Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

PERUBAHAN JARINGAN OTOT SETELAH PEMOTONGAN HEWAN TERNAK

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Dasar Teknologi Hasil Ternak
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur selalu tercurah limpah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya kepada seluruh makhluk-Nya, sehingga pada saat ini penulis dapat
menyelesaikan tugas dengan lancar. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan
kepada Nabi akhir zaman yaitu Nabi Muhammad SAW.

Hasil tugas karya ilmiah ini dimaksud untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah
“Dasar Teknologi Hasil Ternak” yang berjudul “Perubahan Jaringan Otot Setelah
Pemotongan Ternak”. Dalam penulisan kali ini, penulis tidak luput dari berbagai kesulitan.
Namun, berkat pertolongan dan rahmat Allah SWT serta bimbingan dari semua pihak yang
pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan tepat waktu.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Adi Magna Patriadi
Nuhriawangsa, S.Pt., M.P. selaku dosen mata kuliah Dasar Teknologi Hasil Ternak yang telah
membimbing penulis agar dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran agar penyusunan karya
ilmiah selanjutnya menjadi lebih baik. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terimakasih
dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi para pembaca.

…, Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Daging ialah bagian lunak pada hewan yang terbungkus kulit dan melekat pada
tulang yang menjadi bahan makanan. Daging tersusun sebagian besar dari jaringan
otot, ditambah dengan lemak yang melekat padanya, urat, serta tulang rawan. Ketika
ternak disembelih, sirkulasi darah ternak tersebut akan berhenti.
Dengan berhentinya sirkulasi darah setelah ternak dipotong akan menyebabkan
terhentinya fungsi darah sebagai pembawa oksigen, sehingga respirasi terhenti dan
berlangsung proses glikolisis an aerob. Proses ini dibagi menjadi 3 fase, yaitu: fase pre
rigor, rigormortis dan post rigor. Daging pada fase pre rigor memiliki karakteristik
daging yang lentur dan lunak, kemudian terjadi perubahan-perubahan, yaitu menjadi
kaku, hal ini disebabkan bersatunya aktin dan miosin membentuk aktomiosin,
kekakuan otot setelah pemotongan disebut dengan rigormortis.
Hasil pemotongan ternak dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian karkas
dan bagian bukan karkas atau lazim disebut bagian non karkas. Karkas merupakan
hasil utama pemotongan ternak dan mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi daripada
non karkas, sesuai dengan tujuan pemotongan ternak, yaitu untuk mendapatkan
daging. Bagian non karkas atau yang lazim terdiri dari bagian yang layak dimakan dan
bagian yang tidak layak dimakan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses terbentuknya daging setelah ternak disembelih?
2. Apa faktor yang mempengaruhi kualitas daging?
3. Bagaimana cara memperoleh kwalitas daging yang lebih baik?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui proses terbentuknya daging setelah ternak disembelih.
2. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kwalitas daging.
3. Untuk mengetahui cara memperoleh kwalitas daging yang lebih baik.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Proses Terbentuknya Daging Setelah Ternak Disembelih

Ketika hewan ternak mengalami penyembelihan dan darah nya dikeluarkan


maka ternak akan terlihat seperti kehilangan system transportnya. Dengan terjadinya
hal itu akan terjadi kegagalan sistem peredaran darah karena darah yang dipompa oleh
jantung keluar melalui vena yang terpotong. Hewan ternak yang kehilangan darahnya
kemudian akan kehabisan oksigen dan mati.

Habisnya oksigen dalam ternak akan menghentikan energi dari siklus krebs
dan juga menghentikan enzim sitokrin. Dengan demikian, sistem glikogenesis akan
berubah menjadi sistem glikogenolisis. Ketika ternak masih hidup, mereka
menyimpan cadangan energi berupa glikogen. Timbunan glikogen inilah yang
kemudian digunakan sebagai sumber energi setelah penyembelihan melali proses
glikogenolisis. Akan tetapi, sistem glikogenolisis memiliki efek penumpukan asam
laktat. Peristiwa ini dapat disebut sebagai fase pre rigor.

Kemudian ketika hewan disembelih, sistem pelepasan panas tidak dapat


terjadi. Sehingga tubuh ternak yang masih memiliki energi tidak bisa mengeluarkan
panas. Akibatnya temperatur otot menjadi tinggi juga. Hal ini akan berpengaruh pada
sistem daging yang akan dihasilkan, terutama pada pH-nya. Proses ini disebut juga
fase postmortem.

Setelah mengalami fase postmortem, ternak akan mengalami fase rigormortis.


Fase ini disebut juga fase kekakuan setelah kematian. Ketika ATP otot habis, terdapat
suatu keistimewaan. Filamen aktin dan miosin akan saling tindih dan kemudian akan
terdapat energi(glikogenolis) lagi untuk melakukan relaksisasi. Setelah mengalami
perenggangan, terakhir ternak akan mengalami fase post rigor(konstan). Pada fase ini
otot sudah mati dalam kondisi kekakuan setelah relaksasi.

B. Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Daging


Berdasarkan penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas daging adalah
sebagai berikut :
1. Power hydrogen (pH) Daging

Nilai pH daging akan ditentukan oleh jumlah laktat yang dihasilkan dari glikogen
selama proses glikolisis anaerob dan hal ini akan terbatas bila glikogen terdeplesi karena
lelah, kelaparan atau takut pada hewan sebelum dipotong (Buckle et al., 1987). Menurut
Lukman (2010), nilai pH daging tidak akan pernah mencapai nilai dibawah 5,3. Hal ini
disebabkan oleh enzim-enzim yang terlibat dalam glikolisis anaerob tidak aktif bekerja.

