bvxh131
bvxh131
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Kelompok studi neuro-developmental Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK Unair RSU Dr. Soetomo Surabaya
Continuing Education XXXVI
TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah mengikuti kuliah ini, para peserta PKB IKA XXXVI FK Unair/RSU Dr.
Soetomo Surabaya diharapkan dapat:
• Tujuan Istruksional Umum (TIU)
1. Memahami definisi dan epidemiologi cerebral palsy
2. Memahami patogenesis cerebral palsy
3. Memahami cara menegakkan diagnosis dan diagnosis banding cerebral palsy
4. Memahami tatalaksana cerebral palsy
5. Memahami pencegahan dan prognosis cerebral palsy
• Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
1. Menjelaskan pengertian dan jenis cerebral palsy
2. Menjelaskan distribusi usia dan jenis kelamin penderita cerebral palsy
3. Menjelaskan patogenesis cerebral palsy
4. Menjelaskan keluhan dan gejala penting cerebral palsy
5. Menjelaskan kelainan pemeriksaan laboratorium
6. Menyebutkan factor resiko terjadinya cerebral palsy
7. Melakukan anamnesis cerebral palsy dengan baik dan benar
8. Menyebutkan kelainan-kelainan jasmani penderitra cerebral palsy
9. Menyeburkan interpretasi hasil pemeriksaan penunjang
10. Membedakan cerebral palsy dengan penyakit lain
11. Menyebutkan tatalaksana cerebral palsy
12. Menyebutkan penyulit cerebral palsy dan penanganannya
13. Menentukan waktu yang tepat untuk merujuk penderita cerebral palsy
14. Menyebutkan cara pencegahan cacat lebih lanjut
15. Menyebutkan tingkat penjalanan penyakit cerebral palsy
16. Menyebutkan usaha-usaha pencegahan terjadinya cerebral palsy
ABSTRACT
Cerebral palsy is a non-specific, descriptive term pertaining to disordered motor function,
non-progressively that is evident in early infancy and is characterized by changes in
muscle tone-usually spasticity, involuntary movement, ataxia, or a combination. In many
children, underlying causes of cerebral palsy remain unidentified, but the several causes of
cerebral palsy that have been identified through research are preventable or treatable.
Cerebral palsy cannot be cured, but treatment can often improve a child’s capabilities.
Treatment programs must be individualized. Any treatment approach should be based on
the functional abnormality and will be modified over time. Life expectancy of patients with
cerebral palsy is related to the type of involvement and profundity of motor disability
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
1. PENDAHULUAN
Pada tahun 1860, seorang dokter bedah kebangsaan Inggris bernama William Little
pertama kali mendeskripsikan satu penyakit yang pada saat itu membingungkan yang
menyerang anak-anak pada usia tahun pertama, yang menyebabkan kekakuan otot tungkai
dan lengan. Anak-anak tersebut mengalami kesulitan memegang obyek, merangkak dan
berjalan. Penderita tersebut tidak bertambah membaik dengan bertambahnya usia tetapi
juga tidak bertambah memburuk. Kondisi tersebut disebut little’s disease selama beberapa
tahun, yang saat ini dikenal sebagai spastic diplegia. Penyakit ini merupakan salah satu dari
penyakit yang mengenai pengendalian fungsi pergerakan dan digolongkan dalam
terminologi cerebral palsy atau umunya disingkat CP.
Sebagian besar penderita tersebut lahir premature atau mengalami komplikasi saat
persalinan dan Little menyatakan kondisi tersebut merupakan hasil dari kekurangan
oksigen selama kelahiran. Kekurangan oksigen tersebut merusak jaringan otak yang sensitif
yang mengendalikan fungsi pergerakan. Tetapi pada tahun 1897, psikiatri terkenal Sigmund
Freud tidak sependapat. Dalam penelitiannya, banyak dijumpai pada anak-anak CP
mempunyai masalah lain misalnya retardasi mental, gangguan visual dan kejang, Freud
menyatakan bahwa penyakit tersebut mungkin sudah terjadi pada awal kehidupan, selama
perkembangan otak janin. Kesulitan persalinan hanya merupakan satu keadaan yang
menimbulkan efek yang lebih buruk dimana sangat mempengaruhi perkembangan fetus.
