Anda di halaman 1dari 14

MENUJU KELUARGA SAKINAH

Oleh Marella Kusuma Wardhani, S.Si

Banyak orang yang berseloroh bahwa menikah itu enaknya hanya 10


persen, sementara yang 90 persen itu lebih uuuenak (enak sekali). Pengertian
uuuenak bukan hanya dalam pengertian hubungan seksual suami istri semata,
akan tetapi karena menikah dengan benar akan memunculkan banyak hikmah dan
manfaat. Salah satunya adalah adanya kedamaian, ketentraman dan kesenangan
bagi suami dan istri yang telah melangsungkan pernikahan. Hal ini ditegaskan
Allah SWT dalam firmanNya:

.....

Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya Dia
menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah
dicampurinya, (istrinya) mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia
merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya
(suami isteri) bermohon kepada Allah, Tuhan mereka seraya berkata:” Jika
Engkau memberi kami anak yang shaleh, tentulah kami akan selalu bersyukur”
(QS. Al A’raaf [7]:189)

.....

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)Nya ialah Dia menciptakan pasangan-


pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang. Sungguh
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran) Allah bagi
kaum berfikir (TQS. Ar Ruum [30]: 21).

Dalam kedua ayat tersebut Allah SWT menyatakan bahwa suami tempat
sakinah bagi istri dan istri tempat sakinah bagi suami. Lantas, apa sakinah itu?
Secara bahasa, sakinah berasal dari akar kata as sakn yang maknanya adalah al
ithmi’naan, yaitu ketentraman dan kedamaian. Artinya, pernikahan sejatinya akan
menjadikan seorang suami merasa tenteram dan damai disisi istrinya. Begitu pula
sebaliknya, seorang istri akan merasa tenteram dan damai di sisi suaminya.
Mereka satu sama lain akan saling tertarik, tidak saling menjauhi, bahkan saling
membantu. Dengan kata lain, watak dari berpasangan adalah ketentraman dan
dasar dari kehidupan suami istri adalah kehidupan yang penuh kedamaian.
Kehidupan seperti ini merupakan kehidupan persahabatan tempat menyemai dan
melahirkan nuansa kedamaian dan ketentraman. Itulah sakinah. Begitu eratnya
persahabatan dan kedamaian yang terwujud dalam suatu kehidupan rumah tangga
yang baik, yang sakinah, Allah SWT mengibaratkan suami sebagai pakaian bagi
isteri dan isteri laksana pakaian bagi suaminya. Allah SWT berfirman:

.....

“...Mereka (istri) adalah pakaian bagimu (suami), dan kamu pun adalah pakaian
bagi mereka (QS. Al Baqarah[2]: 187)

Paradigma Menuju Sakinah


Sakinah tidak dapat dicapai apabila landasan pernikahan hanyalah untuk
memenuhi kebutuhan seksual. Sebaliknya, sakinah akan dicapai bila landasan
pernikahan tersebut adalah semata-mata ibadah kepada Allah SWT. Artinya,
niatnya adalah untuk mematuhi hukum Allah SWT dalam melanjutkan keturunan,
menjauhi perzinaan, dan menjaga diri dari perbuatan haram. Sebab, dalam Islam,
pernikahan adalah akad atau ikatan antara seorang laki-laki dan perempuan untuk
membangun rumah tangga sebagai suami isteri sesuai ketentuan syariat Islam.
Syariat Islamlah yang menjadi pondasinya.
Pernikahan yang dasarnya seperti ini akan mendapatkan empat hal, yaitu :

1. Pemenuhan kebutuhan fitrah insani.


Secara alami, suami istri akan dapat memenuhi fitrah kemanusiannya dalam
pernikahan. Mereka dapat menjalin cinta kasih, sikap keibuan, kebapakan,
dan berbagai hal lainnya. Pemenuhan kebutuhan seperti ini dalam pernikahan
merupakan pemenuhan sejati, tidak didasarkan pada perhitungan untung rugi,
melainkan atas dasar ibadah kepada Allah SWT.
2. Ibadah.
Orang yang menikah dengan diniatkan untuk mentaati aturan Allah SWT.
Sesuai dengan aturannya dan didasari oleh keimanan, berarti tengah
melaksanakan ibadah. Sebab, menikah merupakan perintah Allah SWT dan
mentaatinya merupakan suatu bentuk ibadah. Jadi, pernikahan adalah suatu
ibadah. Firman Allah SWT:

.....

Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim(bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir
tidak akan mampu berlaku adil maka nikahilah seorang saja, atau hamba
sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar
kamu tidak berbuat dzalim (QS. An Nisaa [4] : 3).
Sabda Rasulullah SAW:
Demi Allah sesungguhnya aku orang yang paling takut diantara kamu kepada
Allah, dan aku orang yang paling takwa diantara kamu kepada Allah, tetapi
aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dengan bangun di malam hari dan
aku menikahi perempuan. Maka barangsiapa membenci sunnahku bukanlah
ia termasuk umatku (HR Bukhari dan Muslim).

3. Diberi karunia. Laki-laki dan perempuan berpasangan akan diberi karunia oleh
Allah SWT. Kalaupun mereka miskin, Allah akan memberi mereka rizki.
Siapapun yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT tidak akan
membiarkan dirinya atau anaknya terjerumus dalam kemaksiatan, termasuk
melarangnya menikah dengan alasan ekonomi belum mapan. Justru, Allah
SWT akan memberikan rizki dari karuniaNya pada mereka yang menjauhi apa
yang diharamkan olehNya. Firman Allah SWT:

.....

Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan


juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang
laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi
kemampuan kepada mereka dengan karunianya. Dan Allah Mahaluas
(pemberianNya) lagi Maha Mengetahui (QS. An Nuur [24]:32).

4. Berhak ditolong Allah SWT. Ini merupakan janji dari Allah SWT lewat
Rasulullah SAW dalam sabdanya:

Tiga orang yang berhak ditolong Allah: pejuang di jalan Allah, mukatib
(budak yang membebaskan diri dari tuannya) yang mau melunasi
pembayarannya, dan orang yang menikah karena hendak menjauhkan diri
dari perkara haram (HR.Turmudzi).

Tujuan Berkeluarga

Tujuan berkeluarga mutlak untuk ditetapkan sejak awal. Tanpa tujuan yang jelas,
apapun tujuan yang dilakukan seseorang menjadi tidak terarah. Jangankan
berumah tangga, kita hendak jalan-jalan (berwisata) saja harus menentukan tempat
mana yang akan dituju. Apabila tidak ditentukan tujuan wisata tersebut pastilah
kita hanya berputar-putar atau berkeliling tanpa arah yang jelas. Karenanya setiap
suami istri tidak boleh lengah menetapkan tujuan tersebut dan senantiasa
menelaah apakah tujuan tersebut tercapai selama perjalanannya. Bila tercapai,
segeralah bersyukur. Sebaliknya, bila belum berupayalah terus secara bersama-
sama tanpa lupa memohon do’a kepada Allah Pencipta kita, Dzat yang
memerintahkan kita menikah.

Siapapun yang menghayati ajaran Islam, setidaknya ada 5 tujuan pokok


pernikahan. Kelima tujuan tersebut adalah:

