Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH DESAIN PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Identifikasi Penurunan Muka Tanah (Land Subsidance) Yang


Berhubungan Langsung Dengan Aktivitas Manusia, di Daerah DKI
Jakarta.

DISUSUN OLEH :

NAMA : MUHAMMAD FADHLI


NIM : 03071281823025
DOSEN PENGAMPU: MUHAMMAD RENDANA, B.SC,M.SC,PH.D

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDRALAYA
2021
I. Pendahuluan
Adanya Penurunan muka tanah (land subsidence) merupakan salah satu isu-isu
sangat hangat terhadap adanya perubahan lingkungan terrestrial yang mana merupakan suatu
proses gerakan penurunan muka tanah yang didasarkan atas suatu datum tertentu serta terdapat
berbagai macam variabel penyebabnya (Marfai, 2006). Berdasarkan adanya kajian geoteknis
yang dimaksud dengan penurunan muka tanah merupakan suatu proses adanya cekungan air
tanah (aquifer) yang diekstraksi sehingga terjadi peningkatkan tegangan antar butir tanah di
dalam aquifer yang tidak terkonsolidasi (Bouwer, 1977). Adanya Pengambilan air tanah
(ground water extraction) bagi kebutuhan rumah dan juga industri di wilayah perkotaan saat
yang semakin meningkat menggunakan sumur bor dalam, pembagunan bagunan tinggi seperti
apartemen , serta adanya faktor geologi khusus merupakan suatau aktivitas yang sangat
mendorong adanya perubahaan muka tanah. Adapun salah satu kawasan yang ada di Indonesia,
yang memiliki tingkat penurunan muka tanahnya per tahun sangat tinggi adalah DKI Jakarta
serta dibeberapa kota besar lainnya seperti Semarang, Bandung serta Surabaya.
DKI Jakarta merupakan ibu kota negara Indonesia dengan jumlah penduduk yang
sangat padat. Data BPS Daerah Provinsi DKI tahun 2016 menunjukkan jumlah penduduk di
DKI Jakarta mencapai 10,277 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk per tahun mencapai
1,07% (2016) serta kepadatan penduduk per km2 sebesar 15.518. Hal ini tentunya akan
berdampak pada daya dukung lahan sebagai tempat tinggal termasuk didalamnya kebutuhan
akan konsumsi air dalam bentuk pengambilan air tanah untuk kebutuhan rumah tangga ataupun
industri.Seperti pada tabel 1 dapat terlihat bahwa :

Tabel 1. Perbandingan Jumlah Penduduk DKI Jakarta dan Laju Pertumbuhan Penduduk
Dengan adanya kegiatan pengambilan air tanah yang secara terus menerus (berlebih)
maka dapat mengakibatkan terjadinya penurunan permukaan tanah (land subsidence) secara
berkelanjutan. Hal ini tentunya akan berdampak terhadap stabilitas tanah dan daya dukung
yang diberikan oleh tanah terhadap konstruksi bangunan yang ada di atasnya, khususnya di
wilayah pesisir DKI Jakarta.

Tabel 2. Perbandingan Jumlah Sumur Dalam DKI Jakarta dan Volume Air Tanah Yang di
Ambil

Dalam Pelaksanaanya di Jakarta telah mengalami penurunan sepanjang periode


1900-2010. Beberapa tempat bahkan mencapai penurunan sekitar 20-28 cm setiap tahunnya
(Abidin, Andreas et al. 2011). Adapun dari observasi secara langsung dapat diketahui bahwa
daerah yang memilki penurunan muka tanah yang cukup tinggi yaitu daerah cengkareng 8,5
cm/tahun cm pada periode 1982-1991 dan Daerah Daan Mogot yang mencapai 31,9 cm/ tahun
pada periode 1997-1999. Sehingga salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam
memperlambat dan mengatasi adanya penurunan muka tanah di DKI Jakarta perlunya adanya
kebijakan baru dalam hal peraturan pengambilan air tanah (Delinom, 2008, Akio 2014). Hal
itu sangat beriringan dengan perbandingan laju penurunan muka tanah DKI Jakarta
dibandingkan dengan enam negara di Asia yaitu Bangkok, Manila, Osaka, Seoul, Taipei and
Tokyo, pada periode 1990-2010 yang menunjukkan laju penurunan muka tanah di kota Jakarta
yang paling tinggi.
Gambar 1. Perbandingan Laju Penurunan Muka Tanah Jakarta dan Enam Negara Asia

