Anda di halaman 1dari 19

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Semen Secara Umum


Semen berasal dari bahasa latin Caementum yang berarti perekat atau dalam
pengertian luas adalah bahan yang mempunyai sifat-sifat yang mampu mengikat
bahan-bahan padat menjadi satu kesatuan yang kompak dan kuat. Semen juga
diartikan sebagai zat perekat anorganik yang memiliki sifat hidraulis apabila
dicampur dengan air dengan jumlah tertentu akan mengikat material lain menjadi
suatu massa yang padat. Penyusun semen terdiri dari persenyawaan kalsium oksida
dengan silika, alumina, dan besi oksida.
Senyawa pada awalnya dikenal di mesir tahun 500 SM pada pembuatan
piramida, yaitu sebagai ruang kosong diantara celah-celah tumpukan batu. Semen
yang dibuat bangsa Mesir merupakan kalsinasi gypsum yang tidak murni, sedangkan
kalsinasi batu kapur mulai digunakan pada zaman romawi. Kemudian bangsa Yunani
membuat semen dengan cara mengambil tanah vulkanik (vulkanik tuff) yang berasal
dari pulau Santorin yang kemudian dikenal dengan santorin cement. Bangsa Romawi
menggunakan semen yang diambil dari material vulkanik yang ada di pegununan
Vesuvius dilembah naples yang kemudian dikenal dengan nama pozzolan cement,
yang diambil dari dari sebuah nama kota di Italia yaitu Pozzoli.
Penemuan bangsa Yunani dan Romawi ini mengalami perkembangan lebih
lanjut mengenai komposisi bahan dan cara pencampurannya sehingga diperoleh
moltar yang baik. Pada tahun 1756 Jhon smeaton seorang sarjana inggris berhasil
melakukan penyelidikan terhadap batu kapur dengan pengujian ketahanan air fari
hasil percobaan disimpulkan bahwa batu kapur lemak yang tidak murni dan
mengandung tanah liat merupakan bahan pembuat semen hidrolis yang baik.

13
14

Sejalan dengan perkembangan semen, maka pada tahun 1824 seorang


ilmuwan berkebangsaan Inggris bermana Josep Aspidin berhasil membuat semen
dengan cara mengkalsinasi batu kapur Argilaceo yang dicampur dengan tanah liat.
Kemudian semen itu dinamakan Semen Portland karena bangunan yang dihasilkan
oleh semen tersebut memiliki kesamaan warna dengan batuan di Pulau Portland,
Inggris. Pabrik semen portland pertama kali didirikan oleh James Frost dari
Swancobe, Inggris pada tahun 1825.

3.2. Jenis-jenis Semen


Berdasarkan kebutuhan pemakaian semen yang disebabkan karena kondisi
lokasi atau kondisi tertentu yang diperlukan untuk melaksanakan konstruksi serta
tujuan ekonomisnya, maka dalam perkembangan industri semen dikenal beberapa
macam semen. Menurut Walter H. Duda, 1985 semen dibagi menjadi :

3.2.1 Portland Cement (PC)


Semen Portland adalah Hidraulic binder (material yang mempunyai sifat-sifat
adhesive dan cohesive) yang dihasilkan dengan cara menghaluskan tanah semen
(clinker) yang terutama terdiri dari silikat-silikat kalsium hidrat yang bersifat
hidraulis dan digiling bersama-sama bahan tambahan. Clinker adalah penamaan
untuk gabungan komponen produk semen yang belum diberikan tambahan bahan lain
untuk memperbaiki sifat dari semen. Beberapa tipe semen Portland yang dihasilkan
PT Holcim Indonesia, Tbk yaitu:

a. Tipe I (Ordinary Portland Cement)


Ordinary Portland Cement adalah semen Portland yang dipakai untuk segala
macam konstruksi apabila tidak diperlukan sifat -sifat khusus, misalnya ketahanan
terhadap sulfat, panas hidrasi, dan sebagainya. Ordinary Portland Cement
mengandung C3S 56,54 %; C2S 16,84 %; C3A 8,18 %; dan C4AF 9,64%.
15

Tabel 3.1. Komposisi OPC Tipe I


Komposisi
Oksida Komposisi (% berat) Oksida
(%berat)
CaO 64,39
MgO maks 6
SiO2 20,75
CaO bebas 0,79
Al2O3 5,11
Alkali total 0,39
Fe2O3 3,17

b. Tipe II (Moderat Heat Portland Cement)


