Anda di halaman 1dari 10

BAB 7 (KEMULIAAN MENUNTUT

ILMU) REMEDIAL PAT RADEN X


MIPA 3
Keutamaan Ahlul Bait
Istilah Ahlul Bait mungkin terdengar agak asing di telinga sebagian orang. Bisa dimaklumi,
mengingat keadaan kaum muslimin yang semakin kurang peduli terhadap agamanya. Padahal
ketika seseorang tidak dibimbing secara benar dalam memahami persoalan Ahlul Bait, ia
sangat rentan terjatuh pada penyimpangan. Realitas menunjukkan, pemahaman yang keliru
terhadap kedudukan Ahlul Bait telah melahirkan banyak kelompok menyimpang.
        Seluruh ulama Ahlus Sunnah mengakui keutamaan Ahlul Bait
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena telah jelas dalil-dalil yang menunjukkan
keutamaan mereka dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
        Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
َ ِ‫صلَ ٰوةَ َو َءات‬
          ‫ين‬ َّ ‫َوقَ ۡر َن فِي بُيُوتِ ُك َّن َواَل تَبَر َّۡج َن تَبَرُّ َج ۡٱل ٰ َج ِهلِيَّ ِ*ة ٱأۡل ُولَ ٰۖى َوأَقِمۡ َن ٱل‬
ِ ‫س أَ ۡه َل ۡٱلبَ ۡي‬
‫ت‬ َ ‫ب َعن ُك ُم ٱلرِّ ۡج‬َ ‫ٱل َّز َك ٰوةَ َوأَ ِط ۡع َن ٱهَّلل َ َو َرسُولَ ۚ ٓۥهُ إِنَّ َما ي ُِري ُد ٱهَّلل ُ لِي ُۡذ ِه‬
٣٣ ‫يرا‬ ٗ ‫َويُطَهِّ َر ُكمۡ تَ ۡط ِه‬
          “Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian. Janganlah kalian berhias dan bertingkah
laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu. Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah
Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian,
wahai Ahlul Bait dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.”  (al-Ahzab: 33)
        Dalil lainnya adalah hadits Ghadir Khum yang diriwayatkan dari Zaid ibnu Arqam,

       
          Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah berdiri di depan kami
berkhutbah di daerah mata air yang bernama Khum[1], antara Makkah dan Madinah. Beliau
memuji Allah subhanahu wa ta’ala dan menyanjung-Nya. Beliau memberi nasihat dan
peringatan.
          Beliau berkata, ‘Amma ba’du. Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah manusia biasa
yang sebentar lagi akan didatangi utusan Rabbku (malaikat maut) dan aku akan menyambutnya.
          Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara yang berat. Pertama, Kitab
Allah  subhanahu wa ta’ala, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Ambillah dengan Kitab
Allah  subhanahu wa ta’ala ini dan berpeganglah dengannya.”
          Zaid berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan
memberi semangat untuk berpegang dengan kitab Allah subhanahu wa ta’ala.
        Kemudian beliau berkata, “Yang kedua Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang
Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang
Ahlul Baitku.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya dengan syarah an-Nawawi, 15/174—175)
 
Siapakah Ahlul Bait?
        Alangkah baiknya kita mengenal siapa Ahlul Bait yang dimaksud oleh ayat dan
hadits di atas.

