Anda di halaman 1dari 3

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum pidana (KUHP) khususnya dalam Buku I yang

berjudul Algemene Bepalingen (Ketentuan – Ketentuan Umum) mulai dengan titel I yang
berjudul “Ruang Lingkup Berlakunya Ketentuan- Ketentuan Undang –Undang tentang
Hukum Pidana) yang terdapat dalam pasal 1 hingga pasal 2.
Adapun bunyi pasal yang terdapat dalam pasal 1 KUHP yaitu
Pasal 1 KUHP:
(1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.
(2) Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai
aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
Dapat dilihat jika dalam pasal tersebut maka dapat dipidananya suatu tindakan
(tertentu) sudah harus terlebih dahulu ditentukan sebelum seseorang melakukannya.

A. Asas Legalitas
Asas pertama dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi “Hukum Pidana” haruslah
bersumber pada undang-undang atau yang dapat disebut juga dengan asas legalitas.
Bahwa Hukum Pidana yang bersumber atau berdasarkan peraturan- peraturan tertulis atau
dengan perkataan lain ketentuan pidana harus sudah ada terlebih dahulu dalam peraturan
tertulis. Yang dimaksud dengan undang-undang dalam arti luas yaitu tidak hanya secara
tertulis telah dituangkan dalam bentuk undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah
dengan DPR, akan tetapi juga produk perundang-undangan lainnya seperti Peraturan
Pemerintah pengganti undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,
Peraturan-Peraturan pelaksana lainnya dan lain sebagainya. Karena dalam hal ini,
penguasa dalam melaksanakan tugasnya (peradilan) terikat kepada ketentuan perundang–
undangan, sehingga akan terhindar dari kesewenang-wenangan atau penilaian pribadi
yang seenaknya. Hal ini berarti akan terdapat kepastian hukum bagi setiap pencari
keadilan.1

B. Asas Larangan Berlaku Surut ( Non Retroaktif)


Asas kedua ialah “Ketentuan Pidana dalam undang-undang tidak boleh berlaku
surut”. Asas ini sebenarnya sudah ditentukan untuk segala bidang hukum, yaitu Pasal 2

1
S.R Sianturi, S.H., Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Penerbit
Storia Grafika, Jakarta,2012, hlm 74
dari Algemene Bepalingen van Wetgeving (Ketentuan- Ketentuan Umum tentang
Perundang – Undangan). Pasal 2 berbunyi:
“Undang – undang hanya mengikat untuk masa depan dan tidak berlaku surut.“
Setiap orang “tidak perlu merasa terikat” kepada undang – undang untuk melakukan suatu
tindakan tertentu yang belum diancam dengan pidana, walaupun kelak ditentukan sebagai
tindak pidana. Di samping itu, pasal 1 ayat 1 KUHP memelopori ketentuan asal peralihan
hukum yang penting juga dan yang termuat dalam ayat 2 pasal 1 yang berbunyi:
“Apabila ada perubahan dalam perundang – undangan terjadi sesudah suatu tindakan
pidana diperbuat, maka yang diperlakukan adalah ketentuan – ketentuan dari hukum lama
atau hukum baru, yang lebih menguntungkan si tersangka“
Namun adapun asas “tidak berlaku surut” yang terkandung dalam pasal diatas tidak
secara mutlak dianut. Hal ini sudah dapat dijawab dengan menggunakan adagium yang
berbunyi “tidak ada suatu peraturan yang tanpa kekecualian”. Dari perumusan ayat di atas
ternyata bahwa undang- undang yang harus digunakan pada saat hakim menjatuhkan
putusannya tidak tergantung pada saat terjadina sesuatu tindakan, melainkan tergantung
kepada kepentingan terdakwa namun juga tidak hanya dibatasi dengan dua undang – undang
saja yang harus diperbandingkan, tetapi terbuka pula kemungkinan untuk lebih dari dua
walaupun yang sering terjadi adalah tersebut pertama, yaitu undang – undang yang berlaku
pada terjadinya tindakan tersebut dan undang – undang baru yang berlaku pada saat hakim
menjatuhkan putusannya.2

C. Asas Larangan Penggunaan Analogi


Asas ketiga yang merupakan asas “larangan penggunaan analogi” dalam penerapan
hukum pidana. Analogi sendiri dalam hukum berarti menganggap “sesuatu” sebagai
termasuk dalam pengertian dari suatu istilah / ketentuan undang- undang hukum pidana,
karena “sesuatu” itu banyak sekali kemiripannya atau kesamaannya dengan istilah / ketentuan
tersebut. Analogi terjadi apabila dengan suatu cara penafsiran disimpulkan bahwa suatu
kejadian atau peristiwa tertentu tidak turut diatur dalam suatu peraturan hukum, namun juga
dianggap diliputi oleh peraturan tersebut. Adapun analogi dapat dikatakan sebagai suatu cara
penafsiran yang bernada memperluas arti dari suatu peraturan hukum (extensive
interpretatie). Persoalan analogi biasanya pun timbul bila ada suatu peraturan hukum pidana
yang tidak meliputi suatu perbuatan yang menurut pendapat orang banyak seharusnya
2
S.R Sianturi, S.H., Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Penerbit
Storia Grafika, Jakarta,2012,hlm 74-79
dilarang pula dengan ancaman pidana karena mirip sekali dengan perbuatan yang disebutkan
dalam peraturan hukum pidana tersebut sebagai tindak pidana.3

3
Prof.Dr.Wirjono Prodjodikoro,S.H., Asas- Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika
Aditama, Bandung, 2003, hlm 47-48.

Anda mungkin juga menyukai