Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran yang sangat pesat, perlu adanya
perubahan dari metode pembelajaran yang berbasis opini menuju pembelajaran berbasis
bukti-bukti penelitian. Hal ini bertujuan agar penerapan suatu metode pembelajaran dapat
dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu, diterapkan metode pembelajaran yang didasarkan
pada bukti-bukti ilmiah. Metode pembelajaran ini digunakan untuk pengambilan keputusan
dari suatu penelitian, baik untuk pencegahan, diagnosis, maupun rehabilitatif yang
kebenarannya dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian, suatu pendekatan yang
didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini untuk kepentingan suatu pelayanan disebut
Evidence Based.1
Sejarah evidence dimulai pada tahun 1970 ketika Archie Cochrane menegaskan perlunya
mengevaluasi pelayanan kesehatan berdasarkan bukti-bukti ilmiah (scientific evidence).
Sejak itu berbagai istilah digunakan terkait dengan base salah satunya evidence based
practice (EBP). Evidence Based Practice (EBP) merupakan upaya untuk mengambil
keputusan klinis berdasarkan sumber yang paling relevan dan valid. Evidence Based Practice
(EBP) juga merupakan jalan untuk mentransformasikan hasil penelitian ke dalam praktek
sehingga tenaga kesehatan dapat meningkatkan “quality of care” terhadap kliennya. Dalam
perkembangan pengambilan keputusan klinis evidence based practice memiliki tingkatan
yang dinamakan hierarki evidence based.1
Menurut Saaty, hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah
permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah
tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level
terakhir dari alternatif. Tingkatan hierarki evidence based digunakan untuk mengukur
kekuatan suatu evidence dari rentang bukti terbaik sampai dengan bukti yang  paling rendah.
Tingkatan evidence ini digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam Evidence Based
Practice.11
Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu model pendukung keputusan yang
dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan ini akan menguraikan
masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki. Analytical

1
Hierarchy Process (AHP) sering digunakan sebagai metode pemecahan masalah dibanding
dengan metode yang lain karena struktur konsekuensinya sampai pada kriteria yang paling
dalam dan mampu untuk diperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan
keputusan.11
Penggunaan evidence base dalam praktek akan menjadi dasar scienctific dalam
pengambilan keputusan klinis sehingga intervensi yang diberikan dapat dipertanggung
jawabkan. Sayangnya pendekatan dalam penerapan konsep hierarki evidence base di
indonesia saat ini belum berkembang dengan baik termasuk penggunaan hasil riset ke dalam
praktek sehingga hanya dijadikan sebagai kebutuhan dalam penyelesaian studi semata.1

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut maka dapat dirumuskan suatu masalah, yaitu:
1. Apakah Pengertian Hierarki Evidence Based?
2. Apa itu Analytical Hierarchy Process (AHP)?
3. Apa saja yang termasuk dalam Hierarki atau level of Evidence based?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui Pengertian Hierarki Evidence Based ?
2. Untuk mengetahui apa itu Analytical Hierarchy Process (AHP) ?
3. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk dalam Hierarki atau level of Evidence
based ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hierarki Evidence Based


Hierarki bukti (atau level bukti) adalah heuristik yang digunakan untuk
memberi peringkat kekuatan relatif dari hasil yang diperoleh dari penelitian ilmiah.
Sedangkan Evidence Based Practice atau Praktek berbasis bukti (EBP) adalah setiap
praktik yang bergantung pada bukti ilmiah untuk panduan dan pengambilan
keputusan.11
Dapat disimpulkan bahwa Hirarki Evidence Based adalah suatu tingkatan atau
level yang digunakan untuk memberi peringkat dari hasil penelitian ilmiah yang
diperoleh kemudian digunakan dalam praktik berdasarkan bukti ilmiah.11

