Anda di halaman 1dari 26

GANGGUAN PSIKOSOMATIK

BAB I

PENDAHULUAN

Hubungan antara psikis (jiwa) dan soma (badan) telah menjadi perhatian
para ahli dan para peneliti sejak dahulu. Keduanya (psikis dan soma) saling terkait
secara erat dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Kedua aspek
saling mempengaruhi yang selanjutnya tercermin dengan jelas dalam ilmu
kedokteran psikosomatik. 1

Di masa prasejarah masyarakat percaya bahwa penyakit disebabkan oleh


kekuatan roh jahat/setan. Oleh karena itu pengobatannya harus dilakukan dengan
mantera-mantera. Di masa peradaban kuno kemudian dipercaya bahwa pikiran
memiliki kekuatan besar untuk mempengaruhi badan, sehingga gangguan pada
badan tidak bisa disembuhkan tanpa mengobati kepalanya (pikiran).1

Dalam perkembangannya tidak hanya aspek fisis dan psikis saja yang
menjadi titik perhatian, tetapi juga aspek spiritual (agama) dan lingkungan
merupakan faktor yang harus diperhatikan untuk mencapai keadaan kesehatan
yang optimal. Hal ini sesuai dengan definisi WHO tentang pengertian sehat yang
meliputi kesehatan fisis, psikologis, sosial, dan spiritual. Jadi mempunyai 4
dimensi yaitu bio-psiko-sosio-spiritual.1

