Anda di halaman 1dari 6

ESSAY

“ANALISIS TERKAIT VIRUS COVID-19 TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DUNIA“

DOSEN PENGAJAR

Ahmad Fikri Hadin, S.H., LL.M

DISUSUN OLEH

Sephiara Nur Aidilla (1810211620132)

KELAS

Reguler B Genap 2018

ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

2020
Iklim adalah rata-rata cuaca, dimana cuaca merupakan keadaan atmosfer pada suatu
saat di waktu tertentu. Iklim didefinisikan sebagai ukuran rata-rata dan variabilitas kuantitas
yang relevan dari variabel tertentu (seperti temperatur, curah hujan atau angin) pada periode
waktu tertentu yang merentang dari bulanan hingga tahunan atau jutaan tahun. Iklim berubah
secara terus menerus karena interaksi antara komponen-komponennya dan faktor eksternal
seperti erupsi vulkanik, variasi sinar matahari, dan faktor-faktor disebabkan oleh kegiatan
manusia lain seperti misalnya perubahan penggunaan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Kerangka Kerja Perubahan Iklim


(United Nations Framework Convention on Climate Change / UNFCCC) mendefinisikan
perubahan iklim sebagai perubahan yang disebabkan baik secara langsung atau tidak langsung
oleh aktifitas manusia sehingga mengubah komposisi dari afmosfer global dan variabilitas iklim
alami pada periode waktu yang dapat diperbandingkan. Komposisi atmosfer global yang
dimaksud adalah komposisi material atmosfer bumi berupa Gas Rumah Kaca (GRK) yang
diantaranya terdiri dari Karbon Dioksida, Methana, Nitrogen, dan sebagainya.

Berdasarkan data pada 28 November 2019, besar kandungan gas CO2 di atmosfer
mencapai 0,041%, dapat dikatakan sangat sedikit tapi dampaknya begitu besar terhadap
pemanasan global. Dikatakan memiliki dampak begitu besar karena uap air (H2O) lebih sedikit
dibandingkan dengan gas CO2 yang ada di bumi. Gas CO2 di atas secara signifikan
mempengaruhi radiasi infra merah agar kembali ke luar angkasa. Selama zaman es, suhu bumi
berada 4-7 derajat celcius lebih dingin dibanding abad ke-21, gas CO2 hanya membentuk
0,018% saja. Keadaan ini sudah tentu darurat yang berarti jika kita tidak bertindak atau
merespon perubahan iklim dengan mengurangi emisi karbon kita, mengurangi produksi ternak
kita, mengurangi pembukaan lahan dan konsumsi bahan bakar fosil, dampaknya mungkin akan
lebih parah daripada yang kita alami sampai saat ini.

Seperti yang kita ketahui, saat ini dunia sedang digoncang dengan perubahan iklim yang
begitu ekstrem. Tak hanya itu, tidak cukup menderita dengan berubahnya alam, manusia kini
tengah dihadapkan dengan pandemi (wabah) baru yaitu Corona Virus Desease 19 (Covid-19).

Sejak munculnya virus yang berasal dari Wuhan, Tiongkok ini pada Desember 2019, yang
munculnya tanpa diduga penularannya begitu cepat, tampaknya tidak ada satu negara pun
yang ‘steril’ terhadap virus Corona saat ini. Dalam kasus penyebaran, maka ia menyeruak bukan
hanya menjadi isu kesehatan, akan tetapi menjadi isu multi dimensi yang bersinggungan
dengan konteks sosial masyarakat.
Namun, hal ini tampak bertolak belakang dengan isu lingkungan yaitu perubahan iklim
dan dampak pemanasan global. Jika virus Corona sudah dinyatakan pandemi oleh WHO, maka
perubahan iklim pun derajat isunya seharusnya setingkat dengan penyebaran Corona.

Tanpa disadari dampak perubahan iklim bakal berpengaruh bagi kehidupan seluruh
umat manusia di bumi. Beragam kejadian bencana alam yang sudah merusak dan
menyebabkan kematian belum membuat manusia tersadar. Padahal dampak perubahan iklim
merupakan ancaman bagi kemanusiaan yang sama-sama memiliki daya bunuh dengan virus
Corona. Bahkan mungkin lebih.

Sebelum terjadinya wabah Corona, rezim perubahan iklim (para pihak yang terlibat
dalam KTT Perubahan Iklim) hanya disibukkan dengan isu ‘yang itu-itu saja’ yaitu tanggung
jawab untuk mengurangi emisi karbon. Bahkan, tampak kesan kesenjangan kepentingan
ekonomi antara negara-negara berekonomi maju dengan negara miskin dan berkembang,
menyebabkan KTT Perubahan Iklim hanya menjadi sekedar seremonial tahunan dan retorika
belaka.

