Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Pancasila sebagai dasar negara dan landasan idiil bangsa Indonesia,
dewasa ini dalam zaman reformasi telah menyelamatkan bangsa Indonesia
dari ancaman disintegrasi selama lebih dari lima puluh tahun. Namun sebaliknya
sakralisasi dan penggunaan berlebihan dari ideologi Negara dalam format
politik orde baru banyak menuai kritik dan protes terhadap pancasila.
Sejarah implementasi pancasila memang tidak menunjukkan garis
lurus bukan dalam pengertian keabsahan substansialnya, tetapi dalam
konteks implementasinya. Tantangan terhadap pancasila sebagai kristalisasi
pandangan politik berbangsa dan bernegara bukan hanya berasal dari
faktor domestik, tetapi juga dunia internasional.
Pada zaman reformasi saat ini pengimplementasian pancasila sangat
dibutuhkan oleh masyarakat, karena di dalam pancasila terkandung nilai-
nilai luhur bangsa Indonesia yang sesuai dengan kepribadian bangsa.
Selain itu, kini zaman globalisasi begitu cepat menjangkiti negara-negara di
seluruh dunia termasuk Indonesia. Gelombang demokratisasi, hak asasi
manusia, neo-liberalisme, serta neo-konservatisme dan globalisme bahkan telah
memasuki cara pandang dan cara berfikir masyarakat Indonesia. Hal demikian
bisa meminggirkan pancasila dan dapat menghadirkan sistem nilai dan
idealisme baru yang bertentangan dengan kepribadian bangsa.
Implementasi pancasila dalam kehidupan bermasyarakat pada hakikatnya
merupakan suatu realisasi praksis untuk mencapai tujuan bangsa. Adapun
pengimplementasian tersebut di rinci dalam berbagai macam bidang antara
lain POLEKSOSBUDHANKAM. Dimana makalah ini akan membahas tentang
peran Pancasila Sebagai Solusi Problem Bangsa ( Korupsi, Dekadensi Moral,
dan Kerusakan Lingkungan).

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana cara pengaplikasian nilai-nilai Pancasila sebagai solusi
problem bangsa yang berkaitan dengan mengatasi masalah korupsi?

1
2. Bagaimana cara pengaplikasian nilai-nilai Pancasila sebagai solusi
problem bangsa yang berkaitan dengan mengatasi masalah dekadensi
moral?
3. Bagaimana cara pengaplikasian nilai-nilai Pancasila sebagai solusi
problem bangsa yang berkaitan dengan mengatasi masalah kerusakan
lingkungan?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pancasila sebagai Solusi Mengatasi Masalah Korupsi


Korupsi secara harafiah diartikan sebagai kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian (Tim Penulis Buku Pendidikan anti korupsi, 2011).
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, baik berasal dari
dalam diri pelaku atau dari luar pelaku. Sebagaimana dikatakan Yamamah
bahwa ketika perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik
yang masih “mendewakan” materi maka dapat “memaksa” terjadinya permainan
uang dan korupsi (Yamamah, 2009) “Dengan kondisi itu hampir dapat dipastikan
seluruh pejabat kemudian `terpaksa`korupsi kalau sudah menjabat”. Syam
(2000) memberikan pandangan bahwa penyebab seseorang melakukan korupsi
adalah karena ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak
mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan
sementara akses ke arah kekayaan bisa diperoleh melalui cara berkorupsi, maka
jadilah seseorang akan melakukan korupsi. Dengan demikian, jika menggunakan
sudut pandang penyebab korupsi seperti ini, maka salah satu penyebab korupsi
adalah cara pandang terhadap kekayaan. Cara pandang terhadap kekayaan
yang salah akan menyebabkan cara yang salah dalam mengakses kekayaan.

Faktor-Faktor Penyebab Korupsi


Secara umum faktor penyebab korupsi dapat terjadi karena faktor politik,
hukum dan ekonomi, sebagaimana dalam buku berjudul Peran Parlemen dalam
Membasmi Korupsi (ICW, 2000) yang mengidentifikasikan empat faktor
penyebab korupsi yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomi dan faktor
organisasi.
1. Faktor Politik
Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat
dilihat ketika terjadi instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang
kekuasaan, bahkan ketika meraih dan mempertahankan kekuasaan. Perilaku
korup seperti penyuapan, politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi.
Terkait dengan hal itu Terrence Gomes (2000) dalam Buku Pendidikan anti

3
korupsi (2011) memberikan gambaran bahwa politik uang (money politik)
sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political influence.
Menurut De Asis (2000), korupsi politik misalnya perilaku curang (politik
uang) pada pemilihan anggota legislatif ataupun pejabat-pejabat eksekutif, dana
illegal untuk pembiayaan kampanye, penyelesaian konflik parlemen melalui cara-
cara ilegal dan teknik lobi yang menyimpang.
Robert Klitgaard (2005) dalam Buku Pendidikan anti korupsi (2011),
menjelaskan bahwa proses terjadinya korupsi dengan formulasi M+D–A=C.
Simbol M adalah monopoly, D adalah discretionary (kewenangan), A adalah
accountability (pertanggungjawaban). Penjelasan atas simbul tersebut dapat
dikatakan bahwa korupsi adalah hasil dari adanya monopoli (kekuasaan)
ditambah dengan kewenangan yang begitu besar tanpa keterbukaan dan
pertanggungjawaban.
2. Faktor Hukum
Faktor hukum bisa lihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-
undangan dan sisi lain lemahnya penegakan hukum. Tidak baiknya substansi
hukum, mudah ditemukan dalam aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak adil;
rumusan yang tidak jelas-tegas (non lex certa) sehingga multi tafsir; kontradiksi
dan overlapping dengan peraturan lain (baik yang sederajat maupun yang lebih
tinggi). Sanksi yang tidak equivalen dengan perbuatan yang dilarang sehingga
tidak tepat sasaran serta dirasa terlalu ringan atau terlalu berat; penggunaan
konsep yang berbeda-beda untuk sesuatu yang sama, semua itu memungkinkan
suatu peraturan tidak kompatibel dengan realitas yang ada sehingga tidak
fungsional atau tidak produktif dan mengalami resistensi (Tim Penulis Buku
Pendidikan anti korupsi, 2011).
Hamzah (2004) dalam Buku Pendidikan anti korupsi (2011), menyebutkan
tindakan korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan
perundang-undangan, yang mencakup:
(a) adanya peraturan perundang-undangan yang bermuatan kepentingan
pihak-pihak tertentu
(b) kualitas peraturan perundang-undangan kurang memadai,
(c) peraturan kurang disosialisasikan,
(d) sanksi yang terlalu ringan,
(e) penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu,
(f) lemahnya bidang evalusi dan revisi peraturan perundang-undangan.