Disamping pengamatan oleh Freud, keyakinan yang menyatakan bahwa komplikasi
persalinan menyebabkan banyak kasus CP tersebar luas diantara dokter, keluarga dan
tenaga riset medis. Ditahun 1980, dianalisis data penelitian pemerintah pada >35.000
persalinan dan hasilnya sangat mengejutkan dengan ditemukan kasus komplikasi hanya
<10%. Sebagian besar kasus CP sering dijumpai kasus tanpa faktor resiko. Penemuan dari
NINDS tersebut dapat mengubah teori medis mengenai CP dan sangat memotivasi peneliti
masa kini untuk mencari lebih lanjut penyebab lain dari CP.
Pada saat yang sama, penelitian biomedis juga telah memulai penelitian untuk lebih
memahami perubahan pemahaman secara bermakna dalam diagnosis dan penanganan
penderita CP. Faktor resiko yang sebelumnya tidak diketahui mulai dapat diidentifikasi,
khususnya paparan intrauterine terhadap infeksi dan penyakit koagulasi, dll. Identifikasi
dini CP pada bayi akan memberikan kesempatan pada penderita untuk mendapat
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
herediter. Hingga saat ini, CP tidak dapat dipulihkan, walau penelitian ilmiah berlanjut
untuk menemukan terapi yang lebih baik dan metode pencegahannya.
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
klinis ini membentuk karakteristik berupa ritme berjalan yang dikenal dengan gait
gunting (scissors gait) (Bryers, 1941).
Anak dengan spastik hemiplegia dapat disertai tremor hemiparesis, dimana
seseorang tidak dapat mengendalikan gerakan pada tungkai pada satu sisi tubuh.
Jika tremor memberat, akan terjadi gangguan gerakan berat.
CP spastik dibagi berdasarkan jumlah ekstremitas yang terkena, yaitu
a. Monoplegi
Bila hanya mengenai 1 ekstremitas saja, biasanya lengan
b. Diplegia
Keempat ekstremitas terkena, tetapi kedua kaki lebih berat daripada kedua
lengan
c. Triplegia
Bila mengenai 3 ekstremitas, yang paling banyak adalah mengenai kedua
lengan dan 1 kaki
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
d. Quadriplegia
Keempat ekstremitas terkena dengan derajad yang sama
e. Hemiplegia
Mengenai salah satu sisi dari tubuh dan lengan terkena lebih berat
2. CP Atetoid/diskinetik
Bentuk CP ini mempunyai karakteristik gerakan menulis yang tidak terkontrol dan
perlahan. Gerakan abnormal ini mengenai tangan, kaki, lengan, atau tungkai dan
pada sebagian besar kasus, otot muka dan lidah, menyebabkan anak tampak
menyeringai dan selalu mengeluarkan air liur. Gerakan sering meningkat selama
periode peningkatan stres dan hilang pada saat tidur. Penderita juga mengalami
masalah koordinasi gerakan otot bicara (disartria). CP atetoid terjadi pada 10-20%
penderita CP
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
3. CP Ataksid
Jarang dijumpai, mengenai keseimbangan dan persepsi dalam. Penderita yang
terkena sering menunjukkan koordinasi yang buruk; berjalan tidak stabil dengan
gaya berjalan kaki terbuka lebar, meletakkan kedua kaki dengan posisi yang saling
berjauhan; kesulitan dalam melakukan gerakan cepat dan tepat, misalnya menulis
atau mengancingkan baju. Mereka juga sering mengalami tremor, dimulai dengan
gerakan volunter misalnya mengambil buku, menyebabkan gerakan seperti
menggigil pada bagian tubuh yang baru digunakan dan tampak memburuk sama
dengan saat penderita akan menuju obyek yang dikehendaki. Bentuk ataksid ini
mengenai 5-10% penderita CP (Clement et al, 1984).
4. CP campuran
Sering ditemukan pada seorang penderita mempunyai lebih dari satu bentuk CP
yang dijabarkan diatas. Bentuk campuran yang sering dijumpai adalah spastik dan
gerakan atetoid tetapi kombinasi lain juga mungkin dijumpai.
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
pendek dan tidak tampak tanda maturasi seksual. Gagal tumbuh dapat disebabkan
beberapa sebab, termasuk nutrisi yang buruk dan kerusakan otak yang berfungsi
untuk mengontrol pertumbuhan dan perkembangan. Sebagai tambahan, otot tungkai
yang mengalami spastisitas mempunyai kecenderungan lebih kecil dibanding
normal. Hal tersebut tampak nyata pada sebagian besar penderita dengan spastik
hemiplegia, karena tungkai pada sisi yang sakit tidak dapat tumbuh secepat sisi
yang normal. Kondisi tersebut juga mengenai tangan dan kaki karena gangguan
penggunaan otot tungkai (disuse atrophy).
