Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi segenap manusia yang mengakui


kebenarannya. Nabi Muhammad Saw sebagai nabi terakhir yang dibekali dengan
wahyu dalam bentuk Al-Qur`an, menyampaikan dan menyebarluaskan Al-Qur`an
kepada sahabat-sahabatnya, terus kepada generasi-generasi selanjutnya sampai
kemapa umat dalam konteks kekinian. Sejak Al-Qur`an diturunkan, sampai saat
ini kita dapati dalam cetakan-cetakan yang sangat teratur dan sistematis, begitu
juga dengan penulisannya dalam ukururan besar dan kecil, tentu tidak terjadi
dengan proses yang sederhana. Namun sebelumnya membutuhkan kerja keras
para sahabat dan generasi selanjutnya, sehingga lahirlah Al-Qur`an dalam bentuk
mushaf seperti sekarang ini.

Di samping itu berbagai cabang ilmu, yang masing-masing memiliki


karakteristik yang berbeda satu sama lainnya, muncul sebagai bagian yang tak
terpisahkan dengan sejarah Al-Qur`an secara umum. Seiring dengan perjalanan
waktu dalam kondisi sekarang, sebagai pemerhati dan peduli terhadap eksistensi
Al-Qur`an, sepatutnya memahami esensi Al-Qur`an dan ilmu yang berkaitan.
Untuk itulah penulis dalam makalah ini mencoba membahas tentang Al-Qur`an,
yang secara spesifik menguraikan tentang konsepsi ‘ulumul Qur`an, sejarah turun
Al-Qur`an dan pemeliharaannya. Dengan menelaah berbagai referensi
refresentatif diharapkan memberikan pemahaman dan esensi dari tema yang
dibahas, sehingga memberi nilai kebermanfaatan bagi semua.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wahyu

1. Pengertian Wahyu Secara Etimologis

Menurut bahasa (lughah), kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy
yang memiliki beberapa arti, di antaranya; suara, tulisan isyarat, bisikan,
paham dan juga api. Tetapi ada juga yang mengartikan bisikan yang
tersembunyi dan cepat. Dengan demikian, pengertian wahyu secara etimologis
adalah penyampaian sabda tuhan kepada manusia pilihan-Nya tanpa diketahui
orang lain, agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan sebagai
pegangan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak.

2. Pengertian Wahyu Secara Terminologis

Pemberitahuan Allah SWT kepada hambanya yang terpilih mengenai


segala sesuatu yang Ia kehendaki untuk dikemukakannya, baik berupa
petunjuk atau ilmu, namun penyampaiannya secara rahasia dan tersembunyi
serta tidak terjadi pada manusia biasa. Sedang wahyu Allah kepada para nabi-
Nya secara syar’i definisikan sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada
seorang nabi. Definisi ini menggunakan pengertian maf’ul, yaitu almuha
(yang diwahyukan).

Ustad Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu di dalam Risalatut


Tauhid adalah pengetahuan yang didapati oleh seseorang dari dalam dirinya
dengan disertai keyakinan bahawa pengetahuan itu datang dari Allah, melalui
perantara ataupun tidak. Yang pertama melalui suara yang menjelma dalam
telinganya atau tanpa suara sama sekali. Beda antara wahyu dengan ilham
adalah bahwa ilham itu intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk
mengikuti apa yang diminta, tanpa mengetahui dari mana datangnya. Hal
seperti itu serupa dengan perasaan lapar, haus, sedih, dan senang.

2
Definisi di atas adalah definisi wahyu dengan pengertian masdar. Bagian
awal definisi ini mengesankan adanya kemiripan antara wahyu dengan suara
hati atau kasyaf, tetapi yang membedakannya dengan ilham di akhir definisi
meniadakan hal ini. Sebagaimana pengakuan Al-Qur’an bahwa wahyu
merupakan sebuah hakikat dan kebenaran dan dalam beberapa ayat Al-Qur’an
hal tersebut dinisbahkan kepada Nabi Saw. Akan tetapi, Al-Qur’an
menjelaskan esensi wahyu hanya sekedar mengisyaratkan saja dan tidak
memaparkan sedetail mungkin. Al-Qur’an menyatakan: “Dan sesungguhnya
al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, Dia dibawa
turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu
menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.”
(QS. Asy-Syu’araa’: 192-194).