4
Disamping tidak bagusnya produk hukum yang dapat menjadi penyebab
terjadinya korupsi, praktik penegakan hukum juga masih dililit berbagai per-
masalahan yang menjauhkan hukum dari tujuannya. Secara kasat mata, publik
dapat melihat banyak kasus yang menunjukan adanya diskriminasi dalam
proses penegakan hukum termasuk putusan-putusan pengadilan.
Dari beberapa hal yang disampaikan, yang paling penting adalah budaya
sadar akan aturan hukum. Dengan sadar hukum, maka masyarakat akan
mengerti konskuensi dari apa yang ia lakukan. Sementara itu Rahman Saleh
merinci ada empat faktor dominan penyebab merajalelanya korupsi di Indonesia,
yakni faktor penegakan hukum, mental aparatur, kesadaran masyarakat yang
masih rendah, dan rendahnya ‘political will’ (Saleh, 2006).
3. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi.
Hal itu dapat dijelaskan dari pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi
kebutuhan. Pendapat ini tidak mutlak benar karena dalam teori kebutuhan
Maslow, sebagaimana dikutip oleh Sulistyantoro, korupsi seharusnya hanya
dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling bawah dan
logika lurusnya hanya dilakukan oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan
yang bertahan hidup. Namum saat ini korupsi dilakukan oleh orang kaya dan
berpendidikan tinggi (Sulistyantoro, 2004).
Schoorl yang menyatakan bahwa di Indonesia dibagian pertama tahun
enam puluhan, situasinya begitu merosot, sehingga untuk golongan terbesar dari
pegawai gaji sebulan hanya sekedar cukup untuk makan dua minggu. Dapat
dipahami, bahwa dengan situasi demikian para pegawai terpaksa mencari
penghasilan tambahan dan bahwa banyak diantara mereka mendapatkannya
dengan meminta uang ekstra (Hamzah, 1995 dalam Buku Pendidikan anti
korupsi, 2011).
Hal demikian diungkapkan pula oleh KPK dalam buku Tambahan
Penghasilan Bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah (KPK, 2006), bahwa sistem
penggajian kepegawaian sangat terkait degan kinerja aparatur pemerintah.
Tingkat gaji yang tidak memenuhi standar hidup minimal pegawai merupakan
masalah sulit yang harus dituntaskan penyelesaiannya. Aparatur pemerintah
yang merasa penghasilan yang diterimanya tidak sesuai dengan kontribusi yang
diberkannya dalam menjalankan tugas pokoknya tidak akan dapat secara optimal
melaksanakan tugas pokoknya.

5
Selain rendahnya gaji pegawai, banyak aspek ekonomi lain yang menjadi
penyebab terjadinya korupsi, diantaranya adalah kekuasaan pemerintah yang
dibarengi dengan faktor kesempatan bagi pegawai pemerintah untuk memenuhi
kekayaan mereka. Terkait faktor ekonomi dan terjadinya korupsi, banyak
pendapat menyatakan bahwa kemiskinan merupakan akar masalah korupsi.
Pernyataan demikian tidak benar sepenuhnya, sebab banyak korupsi yang
dilakukan oleh pemimpin Asia dan Afrika, dan mereka tidak tergolong orang
miskin. Dengan demikian korupsi bukan disebabkan oleh kemiskinan, tapi justru
sebaliknya, kemiskinan disebabkan oleh korupsi (Pope, 2003). Menurut Henry
Kissinger dalam Buku Pendidikan anti korupsi (2011), korupsi politisi membuat
sepuluh persen lainnya terlihat buruk. Dari keinginan pribadi untuk keuntungan
yang tidak adil, untuk ketidakpercayaan dalam sistem peradilan, untuk
ketidakstabilan lengkap dalam identitas bangsa, ada banyak faktor motivasi
orang kekuasaan, anggota parlemen termasuk warga biasa, untuk terlibat dalam
perilaku korup.
4. Faktor organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk
sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi
korban korupsi atau di mana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya
korupsi karena membuka peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi
(Tunggal, 2000 dalam Buku Pendidikan anti korupsi, 2011). Bilamana organisasi
tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi seseorang untuk melakukan
korupsi, maka korupsi tidak akan terjadi. Aspek-aspek penyebab terjadinya
korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputi:
(a) kurang adanya teladan dari pimpinan,
(b) tidak adanya kultur organisasi yang benar,
(c) sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai,
(d) manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.
Terkait dengan itu Lyman W. Porter (1984) dalam Buku Pendidikan anti
korupsi, (2011) menyebut lima fungsi penting dalam organizational goals: (1)
focus attention; (2) provide a source of legitimacy (3) affect the structure of the
organization (4) serve as a standard (5) provide clues about the organization.
Focus attention, dapat dijadikan oleh para anggota sebagai semacam
guideline untuk memusatkan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan anggota-
anggota dan organisasi sebagai kesatuan. Melalui tujuan organisasi, para