Moderat Heat Portland Cement adalah semen Portland yang digunakan untuk
konstruksi yang memerlukan ketahanan terhadap sulfat dan panas hidrasi sedang,
biasanya digunakan untuk daerah pelabuhan dan bangunan sekitar pantai, batasan
kandungan sulfat yang direkomendasi (sebagai SO3) adalah 0,8 – 0,17 ppm unit
ground water, 125 ppm unit tanah. Moderat Heat Portland Cement mengandung C3S
53,6 %; C2S 22,35 %; dan C3A 3,35 %.
Tabel 3.2. Komposisi OPC Tipe II
Komposisi(%
Oksida Komposisi (% berat) Oksida
berat)
CaO 63,41 MgO maks 6
SiO2 min 20 SO3 maks 3
Al2O3 maks 6 CaO bebas 0,49
Fe2O3 maks 6 Alkali Total maks 0,6

c. Tipe III (High Early Portland Cement)


16

High Early Portland Cement adalah semen Portland yang digunakan untuk
keadaan-keadaan darurat dan dipakai pada pengecoran untuk keadaan khusus seperti
pada musim dingin, juga dipakai untuk produksi beton tekan semen tipe III cepat
mengeras dan cepat mengeluarkan kalor juga mempunyai pengembangan kekuatan
awal tinggi. High Early Portland Cement mengandung C3S 35%; C2S 40%; dan C3A
15%.
Tabel 3.3. Komposisi OPC Tipe III
Komposisi(%
Oksida Komposisi (% berat) Oksida
berat)
CaO 60 – 67 Fe2O3 0,5 – 6
SiO2 20 MgO 6
Al2O3 3,5 - 4,5 SO3 3,5 - 4,5

d. Tipe IV (Low Heat Portland Cement)


Low Heat Portland Cement adalah semen yang digunakan untuk bangunan
dengan panas hidrasi rendah misalnya pada bangunan beton besar dan tebal, baik
sekali untuk mencegah keretakan. Semen tipe IV ini mempunyai kandungan C 3S dan
C3A lebih rendah, tetapi bila (C2S) lebih banyak dibanding OPC. Sehingga beton
yang dibuat dari semen ini mempunyai sifat:
 Panas hidrasi rendah (cocok untuk concrete construction)
 Kuat tekan awal rendah
 Tahan terhadap serangan sulfat
 Low Heat Portland Cement mengandung C3S 35%; C2S 40%; dan C3A 7%.
Tabel 3.4. Komposisi OPC Tipe IV
Oksida Komposisi (% berat) Oksida Komposisi(%
berat)
CaO 60-67 Fe2O3 6,5
SiO2 17-25 MgO 6
Al2O3 3-8 SO3 2,3

e. Tipe V (Sulfate Resistance Portland Cement)


17

Sulfate Resistance Portland Cement adalah semen portland yang mempunyai


kekuatan yang tinggi terhadap sulfat dan memiliki kandungan C3A lebih rendah bila
dibandingkan tipe - tipe lain, sering digunakan untuk bangunan di daerah dengan
kadar sulfat (sebagai SO3) tinggi yaitu: Ground water: 0,17 – 1,67 ppm, tanah : 125 –
1250 ppm. Sulfat Resistance Portland Cement mempunyai kandungan C3A 5%; C3S
59,42 %; C2S 16,87 %; dan C4AF 12,7 %.
Tabel 3.5. Komposisi OPC Tipe V
Komposisi(%
Oksida Komposisi(% berat) Oksida
berat)
CaO 60 – 67 Fe2O3 0,5 – 6
SiO2Al2 17 – 25 MgO 6
O3 3–8 SO3 2,3

3.2.2 Semen Putih (White Cement)


Semen putih adalah semen yang dibuat dengan bahan baku batu kapur yang
mengandung oksida besi dan oksida magnesia yang sangat rendah (kurang dari 1%).
Semen putih digunakan untuk tujuan dekoratif, bukan konstruktif, olahan trass,
bangunan arsitektur dan dekorasi. Kandungan semen putih: C3A 11,47 %; C3S 56,41
%; dan C2S 21,88 %.
Tabel 3.6. Komposisi Semen Putih
Komposisi(%
Oksida Komposisi(% berat) Oksida
berat)
CaO 65,8 Fe2O3 0,39
SiO2 24,2 MgO 1,1
Al2O3 4,2 Mn2O3 0,02