B. Sejarah Turunnya Wahyu

Masyarakat Indonesia sudah menetapkan 17 Ramadhan, yakni peringatan


Nuzulul Qur`an sebagai hari besar Islam. Ini menjadi peringatan ulang tahun
turunnya Al-Qur`an, dan peringatan ini sudah menjadi ketetapan nasional yang
selalu diperingati dan menjadi hari libur dalam kalender nasional. Ahli sejarah
dalam hal ini menjelaskan tentang persisnya tanggal awal mula turunnya Al-
Qur`an terdapat keberagaman pandangan.

Abu Ishak menyatakan bahwa Al-Qur`an pertama turun tepatnya 17


Ramadhan. Ini berdasarkan pada beberapa indikasi yang disinyalir Al-Qur`an
yang menggambarkan bahwa hari turunnya Al-Qur`an itu sama dengan peristiwa
peperangan Badar yang diabadikan Al-Qur`an dengan julukan yaum al-furqan
(hari yang membedakan Islam dan kafir) dan yaum al-taqa al-jam’an (hari
bertemu dua pasukan muslim dan kafir). Dalam catatan sejarah perang Badar
terjadi 17 Ramadhan, tepatnya hari Jum’at.

Ilmuan lainnya tidak seperndapat dengan penetapan 17 Ramadhan sebagai


tanggal turunnya Al-Qur`an pertama kali, karena berdasarkan QS. Al-Qadr [97]:

3
1, Al-Qur`an diturunkan pada malam qadar. Ini didasari bahwa malam qadar
jatuh pada sepuluh malam-malam terakhir dari bulan Ramadhan, yakni malam 21,
23, 25, 27, dan 29. Keberagaman pandangan tentang awal proses turunnnya Al-
Qur`an tidak menafikan bahwa diturunkannya Al-Qur`an pada malam qadar di
bulam Ramadhan. Allah berfirman kepada Nabi Muhammad Saw. dalam Surat
An-Nisa` [4] ayat 105 :

‫ك هّٰللا ُ َۗواَل َت ُكنْ لِّ ْل َخ ۤا ِِٕٕى ِني َْن َخصِ ْيمًا‬ َ ‫ْك ْالك ِٰت‬
ِ ‫ب ِب ْال َح ِّق لِ َتحْ ُك َم َبي َْن ال َّن‬
َ ‫اس ِب َمٓا اَ ٰرى‬ ‫ا‬
َ ‫َّنٓا اَ ْن َز ْل َنٓا ِا َلي‬

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan


membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang
telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang
yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat” (QS. An-
Nisa` [4]: 105).

Bahkan dalam beberapa ayat lainnya terdapat kata-kata yang menunjuki


tentang turunnya Al-Qur`an. Ada beberapa pendangan ilmuan mengenai proses
penurunan Al-Qur`an kepada Nabi Muhammad Saw, yang secara umum dapat
dibedakan dalam tiga aliran besar besar, yaitu:

a. Aliran pertama, Al-Qur`an diturunkan sekaligus (dari awal sampai akhir) ke


langit pada malam qadar. Kemudian sesudah itu diturunkan secara berangsur-
angsur dalam tempo 20, 23 atau 25 tahun sesuai dengan perbedaan pendapat
di antara ilmuan.
b. Aliran kedua, Al-Qur`an diturunkan ke langit bagian demi bagian dalam
bentuk paket (tidak sekaligus) pada setiap malam qadar, sesuai kebutuhan
selama satu tahun, sampai datang malam qadar berikutnya.
c. Aliran ketiga, Al-Qur`an untuk pertama kali diturunkan pada malam qadar
sekaligus, dari lauh mahfudh ke bait al-‘izzah, kemudian diturunkan sedikit

4
demi sedikit dalam berbagai kesempatan sepanjang masa-masa kerasulan
Muhammad Saw.

Az-Zarqani sebagaimana dirujuk oleh M. Amin Suma menyebutkan proses


penurunan al-Qur`an dalam tiga tahapan, yaitu:

1) Tahap pertama, Al-Qur`an diturunkan Allah Swt ke lauh al-mahfudh. Ini


didasari pada QS. Al-Buruj [85]: 22, yang artinya: “Bahkan yang didustakan
mereka itu ialah Al-Qur`an yang mulia, yang (tersimpan) di Lauh Mahfudh”.
2) Tahap kedua, Al-Qur`an diturunkan dari lauh mahfudh ke bait al-‘izzah ke
langit pada malam qadar. Ini sesuai dengan QS. Al-Dukhan [44]: 3, yang
artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang
diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan”. dan QS.
Al-Baqarah [2]: 185, juga beberapa hadits Nabi Saw. yang lain.
3) Tahapan ketiga, Al-Qur`an diturunkan dari bait al-‘izzah kepada Nabi Saw
dengan perantaraan Malaikat Jibril As. Ini berdasarkan QS. Al-Syu’ara [26]:
193-194 yang artinya: “Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), ke
dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara
orang-orang yang memberi peringatan”.