        Para ulama Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa Ahlul Bait adalah keluarga
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diharamkan memakan sedekah. Mereka terdiri
dari keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga ‘Aqil, keluarga Abbas, serta para istri
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan anak-anak mereka.
        Diriwayatkan dari Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhu,
          Zaid ibnu Arqam radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah berdiri di depan kami pada suatu hari sebagai khatib di daerah mata air yang
bernama Khum—daerah antara Makkah dan Madinah.
          Beliau memuji Allah subhanahu wa ta’ala dan menyanjung-Nya. Beliau memberi nasihat
dan memberi peringatan, kemudian berkata, ‘Amma ba’du, wahai manusia, sesungguhnya aku
adalah manusia biasa yang sebentar lagi akan datang utusan Rabbku (malaikat maut), dan aku
akan menyambutnya.
          Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara yang berat. Pertama, kitab Allah subhanahu
wa ta’ala, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Ambillah kitab Allah subhanahu wa
ta’ala ini dan berpeganglah dengannya’.
          Zaid berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan
memberi semangat untuk berpegang dengan kitab Allah subhanahu wa ta’ala.
          Kemudian beliau berkata, “Yang kedua Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang
Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku, Aku peringatkan kalian tentang
Ahlul Baitku.”
          Hushain bertanya kepada Zaid, “Siapakah Ahlul Baitnya, wahai Zaid? Bukankah istri-
istrinya termasuk Ahlul Bait?”
          Zaid radhiallahu ‘anhu menjawab, “Istri-istri beliau termasuk Ahlul Baitnya. Ahlul Bait
adalah orang yang diharamkan menerima sedeqah setelah beliau.”
          Hushain berkata, “Siapakah (lagi) mereka?”
          Zaid menjawab, “Mereka adalah keluarga Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan
keluarga ‘Abbas.”
          Hushain bertanya lagi, “Apakah mereka semua diharamkan menerima sedekah?”
       Zaid menjawab,”Ya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya dengan Syarh an-
Nawawi 15/174—175 no. 6175)
 

        Dari hadits di atas dapat dipahami beberapa kaidah, di antaranya:

1. Keutamaan Ahlul Bait yang sangat tinggi.


        Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada kita untuk memuliakan dan
menghormati mereka.
2. Kita dapat mengetahui bahwa Ahlul Bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah semua
yang tidak boleh menerima sedekah (zakat).
Mereka terdiri dari keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas.
3. Istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk Ahlul Bait yang harus kita hormati.
 
Istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Termasuk Ahlul Bait
        Dari hadits di atas, kita mengetahui pula bahwa istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah termasuk Ahlul Bait. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
mewasiatkan agar kita menghormati dan memuliakan mereka.
        Jika kaum Syi’ah konsekuen menghormati Ahlul Bait, seharusnya mereka hormati
pula semua keturunan Ja’far, Aqil, dan Abbas, serta para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam terutama yang paling beliau cintai, yaitu Aisyah dan Khadijah radhiallahu ‘anhuma.
        Hanya saja istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak termasuk yang
diharamkan untuk menerima sedekah. Berikut ini penjelasannya.
        Pada hadits di atas, ketika Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhu ketika ditanya tentang
istriistri Nabi beliau menjawab, “Istri-istri beliau termasuk Ahli Baitnya, tetapi….”.
        Adapun dalam hadits berikutnya dalam Shahih Muslim, ketika ditanya tentang siapa
yang dimaksud Ahlul Baitnya, apakah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; Zaid bin
Arqam menjawab, “Tidak, Ahlul Baitnya adalah yang tidak boleh menerima sedekah
setelahnya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya dengan Syarh an-Nawawi 15/174—175 no.
6178)
 

An-Nawawi rahimahullah mengomentari dua lafadz hadits yang tampaknya


bertentangan ini, “Ucapan Zaid dalam riwayat di atas, ‘Istri-istri beliau termasuk Ahli
Baitnya’ bermakna bahwa istri-istri Nabi termasuk keluarga beliau. Mereka tinggal di
rumah beliau. Kita diperintahkan untuk menghormati dan memuliakan mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakannya tsaqalain (sesuatu yang berat
dan penting -pen.). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menasihati dan
memperingatkan manusia agar memenuhi hak-hak mereka. Istri-istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam masuk dalam semua itu.
Namun, mereka tidak termasuk yang diharamkan untuk memakan sedekah. Inilah yang
diisyaratkan pada riwayat pertama, “Istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam termasuk Ahli Baitnya, tetapi Ahli Baitnya adalah yang diharamkan menerima
sedekah.” (Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi, 15/174—175 no. 6178)
Namun, kaum Syi’ah justru mengeluarkan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
Ahlul Bait lantas melecehkannya. Dalil terkuat yang mereka jadikan sandaran adalah
hadits dari ‘Umar bin Abi Salamah radhiallahu ‘anhu,
         