4. Gangguan Penglihatan dan Pendengaran.
Banyak anak CP menderita strabismus, dimana mata tidak tampak segaris karena
ada perbedaan pada otot mata kanan dan kiri. Pada perkembangannya, hal ini akan
menimbulkan gejala pengelihatan ganda. Jika tidak segera dikoreksi akan
menimbulkan gangguan pengelihatan berat pada satu mata dan sebenarnya dapat
diintervensi dengan kemampuan visus tertentu, misalnya membatasi jarak pandang.
Pada beberapa kasus, terapi bedah direkomendasikan untuk koreksi strabismus.
Anak dengan hemiparesis dapat mengalami hemianopia, dimana terjadi kecacatan
visus atau kebutaan yang mengenai lapangan pandang normal pada satu sisi.
Sebagai contoh, jika hemianopia mengenai mata kanan, dengan melihat lurus ke
depan akan mempunyai visus terbaik kecuali untuk melihat kanan jarak jauh. Pada
hemianopia homonymous , kelainan akan mengenai sisi yang sama dari lapang
pandang dari kedua mata. Gangguan pendengaran juga sering dijumpai diantara
penderita CP dibanding pada populasi umum.
5. Sensasi dan Persepsi abnormal.
Sebagian penderita CP mengalami gangguan kemampuan untuk merasakan sensasi
misalnya sentuhan dan nyeri. Mereka juga mengalami stereognosia, atau mengalami
kesulitan merasakan dan mengidentifikasi obyek melalui sensasi raba.
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
2. PATOFISIOLOGI
2.1 PENYEBAB CEREBRAL PALSY
CP bukan merupakan satu penyakit dengan satu penyebab. CP merupakan grup
penyakit dengan masalah mengatur gerakan, tetapi dapat mempunyai penyebab yang
berbeda. Untuk menentukan penyebab CP, harus digali mengenai hal : bentuk CP, riwayat
kesehatan ibu dan anak, dan onset penyakit.
Di USA, sekitar 10-20% CP disebabkan karena penyakit setelah lahir (prosentase
tersebut akan lebih tinggi pada negara-negara yang belum berkembang). CP dapatan juga
dapat merupakan hasil dari kerusakan otak pada bulan-bulan pertama atau tahun-tahun
pertama kehidupan yang merupakan sisa dari infeksi otak, misalnya meningitis bakteri atau
encephalitis virus, atau merupakan hasil dari trauma kepala yang sering akibat kecelakaan
lalu lintas, jatuh atau penganiayaan anak.
CP kongenital, pada satu sisi lainnya, tampak pada saat dilahirkan. Pada banyak kasus,
penyebab CP kongenital sering tidak diketahui. Diperkirakan terjadi kejadian spesifik pada
masa kehamilan atau sekitar kelahiran dimana terjadi kerusakan pusat motorik pada otak
yang sedang berkembang. Beberapa penyebab CP kongenital adalah :
1. Infeksi selama kehamilan.
Rubella dapat menginfeksi ibu hamil dan fetus dalam uterus, akan menyebabkan
kerusakan sistim saraf yang sedang berkembang. Infeksi lain yang dapat
menyebabkan cedera otak fetus meliputi cytomegalovirus dan toxoplasmosis. Pada
saat ini sering dijumpai infeksi maternal lain yang dihubungkan dengan CP
(Leviton & Gilles, 1984)
2. Ikterus neonatorum.
Pigmen bilirubin, yang merupakan komponen yang secara normal dijumpai dalam
jumlah kecil dalam darah, merupakan hasil produksi dari pemecahan eritrosit. Jika
banyak eritrosit mengalami kerusakan dalam waktu yang singkat, misalnya dalam
keadaan Rh/ABO inkompatibilitas, bilirubin indirek akan meningkat dan
menyebabkan ikterus. Ikterus berat dan tidak diterapi dapat merusak sel otak secara
permanen (Van Praagh, 1961).
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
3. Kekurangan oksigen berat (hipoksik iskemik) pada otak atau trauma kepala
selama proses persalinan.