Mengenai bagaimana proses penerimaan al-Qur`an oleh Malaikat Jibril As


para ilmuaan memiliki beberapa pandangan, yakni:

a) Jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah Swt dengan lafadz-nya


yang khusus;
b) Jibril menghafalnya dari lauh al-mahfudh;
c) Maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafadz-nya dari Jibril, atau
Muhammad Saw. Syekh Manna` al-Qaththan menyatakan bahwa pendapat
yang benar adalah pendapat yang pertama, dan ini menjadi pegangan
ahlussunnah wal jamaah, yang didasari pada hadits Nuwas bin Sam’an.

Setelah Jibril menerima wahyu (Al-Qur`an) proses selanjutnya adalah


menyampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. Syekh Manna` al-Qaththan

5
menyimpulkan proses penyampaian al-Qur`an kepada Nabi Saw dalam dua cara
penyampaian, yaitu:

a. Jibril datang dengan suara seperti suara lonceng, yaitu suara yang amat kuat
yang dapat mempengaruhi kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya
siap menerima pengaruh itu. Cara ini adalah yang paling berat bagi Rasul.
b. Jibril menjelma sebagai seorang laki-laki. Cara ini lebih ringan dari pada cara
sebelumnya, karena adanya kesesuaian antara pembicara dengan pendengar.

Proses turunnya Al-Qur`an sebagaimana populer bahwa turun secara


berangsur-angsur, tidak sekaligus, yang dimulai di lokasi Makkah dan seterusnya
di Madinah (pasca Makkah). Hal ini sesuai dengan perkembangan dan persoalan
yang terjadi di kalangan masyarakat Islam dalam berinteraksi secara intern dengan
umat Islam sendiri, begitu juga kasus-kasus yang berkaitan dengan non Muslim.

C. Pemeliharaan Wahyu

Allah SWT dalam Surat al-Hijr [15]: 9 telah menyatakan bahwa ke-otentikan
Al-Qur`an dijamin oleh Allah, dimana Allah menyatakan:

ِّ ‫ِا َّنا َنحْ نُ َن َّز ْل َنا‬


ُ ‫الذ ْك َر َو ِا َّنا َل ٗه َل ٰحف‬
‫ِظ ْو َن‬

Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan


sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (QS. Al-Hijr [15]: 9).

Pemeliharaan dalam tahapan secara umum adalah sebagai beikut:

a. Tahapan Penghafalan

Pada tahapan awal dalam pemeliharaan Al-Qur`an dilakukan dengan


hafadhahu (menghafalnya dalam hati) oleh para jumma’ul Qur`an, yakni
huffadhul Qur`an (para penghafalnya), yaitu orang-orang yang
menghafalkannya dalam hati. Rasulullah Saw amat menyukai wahyu, ia
senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan
memahaminya. Tidak ketinggalan dengan sahabat-sahabatnya yang selalu

6
menerima pemberitaan wahyu dari Nabi Saw. Mereka juga menghafalnya, dan
terkenalnya tujuh huffadh Al-Qur`an terkenal yang diriwayatkan dalam hadits
Bukhari melalui tiga jalur periwayatan. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud,
Salim bin Ma’qil, Muadz bin Jabal. Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu
Zaid bin Sakan dan Abu Ad-Darda`.

b. Tahapan Pencatatan/ Penulisan

Rasulullah mengangkat para penulis Al-Qur`an dari sahabat-sahabat


terkemuka, seperti Ali, Mua’awiyah, Ubay bin Ka’ab dan Zait bin Tsabit. Bila
ayat turun, ia memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkannya
dimana tempat ayat tersebut dalam surat. Sebagian dari mereka juga
menulisnya atas inisiatif sendiri dengan menggunakan media pelepah korma,
lempengan batu, papan titpis, kulit dan daun kayu, palana, dan potongan
tulang belulang binatang.