3.2.3 Semen Sumur Minyak (Oil Well Cement)


Semen Sumur Minyak adalah semen Portland yang dicampur dengan gypsum
sebagai bahan retarder. Fungsi retarder disini adalah untuk mengurangi kecepatan
pengerasan semen, sehingga adukan dapat dipompakan ke dalam sumur minyak atau
18

gas. Semen Sumur Minyak digunakan antara lain untuk melindungi ruangan antara
rangka sumur minyak dengan karang atau tanah di sekelilingnya, sebagai pelindung
rangka sumur minyak dari pengaruh air yang korosif, untuk menyangga rangka sumur
minyak sehingga mengurangi tegangan dalam pipa baja, menyumbat aliran air yang
akan masuk ke dalam sumur minyak. Semen Sumur Minyak mempunyai 48 – 65 %
C3S ; 3 % C3A ; dan 24% C4AF + 2C3A.

Tabel 3.7. Komposisi Semen Sumur Minyak


Komposisi(%
Oksida Komposisi(% berat) Oksida
berat)
CaO 60 – 67 MgO 6
SiO2 17 – 25 SO3 3
Al2O3 3–8 Na2O (alkali) 0,75
Fe2O3 0,5 – 6

3.2.4 Portland Pozzoland Cement (PPC)


Portland adalah bahan yang mengandung senyawa silika dan alumina dimana
dimana bahan Pozzoland itu sendiri tidak mempunyai sifat seperti semen, akan tetapi
dalam bentuknya yang halus dan dengan adanya air, maka senyawa-senyawa tersebut
akan bereaksi membentuk kalsium alumina hidrat yang bersifat hidraulis.
Reaksi : 3CaO.Al2O3 + 3H2O→ 3CaO.Al2O3.3H2O
Semen Portland Pozzoland merupakan suatu bahan pengikat hidraulis yang
dibuat dengan cara menggiling bersama-sama terak semen portland dan han yang
bersifat Pozzoland, atau mencampur secara merata bubuk semen portland dan bahan
ubuk lainnya yang mempunyai sifat Pozzoland. Bahan Pozzoland yang ditambahkan
bersarnya berkisar antara 15-40 %.
19

Tabel 3.8. Komposisi Portland Pozzoland Cement


Komposisi(%
Oksida Komposisi(% berat) Oksida
berat)
CaO 60 – 67 MgO 6
SiO2 17 – 25 SO3 3
Al2O3 3–8 Na2O (alkali) 0,75
Fe2O3 0,5 – 6

3.2.5 Portland Composite Cement (PCC)


Portland Composite Cement (PCC) adalah semen Portland yang dipakai
untuk segala macam konstruksi yang tidak memerlukan sifat khusus seperti rumah,
bangunan tinggi, jembatan, jalan beton, beton pre-cast dan beton pre-stress. PCC
mempunyai kekuatan yang sama dengan Portland Cement Tipe I. Plant 3
memproduksi semen jenis ini. Portland Composite Cement (PCC) mempunyai
komposisi yang berbeda dengan OPC yaitu pada jumlah pemakaian klinker dan
bahan aditifnya. Untuk PCC menggunakan bahan aditif berupa trass, gypsum dan
limestone.
Berdasarkan kandungan air yang terdapat dalam raw meal, proses pembuatan
semen dibagi 2 yaitu :

1. Proses Basah (Wet Process)


Pada proses ini bahan baku dihancurkan dalam raw mill kemudian digiling
dengan ditambah air dalam jumlah tertentu. Hasilnya berupa slurry/luluran, kemudian
dikeringkan dalam rotary dryer sehingga terbentuk umpan tanur berupa slurry
dengan kadar air 25– 40%. Pada umumnya menggunakan “Long Rotary Kiln“ untuk
menghasilkan klinker. Klinker tersebut kemudian didinginkan dan dicampur dengan
gypsum untuk selanjutnya digiling dalam finish mill hingga terbentuk semen.
Keuntungan:
 Umpan lebih homogen, mutu semen yang diperoleh lebih baik.
20

 Efisiensi penggilingan lebih tinggi dan tidak memerlukan suatu unit


homogenizer.
 Debu yang timbul relatif lebih sedikit.

Kerugian:
 Bahan bakar yang digunakan lebih banyak, karena kandungan air yang
besar.
 cukup Tanur yang digunakan ukurannya lebih panjang dibandingkan
tanur putar pada proses kering.
 Biaya produksi lebih mahal karena kebutuhan bahan bakar yang banyak.