6
panggota dapat memiliki arah yang jelas tentang segala kegiatan dan tetang apa
yang tidak, serta apa yang harus dikerjakan dalam kerangka organisasi. Tindak
tanduk atas kegiatan dalam organisasi, oleh karenanya senantiasa berorientasi
kepada tujuan organisasi, baik disadari maupun tidak.
Dalam fungsinya sebagai dasar legitimasi atau pembenaran tujuan
organisasi dapat dijadikan oleh para anggota sebagai dasar keabsahan dan
kebenaran tindak-tindakan dan keputusan-keputusannya. Tujuan oraganisasi
juga berfungsi menyediakan pedoman-pedoman (praktis) bagi para anggotanya.
Dalam fungsinya yang demikian tujuan organisasi menghubungkan para
anggotanya dengan berbagai tata cara dalam kelompok. Ia berfungsi untuk
membantu para anggotanya menentukan cara terbaik dalam melaksanakan
tugas dan melakukan suatu tindakan.
Menurut Tim Penulis Buku Pendidikan anti korupsi (2011), dari beberapa
uraian di atas, tindak korupsi pada dasarnya bukanlah peristiwa yang berdiri
sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang bersifat kompleks.
Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa
juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk
melakukan korupsi. Dengan demikian secara garis besar penyebab korupsi
dapat dikelompokan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor internal, merupakan faktor pendorong korupsi dari dalam diri,
yang dapat dirinci menjadi:
a. Aspek Perilaku Individu
• Sifat tamak/rakus manusia.
Korupsi, bukan kejahatan kecil-kecilan karena mereka membutuhkan
makan. Korupsi adalah kejahatan orang profesional yang rakus. Sudah
berkecukupan, tapi serakah. Mempunyai hasrat besar untuk memperkaya diri.
Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri,
yaitu sifat tamak dan rakus. Maka tindakan keras tanpa kompromi, wajib
hukumnya.
• Moral yang kurang kuat
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk
melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat,
bawahannya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
• Gaya hidup yang konsumtif.

7
Kehidupan di kota-kota besar sering mendorong gaya hidup seseong
konsumtif. Perilaku konsumtif bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang
memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai
tindakan untuk memenuhi hajatnya.
b. Aspek Sosial
Perilaku korup dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum behavioris
mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang secara kuat memberikan
dorongan bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang
sudah menjadi traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan
dorongan dan bukan memberikan hukuman pada orang ketika ia
menyalahgunakan kekuasaannya.
2. Faktor eksternal, pemicu perilaku korup yang disebabkan oleh faktor
di luar diri pelaku.
a. Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi
Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang
dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini
pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk. Oleh karena
itu sikap masyarakat yang berpotensi menyuburkan tindak korupsi terjadi karena:
• Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi.
Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat
menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali
membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu
didapatkan.
• Masyarakat kurang menyadari bahwa korban utama korupsi adalah
masyarakat sendiri.
Anggapan masyarakat umum terhadap peristiwa korupsi, sosok yang
paling dirugikan adalah negara. Padahal bila negara merugi, esensinya yang
paling rugi adalah masyarakat juga, karena proses anggaran pembangunan bisa
berkurang sebagai akibat dari perbuatan korupsi.
• Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi.
Setiap perbuatan korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini
kurang disadari oleh masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa
terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak
disadari.

8
• Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan
diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan
pemberantasan.
Pada umumnya masyarakat berpandangan bahwa masalah korupsi
adalah tanggung jawab pemerintah semata. Masyarakat kurang menyadari
bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.
b. Aspek ekonomi
Pendapatan tidak mencukupi kebutuhan. Dalam rentang kehidupan ada
kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi.
Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas
diantaranya dengan melakukan korupsi.
c. Aspek Politis
Menurut Rahardjo (1983) dalam Buku Pendidikan anti korupsi (2011),
bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi
orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Kontrol
sosial tersebut dijalankan dengan menggerakkan berbagai aktivitas yang
melibatkan penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu lembaga yang
diorganisasikan secara politik, melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya.
Dengan demikian instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan
mempertahankan kekuasaan sangat potensi menyebabkan perilaku korupsi.
d. Aspek Organisasi
• Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal
mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa
memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat
korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang
sama dengan atasannya.
• Tidak adanya kultur organisasi yang benar
Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya.
Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai
situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian
perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
• Kurang memadainya sistem akuntabilitas
Institusi pemerintahan umumnya pada satu sisi belum dirumuskan
dengan jelas visi dan misi yang diembannya, dan belum dirumuskan tujuan dan

9
sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai hal tersebut.
Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi
tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah
kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki.
Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
• Kelemahan sistem pengendalian manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak
pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah
pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan
tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
• Lemahnya pengawasan
Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan
internal (pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pimpinan) dan
pengawasan bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dan masyarakat).
Pengawasan ini kurang bisa efektif karena beberapa faktor, diantaranya adanya
tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, kurangnya profesional
pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintahan
oleh pengawas sendiri.
Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia semakin menunjukkan ekskalasi
yang begitu tinggi. Oleh karenanya, penyelesaian korupsi harus diselesaikan
melalui beragam cara/pendekatan, yang dalam hal ini menggunakan istilah
pendekatan eksternal maupun internal (Santoso, 2013).
Pendekatan eksternal yang dimaksud adalah adanya unsur dari luar diri
manusia yang memiliki kekuatan ‘memaksa’ orang untuk tidak korupsi. Kekuatan
eksternal tersebut misalnya hukum, budaya dan watak masyarakat. Dengan
penegakan hukum yang kuat, baik dari aspek peraturan maupun aparat
penegak hukum, akan mengeliminir terjadinya korupsi. Demikian pula terciptanya
budaya dan watak masyarakat yang anti korupsi juga menjadikan seseorang
enggan untuk melakukan korupsi (Santoso, 2013).
Adapun kekuatan internal adalah kekuatan yang muncul dari dalam
diriindividu dan mendapat penguatan melalui pendidikan dan pembiasaan.
Pendidikan yang kuat terutama dari keluarga sangat penting untuk menanamkan
jiwa anti korupsi, diperkuat dengan pendidikan formal di sekolah maupun non-
formal di luar sekolah.