Dalam pengertian kedokteran psikosomatik secara luas, aspek bio-psiko-


sosio-spiritual tersebut sangat perlu dipahami untuk melakukan pendekatan dan
pengobatan terhadap pasien secara holistik (menyeluruh) dan ekliktik (rinci) yaitu
pendekatan psikosomatik.1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Gangguan psikosomatik adalah gangguan atau penyakit dengan gejala-
gejala yang menyerupai penyakit fisis dan diyakini adanya hubungan yang
erat antara suatu peristiwa psikososial tertentu dengan timbulnya gejala-gejala
tersebut. Ada juga yang memberikan batasan bahwa gangguan psikosomatik
merupakan suatu kelainan fungsional suatu alat atau sistem organ yang dapat
dinyatakan secara obyektif, misalnya adanya spasme, hipo atau hipersekresi,
perubahan konduksi saraf dan lain-lain. Keadaan ini dapat disertai adanya
organik/struktural sebagai akibat gangguan fungsional yang sudah
berlangsung lama.1
Menurut JC. Heinroth yang dimaksud dengan gangguan psikosomatik
adalah adanya gangguan psikis dan somatik yang menonjol yang tumpang
tindih. Berdasarkan pengertian dan kenyataan diatas dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan gangguan psikosomatik adalah gangguan atau
penyakit yang ditandai oleh keluhan-keluhan psikis dan somatik yang dapat
merupakan kelainan fungsional suatu organ dengan ataupun tanpa gejala
objektif dan dapat pula bersamaan dengan kelainan organik / struktural yang
berkaitan dengan stressor atau peristiwa psikososial tertentu.1
Gangguan fungsional yang ditemukan bersamaan dengan gangguan
struktural organis dapat berhubungan sebagai berikut:
A. Gangguan fungsional yang lama dapat menyebabkan atau mempengaruhi
timbulnya gangguan struktural seperti asma bronchial, hipertensi,
penyakit jantung koroner, arthritis rheumatoid dan lain-lain
B. Gangguan atau kelainan struktural dapat menyebabkan gangguan psikis
dan menimbulkan gejala-gejala gangguan fungsional seperti pada pasien
penyakit jantung, penyakit kanker, gagal ginjal dan lain-lain.
C. gangguan fungsional dan struktural organik berada bersamaan oleh sebab
yang berbeda.1
Dalam kenyataannya, di klinik jarang sekali faktor psikis/emosi seperti
frustasi, konflik, ketegangan dan sebagainya dikemukakan sebagai keluhan
utama oleh pasien. Justru keluhan –keluhan fisis yang beraneka ragam yang
selalu ditonjolkan oleh pasien. Keluhan-keluhan yang dirasakan pasien
umumnya terletak di bidang penyakit dalam seperti keluhan sitem
kardiovaskuler, sistem pernapasan, saluran cerna, saluran urogenital, dan
sebagainya.1
Keluhan-keluhan tersebut adalah manifestasi adanya ketidakseimbangan
sistem saraf otonom vegetatif, seperti sakit kepala, pusing, serasa mabuk,
cenderung untuk pingsan, banyak keringat, jantung berdebar-debar, sesak
napas, gangguan pada lambung, dan usus, diare, anoreksia, kaki dan tangan
dingin, kesemutan, merasa panas atau dingin seluruh tubuh dan banyak lagi
gejala lainnya.1
2.2 ETIOPATOLOGI
Patofisiologi timbulnya kelainan fisis yang berhubungan dengan
gangguan psikis/emosi belum seluruhnya dapat diterangkan namun sudah
terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan
pegangan. Gangguan psikis/konflik emosi yang menimbulkan gangguan
psikosomatik ternyata diikuti oleh perubahan-perubahan fisiologis dan
biokimia pada tubuh seseorang. Perubahan fisiologi ini berkaitan erat dengan
adanya gangguan pada sistem saraf autonom vegetatif, sistem endokrin dan
sistem imun.1
Patofisiologi gangguan psikosomatik dapat diterangkan melalui beberapa
teori sebagai berikut:
A. Gangguan Keseimbangan Saraf Autonom Vegetatif
Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui korteks
serebri ke sistem limbik kemudian hipotalamus dan akhirnya ke sistem saraf
autonom vegetatif. Gejala klinis yang timbul dapat berupa hipertoni
parasimpatik, ataksi vegetatif yaitu bila koordinasi antara simpatik dan
parasimpatik sudah tidak ada lagi dan amfotoni bila gejala hipertoni simpatik
dan parasimpatik terjadi silih berganti.1
B. Gangguan Konduksi Impuls Melalui Neurotransmitter
Gangguan konduksi ini disebabkan adanya kelebihan atau kekurangan
neurotransmitter di presinaps atau adanya gangguan sensitivitas pada
reseptor-reseptor postsinaps. Beberapa neurotransmitter yang telah diketahui
berupa amin biogenik antara lain noradrenalin, dopamine, dan serotonin.1
C. Hiperalgesia Alat Viseral
Meyer dan Gebhart (1994) mengemukakan konsep dasar terjadinya
gangguan fungsional pada organ visceral yaitu adanya visceral hyperalgesia.
Keadaan ini mengakibatkan respon reflex yang berlebihan pada beberapa
bagian alat visceral tadi. Konsep ini telah dibuktikan pada kasus-kasus non-
cardiac chest pain, non-ulcer dyspepsia dan irritable bowel syndrome.1
D. Gangguan Sistem Endokrin/Hormonal
Perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang disebabkan adanya stress
dapat terjadi akibat gangguan sistem hormonal. Perubahan tersebut terjadi
melalui hypothalamic-pitutary-adrenal axis (jalur hipotalamus-pituitari-
adrenal). Hormone yang berperan pada jalur ini antara lain: hormon
pertumbuhan (growth hormone), prolactin, ACTH, katekolamin.1
E. Perubahan dalam Sistem Imun
Perubahan tingkah laku dan stress selain dapat mengaktifkan sistem
endokrin melalui hypothalamus-pituitary axis (HPA) juga dapat
mempengaruhi imunitas seseorang sehingga mempermudah timbulnya infeksi
dan penyakit neoplastik. Fungsi imun menjadi terganggu karena sel-sel
imunitas merupakan immunotransmitter mengalami berbagai perubahan. 1
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi imunitas adalah sebagai berikut:
1. Kualitas dan kuantitas stress yang timbul
2. Kamampuan individu dalam mengatasi suatu stress secara efektif
3. Kualitas dan kuantitas rangsang imunitas
4. Lamanya stress
5. Latar belakang lingkungan sosio-kultural pasien
6. Faktor pasien sendiri (umur, jenis kelamin, status gizi)1
2.3 FAKTOR PENYEBAB PSIKOSOMATIK
Permusuhan, depresi, dan kecemasan dalam berbagai proporsi adalah
