Anda di halaman 1dari 5

Lebih Rumit Daripada Lagu Klasik

Kembali lagi kakiku memijak lantai marmer ini. Studio besar yang akhir-akhir ini
menjadi tempat yang paling sering ku kunjungi karena para musisi di negara ini akan
melangsungkan konser bersama. Bersamaan aku membuka pintu, terlihat jelas sekumpulan
orang yang sedang berdampingan dengan alat musiknya masing-masing. Tampaknya aku
belum terlambat karena beberapa dari mereka ada yang sedang meniup trombone, menyetel
senar biola, mengganti rid saxophone, memainkan tuts-tuts piano, bahkan ada yang hanya
mendekap alat musiknya saja. Kakiku melangkah ke barisan para pemain biola di sisi kanan
panggung, menurunkan tas biola dari genggamanku, dan memperbaiki posisi stanbook yang
ada di depanku. Disampingku terdapat Kak Ruby, satu-satunya temanku yang sama-sama
berasal dari Indonesia dan mulai merintis karir sebagai musisi di negara pesemakmuran ini,
Singapura.

“Hai, Kak Ruby. Belum mulai gladi, kan?” tanyaku ke wanita yang kurasa memiliki
proporsi wajah yang pas itu.

“Hai, Yun. Belum kok, kakak juga baru sampai,” balas Kak Ruby.

“Gitu ya, kak. Kalau gitu aku ke toilet dulu ya, kak,” tuturku.

Aku memandangi pantulan wajahku di cermin toilet. Namaku Keara Denise. Aku ini
hanya anak dari pasangan guru honorer di sebuah kota kecil di Indonesia. Kata ibuku, tak
peduli apa pekerjaan orangtuamu, kita tetap harus berusaha keras mewujudkan cita-cita kita
dan membuat orangtua bangga. Sejak awal aku mempunyai cita-cita sebagai musisi klasik.

Aku juga beruntung sekali mempunyai kedua orangtua yang selalu mendukung cita-
cita putri semata wayang mereka. Jauh hari mereka sudah mempersiapkan segala keperluan
untuk perkuliahanku. Aku lulus di Institut Seni Indonesia Yogyakarta jurusan Seni Musik.
Berkuliah selama 4 tahun dan lulus dengan hasil yang memuaskan. Setalah mengikuti
beragam tes, Aku dan Kak Ruby mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan pendidikan
pascasarjana kami di Singapura, Nanyang Academy of Fine Arts. Dan disinilah aku
menghabiskan waktu sebagai pemain alat musik klasik

Biola pertamaku berasal dari sahabtku tercinta. Namanya Grace. Dia memang dari
keluarga yang berada. Ayahnya memiliki beratus-ratus hektar perkebunan sawit. Makanya,
ketika ulangtahunku dia membelikan aku sebuah biola. Biola membuat gairahku semakin
menggebu-gebu untuk mewujudkan cita-cita. Otodidak juga tidak masalah, yang penting aku
bisa memainkan biola di tiap-tiap nada dasar. Sayangnya sejak kelas dua SMA, Grace
dipindahkan ayahnya ke Jakarta. Kami tidak berkomunikasi lagi sejak saat itu karena dia tidak
pernah membalas pesan-pesanku. Aku tidak tahu dimana dia melanjutkan Sekolah Menengah
Atas dan berkuliah dimana dia. Sudah 14 tahun aku tidak pernah melihat parasnya lagi.

Aku kembali ke studio, dan mengambil posisi sebagi pemain biola, kami mulai
melatih beberapa lagu klasik yang akan kami sajikan ketika konser nanti seperti, Canon in D
Mayor, Fur Elise, Turkish March, Can-Can, Minuet in G Mayor, Symphony no. 5, Symphonys
no.40, Ode to Joy, Romence the Amor, Minuet From the Anna Magdalena, dan beberapa
karya kami masing-masing. Hari ini cukup melelahkan, karena lusa adalah jadwal konser
kami. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 10 malam ketika kami berlatih untuk lagu
yang terkahir. Artinya kami sudah berlatih selama 6 jam di studio ini. Perutku belum diisin
sejak tadi siang, jadi aku berencana akan mencari rumah makan yang masih buka sepulang
dari studio.

Tak terlalu sulit mencari rumah makan yang masih buka, langsung terlintas
dipikiranku untuk menyantap makanan di Maxwell Food Center karena setahuku destinasi
kuliner itu masih buka hingga pukul 2 dini hari. Ya setahuku, karena aku belum pernah makan
disini. Aku mencari mencari penjual nasi ayam dan menemukannya di ujung sebelah kanan.
Langsung saja ku pesan sepiring nasi ayam dan segelas teh susu hangat. Sembari menunggu
aku memiliki untuk mengeluarkan ponselku dan melihat pesan-pesan yang masuk, karena
sejak sore tadi aku belum mengecek ponselku.

“Permisi, sepiring nasi ayam dan segelas teh susu hangat. Selamat menikmati.”
Kulihat pelayan mengantarkan pesananku.

Aku terpaku, aku kenal suara itu, suara yang sedikit serak. Bukan, bukan hanya
suaranya yang kukenali, aku ingat betul bagaimana wajahnya. Bagiamana bisa aku melupakan
dia walaupun terlihat beberapa luka biru di wajah cantik itu. Kami berpandangan beberapa
detik. Ketika dia juga sadar dengan seorang perempuan yang ada di hadapannya dia segera
berbalik. Aku tak bisa tingga diam, kukejar dia, kuambil pergelangan tangannya, dan
memutar badannya. Aku tak kuasa menahan air mataku, benar itu dia. Dia yang dulu tak
pernah hentinya menyemangatiku, dia yang ceria dan humoris, dan dia yang mengajariku
untuk tidak berputus asa. Mengapa dia ada disini? Di negara ini? Bekerja sebagai seorang
pelayan? Apa yang terjadi padanya setelah 14 tahun?