10
Implementasi Pncasila Sebagai Solusi Masalah Korupsi
Maksud dari membangun kesadaran moral anti korupsi berdasar
Pancasila adalah membangun mentalitas melalui penguatan eksternal dan
internal tersebut dalam diri masyarakat. Di perguruan tinggi penguatan
tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan kepribadian termasuk di
dalamnya pendidikan Pancasila.
Nilai-nilai Pancasila apabila betul-betul dipahami, dihayati dan diamalkan
tentu mampu menurunkan angka korupsi. Penanaman satu sila saja, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, apabila bangsa Indonesia menyadari jati dirinya
sebagai makhluk Tuhan, tentu tidak akan mudah menjatuhkan martabat dirinya
ke dalam kehinaan dengan melakukan korupsi.
Perbuatan korupsi terjadi karena hilangnya kontrol diri dan
ketidakmampuan untuk menahan diri melakukan kejahatan. Kebahagiaan
material dianggap segala-galanya dibanding kebahagiaan spiritual yang lebih
agung, mendalam dan jangka panjang. Keinginan mendapatkan kekayaan dan
kedudukan secara cepat menjadikannya nilai-nilai agama dikesampingkan.
Kesadaran manusia akan nilai ketuhanan ini, secara eksistensial akan
menempatkan manusia pada posisi yang sangat tinggi. Hal ini dapat dijelaskan
melalui hirarki eksistensial manusia, yaitu dari tingkatan yang paling rendah,
penghambaan terhadap harta (hal yang bersifat material), lebih tinggi lagi
adalah penghambaan terhadap manusia, dan yang paling tinggi adalah
penghambaan pada Tuhan. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang
paling sempurna tentu tidak akan merendahkan dirinya diperhamba oleh
harta, namun akan menyerahkan diri sebagai hamba Tuhan. Buah dari
pemahaman dan penghayatan nilai ketuhanan ini adalah kerelaan untuk diatur
Tuhan, melakukan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang-Nya.
Penanaman satu nilai tentunya tidak cukup dan memang tidak bisa dalam
konteks Pancasila, karena nilai-nilai Pancasila merupakan kesatuan organis
yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dengan demikian, akan
menjadi kekuatan moral besar manakala keseluruhan nilai Pancasila yang
meliputi nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan
dijadikan landasan moril dan diterapkan dalam seluruh kehidupan berbangsa
dan bernegara, terutama dalam pemberantasan korupsi (Santoso, 2013).
Penanaman nilai sebagaimana tersebut di atas paling efektif adalah
melalui pendidikan dan media. Pendidikan informal di keluarga harus menjadi

11
landasan utama dan kemudian didukung oleh pendidikan formal di sekolah dan
non-formal di masyarakat. Peran media juga sangat penting karena memiliki
daya jangkau dan daya pengaruh yang sangat kuat bagi masyarakat. Media
harus memiliki visi dan misi mendidik bangsa dan membangun karakter
masyarakat yang maju namun tetap berkepribadian Indonesia.

2.2 Pancasila sebagai Solusi Mengatasi Masalah Dekadensi Moral


Indonesia dikenal sebagai negara dengan orang-orang beragama dan
berkepribadian baik. Namun situasi negara Indonesia saat ini begitu
memprihatinkan. Begitu banyak masalah menimpa bangsa ini dalam bentuk
krisis yang multidimensional. Krisis ekonomi, politik, budaya, sosial, hankam,
pendidikan dan lain-lain, yang sebenarnya berhulu pada dekadensi moral.
Menurut Santoso (2013), dekadensi moral adalah penurunan atau
kemerosotoan moral pada seseorang yang diakibatkan oleh faktor-faktor
tertentu. Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia hakikatnya
bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran seseorang atau
kelompok orang sebagaimana ideologi-ideologi lain di dunia. Namun Pancasila
diangkat dari nilai-nilai adat istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai religius
yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia. Unsur-unsur
dalam Pancasila tidak lain diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia
sendiri, sehingga bangsa ini merupakan sumber utama Pancasila.
Sebagai ideologi, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila selalu
tercermin dalam sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Karena ideologi
tersebut terlahir dari bangsa kita sendiri. Namun beberapa tahun terakhir ini,
terjadi pergeseran nilai yang semakin mengkhawatirkan, sebagai contoh,
terjadinya korupsi di negara kita, perzinaan semakin marajalela di mana-mana,
bahkan yang semula dilokalisasi dengan maksud untuk membatasi masalah,
malah semakin banyak tempat yang ramai. Kasus-kasus pemerkosaan hampir
setiap hari menghiasi halaman surat kabar dan majalah serta media elektronik.
Perampokan disertai pembunuhan dan penganiayaan semakin menunjukkan
gejala yang semakin meningkat. Sementara para pelajar dan mahasiswa
seringkali melakukan tawuran antar sesama mereka yang mengakibatkan
terganggunya aktifitas belajar dan juga tidak sedikit yang tewas mengenaskan
serta cedera, penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, meningkatnya
perilaku yang merusak diri, seperti narkoba, sex bebas, dan alcohol, semakin

12
rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, dan masih banyak lagi
deretan panjang gambaran dari kerusakan moral bangsa dan akhlak masyarakat
(Mustaqimah, 2014).

