yang muncul saat individu tidak melihat adanya alternatif lain atau pilihan pribadi untuk
mengatasi masalah yang muncul atau untuk mencapai apa yang diiginkan serta tidak dapat
mengerahkan energinya untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. (carpenito, 563).
Keputusasaan merupakan keadaan subjektif seorang individu yang melihat keterbatasan
atau tidak ada alternatif atau pilihan pribadi yang tersedia dan tidak dapat memobilisasi
energy yang dimilikinya (NANDA, 2005).
Keputusasaan berkaitan dengan kehilangan harapan, ketidakmampuan,keraguan, duka
cita, apati, kesedihan, depresi, dan bunuh diri. ( Cotton dan Range, 1996 ).
Sedangkanmenurut (Pharris, Resnick,dan ABlum, 1997),mengemukakan bahwa keputusasaan
merupakan kondisi yang dapat menguras energi.
Keputusasaan adalah keadaan emosional ketika individu merasa bahwa kehidupannya
terlalu berat untuk dijalani ( dengan kata lain mustahil ). Seseorang yang tidak memiliki
harapan tidak melihat adanya kemungkinan untuk memperbaiki kehidupannya dan tidak
menemukan solusi untuk permasalahannya, dan ia percaya bahwa baik dirinya atau siapapun
tidak akan bisa membantunya.
1) Fisiologis :
respon terhadap stimulus melambat
tidak ada energi
tidur bertambah
2) emosional :
individu yang putus asa sering sekali kesulitan mengungkapkan perasaannya tapi dapat
merasakan
tidak mampu memperoleh nasib baik, keberuntungan dan pertolongan tuhan
tidak memiliki makna atau tujuan dalam hidup
hampa dan letih
perasaan kehilangan dan tidak memiliki apa-apa
tidak berdaya,tidak mampu dan terperangkap.
3) Individu memperlihatkan :
Sikap pasif dan kurangnya keterlibatan dalam perawatan
Penurunan verbalisasi
Penurunan afek
Kurangnya ambisi,inisiatif,serta minat.
Ketidakmampuan mencapai sesuatu
Hubungan interpersonal yang terganggu
Proses pikir yang lambat
Kurangnya tanggung jawab terhadap keputusan dan kehidupannya sendiri.
4) Kognitif :
Penurunan kemampuan untuk memecahkan masalah dan kemampuan membuat keputusan
Mengurusi masalah yang telah lalu dan yang akan datang bukan masalah yang dihadapi saat
ini
Penurunan fleksibilitas dalam proses pikir
Kaku ( memikirkan semuanya atau tidak sama sekali )
Tidak punya kemampuan berimagenasi atau berharap
Tidak dapat mengidentifikasi atau mencapai target dan tujuan yang ditetapkan
Tidak dapat membuat perencanaan, mengatur serta membuat keputusan
Tidak dapat mengenali sumber harapan
Adanya pikiran untuk membunuh diri.
b. Minor ( mungkin ada )
1) Fisiologis
Anoreksia
BB menurun
2) Emosional
Individu marasa putus asa terhadap diri sendiri dan orang lain
Merasa berada diujung tanduk
Tegang
Muak ( merasa ia tidak bisa)
Kehilangan kepuasan terhadap peran dan hubungan yang ia jalani
Rapuh
3) Individu memperlihatkan
Kontak mata yang kurang mengalihkan pandangan dari pembicara
Penurunan motivasi
Keluh kesah
Kemunduran
Sikap pasrah
Depresi
4) Kognitif
Penuruna kemampuan untuk menyatukan informasi yang diterima
Hilangnya persepsi waktu tentang mas lalu , masa sekarang , masa datang
Bingung
Ketidakmampuan berkomunikasi secara efektif
Distorsi proses pikir dan asosiasi
Penilaian yang tidak logis
b. Depresi
c. Galau
d. Sakit
2.4 PENCEGAHAN
Di bawah ini ada beberapa cara mencegah timbulnya keputusasaanyaitu :
1) Berbaik sangkalah kepada ALLAH,Ingat bahwa setiap yang kita alami ada hikmahnya.