B. Analytical Hierarchy Process (AHP)


Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu model pendukung
keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan
ini akan menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi
suatu hirarki. Menurut Saaty, hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari
sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level
pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya
ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu masalah yang
kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur
menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur
dan sistematis.11
Analytical Hierarchy Process (AHP) sering digunakan sebagai metode
pemecahan masalah dibanding dengan metode yang lain karena alasan-alasan sebagai
berikut:
1. Struktur yang berhierarki, sebagai konsekuensinya dari criteria yang dipilih sampai
pada subkriteria yang paling dalam
2. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai
kriteriadan alternatif yang dipilih oleh pengambil keputusan. Memperhitungkan
daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan.11

3
C. Level of Evidence
Adapun level of evidence tersebut adalah sebagai berikut :

Sumber : https://www.physio-pedia.com/Hierarchy_of_evidence

1. Level 1 : Evidence berasal dari systematic review atau meta-analysis dari RCT
yang sesuai.
Review sistematik adalah sebuah sintesis dari studi-studi penelitian primer
yang menyajikan suatu topik tertentu dengan formulasi pertanyaan klinis yang
spesifik dan jelas, metode pencarian yang eksplisit dan reprodusibel, melibatkan
proses telaah kritis dalam pemilihan studi, serta mengkomunikasikan hasil dan
implikasinya.3,6,7 Sedangkan, meta analisis adalah suatu metode statistik yang
spesifik untuk menggabungkan hasil dari beberapa studi menjadi suatu estimasi
tunggal.7 Alasan melakukan meta analisis dalam review sistematik adalah dengan
mengkombinasikan sampel-sampel dari masing-masing studi, ukuran sampel
keseluruhan menjadi lebih besar sehingga meningkatkan kekuatan statistik
(statistical power) dari analisis begitu pula presisi dari estimasi.3
Meta analisis dilakukan apabila studi-studi yang dilibatkan dalam review
sistematik cukup homogen (melaporkan hasil yang sama antar studi secara
konsisten), sehingga layak untuk dilakukan analisis gabungan (pooled analysis).
Oleh karena itu, meta analisis merupakan komponen optional dari review
sistematik. Kelebihan artikel review sistematik dan meta analisis adalah
memberikan suatu summary of evidence bagi para klinisi dan pembuat keputusan

4
yang tidak memiliki banyak waktu untuk mencari berbagai bukti primer yang
jumlahnya sangat banyak dan menelaahnya satu-persatu.7
Review sistematik dan meta analisis juga dapat mengatasi bias yang
berhubungan dengan suatu desain trial dengan ukuran sampel yang kecil, dengan
kekuatan statistik yang mungkin tidak cukup kuat dalam mengatasi variasi karena
peluang (chance variation) apabila efek yang diinvestigasi tidak terlalu besar.
Keunggulan lainnya adalah review sistematik dan meta analisis dapat diperbaharui
apabila terdapat penelitian primer terbaru yang dipublikasikan, serta membantu
dalam mengidentifikasi area yang memerlukan penelitian lebih lanjut.5
a) Telaah Kritis dan Praktik berbasis bukti
Telaah kritis (critical appraisal) adalah suatu proses yang secara teliti
dan sistematis mengevaluasi penelitian untuk memutuskan tingkat
kepercayaan, nilai, serta relevansinya dalam suatu konteks tertentu. 4 Dengan
kata lain, telaah kritis merupakan suatu proses mengevaluasi dan
menginterpretasikan suatu evidence secara sistematis dengan
mempertimbangkan validitas, hasil, dan relevansinya. Sedangkan, praktik
berbasis bukti merupakan integrasi dari bukti penelitian terbaik (best research
evidence) dengan keahlian klinis (clinical expertise) dan nilai-nilai serta
preferensi pasien (patient values and preferences).3
b) Pentingnya Menguasai Kemampuan Melakukan Telaah Kritis
Menguasai kemampuan untuk melakukan telaah kritis memberikan
banyak keuntungan, baik bagi pasien maupun klinisi. Kemampuan telaah
kritis penting untuk dikuasai karena banyak penelitian yang dipublikasikan
dalam jurnal-jurnal ilmiah memiliki metode pengerjaan dan/atau analisa yang
kurang baik sehingga tidak valid dan tidak layak digunakan untuk membuat
keputusan klinis.4 Selain itu, untuk dapat mengikuti perkembangan yang
pesat dalam metode diagnostik maupun terapi dengan jaminan informasi
yang valid dan relevan kita harus menguasai kemampuan melakukan telaah
kritis.1,5,6 Dengan menguasai kemampuan melakukan telaah kritis, proses
pengambilan keputusan akan lebih optimal dan menguntungkan bagi pasien,
serta dapat melindungi klinisi dari potensi kesalahan tindakan.
c) Langkah-Langkah dalam Melakukan Telaah Kritis terhadap Artikel Review
Sistematik dan Meta Analisis yaitu :validitas, hasil, dan relevansinya
terhadap situasi yang sedang kita hadapi.8
5
2. Level 2: Evidence berasal dari suatu penelitian RCT dengan randomisasi