Asphyxia sering dijumpai pada bayi-bayi dengan kesulitan persalinan. Asphyxia
menyebabkan rendahnya suplai oksigen pada otak bayi pada periode lama, anak
tersebut akan mengalami kerusakan otak yang dikenal hipoksik iskemik
encephalopathi. Angka mortalitas meningkat pada kondisi asphyxia berat, tetapi
beberapa bayi yang bertahan hidup dapat menjadi CP, dimana dapat bersama
dengan gangguan mental dan kejang (Nelson, et al 1994).
Kriteria yang digunakan untuk memastikan hipoksik intrapartum sebagai penyebab
CP (MacLennan A et al, 1999):
1. Metabolik asidosis pada janin dengan pemeriksaan darah arteri tali pusat
janin, atau neonatal dini pH=7 dan BE=12mmol/L
2. Neonatal encephalopathy dini berat sampai sedang pada bayi >34minggu
gestasi
3. Tipe CP spastik quadriplegia atau diskinetik
4. Tanda hipoksik pada bayi segera setelah lahir atau selama persalinan
5. Penurunan detak jantung janin cepat, segera dan cepat memburuk segera
setelah tanda hipoksik terjadi dimana sebelumnya diketahui dalam batas
normal
6. Apgar score 0-6 = 5 menit
7. Multi sistim tubuh terganggu segera setelah hipoksik
8. Imaging dini abnormalitas cerebral
Pada masa lampau, banyak penelitian yang menunjukkan meningkatnya kasus CP
karena asphyxia atau komplikasi selama persalinan, sedangkan penyebab lain
belum dapat diidentifikasi. Tetapi penelitian yang ekstensif oleh NINDS
menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil bayi dengan asphyxia berkembang
menjadi encephalopathi segera setelah lahir. Riset juga menunjukkan bahwa
sebagian besar bayi yang menderita asphyxia tidak berkembang menjadi CP atau
kelainan neurologis lainnya. Komplikasi persalinan termasuk asphyxia diperkirakan
sekitar 6% dari kasus CP kongenital.
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
4. Stroke.
Kelainan koagulasi pada ibu atau bayi dapat menyebabkan stroke pada fetus atau
bayi baru lahir. Perdarahan di otak terjadi pada beberapa kasus. Stroke yang terjadi
pada fetus atau bayi baru lahir, akan menyebabkan kerusakan jaringan otak dan
menyebabkan masalah neurologis. Karena insiden infark cerebri yang tidak dapat
dijelaskan sering tampak pada pemeriksaan neuroimaging pada anak dengan CP
hemiplegi, diagnostik test untuk penyakit koagulasi perlu dipertimbangkan (Level
B, class II-III evidence) (www.aan.com/professionals/practice/index.cfm)
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
berlaku untuk semua penderita CP. Klinisi diharapkan dapat bekerja sama dalam tim, untuk
mengidentifikasi kebutuhan khusus masing-masing anak dan kelainan-kelainan yang ada
dan kemudian menentukan terapi individual yang cocok untuk setiap penderita (Goldberg,
1991; Champbell, 1996).
Beberapa pendekatan tatalaksana yang direncanakan meliputi obat-obatan untuk
mengontrol kejang dan spasme otot, penyangga khusus untuk kompensasi keseimbangan
otot, pembedahan, peralatan mekanis untuk membantu kelainan yang timbul, konseling
emosional dan kebutuhan psikologis, dan fisik, okupasi, bicara dan terapi perilaku.
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
6. Pekerja sosial
Bertugas untuk membantu penderita dan keluarga yang hidup dalam komunitas
dan program edukasi
7. Psikolog
Psikolog dibutuhkan agar dapat membantu penderita dan keluarga menghadapi
tekanan khusus dan kebutuhan dari penderita CP. Pada banyak kasus, psikolog
dapat mengatur terapi dengan memodifikasi perilaku yang tidak membantu atau
destruktif
8. Guru
Seseorang yang dapat berperan penting jika terdapat gangguan mental atau
gangguan proses belajar
Penderita, keluarga dan pengasuh merupakan kunci dari keberhasilan terapi, mereka
seharusnya terlibat jauh pada semua tingkat rencana, pembuatan keputusan, dan
mengaplikasikan terapi. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan keluarga dan
determinasi personal adalah dua dari prediktor-prediktor yang sangat penting untuk
mencapai kemajuan jangka panjang (Adams RC et al, 1998).