Faktor-Faktor Penyebab Dekadensi Moral


Menurut Mubarok (2008), dekadensi moral saat ini sudah sampai pada
kondisi dimana terjadi pada semua level masyarakat. Anak-anak remaja hingga
orang dewasa sudah banyak yang terjangkit penyakit ini. Adapun faktor-faktor
penyebab terjadinya dekadensi moral adalah sebagai berikut : 

1. Kemajuan teknologi. Dampak globalisasi teknologi memang dapat


memberikan dampak positif tetapi tidak dapat di pungkiri lagi bahwa hal ini
juga dapat berdampak negative bagi kemerosotan moral. Perkembangan
internet dan ponsel berteknologi tinggi terkadang dampaknya sangat
berbahaya bila tidak di gunakan oleh orang yang tepat. Misalnya : Video
porno yang semakin mudah di akses di ponsel dengan internet, pelajar
sebagian yang tidak sempat belajar ketika ujian menggunakan hp untuk
internet atau menanyakan kepada temannya lewat sms. Hal tersebut
memang sangat memudahkan tapi itu melatih adanya sifat ketidakjujuran
kepada mahasiswa itu sendiri sehingga menjadi awal dari kerusakan moral. 
2. Memudarnya kualitas keimanan. Sekuat apapun iman seseorang, terkadang
mengalami naik turun. Ketika tingkat keimanan seseorang menurun, potensi
kesalahan terbuka. Hal ini sangat berbahaya bagi moral. Jika dibiarkan tentu
membuat kesalahan semakin kronis dan merusak citra individu dan institusi.
Contohya adalah jika para pejabat negeri ini memiliki landasan agama yang
baik,maka tidak akan ada yang berani melakukan korupsi atau memakan
uang rakyat.
3. Pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan dan pengaruh yang kurang baik
dari orang sekitar mampu merusak moral seseorang. Contohnya adalah
pengaruh budaya barat serta pergaulan dengan teman sebaya yang sering
mempengaruhi seseorang untuk mencoba hal buruk dan akhirnya malah
terjerumus ke dalamnya. Lingkungan adalah faktor yang paling
mempengaruhi perilaku dan watak remaja. Jika dia hidup dan berkembang di
lingkungan yang buruk, moralnya pun akan seperti itu adanya. Sebaliknya
jika ia berada di lingkungan yang baik maka ia akan menjadi baik
pula. Selain itu, yang juga harus mendapat perhatian kita dan memang

13
sangat besar pengaruhnya adalah lingkungan keluarga, tidak sedikit orang
menjadi rusak akhlaknya karena pengaruh dari keluarga yang berantakan
pula.
4. Hilangnya kejujuran. Berdasarkan laporan hasil investigasi sebuah lembaga
survei dinyatakan bahwa korupsi menyebar merata di wilayah negara ini,
dari Aceh hingga Papua. Karena itu dari tahun ke tahun posisi Indonesia
sebagai negara terkorup selalu menduduki peringkat 10 besar dunia dalam
indeks persepsi korupsi (CPI) menurut data dari Transperenscy
International. Hal tersebut menunjukkan bahwa saat ini tingkat kejujuran
menjadi semakin rendah.
5. Hilangnya Rasa Tanggung Jawab. Contoh dari kasus ini adalah masalah
seperti terjadi pada infrastruktur seperti banyaknya gedung yang hampir
roboh. Kasus lain adalah rusaknya beberapa ruas rel kereta api yang
diakibatkan besi baja rel kereta diambil oleh oknum. Kasus-kasus tersebut
merupakan cermin bahwa telah terjadi kemerosotan moral tanggung jawab
di masyarakat yang dapat berakibat fatal bagi keselamatan masyarakat
lainnya. 
6. Tidak Berpikir Jauh ke Depan Eksploitasi alam adalah salah satu bentuk
dari pola berpikir jangka pendek. Sebagai contoh adalah penggundulan
hutan. Kegiatan tersebut membuktikan bahwa oknum-oknum tersebut tidak
memikirkan jangka panjang mengenai akibat yang akan disebabkan oleh
kegiatan tersebut seperti halnya banjir, kebakaran hutan, dan lain
sebagainya.
7. Rendahnya Disiplin. Contohnya adalah peristiwa yang sering dilakukan oleh
PNS pada saat usai hari libur. Kebanyakan dari mereka akan datang
terlambat. Meskipun mereka tahu akan diberikan sanksi atas
keterlambatanya namun hal tersebut terus saja terjadi setiap tahunnya. Hal
ini merupakan cermin dari karakter bangsa yang mengabaikan budaya
disiplin. 
8. Lemahnya kontrol, baik dari diri sendiri, keluarga maupun sesama
masyarakat. Sebagai contoh, adalah anak yang nakal. Anak yang nakal
adalah salah satu akibat karena kurangnya kontrol dari orang tua dan
masyarakat. Anak yang nakal biasanya tidak malu-malu lagi melakukan
berbagai macam kemaksiatan, bahkan dilakukan di depan umum. Kita
cenderung membiarkan kemaksiatan tersebut, sehingga mereka semakin

14
berani melakukan karena tidak mempunyai lagi rasa malu dan rasa takut
baik pada manusia maupun pada Tuhan.