Tulisan-tulisan Al-Qur`an pada masa ini (masa Nabi) tidak terkumpul


dalam satu mushaf. Biasanya yang ada di tangan seorang sahabat, belum tentu
dimiliki oleh yang lain. Susunan ayat-ayat dan surat-surat dipisahkan. Setiap
surat berada dalam satu lembaran secara terpisah dan dalam tujuh huruf
(sab’ah ahruf), dan susunan penulisannya juga tidak berdasarkan kronologi
penurunan, akan tetapi penempatannya sesuai dengan instruksi Nabi sendiri.

Menurut Az-Zarkasyi, memang pada masa Nabi al-Qur`an tidak dituliskan


dalam satu mushaf, agar tidak berubah pada setiap waktu, jadi penulisannya
dilakukan kemudian sesudah al-Qur`an selesai turun semua, yaitu dengan
wafatnya Rasulullah. Pengumpulan (jam’u) al-Qur`an pada masa Nabi ini
dinamakan dengan hifdzan (hafalan), sebagaimana pada tahapan pertama
tulisan ini; dan kitabatan (pencatatan/penulisan/pembukuan) yang pertama.

Beberapa karakter proses pemeliharaan al-Qur`an dan hasil yang


diperoleh pada masa Nabi dalam bentuk pencatatan dan pembukuan, antara
lain:

7
1) Penulisan al-Qur`an dilakukan ketika wahyu turun.
2) Penyusunan urutan ayat-ayat dalam surat-surat sesuai petunjuk Nabi
3) Ayat-ayat tertulis secara terpisah pada kepingan-kepingan, tulang, pelepah
kurma, batu-batu, dan sebagainya.
4) Al-Qur`an tidak dalam bentuk mushaf.
5) Tidak adanya tanda baca dan simbol-simbol lainnya.

c. Tahapan Penghimpunan/ Pembukuan

Pada masa Abu Bakar yang mengalami berbagai peristiwa dan gejolak,
baik secara internal dalam masyarakat Islam sendiri atau dari ekternal. Perang
Yamamah yang terjadi tahun 12 H menyebabkan gugurnya 70 qori dari
sahabat gugur. Umar bin Khattab merasa khawatir dan mengusulkan ke Abu
Bakar agar mengumpulkan dan membukukan Al-Qur`an, karena
dikhawatirkan akan musnah. Mulanya sang khalifah sempat bimbang karena
hal ini tak pernah diperintahkan Rasulullah SAW secara langsung, namun
akhirnya beliau menyetujuinya.

Abu Bakar memerintahkan seorang sahabat yang memiliki kedudukan


yang mulia dalam hal qiraat, hafalan, penulisan dan pemahamannya terhadap
Qur`an untuk memimpin proyek penting ini. Langkah ini disetujui oleh semua
sahabat Nabi yang hidup pada masa itu. Kemudian tim yang diketuai oleh
sahabat Zaid bin Sabit mulai bekerja, mereka kumpulkan tulisan-tulisan ayat‐
ayat Qur`an yang terpencar‐pencar dari tulang‐tulang, pelepah kurma,
kepingan-kepingan batu dan mereka juga ambil dari para penghafal‐penghafal
Qur`an. Kehati‐hatian Zaid sangat nyata terbukti dari bahwa ia tidak mau
menerima dari seseorang mengenai Qur`an sebelum disaksikan oleh dua
orang saksi.

Ada juga ilmuan yang berpendapat bahwa Zaid hanya menerima Qur`an
apabila orang itu memiliki catatan dan juga telah menghapal apa yang ia catat
tersebut. Zaid bin Sabit sebenarnya adalah juga seorang penghapal tapi hal ini

8
tidak mengurangi kehati‐hatian dan kecermatannya ia melakukan
pengumpulan Qur`an dari semua orang yang memiliki catatan dan
menghafalnya. Pada masa ini Qur`an telah dikumpulkan ke dalam bentuk
buku dengan tertib susunan yang diperintahkan Rasul SAW dan mencakup
ketujuh huruf yang mana Qur`an diturunkan. Pada masa Abu Bakar ra inilah
lahir istilah mushaf. Beberapa karakter proses dan hasil yang dilakukan Abu
Bakar, yaitu:

1) Faktor yang mendorongnya karena takut sebagiaayat-ayat al-Qur`an akan


hilang kalau tak dihimpun dalam satu mushaf.
2) Dikerjakan dengan mengumpulkan manuskrip berupa tulang, lempengan
batu dan media lainnya.
3) Al-Qur`an dalam bentuk mushaf.
4) Al-Qur`an dalam 7 corak dialek.
5) Mushaf tersusun menurut tertib ayat.
6) Ayat al-Qur`an disusun menurut urutan turunnya wahyu.
7) Tidak terdapat catatan-catatan tambahan sebagai tafsir dari beberapa ayat
tertentu.