Yang sering dijumpai, klinisi dan keluarga hanya terfokus terutama pada gejala
individual, terutama kemampuan berjalan, padahal yang terpenting adalah membantu
individu untuk bertumbuh menjadi dewasa dan memiliki kebebasan maksimun dalam
bersosialisasi.
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
menghindari kontraktur, dimana otot akan menjadi kaku yang pada akhirnya akan
menimbulkan posisi tubuh abnormal.
Kontraktur adalah satu komplikasi yang sering terjadi. Pada keadaan normal,
dengan panjang tulang yang masih tumbuh akan menarik otot tubuh dan tendon pada saat
berjalan dan berlari dan aktivitas sehari-hari. Hal ini memastikan bahwa otot akan
berkembang dalam kecepatan yang sama. Tetapi pada anak dengan CP, spastisitas akan
mencegah peregangan otot dan hal tersebut akam menyebabkan otot tidak dapat
berkembang cukup pesat untuk mengimbangi kecepatan tumbuh tulang. Kontraktur dapat
mengganggu keseimbangan dan memicu hilangnya kemampuan yang sebelumnya. Dengan
melakukan terapi fisik saja atau dengan kombinasi penopang khusus (alat orthotik), kita
dapat mencegah komplikasi dengan cara melakukan peregangan pada otot yang spastik.
Sebagai contoh, jika anak mengalami spastik pada otot hamstring, terapis dan keluarga
seharusnya mendorong anak untuk duduk dengan kaki diluruskan untuk meregangkan
ototnya.
Tujuan ketiga dari program terapi fisik adalah meningkatkan perkembangan
motorik anak. Cara kerja untuk mendukung tujuan tersebut dengan tehnik Bobath. Dasar
dari program tersebut adalah refleks primitif akan tertahan pada anak CP yang
menyebabkan hambatan anak untuk belajar mengontrol gerakan volunter. Terapis akan
berusaha untuk menetralkan refleks tersebut dengan memposisikan anak pada posisi yang
berlawanan. Jadi, sebagai contoh, jika anak dengan CP normalnya selalu melakukan fleksi
pada lengannya, terapis seharusnya melakukan gerakan ekstensi berulang kali pada lengan
tersebut (Bobath, 1967).
Pendekatan kedua untuk terapi fisik adalah membuat pola, berdasarkan prinsip
bahwa kemampuan motorik seharusnya diajarkan dalam ururtan yang sama supaya
berkembang secara normal. Pada pendekatan kontrovesial tersebut, terapis akan
membimbing anak sesuai dengan gerakan sepanjang alur perkembangan motorik normal.
Sebagai contoh, anak belajar gerakan dasar seperti menarik badannya pada posisi duduk
dan merangkak sebelum anak mampu berjalan, yang berhubungan dengan tanpa melihat
usianya.
Terapi fisik hanya merupakan satu elemen dari program perkembangan bayi selain
juga meliputi usaha untuk menyediakan satu lingkungan yang bervariasi dan dapat
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
Tergantung pada kemampuan fisik dan intelektual, orang dewasa mungkin membutuhkan
pengasuh yang peduli, akomodasi hidup, transportasi atau pekerjaan.
Dengan tanpa memandang usia dan bentuk terapi yang digunakan, terapi tidak
berhenti saat penderit keluar dari ruangan terapi. Pada kenyataannya, sebagian besar
pekerjaan sering dilakukan di rumah. Terapis berfungsi sebagai pelatih, menyiapkan orang
tua dan penderita dengan strategi dan melatihnya dimana dapat membantu meningkatkan
penampilan di rumah, sekolah dan dimasyarakat.
Alat Mekanik
Mulai dengan bentuk yang sederhana misalnya sepatu velcro atau bentuk yang
canggih seperti alat komunikasi komputer, mesin khusus dan alat yang diletakkan dirumah,
sekolah dan tempat kerja dapat membantu anak atau dewasa dengan CP untuk menutupi
keterbatasannya.
Komputer merupakan contoh yang canggih sebagai alat baru yang dapat membuat
perubahan yang bermakna dalam kehidupan penderita CP. Sebagai contoh, anak yang tidak
dapat berbicara atau menulis tetapi dapat membuat gerakan dengan kepala mungkin dapat
belajar untuk mengendalikan komputer dengan menggunakan pointer lampu khusus yang
diletakkan di ikat kepala. Dengan dilengkapi dengan komputer dan sintesiser suara, anak
akan berkomunikasi dengan orang lain. Pada kasus lain, tehnologi telah mendukung
penemuan versi baru dari alat lama, misalnya kursi roda tradisional dan bentuk yang lebih
baru yang dapat berjalan dengan menggunakan listrik.