1. Mewujudkan mawaddah wa rahmah yang penuh sakinah, yakni terjalinnya


cinta kasih dan tercapainya ketentraman hati. Secara tegas hal ini disebutkan
dalam firman Allah SWT QS.Ar Ruum [30]: 21.
Mawaddah merupakan cinta kasih yang masih memperhatikan bentuk
fisik, seperti rupa yang cantik/ganteng, tinggi tubuh yang semampai dan
setimbang, body yang penuh berisi, cara bicara, dan penampilan fisik lainnya.
Sementara, rahmah merupakan kasih sayang yang tidak lagi memperhatikan
bentuk fisik. Umumnya, setelah rumah tangga berjalan, terdapat unsur-unsur
lain yang membuatnya berkasih sayang. Perhatiannya, kelembutannya,
tanggung jawabnya, kesabarannya, ketabahannya, sikap amanahnya,
kejujurannya, kesungguhannya, perhatiannya, semangat keberislamannya,
kerajinan berdakwahnya, dan hal lainnya, itulah yang menumbuhkan rahmah.
Sekalipun kulit sudah peot, rupa ‘reot’, kegagahan mengurang, dan penampilan
fisik lainnya sudah hampir musnah daya tariknya, tetapi ketika rahmah ini ada
sang suami akan tetap sayang pada istrinya, dan istri pun tetap sayang pada
suaminya. Sungguh kasih sayang sejati. Ujung dari bentuk kasih sayang
demikian adalah ketentraman, kedamaian, dan ketenangan. Sakinah!

2. Melanjutkan keturunan dan menghindari dosa. Diantara nash yang menjelaskan


hal tersebut adalah sabda Rasul SAW:

.....

Kawinilah oleh wanita kalian wanita penyayang dan subur keturunannya,


karena sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian di
hadapan para nabi yang lain pada hari kiamat nanti (HR. Ahmad dan Ibnu
Hibban).

Jadi, pernikahan merupakan tempat untuk membangun generasi Islam.


Pernikahan merupakan sarana untuk menciptakan generasi yang shalih, terikat
pada Al Qur’an dan As Sunnah, pejuang dan pembenah Islam, bahkan
penyemai para pemimpin dan mujahid islam.
3. Memperat silaturrahim. Dengan pernikahan orang yang semula tidak kenal
menjadi keluarga. Pertemanan bertambah. Karenanya, pernikahan merupakan
sarana mempererat silaturrahim bukan justru menambah permusuhan.

Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu


dari diri yang satu(Adam), dan daripadanya Allah menciptakan
istrinya(Hawa), dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan kekeluargaan (silaturrahim). Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasimu (QS. An Nisa [4]: 1).

4. Sebagai sarana dakwah. Rumah tangga merupakan sarana untuk saling


menasihati dalam kebenaran dan ketakwaan, amar ma’ruf nahi munkar, dan
dakwah. Pernikahan merupakan sarana untuk mendakwahkan Islam sehingga
merupakan pusat dakwah terkecil dalam masyarakat Islam. Firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan (QS. At Tahriim [66]:6).

5. Menggapai mardhatillah (ridha Allah). Last but not least, tujuan dari segala
tujuan dalam setiap perbuatan, termasuk pernikahan, adalah menggapai ridlo
Allah SWT. Yang menjadi komitmen pasangan suami istri bukan sekedar
sehidup semati melainkan sedunia-seakhirat. Mereka berupaya bersama
melakukan ketaatan agar dapat masuk surga bersama-sama seperti diisyaratkan
oleh Allah Pencipta Alam, dalam al Qur’an:
(Yaitu) orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami dan mereka orang-
orang yang berserah diri. Masuklah kamu ke dalam surga, kamu dan
pasangan kamu digembirakan (QS. Az Zukhruf [43]:69-70).

Prinsip Berkeluarga

Prinsip berumah tangga merupakan pegangan umum dalam mengarungi


bahtera rumah tangga. Prinsip yang menjadi pegangan berumah tangga adalah:

1. Islam memandang pernikahan sebagai “perjanjian yang berat” (mitsaqon


gholiizho), setiap orang memiliki hak dan kewajiban. Dengan demikian,
pernikahan bukanlah persoalan main-main, sebaliknya pernikahan merupakan
perkara yang besar.

.....

Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah


bergaul (bercampur) satu sama lain (sebagai suami istri). Dan mereka (istri-
istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat(ikatan pernikahan)
(QS. An Nisaa [4]: 21).