akar dari sebagian besar gangguan psikosomatik (Kaplan, et al, 1997).
Pada umumnya pasien dengan gangguan psikosomatik sangat meyakini
bahwa sumber sakitnya benar-benar berasal dari organ-organ dalam tubuh.
Pada praktik klinik sehari-hari, pemberi pelayanan kesehatan seringkali
dihadapkan pada permintaan pasien dan keluarganya untuk melakukan
pemeriksaan laboratorium dan pencitraan (rontgen).
Biasanya penderita datang kepada dokter dengan keluhan-keluhan, tetapi
tidak didapatkan penyakit atau diagnosis tertentu, namun selalu disertai
dengan keluhan dan masalah.
Suatu konflik yang menimbulkan ketegangan pada manusia dan bila hal
ini tidak diselasaikan dan disalurkan dengan baik maka timbullah reaksi-
reaksi yang abnormal pada jiwa yang dinamakan neurosa. Banyak sekali
sebab mengapa perkembangan nerotik sebagian besar menjadi manifes pada
badan. Mudah sukarnya timbul gangguan tergantung sebagian besar pada
kematangan kepribadian individu, tetapi juga pada berat dan lamanya stress
itu. Adapun sebab-sebabnya antara lain :
A. Penyakit organik yang dulu pernah diderita dapat menimbulkan
predisposisi untuk timbulnya gangguan psikosomatis pada bagian tubuh
yang pernah sakit. Contoh : dulu pernah sakit disentri, lalu kemudian
dalam keadaan emosi tertentu timbullah keluhan pada saluran
pencernaan.
B. Tradisi keluarga dapat mengarahkan emosi kepada fungsi tertentu.
Misalnya bila menu dan diet selalu diperhatikan, maka mungkin nanti
sering mengeluh tentang lambung.
C. Suatu emosi menjelma secara simbolik elementer menjadi suatu
gangguan badaniah tertentu. Misalnya bila seorang cemas, maka timbul
keluhan dari jantung begitu juga sebaliknya, rasa benci menimbulkan
rasa muntah.
D. Dapat ditentukan juga oleh kebiasaan, anggapan dan kepercayaan
masyarakat di sekitar. Misalnya anggapan bahwa menopous
menyebabkan wanita sakit, maka nanti ia mengeluh juga ketika
menopous. 1, 2
2.4 EPIDEMIOLOGI
Biasanya penderita datang kepada dokter dengan keluhan-keluhan, tetapi
tidak didapatkan penyakit atau diagnosis tertentu, namun selalu disertai
dengan keluhan dan masalah. Pada 239 penderita dengan gangguan
psikogenik Streckter telah menganalisis gejala yang paling sering didapati
yaitu 89% terlalu memperhatikan gejala-gejala pada badannya dan 45%
merasa kecemasan.2
2.5 JENIS GANGGUAN & GEJALA PSIKOSOMATIK
Untuk klasifikasi jenis gangguan psikosomatik, maka jenis gangguan
dibagi menurut organ yang paling sering terkena, yaitu gangguan
gastrointestinal, gangguan kardiovaskular, gangguan pernapasan, gangguan
endokrin, gangguan kulit, gangguan muskuloskeletal, psiko-onkologi.
A. Gangguan Gastrointestinal
1. Dispepsia Fungsional
Merupakan perasaan tidak enak dan sakit pada daerah epigastrium,
sering disebabkan karena kelainan fungsi lambung: sekresi asam
lambung yang berlebihan, motilitas dan tonus yang meninggi pada otot-
otot dinding lambung.3 Legarde dan Spiro (1984) mengatakan bahwa
keluhan tidak enak pada perut bagian atas yang bersifat intermitten
sedangkan pada pemeriksaan tidak didapatkan kelainan organis. Gejala-
gejala yang sering dikeluhkan pasien berupa rasa penuh pada ulu hati
sesudah makan, kembung, sering bersendawa, cepat kenyang,
anoreksia, nausea, vomitus, rasa terbakar pada daerah ulu hati dan
regurgitasi.4
Peran faktor psikososial pada dispepsia fungsional sangat penting
karena dapat menyebabkan hal-hal di bawah ini:
a. Menimbulkan perubahan fisiologi saluran cerna
b. Perubahan penyesuaian terhadap gejala-gejala yang timbul
c. Mempengaruhi karakter dan perjalanan penyakitnya
d. Mempengaruhi prognosis
Rangsangan psikis/emosi sendiri secara fisiologi dapat
mempengaruhi lambung dengan dua cara:
1) Jalur Neurogen: rangsangan konflik emosi pada korteks serebri
mempengaruhi kerja hipotalamus anterior dan selanjutnya ke
nucleus vagus, dan kemudian ke lambung
2) Jalur Neurohormonal: rangsangan pada korteks serebri diteruskan
ke hipotalamus anterior selanjutnya ke hipofisis anterior yang
mengeluarkan kortikotropin. Hormon ini merangsang korteks
adrenal dan kemudian menghasilkan hormon adrenal yang
selanjutnya merangsang produksi asam lambung.4
Pengobatan melalui pendekatan psikosomatis yaitu dengan
memperhatikan aspek-aspek fisik, psikososial, dan lingkungan.
Terhadap keluhan-keluhan dispepsia dapat diberikan pengobatan
simptomatis seperti antasida, obat-obat H2 antagonis seperti Cimetidin,
ranitidine. Obat inhibitor pompa proton seperti omeprazole,
lansoprazole. Yang tidak kalah pentingnya ialah melakukan psikoterapi
dengan beberapa edukasi dan saran agar dapat mengatasi atau
mengurangi stress dan konflik psikososial.4
2. Konstipasi Psikogenik
Buang air besar biasanya terjadi setelah timbul rangsangan di
hipotalamus yang diteruskan ke kolon dan sfingter ani melalui susunan
saraf autonom. Pada waktu tertentu kemungkinan rangsangan tersebut
tidak timbul. Hal ini dapat terjadi pada seseorang yang sedang murung,
kecewa, putus asa, dan gangguan jiwa lain. Pasien sering mempunyai
keluhan tidak dapat atau mengalami kesulitan buang air besar. Akibat
kelainan tersebut, rangsangan di hipotalamus ikut menurun sampai
tidak ada, sehingga rangsangan di usus besar pun sangat berkurang.
Bila berlangsung terus-menerus akan terjadi atoni kolon dan konstipasi
kronik yang selanjutnya disebut konstipasi psikogenik. 5
Pengelolaan pasien konstipasi psikogenik lebih menitikberatkan
pada psikoterapi. Perlu pendekatan psikomatik dengan memperdulikan
faktor-faktor psikis sebagai penyebabnya. 5
3. Diare Psikogenik
Seseorang yang sedang mengalami ketegangan jiwa, sedang emosi,
atau sedang dalam keadaan stress, hidupnya tidak teratur. Keadaan
demikian akan menyebabkan terangsangnya hipotalamus terus-menerus
secara tidak teratur. Rangsangan di hipotalamus ini akan diteruskan ke
susunan saraf autonom. Susunan saraf yang berulang kali terangsang ini
akan menyebabkan timbulnya hiperperistaltik kolon, sehingga bolus