II. Metode Yang Dapat Menganalisis Perubahan Muka Tanah


Dalam menganalisis dan mengamati perubahan muka tanah dapat dilakukan dengan
melakukan pengukuran perubahan elevasi air tanah dan mengukur perubahan muka tanah
menggunakan metode-metode langsung maupun secara pengindaraan jauh.
Adapun langkah yang dapat dilakukan dalam pengkuran elevasi air tanah dapat
dilakukan pengukuran secara langsung pada sumur-sumur, antara lain:
1. Sumur pengamatan
2. Sumur produksi (deep well)
3. Sumur dangkal
4. Sumur gali (tradisional)
Sedangkan upaya pengukuran perubahan muka tanah dapat dilakukan dengan
metode berikut ini:
1. Remote Sensing menggunakan GPS Geodetik
2. Remote Sensing menggunakan pengolahn data Insar, Landsat, Maupun Citra
3. Instrumentasi (ekstensometer) pada sumur pengamatan

Gambar 2. Contoh Hasil Penggunaan GPS Geodetik


Gambar 3. Contoh Hasil Penggunaan Data Landsat

Selain melakukan penelitian terhadap perubahan terhadap penurun muka tanah


dapat juga dilakukan dengan menetapkan peraturan dan kebijakan, antara lain:

1. Mengklarifikasi area dimana penurunan tanah yang signifikan dan mengidentifikasi


lapisan lempung dan akuifer terutama menyebabkan penurunan tanah.
2. Menfasilitasi pendaftaran sumur air tanah di Jakarta termasuk yang ilegal dan
mengambil seluruh jumlah pengambilan air tanah di Jakarta.
3. Memperluas pelayanan air di kota (SPAM) untuk regulasi pengambilan air tanah dan
melakukannya, dapat dihindari untuk mengembangkan memanfaatkan alternatif
sumber air.
4. Melakukan pengukuran untuk mengurangi tingkat kebocoran pelayanan air di kota
(SPAM) untuk pengaturan pengambilan air tanah.
5. Menfasilitasi penyimpanan penggunaan air rumah tangga, kota, dan industri untuk
pengaturan pengambilan air tanah.
6. Di area dimana penurunan tanah yang signifikan, menguatkan pengaturan pengambilan
air tanah dari sumur yang memompa air dari akuifer terutama menyebabkan penurunan
muka tanah, dan memprioritaskan pengukuran ekspansi pelayanan air di perkotaan, hal
tersebut dapat mewujudkan pengurangan tingkat kebocoran dan penyimpanan air
III. Kesimpulan

Adanya perubahan muka tanah yang signifikan sangat dikontrol adanya kegiatan
manusia yaitu pemompaan yang berlebihan yang dapat mengakibatkan penurunan muka air
tanah, berkurangnya cadangan air tanah, perubahan arah aliran air tanah, penurunan daya
dukung tanah, kekeringan pada sumur-sumur penduduk disekitar pemompaan, intrusi air laut
ke arah daratan dan lain-lain, adanya, pembagunan bagunan tinggi seperti apartemen , serta
adanya faktor geologi khusus.
DKI Jakarta dari hasil analisis dan identifikasi penuruan muka tanah di dapatkan
hasil Pada periode 1990-2016 terjadi penurunan muka tanah (subsidence) akibat pengambilan
air tanah yang terus meningkat secara signifikan berdasarkan data GPS Geodetik sebesar 0-12
cm/tahun, Ekstensometer 0,66 sm/tahun serta Observasi Visual 1,65 cm/tahun.
Sehingga dalam upaya mengatasi permaslahan tersebut Perlu adanya studi lebih
lanjut terkait pengendalian penurunan muka tanah terkait dengan parameter tanah dan
parameter hidraulik secara kompleks yang mempengaruhi proses penurunan tanah
(konsolidasi). Serta perlu adanya regulasi yang tepat untuk optimalisasi ekploitasi air tanah
pada aquifer tanpa menyebabkan terjadinya penurunan muka tanah yang berlebihan.

IV. Daftar Pustaka


Abidin, H. Z., et al. 2011. "Land subsidence of Jakarta (Indonesia) and its relation with urban
development." Natural Hazards 59(3): 1753.
Akio, Y. 2014. "Aspects of water environmental issues in Jakarta due to its rapid
urbanization."
Bouwer, H. (1977). "Land Subsidence and Cracking Due to Ground‐Water Depletion." Ground
Water 15(5): 358-364
Delinom, R. M. 2008. "Groundwater management issues in the Greater Jakarta area,
Indonesia." TERC Bull, University of Tsukuba 8(2): 40-54.
Delinom, R. M., et al. 2009. "The contribution of human activities to subsurface environment
degradation in Greater Jakarta Area, Indonesia." Science of the total environment
407(9): 3129-3141.
Hutabarat, Lolom Evalita. 2017. “Studi Penurunan Muka Tanah (Land Subsidence) Akibat
Pengambilan Air Tanah Berlebih Di Dki Jakarta”. UKI PRESS

Anda mungkin juga menyukai