Desain penelitian yang secara acak menempatkan peserta ke dalam kelompok


eksperimen atau kelompok kontrol. Saat penelitian dilakukan, satu-satunya
perbedaan yang diharapkan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen
dalam uji coba terkontrol secara acak (RCT) adalah variabel hasil yang sedang
dipelajari.2
Pada RCT prosedur randomisasi berguna untuk mengontrol kerancuan dengan
cara mendistribusikan faktor perancu secara seimbang ke dalam kelompok
eksperimental dan kelompok kontrol. Tetapi jika ukuran sampel yang akan
dialokasikan ke dalam kelompok studi tidak cukup besar, maka randomisasi akan
gagal mendistribusikan faktor perancu dengan ekuivalen (seimbang) ke dalam
kelompok-kelompok studi. Beberapa penulis mengemukakan, keunggulan RCT
dibandingkan dengan studi observasional (yaitu, studi kohor dan studi kasus kontrol)
baru ditunjukkan pada tataran metodologis.

3. Level 3: Evidence berasal dari suatu penelitian RCT tanpa randomisasi.


Studi percobaan tanpa penggunaan tekhnik pengambilan sampel secara acak
(random).
4. Level 4: Evidence berasal dari suatu penelitian dengan desain case control dan
kohort.
a) Case Control/ kasus control
Kasus Kontrol/case control adalah studi analitik yang menganalisis
hubungan kausal dengan menggunakan logika terbalik, yaitu menentukan
6
penyakit (outcome) terlebih dahulu kemudian mengidentifikasi penyebab (faktor
risiko). Riwayat paparan dalam penelitian ini dapat diketahui dari register medis
atau berdasarkan wawancara dari responden penelitian. Kelemahan dari studi ini
adalah ketika responden penelitian sulit mengingat kembali riwayat paparan yang
dialami terutama jika paparan sudah dilewati selama bertahun-tahun, sehingga
dalam penelitian kasus control sangat rawan recall bias, disamping bias seleksi.
Studi kontrol kasus bersifat observasional karena tidak ada intervensi
yang dilakukan dan tidak ada upaya yang dilakukan untuk mengubah arah
penyakit. Tujuannya adalah untuk menentukan secara retrospektif paparan faktor
risiko yang menarik dari masing-masing dari dua kelompok individu: kasus dan
kontrol. Studi-studi ini dirancang untuk memperkirakan peluang. Studi kontrol
kasus juga dikenal sebagai "studi retrospektif" dan "studi kasus-rujukan.1
Kelebihan dari studi ini yaitu waktu penelitian relativ singkat, murah dan
cocok untuk meneliti penyakit langka dan memiliki periode laten yang panjang.
Pemilihan subyek berdasarkan status penyakit, kemudian dilakukan pengamatan
apakah subyek mempunyai riwayat terpapar faktor penelitian atau tidak.
Tujuan desain untuk mempelajari :
a. Hubungan antara paparan dan penyakit
b. Mempelajari seberapa jauh faktor risiko mempengaruhi terjadinya efek,
c. Mempelajari kemungkinan ganda penyebab suatu penyakit
d. Dapat dipelajari sejumlah paparan yang merupakan faktor resiko
potensial terhadap kelompok kasus dan kelompok kontrol.
e. Rancangan ini juga berguna jika akan dilakukan studi terhadap penyakit
yang jarang dengan ukuran sampel yang lebih kecil dibanding studi
cohort.