makanan terlalu cepat dikeluarkan karena hiperperistaltik tersebut,
reabsorpsi air di kolon terganggu, dan timbullah diare. Bila terjadi
berulang kali, timbul diare kronik. Keadaan demikian disebut diare
psikogenik kronik. 5
Sifat diare psikogenik pada umumnya memperlihatkan sering
buang air besar yang bersifat lembek, hampir tidak pernah bersifat cair,
jarang disertai lender dan darah, dan tidak pernah disertai demam. Diare
yang timbul biasanya berlangsung beberapa hari, selama masih ada
gangguan psikis. 5
4. Obesitas
Pada obesitas yang hebat sering didapati faktor psikologik. Tidak
dapat diterangkan secara memuaskan dengan teori: efisiensi otot-otot
yang tinggi, “respiratory quotient” yang rendah, “specific dynamic
action” dari makanan atau penyimpanan yang abnormal oleh orang
gemuk itu. 3
Faktor psikologik, mulai dari ketegangan yang ringan smapai
dengan suatu nerosa yang hebat dapat menyebabkan makan berlebihan.
Kadang-kadang orang yang merasa tidak bahagia mencari kesenangan
dalam makanan. Mungkin bila ia mengalami banyak kekecewaan dalam
pekerjaan atau kehidupan seksual, makanan bukan saja daoat
merupakan pembelaan atau hiburan, tetapi juga dapat merupakan
substitusi. 3
Pengobatan ialah meyakinkan penderita bahwa berat badan itu
perlu diturunkan, mengatur tabiat makanan, diet yang pantas, dan
psikoterapi bila terdapat konflik; dapat juga diberikan obat-obat untuk
menekan nafsu makan beserta vitamin supaya tidak kekurangan bila
makan berkurang. 3
B. Gangguan kardiovaskuler
1. Hipertensi
Hipertensi oleh banyak peneliti dianggap sebagai suatu penyakit
yang multifaktorial. Selain faktor psikis yang menstimulasi efek
simpatikotonik, pengaruh lingkungan sekitar dan sosio-kultural juga
ikut berperan. Faktor-faktor psikis situasional yang menyebabkan
kenaikan tekanan darah, merupakan model outlet yang aman sebagai
reaksi normal fisiologis. 6
Menurut Groen, mekanisme utama perkembanghan menjadi
hipertensi yaitu perubahan suatu reaksi fisiologis yang dihubungkan
dengan behavior readiness, oleh suatu reaksi neuroviseral; sebagai
ganti aktivitas neuromuscular yang kuat dan volume semenit jantung
yang meningkat, serta resistensi pembuluh darah yang meningkat
pula.6
Karena sifat etiologi yang multifaktorial, kebanyakan pasien
membutuhkan terapi kombinasi. Terapi dengan obat seringkali perlu
diberikan, namun efek samping harus diperhatikan. Reserpine,
misalnya, juga mempunyai efek samping depresif. Latihan autogen
(autogenic training) sebagai latihan rileks pada hakikatnya sangat
baik, namun seringkali menambah rasa takut dan kegelisahan, karena
aktivitas defense yang menutup-nutupi rasa takut dihilangka, sehingga
konflik internal malah dialami lebih jelas. 6
2. Gangguan Irama Jantung
Mekanisme regulasi jantung mudah bereaksi terhadap rangsangan
pikis dan penilaiannya dalam hal khayalan dan pengalaman
merupakan faktor-faktor yang menentukan dalam terjadinya penyakit.
Faktor-faktor emosional dapat bekerja dengan 3 cara:
a. Afek seperti rasa takut, sedih, gembira atau ketegangan jiwa
mempengaruhi fungsi somatik secara tidak khas, emosi agresif
mempercepat frekuensi jantung. Pengalaman depresif menekan dan
memperlambatnya.
b. Bila dalam keadaan normal, jantung berdenyut teratur, maka
persepsi gangguan irama dapat menimbulkan kecemasan atau
ketidakseimbangan vegetatif.5
Faktor-faktor psikis berpengaruh pada timbulnya gangguan
frekuensi denyut dan disaritmia jantung. Pada gangguan frekuensi
jantung, pengaruh fisis, toksik, infeksi dan degenerasi, juga faktor
piskis.6
Aritmia psikogenik tanpa adanya gangguan struktural pada
umumnya tidak akan menyebabkan kematian, namun dapat
memberikan impilkasi yang buruk terhadap kondisi psikis pasien.
Maka psikoterapi suportif dan pemberian ansiolitik dapat mencegah
perburukan kondisi psikis dan menghilangkan ritma.6
C. Gangguan Pernapasan
1. Sindrom Hiperventilasi
Sindrom hiperventilasi didefinisikan sebagai suatu keadaan
ventilasi berlebihan yang menyebabkan perubahan hemodinamik dan
kimia sehingga menimbulkan berbagai gejala. Mekanisme yang
mendasari hingga terjadi sindrom hiperventilasi belum jelas diketahui.7
Menurut Arautigam (1973) secara psikologis penyebab yang
mencetuskan penyakit ini ialah perubahan pernapasan, yang ia namakan
“sindrom pernapasan nervous” yang biasanya disebabkan oleh faktor
emosional/stress psikis. Terapat 2 jenis pernapasan yang dapat
ditemukan, yaitu:7
a. Pernapasan yang tidak teratur yang dianggap sebagai pengutaraan
rasa takut yang khas.
b. Pernapasan yang dangkal yang diselingi dengan penarikan napas
dalam sebagai pengutaraan situasi pribadi yang bersifat keletihan
dan pasrah, yaitu pertanda tujuan tidak dapat dicapai kendati sudah
diusahakan.
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada pasien adalah napas
sesak, napas pendek, dada tertekan, nyeri pada epigastrium, pusing,
sakit kepala, mulut dan tenggorokan kering, disfagi, dan rasa penuh
pada lambung. Penyebab paling sering untuk hiperventilasi ialah emosi
rasa takut dan kegelisahan. 7
Terapi untuk pasien dengan sindrom hiperventilasi:
a. Pasien disuruh bernapas (inspirasi dan ekspirasi) ke dalam sungkup
kantong plastik bila didapatkan tanda alkalosis agar PCO2 dalam
darah naik.
b. Suntikkan 10 cc larutan kalsium glukonas 10% intravena
mempunyai efek placebo. Pasien merasa hangat dan enak, tetapi
kadar ion kalsium tidak akan naik.
c. Belajar bernapas torako-abdominal dengan menggerakkan
diafragma.
d. Psikoterapi: membantu menyelesaikan problem-problem emosional
pada pasien, termasuk melakukan terapi pelaku (Cogntive
Behavioral Teraphy)
e. Karena hiperventilasi sering merupakan bagian dari serangan panik
(panic disorder), maka pemberian obat yang tepat adalah golongan
benzodizepin atau golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake
Inhibitor)7
2. Asma Bronkial
Asma merupakan suatu gangguan karena hiperaktivitas yang