Implementasi Pancasila Sebagai Solusi Dekadensi Moral Bangsa


Di dalam pancasila terdapat nilai-nilai dan makna-makna yang dapat di
implementasikan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu :

1. Sila Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara garis besar


mengandung makna bahwa Negara melindungi setiap pemeluk agama
(yang tentu saja agama diakui di Indonesia) untuk menjalankan
ibadahnya sesuai dengan ajaran agamanya. Tanpa ada paksaan dari
siapa pun untuk memeluk agama, bukan mendirikan suatu agama. Tidak
memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain.
Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama. Dan
bertoleransi dalam beragama, yakni saling menghormati kebebasan
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-
masing.
2. Sila Kedua : Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Mengandung makna
bahwa setiap warga Negara mendapatkan perlakuan yang sama di mata
hukum, karena Indonesia berdasarkan atas Negara hukum. mengakui
persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara
sesama manusia. Menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya
sebagai makhluk Tuhan. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Bertingkah
laku sesuai dengan adab dan norma yang berlaku di masyarakat.
3. Sila Ketiga : Persatuan Indonesia. Mengandung makna bahwa seluruh
penduduk yang mendiami seluruh pulau yang ada di Indonesia ini
merupakan saudara, tanpa pernah membedakan suku, agama ras
bahkan adat istiadat atau kebudayaan. Penduduk Indonesia adalah satu
yakni satu bangsa Indonesia. cinta terhadap bangsa dan tanah air.
Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Rela berkorban
demi bangsa dan negara. Menumbuhkan rasa senasib dan
sepenanggungan.
4. Sila Keempat : Kerakyatan Yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Mengandung maksud bahwa setiap
pengambilan keputusan hendaknya dilakukan dengan jalan musyawarah
untuk mufakat, bukan hanya mementingkan segelintir golongan saja yang

15
pada akhirnya hanya akan menimbulkan anarkisme. tidak memaksakan
kehendak kepada orang lain. Melakukan musyawarah, artinya
mengusahakan putusan bersama secara bulat, baru sesudah itu
diadakan tindakan bersama. Mengutamakan kepentingan negara dan
masyarakat.
5. Sila Kelima : Keadilan Sosial Bagi Seluruh rakyat Indonesia. Mengandung
maksud bahwa  setiap penduduk Indonesia berhak mendapatkan
penghidupan yang layak sesuai dengan amanat UUD 1945 dalam setiap
lini kehidupan. Mengandung arti bersikap adil terhadap sesama,
menghormati dan menghargai hak-hak orang lain. Kemakmuran yang
merata bagi seluruh rakyat. Seluruh kekayaan alam dan isinya
dipergunakan bagi kepentingan bersama menurut potensi masing-
masing. Segala usaha diarahkan kepada potensi rakyat, memupuk
perwatakan dan peningkatan kualitas rakyat, sehingga kesejahteraan
tercapai secara merata. Penghidupan disini tidak hanya hak untuk hidup,
akan tetapi juga kesetaraan dalam hal mengenyam pendidikan.

Moralitas, saat ini menjadi barang yang sangat mahal karena semakin
langka orang yang masih betul-betul memegang moralitas tersebut. Namun
dapat juga dikatakan sebagai barang murah karena banyak orang menggadaikan
moralitas hanya dengan beberapa lembar uang. Ada keterputusan (missing link)
antara alinea I, II, III dengan alinea IV. Nilai-nilai yang seharusnya menjadi dasar
sekaligus tujuan negara ini telah digadaikan dengan nafsu berkuasa dan
kemewahan harta. Egoisme telah mengalahkan solidaritas dan kepedulian pada
sesama.

Apabila nilai-nilai yang terkandung dalam butir-butir pancasila di


implikasikan di dalam kehidupan sehari-hari maka tidak akan ada lagi kita
temukan di Negara kita namanya ketidak adilan, terorisme, koruptor serta
kemiskinan. Karena di dalam pancasila sudah tercemin semuanya norma-norma
yang menjadi dasar dan ideologi bangsa dan Negara. Sehingga tercapailah cita-
cita sang perumus Pancasila yaitu menjadikan pancasila menjadi jalan keluar
dalam menuntaskan permasalahan bangsa dan Negara.

Menurut Megawangi (2003), hal yang paling penting lainnya adalah


keluarga. Keluarga adalah tempat pertama dan utama di mana seseorang anak

16
dididik dan dibesarkan. Fungsi keluarga utama seperti yang telah diuraikan di
dalam resolusi majelis umum PBB adalah “keluarga sebagai wahana untuk
mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan
kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di
masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang
sehat guna tercapainya keluarga sejahtera”. Seorang pakar pendidikan, William
Bennett, mengatakan bahwa: “kesejahteraan fisik, psikis, dan pendidikan anak-
anak kita sangat tergantung pada sejahtera/tidaknya keluarga. Keluarga adalah
tempat yang paling orisinal dan efektif dari Departemen Kesehatan, Pendidikan,
dan Kesejahteraan. Apabila keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran,
semangat, keinginan untuk menjadi terbaik, dan kemampuan-kemampuan dasar,
maka akan sulit sekali bagi lembaga-lembaga lain untuk memperbaiki kegagalan-
kegagalannya”

Namun pada dasarnya moral berasal dari individu itu sendiri. Moralitas
individu lebih merupakan kesadaran tentang prinsip baik yang bersifat ke dalam
dan tertanam dalam diri manusia yang akan mempengaruhi cara berpikir dan
bertindak. Seorang yang memiliki moralitas individu yang baik akan muncul
dalam sikap dan perilaku seperti sopan, rendah hati, tidak suka menyakiti orang
lain, toleran, suka menolong, bekerja keras, rajin belajar, rajin ibadah dan lain-
lain. Moralitas ini muncul dari dalam, bukan karena dipaksa dari luar. Bahkan,
dalam situasi amoral yang terjadi di luar dirinya, seseorang yang memiliki
moralitas individu kuat akan tidak terpengaruh. Sehingga untuk menangani
masalah kemerosotan moral seseorang yang terpenting adalah berasal dari
kesadaran dari diri sendiri (Kohleberg, 1995).