2. Proses Kering (Dry Process)


Pada proses ini bahan dipecah dan digiling disertai pengeringan dengan jalan
mengalirkan udara panas ke dalam raw mill sampai diperoleh tepung baku dengan
kadar air 0,5–1%. Selanjutnya tepung baku yang telah homogen ini diumpankan ke
dalam suspenssion preheater sebagai pemanasan awal, disini terjadi perpindahan
panas melalui kontak langsung antara gas panas dengan material dengan arah
berlawanan (counter current). Adanya dalam suspenssion preheater akan
menghilangkan kadar air dan mengurangi beban panas pada kiln.
Material yang telah keluar dari suspenssion preheater siap menjadi umpan kiln
dan diproses untuk mendapatkan clinker. Clinker tersebut kemudiandidinginkan
secara mendadak agar terbentuk kristal yang bentuknya tidak beraturan (amorf) agar
mudah digiling. Selanjutnya dilakukan penggilingan di dalam finish mill dan
dicampur dengan bahan aditif sehingga menjadi semen.
Keuntungan:
 Tanur yang digunakan relatif pendek.
 Panas yang dibutuhkan rendah, sehingga bahan bakar yang dipakai lebih
sedikit dan dapat mengurangi biaya operasi.
 Kapasitas produksi lebih besar.
21

 Kapasitas produksi lebih besar.


Kerugian:
 Kadar air sangat mengganggu proses, karena material lengket pada alat.
 Campuran umpan kurang homogen karena bahan yang digunakan
dicampur dalam keadaan kering (tepung).
 Banyak debu yang dihasilkan.
 Penambahan biaya untuk alat penangkap debu.
(Duda, 1976)

3.3. Mineral-mineral Kristal dalam Semen


3.3.1. Trikalsium Silikat (C3S)
C3S merupakan komponen utama dalam semen yang terbentuk pada temperatur
1250 ºC–1450ºC, berfungsi untuk memberi kekuatan awal semen setelah 7 hari atau 8
hari dan dapat mempengaruhi kekuatan akhir. Panas hidrasi C3S sebesar 377
Joule/gram untuk 28 hari. Kandungan C3S pada semen Portland bervariasi antara 35%
sampai dengan 55%.
3.3.2. Dikalsium Silikat (C2S)
Dikalsium silikat merupakan komponen utama dalam semen yang terbentuk
pada temperatur 810–900ºC yang berfungsi memberikan kekuatan penyokong pada
semen selama 1 hari. Dikalsium silikat mempunyai sifat panas hidrasi 105 Joule/gr
untuk 28 hari. Kandungan C2S pada semen Portland bervariasi antara 15 – 35%.
Bersama dengan C3S memberikan kekuatan akhir pada semen setelah 1 tahun.

3.3.3. Trikalsium Aluminat (C3A)


Trikalsium aluminat terbentuk pada temperatur 900–1200°C dan memberikan
pengaruh terhadap kecepatan pengerasan semen. Trikalsium aluminat jika bereaksi
dengan air akan menimbulkan panas hidrasi yang tinggi 1378 Joule/gram untuk 28
hari. Kandungan Trikalsium aluminat pada semen Portland bervariasi antar 7–15 %.
22

3.3.4. Tetrakalsium Alumina ferit (C4AF)


Tetrakalsium alumina ferit terbentuk pada temperatur 1200–1300ºC.
Tetrakalsium alumina ferit dan air akan bereaksi cepat, membentuk slurry,
mempunyai panas hidrasi 495 Joule/gram untuk 28 hari. Tetrakalsium alumina ferit
mempunyai pengaruh terhadap warna semen, maka makin tinggi kadarnya maka
warna semen semakin gelap. Kandungan Tetrakalsium alumina ferit pada semen
Portland antara 5–10 %.

Tabel 3.9. Susunan Senyawa–senyawa Semen Portland

No Rumus Kimia Symbol Nama


1. 3 CaO. SiO2 C3S (Alite) Trikalsium silikat
2. 3 CaO. SiO2 C2S (Belite) Dikalsium silikat
3. 3 CaO.Al2O3 C3A (Aluminat) Trikalsium aluminat
Tetrakalsium
4. 4 CaO.Al2O3.Fe2O3 C4AF (Ferit Aluminat)
alumina ferit

3.4. Modulus Semen


3.4.1. Silica Modulus (SM)
Silica Modulus yaitu bilangan yang menyatakan perbandingan antara oksida
silica dengan oksida alumina dan besi. Semakin besar SM maka proses pembakaran
semakin sulit, tingginya kandungan SM dalam raw meal menyebabkan proses
pembakaran berdebu (dusting).
SiO2
SM = = 1,9 - 3,2
Al 2O3+ Fe2O3

Karakteristik Klinker berdasarkan nilai SM dapat dilihat pada tabel 3.10.