diikuti bronkokontriksi yang reversible serta adanya reaksi inflamasi
kronik serta kerusakan epitel. Dalam perkembangannya, pathogenesis
asam dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu faktor genetik, permusuhan,
kejengkelan (atopi dan hiperaktivitas bronkus pada keluarga), faktor
lingkungan, allergen seperti debu rumah, serbuk sari bunga, virus dan
bakteri, polusi udara, faktor individu, adanya stressor dan kemampuan
untuk mengatasi asma.8
Beberapa keadaan yang merupakan stressor psikososial, sebagai
berikut:
a. Pengalaman luar biasa: permulaan masuk sekolah, ujian, pertama
masuk kerja, menderita penyakit, berpisah dengan orang tua, dll
b. Kejadian-kejadian traumatik: perkelahian/pertentangan dengan
orang tua, permusuhan, kejengkelan dalam kerja.
c. Pengalaman yang menyedihkan: kematian orang tua, atau anak,
kehilangan harta benda, dan musibah lainnya.8
Terhadap gejala asma secara fisik diberikan pengobatan standar
yang sudah baku sesuai dengan tingkat beratnya penyakit
(bronkodilator, kortikosteroid). Sedangkan untuk gangguan
psikosomatik seperti adanya anxietas atau depresi secara bersamaan
dilakukan psikoterapi dan psikoedukasi serta psiokfarmaka yang sesuai.
Pada gangguan anxietas yang menyertai atau mencetuskan asma dapat
diberikan golongan benzodiazepine seperti alprazolam, klobazam. Bila
dijumpai adanya depresi, maka dapat diberikan antidepresan yang aman
misalnya golongan SSRI seperti sertraline, fluoksetin.8
Cara pengobatan psikosomatik yang khusus pada asma memang
belum ada standar, namun pada umumnya pengobatan meliputi
psikoterapi superfisial, edukasi, instruksi.
a. Psikoterapi individual dan psikoterapi kelompok. Mereka diberikan
edukasi mengenai perjalanan penyakit asma, mekanisme timbul,
faktor resiko, pengobatan dan pencegahan. Psikoterapi ini diberikan
untuk meningkatkan daya adaptasi dan kemampuan untuk
menyelesaikan atau menghilangkan stressor psikososial yang dialami
pasien.3,8
b. Instruksi tentang penatalaksanaan mandiri dengan monitoring PEFR
(Peak Expiratory Flow Rate) di rumah.
c. Autogenik training yaitu latihan untuk dapat bersantai dengan
memahami bahwa faktor psikis dapat menimbulkan reaksi
bronkospasme.
d. Cara sugestif yaitu mengalihkan atau mencurahkan perhatian diri
sendiri kepada hal-hal yang bermanfaat.
e. Psikoterapi analisis yang sederhana.8
D. Gangguan endokrin
1. Kelainan Tiroid
Pasien tirotoksikosis umumnya datang dengan keluhan yang
dianggap bersifat psikis belaka. Misalnya rasa cemas, mudah marah,
paranoid, rasa seperti leher tercekik atau terikat, rasa takut tanpa sebab
yang jelas, insomnia dengan mimpi buruk, dan gugup. Keluhan ini sering
diikuti dengan hiperaktivitas saraf otonom seperti keringat banyak, mulut
kering, pupil lebar, kulit pucat, nadi cepat, dan sebagainya.9
Pengobatan ialah usaha untuk mengendalikan metabolism dengan
obat-obat dan bila perlu dioperasi. Transquilaizer dapat sangat
membantu. Psikoterapi perlu, terutama pada penderita dengan konflik
yang mendalam dan yang tidak dapat menyesuaikan diri.3
2. Diabetes Melitus
Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit meabolik yang
ditandai dengan adanya defek pada sekresi insulin, kerja insulin, atau
keduanya. Hiperglikemia kronik pada pasien diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan berbagai
organ seperti mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah serta
mempengaruhi kondisi psikis. Gangguan psikis yang biasa terjadi pada
penderita diabetes melitus adalah depresi. 10
Depresi terjadi akibat faktor psikologis dan psikososial yang
berhubungan dengan penyakit atau terapinya. Depresi pada diabetes
terjadi akibat meningkatnya tekanan pasien yang dialami dari
penyakitnya yang kronik. Hubungan ketidakmampuan adaptasi dengan
gejala depresi ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:10
a. Pandangan terhadap penyakit yang diderita.
b. Dukungan sosial yang kurang baik
c. Coping strategy, mencegah pikiran untuk lari dari kenyataan dan
adaptasi psikologis menjadi lebih baik sehingga mengurangi
kemungkinan gejala depresi.
Pengobatan depresi dan diabetes dilakukan bersama-sama dengan
psikoterapi, psikoedukasi, psikofarmaka secara serentak. Cognitive
Behavioral Theraphy (CBT) sangat bermanfaat diberikan pada pasien
depresi dengan diabetes mellitus dan dikombinasikan dengan edukasi
diabetes. Teknik CBT tersebut adalah:10
a. Merubah perilaku dengan mengembalikan aktivitas fisik dan
kehidupan sosial yang menyenangkan pasien.
b. Upaya pemecahan masalah atau stress yang dihadapi.
c. Teknik kognitif dengan mengidentifikasi adanya maldaptasi dan
menggantinya dengan pandangan yang akurat, adaptif dan akurat.
Beberapa golongan obat antidepresan yang biasa diberikan untuk
penderita diabetes melitus adalah golongan SSRI (Selective Serotonin
Reuptake Inhibitor) dapat mengurangi resistensi insulin sehingga gula
darah dapat lebih terkontrol. Beberapa golongan obat SSRI seperti
fluoksetin memiliki efek menurunkan berat badan sehingga baik
diberikan pada penderita diabetes yang gemuk. Efek samping yang perlu
diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya hipoglikemia, disfungsi
seksual dan pasien yang disertai gangguan ginjal.10
E. Gangguan muskuloskeletal
Arthritis Reumatoid
Arthritis rheumatoid adalah penyakit inflamasi kronik dengan
pathogenesis autoimun dan etiologi yang multikompleks. Berbagai faktor
yang dapat berperan penting seperti immunogenetik, kelamin, umur dan
stress. Hubungan stress dengan AR masih belum jelas, meskipun pada
berbagai penelitian terdapat perkembangan bahwa faktor stressor
lingkungan, psikologis, dan biologis menjadi faktor predisposisi.11
Sebelum timbulnya penyakit AR, pasien menunjukkan ciri-ciri
psikodinamik dan kepribadian yang khas, yaitu:
a. Ketelitian yang berlebihan, perfeksionisme, kepatuhan, dengan
kecenderungan menekan semua dorongan agresi dan permusuhan.
b. Ciri mesokistis-depresif dengan tendensi pengorbanan diri, sifat