Semua ini hanyalah sebuah cobaan dan bukti kecintaaan tuhan kepada kita.
2) Berpikir bahwa tidak ada kegagalan yang abadi, karena kita bisa mengubahnya dengan ber
buat hal-hal baru.
3) Tetapkan tindakan kita dalam keadaan apapun kita tetap bisa memilih tindakan atau
mengubah kebiasan lama dan mencari jalan untuk mengatasi masalah yg tengah kita hadapi
4) Bersikap lebih fleksibel, kehidupan tidak selalu seperti yang di harapkan. Apabila kita dapat
menyesuaikan diri dengan situasi baru maka ketegangan kita kan berkurang.
5) Kembangkan tindakan yang kreatif Tanyakan pada diri sendiri "KESEMPATAN APA BAGI
SAYA DI SINI ? JALAN MANA YANG TERBUKA BAGI SAYA ?"
6) Evaluasi setiap situasi. Pikirkan segala tindakan sebelum bertindak agar bisa di dapatkan
pemecah masalah yang baik.
7) Lihat sisi positifnya. Kegagalan memang merupakan pengalaman yang menyakitkan. Tapi
daripada memikirkan kerugian yang kita alami, lebih baik fokuskan pada apa yang telah kita
pelajari.
8) Bertanggung jawab. Jangan salah kan orang lain jika gagal,tapi perhatikan baik-baik
masalah nya dan cobalah memahaminya. Tanyakan pada diri sendiri bagaimana
mengatasinya?
9) Pelihara selera humor dan tertawa memang tidak segera memecahkan masalah,tetapi akan
membantu kita melihat masalah secara perspektif. Hal itu bagaikan cahaya dalam kegelapan.
10) Ingatlah bahwa kegagalan adalah guru yang paling berharga kita bisa belajar tentang
bagaimana kita bisa gagal dan bagaimana kita mengatasi sebuah kegagalan.
PSIKOTIK Pengertian Psikotik adalah bentuk disorder mental atau kegalauan jiwa yang
dicirikan dengan adannya disintergasi kepribadian dan terputusnnya hubungan jiwa dengan
Realita
6 Gelandangan Kata gelandangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki artian
orang yang tidak mempunyai pekerjaan dan tempat tinggal yang tetap Gelandangan sebagai
entitas sosial merupakan orang yang dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan
yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan
yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum ( PP no. 31 tahun
1980 tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis )
7 Gelandangan Psikotik Klien dengan gangguan jiwa kronis yang keluyuran di jalan-jalan
dan dapat menganggu ketertiban umum dan merusak keindahan lingkungan.
13 Tahap Diagnosis setelah masalah sosial teridentifikasi, maka akan mendorong timbulnya
respon masyarakat berupa tindakan bersama untuk memecahkan masalah bersama
19 Bimbingan lanjut Serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk lebih memantapkan klien
kembali dalam kehidupan masyarakat
28 Diagnosis keperawatan yang sering ditemukan pada klien gelandangan dan psikotik
GSp : halusinasi Isolasi sosial Harga diri rendah Resiko perilaku kekerasan/perilaku
kekerasan Gangguan proses pikir :waham Resiko bunuh diri Defisit perawatan diri
Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).
Menurut WHO (WHO, 1999), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan,
ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau
masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma,
kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan kekerasan verbal maupun fisik,
pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang dirasakan pada seorang perempuan, apakah masih
anak-anak atau sudah dewasa, yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis, penghinaan
atau perampasan kebebasan dan yang melanggengkan subordinasi perempuan (Citra Dewi
Saputra, 2009).
Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana tertuang dalam rumusan
pasal 1 Deklarasi Penghapusan Tindakan Kekerasan terhadap Perempuan (istri) PBB dapat
disarikan sebagai setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau
penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan
tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan
umum atau dalam kehidupan pribadi (Citra Dewi Saputra, 2009).
Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga
terutama digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan dan peran reproduksi mereka.
Hal ini sebagaimana biasa terjadi dalam hubungan seksual antara suami dan istri di mana
suami adalah pihak yang membutuhkan dan harus dipenuhi kebutuhannya, dan hal ini tidak
terjadi sebaliknya. Lebih jauh lagi Maggi Humm menjelaskan bahwa beberapa hal di bawah
ini dapat dikategorikan sebagai unsur atau indikasi kekerasan terhadap perempuan dalam
rumah tangga yaitu:
1. Setiap tindakan kekerasan baik secara verbal maupun fisik, baik berupa tindakan atau
perbuatan, atau ancaman pada nyawa.
2. Tindakan tersebut diarahkan kepada korban karena ia perempuan. Di sini terlihat
pengabaian dan sikap merendahkan perempuan sehingga pelaku menganggap wajar
melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan.
3. Tindakan kekerasan itu dapat berbentuk hinaan, perampasan kebebasan, dll.
4. Tindakan kekerasan tersebut dapat merugikan fisik maupun psikologis perempuan.
5. Tindakan kekerasan tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga
(Gunawan Wibisono, 2009).
Kekerasan dalam rumah tangga adalah pola perilaku yang penuh penyerangan dan
pemaksaan, termasuk penyerangan secara fisik, seksual, dan psikologis, demikian pula
pemaksaan secara ekonomi yang digunakan oleh orang dewasa atau remaja terhadap
pasangan intim mereka dengan tujuan untuk mendapatkan kekuasaan dan kendali atas diri
mereka (Ichamor, 2009).
1. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri).
2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan);
dan/atau
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut (Pekerja Rumah Tangga).
Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tindak kekerasan istri dalam rumah tangga
dibedakan kedalam empat (4) macam yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan
seksual, kekerasan emosional (Kompas.com ,2007).
Selain itu macam-macam bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga tercantum
dalam Undang-Undang KDRT Pasal 5.
1. Kekerasan Fisik
Menurut Pasal 6 kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
atau luka berat.
1) Kekerasan Fisik Berat. Kekerasan ini berupa penganiayaan berat seperti menendang,
memukul, melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan semua perbuatan lain
yang dapat mengakibatkan :
c) Pingsan
d) Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang
menimbulkan bahaya mati
a) Cedera ringan
b) Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat .
Kekerasan psikologis atau emosional meliputi semua tindakan yang berdampak pada
kesehatan mental dan kesejahteraan pasangan, seperti: menghina, kritik yang terus menerus,
pelecehan, menyalahkan korban atas segala sesuatunya, terlalu cemburu atau posesif,
mengucilkan dari keluarga dan teman-teman, intimidasi dan penghinaan.
1) Kekerasan Psikis Berat. Kekerasan ini berupa tindakan pengendalian, manipulasi,
eksploitasi, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi
social, tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina, ancaman kekerasan fisik,
seksual dan ekonomis, yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat
berupa salah satu atau beberapa hal berikut :
a) Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual
yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.
c) Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis)
e) Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan
atau bentuk psikotik lainnya
2) Kekerasan Psikis Ringan. Kekerasan ini berupa tindakan pengendalian, manipulasi,
eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan,
pemaksaan, dan isolasi social, tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina,
ancaman kekerasan fisik yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis
ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di bawah ini :
b) Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak
d) Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa
indikasi medis)
1. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual yaitu kekerasan yang penyerangannya secara fisik oleh pelaku seringkali
diikuti, atau diakhiri dengan kekerasan seksual dimana korban dipaksa untuk melakukan
hubungan seksual dengan pelaku atau berpartisipasi dalam suatu kegiatan seksual yang tidak
diinginkannya, termasuk hubungan seks tanpa pelindung.
a) Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual,
mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik,
terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
b) Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak
menghendaki.
c) Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau
menyakitkan.
d) Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau
tujuan tertentu.
f) Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang
menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut.
Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
1. Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi termasuk pasal 9 yang meliputi berbagai tindakan yang dilakukan untuk
mempertahankan kekuasaan dan kendali atas keuangan, seperti: melarang pasangan mereka
untuk mendapatkan atau tetap mempertahankan pekerjaan, membuat pasangan mereka harus
meminta uang untuk setiap pengeluaran, membatasi akses pasangan mereka terhadap
keuangan dan informasi akan keadaan keuangan keluarga, dan mengendalikan keuangan
pasangan.
c) Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau
memanipulasi harta benda korban.
1.
2.
3. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Ada faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya
yang dilakukan oleh suami terhadap istri, yaitu :
1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri.
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian rupa
dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh
karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan
suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.
1. Ketergantungan ekonomi.
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti
semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras
dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan
demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh
suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya.
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun
kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan
dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini
didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras
agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan
kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem rumah tangganya.
1. Persaingan.
Di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan,
penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan
lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan
selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi
suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang.
1. Frustasi.
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustasi tidak
bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi
pada pasangan-pasangan seperti dibawah ini :
Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak
terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi
laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya
kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan
mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi
pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri
untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.
Dalam hal ini banyak dampak yang ditimbulkan oleh kekerasan itu sendiri. Dampak
kekerasan dalam rumah tangga akan terjadi pada istri, anak, bahkan suami.
Selain itu menurut Suryasukma efek psikologis penganiyaan bagi banyak perempuan lebih
parah disbanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta
gangguan makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan terhadap istri
juga mengakibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara bilologis yang pada akhirnya
terganggu secara sosiologis. Istri yang teraniaya sering mengisolasi diri dan menarik diri
karena berusaha menyembunyikan bukti penganiyaan mereka.
Perempuan terganggu kesehatan reproduksinya bila pada saat tidak hamil mengalami
gangguan menstruasi seperti menorhagia, hipomenohagia atau metrohagia bahkan wanita
dapat mengalami menopause lebih awal, dapat mengalami penurunan libido,
ketidakmampuan mendapatkan orgasme.
Diseluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil yang mengalami kekerasan fisik dan
kekerasan seksual oleh pasangannya. Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran/abortus,
persalinan immature, dan bayi meninggal dalam rahim. Pada saat bersalin, perempuan akan
mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya kontraksi uterus, persalinan lama, persalinan
dengan alat bahkan pembedahan. Hasil dari kehamilan dapat melahirkan bayi dengan BBLR.
Terbelakang mental, bayi lahir cacat fisik atau bayi lahir mati.
Dampak lain yang juga mempengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam rumah tangga
diantaranya perubahan pola pikir, emosi dan ekonomi keluarga. Dampak terhadap pola pikir
istri misalnya tidak mampu berpikir secara jernih karena selalu merasa takut, cenderung
curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak bias percaya dengan apa yang terjadi.
Istri yang menjadi korban kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik dan mental dua kali
lebih besar dibandingkan yang tidak menjadi korban termasuk tekanan mental, gangguan
fisik, pusing, nyeri haid, terinfeksi penyakit menular (www.depkes.go.id).
Dampak terhadap ekonomi keluarga adalah persoalan ekonomi, hal ini terjadi tidak saja pada
wanita yang tidak bekerja tetapi juga pada wanita yang bekerja atau mencari nafkah. Seperti
terputusnya akses mendadak , kehilangan kendali ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga
untuk tempat tinggal, kepindahan, pengobatan, terapi serta ongkos untuk kebutuhan yang
lain.
