuraksial. INR saat kateter akan Pemberian
Pertimbangkan dicabut Warfarin tidak
pemberian Vit. K 2,5 direkomendas
mg per oral bila INR ikan pada
>1,5. Pada prosedur pasien yang
urgensi dan terpasang
diperlukan reversal kateter
dengan pelaksanaan neuraksial.
teknik neuraksial
dalam 12 jam ke
depan, berikan 1 mg
Vit. K IV, dengan
target INR ≤ 1,2.
22
ASRA telah melaporkan adanya 26 kasus perdarahan signifikan yang terjadi
pada blokade saraf perifer yang terjadi pada pasien dengan terapi antikoagulan.
Keduapuluh enam kasus ini belum mencukupi untuk membentuk suatu
rekomendasi yang definitif. Untuk itu pada pasien yang menjalani blokade saraf
perifer dan blok pleksus dalam seperti blok lumbar simpatik, pleksus lumbar, dan
paravertebral yang mendapat terapi antikoagulan terutama antitrombotik untuk
memberlakukan rekomendasi yang sama dengan rekomendasi yang diterapkan
pada blokade neuraksial14
BAB III
LAPORAN KASUS
2.1 Identifikasi
Inisial nama : Tn Selamet
23
MR : 1181385
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 43 Tahun
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Alamat : Palembang
TB/BB : 170 cm / 60 kg
Tanggal Periksa : 19 November 2020
2.2 Anamnesis
Pasien Mengeluh bengkak di betis kiri sejak 1 tahun, awalnya kecil semakin
lama semakin membesar. Sejak 3 bulan terakhir pasien tidak bisa berjalan karena
bengkak semakin besar, Pasien ada riwayat terjatuh terpeleset seblumnya dengan
kaki kanan menumpu badan.
Pasien riwayat Operasi Penggantian Katup jantung bulan Oktober 2019 dan
mendapatkan terapi Warfarin tablet 2x1, Bisoprolol tablet 1x1,25 mg, saat ini
tidak ada keluhan sesak napas, tidak ada keluhan gusi gampang berdarah, tidak
ada keluhan BAB berdarah. Pasien sudah menghentikan mengonsumsi obat
warfarin sejak tanggal 18 November 2020 (1 hari yang lalu)
24
dinamis : simetris
Cor : S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : suara napas vesikuler normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen : datar, lemas, nyeri tekan (-), BU (+) normal
Ekstremitas : Regio Cruris sinistra: tampak pembengkakan di regior cruris
ukuran 11x12 x14 cm
Laboratorium (18/11/2020)
Pemeriksaan Hematologi
Hb : 9,3 gr/dl
Ht : 29 %
Leukosit : 10100 /mm3
Trombosit : 316.000/µL
DC : 0/1/79/14/6
Faal Hati
Albumin : 3.6 gr%
Metabolisme karbohidrat
Glukosa sewaktu : 91 mg/dL
Faal Hemostasis : PT: 27,1 (14,3), INR: 1,98, APTT: 34,2 (31,4)
Ginjal
Ureum : 28 mg/dL
Kreatinin : 1,15 mg/dL
Elektrolit
Natrium (Na) : 138 mEq/L
Kalium (K) : 4,1 mEq/L
Cl : 110 mEq/L
25
Rapid test SARS-Cov 19 Non reaktif
Pemeriksaan elektrokardiografi
Irama sinus HR 90 kali permenit
Pemeriksaan Echocardiografi
Dimensi Ruang jantung LV dilatasi, tidak ada LVH, Fungsi sistolik LV menurun,
EF 49%, Global hipokinetik, Fungsi RV cukup, MR prostetik gerakan baik (MVA
1,6) katup lain dalam batas normal, E/A <1.
Kesan gerakan katup prostetik baik.
CT scan Cruris sinisitra: Lesi litik destruktif bagian proksimal os tibia et fibula
sinistra disertai fraktur patologis di 1/3 bagian proksimal os tibia dan soft tissue
ukuran 12,74 x 13,75 x 13,36 cm dengan densitas yang sama di region tersebut
menginfiltrasi otot tibialis anterior dan posterior dan gastrognemius.