ٗ ‫ت َويُطَهِّ َر ُكمۡ تَ ۡط ِه‬
         ‫يرا‬ ِ ‫س أَ ۡه َل ۡٱلبَ ۡي‬ َ ‫إِنَّ َما ي ُِري ُد ٱهَّلل ُ لِي ُۡذ ِه‬
َ ‫ب َعن ُك ُم ٱلرِّ ۡج‬
          
          Ketika turun kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ayat Allah, “Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya” di rumah Ummu Salamah, beliau memanggil Fathimah, Hasan dan Husain.
Kemudian beliau menyelimuti mereka dengan selimut (kisa’). ‘Ali berada di belakang beliau,
lantas beliau juga menyelimutinya dengan selimut.
          Beliau berkata, “Ya Allah, mereka adalah Ahlul Baitku. Hilangkanlah kotoran dari
mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya.”
          Ummu Salamah berkata, “Apakah aku bersama dengan mereka, ya Nabi Allah?”
          Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau tetaplah pada tempatmu
dan engkau berada dalam kebaikan.” (HR. at-Tirmidzi no. 3205)
        Kaum Syi’ah menganggap, ditolaknya Ummu Salamah masuk dalam selimut
menunjukkan bahwa para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak termasuk Ahlul
Bait.
 

        Para ulama membantah ucapan mereka di atas sebagai berikut:

1. Disebutkan dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ at-Tirmidzi bahwa tidak dimasukkannya


Ummu Salamah dalam selimut bersama mereka, karena adanya ‘Ali bin Abi Thalib (yang
bukanlah mahram Ummu Salamah -pen.). Ini tidak berarti bahwa Ummu Salamah tidak
termasuk Ahlul Bait. (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, 9/48)
2. Konteks ayat surat al-Ahzab sangat jelas menunjukkan bahwa yang dimaksud Ahlul Bait
adalah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebab, awal ayat dibuka dengan kalimat,

          ‫ٰيَنِ َسٓا َء ٱلنَّبِ ِّي لَ ۡستُ َّن َكأ َ َح ٖد ِّم َن ٱلنِّ َسٓا ِ*ء‬
  “Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain.…”  (al-Ahzab: 32)
Kemudian pada ayat berikutnya diakhiri dengan kalimat,

ٗ ‫ت َويُطَهِّ َر ُكمۡ تَ ۡط ِه‬


        ٣٣ ‫يرا‬ ِ ‫س أَ ۡه َل ۡٱلبَ ۡي‬ َ ‫إِنَّ َما ي ُِري ُد ٱهَّلل ُ لِي ُۡذ ِه‬
َ ‫ب َعن ُك ُم ٱلرِّ ۡج‬
          “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, hai Ahlul Bait,
dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.” (al-Ahzab: 33)
3. Pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini tentang istri-istri Nabi adalah pendapat Ibnu
Abbas, Ikrimah, ‘Atha’, al-Kalbi, Muqatil, Sa’id bin Jubair, dan lain-lain.
Bahkan, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Asakir dari jalan Ikrimah, Ibnu
Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan ayat ini turun terkait dengan istri-istri
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
        Ikrimah berkata, “Barang siapa mau, aku akan bermubahalah (saling mendoakan
kebinasaan) dengannya bahwa ayat ini turun tentang istri-istri Nabi.” (Lihat Tuhfatul
Ahwadzi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, 9/48)
4. Memang diriwayatkan dari beberapa orang dari kalangan Salaf bahwa yang dimaksud
juga Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain.
Akan tetapi, ini tidak bertentangan. Sebab, disebutkan dalam hadits di atas bahwa
mereka adalah Ahlul Bait juga. (lihat sumber yang sama)