2. Islam memandang setiap anggota keluarga sebagai pemimpin dalam kedudukan


masing-masing. Atas dasar ini baik istri maupun suami akan berupaya penuh
kesungguhan memenuhi kewajibannya demi kebahagiaan bersama. Rasulullah
SAW, seperti diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim,
menyebutkan bahwa setiap kita adalah pemimpin. Termasuk di dalamnya
suami istri. Suami akan ditanyai tentang kepemimpinan yang ia jalankan dalam
keluarganya, begitu pula istri.

3. Islam mengajarkan prinsip adil dalam membina keluarga. Adil dalam arti
meletakkan fungsi-fungsi keluarga secara memadai dengan fungsi keagamaan
sebagai dasarnya, terhadap siapapun.

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi


saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak
dan kaum kerabatmu. Jika ia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka
Allah lebih tahu kemashlahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi
saksi, maka ketahuilah sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap segala apa
yang kamu kerjakan (TQS. An Nisaa [4]:135).

Fungsi Keluarga

Dalam menjalankan keluarga terdapat 8 fungsi yang harus berjalan. Kedelapan


fungsi tersebut adalah:

1. Fungsi reproduksi, dari keluarga dihasilkan anak keturunan secara sah.


2. Fungsi ekonomi, kesatuan ekonomi mandiri, anggota keluarga
mendapatkan dan membelanjakan harta untuk memenuhi keperluan.
3. Fungsi sosial, memberikan status, kadang prestise kepada anggota
keluarga.
4. Fungsi protektif, keluarga melindungi anggotanya dari kecaman fisik,
ekonomis, dan psiko sosial.
5. Fungsi rekreatif, keluarga merupakan pusat rekreasi bagi para anggotanya.
6. Fungsi afektif, keluarga memberikan kasih sayang.
7. Fungsi edukatif, memberikan pendidikan.
8. Fungsi relijius, keluarga memberikan pengalaman keagamaan kepada para
anggota.

Dalam menjalankan kedelapan fungsi tersebut, haruslah menjadikan Islam


sebagai landasannya. Semua fungsi-fungsi yang lain didasarkan kepada aturan
Islam,yaitu fungsi relijius. Di atas dasar islam ini dijalankanlah empat fungsi
berikutnya, yaitu fungsi reproduksi, edukasi, protektif dan afektif. Barulah
berikutnya, bahkan konsekuentif logis dan serius fungsi tersebut, dibangun
fungsi ekonomi, sosial, dan rekreatif. Secara grafis, hal ini disajikan dalam
bagian berikut:

F. Ekonomi F. Sosial F. Rekreatif


F. Reproduksi F. Edukasi F. Protektif F. Afektif

F. Keagamaan

Bila fungsi-fungsi tersebut berjalan secara adil sesuai dengan dasar agama tadi,
maka suatu keluarga akan mendapatkan 6 kebahagiaan. Yaitu, kebahagiaan
finansial, kebahagaiaan seksual, kebahagiaan moral, kebahagaiaan spiritual,
kebahagiaan intelektual, dan kebahagiaan ideologis. Sebaliknya bila tidak
demikian, yang muncul adalah krisis keluarga dalam berbagai wujudnya.

1. Kebahagiaan finansial. Kebahagiaan finansial akan didapatkan karena Allah


SWT telah berjanji akan memudahkan serta melapangkan rizki bagi orang
yang menikah. Sebagaimana firman-Nya: QS. An Nuur: 32

2. Kebahagiaan Seksual. Kebahagiaan ini akan didapatkan seseorang yang telah


menikah . Kebahagiaan ini perlu karena tidak jarang sebuah rumah tangga
berantakan karena permasalahan seksual. Namun, perlu diingat tentunya
bukan satu-satunya yang ingin didapatkan dari sebuah pernikahan.

3. Kebahagiaan moral. Kebahagiaan moral akan diperoleh oleh pernikahan yang


dilandasi iman. Hal ini karena seorang suami yang shaleh akan bersikap baik
dan berakhlaq mulia kepada istrinya dan sebaliknya istri yang shalehah pun
berbuat demikian. Kebahagiaan moral akan didapatkan juga karena rumah
tangga akan menjadi tempat menghasilkan orang-orang yang bertaqwa dan
bermoral. Karenanya jangan sampai terjadi rumah tangga menjadi tempat
menghasilkan orang-orang yang tidak beriman dan tidak bermoral.