Akhir tahun 2019 semestinya menjadi tonggak para pihak dalam rezim perubahan iklim
maupun pemimpin dunia untuk menyadari bagaimana ‘panasnya’ bumi saat ini. Para pemimpin
dunia maupun elit politik lokal masih terjebak pada populisme yang menujukkan wajah asli
untuk menyelamatkan kepentingannya. Di sisi lain, kaum tidak punya hanya bergantung pada
sumber daya alam dan tidak paham perubahan iklim. Tetapi mereka menjadi pihak yang paling
merasakan dan paling menderita akibat perubahan iklim, akibat variabilitas iklim yang
menunjukkan anomali.

Padahal berdasarkan data NOAA (The National Oceanic and Atmospheric


Administration) tahun 2019 merupakan tahun kedua yang terpanas setelah tahun 2015. Suhu
bumi mencapai 2,07 derajat Farenheit atau mengalami kenaikan 1,15 derajat Celcius. Hal
tersebut menunjukkan kondisi bumi memasuki masa kritis karena kenaikan suhu bumi
mencapai 2 derajat Celcius akan menyebabkan kekeringan ekstrem dan kenaikan permukaan
laut. Petani subsisten dan peladang tradisional yang akan mengalami penderitaan terlebih
dahulu. Kenaikan permukaan laut pun menyebabkan nelayan dan masyarakat pesisir terancam
kehidupannya. Wacana upaya bersama untuk menjaga agar suhu bumi tidak meningkat hingga
2 derajat Celcius gagal menjadi kesepakatan dalam KTT Perubahan Iklim. Jika kegagalan hasil
KTT Perubahan Iklim adalah indikasi dari bagaimana lemahnya komitmen para pemimpin dunia.
Hal tersebut diperburuk dengan perilaku masyarakat global yang tidak ramah lingkungan.
Kerusakan ekosistem dipercepat dengan laju pertumbuhan ekonomi dan kebijakan yang
memudahkan kepentingan ekonomi politik untuk merambah dan melakukan eksploitasi
lingkungan hidup. Lingkungan hidup menjadi komoditas yang bisa dipertukarkan untuk
pemuasan kepentingan yang bersifat materialistis. Maka, laju konsumerisme semakin tidak
terkendali. Konsumerisme membutuhkan pemuasan kebutuhan melalui gambaran gaya hidup
yang pada akhirnya menghasilkan lautan sampah yang sulit untuk diurai. Maka, struktur yang
demikian memberikan keleluasaan bagi korporasi dan elit politik korup untuk melakukan
transaksi. Berikutnya, masyarakat yang mengedepankan konsumerisme sebagai gaya hidup
semakin abai dengan realita kerusakan lingkungan hidup.

Virus Corona muncul di saat perubahan iklim terjadi semakin esktrem. Solusi untuk
mengurangi laju perubahan iklim belum optimal dan kemudian ditambah dengan permasalahan
lainnya yang membutuhkan daya dukung ekologis dan sosial. Lalu bentuk reaksi sosial seperti
apa yang sekarang dapat kita lihat dari kasus Corona? Saat wabah terjadi, perilaku
‘memborong’ barang untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau perilaku pedagang untuk
menjual barang dengan harga berkali-kali lipat kemudian terjadi. Hal tersebut menunjukkan
empati yang minim. Pertanyaannya adalah, apabila kepedulian kepada sesama manusia saja
minim, bagaimana dengan kepedulian terhadap lingkungan hidup?

Kemudian pertanyaan berikutnya adalah bagaimana sistem kapasitas penyangga virus


ini? Bagaimana dengan daya dukung lingkungan yang kita miliki? Bagaimana keterhubungan
ekologis yang terbangun selama ini antara manusia dan bentang alam? Bagaimana modal sosial
yang kita miliki untuk melawan wabah ini? Apabila 4 pertanyaan itu dijawab dengan
ketersendatan, maka wabah virus Corona saat ini akan menjadi penentu ketahanan sosial
ekologi saat ini dan masa depan.

Satu titik yang dapat dilakukan oleh komunitas lokal dan global menghadapi wabah
Corona dan bersamaan tengah menghadapi perubahan iklim adalah mempererat kolaborasi
dan solidaritas sosial.