Tabel 3.10. Karakteristik Klinker berdasarkan Nilai SM


23

SM rendah (< 1,9) SM tinggi (> 3,2)


Membentuk ring formation Coating tidak stabil
Klinker sulit digiling Klinker sulit dibakar
Setting time semen pendek Memperlambat pengerasan semen
Panas hidrasi naik Merusak batu tahan api
Kuat tekan awal semen rendah Kuat tekan semen tinggi
Kebutuhan panas rendah Fase cair rendah,
Thermal load tinggi
Dusty
Kadar CaO bebas tinggi
(Duda, 1976)

3.4.2. Iron Modulus (IM)


Iron Modulus yaitu bilangan yang menyatakan perbandingan antara oksida
alumina dengan oksida besi.
Al2O3 = 1,5–2,5
IM=
Fe2O3
Semen dengan nilai IM = 0,64 akan mengandung C4AF, sehingga disebut semen
Ferras. Semen ini memiliki panas hidrasi yang rendah. Karakteristik Klinker
berdasarkan nilai IM dapat dilihat pada tabel 3.11.

Tabel 3.11. Karakteristik Klinker berdasarkan Nilai IM

IM rendah (< 1,5) IM tinggi (> 2,5)


C3A turun dan C2S akan naik C3A, C3S dan C2S naik, C4AF turun.
Kadar alumina dalam semen rendah Sulit dibakar
24

Fasa cair viskositas rendah Fasa cair turun dan output kiln turun
Tahan terhadap sulfat tinggi Kuat tekan awal yang tinggi,
Kuat tekan awal rendah Waktu pengikatan pendek
Panas hidrasi rendah Panas hidrasi tinggi
Ketahanan terhadap sulfat rendah
(Duda,1976)

3.4.3. Lime Saturation Factor (LSF)


Lime Saturation Factor yaitu bilangan yang menyatakan perbandingan antara
CaO yang ada dalam raw meal dengan CaO yang dibutuhkan untuk mengikat oksida–
oksida lain.
100 CaO =0,92–0,96
LSF =
2,8SiO2 + 1,18Al2O3 + 0,65 Fe2O3

Untuk IM < 0,64 maka CaO maks = 2,8 SiO2 + 1,1 Al2O3 + 0,7 Fe2O3
Untuk IM > 0,64 maka CaO maks = 2,8 SiO2 + 1,65 Al2O3 + 0,35 Fe2O3
Karakteristik Klinker berdasarkan nilai LSF dapat dilihat pada tabel 3.12.

Tabel 3.12. Karakteristik Klinker berdasarkan Nilai LSF

LSF rendah (< 0,92) LSF tinggi (> 0,96)


Tepung baku mudah dibakar Tepung baku sulit dibakar
Kebutuhan panas rendah Kebutuhan panas tinggi
Kadar free lime rendah Kadar free lime tinggi

Kadar C3S turun dan kadar C2S naik Kadar C3S naik sehingga kuat
25

tekan
awal dan panas hidrasi semen
sehingga panas hidrasi semen cenderung
naik
(Duda, 1976)