7
Langkah langkah :

1) Menetapkan pertanyaan penelitian dan hipotesis yang sesuai


2) Menetapkan variabel penelitian
3) Menetapkan subjek penelitian
4) Melakukan pengukuran variable
5) Analisis hasil

b) Kohort

Rancangan studi yang mempelajari hubungan antara paparan dan penyakit


(outcome) dengan cara membandingkan kelompok terpapar (faktor penelitian)
dankelompok tak terpapar berdasarkan status penyakit (outcome) dan
mengikutihingga waktu tertentu. Pemilihan subyek berdasarkan status
paparannya, kemudian dilakukan pengamatan atau pencatatan apakah subyek
dalam perkembangannya mengalami penyakit yang diteliti atau tidak.
Sebuah studi kohort melacak dua atau lebih kelompok yang maju dari
paparan ke hasil. Jenis studi ini dapat dilakukan dengan terus maju dalam waktu
dari saat ini (studi kohort prospektif) atau, sebagai alternatif, dengan kembali
pada waktunya untuk menyusun kohort dan mengikuti mereka hingga saat ini
(studi kohort retrospektif).9

Tujuan desain ini :


1) Menentukan insidens danperjalanan penyakit atau efek yangditeliti
2) Untuk membedakan pasien terpapar dengan pasien takterpapar, atau pasien
terpapar Adan terpapar B.

8
Langkah langkah :

1) Mengidentifikasi faktor efek(variabel dependen) dan resiko(variabel


independen) sertavariabel-variabel pengendali (variabel kontrol).
a. Variabel dependen : frekuensikasus hipertensi
b. Variabel independen : Merokok
c. Variabel pengendali : Umur,pekerjaan dan pengetahuan
2) Menetapkan subjek penelitian,yaitu populasi dan sampelpenelitian
3) Mengidentifikasi subjek yang(resiko positif) dari populasitersebut, dan
mengidentifikasisubjek yang tidak (resiko negatif)
4) Mengobservasi perkembanganefek pada kelompok orang-orangyang (resiko
positif) dan kelompokorang (kontrol) sampai pada waktutertentu.
5) Mengolah dan menganalisis data secara deskriptif dan analitik.

5. Level 5: Evidence berasal dari systematic reviews dari penelitian descriptif dan
kualitatif

Systematic review mempunyai kriteria dimana penelaahan terhadap artikel


dilaksanakan secara terstruktur dan terencana. Systematic review meningkatkan
kedalaman dalam mereview. Dan membuat rigkasan dalam evidence riset.10

6. Level 6: Evidence berasal dari suatu penelitian descriptive dan kualitatif

Penelitian deskriptif tidak memberikan perlakuan, manipulasi atau


pengubahan pada variabel - variabel yang diteliti, melainkan menggambarkan suatu
kondisi yang apa adanya. Satu-satunya perlakuan yang diberikan hanyalah penelitian
itu sendiri, yang dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Menurut Sugiyono, metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai


metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk
meneliti pada populasi atau sampel tertentu. Teknik pengambilan sampel pada
umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen
penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji
hipotesis yang telah ditetapkan. Deskriptif kualitatif yaitu rangkaian kegiatan untuk

9
memperoleh data yang bersifat apa adanya tanpa ada dalam kondisi tertentu yang
hasilnya lebih menekankan makna.

7. Level 7: Evidence berasal dari suatu opini dan atau dari laporan para ahli
Sebuah artikel yang didapat dari surat kabar atau publikasi lain yang
menyajikan pendapat penerbit, atau editor. Buku Pegangan, ensiklopedi, dan buku
teks sering memberikan dasar atau pengantar yang baik dan sering menyertakan
informasi umum tentang suatu kondisi