menolong yang berlebihan, bermoral tinggi dan cenderung
depresif.
c. Kebutuhan aktivitas badaniah seperti olahraga, kerja di rumah dan
berkebun sebagai penyaluran agresi.3,11
Kepribadian, stressor psikologis, ancaman terserang AR,
kemampuan menanggulangi nyeri dan menanggulangi ketidakmampuan
serta dukungan sosial telah terbukti berhubungan dengan derajat nyeri,
disabilitas dan aktivitas penyakit AR. Faktor psikososial seperti stress
psikologis, penyesuaian, depresi, keyakinan dalam kemampuan
menanggulangi penyakit dan dukungan sosial berperan pada keadaan
sakit dengan mempengaruhi pelepasan hormone stress, yang selanjutnya
berpengaruh pada mekanisme dalam tubuh termasuk kerentanan dan
kekambuhan penyakit AR.11
F. Gangguan Urologi
Irritable bladder, yang bukan disebabkan oleh kelainan organik
terutama pada wanita hingga klimakterium, jarang pada pria. Secara
psikofisiologis yang mendasari terjadinya irritable bladder ialah
sensibilitas fungsi kandung kemih yang berlebihan atau ambang rangsang
yang rendah yang bersifat psikovegetatif, yang dapat ditemukan dengan
pengukuran tegangan intravesikal. Dengan demikian perubahan-
perubahan pengisian kandung kemih yang berlebihan. Secara
psikodinamik hal ini dapat terjadi pada situasi konflik seksual, rasa malu
dan takut pada percobaan koitus, rasa segan terhadap pasangan.12
Beberapa contoh lain gangguan psikosomatik saluran kemih:
a. Fobia mengenai buang air kecil yang tak diinginkan
b. Polakisuria tanpa ada kelainan organ
c. Retensio urin tidak organik yang sepintas lalu atau residivans
d. Bercampur aduknya fungsi berkemih dengan fungsi seksual 12
2.6 DIAGNOSIS
Menegakkan diagnosis pasien dengan gangguan psikosomatik tidak
berbeda dengan menegakkan diagnosis penyakit lain pada umumnya yaitu
dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan laboratorium atau
pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan. Pada umumnya pasien dengan
gangguan psikosomatik datang ke dokter dengan keluhan somatiknya. Jarang
sekali keluhan psikis atau konfliknya dikeluhkan secara spontan. Keluhan
psikis yang menjadi stressornya baru akan muncul setelah dilakukan
anamnesis yang baik dan mendalam. Keluhan somatisnya sangat beraneka
ragam dan sering berpindah-pindah dari satu sistem organ ke organ lain.1
Gangguan psikosomatik pada orang yang tidak stabil, dapat disebabkan
bukan saja oleh stress yang luar biasa, tetapi juga oleh kejadian-kejadian dan
keadaan sehari-hari, umpamanya rumah tangga yang sibuk, terlalu banyak
orang di dalam satu rumah, suami atau isteri yang tidak dapat menyesuaikan
diri atau tidak mengindahkan keinginan satu sama lain.2,3
Pada umumnya penderita dengan gangguan psikosomatis dapat dibagi
menjadi 3 golongan, yaitu:
A. Terdapat keluhan tentang fisik, akan tetapi tidak terdapat penyakit fisik
dan kelainan organik yang dapat menyebabkan keluhan tersebut
B. Terdapat kelainan organik primer yang penyebabnya adalah faktor
psikologis
C. Terdapat kelainan organik tetapi terdapat juga gejala lain yang timbul
bukan sebab penyakit organik itu, akan tetapi karena faktor psikologis
Faktor psikologis ini mungkin timbul akibat adanya penyakit organik
seperti kecemasan. 3Penting ditanyakan beberapa pertanyaan berikut dalam
proses anamnesis:
1. Faktor sosial dan ekonomi: kepuasan dalam pekerjaan; kesukaran
ekonomi; pekerjaan yang tidak tentu; hubungan dengan keluarga dan
orang lain; minatnya; pekerjaan yang terburu-buru; kurang terbiasa
2. Faktor perkawinan: perselisihan, perceraian, dan kekecewaan dalam
hubungan sexual; anak-anak yang nakal dan menyusahkan.
3. Faktor kesehatan: penyakit-penyakit yang menahun; pernah masuk
rumah sakit; pernah dioperasi; adiksi terhadap obat-obatan,
tembakau, dan lain-lain
4. Faktor psikologik: stress psikologik; keadaan jiwa waktu operasi;
status dalam keluarga.2, 3
Untuk menentukan gangguan fungsional, maka hal ini penting sekali.
Bila kita sudah menentukan bahwa penderita itu mempunyai gangguan
fungsional, maka selanjutnya kita harus menetapkan apakah sebabnya itu
gangguan psikogenik atau non-psikogenik. Apabila kita sudah menduga
bahwa hal itu merupakan gangguan psikogenik, sebaiknya harus dicari juga
korelasi antara gejala-gejala dan stress psikologik.3
Lewis memberikan beberapa kriteria untuk diagnosa gangguan
psikomatik:
1. Gejala-gejala yang didapat mempunyai permulaan, akibat, manifestasi
dan jalannya yang sangat mencurigakan akan adanya gangguan
psikosomatik
2. Dengan pemeriksaan fisis dan laboratorium tidak didapati penyakit
organik yang dapat menyebabkan gejala-gejala (atau sebagian gejal-
gejala)
3. Adanya suatu stress atau konflik yang menyukarkan penderita
4. Reaksi penderita terhadap stress ini banyak hubungannya dengan gejala-
gejala yang dikeluhkannya, yaitu bahwa gejala-gejala itu secara
psikosomatik merupakan manifestasi badaniah dari konflik atau
penyelesaian masalah yang tidak memuaskan
5. Terjadinya stress itu harus mempunyai korelasi antara waktu dan
timbulnya keluhan, bertambah beratnya atau/dan menahunnya penyakit
yang ada.3
Tidak semua kriteria harus ada, tetapi apabila terdapat beberapa kriteria
yang sesuai sudah merupakan indikasi kearah gangguan psikosomatik. 1
Sedangkan menurut sedangkan menurut kriteria diagnostik dari revisi
keempat dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-
IV-TR) adalah sebagai berikut:
A. Terdapat keadaan medis umum (diberi kode pada aksis III)
B. Faktor psikologis memengaruhi keadaan medis secara berlawanan dalam
satu atau lebih cara:
1) Faktor memengaruhi perjalanan keadaan medis umum seperti yang
ditunjukkan oleh hubungan waktu yang erat antara faktor psikologis
dan timbulnya atau memburuknya, atau tertundanya pemulihan
keadaan medis umum
2) Faktor mengganggu terapi keadaan medis umum
3) Faktor merupakan risiko kesehatan tambahan untuk individu
4) Respon fisiologis terkait-stres mencetuskan atau memperburuk
gejala keadaan medis umum