Keadaan lingkungan di pasar tradisional mempunyai dampak pada nilai pH daging.


Lingkungan yang tidak bersih akan membuat pH tidak mengalami penurunan yang normal.
Lingkungan yang buruk dapat dilihat dari keadaan tempat berjualan yang kotor, becek,
saluran pembuangan yang tidak berfungsi dengan baik Keadaan ini akan membuat lingkungan
sekitar tempat penjualan menjadi lembab dan akan berkontaminasi dengan daging yang dijual
karena akan tumbuh bakteri dan mikroba lebih banyak.

pH sangat mempengaruhi kualitas daging, penurunan pH daging dengan cepat sampai


pH akhir 5,3-5,6 telah mengalami penurunan dengan pola Pale Soft and Exudative(PSE).
Daging yang memiliki penurunan pH secara PSE (Pale Soft and Exudative) ditandai dengan
warna daging yang pucat (pale), lembek(soft), dan basah pada permukaan (exudative),
(Lukman, 2010). Penurunan pH yang lambat dan tidak lengkap akan membuat pH tetap tinggi
dan mencapai pH akhir sekitar 6,5 - 6,8 atau diatas 6,2. Penurunan tersebut mengalami
penurunan pH dengan pola dark firm and dry (DFD). Daging yang memiliki pola penurunan
ini ditandai dengan daging yang berwarna gelap (dark), kompak (Firm), dan kering (dry),
(Lukman, 2010). Secara umum, penurunan pH akan berpengaruh pada kualitas produk.
Semakin rendah pH suatu produk umumnya akan meningkatkan daya simpan produk karena
bakteri akan sulit hidup pada pH rendah kecuali bakteri yang tahan pada pH rendah
(Achidophilic), (Soeparno, 2005).

2. Daya Ikat Air

Soeparno (2005), berpendapat bahwa kisaran normal daya ikat air antara 20% sampai
60%. Perbedaan daya ikat air ini antara lain disebabkan oleh perbedaan jumlah asam laktat
yang dihasilkan, sehingga pH diantara dan di dalam otot berbeda. Menurut Jamhari (2000),
terdapat beberapa faktor yang bisa menyebabkan variasi pada daya ikat air oleh daging,
diantaranya : faktor pH, faktor perlakuan maturasi, pemasakan atau pemanasan. Faktor
biologik seperti jenis otot, jenis ternak, jenis kelamin, dan umur ternak. Demikian pula faktor
pakan, transportasi, suhu, kelembapan, penyimpanan, preservasi, kesehatan, perlakuan
sebelum pemotongan, dan lemak intramuskuler.

Semakin pH mendekati nilai isoelektrik maka daya ikat air daging akan semakin
rendah, sebaliknya semakin jauh nilai pH dari titik isoelektrik maka semakin tinggi daya ikat
air daging tersebut. penurunan pH menyebabkan denaturasi protein daging, maka akan terjadi
penurunan kelarutan protein yang menyebabkan daya ikat air berkurang. Nilai pH daging
yang tetap tinggi serta mengalami penurunan pH yang lambat dan tidak lengkap akan
membuat daya ikat air meningkat. Penurunan pH yang lambat tersebut mengahasilkan daging
dark firm and dry (DFD). Nilai pH daging yang rendah akan membuat daya ikat air menurun,
penurunan tersebut mengakibatkan terjadinya daging Pale Soft and Exudative (PSE).
Kemudian Dapat diketahui dari penjelasan tersebut bahwa semakin rendah daya ikat air pada
daging akan membuat kualitas daging akan rendah, hal ini dikarenakan banyaknya cairan dari
daging yang keluar menyebabkan penurunan berat daging, berkurangnya kelezatan dan
berkurangnya nilai gizi (Nurwanto et al., 2003).

3. Susut Masak

Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus
daging yaitu banyaknya air yang terikat dalam dan diantara serabut otot. Jus daging
merupakan komponen dari daging yang ikut menentukan keempuan daging (Soeparno, 2005).
Soeparno (2005), berpendapat bahwa pada umumnya nilai susut masak daging sapi bervariasi
antara 1,5-54,5% dengan kisaran 15-40%.

Besarnya nilai susut masak daging sangat dipengaruhi oleh nilai pH daging tersebut. Hal
ini diperkuat oleh Soeparno (2005), bahwa nilai susut masak sangat dipengaruhi oleh nilai pH
daging, apabila nilai pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik (5,0 - 5,1), maka
nilai susut masak daging tersebut akan rendah. Susut masak daging dipengaruhi oleh daya ikat
air dan kadar air. Semakin tinggi daya ikat air, semakin rendah kadar air tersebut.

Daging yang mempunyai nilai susut masak rendah di bawah 35 % memiliki kualitas yang
baik karena kemungkinan keluarnya nutrisi daging selama pemasakan juga rendah. Faktor-
faktor penyebab perbedaan nilai susut masak diantaranya adalah jenis ternak, metode
pemotongan, jenis garis lintang dan kandungan lemak. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Nurwanto et al. (2003) yaitu faktor yang mempengaruhi susut masak antara lain nilai pH,
panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi myofibril,
ukuran dan berat sampel, penampang melintang daging, pemanasan, bangsa terkait dengan
lemak daging, umur,dan konsumsi energi dalam pakan.

C. Cara menjaga kualitas daging


1. Mengendalikan asam laktat agar mencapai ph yang optimum pada daging
2. Memberikan lingkungan

Anda mungkin juga menyukai