d. Tahapan Penggandaan

Seperti yang kita ketahui, Al-Qur`an dikumpulkan di masa khalifah Abu


Bakar ra. dalam ketujuh hurufnya dan ternyata di masa khalifah Usman raa
hal itu menimbulkan masalah. Ketika wilayah Islam semakin luas dan jumlah
pemeluk agama ini juga kian pesat, mulai banyak yang tidak memahami
hakikat tujuh huruf ini dengan baik sehingga ketika guru‐guru qari mereka
mengajarkan cara baca Al-Qur`an dengan satu dari tujuh huruf mereka
menyangka cara baca itulah yang benar lalu ketika mereka menjumpai orang
lain membaca Al-Qur`an bukan dengan cara baca yang mereka pakai, timbul
pertikaian oleh sebab cara baca yang berbeda itu. Hal tersebut menimbulkan
kecemasan dan usul yang dikemukakan secara resmi oleh sahabat Huzdaifah
kepada khalifah Ustman dan para sahabat lainnya.

9
Ustman kemudian mengutus utusan kepada Hafsah agar meminjamkan
mushaf Abu Bakar untuk menyalin dan memperbanyaknya namun dengan
perintah khusus yaitu agar menuliskan ke dalam satu cara baca saja yaitu
dalam dialeg Quraisy dan membuang keenam huruf (cara baca) lainnya.
Khalifah Ustman memerintahkan Zaid bin sabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id
bin ‘Ash dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk melakukannya.
Mereka melaksanakan perintah itu. Setelah selesai menyalinnya menjadi
mushaf, Usman mengembalikan lembahan-lembaran asli (orisinil) itu kepada
Hafshah. Selanjutnya Usman mengirimkan mushaf baru tersebut ke setiap
wilayah dan memerintahkan agar semua Al-Qur`an atau mushaf lainnya
dibakar. Terdapat perbedaan diantara para ilmuan tentang jumlah mushaf
yang ditulis Usman. Mayoritas ilmuan mengatakan sebanyak empat buah,
masing-masing ke Kufah, Bashrah dan Syria, semetara satu lagi disimpan
Usman.

Beberapa karakter proses kerja dan hasil dalam bentuk Al-Qur`an dari tim
bentukan Khalifah Usman, yaitu :
1) Didorong oleh karena timbulnya perselisihan di kalangan orang Islam
mengenai versi bacaan (qira`at).
2) Di kerjakan dari apa yang dihasilkan tim bentukan Abu Bakar.
3) Al-Qur`an dalam bentuk mushaf, yang disebut dengan mushaf Usmani
(Rasm Usman) atau mushaf Imam.
4) Al-Qu`an ditulis seluruhnya berdasarkan riwayat mutawatir
5) Surat dan ayat disusun dengan tertib.
6) Berbentuk satu corak dialeg (qira`ah).
7) Belum menggunakan tanda baca seperti tititk, dan simbol-simbol bacaan
lainnya.

e. Tahapan Penyempurnaan

Sebagai hasil yang telah dilakukan oleh tim yang dibentuk Khalifah
Usman, dimana Al-Qur`an yang belum memiliki dan baca dan simbol-simbol

10
lainnya. Dengan kondisi uamt Islam yang semakin banyak dengan wilayah
yang semakin luas, tentu menimbulkan berbagai ekses. Atas instruksi Ali bin
Abi Thalib, Abu al-Aswad al-Duwali mengambil inisiataif untuk
menyempurnakan penulisan Al-Qur`an, dengan memberikan tanda-tanda
baca dan simbol-simbol lainnya.