Kecemasan
o Perilaku : Gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, menarik diri
dari hubungan personal, mengahalangi, menarik diri dari hubungan
interpersonal, melarikan diri dari hubungan intrapersonal.
o Stresor Pecetus : Stesor penscetus mungkin berasal dari sumber internal dan
sumber eksternal. Stressor pencetus dibagi menjadi dua kategori. Kategori
pertama yaitu ancaman terhadap integritas seseorang meliputi
ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya kkapasitas
untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Katagori kedua yaitu ancaman
terhadap system diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri, dan
fungsi social yang terintegrasi seseorang.
o Mekanisme koping : Tingkat kecemasan seseorang dapat menimbulkan dua
mekanisme koping. Mekanisme yang pertama adalah mekanisme yang
berorientasi pada tugas yaitu upaya yang disadari, dan berorientasi pada
tindakan untuk memenuhi secara realistic tuntutan situasi stress(Perilaku
menyerang untuk mengatasi hambatan pemenuhan, perilaku menarik diri
secara fisik maupun psikologik untuk memindahkan sumber stress, perilaku
kompromi untuk mengubah tujuan). Mekanisme yang kedua adalah
mekanisme pertahan ego yang membantu mengatasi ansietas.
o Gangguan Tidur
Perilaku
Sumber koping : dukungan social dari keluarga, teman, dan pemberi
pelayanan juga merupakan sumber yang penting.
Mekanisme koping : represi perasaan, konflik, menyangkal masalah
psikologis.
Gangguan Seksual
Perilaku
Factor predisposisi
Faktoer pencetus
Mekanisme koping
1. Diagnosa Keperawatan
Kecemasan
Ansietas
Inefektif koping
Ketakutan
Gangguan Tidur
o Gangguan cerita tubuh
o Proses perubahan keluarga
o Gangguan pola tidur
o Kerusakan interaksi sosial
o Gangguan Seksual
o Gangguan citra tubuh
o Ketakutan
o Ketidakberdayaan
o Nyeri
o Gangguan harga diri
o Perubahan peforma peran
o Resiko terhadap kesepian
o Distress spiritual
o Kerusakan interaksi sosial
1. Identifikasi Hasil
Kecemasan
Pasien akan menunjukkan cara adaptif dalam mengatasi stress
Gangguan tidur
o Pasien akan mengekspresikan perasaannya secara verbal daripada melalui
perkembangan gejala-gejala fisik.
o Gangguan seksual
Pasien akan mencapai tingkat maksimal respons seksual yang adaptif
untuk meningkatkan atau mempertahankan kesehatan.
1. Perencanaan
Kecemasan
o Pasien harus mengembangkan kapasitasnya untuk mentoleransi ansietas.
o Gangguan tidur
Penyuluhan untuk pasien tentang strategi koping yang adaptif.
Gangguan seksual
Lakukan penyuluhan.
1. Implementasi
Kecemasan
Memecahkan masalah yang membuat pasien cemas
Gangguan tidur
o Memenuhi kebutuhan fisiologis pasien.
o Memenuhi kebutuhan dasar akan rasa aman dan keselamatan.
o Gangguan Seksual
Sebelum melakukan penyuluhan perawat harus memeriksa nilai dan
keyakinannya sendiri tentang pasien yang berperilaku seksual yang
mungkin berebda.
1. Evaluasi
Kecemasan
o Sudahkah ancaman terhadap integritas fisik atau system diri pasien berkurang
dalam sifat, jumlah, asal, atau waktunya?
o Apakah perilaku pasien menunjukkan ansietas?
o Sudahkah sumber koping pasien dikaji dan dikerahkan dengan adekuat?
o Apakah pasien menggunakan respon koping adaptif?
o Gangguan tidur
Sudahkah pola tidurnya telah normal kemabali?
Apakan kecemasan masih mengganggu tidur pasien?
Gangguan seksual
Apakah pengakajian keperawatan tentang seksualitas telah
lengkap, akurat, dan dilakukan secara professional?
Apakah pasien merasakan perbaikan selama perbaikan?
Apakah hubungan interpersonal pasien telah meningkat?
Apakah penyuluhan kesehatan tentang ekspresi seksual
telah dilakukan dengan benar?
Apakah perasaan perawat sendiri tentang seksual telah
digali semua pada pasien?