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
Tiga macam obat yang sering digunakan untuk mengatasi spastisitas pada penderita
CP adalah:
1. Diazepam
Obat ini bekerja sebagai relaksan umum otak dan tubuh.
Pada anak usia <6 bulan tidak direkomendasikan, sedangkan pada anak usia >6
bulan diberikan dengan dosis 0,12 – 0,8 mg/KgBB/hari per oral dibagi dalam 6
– 8 jam, dan tidak melebihi 10 mg/dosis
2. Baclofen
Obat ini bekerja dengan menutup penerimaan signal dari medula spinalis yang
akan menyebabkan kontraksi otot.
Dosis obat yang dianjurkan pada penderita CP adalah sebagai berikut:
§ 2 – 7 tahun:
Dosis 10 – 40 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 – 4 dosis. Dosis dimulai
2,5 – 5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 5 – 15
mg/hari, maksimal 40 mg/hari
§ 8 – 11 tahun:
Dosis 10 – 60 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 -4 dosis. Dosis dimulai
2,5 – 5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 5 – 15
mg/hari, maksimal 60 mg/hari
§ > 12 tahun:
Dosis 20 – 80 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 -4 dosis. Dosis dimulai 5
mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 15 mg/hari,
maksimal 80 mg/hari
3. Dantrolene
Obat ini bekerja dengan mengintervensi proses kontraksi otot sehingga
kontraksi otot tidak bekerja.
Dosis yang dianjurkan dimulai dari 25 mg/hari, maksimal 40 mg/hari
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
panjang pada sistem saraf yang sedang berkembang belum jelas. Satu solusi untuk
menghindari efek samping adalah dengan mengeksplorasi cara baru untuk memberi obat-
obat tersebut (Albright, 1996).
Penderita dengan CP atetoid kadang-kadang dapat diberikan obat-obatan yang dapat
membantu menurunkan gerakan-gerakan abnormal. Obat yang sering digunakan termasuk
golongan antikolinergik, bekerja dengan menurunkan aktivitas acetilkoline yang
merupakan bahan kimia messenger yang akan menunjang hubungan antar sel otak dan
mencetuskan terjadinya kontraksi otot. Obat-obatan antikolinergik meliputi
trihexyphenidyl, benztropine dan procyclidine hydrochloride.
Adakalanya, klinisi menggunakan membasuh dengan alkohol atau injeksi alkohol
kedalam otot untuk menurunkan spastisitas untuk periode singkat. Tehnik tersebut sering
digunakan klinisi saat hendak melakukan koreksi perkembangan kontraktur. Alkohol yang
diinjeksikan kedalam otot akan melemahkan otot selama beberapa minggu dan akan
memberikan waktu untuk melakukan bracing, terapi. Pada banyak kasus, teknik tersebut
dapat menunda kebutuhan untuk melakukan pembedahan.
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
kekakuan siku dan ekstensi ibu jari. Seperti sudah diduga sebelumnya, fungsi motorik halus
tidak banyak mengalami perbaikan. Keuntungan dari segi kosmetik untuk memperbaiki
fleksi siku sangat dramatik.
Komplikasi injeksi botulinum toksin dikatakan minimal. Nyeri akibat injeksi
minimal, biasanya akan hilang tidak lebih dari 5 menit setelah injeksi. Efikasi tercapai
dalam 48-72 jam dan akan menghilang dalam 2-4 bulan setelah injeksi. Lama waktu
penggunaan botulinum toksi dilanjutkan tergantung dari derajat abnormalitas tonus otot,
respon penderita dan kemampuan untuk memelihara fungsi yang diinginkan (Wong V,
1998).
Baclofen Intratekal
Baclofen merupakan GABA agonis yang diberikan secara intratekal melalui pompa
yang ditanam akan sangat membantu penderita dalam mengatasi kekakuan otot berat yang
sangat mengganggu fungsi normal tubuh (Albright, 1996). Karena Baclofen tidak dapat
menembus BBB secara efektif, obat oral dalam dosis tinggi diperlukan untuk mencapai
tujuan yang diinginkan jika dibandingkan dengan cara pemberian intratekal. Dijumpai
penderita dengan baclofen oral akan tampak letargik.