Seiring dengan perjalan sejarah yang semakin luas simbol-simbol ini terus
berkembang dari bentuk yang sederhana berupa titik satu di atas untuk
sebagai kasrah, menjadi bentuk garis seperti sekarang ini. Para ilmuan terus
berupaya menyempurnakan penulisannya ini sehingga sangat memudahkan
bagi pembaca bagi otrang Arba dan non Arab. Nama-nama surat dan bilangan
ayat serta tanda waqaf diletakkan di tempatnya, mengahsilkan yang mushaf
yang refresentatif untuk semua kalangan di kemudian hari.

f. Tahapan Pencetakan

Proses selanjutnya dalam rangka pemeliharaan Al-Qur`an diupayakan


seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan
ditemukan mesin cetak Al-Qur`an pertama sekali dicetak abad ke 17 atau
tepatnya tahun 1694 di kota Hamburg, Jerman. Percetakan atas prakarsa Islam
dicetak pada tahun 1787 di St. Petersburg, Rusia, lalu disusul di Kazan
(1828), Persia, Istambul (1877). Edisi cetakan terlengkap dan dinilai paling
standar ialah edisi Mesir, yang dicetak pada tahun 1344 H/1925 M.

Untuk menjaga keautentikan Al-Qur`an, negara dan pemerintahan yang


sudah berdiri sendiri setelah membebaskan diri dari penjajahan dunia Barat
yang mayoritas penduduknya beragama Islam, membentuk panitia atau tim
yang bertugas mentashhih setiap cetakan Al-Qur`an. Indonesia sendiri dalam
hal ini sangat konsisten dengan kepanitiaan ini, bahkan sejak setengah abad
yang lalu sudah melakukan kegiatan pentashhihan Al-Qur`an.

g. Tahapan Pembelajaran

11
Inilah sebagai tahapan yang sangat menentukan dalam pemeliharaan al-
Qur`an, yakni mempelajari dan mendalami Al-Qur`an itu sendiri dengan
proses pendidikan dan pembelajaran. Ini sangat menentukan dalam
pemeliharaan Al-Qur`an secara umum sehingga Al-Qur`an sepanjang masa
tetap menjiwai umat dalam kehidupan.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Al-Qur`an merupakan kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad


Saw, yang sekaligus sebagai mukjizat. Proses penurunan Al-Qur`an adalah
melalui malaikat Jibril As. Selanjutnya diterima oleh Nabi dan menyampaiakan
kepada umatnya. Dalam menyampaikan Al-Qur`an, Rasulullah menafsirkan lewat
as-sunnah secara komperhensif sehingga sahabat-sahabatnya dapat menerimanya
secara secara utuh dan menjadikannya sebagai pedoman hidup. Al-Qur`an pada
awalnya setelah proses penurunan dicatat di lempengan-lempengan batu, kulit dan
media lainnya. Setelah Rasul wafat para sahabat mengupayakan pengumpulkan
lembaran-lembaran ini sehingga menjadi satu kumpulan yang utuh dan sestematis
dalam bentuk mushaf.

Seiring dengan upaya dan kegiatan menginformasikan Al-Qur`an, mencatat,


membukukan, menggandakan dan menyebarluaskan berkembang berbagai cabang
ilmu yang konsentrasinya Al-Qur`an. Dengan demikian lahirlah ilmu-ilmu yang
bervariasi yang berkaitan langsung dengan Al-Qur`an. Keseluruhan ilmu ini
disebut dengan ‘ulumul Qur`an. Ilmu ini menjadi suatu disiplin ilmu yang
memiliki cabang dan konsentrasi serta karakternya masing-masing. Ada ilmu
asbabun nuzul yang membahas tentang sesuatu yang melatar belakangi turunnya
suatu ayat, ada ilmu qira`ah yang membahas tentang cara-cara membaca al-
Qur`an, dan banyak lagi.

13
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. iii, cet.
iii, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003).

Fazlur Rahman, Islam, pentjh; Ahsin Muhammad, cet. v, (Bandung: Pustaka,


2003).

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, jilid. ii, ed. ii, cet. i,
(Jakarta: UI Press, 1985).

Kamil Y. Advich, pentj; Shonhadji Sholeh, Meneropong Doktrin Islam, cet. i,


(Bandung: Al-Ma’arif, 1987).

M. Quraish Shihab, Sejarah dan ‘Uluml Qur`an, cet. iii, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2001).

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Toha Putra, 1989).

Mani’ Abdul Halim Mahmud, pentj; Faisal Saleh dan Syahdianur, Metodologi
Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, ed. i, cet. i, (Jakarta: Raja
Grfindo Persada, 2006).

Muhammad Ibn ‘Alawi al-Maliki, Samudra Ilmu-Ilmu Al-Qur`an: Ringkasan


Kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur`an Karya As-Syuti, cet. i, (Bandung: Mizan, 2003).

Syekh Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`an, cet. 1, (Jakarta:


Pustaka Al-Kausar, 2006).

14

Anda mungkin juga menyukai