“G… Grace?” ucapku terbata-bata

Dia tak menjawab. Kutanya sekali lagi .“Kau Grace, kan? Tolong jawab aku Grace. 14
tahun kita tak bertemu tapi aku takkan pernah lupa dengan wajahmu.”

Dia hanya mengangguk, mungkin dia masa terkejutnya dengan aku. Aku langsung
memeluknya erat dan mengucapkan beragam kata yang menggambarkan betapa rindunya aku
kepada Grace. Cukup lama kami saling berpelukan dengan air mata yang menetes di mata
kami masing-masing.

“Bagaimana bisa kau bekerja disini? Sejak kapan? Dan, hei ada apa dengan wajahmu?
Mengapa banyak luka biru? Ceritakan padaku Grace apa yang membuatmu seperti ini,”
kulepas pelukanku dan membombardirnya dengan beragam pertanyaan.

Aku mengajaknya duduk di kursiku tadi, kami duduk berhadapan. Kugenggam kedua
tangannya dan tersenyum kepadanya. “Grace, sudah lama kita tidak bercerita.”

“Ra, aku gak nyangka kita akan bertemu disini. Banyak hal yang terjadi sejak aku
pindah ke Yogyakarta,” Grace membalas genggaman tanganku. “Aku melanjutkan sekolahku
di salah satu SMA Negeri disana. Sejak pindah ke Jakarta aku melakukan banyak kesalahan,
Ra.”
Aku beranjak dari kursiku dan duduk disebelah Grace, “kita ini manusia yang memang
tak luput dari kesalahan, Grace. Kesalahan apa yang telah kamu perbuat?”

“Aku berpacaran dengan teman sekolahku. Kami berpacaran hingga tamat SMA. Aku
dan dia sama-sama melanjutkan ke perguruan tinggi. Hingga… hingga satu malam itu, satu
malam yang ingin sekali kutiadakan. Malam yang penuh dosa, Ra! Aku melakukannya, aku
melakukan hal yang tak bermoral itu!” Grace tak kuasa menahan tangisnya.

“Tiga bulan kemudian, aku sadar bahwa aku sudah berbadan dua. Laki-laki jahat itu
awalnya tidak mau bertanggung jawab. Aku memberitahu apa yang telah kuperbuat ke
keluargaku. Ayahku sangat marah. Dia membawaku kerumah pacarku, dan memaksanya
untuk bertanggup jawab. Hiks… hiks… Aku menikah, namun ayahku tak mau melihatku lagi,
aku diusir dari rumah, Ra.”

Aku tak tau harus berkata apa lagi, sungguh aku marah pada diriku sendiri karena
tidak bisa menemani Grace ketika masa sulitnya.

Grace melanjutkan ceritanya, “sejak saat itu aku menjadi korban KDRT suamiku. Aku
masih mempertahankan rumah tangga kami, hingga akhirnya aku tak sanggup lagi. Dua
bulan yang lalu ku cerai, sebulan setelah cerai aku membawa anakku ke negara ini untuk
memulai hidup baru.”

“Grace, aku tak menyangka kau telah melewati berbagai masa sulit. Aku minta maaf
karena aku tak bisa ada disampingmu saat itu,” kutatap matanya yang sudah memerah itu.

“Taka apa, Ra. Tuhan sungguh baik karena akhirnya mempertemukan kita di tempat
yang tak kita sangka-sangka.”

“Grace, tiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Asal kita mau bertaubat dan
tidak mengulangi kesalahan itu lagi serta memohon ampun kepada Tuhan. Oh, iya jadi siapa
nama anakmu?” ucapku sambil mengelus rambutnya.

“Terimakasih, Ra. Namanya Rayn,” Grace tersenyum.

Aku mengambil beberapa lembar uang dari dompetku, “Grace, jangan marah ya. Ini
ada sedikit siapa tau bisa membantumu untuk membeli susu Rayn.”

Grace tersenyum, “Keara kamu memang satu-satunta sahabatku, namun aku masih
bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami berdua. Dengan kembali hadirnya kamu
disampingku itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku semakin bersemangat.”

“Grace kamu memang wanita hebat, aku bangga memiliki sahabat sepertimu. Ini
kontakku, kita harus sering-sering berjumpa hahahahaha.” Aku memberikan salinan nomor
ponselku ke Grace.

“Sip deh, duh aku jadi malu ni udah nangis-nangis di depan kamu,” Grace tertawa
“kalau gitu aku lanjut kerja dulu ya, Keara.” Grace beranjak dari kursinya. Aku menatap
punggung wanita yang sudah melewati masa-masa sulit di hidupnya.
Aku menyantap nasi ayam yang sama sekali belum kusentuh. Sudah pukul 12 malam
ketika aku menyuap suapan terakhir nasi ayam itu. Hari ini sungguh melelahkan, penuh haru,
sekaligus gembira. Aku menuju mobilku yang ada di halaman depan da segera
mengendarainya menuju apartement-ku.

Sinar matahari masuk melalui celah-celah jendela kamarku pertanda aku bangun
kesiangan. Aku beranjak ke kamar mandi dan menjalankan ritual pagi. Setelahnya, aku
menyiapkan sarapanku. Selesai sarapan, aku mencari ponselku di kamar, aku mengecek
ponselky dan terlihat tiga pesan masuk yang belum terbaca. Segera kubukua pesan itu. Jari-
jariku lemas seketika. Betapa malangnya sahabatku itu.

Anda mungkin juga menyukai