2.3 Pancasila sebagai Solusi Mengatasi Masalah Kersakan Lingkungan


Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi paru-paru dunia,
salah satunya karena mempunyai wilayah hutan yang luas. Indonesia
mempunyai hutan hujan tropis dengan keanekaragaman jenis tumbuhan yang
melimpah ruah. Namun, saat ini keadaan hutan di Indonesia benar-benar
memprihatinkan. Hampir setengah dari hutan di Indonesia dibabat habis oleh
para pembalak liar. Begitu pula dengan sumber daya alam yang ada di
Indonesia, para pengusaha terlalu sibuk menguras sumber daya yang ada tanpa
memperhatikan bagaimana cara menjaga lingkungan agar tetap terjaga
kelestariannya dan tidak rusak karenanya. Akibat dari semua itu pun tidak bisa

17
diremehkan. Setiap tahunnya warga harus rela mengungsi dari rumahnya karena
hutan tak mampu lagi menahan debit air. Untuk menjaga kelestarian lingkungan
hidup tidak hanya dibutuhkan preraturan-peraturan yang bersifat tegas dari
pemerintah, akan tetapi juga membutuhkan kesadaran yang besar dari tiap-tiap
individu yang bersangkutan. Karena tanpa adanya kesadaran akan pentingnya
menjaga lingkungan hidup dari setiap individu, maka peraturan-peraturan
tersebut akan sia-sia saja.

Berbicara tentang pengelolaan lingkungan hidup tentu tidak bisa


dilepaskan dari masalah aplikasi nilai-nilai Pancasila dalam hal pengelolaan
lingkungan hidup. Sebab Pancasila ini merupakan kesatuan yang bulat dan utuh.
yang memberikan keyakinan kepada rakyat dan bangsa Indonesia, bahwa
kebahagiaan hidup akan tercapai jika didasarkan atas keselarasan, keserasian
dan keseimbangan, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha
Esa maupun manusia dengan manusia,

Aplikasi Nilai-Nilai Pancasila

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dari Sila ke I sampai Sila ke


V yang harus diaplikasikan atau dijabarkan dalam setiap kegiatan pengelolaan
lingkungan hidup adalah sebagai berikut :

Dalam Sila Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung nilai religius, antara lain :

1. Kepercayaan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta


segala sesuatu dengan sifat-sifat yang sempurna dan suci seperti Maha
Kuasa, Maha Pengasih, Maha Adil, Maha Bijaksana dan sebagainya;
Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yakni menjalankan semua
perintah- NYA dan menjauhi larangan-larangannya. Dalam memanfaatkan
semua potensi yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Pemurah manusia
harus menyadari, bahwa setiap benda dan makhluk yang ada di sekeliling
manusia merupakan amanat Tuhan yang harus dijaga dengan sebaik-
baiknya; harus dirawat agar tidak rusak dan harus memperhatikan
kepentingan orang lain dan makhluk-makhluk Tuhan yang lain.

Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengaplikasikan Sila ini dalam
kehidupan sehari-hari, misalnya menyayangi binatang; menyayangi
tumbuhtumbuhan dan merawatnya; selalu menjaga kebersihan dan sebagainya.
Dalam Islam bahkan ditekankan, bahwa Allah tidak suka pada orang-orang yang

18
membuat kerusakan di muka bumi, tetapi Allah senang terhadap orang-orang
yang selalu bertakwa dan selalu berbuat baik.

Lingkungan hidup Indonesia yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada
rakyat dan bangsa Indonesia merupakan karunia dan rahmat-NYA yang wajib
dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi
sumber dan penunjang hidup bagi rakyat dan bangsa Indonesia serta makhluk
hidup lainya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri.

Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab terkandung nilai-nilai


perikemanusiaan yang harus diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
hal ini antara lain sebagai berikut :

1. Pengakuan adanya harkat dan martabat manusia dengan segala hak dan
kewajiban asasinya.
2. Perlakuan yang adil terhdap sesama manusia, terhadap diri sendiri, alam
sekitar dan terhadap Tuhan.
3. Manusia sebagai makhluk beradab atau berbudaya yang memiliki daya
cipta, rasa, karsa dan keyakinan.

Penerapan, pengamalan/ aplikasi sila ini dalam kehidupan sehari hari


dapat diwujudkan dalam bentuk kepedulian akan hak setiap orang untuk
memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat; hak setiap orang untuk
mendapatkan informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam
pengelolaan lingkungan hidup; hak setiap orang untuk berperan dalam rangka
pengelolaan lingkungan hidup yang sesuai dengan ketentuanketentuan hukum
yang berlaku dan sebagainya (Koesnadi Hardjasoemantri, 2000).

Dalam hal ini banyak yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk
mengamalkan Sila ini, misalnya mengadakan pengendalian tingkat polusi udara
agar udara yang dihirup bisa tetap nyaman; menjaga kelestarian tumbuh-
tumbuhan yang ada di lingkungan sekitar; mengadakan gerakan penghijauan
dan sebagainya.

Nilai-nilai Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab ini ternyata


mendapat penjabaran dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1997 di atas, antara
lain dalam Pasal 5 ayat (1) sampai ayat (3); Pasal 6 ayat (1) sampai ayat (2) dan
Pasal 7 ayat (1) sampai ayat (2).

19
Dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan, bahwa setiap orang mempunyai hak
yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat; dalam ayat (2) dikatakan,
bahwa setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang
berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup; dalam ayat (3)
dinyatakan, bahwa setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Dalam Pasal 6 ayat (1) dikatakan, bahwa setiap orang berkewajiban


memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan
menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dan dalam ayat (2)
ditegaskan, bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/ atau kegiatan
berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai
pengelolaan lingkungan hidup.