5. Alasan lain kaum Syi’ah adalah ucapan mereka,


“Apabila kita meneliti secara cermat, tampak perbedaan dhamir yang digunakan dalam
ayat tath-hir ( ۡ‫ ) َويُطَ ِّه َر ُكم‬dan ayat lastunna ( َّ‫تُن‬00000‫ )لَ ۡس‬yang ditujukan kepada istri-istri
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam ayat tath-hir digunakan dhamir jamak untuk laki-laki (kum), sedangkan untuk
istri-istri Nabi digunakan dhamir jamak untuk perempuan yang ditandai dengan nun
ta’nits ( َّ‫)لَ ۡستُن‬. Jadi, penyucian (that-hir) tersebut bukan untuk istri-istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.”
        Kita jawab, dhamir jamak untuk laki-laki dalam ayat tath-hir digunakan karena
kembalinya kepada kata ‘Ahlul Bait’. Dan kalimat ‘ahli’ dapat dipakai
untuk mu’annats (perempuan) dan mudzakar  (lelaki). Misalnya, seseorang bertanya,
“Kaifa ahluka?” yang dimaksud adalah, “Bagaimana istrimu?”
        Ini dapat dipahami oleh orang-orang yang mengerti bahasa Arab
dengan dzauqul ‘Arabi. (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, al-Imam Muhammad
Abdur Rahman bin Abdur Rahim al-Mubarakfuri, 9/48—49)
6. Baik sekali pendapat para Ulama Ahlus Sunnah, seperti al-Qurthubi dan Ibnu Katsir,
yang menyatakan bahwa ucapan yang bijak dalam masalah ini adalah,
“Ayat ini mencakup istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencakup pula Ali,
Fatimah, al-Hasan, dan al-Husain.
Adapun istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena konteks ayatnya tentang
mereka. Selain itu, karena mereka tinggal di rumah-rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Adapun masuknya Ali, Fatimah, al-Hasan, dan al-Husain karena mereka adalah kerabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara nasab. Jadi, siapa yang mengkhususkan ayat
ini untuk salah satunya, berarti dia mengabaikan kewajibannya terhadap yang lain.
(Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, 9/49)
Karena telah jelas bahwa ayat ini berbicara tentang istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan Fathimah, Ali, Hasan, dan
Husain radhiallahu ‘anhum serta menyatakan bahwa mereka juga Ahlul Bait, walaupun
tidak disebut secara jelas dalam ayat di atas.
 
Keutamaan al-Hasan dan al-Husain
Al-Hasan dan al-Husain adalah putra Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, cucu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari anak perempuannya, Fathimah radhiallahu
‘anha.
Mereka termasuk kalangan Ahlul Bait Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
memiliki berbagai keutamaan yang besar dan mendapatkan pujian beliau. Di antaranya,
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
          “Sesungguhnya al-Hasan dan al-Husain adalah kesayanganku dari dunia.”  (HR. al-
Bukhari, at-Tirmidzi, dan Ahmad dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma)
        Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
        
          “Al-Hasan dan al-Husain adalah sayyid (penghulu) para pemuda ahlul jannah.” ( HR.
Tirmidzi, Hakim, Thabarani, Ahmad, dll, dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu;
dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah, hlm. 423,
hadits no. 796)
 
Al-Hasan Lebih Utama Daripada al-Husain
Khusus tentang keutamaan al-Hasan radhiallahu ‘anhu, diriwayatkan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
          “Al-Hasan dariku dan al-Husain dari Ali.” (HR. Abu
Dawud, Ahmad, ath- Thabarani dari Miqdam bin Ma’dikarib; dinyatakan sahih oleh asy-
Syaikh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah, hlm. 450, hadits no. 711)
        Dari al-Bara’ bin ‘Azib, dia berkata,

        
          “Aku melihat al-Hasan bin ‘Ali di atas pundak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
beliau bersabda, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah dia’.” (HR. al-
Bukhari dengan Fathul Bari, 7/464, hadits no. 3749 dan Muslim dengan Syarh an-
Nawawi,15/189, hadits no. 6208)

          “Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai dia, maka cintailah dia serta cintailah siapa
yang mencintainya.” (HR. Muslim dengan Syarh an-Nawawi, 15/188, hadits no. 6206)
        Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
        