3.5. Sifat Fisika Semen


3.5.1 Hidrasi Semen
Hidrasi semen adalah reaksi yang terjadi bila air ditambahkan ke dalam
semen dimana dipengaruhi oleh kehalusan semen, kadar air,temperatur dan additive.
Dalam tahap pertama dari hidrasi semen terjadi crystaline dan amorphous. Pada
keadaan tertentu, pengembangan kekuatan mekanik secara langsung berkaitan dengan
reaksi hidrasi tricalcium silikat (C3S) yang mengarah pada pembentukan kalsium
hidroksida (portlandite) dan kompleks produk amorf biasanya disebut kalsium silikat
hidrosida (C – S – H). Begitu semen dicampur dengan air, lapisan gel amorf dan
koloid (kaya alumina, kalsium, sulfat, dan silika) terbentuk. Pertumbuhan produk
hidrasi kristal dari difusi ion melalui gel. Diantara produk yang terbentuk selama
tahap awal hidrasi, ettringite nucleates dari kalsium, aluminium sulfat, dan ion dalam
larutan akan tumbuh dalam bentuk batang, menurut reaksi berikut :
C3A + 3 CaSO4 + 32 H2O→C3A.3CaSO4.32H2O
Morfologi ettringite yang mikro dianggap memiliki pengaruh besar padahidrasi
semen. Lapisan tipis amorf dan ettringite yang mencakup butir klinker dapat
memperlambat penurunan tingkat reaksi silikat dengan mengurangi difusi air dalam
inti butir klinker. Disisi lain, kristal ettringite memungkinkan mineral silikat bereaksi
lebih cepat dengan air, membuat hidrasi lebih baik dan kekuatan tekan yang tinggi.
Dalam keadaan tertentu, jumlah dan karakteristik ettringite dipengaruhi selama
hidrasi semen terkait dengan ketersediaan ion larut dan kehadiran aditif kimia.
1. Hidrasi Kalsium Silikat (C3S dan C2S)
Kalsium silikat didalam air akan terhidrolisa menjadi Kalsium Hidroksida
Ca(OH)2 dan Kalsium Silikat Hidrat (3CaO.2SiO2.3H2O) pada temperatur 30 0C.
2 (3CaO.SiO2) + 6 H2O →3CaO.2SiO2.3H2O + 3Ca(OH)2
26

2(2CaO.SiO2) + 4 H2O→2CaO.2SiO2.2H2O + 2Ca(OH)


2. Calsium Silikat Hidrat (CSH)
Calsium Silikat Hidrat (CSH) adalah kristal yang belum sempurna, bentuknya
padatan berongga yang sering disebut tubermorite gel. Adanya Kalsium Hidroksida
akan membuat pasta semen bersifat basa kuat (pH = 12,5) hal ini dapat menyebabkan
pasta semen sensitif terhadap asam kuat tetapi dapat mencegah baja mengalami
korosif.
3. Hidrasi C3A
0
Hidrasi C3A dengan air yang berlebih pada temperatur 30 C akan
menghasilkan Kalsium Alumina Hidrat (3CaO.Al2O3.3H2O) yang mana kristalnya
berbentuk kubus,didalam semen karena adanya gypsum maka hasil hidrasi C3A agak
berbeda. Mula-mula C3A bereaksi dengan gypsum menghasilkan sulfo aluminate
yang mana kristalnya berbentuk jarum dan biasa disebut ettringite namun pada
akhirnya semua baru terbentuk Kalsium Aluminate Hidrat (CAH).
 Hidrasi C3A tanpa gypsum
3CaO.Al2O3 + 6 H2O →3CaO.Al2O3.6H2O
 Hidrasi C3A dengan gypsum
3CaO.Al2O3 + 3CaSO4.2H2O + 26H2O→ 3CaO.Al2O3.3SO4.32H2O
(gypsum) (air) (ettringite)
Penambahan gypsum pada semen dimaksudkan untuk menunda pengikatan,
hal ini disebabkan karena terbentuknya lapisan ettringite pada permukaan-
permukaan kristal C3A sehingga dapat menunda hidrasi C3A.
4. Hidrasi C4AF
Pada tahap awal C4AF bereaksi dengan kalsium hidroksida membentuk
kalsium aluminate hidrat dan kalsium ferrit hidrat yang kristalnya berbentuk
jarum.Pada tahap berikutnya C4AF bereaksi dengan gypsum membentuk kalsium
sulfoaluminate ferrit hidrat.
4CaO.Al2O3.Fe2O3+2Ca(OH)2+10H2O→3CaO.Al2O3.6H2O+3CaO.Fe2O3.6H2O

4CaO.Al2O3.Fe2O3+3CaSO4+32H2O→3CaO.Al2O3.Fe2O3.3CaSO4.32H2O
27

Kecepatan reaksi hidrasi harus diketahui karena akan menentukan waktu


pengikatan awal dan pengerasan semen. Kecepatan awal harus cukup lambat agar
adonan semen dapat dituang. Selama semen mengalami proses hidrasi, akan terjadi
panas yang besarnya tergantung tipe semen, komposisi semen, kehalusan, dan rasio
air semen.Mutu semen sesudah pengerasan sangat dipengaruhi oleh panas hidrasi.
Adanya panas hidrasi akan menyebabkan retak – retak dan penyusutan (shrinkage).
(Hewlett, 1988).