Planning:
Menghentikan pengunaan warfarin sampai 5 hari preoperatif ( stop tanggal
18/11/2021)
Diberikan injeksi lovenox 2 x 0,6 sc jam sampai 24 jam preoperatif dengan
target aPTT 1,5 -2 kali control dan INR kurang dari 1,5
Selanjutnya lovenox digantikan ke drip heparin 900 unit/jam sampai 4 jam
sebelum operasi dengan target aPTT 1,5 -2 kali control dan INR kurang dari
1,5
26
Folow up Tgl 23-11-2020
S: Bengkak di kaki kanan, Nyeri Vas 2-3, Tidak ada perdahan gusi, tidak ada
BAB darah
A: Spindle Cell Carcinoma Regio cruris sinistra + Post Mitral Valve replacement
pro Amputasi transfemoral
P:
Menghentikan injeksi lovenox
Diberikan drip heparin 900 unit/ dengan target aPTT 1,5 -2 kali control dan
INR kurang dari 1,5 sampai 4 jam sebelum operasi
Pasca operasi drip heparin dilanjutkan bila tidak ada perdarahan aktif
Periksa faal hemostasis tiap 24 jam
S: perdarahan di kaki yang bengkak, Nyeri Vas 2-3, Tidak ada perdarahan gusi,
tidak ada BAB darah
27
O: Sense CM TD 100/70 HR 90 reguler, RR 20 Spo2 99% udara bebas T 36,2
A; Spindle Cell Carcinoma Regio cruris sinistra + Anemia + Post Mitral Valve
replacement pro Amputasi transfemoral
P:
S: Bengkak di kaki kanan dan berdarah, Nyeri Vas 2-3, Tidak ada perdarahan
gusi, tidak ada BAB darah, Post koreksi 2 kantong PRC
28
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP (5+ 2) cmH20, massa (-)
Thoraks : statis : simetris
dinamis : simetris
Cor : S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : suara napas vesikuler normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen : datar, lemas, nyeri tekan (-), BU (+) normal
Ekstremitas : Regio Cruris sinistra: tampak pembengkakan di regior cruris
ukuran 11x12 x14 cm
A; Spindle Cell Carcinoma Regio cruris sinistra + anemia post tranfusi + Post
Mitral Valve replacement pro Amputasi transfemoral
P:
S: Bengkak di kaki kanan dan berdarah, Nyeri Vas 2-3, Tidak ada perdarahan
gusi, tidak ada BAB darah, Post koreksi 1 kantong PRC
29
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP (5+ 2) cmH20, massa (-)
Thoraks : statis : simetris
dinamis : simetris
Cor : S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : suara napas vesikuler normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen : datar, lemas, nyeri tekan (-), BU (+) normal
Ekstremitas : Regio Cruris sinistra: tampak pembengkakan di regior cruris
ukuran 11x12 x14 cm
A; Spindle Cell Carcinoma Regio cruris sinistra + anemia post tranfusi + Post
Mitral Valve replacement pro Amputasi transfemoral
P:
30
Anamnesis umum dan anamnesis khusus
Memberikan penjelasan kepada penderita dan keluarganya tentang rencana
anestesi yang akan dilakukan mulai di ruang penerimaan, ruang operasi
sampai di ruang pemulihan.
Informed consent tentang rencana operasi, rencana anestesi yang dipilih
anestesi regional epidural, pasien setuju dan mengerti akan tindakan dan
risikonya
Persiapan fisik
Puasa 6 jam sebelum operasi
Melepaskan perhiasan sebelum ke kamar operasi
Ganti pakaian khusus sebelum ke ruang operasi
Memeriksa status present, status fisik dan hasil pemeriksaan penunjang
Memeriksa surat persetujuan operasi
Memasang iv line, cairan pengganti puasa dengan RL dengan tetesan 20 tetes
per menit
31
Menyiapkan obat dan alat resusitasi.