          “Tidaklah seorang pun yang lebih mirip dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam daripada al-Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhuma.” (HR. al-Bukhari dengan Fathul
Bari, 7/464, hadits no. 3752)
        Dari Al-Hasan radhiallahu ‘anhu, dia mendengar Abu Bakrah berkata, “Aku
mendengar (ceramah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar, dan al-Hasan di
sampingnya. Sesekali, beliau melihat kepada manusia dan sesekali kepada al-Hasan.
Beliau bersabda,
        
          “Anakku ini adalah sayyid. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala akan mendamaikan
dengannya dua kelompok dari kalangan muslimin.” (HR. al-Bukhari dengan Fathul Bari,
7/463, hadits no. 3746)
        Benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadits di atas. Setelah ayah beliau, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu terbunuh,
sebagian kaum muslimin membai’at beliau, tetapi bukan karena wasiat dari
Ali radhiallahu ‘anhu.
        Asy-Syaikh Muhibbuddin al-Khathib berkata, diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad
dalam Musnad-nya (1/130)—setelah disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu akan terbunuh—mereka berkata kepadanya, “Tentukanlah penggantimu bagi
kami.”
        Beliau menjawab, “Tidak. Aku tinggalkan kalian pada apa yang telah ditinggalkan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam….” (Lihat ta’liq kitab al-’Awashim Minal
Qawashim, Ibnul Arabi, hlm. 198—199)
        Akan tetapi, setelah itu al-Hasan menyerahkan ketaatannya kepada Mu’awiyah
untuk mencegah pertumpahan darah di antara kalangan muslimin. Kisah tersebut
diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam “Kitab ash-Shulh” dari al-Hasan al-
Bashri rahimahullah.
        Di akhir hadits, al-Hasan radhiallahu ‘anhu meriwayatkan hadits dari Abu Bakrah
bahwa ia berkata, “Aku mendengar (ceramah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas
mimbar, dan al-Hasan di sampingnya. Beliau melihat kepada manusia sesekali dan
kepadanya sesekali. Beliau bersabda,
          “Anakku ini adalah sayyid. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala akan mendamaikan
dengannya dua kelompok dari kalangan muslimin.” (HR. al-Bukhari dengan Fathul Bari,
7/463, hadits no. 3746)
        Demikianlah keutamaan al-Hasan radhiallahu ‘anhu yang paling besar yang dipuji
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berhasil mempersatukan kaum
muslmin, hingga tahun tersebut dikenal dengan tahun jamaah. Kaum muslimin selamat
dari pertumpahan darah di antara mereka.
        Kekhalifahan Mu’awiyah akhirnya berlangsung dengan persatuan kaum muslimin,
dengan keutamaan dari Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian pengorbanan al-Hasan bin
Ali radhiallahu ‘anhuma yang besar.
        Yang mengherankan, kaum Syi’ah Rafidhah—yang mengaku pencinta Ahlul Bait—
justru menyesali kejadian ini. Bahkan, mereka menjuluki al-Hasan radhiallahu
‘anhu sebagai ‘pencoreng wajah-wajah kaum mukminin’. Sebagian di antara mereka
menganggap beliau fasik, bahkan sebagian yang lain mengkafirkannya.
        Asy-Syaikh Muhibbuddin al-Khathib mengomentari ucapan Syi’ah Rafidhah,
“Padahal termasuk dasar keimanan Rafidhah—bahkan dasar keimanan yang paling
utama—adalah keyakinan mereka bahwa al-Hasan, ayah, saudara, dan sembilan
keturunannya adalah maksum.

        Di antara konsekuensi kemaksuman mereka, tentu mereka tidak akan berbuat
kesalahan. Demikian pula, segala sesuatu yang bersumber dari mereka berarti benar
dan tidak akan terbatalkan.