3.5.2 Setting dan Hardening


Setting dan Hardening adalah pengikatan dan pengerasan semen setelah
tejadi reaksi hidrasi. Semen apabila dicampur dengan air akan menghasilkan pasta
yang plastis dan workable (dapat dibentuk), sampai beberapa waktu karakteristik dari
pasta tersebut tidak berubah dan periode ini sering disebut doeman periode (periode
tidur).
Mekanisme terjadinya setting dan hardening pada pencampuran semen
dengan air diawali dengan bereaksinya C3A menghasilkan 3CaO.Al2O3.3H2O.
Senyawa ini berupa gel atau pasta yang bersifat cepat set (kaku), sehingga ia akan
mengontrol setting time. Pasta yang terbentuk akan bereaksi dengan gypsum
membentuk ettringite yang akan membungkus permukaan pasta itu sendiri dan C3A.
Lapisan tersebut membuat reaksi hidrasi C3A terhalangi dan proses pengerasan yang
cepat (flash set) dapat dicegah.
Peristiwa osmosis membuat lapisan ettringite pecah dan reaksi hidrasi C3A
akan terjadi lagi segera pula terbentuk ettringite yang baru. Hal ini berlangsung terus
hingga gypsum habis terpakai. Proses ini akhirnya menghasilkan perpanjangan
setting time, makin banyak gypsum yang dipakai, makin panjang setting time.
Padaperistiwa ini gypsum dikenal retarder.
Kecepatan hidrasi bertambah seiring dengan hampir habisnya gypsum dan C3A
bereaksi dengan silika. Akibatnya kristal C3S diubah bentuknya menjadi kristal yang
lebih besar, periode ini diiringi dengan pecahnya coating. Coating terbentuk pada
awal reaksi hidrasi yaitu berupa endapan Ca(OH) 2, ettringite dan C – S – H pada
28

partikel semen. Periode ini menghambat reaksi hidrasi dan disebut inductionperiode.
Selama beberapa jam, reaksi hidrasi C3S terjadi dan menghasilkan 3CaO.2SiO2.3H2O
(C – S – H). C – S – H akan mengisi rongga dan membentuk titik kontak yang
menghalangi mobilitas partikel – partikel semen.
Pada tahapan berikutnya pasta mulai menjadi kaku walaupun masih ada yang
lemah, namun sudah dapat dikerjakan (unworkable). Kondisi seperti ini disebut
initial set sedangkan waktu yang diperlukan mulai dibentuk (ditambah air)
sampaikondisi initial set disebut initial setting time (waktu pengikatan awal).
Tahapan berikutnya pasta melanjutkan kekuatannya sehingga didapat padatan yang
utuh yang biasa disebut hardened cement pasta atau cement stones. Kondisi ini
disebut final set sedangkan waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi ini
disebut final settingtime (waktu pengikatan akhir). Proses pengerasan berjalan terus
dan sejalan denganwaktu (steady) akan diperoleh kekuatan, proses ini dikenal dengan
nama hardening.
Waktu pengikatan awal dan akhir dari semen dalam praktek sangat penting,
sebab waktu pengikatan awal akan menentukan panjangnya waktu dimana campuran
semen (beton) masih bersifat plastis dan dapat dikerjakan. Waktu pengikatan awal
minimum 45 menit sedangkan waktu pengikatan akhir maksimum 8 jam.
(Hewlett, 1988)

3.5.3 Panas Hidrasi


Panas hidrasi adalah panas yang dilepaskan selama semen mengalami
proseshidrasi. Jumlah panas hidrasi yang terjadi tergantung pada :
- Tipe semen - Rasio air dan semen.
- Komposisi kimianya - Kehalusan semen

Semen dengan kekerasan awal tinggi dan panas hidrasi besar kemungkinan terjadi
retak-retak pada beton, hal ini disebabkan phospor yang timbul sukar dihilangkan
sehingga terjadi pemuaian pada proses pendinginan.
Tabel 3.13. Panas Hidrasi*
29

Senyawa Hari
3 7 28 90 265
C4AF 290 495 416 416 377
C 3A 888 1557 1378 1302 1168
C2 S 50 42 105 176 222
C3 S 243 222 377 435 490
*dalam Joule/gram (Austin, 1996)