Pasien dipindahkan ke meja operasi.
Pemasangan monitor (ECG, pulse oksimetri, dan tekanan darah)
Sens: CM, TD : 130/90 mmHg HR: 88x/mnt RR: 20 x/mnt temp: 36,50 C
Pasien dilakukan tindakan epidural dengan jarum Tuohy ukuran 18, dengan test
dose 3 ml, dan obat anestesi Bupivacain 0,5% 10 ml
32
dengan otonom panas
dingin, sensorik prick
test, dan motorik
dengan skor bromage
08.30 110/64 70 20 99% Epidural berhasil
mencapai target di T8
blok sensorik di bawah
procesus xipoideus,
operasi dimulai
08.45 112/76 70 18 99%
bupivacain 0,125 % +
Fentanyl 12 mcg/jam
continue via easy pump
33
Cairan masuk
Kristaloid : 1000 ml
Koloid : 500 ml
PRC : 250 cc
Cairan keluar
Perdarahan : 1000 ml
Urine : 500 ml
S: Nyeri(-) VAS 0
Regio knee sinistra: bekas luka operasi terjahit tidak ada perdarahan.
A: Post amputasi transfemoral ai spindle cell tumor region kruris sinistra dengan
riwayat MVR 2 tahun
P:
34
Follow up di ICU
P:
Follow up di Ruangan
35
(Hari 2) Folow up Tgl 28-11-2020 pukul 06.00
Faal hemostasis: PT: 15,5 (14,6) aPTT : 32,8 (32,3) INR 1,1
P:
Injeksi lovenox diganti dengan dip heparin 900 unit/jam continue target INR
lebih dari 2 dan target aPTT lebih dari 2 kali kontrol
Periksa faal hemostasis tiap 12 jam
warfarin 2 mg 1 kali sehari
Cabut kateter epidural kateter.
36
Leher : JVP (5+ 2) cmH20, massa (-)
Thoraks : statis : simetris vesikuler kiri = kanan
dinamis: simetris
Cor : S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : suara napas vesikuler normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen : datar, lemas, nyeri tekan (-), BU (+) normal
Ekstremitas : Luka amputasi tidak ada perdarahan
Faal hemostasis: aPTT : p 31,0 ( k 32,8)
P:
dip heparin 900 unit/jam continue target INR lebih dari 2 dan target aPTT
lebih dari 2 kali kontrol
Periksa faal hemostasis tiap 12 jam
warfarin 2 mg 2 kali sehari
37
A: Post Amputasi transfemoral ai Spindle Cell Carcinoma Regio cruris sinistra +
Post Mitral Valve replacement
P:
dip heparin 900 unit/jam continue target INR lebih dari 2 dan target aPTT
lebih dari 2 kali kontrol
Periksa faal hemostasis tiap 12 jam
warfarin 2 mg 2 kali sehari
(Hari ke 5) Folow up Tgl 01-12-2020 pukul 06.00
P:
dip heparin 900 unit/jam continue target INR lebih dari 2 dan target aPTT
lebih dari 2 kali kontrol
Periksa faal hemostasis tiap 12 jam
warfarin 2 mg 2 kali sehari
38
(Hari ke 6) Folow up Tgl 02-12-2020 pukul 06.00
P:
dip heparin 900 unit/jam continue target INR lebih dari 2 dan target aPTT
lebih dari 2 kali kontrol
Periksa faal hemostasis tiap 12 jam
warfarin 2 mg 2 kali sehari
39
Thoraks : statis : simetris vesikuler kiri = kanan
dinamis: simetris
Cor : S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : suara napas vesikuler normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen : datar, lemas, nyeri tekan (-), BU (+) normal
Ekstremitas : Luka amputasi tidak ada perdarahan
Darah Rutin: 10.8/33/14740/254.000
P:
40
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pasien ini terdapat riwayat mitral stenosis sebelumnya dengan keluhan
ada riwayat sesak yang meningkat saat aktivitas ringan dan sedang, dada
berdebar-debar, dan cepat lelah. Pada pemeriksaan ekokardiografi sebelumnya
didapatkan adanya Mitral berat disertai regurgitasi trikuspid berat, dan hipertensi
pulmonal berat. Indikasi penggantian katup pada pasien ini adalah terdapatnya
gejala yang berat, sesuai dengan NYHA fungsional kelas III/IV dengan Mitral