        Hal terbesar yang bersumber dari al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhu adalah
pembai’atan terhadap Amirul Mukminin Mu’awiyah. Maka dari itu, mestinya mereka
masuk dalam baiat ini dan beriman bahwa ini adalah hak. Sebab, ini adalah amalan
seorang yang makshm menurut mereka.“ (Lihat catatan kaki kitab al-Awashim minal
Qawashim, hlm. 197—198)
        Demikianlah keculasan kaum Syi’ah Rafidhah. Mereka menyelisihi imam mereka—
yang mereka anggap maksum—menyalahkan, menganggapnya fasik, bahkan kafir.
Karena itu, hanya ada dua kemungkinan bagi mereka:

1. Mereka berdusta atas ucapan mereka sendiri tentang kemaksuman dua belas imam
mereka. Jika demikian, hancurlah agama mereka (agama Syi’ah Itsna ‘Asyariyah).
2. Mereka meyakini kemakshuman al-Hasan Jika demikian, mereka adalah para
pengkhianat yang menyelisihi imam—yang mereka anggap maksum— dengan
permusuhan, kesombongan, dan kekufuran.
              Berbeda halnya dengan Ahlus Sunnah. Mereka beriman dengan kenabian
kakek al-Hasan radhiallahu ‘anhu. Mereka berpendapat bahwa berita perdamaian dan
bai’at al-Hasan radhiallahu ‘anhu kepada Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu adalah salah satu
bukti kenabian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amal terbesar al-
Hasan radhiallahu ‘anhu.
        Mereka bergembira dengannya. Mereka mengganggap al-Hasan yang
memutihkan wajah kaum muslimin (yakni tidak mencoreng wajah-wajah kaum muslimin
seperti anggapan Syi’ah -pen.). (lihat sumber yang sama)

Kemuliaan ilmu dan ulama


Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Abud
Darda’radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sungguh keutamaan seorang ahli ilmu di atas ahli ibadah
adalah laksana keutamaan bulan purnama di atas seluruh bintang-gemintang.
Sesungguhnya para ulama adalah pewaris nabi-nabi. Sedangkan para nabi
tidak mewariskan uang dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan
ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu itu niscaya dia memperoleh jatah
warisan yang sangat banyak.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 22)

Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Zur bin Hubaisy. Dia
berkata: Shofwan bin ‘Asal al-Muradi mengabarkan kepada kami. Dia berkata:
Aku pernah datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku
berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menuntut ilmu.” Beliau pun
menjawab, “Selamat datang, wahai penuntut ilmu. Sesungguhnya penuntut
ilmu diliputi oleh para malaikat dan mereka menaunginya dengan sayap-sayap
mereka. Kemudian sebagian mereka menaiki sebagian yang lain sampai ke
langit dunia, karena kecintaan mereka terhadap apa yang mereka
lakukan.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 37)

Ibnu Wahb meriwayatkan dari Imam Malik. Imam Malik berkata: Aku
mendengar Zaid bin Aslam -gurunya- menafsirkan firman Allah ta’ala (yang
artinya), “Kami akan mengangkat kedudukan orang-orang yang Kami
kehendaki.” (QS. Yusuf: 76). Beliau berkata, “Yaitu dengan ilmu.” (lihat Syarh
Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/133], Umdat al-Qari [2/5], dan Fath al-
Bari [1/172])

Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujahid mengenai makna


firman Allah (yang artinya), “Allah berikan hikmah kepada siapa pun yang
dikehendaki-Nya.”Mujahid menafsirkan,  “Yaitu ilmu dan
fikih/pemahaman.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 19)

Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujahid tentang maksud


firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Dan ulil amri di antara kalian.” Beliau
menjelaskan,“Yaitu para fuqoha’ dan ulama.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 21)

Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari al-Hasan, bahwa Abud


Darda’radhiyallahu’anhu berkata, “Perumpamaan para  ulama di tengah-tengah
umat manusia bagaikan bintang-bintang di langit yang menjadi penunjuk arah
bagi manusia.” (lihatAkhlaq al-’Ulama, hal. 29)

Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu
Abbasradhiyallahu’anhuma, beliau mengatakan, “Seorang pengajar kebaikan
dan orang yang mempelajarinya dimintakan ampunan oleh segala sesuatu,
sampai ikan di dalam lautan sekalipun.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 43-44)