4. Kebahagiaan spiritual. Kebahagiaan spiritual didapatkan juka suami-istri


selalu bersama-sama menjalankan kegiatan ibadah. Rumah tangga akan
menjadi masjid sebagai tempat transfer pengalaman keagamaan. Rumah
tangga akan menjadi rumah sakit yang dapat mengobati penyakit jasmani dan
rohani. Lebih jauh, rumah tangga menjadi camp yang dapat membentuk
tentara Allah SWT pembela Islam yang tangguh.

5. Kebahagiaan intelektual. Kebahagiaan ini akan didapatkan apabila suami istri


selalu mendiskusikan berbagai hal, baik dalam urusan pribadi, rumah tangga,
maupun kepeduliannya kepada masyarakt sekitar. Suami istri merupakan
partner diskusi yang paling dekat.

6. Kebahagiaan ideologi. Kebahagiaan ideologi akan didapatkan karena rumah


tangga akan menjadi wadah utama dalam melaksanakan ideologi Islam, yakni
dengan jalan melaksanakan seluruh ajaran Islam, menyebarkan ajaran Islam di
tengah masyarakat dan menjadi penjaga Islam yang sejujur-jujurnya.

Kewajiban Suami, Istri, dan Bersama


Dalam rangka melaksanakan berbagai fungsi tersbut, Islam membuat
aturan berupa kewajiban. Kewajiban itu berupa kewajiban suami, kewajiban istri,
dan kewajiban bersama suami istri.
Di antara kewajiban suami adalah:

1. Memperlakukan istri dengan baik (ma’ruf)


2. Memberi nafkah
3. Mendidik istri
4. Menjaga kehormatan istri dan keluarga.

Diantara nash-nash yang menjelaskan hal tersebut adalah: QS. An Nisaa [4]: 19

.....

Hendaklah kalian bertakwa kepada Allah dalam urusan kaum perempuan, karena
kalian telah mengambilnya sebagai amanat dari Allah (HR.Muslim)

Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik perlakuannya
terhadap istri-istrinya (HR.Ibnu Majah)

“Laki-laki itu pelindung bagi perempuan(istri) karena Allah telah melebihkan


sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain(perempuan)...” (QS. An
Nisaa [4]: 34)

Adapun kewajiban istri adalah sebagai berikut:

1. Taat pada suami


2. Menjaga amanah sebagai ummun waraabatul bait
3. Menjaga kehormatan dan harta suami
4. Minta ijin untuk bepergian

Banyak nash-nash yang menjelaskan hal ini. Diantaranya:

Tidak halal bagi perempuan berpuasa, sementara suaminya menyaksikannya,


kecuali dengan ijinnya. Tidak halal baginya memberikan ijin masuk (kepada
orang lain) di rumahnya, kecuali dengan ijin suaminya. Tidak halal pula baginya
membelanjakan harta tanpa ijin suaminya, karena sesungguhnya harta yang ia
belanjakan tanpa seijin suaminya harus ia kembalikan kepadanya separuhnya
(HR. Bukhari)
Adapun kewajiban bersama yang harus dijalnkan suami istri adalah:

1. Menjaga iman dan taqwa. Artinya taat pada Allah SWT (giat ibadah,
bermuamalah secara islami, giat dakwah, makanan minuman halal,
menutup aurat, mendidik anak, berakhlak mulia seperti syukur, memenuhi
janji, taubat, baik sangka, dsb)
2. Menghindari maksiat
3. Saling mengingatkan.

Demikianlah upaya menuju keluarga sakinah. Semoga kedua mempelai, dan


pasangan suami istri kaum Muslim lainnya, dapat meraih keluarga sakinah,
bahagia dalam kedamaian dan ketentraman.

Anda mungkin juga menyukai