Dalam Pasal 7 ayat (1) ditegaskan, bahwa masyarakat mempunyai


kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan
lingkungan hidup; dalam ayat (2) ditegaskan, bahwa ketentuan pada ayat (1) di
atas dilakukan dengan cara :

1. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan;


2. Menumbuhkembangkan kemampauan dan kepeloporan masyarakat;
3. Menumbuhkan ketanggapsegeraan masya-rakat untuk melakukan
pengwasan sosial;
4. Memberikan saran pendapat;
5. Menyampaikan informasi dan/atau menyam-paikan laporan.

Dalam Sila Persatuan Indonesia terkandung nilai persatuan bangsa,


dalam arti dalam hal-hal yang menyangkut persatuan bangsa patut diperhatikan
aspek-aspek sebagai berikut :

1. Persatuan Indonesia adalah persatuan bangsa yang mendiami wilayah


Indonesia serta wajib membela dan menjunjung tinggi (patriotisme);
2. Pengakuan terhadap kebhinekatunggalikaan suku bangsa (etnis) dan
kebudayaan bangsa (berbeda-beda namun satu jiwa) yang memberikan
arah dalam pembinaan kesatuan bangsa;
3. Cinta dan bangga akan bangsa dan Negara Indonesia (nasionalisme).

20
Aplikasi atau pengamalan sila ini bisa dilakukan dengan beberapa cara,
antara lain dengan melakukan inventarisasi tata nilai tradisional yang harus
selalu diperhitungkan dalam pengambilan kebijaksanaan dan pengendalian
pembangunan lingkungan di daerah dan mengembangkannya melalui
pendidikan dan latihan serta penerangan dan penyuluhan dalam pengenalan tata
nilai tradisional dan tata nilai agama yang mendorong perilaku manusia untuk
melindungi sumber daya dan lingkungan (Salladien dalam Burhan Bungin dan
Laely Widjajati , 1992 ).

Di beberapa daerah tidak sedikit yang mempunyai ajaran turun temurun


mewarisi nilai-nilai leluhur agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh ketentuan-ketentuan adat di daerah yang bersangkutan, misalnya
ada larangan untuk menebang pohon-pohon tertentu tanpa ijin sesepuh adat;
ada juga yang dilarang memakan binatang-bintang tertentu yang sangat
dihormati pada kehidupan masyarakat yang bersangkutan dan sebagainya.
Secara tidak langsung sebenarnya ajaran-ajaran nenek leluhur ini ikut secara
aktif melindungi kelestarian alam dan kelestarian lingkungan di daerah itu.

Dalam Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam


Permusyawaratan Perwakilan terkandung nilainilai kerakyatan. Dalam hal ini ada
beberapa hal yang harus dicermati, yakni:

1. Kedaulatan negara adalah di tangan rakyat;


2. Pimpinan kerakyatan adalah hikmat kebijaksanaan yang dilandasi akal
sehat;
3. Manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama;
4. Keputusan diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat oleh
wakilwakil rakyat.
Penerapan sila ini bisa dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan, antara
lain (Koesnadi Hardjasoemantri, 2000 : 560) :

1. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan


kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dalam
pengelolaan lingkungan hidup;

21
2. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan
kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan hidup;
3. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan
kemitraan masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam upaya
pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Dalam Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia terkandung
nilai keadilan sosial. Dalam hal ini harus diperhatikan beberapa aspek berikut,
antara lain:

1. Perlakuan yang adil di segala bidang kehidupan terutama di bidang


politik, ekonomi dan sosial budaya;
2. Perwujudan keadilan sosial itu meliputi seluruh rakyat Indonesia;
3. Keseimbangan antara hak dan kewajiban;
4. Menghormati hak milik orang lain;
5. Cita-cita masyarakat yang adil dan makmur yang merata material spiritual
bagi seluruh rakyat Indonesia;
6. Cinta akan kemajuan dan pembangunan.

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia,
yang memiliki nilai-nilai didalamnya, seperti telah dijelaskan dalam Pembukaan
UUD 1945. Pancasila dapat diaplikasikan dalam menumbuhkan rasa
kepercayaan yang tinggi terhadap hukum sebagai pencerminan adanya
kesetaraan dan pelindungan hukum terhadap berbagai perbedaan pandangan,
suku, agama, keyakinan, ras dan budaya yang disertai kualitas kejujuran yang
tinggi, saling menghargai, saling menghormati, non diskriminatif dan persamaan
di hadapan hukum. Sebagai solusi permasalahan suatu bangsa nilai-nilai yang
terkandung dalam pancasila sangat bermanfaat bagi bangsa Indonesia, sebagai
ideologi bangsa Indonesia tentunya pancasila mempunyai semacam magnet
permersatu bagi bangsa ini. Pancasila dapat menjadi solusi permasalahan suatu
bangsa dan negara (korupsi, dekadensi moral, dan kerusakan lingkungan)
terbukti bahwasannya kita dapat mengetahui berbagai cara yang menyangkut
atau berhubungan dengan Pancasila untuk manangani permasalahan suatu
bangsa misalnya dengan nilai-nilai positif yang terkandung di dalam pancasila.

3.2 Saran
Sebagai bangsa Indonesia yang baik kiranya kita dapat menyadari bahwa
Pancasila merupakan falsafah negara kita republik Indonesia. Kita harus
menjungjung tinggi dan mengamalkan sila-sila dari Pancasila tersebut dengan
setulus hati dan penuh rasa tanggung jawab. Kita harus membekali diri dengan
sikap dan kepribadian yang menjunjung tinggi nilai kebangsaan Indonesia
(Pancasila).

23

Anda mungkin juga menyukai