Pilih nama berdasarkan sifat faktor psikologis (jika ada lebih dari
satu faktor, tunjukkan yang paling menonjol):

Gangguan jiwa yang memengaruhi ... (tunjukkan keadaan medis


umum); contoh: gangguan aksis I seperti gangguan depresif berat menunda
pemulihan dari infark miokardium.
Gejala psikologis yang memengaruhi...(tunjukkan keadaan
medis umum); contoh: gejala depresif menunda pemulihan setelah
pembedahan; asma yang diperburuk ansietas.

Ciri kepribadian atau gaya koping yang memengaruhi...


(tunjukkan keadaan medis umum); contoh: penyangkalan patologis
kebutuhan operasi pada pasien kanker; perilaku tertekan dan bermusuhan
yang turut menyebabkan penyakit kardiovaskuler.

Perilaku kesehatan maladaptif yang memengaruhi...(tunjukkan


keadaan medis umum); contoh: makan berlebihan; tidak ada olahraga; seks
tidak aman.

Respon fisiologis terkait-stres yang memengaruhi...(tunjukkan


keadaan medis umum); contoh: perburukan ulcus karena stress, hipertensi,
aritmia, atau tension headache.

Faktor psikologis lain atau tidak terinci yang memengaruhi...


(tunjukkan keadaan medis umum); contoh: faktor interpersonal, budaya,
atau religius.

2.7 PENATALAKSANAAN
Di amerika serikat 1/3 penderita yang datang berobat pada dokter umum
tidak mempunyai gangguan organik, 1/3 yang lain mempunyai gangguan
organik tetapi keluhannya berlebihan.2,3
Dengan kesabaran dan simpati banyak penderita dengan gangguan
psikosomatik dapat ditolong. kita dapat menerangkan kepada penderita tidak
dapat sesuatu dalam tubuhnya yang rusak atau yang kurang, tidak terdapat
infeksi dan kanker, hanya anggota tubuhnya bekerja tidak teratur. untuk
menerangkan bagaimana emosi dapat mengganggu tubuh dapat diambil
contoh sehari-hari seperti orang yang malu mukanya akan menjadi merah,
orang yang takut menjadi bergemetar dan pucat. dapat dipakai perumpamaan
menurut pendidikan dan pengetahuan penderita.2,3
Setelah dibuat diagnosis gangguan psikosomatis, terdapat 3 fase terapi
yaitu: 3
A. Fase 1 : fase pemeriksaan dan pemberian ketenangan, penderita dan dokter
bersama-sama berusaha dan saling membantu melalui anamnesis yang
baik, pemeriksaan fisik yang teliti dan tes laboratorium bila perlu.
diusahakan membuktikan bahwa tidak terdapat penyakit organik dan
dijelaskan kepada penderita tentang mekanisme fisiologik serta keterangan
tentang gejala-gejala. berikan kesempatan kepada penderita untuk
bertanya.
B. Fase 2 : merupakan fase pendidikan, fase ini dokter lebih banyak bicara.
untuk memberi keterangan tentang keluhan, meyakinkan serta
menenangkan pasien, dapat dikatakan antara lain :
1. Bahwa gejala-gejalanya benar ada, dapat dimengerti kalau ia mengeluh
dan menderita
2. Bahwa gejala-gejalanya sering terdapat juga pada orang lain yang sudah
kita obati
3. Bahwa tidak ada kanker atau penyakit berbahaya lain
4. Bahwa gejala-gejala itu timbul karena ketegangan sehari-hari dan
gangguan emosional
5. Bahwa gejala itu tidak akan segera hilang, diperlukan beberapa waktu,
tetapi akan hilang atau berkurang bila diobati dengan baik
6. Bahwa kita semua mengalami ketegangan, kekecewaan, godaan dan
kecemasan
7. Bahwa kelelahan fisik atau jiwa dapat mengurangi daya tahan tubuh
sehingga timbul gejala
8. Bahwa kita apabila terlalu terburu-buru akan timbul ketegangan jiwa
9. Bahwa tubuh kita bereaksi terhadap ketegangan yang terlalu berat.
Sering gejala merupakan pekerjaan alat tubuh yang bekerja berlebihan
10. Bahwa ini akan lebih baik bila pasien mengerti akan penyebab gejala.2,3
C. Fase 3 : ialah fase keinsafan intelektual dan emosional. Pada fase ini
pasien yang lebih banyak bicara. Terjadi pengakuan, katarsis dan
wawancara psikiatrik. Hal ini harus berjalan sangat pribadi, rahasia, tanpa
sering terganggu dan dalam suasana penuh kepercayaaan dan pengertian.
Dokter menjelaskan saja agar pembicaraan berjalan dengan baik, tidak
terlalu menyimpang dari pokok pembicaraan. Terdapat 3 golongan
senyawa psikofarmaka.3
1. Obat tidur (hipnotik)
Diberikan dalam jangka waktu pendek 2-4 minggu. Obat yang
dianjurkan adalah senyawa benzodiazepine berkhasiat pendek seperti
nitrazepam, flurazepam, dan triazolam. Pada insomnia dengan
kegelisahan dapat diberikan senyawa fenotiazin seperti tioridazin,
prometazin.3,13
2. Obat penenang minor dan mayor
a. Obat penenang minor
Diazepam merupakan obat yang efektif yang dapat digunakan pada
anxietas, agitasi, spasme otot, delirium, epilepsi. Benzodiazepine
hanya diberikan pada anxietas hebat maksimal 2 bulan sebelum
dicoba dihentikan secara perlahan (tapering off) untuk menghindari
toleransi dan adiksi.3,13
b. Obat penenang mayor
Yang paling sering digunakan adalah senyawa fenotiazin dan
butirofenon seperti clorpromazin, tioridazin dan haloperidol.
Diberikan hanya pada kasus gejala agitasi , kegelisahan yang
berlebihan, agresi dan kegaduhan.3,13
3. Antidepresan
Biasa digunakan adalah senyawa trisiklik dan tetrasiklik seperti
amitriptilin, imipramin, mianserin dan maprotilin yang dimulai dengan
dosis kecil yang kemudian ditingkatkan. Saat ini, golongan trisiklik
sudah jarang digunakan karena efek samping yang banyak akibat kerja
anti kolinergiknya. Antidepresan baru dengan efek samping yang
minimal adalah golongan:
a. SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor): sertalin, paroksetin,
fluoksetin, fluvoksamin
b. SSRE (Selective Serotonin Reuptake Enhancer): Tianeptin
c. SNRI (Serotonin Nor Epinephrin Reuptake Inhibitor): Venlafaksin
d. RIMA (Reversible Inhibitory Monoamine Oxidose type A):
Moklobemid
e. NaSSA (Nor-adrenalin ang Serotonin Anti Depressant):
Mitrazapin
f. Atipik: Trazodon, Nefazodon 13
BAB III