stenosis berat
41
Gambar 1. Rekomendasi AHA untuk indikasi penggantian katup pada
pasien ini adalah terdapatnya gejala yang berat
Pada pasien ini dilakukan evaluasi dari anamnesis didapatkan tidak ada riwayat
sesak napas saat beraktivitas ringan, tidak ada dada berdebar debar. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 100/70 mm Hg, laju nadi semenit 90
kali, reguler, isi cukup, laju napas semenit 20 kali, saturasi oksigen 98% udara
bebas,dan temperatur badan 36,2˚C. Dapat kita lihat dari anamnesis tidak ada
sesak napas pada pesien ini, tidak ada keluhan perdrahan sebelumnya seperti
perdrahan gusi, perdarahan saluran cerna dan lain-lain. Keluhan yang signifikan
42
yaitu keluhan perdarahan dari tumor spindle cell tungkai kirinya yang semakin
lama semakin membesar dan terlihat agak merah.
Pada pasien ini diberikan terapi LMWH (lovenox) dengan dosis 0,6 cc sub
kutan 2 kali sehari sampai 12 jam preoperatif dan dilakukan pemeriksaaan faal
hemostatasis setiap 24 jam. Hal ini sudah sesuai dengan literatur yang mengatakan
jika bridging therapy menggunakanLMWH maka harus diberikan LMWH dengan
lovenox dosiss 1 mg/kg sc sampai 12 jam sebelum operasi. Dilanjutkan dengan
maintenance intravena 900 unit per jam.
Pemeriksaan sebelum operasi pT pasien 14,7 (kontrol 14,7) aPTT 24,4 (kontrol
32,4) dan INR 1,44 , dengan hasil ini maka target INR untuk preoperatif bridging
therapy telah tercapai dan disetujui untuk dilakukan operasi.
43
Teknik anestesi yang digunakan adalah anestesi epidural dengan konsiderasi dari
ASRA 2010. Yaitu Kombinasi teknik neuraksial dengan penggunaan heparin
intraoperatif sebagai antikoagulan pada pembedahan vaskular dapat dilakukan
dengan rekomendasi berikut ini:4
Hindari teknik ini pada pasien dengan resiko koagulopati lainnya
Tunda pemberian heparin selama 1 jam setelah penempatan jarum neuraksial,
Pencabutan kateter neuraksial dilakukan 2-4 jam setelah dosis terakhir
heparin dan cek ulang status koagulasi pasien; heparin baru dapat diberikan
lagi 1 jam setelah pencabutan kateter
Monitoring pasien postoperatif untuk melihat tanda-tanda blokade motorik,
dan pertimbangkan penggunaan obat anestesi lokal dengan konsentrasi minimal
untuk mempermudah deteksi awal adanya hematoma spinal.
Pada pasien ini kami melakukan teknik insersi kateter 6 jam setelah
penghentian heparin, dan pecabutan kateter dilakukan setelah 4 jam penghentian
heparin intravena. Monitoring yang kami lakukan tidak ada tanda tanda blokade
motorik.
Post operasi masih diberikan heparin injeksi untuk mencapai target INR yang
dibutuhkan pada pasien dengan mitral valve repalcement. Target yang diperlukan
di literatur adalah 2,5 – 3.0, pada pasien didapatkan faal hemostasis PT pasien
15,5 dengan kontrol 14,6 dan nilai aPTT pasien 32,8 kontrol di 32,3 dengan INR
1,1. Dilanjutkan dengan pemberian heparin kontnu drip 900 unit per jam. Sampai
hari ke 7 operasi nilai faal hemostasis 22,5 dengan kontrol 14,5 dan nilai aPTT
pasien 48,5 kontrol di 31,3 dengan INR 1,72. Pada pasien ini dengan nilai INR
1,72 dan aPTT yang memanjang di 48,5 (kontrol 31,3) pasien dudah bisa rawat
jalan. Nilai haemoglobin pada saat dipulangkan di 10,8 pada pasien dilakukan
edukasi untuk mengawasi adanya tanda tanda peradarahan di luka jahitan operasi
dan tanda peradahan lainnya seperti gusi beradarah dan perdarahan di saluran
cerna.