Baclofen intratekal diberikan pertama kali sejak tahun 1980 sebagai obat untuk
mengendalikan spasme otot berat akibat trauma pada tulang belakang. Sejak tahun 1990,
metode pengobatan ini mulai digunakan untuk koreksi pada penderita CP dan menunjukkan
efikasi yang baik.
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
motorik, hasil dari prosedur invasif tersebut masih belum jelas. Beberapa penelitan
melaporkan perbaikan spastisitas dan fungsi, sedang lainnya melaporkan hasil sebaliknya
(Pape et al, 1993).
Stereotaxic thalamotomy meliputi memotong bagian thalamus, yang merupakan
bagian yang melayani penyaluran pesan dari otot dan organ sensoris. Hal ini efektif hanya
untuk menurunkan tremor hemiparesis.
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams RC, Snyder P. Treatment for Cerebral Palsy: Making choices of intervention
from an expanding menu of option. Inf Young Children. 1998;10:1-22
2. Albright AL. intrathecal Baclofen in Cerebral Palsy Movement Disorders. J Child
Neurol, 1996;11 (Suppl 1):S29-35
3. American Academy of Neurology. Evidence for diagnostic assessment for children
with CP
4. Benda GI, Hiller JL, Reynolds JW. Benzyl-alcohol Toxicity: Impact on Neurologist
Handicaps among Surviving Very Low Birth Weight Infants. Pediatrics
1986;77:507
5. Blasco PA. Preterm birth: To Correct or Not To Correct. Dev Med Child Neurol.
1989;31:816-21
6. Bobath B. The very early treatment of cerebral palsy. Dev Med Child Neurol
1967;9:373
7. Bryers RK. Evolution of Hemiplegias in Infancy. Am J Dis Child 1941;61;915
8. Capute AJ, Accardo PJ. The Infant Neurodevelopmental Assessment: A Clinical
Interpretive Manual for CAT-CLAMS in The First Two Years of Life, Part 1. Curr
Probl Pediatr. 1996;26:238-57
9. Capute AJ, Accardo PJ The Infant Neurodevelopmental Assessment: A Clinical
Interpretive Manual for CAT-CLAMS in The First Two Years of Life, Part 2. Curr
Probl Pediatr. 1996;26:279-306.
10. Capute AJ, Palmer FB, Shapiro BK. Primitive Reflex Profile: A Quantitation of
Primitive Reflex in Infancy. Dev Med Child Neurol, 1984;26:375-83
11. Champbell SK. Quantifyng The Effects of Intervention For Movements Disorders
Resulting From Cerebral Palsy. J Child Neurol 1996;11;61
12. Clement MC, Briad JL, Ponsot G et al. Ataxies Cerebelluses Congenitales Non
Progressives. Arch FR Pediatr 1994 ;41 ;685
13. Corry IS, Cosgrove AP, Walsch EG. Botulinum Toxin A in The Hemiplegic Limb:
A Double-blind Trial. Dev Med Child Neurol 1997;39:185
14. Cossgrove AP, Corry IS, Graham HK. Botulinum toxin in the management of the
lower limb in cerebral palsy. Dev Med Child Neurol. 1994;36:386-96
15. Dormans JP, Pellegrino L (ed). Caring for the children with cerebral palsy: A team
approach. Baltimore: Paul H, Brooks Publishing;1998
16. Gage jr. Gait analysis in cerebral palsy. Oxford; MacKeith press, 1991
17. Goldberg mj. Measuring outcome in cerebral palsy. J Pediatr Orthop 1991;11;682
18. Grether JK, Cummins SK, Nelson KB. The California cerebral palsy project.
Pediatr Pernat Epidemiol 1992;6:339
19. Hays RM, McLaughin JF, Geiduschek JM et al. Evaluation of the effect of selective
dorsal Rhizotomy. Mental retardation and Developmental Disabilities Research
Review. 1997;3:168-74
20. Illingworth RS. The diagnosis of cerebral palsy in the first year of life. Dev Med
Child Neurol, 1966;8:178-94
21. Ingram TTS. The neurology of cerebral palsy. Arch Dis Child, 1966;41:337-57
22. Koman LA, Mooney III JF, Smith BP, et al. Management of spasticity in cerebral
palsy with botulinum-A toxin: report of preliminary, randomized, double-blind trial.
J Pediatr Orthop 1994;14:299
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso
Continuing Education XXXVI
CEREBRAL PALSY
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
Darto Saharso