KESIMPULAN

1. Gangguan psikosomatik merupakan gangguan yang melibatkan antara


pikiran dan tubuh. Hal ini berarti bahwa adanya faktor psikologis yang
mempengaruhi kondisi medis.
2. Komponen emosional memainkan peranan penting pada gangguan
psikosomatik.
3. Manifestasi penyakit fisik juga sering diturunkan dan kepribadian
seseorang.
4. Gangguan psikosomatik dapat rnelibatkan berbagai sistem organ di
dalam tubuh sehingga memerlukan penanganan secara terintegrasi dari
ahli medis dan ahli psikiatri.
5. Pengobatan gangguan psikosomatik dari sudut pandang psikiatrik adalah
tugas yang sulit.
6. Tujuan terapi haruslah mengerti motivasi dan mekanisme gangguan
fungsi dan untuk membantu pasien mengerti sifat penyakitnya.
7. Tilikan tersebut harus menghasilkan pola perilaku yang berubah dan
lebih sehat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mudjaddid, E. Shatri, Hamzah. Gangguan Psikosomatik: Gambaran


Umum dan Patofisiologinya. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p896-8
2. Syarifudin T. et al. Faktor Psikologis yang Berpengaruh terhadap
Kondisi Fisik. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Ibnu Sina. FK USU.
Desember 2017. vol: 24 (4). p: 35-42.
3. Maramis, W.F. Gangguan Psikosomatik. Dalam Catatan Ilmu
Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press. p339-72
4. Elvira, Sylvia D., Hadisukanto, Gitayanti. Faktor Psikologik Yang
Mempengaruhi Kondisi Medis (d/h Gangguan Psikosomatik). Dalam
Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.2010.p287-93
5. Mudjaddid, E. Dispepsia Fungsional. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p906
6. Hadi, Sujeno. Psikosomatik Pada Saluran Cerna Bagian Bawah. Dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat
Penerbitan FKUI. 2006. p907-9
7. Halim, S. Budi, dkk. Aspek Psikosomatik Hipertensi. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI.
2006. p913-4
8. Putranto, Rudi. Mudjaddid, E. shatri, Hamzah. Sindrom Hiperventilasi.
Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat
Penerbitan FKUI. 2006. p920-1
9. Mudjaddid, E. Aspek Psikosomatik pada Asma Brokhial. Dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan
FKUI. 2006. p922-3
10. Djokomoeljanto, R. Psikosomatik Pada Kelainan Tirod. Dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan
FKUI. 2006. p937-8
11. Mudjaddid, E. Putranto, Rudi. Aspek Pikosomatik Pasien Diabetes
Melitus. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta:
Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p939-40
12. Sukatman, D. Budihalim, S. Putranto, Rudi. Gangguan Psikosomatik
Pada Penyakit Reumatik dan Sistem Muskuloskeletal. Dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI. Jakarta: Pusat Penerbitan
FKUI. 2006. p924-5
13. Budihalim, S. Sukatman, D. Mudjaddid, E. Gangguan Psikosomatik
Saluran Kemih. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI.
Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p953
14. Mudjaddid, E. Budihalim, S. Sukatman, D. Psikofarmaka dan
Psikosomatik. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II FK UI.
Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. 2006. p901-2

Anda mungkin juga menyukai