Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah berdiri di depan kami
berkhutbah di daerah mata air yang bernama Khum[1], antara Makkah dan Madinah. Beliau
memuji Allah subhanahu wa ta’ala dan menyanjung-Nya. Beliau memberi nasihat dan
peringatan.
Beliau berkata, ‘Amma ba’du. Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah manusia biasa
yang sebentar lagi akan didatangi utusan Rabbku (malaikat maut) dan aku akan menyambutnya.
Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara yang berat. Pertama, Kitab
Allah subhanahu wa ta’ala, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Ambillah dengan Kitab
Allah subhanahu wa ta’ala ini dan berpeganglah dengannya.”
Zaid berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan
memberi semangat untuk berpegang dengan kitab Allah subhanahu wa ta’ala.
Kemudian beliau berkata, “Yang kedua Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang
Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang
Ahlul Baitku.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya dengan syarah an-Nawawi, 15/174—175)
Siapakah Ahlul Bait?
Alangkah baiknya kita mengenal siapa Ahlul Bait yang dimaksud oleh ayat dan
hadits di atas.
Para ulama Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa Ahlul Bait adalah keluarga
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diharamkan memakan sedekah. Mereka terdiri
dari keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga ‘Aqil, keluarga Abbas, serta para istri
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan anak-anak mereka.
Diriwayatkan dari Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhu,
Zaid ibnu Arqam radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah berdiri di depan kami pada suatu hari sebagai khatib di daerah mata air yang
bernama Khum—daerah antara Makkah dan Madinah.
Beliau memuji Allah subhanahu wa ta’ala dan menyanjung-Nya. Beliau memberi nasihat
dan memberi peringatan, kemudian berkata, ‘Amma ba’du, wahai manusia, sesungguhnya aku
adalah manusia biasa yang sebentar lagi akan datang utusan Rabbku (malaikat maut), dan aku
akan menyambutnya.
Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara yang berat. Pertama, kitab Allah subhanahu
wa ta’ala, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Ambillah kitab Allah subhanahu wa
ta’ala ini dan berpeganglah dengannya’.
Zaid berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan
memberi semangat untuk berpegang dengan kitab Allah subhanahu wa ta’ala.
Kemudian beliau berkata, “Yang kedua Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang
Ahlul Baitku. Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku, Aku peringatkan kalian tentang
Ahlul Baitku.”
Hushain bertanya kepada Zaid, “Siapakah Ahlul Baitnya, wahai Zaid? Bukankah istri-
istrinya termasuk Ahlul Bait?”
Zaid radhiallahu ‘anhu menjawab, “Istri-istri beliau termasuk Ahlul Baitnya. Ahlul Bait
adalah orang yang diharamkan menerima sedeqah setelah beliau.”
Hushain berkata, “Siapakah (lagi) mereka?”
Zaid menjawab, “Mereka adalah keluarga Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan
keluarga ‘Abbas.”
Hushain bertanya lagi, “Apakah mereka semua diharamkan menerima sedekah?”
Zaid menjawab,”Ya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya dengan Syarh an-
Nawawi 15/174—175 no. 6175)
ٰيَنِ َسٓا َء ٱلنَّبِ ِّي لَ ۡستُ َّن َكأ َ َح ٖد ِّم َن ٱلنِّ َسٓا ِ*ء
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain.…” (al-Ahzab: 32)
Kemudian pada ayat berikutnya diakhiri dengan kalimat,
“Aku melihat al-Hasan bin ‘Ali di atas pundak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
beliau bersabda, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah dia’.” (HR. al-
Bukhari dengan Fathul Bari, 7/464, hadits no. 3749 dan Muslim dengan Syarh an-
Nawawi,15/189, hadits no. 6208)
“Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai dia, maka cintailah dia serta cintailah siapa
yang mencintainya.” (HR. Muslim dengan Syarh an-Nawawi, 15/188, hadits no. 6206)
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
“Tidaklah seorang pun yang lebih mirip dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam daripada al-Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhuma.” (HR. al-Bukhari dengan Fathul
Bari, 7/464, hadits no. 3752)
Dari Al-Hasan radhiallahu ‘anhu, dia mendengar Abu Bakrah berkata, “Aku
mendengar (ceramah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar, dan al-Hasan di
sampingnya. Sesekali, beliau melihat kepada manusia dan sesekali kepada al-Hasan.
Beliau bersabda,
“Anakku ini adalah sayyid. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala akan mendamaikan
dengannya dua kelompok dari kalangan muslimin.” (HR. al-Bukhari dengan Fathul Bari,
7/463, hadits no. 3746)
Benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadits di atas. Setelah ayah beliau, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu terbunuh,
sebagian kaum muslimin membai’at beliau, tetapi bukan karena wasiat dari
Ali radhiallahu ‘anhu.
Asy-Syaikh Muhibbuddin al-Khathib berkata, diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad
dalam Musnad-nya (1/130)—setelah disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu akan terbunuh—mereka berkata kepadanya, “Tentukanlah penggantimu bagi
kami.”
Beliau menjawab, “Tidak. Aku tinggalkan kalian pada apa yang telah ditinggalkan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam….” (Lihat ta’liq kitab al-’Awashim Minal
Qawashim, Ibnul Arabi, hlm. 198—199)
Akan tetapi, setelah itu al-Hasan menyerahkan ketaatannya kepada Mu’awiyah
untuk mencegah pertumpahan darah di antara kalangan muslimin. Kisah tersebut
diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam “Kitab ash-Shulh” dari al-Hasan al-
Bashri rahimahullah.