Petaka Lenyapnya Ilmu


Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,“Sebagian di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah
diangkatnya ilmu, kebodohan merajalela, khamr ditenggak, dan perzinaan
merebak.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-’Ilm[80] dan Muslim dalam Kitab
al-’Ilm [2671])

Hancurnya alam dunia ini -dengan terjadinya kiamat- akan didahului dengan
hancurnya pilar-pilar penegak kemaslahatan hidup manusia yang menopang
urusan dunia dan akherat mereka. Di antara pilar tersebut adalah; agama, akal,
dan garis keturunan/nasab. Rusaknya agama akibat hilangnya ilmu. Rusaknya
akal akibat khamr. Adapun rusaknya nasab adalah karena praktek perzinaan
yang merajalela di mana-mana (lihat Fath al-Bari[1/218])

Yang dimaksud terangkatnya ilmu bukanlah dicabutnya ilmu secara langsung


dari dada-dada manusia. Akan tetapi yang dimaksud adalah meninggalnya para
ulama atau orang-orang yang mengemban ilmu tersebut (lihat Fath al-
Bari [1/237]).

Hal itu telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits


Abdullah bin Amr al-Ash radhiyallahu’anhuma, “Sesungguhnya Allah tidak akan
mencabut ilmu itu secara tiba-tiba -dari dada manusia- akan tetapi Allah
mencabut ilmu itu dengan cara mewafatkan para ulama. Sampai-sampai
apabila tidak tersisa lagi orang alim maka orang-orang pun mengangkat
pemimpin-pemimpin dari kalangan orang yang bodoh. Mereka pun ditanya dan
berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari
dalam Kitab al-’Ilm [100] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2673])

Di dalam riwayat Ahmad dan Thabrani dari jalan Abu


Umamah radhiyallahu’anhudisebutkan bahwa ketika Hajjatul Wada’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Ambillah ilmu sebelum sebelum ia
dicabut atau diangkat.” Maka ada seorang Badui yang bertanya, “Bagaimana ia
diangkat?”. Maka beliau menjawab, “Ketahuilah, hilangnya ilmu adalah dengan
perginya (meninggalnya) orang-orang yang mengembannya.” (lihat Fath al-
Bari [1/237-238])

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di atas


kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas.
Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah
kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan
hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa
terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu
akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh
lebih buruk daripada binatang di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun
yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.” (lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa
Fadhluhu, hal. 96)

Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda,“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah utus aku untuk
mendakwahkannya laksana hujan deras yang membasahi bumi. Di muka bumi
itu ada tanah yang baik sehingga bisa menampung air dan menumbuhkan
berbagai jenis pohon dan tanam-tanaman. Adapula jenis tanah yang tandus
sehingga bisa menampung air saja dan orang-orang mendapatkan manfaat
darinya. Mereka mengambil air minum untuk mereka sendiri, untuk ternak, dan
untuk mengairi tanaman. Hujan itu juga menimpa tanah yang licin, ia tidak bisa
menahan air dan tidak pula menumbuhkan tanam-tanaman. Demikian itulah
perumpamaan orang yang paham tentang agama Allah kemudian ajaran yang
kusampaikan kepadanya memberi manfaat bagi dirinya. Dia mengetahui ilmu
dan mengajarkannya. Dan perumpamaan orang yang tidak mau peduli dengan
agama dan tidak mau menerima hidayah Allah yang aku sampaikan.” (HR.
Bukhari)

Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan segi keserupaan antara


hujan dengan ilmu agama. Beliau berkata, “Sebagaimana hujan akan
menghidupkan tanah yang mati (gersang), demikian pula ilmu-ilmu agama akan
menghidupkan hati yang mati.” (lihat Fath al-Bari [1/215]).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah subhanahu menjadikan ilmu bagi hati


laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana tanah/bumi tidak akan hidup
kecuali dengan curahan air hujan, maka demikian pula tidak ada kehidupan
bagi hati kecuali dengan ilmu.” (lihatal-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 227)

Anda mungkin juga menyukai