Pada umumnya panas hidrasi dari high early strength cement adalah yang
paling tinggi dan moderate heat cement mempunyai panas hidrasi yang
palingrendah. Sedangkan ordinary cement terdapat diantara keduanya. Pada
komposisi kimia semen, urutan komponen yang berpengaruh pada timbulnya panas
hidrasi adalah C3A, C4AF, C3S dan yang paling rendah adalah C2S.
Berdasarkan hal diatas maka untuk menghindari retak pada pembangunan
bendungan atau menara air digunakan semen dengan kandungan C3A rendah. Hal ini
akan membuat semen akan lambat mengeras sehingga panas hidrasi yang terbentuk
tidak terlalu besar.
(Hewlett, 1988)

3.5.4 Pengkerutan atau Penyusutan (Shringkage)


Terdapat tiga jenis pengkerutan atau penyusutan yang terjadi pada pastasemen
dalam campuran beton yaitu :
- Hydration shringkage
- Carbonation shringkage
- Drying shringkage
Dari tiga jenis diatas, drying shringkage adalah yang paling mudah
menyebabkan peretakan pada beton. Drying shringkage disebabkan oleh penguapan
air bebas (free water) yaitu air yang terdapat diantara fase padat, cair, dan
pasta.Sedangkan faktor yang mempengaruhi shringkage adalah komposisi semen,
jumlah campuran air, dan kandungan C3A yang tinggi.
(Hewlett, 1988)
30

3.5.5 Kehalusan Semen (Blaine)


Kehalusan semen disyaratkan 325 mesh. Kehalusan semen inilah yang
menentukan luas permukaan partikel semen pada proses hidrasi. Semakin halus
semen (< 325 mesh) maka akan menyebabkan :
- Kekuatan semen meningkat
- Makin tinggi panas hidrasi dan kebutuhan air
- Setting time makin singkat
- Drying shringkage (penyusutan karena pengeringan) lebih mudah
terjadi sehingga menyebabkan keretakan beton.
Apabila semen kurang halus (> 325 mesh ) maka kekuatan, plastisitas dan
kestabilannya akan berkurang.
(Kohlhaas, 1983)

3.5.6 Kelenturan (Soundness)


Kelenturan digunakan untuk mengontrol agar tidak terjadi pemuaian
ataupenyusutan yang dapat merusak konstruksi. Ekspansi semen tergantung
padakandungan CaO bebas, MgO, Na2O, dan K2O. Untuk ordinary semen,
kandungan tersebut dibatasi masing-masing : MgO maksimum 5%, SO3 maksimum
3,5%, total alkali maksimum 0,6% dan free lime (CaO bebas) maksimum 1 %.
(Kohlhaas, 1983)

3.5.7 Waktu Pengikatan (Setting Time)


Waktu pengikatan digunakan untuk mengontrol sifat plastisitas dari
adonansemen. Menurut spesifikasi ASTM yang menggunakan metode gillmore,
initialtimeof set dari semen adalah lebih dari 1 jam dan final time of set adalahkurang
dari 10 jam. Jika nilai setting di luar range tersebut maka akan menyebabkan kualitas
semen menjadi tidak baik.
Tes setting time dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban relatif. Beton
yang dituang dalam tempat terbuka, waktu pengikatnya dipengaruhi oleh temperatur
31

udara, kandungan air dan kelembaban. Khususnya bila musim panas, temperatur yang
tinggi dapat mengakibatkan waktu pengikatan menjadi pendek.
Juga hidrasi pada temperatur tinggi akan menyebabkan pembentukan kristal
hidrat yang besar sehingga densitas semen menjadi kecil. Hal ini menyebabkan
kekuatan akhir menjadi rendah dan beton menjadi retak. Oleh karena itu bahan untuk
membuat beton harus disimpan di tempat yang temperaturnya rendah agar penguapan
air tidak terlalu berlebihan. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah gerakan ion
selama reaksi hidrasi sehingga normal setting time dapat dicapai.
(Kohlhaas, 1983)

3.5.8 Kuat Tekan (Compressive Strength)


Kekuatan tekan merupakan kemampuan menahan sesuatu beban
danmenjadi sifat yang paling penting dari semen. Istilah strenght pada beton selalu
dimaksudkan dengan "Compressive Strenght" (kekuatan tekan, karena pada
umumnya beton yang dipakai untuk memberikan kekuatan tekan).
Semen dengan kadar C3S yang tinggi akan mempunyai kuat tekan awal yang
besar, sedangkan C2S akan menyebabkan semen mempunyai kekuatan awal yang
tinggi dalam jangka waktu yang lama. Sementara komponen C3A dan C4AF tidak
begitu berpengaruh.
(Kohlhaas, 1983)

Anda mungkin juga menyukai