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Evidence Based Practice (EBP) merupakan praktik kedokteran klinis yang
memadukan bukti terbaik yang ada, keterampilan klinis, dan nilai-nilai pasien. EBP bertujuan
membantu klinisi agar pelayanan medis memberikan hasil klinis yang optimal kepada pasien.
Penggunaan bukti ilmiah dari riset terbaik memungkinkan pengambilan keputusan klinis yang
lebih efektif, bisa diandalkan, aman, dan cost-effective. 1
Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu model pendukung
keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan
ini akan menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi
suatu hirarki.11
Evidence Based Practice (EBP) terdiri atas lima langkah. Diantaranya peneliti
harus mencari bukti dari sumber database hasil riset yang otoritatif. Untuk mencari bukti
terbaik harus memiliki hierarki evidence atau tingkatan evidence yang digunakan untuk
mengukur kekuatan suatu evidence dari rentang bukti terbaik sampai dengan bukti
yang paling rendah. Tingkatan evidence ini digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam EBP.1
Bukti terbaik didapat dari penelitiam yang ber asal dari :
1. Level 1 : Evidence berasal dari systematic review atau meta-analysis dari RCT
yang sesuai.
2. Level 2 : Evidence berasal dari suatu penelitian RCT dengan randomisasi.
3. Level 3 : Evidence berasal dari suatu penelitian RCT tanpa randomisasi.
4. Level 4 : Evidence berasal dari suatu penelitian dengan desain case control
dan kohort.
5. Level 5 : Evidence berasal dari systematic reviews dari penelitian descriptive
dan qualitative.
6. Level 6 : Evidence berasal dari suatu penelitian descriptive atau qualitative.
7. Level 7 : Evidence berasal dari suatu opini dan atau laporan dari para ahli.

B. Saran
Dalam pemberian pelayanan kesehatan khususnya asuhan kebidanan yang
baik, serta mengambil keputusan yang bersifat klinis hendaknya mengacu pada SOP

11
yang dibuat berdasarkan teori-teori dan penelitian terkini. Evidence Based Practice
dapat menjadi panduan dalam menentukan atau membuat SOP yang memiliki
landasan berdasarkan teori, penelitian, serta pengalaman klinis baik oleh petugas
kesehatan maupun pasien.

12
DAFTAR PUSTAKA

1.  Himmelfarb Health Sciences Library (The George Washington University). Study Design
101: Case Control Study
2011; http://www.gwumc.edu/library/tutorials/studydesign101/casecontrols.html.

2. Himmelfarb Health Sciences Library (The George Washington University). Study Design
101: Randomized Controlled Trial.
2011; http://www.gwumc.edu/library/tutorials/studydesign101/rcts.html.

3. Akobeng AK. Principles of evidence based medicine. Arch Dis Child 2005;90:837-40.

4. Burls A. What is critical appraisal? What is…? series of evidence-based medicine 2nd ed.
Hayward Group Ltd, Hayward Medical Communications Division; 2009 Feb [cited
2012 August 12]. Supported by Sanofi Aventis. Available from: URL: HYPERLINK
http://www.medicine.oc.ac.uk/bandolier/painres/download/whatis/what_is_critical_ap
praisal.pdf

5. Great Ormond Street Hospital NHS Trust for Children. Critical appraisal of journal
article. United Kingdom: NHS; 2011 [cited 2012 August 12]. Available from: URL:
HYPERLINK http://www.ucl.ac.uk/ich/services/library/training_material/critical-
appraisal

6. Ried K. Interpreting and understanding meta-analysis graphs: A practical guide. Aust


Fam Physician 2006;35(8):635-8.

7. Green S. Systematic reviews and meta-analysis. Singapore Med J 2005;46(6):270-4.

8. Abalos E, Carroli G, Mackey ME, Bergel E. Critical appraisal of systematic reviews: The
WHO Reproductive Health Library, No 4, Canava, The World Health Organization,
2001 (WHO/RHR/01.6).

9. Grimes DA, Schulz KF. Cohort studies: marching towards outcomes. The


Lancet. 2002;359(9303):341-345

10. Davies, T.H., & Crombie, K. (2009). What is a systematic review. Hayward: Hayward
Group Ltd.

11. Taylor, B.W. 2013. Introduction to Management Science.11th edition. Virginia


Polytechnic Institute and State University. Global Edition. Pearson.

13

Anda mungkin juga menyukai