44
BAB V
KESIMPULAN
45
Pada laporan kasus ini menggunakan teknik epidural anestesi dengan
mempertimbangkan penusukan dan pelepasan kateter epidural yang melihat dari
nilai INR dan aPTT pasien dan tidak terjadi komplikasi seperti hematoma
epidural.
DAFTAR PUSTAKA
46
Association Task Force on Practice Guideline. J Am Heart Assoc.
2014;129(23):64-67.
5. Soesanto AM. Tatalaksana pasien setelah operasi katup jantung. Dalam: Buku
Makalah 28th Weekend course on Cardiology. Yayasan Kardiovaskuler
Indonesia 2016: 25-9
6. Horlocker T. Low molecular weight heparin: Biochemistry, pharmacology,
perioperative prophylaxis regimen, and guidelines for regional anesthetic
management, Anest Analg 1997; 85: 874-85
7. Oranmore-Brown C, Griffiths R. Anticoagulants and the perioperative period.
Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain 2006;6:156-59.
8. Shaikh SI, Kumari RV, Hegade G, Maruthesh M. Periperative Consideration
and Management of patients receiving anticoagulant. Anesth Essay and Res
2017:10-6
9. Ansell J, Hirsh J, Hylek E, Jacobson A, Crowther M, Palareti G.
Pharmacology and management of the vitamin K antagonists: American
College of Chest Physicians evidence-based clinical practice guidelines (8th
edition). Chest 2008;133:160–98
10. Kulik A, Rubens FD, Wells PS, Kearon C, Mesana TG, van Berkom J, Lam
BK. Early postoperative anticoagulation after mechanical valve replacement: a
systematic review. Ann Thorax Surg. 2006 Feb; 81(2): p.779.
11. Douketis DJ. Bridging Anticoagulation: Is it Needed when Warfarin Is
interrupted Around the time of a Surgery or Procedure? . Journal Circulation,
AHA. 2012:125:496-8
12. Douketis JD, Crowther MA, Cherian SS, Kearon CB. Physician Preferences
for Perioperative Anticoagulation in Patients With a Mechanical Heart Valve
Who Are Undergoing Elective Noncardiac Surgery. Chest 116;5;November
199: 1240-6
13. Hirsh J, Bauer KA, Donati MB, Gould M, Samama M,Weitz JI. Parenteral
anticoagulants : American College of Chest Physicians evidence-based
clinical practice guidelines (8th edition). Chest 2008;133:141–59.
47
14. Horlocker T et al. Regional anesthesia in the patient receiving antithrombotic
or thrombolytic therapy. American society of regional anesthesia and Pain
Medicine evidence base guideline. Regional Anesthesia and Pain Medicine
2010; 35’(1): 64-101.
15. Anderson MR et al. Anesthesia for patients undergoing orthopaedic oncologic
surgeries. Journal of Clinical Anesthesia. 2010: 22: 565–72
16. Niu F et al. Spindle Cell Carcinoma of the Lower Limbs: A Case Report. Case
Report. 2016 Volume 1: 1074: 1-4
17. Kim SJ et al. Use Of Regional Anesthesia For Lower Extremity Amputation
May Reduce The Need For Perioperative Vasopressors: A Propensity Score-
Matched Observational Study. Therapeutics and Clinical Risk Management
2019:15:1163-71
18. Melsom H, Danjoux G. Perioperative care for lower limb amputation in
vascular disease. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain
J : 2011: 11:5: 162-6
48
1