Di akhir hadits, al-Hasan radhiallahu ‘anhu meriwayatkan hadits dari Abu Bakrah
bahwa ia berkata, “Aku mendengar (ceramah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas
mimbar, dan al-Hasan di sampingnya. Beliau melihat kepada manusia sesekali dan
kepadanya sesekali. Beliau bersabda,
“Anakku ini adalah sayyid. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala akan mendamaikan
dengannya dua kelompok dari kalangan muslimin.” (HR. al-Bukhari dengan Fathul Bari,
7/463, hadits no. 3746)
Demikianlah keutamaan al-Hasan radhiallahu ‘anhu yang paling besar yang dipuji
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berhasil mempersatukan kaum
muslmin, hingga tahun tersebut dikenal dengan tahun jamaah. Kaum muslimin selamat
dari pertumpahan darah di antara mereka.
Kekhalifahan Mu’awiyah akhirnya berlangsung dengan persatuan kaum muslimin,
dengan keutamaan dari Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian pengorbanan al-Hasan bin
Ali radhiallahu ‘anhuma yang besar.
Yang mengherankan, kaum Syi’ah Rafidhah—yang mengaku pencinta Ahlul Bait—
justru menyesali kejadian ini. Bahkan, mereka menjuluki al-Hasan radhiallahu
‘anhu sebagai ‘pencoreng wajah-wajah kaum mukminin’. Sebagian di antara mereka
menganggap beliau fasik, bahkan sebagian yang lain mengkafirkannya.
Asy-Syaikh Muhibbuddin al-Khathib mengomentari ucapan Syi’ah Rafidhah,
“Padahal termasuk dasar keimanan Rafidhah—bahkan dasar keimanan yang paling
utama—adalah keyakinan mereka bahwa al-Hasan, ayah, saudara, dan sembilan
keturunannya adalah maksum.
Di antara konsekuensi kemaksuman mereka, tentu mereka tidak akan berbuat
kesalahan. Demikian pula, segala sesuatu yang bersumber dari mereka berarti benar
dan tidak akan terbatalkan.
Hal terbesar yang bersumber dari al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhu adalah
pembai’atan terhadap Amirul Mukminin Mu’awiyah. Maka dari itu, mestinya mereka
masuk dalam baiat ini dan beriman bahwa ini adalah hak. Sebab, ini adalah amalan
seorang yang makshm menurut mereka.“ (Lihat catatan kaki kitab al-Awashim minal
Qawashim, hlm. 197—198)
Demikianlah keculasan kaum Syi’ah Rafidhah. Mereka menyelisihi imam mereka—
yang mereka anggap maksum—menyalahkan, menganggapnya fasik, bahkan kafir.
Karena itu, hanya ada dua kemungkinan bagi mereka:
1. Mereka berdusta atas ucapan mereka sendiri tentang kemaksuman dua belas imam
mereka. Jika demikian, hancurlah agama mereka (agama Syi’ah Itsna ‘Asyariyah).
2. Mereka meyakini kemakshuman al-Hasan Jika demikian, mereka adalah para
pengkhianat yang menyelisihi imam—yang mereka anggap maksum— dengan
permusuhan, kesombongan, dan kekufuran.
Berbeda halnya dengan Ahlus Sunnah. Mereka beriman dengan kenabian
kakek al-Hasan radhiallahu ‘anhu. Mereka berpendapat bahwa berita perdamaian dan
bai’at al-Hasan radhiallahu ‘anhu kepada Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu adalah salah satu
bukti kenabian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amal terbesar al-
Hasan radhiallahu ‘anhu.
Mereka bergembira dengannya. Mereka mengganggap al-Hasan yang
memutihkan wajah kaum muslimin (yakni tidak mencoreng wajah-wajah kaum muslimin
seperti anggapan Syi’ah -pen.). (lihat sumber yang sama)
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Zur bin Hubaisy. Dia
berkata: Shofwan bin ‘Asal al-Muradi mengabarkan kepada kami. Dia berkata:
Aku pernah datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku
berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menuntut ilmu.” Beliau pun
menjawab, “Selamat datang, wahai penuntut ilmu. Sesungguhnya penuntut
ilmu diliputi oleh para malaikat dan mereka menaunginya dengan sayap-sayap
mereka. Kemudian sebagian mereka menaiki sebagian yang lain sampai ke
langit dunia, karena kecintaan mereka terhadap apa yang mereka
lakukan.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 37)
Ibnu Wahb meriwayatkan dari Imam Malik. Imam Malik berkata: Aku
mendengar Zaid bin Aslam -gurunya- menafsirkan firman Allah ta’ala (yang
artinya), “Kami akan mengangkat kedudukan orang-orang yang Kami
kehendaki.” (QS. Yusuf: 76). Beliau berkata, “Yaitu dengan ilmu.” (lihat Syarh
Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal [1/133], Umdat al-Qari [2/5], dan Fath al-
Bari [1/172])
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu
Abbasradhiyallahu’anhuma, beliau mengatakan, “Seorang pengajar kebaikan
dan orang yang mempelajarinya dimintakan ampunan oleh segala sesuatu,
sampai ikan di dalam lautan sekalipun.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 43-44)
Hancurnya alam dunia ini -dengan terjadinya kiamat- akan didahului dengan
hancurnya pilar-pilar penegak kemaslahatan hidup manusia yang menopang
urusan dunia dan akherat mereka. Di antara pilar tersebut adalah; agama, akal,
dan garis keturunan/nasab. Rusaknya agama akibat hilangnya ilmu. Rusaknya
akal akibat khamr. Adapun rusaknya nasab adalah karena praktek perzinaan
yang merajalela di mana-mana (lihat Fath al-Bari[1/218])