Berbicara soal kolaborasi dan solidaritas sosial, mari kita lihat pada Persetujuan Paris di
tahun 2015. Persetujuan Paris merupakan perjanjian dalam Konvensi Kerangka Kerja Perubahan
Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC) mengenai mitigasi emisi gas rumah kaca, adaptasi, dan keuangan.
Persetujuan yang dinegosiasikan oleh 188 perwakilan negara-negara pada Konferensi
Perubahan Iklim PBB ke-21 di Paris, Prancis. Setelah proses negosiasi, persetujuan ini
ditandatangani tepat pada peringatan Hari Bumi tanggal 22 April 2016 di New York, Amerika
Serikat.

Tujuan dibentuknya Perjanjian Paris tertuang dalam pasal 2, yaitu :

1. Menahan laju peningkatan temperatur global hingga di bawah 2 derajat Celcius dari
angka sebelum masa Revolusi Industri, dan mencapai upaya dalam membatasi
perubahan temperatur hingga setidaknya 1,5 derajat Celcius, karena memahami
bahwa pembatasan ini akan secara signifikan mengurangi risiko dan dampak dari
perubahan iklim.
2. Meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi terhadap dampak dari perubahan
iklim, meningkatkan ketahanan iklim, dan melaksanakan pembangunan yang
bersifat rendah emisi gas rumah kaca tanpa mengancam produksi pangan.
3. Membuat aliran finansial yang konsisten demi tercapainya pembagunan yang
bersifat rendah emisi gas rumah kaca dan tahan terhadap perubahan iklim.

Jika perjanjian ini terlaksana sesuai dengan apa yang sudah diwacanakan, maka
kemungkinan besar untuk merubah temperatur bumi dan mengurangi efek gas rumah kaca
sudah mulai menjalani proses ke arah yang lebih baik. Hanya saja kembali kita temui
permasalahan. Amerika Serikat mundur dari Perjanjian Paris di tahun 2017 dengan alasan
perjanjian ini telah memberikan ‘beban ekonomi yang tidak adil’ terhadap Amerika Serikat.
Mereka juga merasa tidak memiliki kebebasan dan pekerjaan Amerika akan hilang karena
perjanjian itu.

Sebagai negara yang menyumbang 15% emisi karbon secara global, mundurnya Amerika
Serikat berpotensi memicu adanya friksi dan tensi geopolitik yang memanas. Meningkatnya
perseteruan antara negara-negara yang berkomitmen melaksanakan perjanjian iklim paris
dengan Amerika yang menarik diri dari perjanjian tersebut, berpotensi lahirnya virus Corona
sebagai alat perang ekonomi global. Entah siapa atau negara mana yang membuat virus ini, tapi
penulis percaya ada kepentingan politik di dalamnya.

Kemunculan virus Corona berdampak sangat besar hingga mengakibatkan


terguncangnya ekonomi global. Ibaratnya, dengan adanya Corona, dunia saat ini sedang
direset, geoekonomi sedang ditata ulang, pasar uang dan pasar saham kembali direset. Setelah
ini tata dunia baru muncul, setelah ini apa yang dilakukan seakan decoupling atau keterlepasan.
Keterlepasan ini membuat dunia ekonomi, dunia kesehatan, dunia pertahanan apapun itu
menjadi baru.
Secara langsung perubahan iklim bukan penyebab utama munculnya pandemi Corona.
Menurut penulis, Corona adalah alat untuk menghadapi perang ekonomi global.

Kabar baiknya untuk kondisi lingkungan kita saat ini adalah dengan menurunnya
aktifitas ekonomi mulai dari skala industri besar yang menghasilkan emisi karbon besar sampai
industri kecil sekalipun berbanding lurus dengan menurunnya pemanasan global yang saat ini
tengah menjadi sorotan ilmuan dunia. Pandemi ini secara tidak sengaja menawarkan solusi
dalam menangani krisis perubahan iklim.

Pandemi itu cepat dan menyoroti kemampuan kita atau ketidakmampuan kita untuk
merespon ancaman yang mendesak. Tapi seperti pandemi, perubahan iklim dapat
direncanakan terlebih dahulu, jika politisi memperhatikan peringatan ilmuwan yang
membunyikan alarm.

Untuk saat ini, memang belum ada studi langsung terkait perubahan iklim yang terjadi
akibat virus Covid-19. Bagaimanapun juga secara ideal tentu tidak ada yang ingin meninggal
karena virus Corona maupun polusi udara, lantaran keduanya sama-sama merugikan.

Anda mungkin juga menyukai